Anda di halaman 1dari 44

DOSEN

MATA KULIAH

: Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes


: Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Lanjut

T-2 MYCOTOXIN IN THE DIET


AND ITS EFFECTS ON TISSUE

Disusun Oleh:
KELOMPOK 7
UMMU KALSUM
NURRAHMA SRI FITAYANI
NAZIHAH MUKHTAR

P1803216004
P1803216008
P1803216023

PASCASARJANA JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


KONSENTRASI ILMU GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

ABSTRAK
Mikotoksin trichothecene adalah kelompok pada lebih dari 300 toksik,
dengan hanya menyebabkan beberapa efek samping pada manusia dan hewan.
Toksin T-2, trichothecene diproduksi oleh sepsis Fusarium, adalah lazim di
seluruh dunia yang terdapat pada tanaman sereal, minyak biji-bijian, serealmakanan yang mengandung, dan produk hewani seperti telur dan susu. Mirip
dengan trichothecenes lainnya, toksin T-2 stabil pada keadaan panas dan tidak
dapat dihancurkan oleh proses industri yang normal. Toksin T-2 adalah racun yang
paling ampuh diantara mikotoksin yang diketahui. Efek racun utama pada toksin
T-2 adalah menghambat sintesis protein, dimana timbul dari mengikat secara
langsung subunit 60S dari ribosom 80S. Penghambatan ini secara tidak langsung
memberikan efek terhadap sintesis RNA dan DNA. Efek dari toksin T-2 pada
hewan dapat berakibat akut atau kronis. Toksisitas akut dari toksin T-2 pada
hewan mengakibatkan turunnya berat, mual, muntah, sakit perut dan distensi,
diare, tinja berdarah, pusing, panas dingin, inflamasi, iritasi faring, kerusakan
sumsum tulang belakang, infertilitas, perubahan pada neurokimia otak, menolak
makanan, peroksidasi lipid. Namun, toksisitas T-2 kronis dapat menyebabkan
beberapa efek samping pada beberapa organ. Ini termasuk gangguan hematologi
seperti neutropenia, trombositopenia, anemia aplastik, berkurangnya jumlah sel
darah putih, peningkatan waktu pembekuan yang dapat menyebabkan masalah
koagulasi. Toksin T-2 yang tertelan menyebabkan edema pada periode yang
pendek dan sumbatan dalam jalur gastrointestinal; namun mengkonsumsi toksin
T-2 pada waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis intestinal ke epitelium
dan sel dasar pada jejunum dan ileum. Modulasi toksin T-2 pada sistem imun
dapat diwujudkan dengan penurunan aktivitas pada limfosit T dan B, menekan
produksi imunoglobin, dan gangguan aktivitas makrofag. Dilain pihak, tergantung
dengan dosis, rute, dan durasi pemberian, toksin T-2 dapat menstimulasi sisem
imun dan menggantikan produksi beberapa sitokin. Penghambatan protein, RNA,
dan sintesis DNA dipercaya bertanggung jawab pada penekanan stimulasi imun.
In vivo, toksin T-2 memodulasi perlawanan inang untuk bakteri tertentu. Sebagai
contoh, meningkatkan ketahanan inang untuk monositogen Listeria, sementara itu
menurunkan ketahanan atau resistensi pada Salmonella typhimurium dan tidak

memiliki efek yang jelas pada ketahanan inang untuk Mycobacterium bovis.
Modulasi sistem imun untuk beberapa patogen dapat mempengaruhi makanan
hewan untuk penyakit tertentu yang dapat menurunkan produktivitas dan dapat
meningkatkan periode pergantian mikroorganisme. Ini dapat meningkatkan
kerentanan pada hewan dan manusia untuk melakukan transmisi pada pathogen
tersebut. Disimpulkan bahwa kesehatan dan kesejahteraan dari hewan dan untuk
tingkat yang lebih rendah manusia dapat terancam oleh konsumsi dan asupan
makanan yang terkontaminasi toksin T-2. Oleh karena iu, ini akan menjadi
menarik bagi insinyur genetik tanaman pangan tahan terhadap Fusarium dan
untuk menemukan metode detoksifikasi racun tersebut.
PENDAHULUAN
Mikotoksin adalah metabolit sekunder molekuler berat rendah diproduksi
terutama oleh jamur yang berserat (filamentous fungi), terutama molds (Pestka
dan Bondy, 1990; Corrier, 1991; Charoenpornsook et al., 1998; Galvano et al.,
2001). Metabolit ini tidak mempunyai peran dalam pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya (DMello dan MacDonald, 1997; Husein dan Brasel,
2001). Lebih dari 300 mikotoksin terisolasi, hanya beberapa dari mereka termasuk
alfatoxins, ochratoxins, trichothecenes, tremorgenic toxins, dan alkaloid ergot
dianggap menarik karena mereka memiliki efek samping pada manusia dan
hewan. Ekologi, lingkungan atau faktor penyimpanan yang terlibat dalam
produksi toksin tersebut (Hussein dan Brasel, 2001).
Trichothecenes adalah kelompok pada lebih dari 180 alkohol atau
sesquiternoids ester yang diproduksi oleh Fusarium, Stachybotrys, Myrothecium,
Trichodema, Trichothecium, dan genus jamur lainnya (Kimbrough dan Weekly,
1994; Bondy dan Pestka, 2000). Sebagai tambahan, mereka bisa terisolasi dari
semak belukar Brasil Baccharis magapotomica dan Baccharis cordifolia
(Kimbough dan Weekly, 1994). Trichothecenes diproduksi oleh Fusarium,
termasuk toksin T-2, HT-2, deoxynivalenol (DON), nivalenol (NIV), zearalenone
(ZEN), fumonisins dan lebih dari 25 trichothecenes lainnya (Rosenstein dan
Lafarge-Frayssinet, 1983). Fungi Fusarium adalah organisme saprofit yang

tumbuh pada temperatur antara 2 dan 360C dan 0.88 Aw adalah umum bagi tanah
(DMello dan MacDonald, 1997; Thuvander et al., 1999; Creppy, 2002).
Semua trichothecenes mengandung ikatan olefinik pada C9 dan C10 dan
cincin epoksi pada C12 dan C13; meskipun, mereka memiliki karakteristik seperti
12, 13-epoxytrichothecenes (Rosestein dan Lafarge-Frayssinet, 1983; Steyn,
1995). Sebagai tambahan, mereka terbagi menjadi empat kelompok; A, B, C, dan
D dimana toksin T-2 dan HT-2 milik kelompok A (WHO, 1990; Bondy dan
Pestka, 2000). Toksin T-2, adalah trichothecenes stabil pada panas dan dianggap
sebagai senyawa beracun yang paling ampuh yang dihasilkan kapang, teutama
spesies Fusarium (Hayes et al., 1980; Yarom, 1986; Schuster et al., 1987;
DMello dan MacDonald, 1997; Bigrami et al., 1995; Creepy, 2002).
Gabungan komite ahli FAO/WHO pada adiktif makanan (JECFA) telah
mengestimasi asupan harian oleh toksin T-2 dan HT-2 menjadi 7.6 dan 8.7 ng/kg
massa tubuh (Sudakin, 2003). Meskipun demikian, maksimum sementara
toleransi asupan harian yang diperlihatkan oleh JECFA menjadi 60 ng/kg massa
tubuh (Sudakin, 2003; Schollenberger et al, 2004).
Intoksikasi atau keracunan pada hewan dengan toksin T-2 mengakibatkan
kehilangan berat, mual, muntah, iritasi faring, sakit perut dan distensi, diare, tinja
berdarah, pusing, panas dingin, inflamasi, kerusakan sumsum tulang belakang,
infertilitas, dan peroksidasi lipid (Tsuchida et al., 1984; Williams, 1989; Atroshi et
al., 1997; Creepy, 2002). Efek utama toksin T-2 adalah untuk memodulasi sistem
imun pada manusia dan hewan (Tai dan Pestka, 1988b). Paparan akut pada hasil
toksin T-2 dalam kerusakan parah untuk aktif membagi sel dalam jaringan seperti
tulang belakang, kelenjar getah bening, limfa, timus dan mukosa usus (Rosestein
dan Lafarge-Frayssinet, 1983; Bondy dan Pestka, 2000). Lebih jauh, toksin T-2
telah dilaporkan untuk menginduksi limfatik nekrosis atau atrofi, dan gejala
hematologi seperti anemia dan leukopenia (Atroshi et al., 1997). Morfologi dan
perubahan fungsi dalam membran juga telah diamati dalam jantung (Yarom et al.,
1983), sel darah merah (Segal et al., 1983), dan hati (Tremel dan Scinicz, 1984).
Pada hewan, dosis tinggi pada toksin T-2 (0.5-15 mg/kg massa tubuh)
menginduksi muntah, gastroenteritis, pneumonia, dermatitis, dan asupan pakan
berkurang (Muller et al., 1999).

Konsumsi trichothecene mikotoksin manusia mengarah pada beberapa tipe


mikotoksis, termasuk pencernaan racun aleukia, stachybotrytoxicosis, kanker
esophageal, akakabi-byo (keracunan biji-bijian kuning atau penyakit jamur
merah) (Steyn, 1995; Rio et al., 1997; Thuvander et al., 1999; Froquet et al.,
2001). Lebih lanjut lagi, dipercaya bahwa toksin T-2 pada level yang tinggi
menginduksi produksi dari interleukin-1-beta (IL-1) dan IL-6, dimana termasuk
dalam degradasi matriks tulang belakang (cartilaginous matrix) (Tian Fu et al.,
2001). Itu secara luas dipercaya bahwa toksin T-2 digunakan dalam yellow rain
warfare agent dieksploitasi di Vietnam dan Kamboja (Williams, 1989; Bilgrami et
al., 1995). Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Seeley dan Nowicke
(1985), mereka menyimpulkan bahwa hujan kuning merupakan feses lebah madu
dan bukan agen perang kimia atau toksin T-2. Tujuan dari bab ini adalah untuk
mengulas informasi sampai saat ini mengenai terjadinya toksin T-2 dalam
makanan dan efeknya pada hewan dan manusia.
SEJARAH WABAH TOKSIN T-2
Meskipun kasus pertama dari mikotoksin telah diidentifikasi dan
dilaporkan pada tahun 1960, tampak bahwa mikotoksin bertanggung jawab untuk
beberapa wabah penyakit sepanjang sejarah yang telah tertulis (Yiannikouris dan
Jouany, 2002). Dipercaya bahwa toksin T-2 bersama dengan ZEN bertanggung
jawab terhadap penurunan peradaban Etruscan dan terhadap krisis Athena, dimana
terjadi pada abad kelima (Yiannikouris dan Jouany, 2002). Sebagai tambahan,
dipercaya bahwa mikotoksin dalam kuburan Mesir kuno bertanggung jawab pada
kematian beberapa arkeolog dalam dua abad terakhir (Yiannikouris dan Jouany,
2002). Dalam sejarah, toksin T-2 dipercaya bertanggung jawab untuk beberapa
wabah mikotoksin di seluruh dunia. Meskipun agen toksin tidak pernah
dikonfirmasi, ini dipercaya bahwa toksin T-2 adalah agen yang bertanggung jawab
untuk pencernaan aleukia beracun, dimana dilaporkan menyebabkan kematian
pada ribuan manusia dalam bekas Uni Soviet diantara 1919 dan 1947 (WHO,
1990; Steyn, 1995). Wabah yang terjadi pada distrik Orenburg didekat Siberia;
10% dari populasi dalam distrik yang secara fatal berefek oleh konsumsi bijibijian yang dipanen tidak tepat waktu dan dihujani dalam periode waktu yang

lama, dimana jamur kemudian tumbuh dan memproduksi toksin T-2 dan
trichothecenes lainnya (Steyn, 199; Rio et al., 1997; Froquet et al., 2001). Gejala
utama leukopenia yang parah dengan deplesi sel imun, aplasia tulang belakang,
dan lesi inflamasi dan pendarahan pada saluran pencernaan (Yang et al., 2000).
Lesi nekrotik pada rongga mulut, esophagus, dan perut juga dilaporkan. Di Jepang
dan Korea, dalam periode antara tahun 1946 dan 1963, toksin T-2 diantara
mikotoksin lainnya merupakan penyebab penyakit yang disebut scabby grain
intoxication (biji-bijian berkeropeng yang beracun), dimana mempengaruhi baik
manusia maupun hewan. Meskipun demikian, tidak ada kasus fatal yang
dilaporkan (WHO, 1990).
Wabah yang sama dilaporkan di Kashmir pada 1987 dimana roti dibuat
dari tepung berjamur yang dinyatakan salah dalam suatu wabah. Dalam semua, 97
orang menunjukkan sakit perut, iritasi tenggorokan, diare, tinja berdarah, atau
muntah. Toksin T-2, diantara mikotoksin lainnya terdeteksi di dalam tepung,
ditemukan pada konsentrasi antara 0.55 dan 0.8 mg/kg (WHO, 1990). Wabah
terbaru dilaporkan oleh SPA-Associated Press pada 19 Februari 1993. Dilaporkan
bahwa toksin T-2 yang terkontaminasi pada gandum adalah penyebab pada 24
kematian dan penyakit pada beberapa ribu orang karena konsumsi gandum
berjamur di Tajikistan Selatan (Steyn, 1995). Toksin T-2 dan mikotoksin lainnya
juga terlibat dalam beberapa wabah penyakit pada hewan di seluruh dunia (Steyn,
1995).
STRUKTUR TOKSIN T-2
Toksin T-2, [3-hydroxy-4,15-diacetoxy-8-(3-menthylbutyryloxy)-12,13expoxytrichothec-9-ene] adalah anggota dari famili trichothecenes, termasuk
untuk toksin T-2, diacetoxyscirpenol (DAS), deoxynivalenol (DON, atau
vomitoksin), dan NIV. Toksin ini mengandung senyawa cincin sesquiterpene
ditandai dengan adanya ikatan rangkap pada C-9 dan C-10 dan cincin epoksi pada
C-12 dan C-13 (Gambar 7.1) (Hussein dan Brasel, 2001; Gutleb et al., 2002).
Meskipun demikian, toksin ini memiliki perbedaan konstituen pada karbon nomer
3, 4, 7, 8, dan 15 (Hussein dan Brasel, 2001). Diantara toksin ini, toksin T-2 dan
DAS adalah toksin yang paling berpotensi; keduanya larut dalam pelarut polar

(Williams, 1989; Faifer et al., 1992; Atroshi et al., 1997; Hussein dan Brasel,
2001). Daftar lengkap dari karakteristik toksin T-2 dipresentasikan pada Tabel 7.1.

Gambaar 7.1 Struktur toksin T-2 (Adaptasi dari Hussein dan Brasel, 2001)
MODE AKSI TOKSIN T-2
Sitotoksisitas T-2 telah dikaitkan secara langsung atau tidak langsung
dalam penghambatan yang ampuh pada protein, RNA, dan sintesis DNA dan
untuk kerusakan DNA seluler yang dihasilkan dalam radimimetic- seperti lesi
dalam limfoid, jaringan hematopoietik, dan saluran gastrointestinal (GIT) (Ueno,
1997; Corrier dan Ziprin, 1986a). Efek ini mungkin terkait dengan nukleus 12-dan
13-epoxytrichothecenes. Dalam sel eukariotik, inisiasi, elongasi, dan terminasi
sintesis protein terjadi pada ribosom dan membutuhkan transferase peptidyl
(Corrier, 1991). Lebih jauh lagi, pengikatan toksin T-2 dapat mengakibatkan
perubahan konfirmasi dalam ribosom itu sendiri, lebihh rentan terhadap degradasi
(Rosenstein dan Lafarge-Frayssinet, 1983) atau bisa mengakibatkan perpindahan
dari pengikatan molekul ribosom, sehingga menghambat sintesis protein (Shifrin
dan Anderson, 1999). Temuan ini didukung oleh Witt (1988), melaporkan bahwa
efek dari toksin T-2 adalah menghambat anisomisin, antibiotik yang berikatan
dengan ribosom menunjukkan bahwa toksin T-2 berikatan dengan subunit 60S
dari 80S ribosom untuk aktivitas dalam menghambat sintesis protein. Toksin T-2
juga dapat bereaksi dengan kelompok thiol enzim peptidil transferase diperlukan
untuk sintesis protein membuat mereka menjadi tidak aktif (Karppen et al., 1989;
Rizzo et al., 1994). Cundliffe et al. (1974) juga menunjukkan bahwa toksin T-2
disebabkan pemisahan oleh poliribosom, dimana gangguan inisiasi rantai
polipeptida menyebabkan penghambatan sintesis protein. Mitchison (1971) dan
kemudian

Thompson

dan

Wannemacher

(1990)

mengusulkan

bahwa

penghambatan sintesis protein secara tidak langsung menghambat sintesis DNA,

dimana diperlukan untuk menyelesaikan mitosis. Ini pada gilirannya menghambat


pembelahan sel yang menyebabkan radiomimetic- seperti efek dari toksin T-2.
Sebagai tambahan untuk menghambat sintesis membran sitoplasmik, toksin T-2
pada dosis yang tinggi menghambat sintesis protein mitokondria dengan mengikat
ribosom 70S (Pace et al., 1988).
Komunikasi interseluler diubah dan deregulasi kalsium juga mekanisme
yang mungkin untuk aksi toksin T-2 (Jone et al., 1987; Yoshino et al., 1996).
Toksin T-2 ditemukan berinteraksi dengan protein atau komponen lipid dari
membran;

oleh

karena

itu,

fluiditas

membran

diubah,

dimana

dapat

mengakibatkan transportasi membran terganggu dan fungsi seperti transport asam


amino dan nukleotida dan aktivitas glukosa dari saluran Ca-K (Bunner dan
Morris, 1998).
Tabel 7.1 Ringkasan informasi tentang toksin T-2
Sumber

Fusariuum sporotrichioides, F. poae, F. equiseti, F.


acuminatum, F. roseum, F. solani, F. tricintum, dan
Trichoderma lignorum

Formula molekuler

C24H34O9

Berat molekuler

466

Titik lebur

151-1520C

Kejadian

Jagung, beras, gula bit, gandum, gandum hitam, jelai, oats,


kacang polong, dan sereal lainnya-produk berbasis selain
pakan ternak dan produk hewani seperti telur dan susu

Kelarutan

Larut dalam pelarut polar, seperti kloroform, dietil eter,


etil asetat, dan aseton

Toksisitas

Akut,

kronis,

sitotoksik,

teratogenic,

embriogenik,

karsinogenik, dan mutagenik


LD50

Bervariasi tergantung pada rute pemberian dan spesies;


terendah adalah 0.7 mg/kg pada tikus diberikan IV dan 7
mg/kg pada tikus diberikan intragastrik

Gejala

Menyebabkan kehilangan berat badan, mual, muntah,


iritasi farangeal, sakit perut dan distensi, diare, tinja
berdarah, pusing, panas dingin, inflamasi, kerusakan

sumsum tulang, infertilitas, dan peroksidasi lipid


Transport elektron mitokondria juga menghambat toksin T-2 dengan
menekan aktivitas dehidrogenase suksinat (Khachatourians, 1990). Pada hati
tikus, aksi toksin T-2 melalui generasi radikal bebas, dimana menyebabkan
peroksidasi lipid (Sunja et al., 1984; Villa et al., 2002), atau dengan menginduksi
apoptosis pada organ dan jaringan limfoid.

TOKSISITAS TOKSIN T-2


Toksisitas toksin T-2 dan metabolismenya diukur dengan LD50, yang
merupakan jumlah yang dibutuhkan toksin untuk membunuh 50% dari hewan
laboratorium yang menerima toksin. Nilai LD50 berbeda antara spesies hewan
dengan perbedaan dipengaruhi oleh rute administrasi dan kerentanan hewan
terhadap toksin. Ketika toksin T-2, misalnya, diberikan kepada tikus melalui
inhalasi, efek dari toksin setidaknya 10 kali lebih besar dibandingkan hal tersebut
untuk administrasi sistematik dan 20 kali lebih beracun dibandingkan dengan
topikal administrasi (Sorenson, 1999). Tabel 7.2 menunjukkan LD50 dari toksin T2 untuk beberapa spesies hewan.
Toksin T-2 dianggap sebagai salah satu toksin yang paling berpotensi
diproduksi oleh jamur. Sebagai contoh, toksin T-2 adalah 421 kali lebih beracun
dibandingkan deoxynivalenol (DON), trichothecene yang umum telah banyak
dipelajari dan secara luas terdistribusi (Villa et al., 2002). Beberapa efek dari
racun dikaitkan pada toksin T-2; meskipun demikian, beberapa efek tersebut
terbukti tanpa keraguaan sedangkan yang lainnya hanya dugaan karena kurangnya
bukti

eksperimental

untuk

membuktikan

hubungan.

Imunosupresi

dan

sitotoksisitas, seperti efek dari teratogenik dan embriogenik, telah positif


dikaitkan dengan toksin T-2. Meskipun demikian, asosiasi yang jelas antara toksin
T-2 dan efek mutagenik dan karsinogenik menanti untuk investigasi lebih lanjut.
Toksin T-2 diinduksi untai tunggal kerusakan DNA dan minor
penyimpangan kromosom dalam sel ovarium hamster (CHO) (Norppa et al.,
1980; Lafarge-Frayssinet et al., 1983), tetapi tidak menginduksi terjadinya
penyimpangan nyata dalam toksin T-2 pakan hamster dalam 6 minggu. Meskipun

penyimpangan kromosom yang diamati, toksin T-2 tidak ditemukan mutagenik


untuk Salmonella typhimurium, Saccharomyces cerevisiae, atau Drosophila
(WHO, 1990). Meskipun demikian, toksin T-2 ditemukan pada teratogenik dan
embriogenik pada tikus, menyebabkan kematian ibu hamil yang signifikan,
kematian janin, penurunan berat janin, dan malformasi lainnya (Standford et al.,
1975; Hood, 1986; Rousseaux dan Schiefer, 1987). Sebagai tambahan, toksin T-2
adalah immunotoksin yang ampuh. Imunosupresi, sitotoksisitas, dan pertanyaan
bahwa itu adalah karsinogen akan dibahas nanti dalam Chapter ini.
METABOLISME DAN ELIMINASI TOKSIN T-2 PADA HEWAN
Toksin T-2 adalah hidroksilasi melalui microsomal P-450 esterase dalam
intestinal dan jaringan hepatic dari tikus, mencit, babi, sapi dan ayam (Kobayashi
et al., 1987). Itu dihidrolisis pada beberapa produk termasuk HT-2, tetraol T-2,
dan beberapa senyawa hidroksilasi lainnya seperti 3`-OH HT-2 toksin (TC3) dan
31-OH T-2 toksin (TC-1), dimana mengandung toksik yang lebih rendah
dibandingkan dengan toksin T-2 (Bergmann et al., 1988). Hidrolisis awal dari
toksin T-2 dan/atau hidroksilasinya untuk 3`OH HT-2 toksin menurunkankan
secara signifikan imunotoksisitasnya (Bondy dan Pestka, 2000). Trichothecenes
sepertii T-2, HT-2, triol T-2, dan metabolit lainnya lebih lanjut di detoksifikasi
oleh glukoronidasi, dimana memfasilitasi ekskresi lainnya, dan oleh pengurangan
dari kelompok epoksi yang bertanggung jawab untuk reaktivitas mereka
(Yiannikouris dan Juany, 2002). Selain itu juga, bakteri asam laktat tertentu
seperti Propionibacteria dan Bifidobacteria (digunakan pada produksi yogurt)
memiliki diding sel yang mengikat mikotoksin dan meminimalisir sifat racunnya
(Yiannikouris dan Juany, 2002). Oleh Karena itu, konsumsi yogurt khususnya
pada daerah yang makannya mengandung kontaminasi dengan toksin T-2 dan
mikotoksin lainnya dapat meminimalisir efek toksik mereka.
Tabel 7.2 Nilai-nilai dosis mematikan dari toksin T-2 yang diberikan kepada
hewan laboratorium dengan berbagai rute
Rute
Oral

Tikus
2.8-3.8

Intramuskula
r

2.2

Nilai LD50 (mg/kg)


Mencit
Kelinci
Ayam
3.6-5.25
5.0-5.2

1.1

Marmut
3.0-4.0
1.0

Babi
5.0
-

Intraperitonal

0.7-0.9

Intravenus

2.0

Subkutanus
Respirasi

1.0-2.0

1.21-3.0

1.0-2.0

3.3-4.3

5.3

6.4-8.0
-

7.0

Intragastrik

TERJADINYA MIKOTOKSIN PADA PANGAN DAN PAKAN


Sereal gandum dan produk olahan lainnya merupakan proporsi sebagian
besar makanan manusia dan hewan. Ketika temperatur dan kelembapan sesuai
untuk jamur tumbuh pada produk atau tanaman ini, baterai mikotoksin dapat
diproduksi. Spesies Fusarium seperti F. graminearum didistribusikan secara luas
melalui lingkungan dan dianggap kontaminan utama dari sereal karena mereka
adalah patogen utama tanaman sereal (biji-bijian). Kepala hawar gandum dan jelai
disebabkan oleh F. graminearum dan bulir busuk jagung dikenal sebagai penyakit
yang disebabkan oleh patogen ini (WHO, 1990; Placinta et al. 1999).
Mikotoksin yang berefek pada manusia dan hewan ditemukan terutama di
tanaman pascapanen sereal gandum dan dalam waktu yang lama sekali. Karena
mereka lipofilik di alam, mereka cenderung menumpuk di fraksi lemak dari
tanaman (Hussein dan Brasel, 2001). Toksin T-2 telah dilaporkan dalam berbagai
tanaman dan komoditi pertanian. Hal itu telah ditemukan pada gandum, jagung,
nasi, jelai, sorgum, oat, kacang-kacangan, kedelai, gandum hitam, kacang polong,
dan minyak safflower. Diantara tanaman ini, gandum, jagung, dan jelai terutama
terpengaruh karena mereka merupakan dua per tiga dari produksi sereal di seluruh
dunia (Miller, 1994; Mateo et al., 2002). Sebagai tambahan, toksin T-2 dan
metabolit toksin HT-2 ditemukan dalam proses produk sereal dari atas-disebutkan
sereal seperti produk bakeri, terutama roti dan biskuit (Schollenberger et al.,
2004). Yang menarik, bit dan serat bit juga ditemukan mengandung toksin T-2
pada konsentrasi mulai dari 4 sampai 425g/g (Bosch dan Mirocha, 1992). Toksin
T-2 juga masuk dalam cincin makanan melalui kontaminasi sereal dan makanan
lainnya meskipun penurunan pada konsentrasi karena proses dan fraksinasi dari
produk sereal (Schollenberger et al., 2004). Telur dan susu juga telah dilaporkan

terkontaminasi dengan mikotoksin sebagai hasil dari pemberian mikotoksinkontaminasi dari terkontaminasi pakan untuk ayam dan sapi (Galvano et al.,
2001). Meskipun demikian, level tinggi yang tidak biasa pada toksin T-2 telah
dilaporkan di India dalam dua komoditas pertanian; jelai dan kacang-kacangan
yang mengandung masing-masing 25 dan 38.9 mk/kg toksin (Tabel 7.3).

Tabel 7.3 Ringkasan kejadian alam dari toksin T-2 dalam komoditas pertanian
di seluruh dunia
Tanaman
Tepung

Level
(mg/kg)
0.003-0.249
0.013-0.63

Jelai

Negara

Ref.

Jerman

Curtui et al., 1998

Romania

Curtui et al., 1998

2.0-4.0

3/12

India

WHO, 1990

0.02-2.4

12/24

Poland

Placinta et al., 1999

WHO, 1990

Kanada

Charmley et al., 1994

25.0
Jagung

Insidensi

0.2-0.64

5%

0.5-5.0

5/150

Hungaria

WHO, 1990

0.08-0.65

9/118

Taiwan

WHO, 1990

0.01-0.2

13/20

Selandia Baru

WHO, 1990

0.04-0.8

2/20

Brazil

Placinta et al., 1999

22%

Argentina

Placinta et al., 1999

0.16-0.31

5/55

Kanada

Stratton et al., 1999

Oat

0.01-0.05

Finlandia

WHO, 1990

Kacang-kacangan

0.63-38.9

6/87

India

WHO, 1990

Sorgum

1.7-15

4/84

India

WHO, 1990

Gandum

Bit

0.004-0.425
U.S.
Bosch dan Mirocha, 1992
Produksi mikotoksin secara kuat terpengaruh oleh kondisi lingkungan

seperti kelembapan, kekeringan, aktivitas air (Aw), suhu, infestasi serangga, dan
interaksi mikroba (Mateo et al., 2002). Ditemukan misalnya, toksin T-2
diproduksi pada konsentrasi tinggi pada jagung dibandingkan dengan tanaman
dengan temperature rendah dan tinggi Aw sementara produksi toksin T-2 pada padi
disukai pada suhu yang rendah (260C) dan rendah Aw (Mateo et al., 2002).

Rata-rata, sekitar 25% tanaman pangan dunia menjadi terkontaminasi


dengan mikotoksin setiap tahun. Meskipun demikian, produk ini lebih parah di
beberapa daerah di dunia. Di India, dimana temperatur dan kelembapan
mendukung pertumbuahan jamur, mikotoksin disajikan dalam konsentrasi tinggi.
Sebagai contoh, dari 387 sampel sereal dicoba untuk mikotoksin, sekitar 51%
ditemukan terkontaminasi dengan satu atau lebih mikotoksin (Fink-Gremmels,
1999).
Di Eropa, sekitar 20% tanaman tumbuh untuk makanan atau pakan hewan
dilaporkan mengandung mikotoksin (Gutleb et al., 2002). Meskipun demikian,
toksin T2 dan metabolitnya, HT-2, dideteksi pada gandum pada level yang
rendah, masing-masing 0.003 sampai 0.25 dan 0.003 sampai 0.02 mg/kg. DON, 3ADON, dan ZEN juga terdeteksi dalam kombinasi dengan toksin T-2 dan
metabolitnya. Di Jerman, misalnya, toksin T-2 ditemukan pada level rendah 3-249
g/kg dalam sampel gandum sementara di Romania Barat toksin T-2 ditemukan
pada level yang lebih rendah 13 sampai 63 g/kg (Curtui et al., 1998). Di Poland,
jumlah yang lebih tinggi dari toksin T-2 dilaporkan. Dari 24 sampel jelai, 12
ditemukan mengandung jumlah yang tinggi dari toksin T-2 atau metabolitnya,
mulai dari 0.02 sampai 2.4 mg/kg (Placinta et al., 1999). Menariknya, toksin T-2
dan metabolit toksin T-2 berada dibawah batas deteksi di Asia, dimana bisa
disebabkan kurangnya metode yang akurat untuk deteksi dan kuantifikasi
(Placinta et al., 1999).
Yang mengejutkan, Amerika Utara dimana sebagian besar gandum di
dunia di produksi, gandum tidak secara berat terkontaminasi dengan toksin T-2.
Sebagai contoh, diantara 55 sampel gandum diuji di Kanada, hanya 5
terkontaminasi dengan toksin T-2 pada level mulai dari 0.16 sampai 0.31 mg/kg
dan dua sampel terkontaminasi dengan toksin HT-2 pada level dari 0.12 sampai
0.44 mg/kg (Stratton et al., 1993). Lebih jauh, sampel acak diambil dari gandum
di Kanada, hanya 4.9% di uji sampel jagung ditemukan terkontaminasi dengan 0.2
sampai 0.64 mg/kg dari toksin T-2 (Charmley et al., 1994).
Demikian pula pada prevalensi toksin T-2 di Amerika Selatan bahwa
gandum tidak tinggi. Di Brazil, diantara 20 sampel gandum diuji terdapat hanya 2
sampel gandum yang ditemukan mengandung antara DAS atau toksin T-2.

Meskipun demikian, kurangnya volume yang besar dari informasi pada


keberadaan toksin T-2 dalam makanan dan pakan dapat dikaitkan dengan fakta
bahwa masalah regulasi yang berkaitan dengan toksin ini tidak didefinisikan
dengan baik, seperti halnya pada alfatoksin dan DON (Placinta et al., 1999). Tabel
7.3 meringkas informasi dari terjadinya toksin T-2 di tanaman yang berbeda di
dunia.
DAMPAK TOKSIN T-2 PADA JARINGAN
Dampak pada Ketidaknormalan DNA dan Kromosom
Toksin T-2 menghambat sintesis protein, yang secara tidak langsung
berdampak pada produksi DNA dan RNA dan akibatnya menyebabkan
ketidaknormalan. Ketika toksin T-2 diberikan selama 6 minggu kepada tikus
albino, dilaporkan bahwa ini menyebabkan 2 tipe ketidaknormalan kromosom;
ketidaknormalan individu, seperti kerusakan, kerenggangan kromatid, formasi
cincin, dan fragmentasi yang luas pada kromosom, dan ketidaknormalan yang
mencolok. Ketidaknormalan yang mencolok adalah formasi polipoid dan
hipoploid, pelumatan, perlengketan, dan penggumpalan pada seluruh penyusun
kromosom.
Rosenstein dan Lafarge-Frayssinet (1983) melaporkan bahwa ketika toksin
T-2 diterapkan pada tikus, sintesis DNA dengan jelas telah dihambat pada limpa,
timus, dan sumsum tulang dalam kurun waktu yang sangat singkat. Sebagai
tambahan, sintesis RNA dan protein juga terhambat. Ini secara jelas
mengindikasikan kerentanan organ limfoid terhadap toksin T-2. Namun, dampak
ini berbalik setelah pembersihan racun dari dalam tubuh. Dampak penghambatan
ini telah dikaitkan dengan pengikatan toksin T-2 pada komponen subselular
seperti kelompok sulfhydryl dan ribosom atau penindihan aktivitas transfer
peptidyl, hingga mencegah permulaan pengikatan dan penguluran protein (Wang
et al., 1998b). Selain itu, DNA yang rusak akibat toksin T-2 dapat ditengahi
dengan peningkatan level ion kalsium intraseluler yang mentransdusi sinyal
aktivasi untuk endonuklease dan protease (Shokri et al., 2000). Selain
menghambat sintesis DNA dan protein, toksin T-2 memberikan torehan dalam

DNA dari sel limfoid dan hati, meskipun pada tingkat lebih rendah pada DNA di
sel hati.
Atroshi et al. (1997) melaporkan bahwa fragmentasi DNA meningkat
sebesar 71% dalam 4 jam pada pemberian toksin T-2 in vitro dan in vivo (dalam
sel-sel hati). Ditemukan pula bahwa pemberian antioksidan sebelum pemberian
racun mencegah fragmentasi ini. Vitamin C ditemukan untuk mengurangi efek
dari toksin T-2 yang menyebabkan kerusakan. Mekanisme perlindungan dari
vitamin C tidak dipahami. Namun, mungkin karena aktivitas antioksidan, yang
menurunkan pembentukan radikal bebas yang mungkin terlibat dalam kerusakan
kromosom Tabel 7.4 menunjukkan ringkasan dari efek utama toksin T-2 pada
jaringan.
Efek Toksin T-2 pada system sirkulasi
Beberapa gangguan hematologi telah dilaporkan pada hewan sebagai akibat
dari konsumsi toksin T-2. Di antara gangguan ini adalah neutropenia,
trombositopenia, anemia aplastik, dan anomali koagulasi (Johnsen et al, 1988;
Froquet et al, 2001). Gangguan ini bisa disebabkan oleh salah satu kerusakan
langsung sirkulasi sel darah atau perubahan hematopoiesis pada sumsum tulang di
tingkat proliferasi atau diferensiasi (Rio et al., 1997). Percobaan dilakukan
mengenai efek dari toksin T-2 pada eritrosit menunjukkan bahwa efek toksin T-2
tergantung pada asal-usul sel. Misalnya, eritrosit sapi lebih tahan terhadap
toksisitas T-2 dibanding eritrosit tikus, yang telah rusak parah akibat toksin.
Perbedaan dalam kerentanan terkait dengan perbedaan dalam komponen lipid dari
membran eritrosit terutama fosfatidilkolin dan sphingomyelin (Holt et al, 1988;.
Khachatourians, 1990). Dosis tunggal toksin T-2 yang diberikan kepada kelinci
menyebabkan penurunan hematokrit, sel darah putih (WBC) menghitung, dan
aktivitas serum alkali fosfatase; perpanjangan waktu tromboplastin parsial
teraktivasi

(APTT);

dan

peningkatan

waktu

pembekuan

yang

dapat

mengakibatkan perdarahan (Gentry dan Cooper, 1981), Namun, hematokrit


menurun hanya selama 2 hari dan kembali ke tingkat normal setelah hari ke-4.
Demikian pula, WBC menghitung serta APTT mulai kembali ke tingkat normal
pada hari 4 (Gentry dan Cooper, 1981).

Pemberian toksin T-2 selama beberapa minggu muncul untuk menimbulkan


efek mengerikan parah pada sistem peredaran darah. Hayes et al. (1980)
melaporkan bahwa ketika tikus yang diberi makan toksin T-2 hingga 6 minggu
mereka mengembangkan anemia normokromik dan normositik. Terjadinya jenis
anemia bisa disebabkan masa hidup pendek sel darah merah (RBC) tikus, yang
berkisar 65-20 hari, yang bertentangan dengan masa hidup RBC manusia yang
mencapai lebih dari 100 hari. Namun, jumlah RBC dipulihkan pada penarikan
toksin akibat diet, karena itu, membalikkan efek racun. Selain anemia, penurunan
volume corpuscular rata (MCV) selama periode asupan racun dan sedikit
peningkatan pada konsentrasi rata hemoglobin corpuscular (MCH) dan rata
konsentrasi hemoglobin corpuscular (MCHC) telah dilaporkan oleh Hayes dan
rekan kerjanya (1980). Makan babi diet yang mengandung 2 sampai 3 mg / kg
toksin T-2 mengurangi jumlah hematokrit dan RBC secara tajam. Kenaikan lebih
lanjut dalam jumlah racun yang diberikan menurunkan kadar leukosit dan
hemoglobin (Rafai et al., 1995). Namun. Pemberian toksin T-2 yang
berkepanjangan membatalkan efeknya seperti yang ditunjukkan oleh regenerasi
jaringan hemopoietic di mana granulopoiesis dan thrombopoiesis menjadi aktif
setelah 3 sampai 4 minggu sementara jaringan limfoid tetap habis (Teman et al.,
1983b). Toksisitas Akut T-2 tidak mempengaruhi pembentukan RBC, tapi paparan
kronis dapat menyebabkan efek hal tersebut (Rio et al., 1997). Selanjutnya, dosis
tunggal toksin T-2 menghasilkan kerusakan sementara, sementara dosis berulang
dapat

menghasilkan

kerusakan

yang

signifikan

pada

sel-sel

prekursor

hematopoietik (Faifer et al.1992).


Pada tingkat organ, ukuran limpa menurun di awal tapi meningkat lagi pada
akhir periode 6 minggu. Demikian pula ukuran liver meningkat selama pemberian
toksin sedangkan ukuran thymus menurun sepanjang seluruh percobaan (Teman et
al, l983b; Vila et al, 2002). Mekanisme dimana toksin T-2 menyebabkan efek ini
tidak dipahami dengan baik. Namun demikian, telah diusulkan bahwa
penghambatan baik sintesis protein ataupun DNA mungkin telah disebabkan oleh
penghambatan enzim yang diperlukan untuk sintesis deoksiribonukleotida (Hayes
et al, 1980).

Ketika toksin T-2 diberikan kepada babi melalui pernafasan, hal ini
menyebabkan perubahan pada sistem kardiovaskular dan perfusi jaringan seperti
yang ditunjukkan dengan penurunan suhu tubuh (Rotter et al., 1994). Young et al.
(1983) melaporkan perubahan dalam parameter serum darah mengikuti paparan
mikotoksin. Namun, tidak jelas apakah efek ini disebabkan toksin atau hanya
karena asupan pakan yang berubah. Juga, Rafai dan Tuboly (I982) melaporkan
peningkatan yang signifikan pada jumlah kortisol dalam plasma babi yang diberi
5 mg/kg dari toksin T-2. Peningkatan kadar albumin dan penurunan fraksi

globulin juga diamati di babi makan diet yang terkontaminasi dengan Fusarium
(Rotter et al., I994). Ketika babi diberi dosis tunggal 0,6-4,8 mg / kg dari toksin T2, dilaporkan leukositosis awal diikuti dengan penurunan neutrofil, jumlah Tlimfosit, MCV, jumlah RBC, dan konsentrasi hemoglobin (HB) dilaporkan (Rafai
et al., 1995). Temuan ini jelas menunjukkan hematopoiesis yang terganggu pada
babi tersebut. Namun, Friend et al. (1992), melaporkan hasil yang bertentangan
dengan temuan di atas. Mereka telah melaporkan bahwa babi yang diberi makan
hingga 8 mg / kg toksin T-2 menunjukkan tidak ada perbedaan dalam jumlah
leukosit, morfologi jaringan limfoid, MCV, hematokrit, atau konsentrasi HB.
Untuk mengukur efek dari toksin T-2 pada aktivitas erythropoietic dari
limpa dan sumsum tulang, radioisotope-besi diberikan kepada hewan setelah
pemberian toksin T-2 dan nasib isotop diikuti. Ditemukan bahwa awalnya
penyerapan dan penggabungan radioisotop ke dalam limpa, sel-sel sumsum
tulang, dan eritrosit yang sangat dihambat oleh toksin T-2 secara dosis terikat. Ini
bisa disebabkan oleh penurunan tajam dalam sel-sel sumsum tulang (Faifer et 211.
l992), Kegiatan erythropoietic di limpa cepat pulih sementara itu secara signifikan
tetap berkurang di dalam sumsum tulang (Velazco et al.1996;. Rio et al, 1997).
Perilaku ini dianggap karena migrasi progenitor dan sel induk dari sumsum tulang
untuk limpa selama fase pemulihan ini (Velazco et al., 1996). Selanjutnya, tikus
yang diberi diet yang mengandung 20 ppm dari T-2 toksin selama 6 minggu
mengembangkan hypoplasia sumsum tulang (Hayes ct al., 1980). Nekrosis
sumsum tulang juga dilaporkan pada marmut setelah menerima dosis toksin T-2
yang mematikan. Dalam eksperimen terpisah, marmut menunjukkan penurunan
sistemik tekanan darah dan denyut jantung (Cavan et al., 1988). Perlu dicatat di

sini untuk menekankan bahwa sumsum tulang tampaknya sangat sensitif terhadap
toksin T-2. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan lemak tinggi sumsum
dan sifat lipofilik dari toksin, yang memfasilitasi penyerapan dan konsentrasi
toksin (Froquet et al., 2001).
In vitro, toksin T-2 dan HT-2 ditemukan untuk menginduksi cytostaticity
kuat ditandai dengan penurunan jumlah progenitor sel darah besar (BFU-E) dan
peningkatan yang kecil. Selain itu, toksin T-2 adalah sitotoksik untuk
megakaryosit nenek moyang. Namun, kehancuran total dari sel-sel tidak diamati
dan tidak ada racun trichothecene yang menginduksi perubahan morfologi dalam
sel (Faifer et al, I992; Froquet et al, 2001.). Namun, itu tidak mengesampingkan
sepenuhnya bahwa paparan kronis toksin T-2 tidak dapat menyebabkan penipisan
parsial sel induk atau sel prekursor induk hematopoietik.
Trombosit dan semua faktor koagulasi lain kecuali fibrinogen juga
dipengaruhi oleh pemberian toksin T-2 untuk hewan atau sel hewan (WHO.
1990). Penelitian telah menunjukkan bahwa toksin T-2 bisa merusak fungsi
trombosit baik in vivo dan in vitro. Toksin T-2 terutama muncul untuk
menghambat agregasi platelet pada konsentrasi antara 5 dan 500

g / 109

trombosit pada tindakan dosis-tergantung bahkan di hadapan aktivator (WHO,


1990). Namun demikian, efek toksin pada agregasi platelet hanya terbalik dengan
menghilangkan toksin (Mizutani et al., 1997). Namun, mekanisme yang
sebenarnya dari efek T-2 pada agregasi platelet tidak diketahui. Berbeda dengan
studi di atas, Gentry (1982) melaporkan bahwa angka trombosit yang beredar
tidak terpengaruh oleh pemberian T-2.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian minyak mentah toksin T-2
untuk sapi, tikus, dan betis menyebabkan peningkatan waktu protrombin plasma,
peningkatan waktu pembekuan plasma dan produksi perdarahan di usus (Gentry,
1982; WHO, 1990). Pada saat yang sama, konsentrasi plasma fibrinogen
meningkat dalam 24 jam pertama pemberian toksin T-2, yang bisa mencerminkan
respon terhadap stres yang disebabkan oleh pemberian toksin (Gentry, 1982).
Faktor yang bertanggung jawab untuk peningkatan kejadian perdarahan
dapat menekan produksi protrombin, menghambat agregasi platelet (Ueno, l984),
atau kerusakan fisik langsung pada pembuluh darah (Schoental et al., 1979).

Asumsi lain adalah bahwa toksin T-2 bisa menghambat produksi protein termasuk
faktor koagulasi (Johnsen et al. l988). Faktanya. Gentry (1982) melaporkan bahwa
kegiatan plasma faktor VII, VIII, IX, X, dan XI pada kelinci yang meninggal
sekitar 40% pada 6 jam setelah pemberian toksin, yang mendukung asumsi di
atas, Selain itu Gentry (1982) melaporkan bahwa penurunan faktor plasma XI
mengarah ke APTT berkepanjangan, yang tercermin pada waktu koagulasi.
Ketika diuji pada nenek moyang trombosit manusia (CPU-MK), T-2 toksin
ditemukan menjadi sitotoksik pada konsentrasi 10-7 mol (Froquet et 211., 2001).
Selain itu, berfungsi sebagai antikoagulan seperti ditemukan mengurangi
koagulasi setelah 10 sampai 24 jam pemberian. Efek ini terlihat dari berkurangnya
baik protrombin dan inhibitor antitrombin III (Johnsen et 211., 1988). Fibrinolysis
juga dipengaruhi oleh toksin T-2 seperti nampak dari konsumsi antiplasmin
(Johnsen et.al, 1988).
Table 7.4
Ringkasan Dampak Besar Toksin T-2 pada Jaringan dan Organ
Jaringan

Dampak

Referensi

Kromosom

Kerusakan; kesenjangan kromatid; formasi


ring; framentasi polypoid dan hypoploid;
pembubukan; perlengketan; dan
penggumpalan seluruh materi kromosom.

Rosehstein and Lafarge


Frayssinet, 1983; Bilgrami
et.al., 1995

Sistem Pernafasan

Neutropeni;, trombositopenia; anemia


aplastik; anomali koagulasi; dan abnormalitas
hematokrit

Froquet et al., 2001,


Johnsen et al., 1988

Sistem Kardiovaskular

Hipoxia sistemik induksi-insufiensi jantung;


perubahan parag pada elektrodinamik dan
ultrastruktural; perluasan dan pembengkakan
pembuluh kapiler; perdarahan, syok
hipofolemik, keadaan syok seperti
hypotensive

Yarom et al., 1986, 1987b;


Borison et al.,1991

Kulit

Perluasan pembuluh darah; eritema dan


indurasi; formasi keropeng dan ulserasi;
infiltrasi seluler yang parah dan stagnasi
vaskuler; peningkatan jumlah sel mast; lesi
kulit; iskemik necrosis ke epidermis

Yarom et.al., 1987a; Cavan


et al., 1988; Albarenque
et.al., 1999

Sistem Reproduksi

Penurunan produksi testosteron; degenerasi


dan nekrosis sel spermatogenesis; keguguran

Fenske and FinkGremmels, 1990; Placinta


et al., 1999

Jaringan Limfoid

Peningkatan berat limfa; perluasan hati; atropi


timus; necrosis hati; peroksidasi lemak di hati

WHO, 1990; Velazco et al.,


1996; Dugyala and
Sharma, 1997; Vila et al.,
2002

GIT

Peningkatan ukuran perut, peningkatan


propulsi usus, induksi piknosis dan
karioreksis pada sel epitel dasar; ulserasi
mukosa intestinal, perdarahan, lesi pada
mukosa, hiperkeratosis dan hiperplasia pada
epitel bersisik

Hayes et al., 1980; Suneja


et al., 1984; Taylor et al.,
1989; Williams, 1989

Otak dan Sistem


Syaraf

Kerusakan kapiler endotel pada pembuluh


darah; pemasukan yang berbeda pada
triptopan dan tirosin ke otak; gangguan
metabolisme monoamin dengan menghambat
oksidasi monoamin; kesalahan posisi sayap;
kejang histeroid dan ketidakcocokan refleks
perbaikan; peningkatan dopamin; penurunan
norepineprin; perubahan metabolisme asam
amino; nekrosis perdarahan

Chi et al., 1981; Cavan et


al., 1988; MacDonald et
al., 1988; Wang et al.,
1998a,b

Sistem Imun

Kerusakan parah untuk mengaktifkan


pembagian sel di sumsum tulang, kelenjar
getah bening, limpa, timus, dan tambalan
Peyer; penurunan jumlah limfosit B- dan T-;
penolakan okulasi yang berkepanjangan,
meningkatkan sistem imun; menurunkan
produksi IgM, IgA, dan IgG; produksi sitokin
superinduksi; penghambatan respon stimulasi
mitogen pada limfosit B dan T;
petidakcocokan aktivitas dan proliferasi
phagocytic, penurunan CD3 dan CD19

Rosenstein et al., 1979;


Pestka dan Bondy., 1990,
1994; Smith et al., 1994;
Rafai et al., 1995; Islam et
al., 1998; Bondy dan
Pestka, 2000

Efek Toksin T-2 pada system kardiovaskular


Seperti darah yang membawa toksin T-2 ke seluruh organ melewati jantung,
tidak dapat dihindari bahwa jaringan jantung akan terpengaruh oleh toksin. Wang
et al, (l998b) melaporkan bahwa pemberian toksin T-2 pada tikus menyebabkan
hipoksia siskemik induksi insufisiensi jantung. Suntikan Ex vivo toksin T-2 dalam
hati tikus terisolasi yang diinduksi perubahan electrodynamic dan ultrastruktural
dalam 1 jam pemberian dengan pembuluh darah intramyocardial yang
mempengaruhi lebih daripada myofiber (Yarom dan Yagen, 1986). Pada 4 jam
setelah pemberian toksin, kapiler menjadi sangat melebar dan endothelium

menderita pembengkakan luas. Namun, tidak ada perdarahan terjadi tidak juga
pembuluh yang robek. Pada 24 jam kemudian, perubahan yang lebih patologis
diamati. Kapiler secara luas melebar dan lumen mereka mengandung sel-sel darah
merah dan beberapa puing membrane. Kerusakan lebih lanjut ke kapiler diamati
ketika mereka robek dan isinya tumpah keluar. Perdarahan juga diamati dalam
ruang interstitial di sekitar pembuluh kecil (Yarom dan Yagen, 1986). Borison dan
rekan (1991) melaporkan bahwa kucing meninggal karena shock hipovolemik
ketika diberi injeksi toksin T-2, racun itu menyebabkan perdarahan internal jelas
dari diare berdarah. Selanjutnya, mereka melaporkan peningkatan 70%
hematokrit, yang meningkatkan viskositas darah dan, karena itu, menurunkan laju
aliran, sehingga predisposisi hewan untuk hipotensi dan gagal jantung. Selain itu,
toksin T-2 mempengaruhi pusat pernapasan dan tekanan darah, menyebabkan
keadaan shocklike hipotensi. Kondisi ini bisa disebabkan oleh aksi enzim lisosom
disekresikan oleh neutrofil polimorfonuklear rusak oleh toksin (Yarom et al.,
1987b). Toksin T-2 juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin
dalam hati, mencapai nilai maksimum dalam waktu 12 jam setelah pemberian
dosis (Yarom et al, 1987b; MacDonald et al, 1988.). Perubahan morfologi tertentu
diamati pada membran aorta tikus yang diberikan dosis toksin T-2 berulang
(Yarom ct al, I983, 1987b; Schuster et al., 1987). Pengamatan ini lebih
mendukung spekulasi bahwa T-2 toksin dapat dianggap sebagai agen aterogenik
lingkungan (Yarom et al., 1987b).
Efek Toksin T-2 pada Kulit
Kulit adalah salah satu situs yang paling penting untuk toksin T-2 untuk
memberi efek yang merugikan. Mempelajari toksisitas T-2 melalui kulit sangat
penting sebab petani dan pekerja gandum bisa terkena racun ini melalui rute ini.
Pengaruh toksin T-2 melalui kulit dimulai beberapa menit setelah paparan dengan
ambang batas efeknya menjadi 0.5 mcg/cm2 (Sudakin. 2003). Namun, dibutuhkan
12 jam untuk dosis terkait peradangan yang ditandai dengan peningkatan jumlah
eritrosit dalam pembuluh yang melebar muncul (Yarom et a |, 19872; Cavan et al,
1988.). Kemudian, 24 jam kemudian, eritema dan indurasi kulit muncul dengan
peningkatan jumlah sel mononuklear di situs (Yarom et al, 1987a;.

Bhavanishankar et al, l988.), Kulit menunjukkan ulserasi dan pembentukan


keropeng 2 sampai 3 hari setelah pemberian dosis tinggi (sampai 100 Mg) dari
toksin T-2. Pada tahap ini lapisan subkutan menunjukkan infiltrasi seluler yang
parah dan stagnasi vaskular dengan peningkatan jumlah sel mast yang 40 sampai
70% tampaknya mengalami degranulasi. Selain itu, toksin T-2 juga ditemukan
untuk menginduksi lesi kulit, yang bisa menyebabkan kerusakan di pembuluh
kecil dermis dan subkutis. Kerusakan ini mengganggu pasokan oksigen ke
jaringan, menyebabkan nekrosis iskemik pada epidermis (Yarom et al, 1987a;
Albarenque et al 1999.). Pada tahap selanjutnya, bahkan otot-otot di bawah kulit
menjadi nekrotik dan infiltrasi dengan granulecytes polimorfonuklear (Yarom et
al., 1987a). Edema intracytoplasmic dan apoptosis telah juga dilaporkan
(Albarenque et al., 1999). Menariknya, ketika efek dari mikotoksin lainnya pada
kulit dibandingkan. Toksin T-2 adalah racun paling ampuh diikuti oleh DAS,
fusarenon D, dan butenolide, yang memiliki potensi terendah (Bhavanishankar et
al., 1988).
Pada kontak dengan kulit, alergen yang normal menyebabkan pembukaan
sejenis persimpangan antara sel-sel endotel melalui pelepasan histamin dan
serotonin. Namun, pada paparan toksin T-2, kegagalan pembukaan sambungan
tersebut menunjukkan bahwa toksin T-2 menghambat pelepasan kedua serotonin
dan histamin. Hal ini juga terlihat dari kegagalan obat antihistamin untuk
mencegah reaksi kulit (Yarom et al, l987a). Tampaknya pembuluh darah kecil dan
sel mast adalah target untuk toksin T-2; Namun, Alharenque dan rekan kerja
(1999) melaporkan bahwa tidak ada perubahan morfologi yang jelas dalam sel
mast. Ia telah mengemukakan bahwa toksin T-2 pada umumnya memberikan
efeknya dengan merusak sel-sel aktif membagi kulit melalui penghambatan
sintesis protein (Johnsen et al.1988).
Efek Toksin T-2 pada system Reproduksi
Sel yang aktif membagi di testis dan ovarium sangat rentan terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh toksin T-2 (Chang dan Mar, I988). Selanjutnya,
toksin T-2 ditemukan menurunkan produksi testosteron dari sel testis gerbil secara
dosis-tergantung. Selain itu, degenerasi dan nekrosis sel spermatogenetic telah

dilaporkan pada marmut (Fenske dan Fink-Gremmels, 1990). Toksin T-2 juga
telah terbukti dapat menyebabkan infertilitas pada babi. Dan bila diberikan secara
parenteral selama trimester terakhir kehamilan, hal ini menyebabkan aborsi dalam
waktu 48 jam (D'Mello et al., 1999).

Efek Toksin T-2 pada Hati dan Limpa


Hati, limpa, dan timus dianggap sebagai organ yang rentan untuk toksin T-2.
Otot dan hati muncul untuk mempertahankan jumlah yang lebih tinggi dari T-2
toksin untuk waktu yang lebih lama dari organ lain. Ketika babi diberi antara 0,4
dan 0,1 mg dititrasi timidin (3H) toksin oleh gavage lambung, retensi toksin oleh
organ tubuh setelah 18 jam bervariasi; otot dipertahankan 0,7%, hati tetap 0,29 ke
0,43%, sedangkan ginjal dan empedu dipertahankan 0,1% (WHO, 1990).
Demikian pula, jumlah tinggi toksin T-2 (1370

g/kg) itu pulih dari hati ayam

18 jam setelah injeksi intraperitoneal 3,5 mg/kg toksin (WHO, 1990). Tren ini
juga terlihat di beberapa hewan lain seperti sapi.
Ukuran organ vital muncul juga akan terpengaruh oleh pemberian toksin T2. Vila et al. (2002) melaporkan penurunan berat limpa setelah pemberian toksin
T-2, sementara berat hati meningkat. Peningkatan berat badan hati pada tikus bisa
saja berhubungan dengan peningkatan kadar lipid hati setelah pemberian toksin T2. Dan itu kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan tingkat metabolisme
lipid karena penghambatan sintesis lipoprotein (Meloche dan Smith, 1995).
Sebelumnya, Dugyala dan Sharma (1997) melaporkan peningkatan berat limpa,
terutama setelah pemberian dosis tinggi toksin T-2, dan penurunan berat badan
timus, yang terkait dengan penipisan kerucut dari thymocytes. Hati dan usus juga
mengembangkan nekrosis setelah pemberian toksin T -2. Hayes dan rekan kerja
(1980) melaporkan bahwa 11 dosis tunggal toksin dari T-2 yang menghasilkan 11
pengurangan mencolok dalam limpa dan berat timus: Namun, pemberian toksin
secara terus menerus nyatanya meningkat berat limpa. Ini tampaknya disebabkan
oleh hipoplasia awal di awal, dan efek kompensasi setelah paparan toksin terusmenerus pada limpa. Demikian pula, hipoplasia awal diamati di sumsum tulang

femur, tapi tidak ada efek kompensasi setelah kontak yang terlalu lama.
Akibatnya, aktivitas limpa erythropoietic dipulihkan dengan cepat sedangkan
sumsum tulang tidak kembali ke nilai normal sampai setelah periode 3 minggu
(Velazco et al., 1996).
Pada pemberian toksin T-2, kerusakan hati dapat dinilai dengan beberapa
perubahan biokimia yang terjadi pada pemberian dalam waktu singkat termasuk
pengurangan kapasitas obat-metabolisme hati (Meloche dan Smith, 1995). Selain
itu, peningkatan produksi SGPT (ALAT), aspartat aminotransferase (ASAT), dan
alkali fosfatase enzim (AP) telah lama digunakan sebagai indikator yang sensitif
dari penyakit hati, dengan AP sebagai yang paling sensitif (Johnsen et.al., 1988;
Atroshi et al, 2000). Selain enzim di atas, kegiatan peningkatan konsentrasi
glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan glutamat pyrovate transaminase
(GPT) pada hati merupakan indikator yang tepat mengenai kerusakan hati. Ketika,
misalnya, toksin T-2 diberikan untuk tikus, GOT meningkat sebesar 90% 6 jam
setelah pemberian sementara GPT meningkat sebesar 104% (Chang dan Mar,
1988). Sebaliknya, penurunan 19% di glutathione hati, penanda lain dari
kerusakan hati, diamati setelah pengobatan toksin T-2 (Atroshi et al., 1997).
Meskipun semua efek yang disebutkan dari toksin T-2 pada hati, hati tidak
dianggap sebagai target utama untuk racun karena memiliki kandungan
glutathione-S-transferase (GST) yang tinggi, yang mengkatalisis reaksi dengan
glutathione thiol di toksin T-2, sehingga mengurangi toksisitas (Chang dan Mar,
1988).
Toksin T-2 telah dilaporkan menginduksi sekresi jumlah tinggi epinefrin
dalam darah, menyebabkan shock syndrome (MacDonald et al., 1988).
Selanjutnya, pengobatan toksin T-2 meningkatkan peroksidasi lipid di hati seperti
yang ditunjukkan oleh peningkatan malondialdehid (MDA) konten dalam
homogenat hati (Vila et al., 2002). Pemberian antioksidan seperti vitamin E dan
CoQ10 memberikan beberapa perlindungan dari toksin T-2 dan kerusakan hati
dapat diminimalkan (Atroshi et al, I997; Vila et al, 2002).
Efek Toksin T-2 pada Saluran Pencernaan

Toksin T-2 adalah zat yang sangat lipofilik yang mudah diserap dari saluran
pencernaan (GIT) (Cavan et al, 1988), Sebagai inhibitor protein, toksin T-2
menyebabkan sitotoksik lesi radiomimetic- pada sel yang membelah dengan cepat
pada GIT (Corrier, 1991). Pemberian toksin T-2 pada tikus menyebabkan
peningkatan ukuran perut sendiri dan peningkatan propulsi usus yang berlangsung
selama 4 hari (Hayes et al., 1980). Efek pada propulsi itu diduga disebabkan oleh
peningkatan produksi prostaglandin dan eikosanoid dalam otak atau hanya dengan
perubahan dalam aliran darah mesenterika (Williams, l989). Selain itu, toksin T-2
menginduksi piknosis dan kaiyorrhexis dari sel-sel epitel crypt pada tikus dengan
usus kecil bersama ditandai dengan edema dan pembengkakan pada vili dan
necrotization dan ulserasi pada mukosa usus (Williams, 1989). Hiperemia mukosa
lambung, perdarahan, nekrosis mukosa superfisial, dan gastritis catarrhal yang
diamati pada kelinci yang secara oral diberikan 0.5 mg toksin T-2 / kg / hari.
Selain itu, asupan makanan sukarela mengalami penurunan sebesar 60 sampai
70% bahkan pada dosis toksin T-2 yang lebih rendah (Fekete et al., 1989).
Penolakan pada makanan adalah salah satu sindrom utama dari pemberian
toksin T-2 pada binatang dan burung. Penelanan toksin T-2 oleh hewan-hewan ini
atau burung menyebabkan muntah, bergantung pada dosisnya. Muntah yang
disertai pemberian toksin T-2 mungkin karena kerusakan atau iritasi mukosa
gastrointestinal. Konsumsi toksin T-2 untuk jangka waktu yang singkat pada sapi
dan babi juga menyebabkan edema dan hambatan di GIT tersebut. Namun,
konsumsi toksin T-2 untuk waktu yang lama menyebabkan nekrosis usus, yang
dikaitkan dengan peningkatan pelepasan enzim lisosom (Suneja et al, 1984;
Williams, 1989). Pemberian toksin T-2 pada babi juga menyebabkan kemacetan
dan perdarahan di lambung dan usus. Selain itu, nekrosis pada epitel dan crypt sel
dari jejunum dan ileum Apakah diamati (Williams, 1989). Di Turki, lesi di mulut
juga dilaporkan setelah paparan kronis toksin T-2. Selain itu, Taylor et al. (I989)
melaporkan bahwa pemberian toksin T-2 ke tikus menyebabkan berbagai lesi GIT
terdiri dari hiperkeratosis dan hiperplasia epitel skuamosa esofagus dan lambung
disertai dengan ulserasi dan edema.
Pengaruh toksin T-2 pada sistem transportasi di usus, enzim brush border
usus, dan enzim lisosom dipelajari pada tikus (Suneja et al., I984). Penyerapan

glukosa dan triptofan oleh segmen usus menurun tajam setelah pemberian makan
yang mengandung toksin T-2 pada tikus diet. Apalagi, aktivitas sukrase brush
border, laktase, dan (Nat-Kt) ATPase juga mengalami penurunan, yang secara
langsung mempengaruhi penyerapan gula dan asam amino. Menunjukkan
interaksi dari situs reaktif dari toksin T-2 dengan kelompok thiol dari enzim ini.
Namun, tidak ada pembebasan signifikan pada enzim lisosom asam fosfatase dan
ribonuklease asam (Suneja et al., 1984). Selain itu, pemberian toksin T-2
menginduksi beberapa perubahan morfologi di usus terutama pada konsentrasi
tinggi, Transportasi protein juga terhambat karena penurunan sintesis protein
ataupun interaksi langsung dengan kelompok epoxy dari toksin T-2 (Suneja et al.,
1984).
Efek Toksin T-2 pada Otak dan Sistem Syaraf
Toksin T-2 dikenal patogen ke sistem peredaran darah. Hal itu dapat
menyebabkan pelebaran dan pembengkakan pada sistem mikrovaskuler.
Kerusakan membran plasma, dan robeknya dinding pembuluh darah (Wang et al,
1998a). Sifat lipofilik mungkin mengganggu fungsi membran yang normal
termasuk transportasi asam amino mengubah melalui dinding darah-otak (Wang et
al., 1998b). Demikian pula kapiler endotel pembuluh darah di otak bisa rusak oleh
pemberian toksin T-2 atau itu hanya akan mengganggu integritas fungsional
dinding ini dengan mengubah pintu masuk triptofan dan tirosin ke otak (Wang et
al., 1998a, b). Di samping itu, hal itu dapat mengganggu metabolisme monnamine
di otak dengan menghambat sintesis monoamine oxidase, suatu enzim yang
memecah neurotransmiter (Wang et al., 1998b).
Ketika toksin T-2 diberikan ke ayam. Itu mengganggu pemosisian sayap
mereka, menyebabkan kejang hysteroid, dan gangguan meluruskan refleks (Cavan
et al, I988; Wang et al, l998a). Cavan et al. (1988) juga menunjukkan bahwa
dopamine

neurotransmitter

otak

meningkat

sementara

norepinefrin

neurotransmitter berkurang menyusul dosis toksin T-2. Namun, MacDonald et al.


(1988) melaporkan bahwa setelah dosis akut toksin T-2, norepinefrin tidak
terpengaruh sementara dopamin meningkat. Dalam studi lain, mereka melaporkan
bahwa babi yang diberikan toksin T-2 melalui rute intravaskular menunjukkan

peningkatan dramatis di kedua norepinefrin dan epinefrin konsentrasi. Chi et al.


(I981) juga melaporkan peningkatan norepinefrin di otak ayam 24 sampai 48 jam
setelah dosis akut toksin T-2. Mereka mengaitkan ini untuk penghambatan
dopamin-hidroksilase setelah pemberian toksin T-2. Sebagai tambahan, sebuah
penelanan akut toksin T-2 yang menghasilkan peningkatan tryptophan dan
serotonin dan metabolit asam 5-hidroksi-nya (5-HIAA), yang diikuti oleh
peningkatan bertahap dalam tingkat dopamin sementara metabolit asam 3,4dihydroxyphenylacetic-nya (DOPAC) menurun (MacDonald et al., 1988).
Tampaknya metabolisme pengubahan asam amino mungkin menjelaskan
gangguan yang diamati pada neurokimia otak. Alasan yang mungkin lainnya
untuk perubahan konsentrasi neurotransmitter mungkin disebabkan oleh
penghambatan sintesis monamine oksidase, yang mengoksidasi serotonin, oleh
karena itu, mengangkat konsentrasi.
Konsentrasi tinggi dari serotonin dan triptofan diyakini bertanggung jawab
atas kehilangan nafsu makan dan, juga penolakan makanan pada hewan yang
terkena toksin T-2 (Cavan et al, I988; Meloche dan Smith l995.). Manipulasi asam
prekursor amino dalam diet, mungkin, karena itu memberikan dasar untuk
mengatasi penolakan pemberian pangan pada hewan. Misalnya, memperkenalkan
diet yang mengangkat asam amino (misalnya, leusin) yang bersaing dengan
transportasi

triptofan

melalui

penghalang

otak-darah

akan

mengurangi

transportasi triptofan dan atau mungkin mengurangi rasio triptofan untuk asam
amino netral besar di otak. Hal ini, pada gilirannya, mengurangi produksi
serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) dan metabolitnya 5-HIAA (Cavan et al,
1988; Meloche dan Smith, 1995).
Toksin T-2, selain mempengaruhi neurotransmitter di otak, mempengaruhi
tingkat eikosanoid plasma karena menginduksi peningkatan sementara rilis 6ketoprostaglandin F (PGF) dan tromboksan B2 (TxB2) dari korteks otak
(Shohami dan Feuerstein, 1985). Sebagai tambahan, pelepasan prostaglandin E2
(PGE2) meningkat pada korteks dan hipotalamus secara dosis-tergantung. Ini
mungkin merefleksikan peningkatan proyek arakidonat bersamaan dengan
peningkatan aktivitas PGE2. Di sisi lain, prostasiklin dan tromboksan A2
tampaknya tidak akan terpengaruh setelah aplikasi jangka pendek dari toksin T-2

(Shohami dan Feuerstein, I985). Selanjutnya, suntikan akut padat toksin T-2
langsung ke otak tikus menyebabkan hemoragik nekrosis pada jaringan otak
dengan membentuk prostaglandin intrinsik yang mungkin bertanggung jawab atas
kerusakan (Bergmann et al., 1988).
Efek Toksin T-2 Pada Lipid Peroxida
Lipid Peroxida didefinisikan sebagai serangan dari ikatan-ikatan tak jenuh
dari membrane fospolipid oleh reaktif tinggi asam lemak hidroxil poli tak jenuh
radikal bebas (Hochler et al., 1988; Atroshi et al., 2000). Telah diduga bahwa
toksin T-2 telah mengambil lapisan membrane sebagai suatu analog untuk
kolestrol dimana keduanya memiliki perubahan muatan pola perubahan
elektroporosis yang sama (Khachatourians, 1993). Sekali mengambil dari lapisan
ganda toksin T-2 dan metabolitnya menginduksi lipid peroxidasi dengan cara
menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada membrane sel
(Leal et al., 1999). Kebanyakan dari radikal bebas dicari oleh glutation, sebuah sel
antioksidan; bahaimanaun juga, ini dipercaya bahwa toksin T-2 mengikat
kelompok-SH pada antioksidan ini, maka dari itu, mengurangi kapasitasnya untuk
mengecilkan kerusakan sel yang diberikan oleh radikal bebas ini (Ueno dan
Matsumuto, 1975).
Liver sebagai alat detoksifikasi dalam tubuh (Schuster et al., 1987)
mempunyai sistem pertahanan antioksidan yang rumit yang dapat memetabolisme
dosis yang biasa dari toksin. Bagaimanapun juga, pada dosis toksin T-2 yang
tinggi, liver yang mati dan merusak jaringan lain seperti limpa, sumsum tulang,
timus, dan ginjal tidak dapat dihindari (Shokri et al., 2000). Pemasukan toksin T-2
mengarah kepada penigkatan yang menonjol dalam senyawa reaktif asam
tiobarbituri (TBARS) dalam liver menyamakan pada toksin T-2-tikus percobaan
(Tsuchida et al., 1984). Kegiatan dari beberapa enzim hepatic seperti katalase,
super oksida dismutase, sitokrom P-450 dan GST telah diperlihatkan secara nyata
sebagai hasil pada lipid peroxidasi terinduksi oleh pemasukan pada toksin T-2
(Rizzo et al., 1994)
Sebagai tambahan, Risso eet al (1994) telah melaporkan peningkatan
sebanyak 79% dalam konsentrasi pada TBARS pada tikus percobaan yang diberi

toksin T-2 dan diberikan suplemen antioksidan berupa selenium dan vitamin E.
Bagaimanapun juga, ketika tikus percobaan diberikan jumlah toksin T-2 yang
sama tapi tanpa antioksidan, konsentrasi TBARS meningkat sampai 268%. Hal ini
menginterpretasikan sebagai indikator keberadaan produk lipid peroksida seperti
2-alkenal, 4-hidroksil alkenal, dan malondial (MDA), yang mana telah dilaporkan
ada pada liver setelah pemaparan akut toksin T-2 (Karrpanen, 1989; Rizzo et al.,
1994; Leal et al., 1999; Guerre et al., 2000). Sejalan dengan peninkgatan TBARS,
terdapat pengurangan Hepatic Glutation (GSH) (Leat et al., 1999). Segal et al.
(1983) juga melaporkan bahwa toksin T-2 merangsang lipid peroksida pada liver
tikus. Bagaimanapun juga, Schuster dan Co-worker (1987) melaporkan hasil yang
kontradiksi, dan mereka menyimpulkan bahwa jumlah asam thiobarbituri tidak
meningkat setelah merawat tikus mereka dengan toksin T-2, Maka dari itu,
keraguan mengenai peran toksin T-2 pada lipid peroksidasi. Penulis-penulis
diatas, bagaimanapun juga, menggunakan metode subjektif yang mengukur
perkembangan gas hidrokarbon atau TBARS. Mencari penanda lain yang
mungkin memberikan data yang dapat diandalkan mengenai peran toksin T-2 pada
lipid peroksidasi, Vila et al (2002) mempelajari keberadaan MDA dalam liver
tikus menggunakan metode HPLC yang akurat dan melaporkan bahwa tingkat
MDA selalu lebih tinggiuntuk tikus yang diberi toksin daripada control (Gambar
7.2). Lebih lanjut, tingkat MDA berbanding terbalik berhubungan dengan jumlah
vitamin E dalam diet (Gambar 7.3). Ketika mempelajari efek toksin T-2 pada sel
ragi Hochler et al. (1998) melaporkan 51% penurunan dalam sintesis protein
seiring dengan penambahan 100 % pada jumlah MDA yang diproduksi oleh
dekomposisi pada lipd peroksida. Sebagai tambahan

Gambar 7.2 Isi MDA pada hati dari tikus diberikan secara oral dengan 6.25 mg/kg
massa tubuh ( ) dibandingkan dengan isi MDA pada hati tikus
control

Gambar 7.3 Efek suplemen vitamin E pada diet (60 atau 500 IU/kg diet) dan dosis
toksin T-2 pada tikus (0, 1, 2, 3, atau 4 mg/kg berat badan untuk
setiap kelompok) pada MDA hati ditentukan selama 48 jam setelah
pemberian toksin (bar menunjukkan sdt 4 tikus/perlakuan)
EPR penelitian perangkap putaran menunjukkan bahwa produksi radikal
bebas telah meningkatkan pada toksin dan vitamin E itu secara efektf
memadamkan signal EPR pada adisi putaran. Penelitian ini lebih lanjut
menyarankan toksin T-2 merangsang lipid peroksidasi dengan cara meningkatkan
produksi radikal bebas (Hoehler et al., 1998). Bagaimanapun juga, lipid
peroksidasi mungkin bukan satu-satunya mekanisme induksi toksin T-2. Dalam
beberapa kasus produksi radikal bebas mungkin menjadi cadangan awal
mekanisme toksin dari toksin T-2.
Perawatan antioksidan dapat secara signifikan mengurangi induksi toksin T-2 lipid
peroksidasi. Licopen, sebuah pigmen karoten merah (antioksidan) ditemukan
berlimpah pada tomat (lebih dari 50 mg/kg) yang menampilkan aktifitas
pemadaman oksigen, dan leutin, sebuah reaktif antioksidan yang tinggi,
ditemukan untuk mengurangi efek sitotoksik pada toksin T-2 dalam percobaan
hewan (Leal et al, 1999: Atroshi et al., 2002). Hal ini jelas dari tingkat enzim GSH
yang lebih tinggi terdeteksi ketika toksin T-2 diberikan dala penggabungan dengan
likopen daripada dengan T-2 sendiri (lealet al., 1999). Selenium dan vitamin E dan

vitamin C adalah juga antioksidan yang mengurangi atau bahkan menghilangkan


efek toksin T-2 melawan kerusakan membrane dengan cara bertindak sebagai
pencari radikal bebas (Atroshi et al., 1995; Hoehler et al., 1998; Vila et al., 2002).
Beberapa mitotoksin lain mungkin bekerja selaras dengan toksin T-2 dalam
menginduksi lipid peroksidasi. Lipid peroksidasi, sebagai contoh, telah
ditingkatkan ketika toksin T-2 diberikan denganokratoksin A (OTA), sementara
ketikan DON dan OTA diberikan bersama menghambat lipid peroksidasi (Muller
et al., 1999). Data ini secara kolektif mengindikasikan peran toksin T-2 dalam
formasi radikal bebas. Walaupun pelaporan pada induksi lipid peroksidasi oleh
toksin T-2, yang lain (Schuster et al., 1987) telah melaporkan tidak ada efek dari
trikosenes pada lipid peroksidasi.
IMMUNOMODULATION pada toksin T-2
Menelan toksin T-2 dapat menyebabkan sindorom klinik yang mencakup dari
ketoksinan fatal akut dari itu sampai kepada sindrom

ancaman tidak hidup

sebagai angka pertumbuhan yang lambat atau hanya kemerahan pada kulit karena
paparan. Immonusuppression salah satu sindrom yang terjdi setelah menelan
tingkat terendar dari toksin T-2, dimana mempengaruhi kesejahteraan manusia dan
hewan dan mengubah ketahanan menjadi pathogen. Mycotoksin dimasukkan
keimmunosuppression dapat mempengaruhi baik secara humoral atau komponen
sell dari system imun.
Toksin T-2 telah diketahui menyebabkan kerusakan parah sampai secara aktif
membagi sel dalam sumsum tulang, kelenjar getah bening, limpa, timus dan
Peyers pathes (Pestka dan Bondy, 1990, 1994: Bondy dan Pestka. 2000; Rafai et
al., 1995). Kerusakan yang luas ini dipercayai merujuk kepada awal penekanan
pada sintesis protein sebagai kesimpulan dari kekurangan 14 C
Dan penggabungan leusin menjadi sirkulasi protein dalam serum pada perawatan
toksin pada tikus (Thompson dan Wannemacher, 1990). Sebagai tambahan raun T2 ditemukan sebagai penyebab pengurangan dalam sirkulasi jumlah dari B dan T
limposis sebagaimana sirkulasi immunoglobulin (IgG) dan immunoglobuline M
(igM) tingkat antibody (Islam et al., 1998). Sensitifitas ekstrim pada organ limfoid
dapat ditandai akan kehadiran hanya jumlah minimal enzim detoksifikasi seperti

perpindahan glutathione atau merujuk kepada kehadiran penerima untuk toksin ini
pada permukaan sel dalam organ ini (Rosenstein and Lafarge-Frayssinet, 1983).
Rafai et al (1995) melaporkan bahwa injeksi intravenous tunggal (IV) sebanyak
1.2 sampai 4.8 mg/kg toksin T-2 mengakibatkan kematian massal pada semua
jaringan limpoid pada babi. Bahkan dasis sebanyak 0.6 mg/kg toksin T-2 cukup
untuk menyebabkan kematian pada beberapa sel di limpa, tonsil, kelenjar getah
bening. Kerusakan ini menyebabkan atropi pada jaringan limpoid ini terutama
jaringan timus dalam beberapa laboratorium hewan, ternak, dan domba (Hayes et
al., 1980; Tomar et al., 1988; Corrier, 1991). Smith et al. (1994) melaporkaan
tingkat rendah dari toksin T-2 menurunkan sel timat dengan penundaan pada
perbedaan timt dan kematangan bergantung pada dosis, sementara dosis toksin
yang tinggi mengakibatkan pelapisan timat yang parah. Mereka juga melaporkan
sel hematopoietic liver pada janinsepertinya menjadi target untuk toksin T-2,
dimana berkontribusi kepada timic atropi; bagaimanapun juga pada tahap dewasa,
toksin menargetkan sel-B pada sumsum tulang belakang. Hal ini jelas dari
penurunan dalam sel sumsum tulang belakang (70%) berdasarkan paparan toksin
T-2 (Smith et al., 1994). Sel limpa juga terpengaruh dengan pemasukan toksin T-2
dengan penurunan sel B sebanyak 74% pada hewan control, seiiring, Holladay et
al *1993) mendokumentasikan toksin T-2 masuk kedalam plasenta janin dan
menyebabkan atropi janin timat dan penurunan imun, yang dimana dipercaya
telah terjadi tingkatan terdahulu.
Toksin T-2 juga memberikan efek yang sama pada bursa faricus. Limpa
dan jaringan timus pada ayam dan kalkun. Ketika toksin T-2 dimasukkan ke babi,
ukuran lobules and lebar lobular korteks pada timus ditemukan berkuran dalam
sikap bergantung dosis 9Rafai et al 1995). Sebagai tambahan, penurnan ukuran T
dan B bergantung pada area bulir putih limpa jelas sebagai ukuran limpah
berkurang secara signifikan. Hasil ini sepertinya sesuai dengan sebelumnya
dilaporkan oleh Smith et al (1994). Ini telah diduga bahwa cedera induksi toksin
T-2 terhadap sistem imun yang disebabkan oleh apoptosis, yang menyebabkan
tanda penurunan pada kedua populasi B dan T limposit, danatropi terjadi dalam
jaringan limpatik (Nagata et al., 2001). Penolakan cangkok berkepanjangan juga
diamati dalam tikus diikuti dengan perawatam (Rosesnstein et al., 1979). Sebagai

tambahan, Pestka dan Bondy (1994) dan Islam et al (1998) melaporkan


pemaparan kronik toksin T-2 menekan system imun, meskipun merusak
mekanisme pertahanan tumor, menyebabkan pertumbuhan kanker tertentu tidak
akan tumbuh.
Efek penekanan imun dari toksin T-2 dipercaya dapat disebkan oleh
penghambatan sintesis protein dan karenanya RNA dan DNA secara luas
digambarkan pada atropi organ limpah (Thuvander et al., 1999). Dalam percobaan
in vitro. Mekancha-Dahel et al (1990) melaporkan bahwa toksin T-2 menghambat
sintesis DNA dalam peripheral darah limposis. Mekanisme yang mungkin lainnya
yaitu hubungan toksin T-2 immunomodulation mungkin terjadp melalui
hipotalamik pituitary aderanl (HPA) (Taylor et al., 1998). Dalam mekanisme ini,
dimaksudkan bahwa pemasukan toksin T-2 sebanyak 2.5 mg/kg menyebabkan
ulserasi dan gangguan nonglandular gastric mucosa mengasilkan dalam limposis
difiltrasi, epithelial prolifer, dan hyperkeratinization. Mungkin mengarahkan
untuk penyerapan endotoksin yang memicu stimulasi pada HPA axis. Ini
mengubah penurunan level darah pada sirkulasi epineprin, norepineprin, dan
kortikosteroid (hormon yang berhubungan dengan stress), yang diketahui
menyebabkan involusi timat. Yang mengajak untuk adrenokortikal hiperfungsi
dan penurunan respon anti boi T, dengan demikian modulasi respon imun (Taylor
et al., 1989).
Sealiknya toksin T-2 dimasukkan ke immonusppression, dosis rendah pada
toksin T-2 dapat ditingkat ke system imun. Otokawa et al (1979) menunjkkan
bahwa peningkatan jenis hipersensitifi yang tertunda untuk sel darah merah
domba (SRBC) pada tikus, yang dapat jatuh kepada efek toksin T-2 pada tekanan
sel yang mengatur respon mediasi sel. ini juga meningkat terhadap respon
blastogenik limposit T dan B dan produksi pada IL-1 dan IL-2. Sebagai tambahan
lain, pada kasus tertentu toksin T-2 meningktakan system imun karena gangguan
hipersensitifitas dan autoimun (Pestka dan Bondy, 1994). Efek pada toksin T-2
kepada humoral keduanya dan system imun selular benar-benar dibahas pada
bagian berikut.
Efek Toksin T-2 Pada Imun Humoral

Toksin T-2 dipercaya untuk apoptosis diinduksi dalam organ produksi


antibody, yang mana pada akhirnya mengarah ke atropi mereka. Atropi ini
mempengaruhi respon imun humoral dikarenakan penurunan pada produksi IgM,
IgA, dan IgG, dimana pada gilarannya, mengganggu system imun pada mamalia.
Bagaimanapun juga, hal ini tergantung pada dosis dan rute dari suntikan, toksin T2 ditemukan dapat memacu rangsangan atau penekanan humoral imun. Respon
humoral Imun pada babi yang diberi makan toksin T-2 diperoleh hasil signifikan
rendah daripada kelompok kontrol babi (Rafai et al., 1995). Mengulang
Intraperitonial (IP) dosis pada rcun T-2 pada tikus menurunkan T-limfosit
tergantung respon antibody kepada SRBC, serum kuda, atau Escheria coli
sementara T-limfosit bergantung pada respon antibody kepada antigen E. Coli
tidak berubah (Tomar et al.,1988; Pestka dan Bondy, 1990; Rafai et al.., 1995).
Rosesntein dan kelompoknya (1981) juga melaporkan penurunan T-limfosit
bergantung pada respon atropi timus pada tikus yang terkena toksin T-2 tapi, tidak
seperti yang lain (Tomar et al., 1988; Pestka dan Bondy, 1990; Rafai et al., 1995),
mereka meneliti sebuah peningkatan pada T bergantung terhadap respon antigen.
Pengamatan mereka menunjukkan toksin T-2 tidak berefek langsung pada sel B,
sebaiknya itu mengarahkan penekanan pada sel T. Demikian pula, makrofag
bukan target pada toksin T-2 (Dugyala dan Sharma, 1997).
Toksin T-2 juga berefek pada limpa dan jumlah sel produksi antibody.
Tomar et al. (1988) menunjukkan bahwa ketika tikus diberi 15 ppm toksin T-2
mereka mengalami penurunan berat badan dan jumlah total pada sel limpa.
Akibatnya, respon antibody mengalami peningkatan dibandingkan dengan
kontrol. Sebaliknya, Cooray dan Lindahl-Kiessling (1987) dan Later Bondy dan
Pestka (2000) melaporkan bahwa tikus yang diberikan toksin t-2 melalui mulut
sebanyak 0.75 mg/kg/hari dalam 21 hari menunjukkan peningkatan dalam
produksi sel antibody dalam limpa, yang mana dianggap terutama produksi sel
isotope IgA. Ini bisa jatuh temph kepada induksi super pada T-helper 2 sitokin
(Pestka dan Bondy, 1994). Penurunan dalam produksi IgA dianggap signifikan
mencapai 40% pada seseorang yang mempunyai glomerulus dan perkiraan 10%
memerlukan dialysis ginjal telah dilaporkan peningkatan titers dari IgA (Pestka
dan Bondy, 1990). Pengamatan ini bisa menjelaskan insiden tinggi pada gagal

ginjal di beberapa bagian di dunia; bagaimanapun juga, penyelidikan rinci ini


menjanjikan.
Menariknya, ketika toksin T-2 coadministered dengan OTA, respon
humoral pada binatang untuk anitegn lubang lunci limpet (KLH) tidak
dipengaruhi oleh kombiasi (Muller et al., 1999) menunjukkan bahwa OTA dan
toksin T-2 memiliki efek antagonis. Bagaimanapun juga kombinasi pada toksin T2 dengan OTA dan DON menurunkan fagositosis dan apoptosis, peningkatantidak
melebihi efek untuk OTA itu sendiri, menunjukkan mekanisme yang terpisah satu
sama lain (Muller et ak., 1999).
Efek Toksin T-2 Dalam Imunitas Seluler
Efek yang serupa pada toksinT-2 dalam respon imun humorial, eksposur
toksin T-2 meningkatkan penaekanan B dan T-imfosit mitogen profilera
bergantung pada sikap dosis (Berek et al., 2001). Toksin T-2 muncul
mempengaruhi sebagian besar fungsi sel-T dan penundaan jenis hipersensitifitas
sebagai jelas dari histokompabilitas utama (MHC) menampilkan antigen kelas II
(Shokri et al.,2000). Sebagai tambahan, organ imfoit muncul menjadi target toksin
T-2 dari diri. Sebagai contoh, ukuran timus menurun sebesar 48% pada hewan
percobaan dengan toksin T-2. Sebuah tanda penipisan limfosit dalam timus dan
limpa juga diteliti (Corrier dan Ziprin, 1986)
Hal ini juga menunjukkan bahwa toksin T-2 menghambat respon
rangsangan mitogen keduanya B dan T limfosit pada konsentrasi penghambat
(IC50) pada I.5 ng/ml dalam imfosit manusia. Dari trichotecenesis lain, DAS IC50
pada 70 ng/ml dan DON IC50 pda 140 ng/ml. Toksin T-2 menunjukkan nilai
setidaknya 50 kali lebih toksin daripada DAS 100 kali lebih betoksin dari pada
DAN.
Toksin T-2 mengganggu aktivitas fagosit dalam beberapa perbedaan
hewan kecil dan besar. Hal ini menunjukkan dalam percobaan in vitro dengan
mengganggu migrationchemotaxis tes dan atau fagosit pada mikrofag dan sel
polimorphonuklear disebagaian mamalia termasuk didalamnya manusia (Dugyala
dan Sharma, 1997). Sebagai tambahan, dosis tinggi toksin T-2 (0.5 sampai 15

mg/kg) disebabkan penenkanan dari fagosit dan limfosit profiliferon (Muller et


al., 1999).
Respon plastogenik pada leukosit menstimulasi dari anitigen homologus
psitohemaglutin dan konkaalin-A menurun secara signifikan pada babi yang
memakan toksin T-2 selama 7 hari (Rafai et al., 1995). Jumlah toksin T-2
diperukan untuk menghambat limfosit blastogenesis (profilerasi) ditemukan
sedikitnya 10 menit dari jumlah yang dibutuhkan untuk menghambat sintesis
protein (Pestka dan Bondy, 1990, 1994). Sebagai tambahan toksin T-2
menghambat profilerasi pada stimulasi mitogen sel darah monoklear sapi perifer
konsentrasi toksin T-2 sangat rendah tergantung sikap dosis (Tomar et al., 1988;
Charoenpornsook et al., 1988; Break et al., 2001). Penghambatan ini mampu
dijelaskan dengan mengikat toksin T-2 subunit 60S sampai 80S ribosom, yang
mana mengganggu protein dan sintesis DNA. Namun demikian, penurunan toksin
T-2 muncul bergantung subsitudi alam pada kelompok asil C3, C4, C8 dan C15.
Oleh karena itu subsitusi pada kelompok asil keto atau hidroksil kelompok asetil
toksin T-2 pada posisi C-4 toksin T-2 bergantung pada modifikasi alam pada
karbon ini (Pestka dan Bondy, 1990; Madhyastha et al., 1994).
Mitoksin T-2 dalam Diet dan Efek pada Jaringan
Sebaliknya penekanan efek toksin T-2 ditemukan merangsang produksi
pada IL-1 oleh makrofag dan IL-2 oleh spleenocytes tikus mencit atau benjolan
limfosit (Pestka dan Bondy, 1990; Ouyang et al., 1995). Bagaimanapun juga,
Dugyala dan Sharma (1997) melaporkan bahwa toksin T-2 menginduksi produksi
IL-2, IL-3, dan inferferon gamma (IFN) sebagai tambahan mengahi peningkatan
sel imun. Kedepannya, Ouyang et al (1995) melaporkan bahwa pada umumnya
tricotenes produksi IL-2, IL-4, dan IL-5 mencapai 2 sampai 15 lipa bergantung
sikap dosis dan waktu. Penjelasan yang mungkin peningkatan pada produksi IL
mampu menjadi toksin T-2 menekan kontrol protein yang terlibat dalam degradasi
interleukin ini (Pestka dan Bondy, 1990). Penjelasan lainnya bahwa, seiring
dengan adanya peningkatan pada ILs, pada umumnya penurunan poloferanon
dalam sel, dimana hasilnya mungkin penurunan resepoter IL dan oleh karena itu
menurunkan konsumsi IL (Ouyang et al., 1995). Atau hanya pemberian toksin T-2

menginduksi stress untuk makrofag dan limfosit, ketika memprovokasi mereka


untuk menghasilkan jumlah tinggi pada sitokin untuk melawan stresnya, seperti
dalam kasus infeksi virus atau kerusakan jaringan
Toksin

T-2

pada

konsetrasi

8mg/ml

menginduksi

superinduced

chondrocytes untuk menghasilkan IL-1 dan IL-6. Terdapat dua sitokin dimana
ditemukan degenarasi pada matriks tulang rawan menyebabkan penyakit KashinBeck (Tian Fu et al., 2001). Bagaimanapun juga, konsentrasi yang rendah ( 4
ng/mk), toksin T-2 menghambat produksi dari dua sitokin (Tian Fu et al., 2001).
Ini ditemukan didukung oleh hasil penelitian in vitro sebelumnya oleh Wright et
al. (1987) dimana melaporkan bahwa toksin T-2 sangat betoksin untuk
choncrocytes manusia mengakibatkan lebih dari 50% pengurangan pada DNA per
labu. Bagaimanapun juga, ini jelas bahwa peningktan atau tekanan aktifitas
bergantung pada pemberian dosis dan waktu (Fprsell dan Pestka, 1985; Pestka dan
Bondy 1990). Toksin T-2 juga berefek pada beberapa bagian limfosit dengan
CD4+ dan CD8+ sel T lebih sensitif, terutama dalam kelenjar getah being.
Populasi penurunan CD3 dan CD19 setelah 24 jam pemberian toksin dengan sel
CD3 lebih efektif. Meskipun, efek toksin Peyers patches keduanya sama CD3
dan CD19 (Nagata et al., 2001). Sebagai angka pada sel B dalam Peyerss Pathces,
IgA sel B lebih efektif diikuti oleh produksi sel IgM+ dan IgG+ (Nagata et al.,
2001)
Efek toksin T-2 pada Resisten Pejamu Terhadap Patogen
Kemampuan hewan untuk melawan infeksi bergantung terutama pada
kehadiran monoklear-sel fagosit disebut macrofag, dimana dianggap sebagai garis
pertama pertahanan system imun (Kidd et al., 1995). Makrofag mengais
mikroorganisme dan kehadiran mereka untuk limfosit T dan atau B untuk
menginduksi baik humoral atau respon imun.
Bergantung pada alur pemerian dan dosis toksin T-2 mungkin baik bertindak
sebagai immunosuppressant atau immunostimulant untuk aktifitas makrofag
(corrier, 1991; Bondy dan Pestka, 2000). Perawatan pada tikus dengan satu dosis
pada toksin T-2 selama 7 hari sebelum tantangan pada pertahanan Listeria
Monositogenesis meningkat dan oleh karena itu mereka bertahan. Peningkatan

pertahanan pada tikus ditemukan dosis bergantung toksin T-2 dengan hasil terbaik
sebesar

2mg /kg

pada toksin T-2 (Corrier dan Ziprin, 1986a ziprin dan

McMurray, 1988). Perawatan pada tikus dengan toksin T-2 mungkin telah
merangsang menghasilkan limfosit aktifasi makrofag lymphokine menstimulasi
makrofag, ketika bakteri yang efisien dibersihkan (Corrier dan Ziprin, 1986a).
Sebagai tambahan, penipisan limfosit dalam timus meluas dan limpah mengalami
penurunan regulasi populasi sel T dengan demikian aktifitas makrofag meningkat
(Corrier dan Ziprin, 1986 a). Bagaimanapun juga, dosis yang lebih rendah pada
toksin T-2, terjadi imunosupresi, yang mampu disebabkan oleh peniposan limfosit
T dan kegagalan terhadap dari sel T dan makrofag untuk membersihkan bakteri
pejamu (Corrier dan Ziprin, 1986b). Sebalikya efek pada toksin T-2 resisten
terhadap tikus untuk Salmonella typhimurium mengalami penuruan lima kali lipat
(Tai dan Pestka, 1988a, b) sebagai tambahan, jumlah organisme sembuh dari
limpah dan hati meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai dataran tinggi pada
hari ke 9 mungkin waktu yang dibutuhkan sistem imun seluler untuk berkembang
dan mengatasi infeksi (Tai dan Pestka, 1988a) Efek dari toksin T-2 pada pejamu
(orang) resisten diilustrasikan dengan baik oleh Tai dan Pestka (1988b) dimana
melaporkan penurunan pada LD50 typhimurium dari 5

10 6

hanya 5 sel per

tikus. Dipercobaan lain, Tai dan Pestka (1990) melaporkan beberapa penekanan
imun S. typhimurium ketika tikus diberikan toksin T-2 tunggal dosis
preinoculation dan sebagian dosis postinoculation pada pathogen. Sebagai
tambahan diperlukan tikus dengan toksin T-2 cara ini dipamerkan lesi patologi
dalam hati, limpam dan jantung (Tai dan Pestka, 1990). Sebaliknya Ziprin dan
McMurray (1988) melaporkan tidak signifikan efek pada sebelum perawatam
pada tikus dengan dosis tunggal toksin T-2 terhadap resisten ke S typhimurium.
Ketika lipoposakarida (LPS), komponen permukaan dari bakteri gram
negative, coadministered dengan toksin T-2, tikus rentan terhadap peningkatan
bakteri (LD50 diturunkan menjadi 14 kali lipat), diperkirakan gangguan resisten
pada pathogen ini mungkin kea arah LPS (Tai dan Pestka 1988b; Islam et al.
(2002). Kemungkinan yang lain mekanisme toksin T-2 menghambat sintesis
protein dan dengan demikian penurunan produksi sintesis protein diperlukan

untuk detoksifikasi toksin T-2 (Tai dan Pestka, 1988b). Sebagai tambahan,
penghambatan sintesis protein mungkin mengganggu kemampuan tikus untuk
memperbaiki kerusakan diberikan oleh LPS, seperti endotoksin, dengan demikian
peningkatan lethality (Tai dan Pestka, 1988b). Taylor et al (1991) dan Islam et al
(2002) juga memperkirakan bahwa pemeliharaan toksin T-2 meningkatkan
absorbs LPS, yang menstimulasi sel pejamu (orang) untuk memproduksi baterai
mediator termasuk sitokin proinflammatory (tumor nekrosis factor alfa, atau TNH

, IL-6, dan IL-1) jenis oksigen reaktif dan prostaglandins, yang

memproduksi efek pataloginya sendiri.


Ketika toksin T-2 diberikan selama 7 hari sebelum tantangan dengan
Mycobacterium bovis, terdapat proliferasi yang tinggi pada bakteri dalam limpa
tikus sebagai kontrol bertentangan dimana memiliki proliferasi yang sedikit.
Bagaimanapun juga, efek yang jelas pada toksin T-2 diberikan pada bakteri
proliferasi dalam paru-paru (Siprin dan McMurray, 1998). Jelas, kerusakan
komponen limfosit pada sistem imun mampu menjadi alas an disamping
penurunan resitensi terhadap tikus ke M. bovis
Sebaliknya administrasi kronis, menunjukkan bahwa efek penekanan pada
pathogen Listeria dan Mastitis terjadi jika toksin T-2 dimasukkan setelah
tantangan patogen, sedangkan jika diberikan tak lama sebelum tantangan sistem
imun meningkat. Hal ini menjelaskan peningkatan migrasi pada makrofag dan
peningkatan aktifitas fagosit (Corrier et al., 1987, 1991; Cooray dan Jonsson,
1990), atau penipisan atau gangguan fungsi pada populasi penekan sel T. Lebih
lanjut, peningkatan juga terjadi karena kemampuan toksin T-2 untuk menginduksi
IL-2, IFN dan IL-3 dan meningkatkan imunitas sel (Dugyala dan Sharma., 1997).
Bagaimanapun juga, peningktan diikuti dengan leukositopenia, limofopenia,
nekrosis, dan penipisan pada limfosit dalam timus dan limpa. Efek racin T-2
resisten jika diberikan bakteri infeksi, oleh karena itu, tergantung pada tuan rumah
(host) dan patogen. Dosis toksin, dan rute dimasukkanya toksin.
Resisten pejamu (host) akan virus juga terpengaruh oleh toksin T-2. Friend
et al. (1983a) melaporkan bahwa tikus rentan terhadap herpes simplex virus 1(HSV-1) virus mengikuti pemberian toksin T-2 sebanyak 20ppm untuk 2 sampai 3
minggu. Immunospresi menjadi parah sebesar 70 sampai 100%, pada perlakuan

perkembangan otak dan lesi hati tikus sekitar 61 % kematian, sedangkan efek
tidak mendapatkan perlakuan kurang dramatis. Bagaimanapun juga, toksin T-2
diinduksi immunuspresi dalam tikus tidak cukup untuk diinduksi reaktivasi
infeksi laten HSV-1 (Friend et al., 1983b). Ini perlu dicatat immunosupresi
diinduksi oleh dosis tinggi toksin T-2 tampaknya melindungi tikus melawan reaksi
berlebih sistem imun yang terjadi sebagai dari virus HSV-1. Hal ini jelas dari
ketiadaan dari necrotizing meningoencephalomyelitis sebagi hasil dari induksi
HSV peradangan pada tali tulang belakang dan otak (Friend et al. 1983a).
Modulasi sistem imun terhadap beberapa patogen seperti disebabkan oleh
toksin T-2 mungkin mempengaruhi makanan hewan terhadap penyakit tertentu
yang mengurangi produktifitas dan mungkin menambah periode penumpahan
mikroorganisme, yang mungkin menambah transmisi hewan ke manusia dari
patogen ini.
Hubungan antara toksin T-2 dan Apoptosis
Apoptosis adalah istilah yunani yang berarti jatuh dari daun-daun dari
pohon. Secara fisiologi, didefinikan sebagai kematian program kematian atau sel
bunuh diri, dimana proses normal terjadi selama perkembangan embrio baik
menjaga jaringan homostatis (Kerr et al., 1972). Berlawanan dari sel nekrosis,
apoptosis melibabkan penghancuran diri sel pada genom DNA menjadi 200
bagian pasangan basa (bp) tindakan endonuklesis (Islam et al., 1998). Apoptosis
bermula dengan perubahan membrane plasma, kondensasi kromatin, nuclear dan
fragmentasi DNA, dan kehilangan potensial dari membrane dalam mitokondria,
yang mempengaruhi membrane plasma, dan akhirnya sel apoptotic menjadi
terpecah ke badan apoptopik yang terhapus oleh makrofag (Islam et al., 1998;
Carrasco et al., 2003). Perubahan marfologi dipercayai menjadi penyabab oleh
dari keluarga protease yang mengandung sistein disebut caspase (Miller dan
Marx, 1998; Carasso et al., 2003). Masuknya dosis toksin T-2 pada pengerat
menginduksi apoptosis dalam timus, sumsum tulang belakang, hati, limpa (Ihara
et al., 1997; Islam et al., 1998). Baik endogenous glucocorticoid tidak pula TNF

tampaknya memainkan peran apapun dalam induksiapoptosis timus toksin

T-2 (Islam et al., 1998). Bahkan, metablisme turunan toksin T-2 memainkan peran

yang kritik dalam menginduksi timik apoptosis. Bagaimanapun juga, sepanjang


seluruh metabolism hanya 3 OH-T-2, yang memproduksi hidroksilasi dari T-2
sama dalam petoksinan pada toksin T-2.
Ada perbedaan teori yang menjelaskan bahwa induksi apoptosis oleh
trichothecenes. Satu dari kemungkinan mekanisma pada apoptosis iala toksin T-2
mengakibatkan kerusakan sebagai efek kedua dalam menghambat sintesis protein.
Cedera DNA ini akan secara transkripsi atau setelah transkripsi mengaktifkan
nuclear phosphorotein, p53. Fungsi protein ini sebagai pembimbing sel,
mengarahkannya apakah sel itu harus menuju perbaikan atau apaptosis
berdasarkan perpanjang kerusakan (Wyllie, 1997). Nagase et al. (2001)
melaporkan bahwa apaptosis induksi toksin T-2 melibatan aktivasi dari enzim
yang disebut caspases menuju pelepasan sitokrom C dari mitokondria. Sitokrom c
mengikat apoptosis protese aktivasi factor-1 (Apaf-1), yang mengaktifkan
procaspase-9, yang secara bergantian mengaktifkan caspase-9 yang mengaktifkan
caspase-3, sebuah dampak kunci pada jalur apoptosis (Nagase et al., 2001;
Carrasco et al., 2003).
Shifrin dan Anderson (1999), bagaimanapun juga, menyarankan bahwa
toksin T-2, yang secara kuat menghambat sintesis protein tapi tidak mengaktifkan
c-Jun-NH2-terminal kinase (JNK)/p38 kinase, menginduksi penambahan 3 sampai
4 kali lipat dalam aktifitas caspase. Pada tingkat aktifasi caspase yang lebih tinggi
membutuhkan sebuah penghambatan protein dan pengaktifan JNK/p38 kinase.
Maka dari itu, penulis menyarankan bahwa toksin T-2 tidak menginduksi
apoptosis melalui jalur ini sejak penghambat protein yang kuat yang juga tidak
menyebabkan aktifasi dari JNK/p38 kinase, sementara toksin trichothecenes (T-2
tetraol dan DON) juga mengaktifkan JNK/p38 kinase dan menyebabkan
apoptosis. Hasil ini berlawanan dengan hasil yang diperoleh oleh Yang et al.
(2000) yang melaporkan korelasi yang dekat antara penghambatan sintesis
protein, pengaktifan protein kinase yang diaktifkan oleh tekanan (SPAK)/JNK,
dan p38 aktifasi nitrogen protein kinase (MAPKs) dan pemasukan dari apoptosis
dalam makrofage. Alasan untuk hasil berlawanan dapat merujuk pada penggunaan
konsentrasi pada setiap kelompok. Shifrin dan Anderson (1999) menggunakan 3.8
M toksin T-2, yang dimana 400 kali lebih dari jumlah yang digunakan dalan

studi yang dilakukan oleh Yang et al. (2000). Jumlah yang tinggi dosis toksin T-2
harus di induksi aktifasi MAPK yang cepat dan apoptosis yang merusak semua
sel, seiring waktu membaca diambil (3 jam kemudian) terdapat baik penaikan
DNA tidak juga sinyal MAPK. Lebih jauh, berlawanan dengan hasil yang
dilaporkan Shifrin dan Anderson (1999), Islam et al. (1998) menunjukkan bahwa
pemaparan toksin T-2 menyebabkan atropi timat parah pada tikus melalui
kematian sel apoptik. Hasil ini menyimpulkan dari jumlah membunuh DNA
menuju tahapan respon dalam pemasukan dari tiga trichothecenes (DAS, NIV, dan
toksin T-2) yang dimana toksin T-2 sepertinya ampuh dalam mengonduksi
apoptosis.
Dalam mekanisme yang mungkin lainnya dari apoptosis, ditemukan
bahwa toksin T-2 menginduksi lipid peroxidasi, yang menghasilkan H 2O2 yang
mengaktifkan p38 MAPK dan SPAK/JKNs, yang mengarah pada apoptosis (Yang
et al.,2000).
Dari hasil diatas, terlihat bahwa peran toksin T-2 dalam induksi dari
apoptosis dan hubungan antara besarnya apoptosis dan potensi penghambatan
protein adalah kontroversi. Kontroversi ini sepertinya membendung sistem
percobaan dan kuantitas dari toksin T-2 digunakan pada percobaan ini. Namun
demikian, toksin T-2 memainkan peran dalam apoptosis yang disimpulkan dari
atropi dari organ limpoid berdasarkan pemaparan toksin ini.
Efek Toksin T-2 Pada Budidaya Sel (In Vitro)
Budidaya sel manusia atau hewan menyediakan alat yang sangat
diperlukan untuk beberapa jenis studi termasuk tapi tidak membatasi
patogenisitas, toksisitas, teratogenisitas, dan karsinogenisitas. Toksisitas toksin T2 dapat dievaluasi menggunakan garis warna sel. Sebagai contoh, sel alveolar
makrofage (AMC), satu jenis sel yang didapat dari paruparu tikus, telah
digunakan untuk mempelajari gangguan pernapasan pada pekerja gandum yang
mungkin terpapar mycotoxin termasuk toksin T-2. Ketika AMC terpapar sebanyak
0.1 M toksin T-2 sebuah peningkatan pada kebocoran kromium diamati.
Kebocoran ini ditemukan menjadi angka yang proporsional pada kematian sel
pada budidaya dan terjadi pada mode yang bergantung dosis (Gerberick dan

Sorenson, 1983). Toksisitas toksin T-2 dibandingkan dengan tiga trichothecenes


lain (DAS, NIV, dan DON). Ketika diuji in vitro pada sel limposit manusia, toksin
T-2 adalah penghambat terkuat dari perangsang mitogen limposit proliferasi.
Sebagai tambahan, juga menghambat limposit dirangsang dari menghasilkan IgA,
IgG, dan IgM (Thuvander et al., 1999).
Apakah Toksin T-2 Bersifat Karsinogen?
Karsinogenistas dari toksin T-2 belum ditetapkan sebagai aflatoxin.
Bagaimanapun juga, terdapat beberapa pelaporan menghubungkan toksin T-2
dengan kemunculan tumor pada beberapa hewan. Schoental (1979) melaporakan
kemunculan tumor pada beberapa organ tikus setelah diberi 5 sampai 8 dosis
toksin T-2. Sebagai tambahan, pemasukan kronis dari toksin T-2 pada toksin
menginduksi leukemia, yang mungkin merujuk pada kerusakan DNA berantai
tunggal (Rosenstein dan Lafarge-Frayssinet, 1983). Pada studi yang dilakukan
oleh Schiefer dan rekan kerja (1987) secara statistic perbedaan signifikan
ditemukan pada insiden pada pulmonary adenoma dan hepatic adenoma pada
jantan diberikan 3 mg/kg dan dalam pengendalian sementara tidak terdapat
perbedaan pada insiden pada betina. Hasilnya tidak konklusif sebagai kontrol juga
mengembangkan adenomas. Sepertinya tikus jantan mungkin mengembangkan
adenoma merujuk pada factor lain dan tingkat toksin T-2 yang rendah mungkin
meningkatkan sistem imun mereka untuk mencegahnya, sementara tikus dengan
dosis tinggi atau ditinggalkan tanpa perawatan memiliki sistem imun yang lebih
lemah, maka dari itu, mengembangkan adenoma.
Hubungan yang baik terjadi antara karsinogenitas dari kimia tertentu dan
derajat dari kerusakan DNA yang disebabkan (Atroshi et al., 1997). Sebagai
tambahan, kegagalan untuk mengaktifkan apoptosis setelah kerusakan DNA
mungkin mengarah pada perkembangan kanker (Wyllie, 1997). Dengan demikian,
penampakan leukemia pada tikus setelah pemaparan berkepanjangan toksin T-2
dapat terjadi karena kerusakan DNA mengerahkan oleh toksin. Bagaimanapun
juga, studi lain (Ueno et al., 1992) melaporkan bahwa uji in vivo karsinogenitas
adalah negatif sebagaimana yang telah diujiakan kehadiran hepatokarsinogenitas
pada toksin dan ditemukan bersih pada sel liver foci GST-positif. Penulis

mengusulkan bahwa toksin T-2 mungkin bertindak sebagai karsinogen secara


tidak langsung dengan menekan sistem imun, memungkinkan sel tumor keluar
dari penghancuran oleh sistem imun dan akhirnya berkembang menjadi tumor
(Lafarge-Frayssinet et al., 1990).
KESIMPULAN
Ulasan ini telah memberikan informasi terbaru tentang toksin T-2 dan
efeknya pada kesehatan manusia dan hewan. Toksin T-2 adalah toksin yang
ampuh yang telah terlibat di dalam toksikosis manusia dan hewan sepanjang
sejarah. Tanaman biji-bijian, minyak wijen, gula bit, sereal-mengandung
makanan, dan produk hewani seperti telur dan susu adalah produk utama yang
dapat terkontaminasi toksin T-2. Pada tingkat seluler, kemampuan toksin T-2
untuk menghambat sintesis DNA dan RNA, menghambat poliferasi dari beberapa
sel imun, dan menghambat atau menginduksi apoptosis. Meskipun demikian, pada
level semua hewan, toksin T-2 menyebabkan beberapa efek patologi, termasuk
efek pada sistem saraf, GIT, kulit, sistem sirkulasi, dan terutama pada sistem
imun. Hubungan toksin T-2 pada efek patologi ini terdokumentasi dengan baik.
Namun, perannya sebagai karsinogen masih kontroversial. Telah berspekulasi
bahwa predisposisi genetik atau beberapa virus dapat menjadi faktor
menyebabkan tumor. Meskipun demikian, mikotoksin muncul untuk menemukan
kapan dan apakah kondisi aktif kemudian menjadi kanker.

Anda mungkin juga menyukai