Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya.

Di

AS

karena

kekhawatiran

komplikasi,

tonsilektomi

digolongkan pada operasi mayor.


Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara ekslusif dilakukan oleh
dokter THT. Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara
0,1-8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat
terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi.
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum,
maka kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan
kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang
menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang dewasa, diperlukan
keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter spesialis anak dan dokter
spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi terhadap pasien.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter
spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu
oleh dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi,
kelainan metabolik atau penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas selama dan pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh
dokter spesialis THT maupun spesialis anestesi Penilaian preoperasi pada pasien
rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan meminimalkan
pembatalan atau penundaan operasi (American Family Physician).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil


palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
2.2. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi
dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat.
Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk
tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas
indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk

tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris
kriptus dari tonsil (cryptic tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat
timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok
yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan
beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus
dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat
mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.
2.3 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
2.4 Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :

Laringosspasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti

jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian
akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien

kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan


transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
2.4. Persiapan Praoperasi
1. Penilaian Praoperasi
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter
spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu
oleh dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi,
kelainan metabolik atau penyakit tertentu yang dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas selama dan pascaoperasi. Penilaian preoperasi pada
pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan
meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family
Physician).
Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang
diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian
laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat
perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan
dalam memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas
indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain
meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah
atau pihak ketiga.
b. Anamnesis dan Rekam Medik

Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada
anak dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus,
hipertensi, epilepsi, dll.

Riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi,


infeksi terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia,
Penyakit kronik terutama paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat

yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.


Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi

c. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum
Status gizi: misalnya, malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada
jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif

menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien
dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah
orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada
dapat

menyulitkan

proses

operasi.

Selain

itu

penting

untuk

mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik.


d. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin prabedah
elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk
tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
3) Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan atas indikasi.
d.

Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko dan
komplikasi yang potensial akan dialami pasien.

f. Persiapan praoperasi
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat pada
tabel dibawah ini, berdasarkan umur pasien.

2. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses
evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan
anestesi baik untuk prosedur bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini
merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri dari:
a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam
mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang
diderita pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang
dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat dilakukan
pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk mengantisipasi
kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi
yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisikondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari
rekam medik.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk
feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai
tanda vital pasien. Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan
operasi.
c. Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang
dilakukan atas dasar indikasi tertentu.
3. Teknik Anestesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi.
Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum,
teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
6

dengan tujuan untuk pendidikan. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi


umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa
yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa
merupakan keputusan pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional
atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum.
Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa. Dimana sebelumnya
pasien

telah

diseleksi

kondisi

kesehatannya

terlebih

dahulu

dan

mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan


sehingga pasien dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik. Tujuan
tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau
obat-obatan yang dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.
5. Premedikasi
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat
pemberian obat premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah
pengawasan dokter/perawat terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau
obstruksi saluran napas intermitten atau dengan tonsil yang sangat besar harus
lebih diperhatikan. Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat
anestesia eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan
kauter/diatermi. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa
endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas
terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli
anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan operasi namun
masih memegang kendali jalan napas.
Anestesi endotrakea
- Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor
ECG (bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset
pengukur tekanan darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan
Ringer dipasang di tangan.

- Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan
dengan halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
superfisial, infus menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
- Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan
atau sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di
ruang operasi selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang
gelisah.
- Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau
dibantu dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari
masuknya darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu
diletakkan kasa bedah di daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar
endotrakeal tube.
- Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled).
- Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di
lapangan operasi.
- Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap
(suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi,
dipasang pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.
- Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah
terjagabebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga dapat dilakukan
saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV
bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.
- Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala
lebih rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa
darah mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.
- Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga
dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.
Perdarahan pascatonsilektomi
- Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah
yang tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan
maupun pada waktu induksi anestesi untuk re-operasi. Pengosongan lambung
dengan oro/nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.
Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA)
sebagai pengganti pipa endotrakeal.

Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya risiko stridor


postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara
ini memerlukan perhatian khusus seperti:
- Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan
positif akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan
jalan napas besar dan compliance paru rendah.
- Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.
- LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.
- Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan
risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan
pertimbangan per individu.
2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31 Keberatan dokter ahli THT tentang
penggunaan intubasi endotrakeal adalah karena pipa ETT menyita lapangan
operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan
pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang
operasi menjadi bebas. Pengamatan selama operasi Selama operasi yang harus
dipantau:
- Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi
- Pernapasan dan gerak dada cukup
- (kalau ada) Saturasi oksigen di atas 95%
- Denyut nadi yang teratur
- Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk
Alat monitoring tambahan yang dianjurkan: - Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep
apnea, ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan
keharusan. Begitu juga dengan pasien dengan sindroma Down yang bisa
mengalami depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang lama setelah anestesi
umum selama tonsilektomi berlangsung. Observasi Pasca Operasi di Ruang
Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit) Pasca operasi, pasien dibaringkan
dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri dengan posisi kepala lebih
rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang
pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan
efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani
tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang
telah diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai
lama observasi optimum sebelum pasien dipulangkan. Umumnya, observasi
9

dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.30


Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU)
memerlukan dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang
bekerja sebagai sebuah tim. Bersama-sama, dilakukan observasi adanya
masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan
terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul.
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan
frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan
suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering
dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah
jam. Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat
digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah
Skor Aldrete yang dimodifikasi:
- Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons
- Aktivitas atas perintah
2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak
- Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernapasan
0= apneu
- Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi
- Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2 Skor total= 10; skor < atau = 9
membutuhkan PACU.

10

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Nama : Dian Puspa Indah
Umur : 16 Tahun
Pekerjaan : Siswa
Alamat: Jl. A. Sani, Palembang
Diagnosis Pra Bedah : T3/T3
Tindakan
: Tonsiloadenoidektomy tanggal 23 Juli 2012
ANAMNESIS
Batuk (-), pilek (-), demam (-),asma (-), hipertensi (-), Diabetes Melitus (-),
Riwayat alergi (-).
PEMERIKSAAN FISIK
Airway

Clear
malampati II
trnd >6,5 cm

Breathing

Spontan
RR 18x/menit
vesikuler +/+
Ronki -/-

11

Wheezing -/-

Circulation

Tekanan Darah 110/70 mmHg


Nadi 81 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Sl-S2 murni
Bising jantung (-)

Disability

GCS: E4 V5 M6 (compos Mentis )


Temp. 36,7C
BB = 56 Kg, TB= 154 cm

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin
Hb
: 13,1 g/d1
Leukosit : 8.400 g/d1
Trombosit: 268.000
Gol. Darah A
ASSESMENT
ASA 1
ANESTESI
General Anestesi
TERAPI PRE-ANESTESI

Puasa 6 Jam

Infus RL
PENATALAKSANAAN ANESTESI
Premedikasi : Dexamethasone 10 mg,
Co- Induksi : Fentanyl 50 mg
Induksi
: Propofol 100 mg
Pemeliharaan : 02, N20, Halotan

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, berdasarkan indikasi

maka

dilakukan

tindakan

tonsilektomy yang dilakukan dengan general anestesi. Dipilihnya anestesi jenis ini

12

karena akan dilakukan pembedahan salah sate bagian atas tubuh serta memerlukan
tindakan intubasi endotracheal untuk menjaga patensi jalan nafas selama tindakan
pembedahan.
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea melalui rima
glottis, sehingga Ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan antara pita suara
dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut:
1.
Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
2.
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3.
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kriteria kesulitan saat intubasi antara lain:
1.
Leher pendek berotot
2.
Mandibula menonjol
3.
Maksila/ gigi depan menonjol
4.
Uvula tak terlihat (malampati 3 atau 4)
5.
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6.
Gerak vertebra servikal terbatas
Intubasi sulit merupakan Intubasi yang dilakukan lebih dari 3 kali
percobaan atau lebih dari 10 menit. Sedangkan Ventilasi sulit adalah Kesulitan
untuk mempertahankan sat 02 >90% dengan sungkup muka dan 02 inspirasi
100%, dimana sebelum ventilasi sat 02 normal. Kriteria ventilasi sulit (Langeron
et al) 2 dari:
OBESE
1.
Obese (BMI>26 kg,/m2)
2.
Bearded
3.
Elderly (>55 th)
4.
Snorers
5.
Edentulous
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut pasien termasuk kedalam kriteria
intubasi sulit dan ventilasi sulit. Intubasi sulit karena pasien menderita obesitas,
salah satu gejala klinis penderita obesitas adalah raut muka dengan hidung dan
mulct tampak relatif kecil dan dagu yang berbentuk ganda sehingga leher
cenderung pendek. Leher pendek merupakan salah satu kriteria intubasi sulit.
Dalam melakukan intubasi pada pasien obesitas harus menggunakan
bantal untuk menyanggah leher pasien dengan tujuan supaya tubuh pasien berada
dalam keadaan sama rata atau bahkan lebih tinggi. Hal ini diakibatkan
penumpukan lemak yang berlebihan pada pasien obesitas di daerah perut dan

13

dinding dada sehingga menyebabkan posisi perut dan dada cenderung lebih tinggi
dari pada kepala pasien pada saat berbaring..
Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasi kesulitan intubasi
yaitu menggunakan kriteria LEMON:

Look externally
Evaluate 3-2-1 rule
Mallampati
Obstruction
Neck mobility

Skala LEMON
Physical sign
Look externally

Less difficult airway


Normal face and and
neck
No face or neck
pathology

Evaluate the 3-3-2 rule

Mouth
opening > 3F

Hyoid-chin

distance > 3F
Thyroid cartilage- mouth
floor distance > 2F

Mallampati

Class I and II (can


see the soft palate, uvula,
fauces +/- facial pillars)

Obstruction

None

Neck
mobility

Can flex and


extend the neck normally

More difficult airway


Abnormal face shape
Sunken cheeks
Edentulous
Buck teeth
Receding mandible
Bull-Neck
Narrow mouth
Obesity
Face or neck pathology

Mouth opening <


3F

Hyoid-chin
distance <
3F
Thyroid cartilage-mouth
floor distance < 2F
Class III and IV (can only
see the hard palate +/soft palate +/- base of
uvula)
Pathology within or
surrounding the upper
airway (e.g. peri-tonsillar
abscess, epiglottis, retropharyngeal abscess)
Limited ROM of the
neck

Sedangkan dikatakan ventilasi sulit karena pasien ini menderita obesitas


(IMT > 26) sehingga kesulitan untuk mempertahankan sat 02 >90% dengan

14

sungkup muka dan 02 inspirasi 100%.1ebalan jaringan lemak didaerah dinding


dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma,
sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta
meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Akibatnya Pada saat tidur terjadi
penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan
peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan
lidah yang menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang
mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten yang menyebabkan desaturasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi. (Latief,
dkk, 2010).
Untuk Co-Induksi diberikan fentanil. Fentanil adalah zat sintetik seperti
petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding petidin
dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Fentanil di klinik diberikan dosis
yang lebar. Dosis 1-2 gg/kgBB iv biasanya digunakan untuk efek analgesi.
Fentanil dosis 2-10 ug/kgBB iv digunakan untuk mencegah dan mengurangi
gejolak kardiovaskular akibat laringoskopy dan intubasi endotrakheal serta
perubahan tiba-tiba dari stimulus bedah. Sedangkan pada dosis besar 50-150
gg/kgBB iv digunakan sebagai obat tunggal untuk menimbulkan surgical anestesi.
Pada pemberian fentanil dosis tunggal iv, mula kerja 30 detik mencapai puncak
dalam waktu 5 menit, kemudian menurun setelah 20 menit. Ini mencerrninkan
kelarutan lemak yang tinggi sehingga mudah melewati sawar darah otak.
Induksi menggunakan propofol. Propofol adalah campuran 1% obat dalam
air emulsi yang berwarna putih susu bersifat isotonic yang berisi 10% minyak
kedelai, 1,2% fosfolipid telur dan 2,25% gliserol. Dosis untuk induksi 2-2,5
mg/kgBB, dosis rumatan untuk iv total adalah 4-14 mg/kgBB/Jam. Propofol 8%
terikat protein plasma, sangat lipofolik sehingga dengan cepat terdistribusi ke
jaringan yang kaya pembuluh darah. Untuk induksi anestesi, level tidur yang
cukup dalam biasanya dicapai propofol dalam 1-2 menit. Kadar puncaknya
tercapai dalam 2 menit.
Untuk pemeliharaan pada saat operasi diberikan 02, N20 dan Halotan.

02 dan N20

15

N20 dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5x berat udara. Pemberian anestesi N20 harus disertai 02
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tapi analgesinya kuat.

Halotane

Halothane mempunyai sifat hipnotik kuat, relaksasi cukup dan analgetik kurang
baik. Halotan mempunyai keunggulan tidak merangsang saluran nafas, saliva
tidak banyak, bronkodilator serta waktu pemulihan cepat.
Post op. pasien dibawa ke ruangan pemulihan dimana layaknya pasien dilakukan
monitoring terhadap Aldrete score berupa kesadaran, warna kulit, aktivitas,
respirasi dan kardiovaskular (Said, dkk. 1989)

Skala Pulih dari Anestesia


Nilai
Kesadaran
Warna kulit

Aktivitas

2
Sadar, orientasi
baik
Merah muda
(pink) tanpa 02
4 ekstrimitas
bergerak

Dapat napas
dalam
Batuk
Kardiovaskular Tekanan darah
berubah <20%
Respirasi

1
Dapat
dibangunkan
Pucat atau
kehitaman perlu
02 agar Sa02
>90%
2 ekstrimitas
berrgerak
Napas dangkal
Sesak napas
Berubah 20-30%
Berubah 20-30%

0
Tak dapat
dibangunkan
Dengan 02 Sa02
tetap <90%
Tak ada
ekstrimitas
bergerak
Apnu atau
obstruksi
Berubah >50%

Berdasarkan skala pulih diatas, pasien pindah ke ruang perawatan biasa jika nilai
9 atau 10. Pada pasien kasus ini pasien dipindahkan dengan Aldrete Skore 10.

16

Anda mungkin juga menyukai