Anda di halaman 1dari 21

ADAPTASI MIKROBA PEMBUSUK DAN PATOGEN

TERHADAP STRESS SUHU DINGIN

Putu Rossi Tya Lestari F251160011


Mufti Ghaffar F251160091
Mirna Isyanti F251160251
Setyaning Pawestri F251160401

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
1
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Tuntutan terhadap pemrosesan untuk menghasilkan produk bernutrisi,


berkualitas tinggi, aman bagi kesehatan dan mudah disiapkan merupakan
tantangan yang harus dipenuhi produsen pangan. Proteksi terhadap produk
pangan dilakukan mulai dari awal produksi hingga siap disajikan di meja makan.
Salah satu bentuk proteksi adalah pengendalian mikroorganisme pada produk
pangan. Keberadaan bakteri dan metabolitnya pada produk pangan dapat
menyebabkan perubahan pH dan terbentuknya komponen toksik, off-odor dan
produksi gas, oksidasi lemak dan pigmen, sehingga menyebabkan off-flavour
menurunkan kualitas produk (Tanaka et al. 1999). Dari segi keamanan,
keberadaan bakteri patogen melebihi batas aman dapat menjadi ancaman serius
terhadap kesehatan konsumen. Dalam upayanya memenuhi tuntutan tersebut
pelaku industri pangan mengembangkan metode pengolahan pangan didasarkan
pada upaya pengawetan pangan serta membunuh atau melukai mikroorganisme
dan mencegahnya untuk tumbuh (Everis 2001).
Modifikasi kondisi lingkungan di luar lingkungan fisiologi normal bakteri
guna menghasilkan kondisi stress telah diaplikasikan pada mikroorganisme
secara luas sebagai metode inaktivasi sel dan mengupayakan kestabilan
pangan. Pengawetan pangan melibatkan berbagai kondisi pengontrolan baik
suhu, kadar air (aw), penambahan bahan pengawet dan pengaturan pH guna
menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme dan sporanya
(Marechal et al. 1999). Perubahan kondisi lingkungan jauh dari rentang optimum
dapat memicu respon stress, yakni suatu strategi untuk bertahan hidup dibanding
untuk tumbuh. Beberapa mikroorganisme mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap perubahan lingkungan yang bersifat terus menerus, sehingga dapat
membentuk toleransi atau resistensi terhadap peningkatan dosis pada jenis
stress spesifik. Perbedaan tingkat resistensi dan kekuatan terhadap stress
disebabkan oleh perbedaan tipe organisme (Tsakalidou dan Papadimitriou 2001).
Bakteri mengembangkan sistem stress-sensing dan mekanisme
pertahanan ketika berada pada kondisi yang tidak menguntungkan dan
perubahan lingkungan ekstrim. Waktu yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
2
memberikan respon terhadap stress bergantung pada stress yang diaplikasikan
ke bakteri dan setiap jenis bakteri memiliki mekanisme berbeda-beda untuk tiap
jenis stress. Respon bakteri terhadap cold shock bisa berjam-jam, sedangkan
untuk heat shock dan osmotic shock berlangsung sangat cepat dalam hitungan
detik (Rosen dan Ron 2002). Hasil penelitian Russell et al. (1995) menunjukkan
bahwa beberapa organisme mampu mengubah komposisi asam lemak membran
sel sebagai akibat adanya penurunan suhu, pH, atau kadar air (a w) serta
keberadaan pengawet asam lemah, dimana peningkatan atau penurunan
fluiditas membran, memungkinkan membran untuk tetap berfungsi normal di
bawah kondisi stress.
Penurunan aktivitas mikroorganisme di atas suhu beku dan suhu
subfreezing menyebabkan aktivitas berhenti adalah dasar penggunaan suhu
rendah untuk pengawetan pangan. Secara individu dan kelompok,
mikroorganisme tumbuh pada kisaran suhu yang bervariasi dan range yang
cukup luas Berdasarkan kemampuan untuk tumbuh pada suhu tinggi, sedang,
atau rendah bakteri digolongkan menjadi termofil, mesofil, dan psikrofil (Jay et al.
2005). Psikrofil dibagi menjadi subdivisi psikrofil sensu stricto (suhu pertumbuhan
optimum < 15oC dengan batas atas 20oC) dan psikotrop (bertahan pada < 0oC
dan tumbuh optimal pada 20 – 25oC) (Morita 1975). Dikarenakan tiap jenis
mikroorganisme memiliki kecepatan pertumbuhan dan respon berbeda terhadap
stress suhu maka dua hal ini menjadi fundamental penting untuk menentukan
perlakuan suhu rendah yang sesuai untuk berbagai tipe makanan (Russell 2002).
Kemampuan bakteri bertahan hidup dan mentoleransi kondisi ekstrim
memiliki hubungan signifikan dengan industri pangan dimana keberadaan bakteri
patogen akan mengancam keamanan pangan atau keberadaan organisme
pembusuk mengurangi masa simpan produk pangan (Rosen dan Ron 2002).
Adaptasi mikroorganisme patogen dan bakteri pembusuk pada suhu rendah
dapat digunakan sebagai dasar pengontrolan dan meyakinkan terjaganya
kualitas dan keamanan pangan.

3
BAB II
ISI

2.1. Adaptasi Stress Mikroorganisme

Bakteri memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap


perubahan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan ini termasuk ekologi dimana
dapat mengalami perubahan ekstrim secara fisik maupun kimia dan dapat
merusak komponen sel sehingga membuat bakteri stress (tertekan) dan harus
beradaptasi untuk dapat bertahan hidup (Kidd, 2011). Stress dapat didefinisikan
sebagai perubahan pada genom, proteon, atau lingkungan yang berakibat pada
penurunan kecepatan pertumbuhan atau tingkat bertahan hidup suatu
mikroorganisme (Spano dan Massa 2006; Sugimoto et al. 2008). Respon
terhadap stress (stress response) sangat penting bagi mikroorganisme yang
secara terus menerus mengalami perubahan faktor hidup seperti suhu, nutrisi,
ketersediaan air atau tekanan osmosis yang terjadi. Faktor stresss (stressor)
dapat berupa kimia, fisik, ataupun biologi. Stressor dapat berasal dari lingkungan
(suhu, tekanan osmosis, pH, konsentrasi etanol, ketersediaan oksigen,
antimikrobia), ataupun self-generated (keasaman, kekurangan nutrisi diakibatkan
oleh metabolisme, dan pembentukan reactive oxygen species) (van de Guchte et
al. 2002; Spano dan Massa 2006).
Bakteri patogen dan perusak pangan serta bakteri yang dimanfaatkan
dalam produk pangan dalam keadaan terpapar lingkungan sub-optimal, dapat
mengembangkan karakteristik sel yang berbeda dibandingkan dengan sel normal
(Abee dan Wouters 1999; Yousef dan Juneja 2003). Keberadaan bakteri tersebut
dapat menguntungkan atau merugikan, bergantung pada jenis bakteri. Yousef
dan Courtney (2003) mengelompokkan stress mikroorganisme dalam pangan
menjadi 3 taraf, yaitu :
1) Stress ringan : stress sub-letal yang tidak menyebabkan kehilangan
viabilitas mikroba, tetapi mereduksi atau menghentikan laju pertumbuhan.
2) Stress medium : stress yang tidak hanya menghentikan pertumbuhan
mikroba, tetapi juga menyebabkan beberapa sel kehilangan viabilitas.
3) Stress ekstrim : taraf stress yang mematikan sebagian besar populasi sel.

4
Yousef dan Cortney (2003), juga mengelompokkan penyebab stress
mikroorganisme selama produksi dan pengolahan pangan menjadi 3 (tiga) yaitu :
1) Sebagian besar bakteri patogen enterik dan bakteri perusak pangan,
khususnya bakteri gram negatif, rentan terhadap pH yang rendah dan
cepat mati pada pangan dengan keasaman tinggi (pH 4,5) selama
penyimpanan.
2) Sel pada foodborne pathogen sangat rentang terhadap pH yang rendah
dalam lambung dan segera mati.
3) Biakan pemula (starter cultures), umumnya disimpan dalam kondisi beku
atau pengeringan beku sebelum digunakan dalam pengolahan pangan.
Kondisi lingkungan yang ekstrim menuntut adanya toleransi, mekanisme
metabolisme, dan daya tahan sel yang unik. Kemampuan mikroorganisme untuk
hidup pada kondisi ekstrem dapat membawa nilai dan aplikasi di berbagai bidang
industri, seperti pangan, agrikultur, farmasi dan bioteknologi. Bakteri terdiri dari
berbagai macam kelompok yang heterogen yang menunjukkan diversitas biologi
yang sangat luas pada fisiologi dan cara adaptasi terhadap lingkungan, bahkan
beberapa hidup pada kisaran yang ekstrim. Lactobacillus suebicus yang dapat
bertahan pada kondisi pH < 3, Enterococci dan Carnobacteria tumbuh pada pH
kisaran 9,6. Tetragenoccus muriaticus dan T. Halophilus dapat beradaptasi pada
konsentrasi garam yang tinggi >18%. Carnobacterium viridans yang diisolasi
dari bologna kemas vakum dapat mentolerasi 26± 4% (w/v) NaCl pada suhu 4
o
C dalam waktu yang lama (Holley et al. 2002).
Suhu sangat mempengaruhi kehidupan organisme dan terjadinya
penurunan atau kenaikan suhu secara ekstrim dapat memicu respons stress.
Perubahan suhu yang mendadak dapat memicu sintesis stress protein, heat-
shock protein untuk kenaikan suhu dan cold shock protein ketika terjadi
penurunan suhu (Russell 2002, Schügerl dan Kretzmer 2010). Penelitian
mengenai heat shock response dari bakteri ke manusia telah banyak dipelajari,
dibandingkan dengan cold shock response. Alasan utama mengapa heat shock
secara ekstensif diteliti adalah karena stress ini dapat menyebabkan kerusakan
pada sel seperti protein unfolding (tidak mampu melipat) atau denaturasi protein.
Cold-shock response tidak menyebabkan kerusakan pada sel dan stress dingin
tidak menyebabkan kerusakan seluler yang signifikan (Tsakalidou dan
Papadimitriou 2011).

5
2.2. Respon Suhu rendah (Cold Shock Response)

Mikroorganisme dapat mengalami perubahan fisiologi dan morfologi


sebagai akibat pertumbuhan pada suhu di bawah suhu pertumbuhan optimum
(Russell et al. 1995; Russell 2002). Perubahan fisiologi seluler sebagai respon
terhadap penurunan suhu diantaranya (i) penurunan fluiditas membran
sitoplasma (Russell et al. 1995; Phadtare 2004, Schügerl dan Kretzmer 2010), (ii)
stabilisasi struktur sekunder dari asam nukleat memicu penurunan efisiensi
translasi dan transkripsi mRNA (Schügerl dan Kretzmer 2010), (iii) inefisiensi
folding beberapa protein atau misfolding, dan (iv) mengganggu fungsi ribosom
(Phadtare 2004). Penurunan suhu selama fase pertumbuhan bakteri memicu
ketidakseimbangan metabolisme, menghambat pertumbuhan (pada sel yang
terluka/injured cells) atau menghentikan pertumbuhan dikarenakan sensitivitas
proses regulasi metabolisme (Busta 1978; Tsakalidou dan Papadimitriou 2011).
Karakteristik termal pada bakteri pembusuk dan bakteri patogen yang
beradaptasi dengan suhu dingin dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Karakteristik termal pada suhu dingin dari bakteri pembusuk dan
bakteri patogen
Bakteri Batas bawah Keterangan
pertumbuhan
(oC)
P. fluorescens 0 Bakteri pembusuk, non-patogen
Micrococcus spp. 1 Bakteri pembusuk, non-patogen
Listeria 1 mayoritas strai akan tumbuh pada suhu
monocytogenes refrigerasi
Clostridium 3 Beberapa Tipe E non-proteolitik adalah
botulinum psikotropik
Salmonella spp. 5 Pertumbuhan sangat lambat pada
beberapa strain pada suhu refrigerasi,
banyak spesies tumbuh lambat pada
suhu chilling

Bakteri asam laktat 5 Menyebabkan penurunan mutu pada


(BAL) pangan hasil fermentasi BAL
Staphylococcus 6 Beberapa strain akan tumbuh pada suhu
aureus refrigerasi
Bacillus cereus 10 Strain psikotropik dapat membusukkan
susu atau bersifat racun (emetic toxin)
pada pangan beku
C.perfringens 13 Dapat tumbuh lambat pada suhu chill-
C. botulinum Tipe cabinets
A
Sumber : Russell (2002)

6
Bakteri dapat bertahan dari stress dingin dengan berbagai mekanisme
molekuler kompleks yang berbeda dan bersifat sementara sesuai dengan
lingkungan. Sel prokariotik mengubah stimulus fisik stress dingin menjadi sinyal
lain, sehingga mempresentasikan termodeteksi suhu dan sinyal transduksi.
Peran DNA, RNA, protein, dan lemak pada mekanisme pertahanan
mikroorganisme dikarenakan dugaan memiliki “sensing” terhadap penurunan
suhu, yang akan mempengaruhi ekspresi gen (cold-shock stimulon) pada tingkat
transkripsi, translasi, dan posttranslasi. Sintesis CIPs (cold induced proteins) juga
terjadi sebagai respon bakteri terhadap tekanan penurunan suhu drastis
Sensitivitas sel terhadap stress dingin bergantung pada beberapa faktor
diantaranya suhu, tingkat kecepatan pendinginan/pembekuan, media kultur,
strain mikrobia, dan lama penyimpanan (Tsakalidou dan Papadimitriou 2011).
Gambar 2.1. menunjukkan contoh skema respon terhadap cold shock oleh
B.subtilis dan bakteri asam laktat.

Gbr. 2.1. Skema representasi respon cold-shock pada Bacillus subtilis


dan bakteri asam laktat. Sumber : Weber dan Marahiel (2002)

Bakteri gram positif B.subtilis dibandingkan dengan bakteri asam laktat.


membedakan modifikasi biologi berelasi dengan suhu dan sinyal transduksi
(merah), adaptasi membran (kuning), CSPs dan translasi (hijau), struktur
nukleoid dan transkripsi (biru), metabolisme, protein folding, dan diferensiasi sel
(ungu) (Weber dan Marahiel 2002).

2.3. Mode aksi bakteri pada suhu rendah


7
Suhu dapat mempengaruhi respon bakteri baik secara langsung, dengan
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, aktivitas enzim, proporsi penyusun sel,
dan kebutuhan nutrisi (Adams dan Moss 2008). Penurunan suhu menyebabkan
perpanjangan fase lag, penurunan kecepatan pertumbuhan, dan menurunkan
jumlah akhir sel. Selama fase lag terjadi perubahan fisiologi, diantaranya
penurunan asam lemak jenuh dan penghambatan sintesis DNA, RNA, dan
protein (Russell et al. 1995, Phadtare 2004).
Toleransi terhadap penurunan suhu dapat diamati setelah perlakuan
pendahuluan terhadap organisme pada suhu sub-letal dan pada akhirnya
memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Streptococcus
thermophilus mendapat perlakuan pendahuluan 20oC menghasilkan 1000 kali
tingkat peningkatan kemampuan bertahan hidup setelah 4 kali siklus freeze-thaw
dibanding sel yang tidak diberi perlakuan pendahuluan (Wouters et al. 1999).
Suhu awal pertumbuhan merupakan hal penting untuk menentukan tingkat
ketahanan hidup dan pertumbuhan organisme dikarenakan efeknya dapat
memperpanjang fase lag sebelum inisiasi pertumbuhan (Gay and Cerf 1997).
Hasil tersebut dapat digunakan untuk memprediksi panjang lag time dari
organisme dalam pangan yang akan bergantung pada faktor-faktor lain,
termasuk suhu awal inkubasi. Bakteri mengalami perubahan suhu selama proses
pengolahan yang akan mempengaruhi lag time mikroorganisme pada kondisi
yang diberikan.
Mikroorganisme yang mampu tumbuh secara cepat pada kondisi
penurunan suhu seperti psikotrop menunjukkan kemampuan transpor molekul
terlarut sepanjang membran sitoplasma (Herbert 1989). Peningkatan produksi
pigmen dan aktivitas enzim lain meningkat pada suhu rendah, seperti pada
Pseudomonas dimana penurunan suhu meningkatkan produksi lipase dan
proteinase serta beberapa genus lain yang lebih menyukai suhu rendah (Olson
dan Nottingham 1980).

2.4. Respon Sel Membran terhadap Suhu Rendah


2.4.1. Efek suhu pada pengambilan nutrisi
Mikroorganisme melakukan berbagai macam cara agar dapat bertahan
hidup pada suhu rendah. Salah satu caranya adalah regulasi pengambilan zat
nutrisi yang ada pada lingkungan maupun bahan pangan. Wilkins et al. (1972)
dan Wilkins (1973) menyatakan bahwa sistem transport glukosa pada suhu
8
dingin dibuat agar konsentrasi substrat glukosa intraseluler tinggi dan dapat
menstimulasi pertumbuhan Listeria monocytogenes.
Bakteri psikrofilik lebih efisien dalam mentransport nutrien. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan bakteri mesofilik untuk mengambil
nutrien lebih rendah dibandingkan psikrofilik. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
dimana membran permeabel terinaktivasi sangat berpengaruh pada laju
pertumbuhan minimum bakteri mesofilik. Terdapat 3 mode aksi suhu dingin
dalam menghambat pengambilan nutrien menurut Farrel dan Rose (1967) :
(1) Inaktivasi protein membran transport pada suhu rendah sebagai akibat
dari perubahan konformasinya.
(2) Perubahan susunan membran sitoplasma sehingga proses transport
terganggu
(3) Kurangnya energi untuk mentransport nutrient.
Kemungkinan mekanisme yang paling dapat diterima untuk menjelaskan
fenomena terhambatnya pengambilan nutrient pada bakteri adalah mekanisme
kedua yaitu adanya perubahan pada susunan membran sitoplasma (Schügerl
dan Kretzmer 2010).
Studi pada bakteri psikrofilik dari genus vibrio (bakteri gram negatif)
menunjukkan pengambilan glukosa dan laktosa dari lingkungkan paling
maksimum terjadi pada suhu 0°C dan menurun ketika suhu menjadi 15°C.
Sebaliknya, pada genus pseudomonas psikrofilik, penyerapan maksimum kedua
jenis gula tersebut justru terjadi pada rentang suhu 15-20°C dan menurun ketika
suhu mencapai 0°C. Perubahan signifikan pada fosfolipid total terjadi pada suhu
0°C, sebaliknya pada Pseudomonas tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Studi yang dilakukan pada Listeria monocytogenes pada suhu 10°C
menunjukkan bahwa metabolisme yang terjadi pada suhu rendah merupakan
akibat dari resistensi sistem transport glukosa sehingga tersedia glukosa
intraseluler dengan konsentrasi tinggi (Wilkins 1972). Tercatat bahwa sistem
transport glukosa pada suhu dingin merupakan kelebihan dari bakteri psikrofilik
dan tidak hanya dimiliki oleh Listeria monocytogenes, tetapi juga oleh
Erysipelothrix rhusiopathiae dan Brochothrix thermosphacta (Wilkins 1973).
Sehingga dapat diperkirakan bahwa suhu pertumbuhan minimum dari suatu
organisme ditentukan oleh penghambatan penyerapan nutrien.

2.4.2. Fluiditas membran dan komposisi lemak


9
Mikroorganisme dapat bertahan pada kondisi ekstrim bila mampu
mempertahankan fungsi utama membran sel, yakni mengontrol permeabilitas
ionik dan mengatur pertukaran partikel terlarut antara sel dengan lingkungan
eksternal. Membran sitoplasma merupakan pertahanan yang sangat penting
dalam sistem transduksi energi pada sel bakteri dan sangat bergantung pada
kondisi bilayer lemak. Sehingga membran sitoplasma juga terpengaruh oleh suhu
eksternal. Membran bilayer lemak pada suhu fisiologi sel normal berada pada
kondisi liquid-crystaline, kondisi ini akan berubah ketika terjadi penurunan suhu
dan mengakibatkan perapian susunan rantai asam lemak (Tsakalidou dan
Papadimitriou 2011). Penurunan suhu menyebabkan berkurangnya permeabilitas
membran sitoplasma sehingga mempengaruhi fungsinya dalam transport aktif
dan sekresi protein (Schügerl dan Kretzmer 2010).
Sel berfungsi normal ketika bilayer lemak sebagian besar berada pada
kondisi liquid crystalline agar protein membran dapat memompa ion, mengambil
nutrisi, dan melakukan respirasi (Berry dan Foegeding 1997). Kondisi liquid
crystalline dipertahankan untuk bertahan hidup. Penurunan suhu pertumbuhan
bakteri dapat menyebabkan beberapa komponen cair berubah menjadi mirip gel,
yang dapat mengganggu protein untuk berfungsi normal, agar komponen tetap
bersifat cair, terjadilah perubahan-perubahan terhadap susunan asam lemak
(Tsakalidou dan Papadimitriou 2011).
Efek suhu rendah berkaitan dengan mekanisme fisiologi bakteri dalam
menjaga tingkat optimal fluiditas membran dan komposisi lemak (Russell and
Fukunaga 1990; Russell 1995). Kefluiditasan membran pada suhu rendah
bergantung terhadap strain bakteri itu sendiri dimana fluiditas dapat diperoleh
dengan beberapa cara, seperti meningkatkan rasio residu asam lemak tidak
jenuh atau ikatan rangkap cis (Russell 1989, Russell 2002, Phadtare 2004,
Tsakalidou dan Papadimitriou 2011), percabangan antesio asam lemak
(Chintalapati et al. 2004), memperpendek panjang rantai asil, dan pada kasus
yang jarang dengan percabangan metil (Russell 1989, Russell 2002, Chintalapati
et al. 2004). Tabel 2.2 menunjukkan perubahan asam lemak pada
mikroorganisme akibat suhu rendah. Sedangkan, pola perubahan komposisi
lemak dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Tabel 2.2. Perubahan asam lemak pada suhu rendah
Perubahan komposisi asam Tujuan Sumber
lemak
10
Jumlah asam lemak tidak jenuh Mempertahankan Russell et al. (1995),
fluiditas membran Russell 2002, Phadtare
2004, Tsakalidou dan
Papadimitriou 2011
Modifikasi menjadi bentuk Chintalapati et al. 2004
percabangan ante-iso/iso
Memendeknya rantai asil asam Russell 1989, Russell
lemak 2002, Chintalapati et
al. 2004

Kesamaan tingkat fluiditas membran dapat diperoleh dengan berbagai


macam kombinasi asam lemak, bakteri tahan suhu rendah yang berbeda
mungkin memiliki kemampuan tumbuh pada suhu rendah yang hampir mirip,
tetapi komposisi asil lemaknya berbeda (Russell 2002). Mikroorganisme
menyesuaikan komposisi lemak sebagai respon pertahanan terhadap perubahan
suhu pertumbuhan agar aktivitas enzim dan transpor partikel terlarut tetap
berlangsung. Selama pertumbuhan pada suhu rendah, komposisi asam lemak
fosfolipid dan glikolipid yang paling berubah dikarenakan perubahan struktur
asam lemak akan lebih efektif dalam mempengaruhi perubahan pada fluiditas
membran dibanding perubahan pada gugus bagian kepala (Russell et al. 1995).

Gbr. 2.2. Pola perubahan komposisi lemak akibat suhu rendah


(Sumber : Russell 2002)
Setiap jenis bakteri memberi respon perubahan komposisi lemak yang
berbeda untuk dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Berikut adalah beberapa
contoh perubahan komposisi membran pada bakteri asam laktat (BAL) :
 Peningkatan asam lemak C16:0 dan C18:2 pada pertumbuhan
Lactobacillus acidophilus di suhu rendah (25 C) (Fernandez et al. 2000).
o

11
 Peningkatan konsentrasi asam lemak tak jenuh C18:1 sebagai respon
terhadap suhu rendah pada L. plantarum (Russell et al. 1995).
 Penurunan asam lemak C18:1 ketika pembekuan pada BAL Streptococci
dan pada perlakuan spray-drying terhadap L.acidophilus (Brennan et al.
1986)
 Konsentrasi cycC19:0 sebagai bentuk cryotolerance pada L.bulgaricus,
L.helveticus, dan L. acidophilus (Gómez et al. 2000)
 Penurunan suhu dari 37oC ke 15oC pada B. subtilis mengubah komposisi
membran dengan terjadinya kenaikan asam lemak bercabang antesio dan
penurunan kuantitas percabangan iso dengan syarat terdapat isoleusin
yang digunakan untuk mensintesis percabangan asam lemak anteiso (Klein
et al. 1999).

Penurunan suhu mendorong perubahan fluiditas membran pada L.


monocytogenes (Russel et al. 1989; Russell et al. 1995; Bandaoi Najjar et al.
2007). Menurut Annous et al. (1997) tidak ada data yang menunjukkan peran
asam lemak jenuh dalam adaptasi L. monocytogenes terhadap suhu rendah.
Ketika sel L. monocytogenes tumbuh pada suhu 37C pada media yang
kompleks atau media yang didefinisikan (defined media), profil asam lemak yang
ditandai dengan tingginya kadar asam lemak rantai bercabang (>95%) dengan
asam lemak utama adalah antesio-C15:0, antesio-C17:0, dan iso-C15:0.
Penentuan komposisi asam lemak selama rentang suhu 45C sampai 5C
menunjukkan bahwa terjadi perpendekan panjang rantai asam lemak, perubahan
cabang dari iso ke antesio (Russel et al. 1989; Russell et al. 1995).
Adaptasi sel membran terhadap suhu rendah pada E.coli dan B.subtilis
ditunjukkan pada gambar 2.3. Pada E. coli, di suhu 37oC LpxL berperan dalam
melekatkan laurat di atas lipid A yang berada di lipopolisakarida membran sel.
Pada suhu rendah, terdapat pengurangan jumlah laurat, yang berbanding
terbalik dengan jumlah palmitoleat. LpxP adalah cold induced acyltransferase
yang berperan untuk menempelkan palmitoleat ke lipid A. Pada B. Subtillis, di
suhu rendah, membran protein DesK menjadi perantara fosforilasi dari DesR
yang menyebabkan aktivasi transkripsional dari des. Aktivasi gen ini
menyebabkan sintesis protein Des, dan Des mendesaturasi rantai asil dari
membran fosfolipid (Barria et al. 2013).

12
Gbr 2.3. Adaptasi sel membran terhadap suhu rendah (Barria et al. 2013).

2.5. Efek suhu rendah pada ekspresi gen


2.5.1. Cold shock response
Terdapat dua jenis cedera atau kerusakan karena suhu rendah (cold
injury) yang dikenal dalam cryobiology, yaitu : freezing injury dan chilling injury.
Cold shock adalah jenis kerusakan dingin (chilling injury) yang terjadi setelah
pembekuan cepat (rapid cooling) tanpa terbentuknya kristal es dalam aliran
ekstraseluler. Tingkat keparahan yang diakibatkan oleh cold shock meningkat
sejalan dengan tingkat kecepatan pendinginan, meningkatnya waktu paparan,
dan suhu rendah yang digunakan. Bentuk cedera dingin dapat dialami oleh
berbagai organisme mulai dari bakteri hingga embrio mamalia (Morris et al. 1983;
Chen 1991). Bakteri mengalami perubahan suhu pada tingkat membran sel,
asam nukleat dan ribosom (Phadtare, 2004).
Faktor lingkungan seperti perubahan suhu, osmolaritas, atau paparan
bahan kimia dapat mengubah DNA supercoil, yang akhirnya akan mempengaruhi
ekspresi berbagai gen. DNA supercoil bertindak sebagai termosensor untuk
mempertahankan fungsi DNA, seperti : replikasi, transkripsi, dan rekombinasi
(Phadtare, 2004). Akibat respon mikroorganisme terhadap suhu dingin (cold
induced response) adalah terbentuknya cold shock protein. Tiga kelompok
mikroorganisme yaitu : psikrofilik, mesofilik dan thermofilik, akan mensintesis cold
shock protein sebagai reaksi penurunan suhu (Horn et al. 2007).

13
Cold shock response (CSR) merupakan pola spesifik ekspresi gen
terhadap penurunan suhu yang tiba-tiba. Cold shock response telah
diidentifikasi berasosiasi dengan bakteri mesofilik dan psikotrofik yang
keberadaannya pada produk pangan dapat menyebabkan pembusukan seperti
Pseudomonas fluorescens, P. fragi dan bakteri asam laktat atau keracunan yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, S.typhimurium, S.enteritidis,
L.monocytogenes, E.coli, Y.enterolitica, B.cereus yang dapat bertahan pada
suhu rendah dikarenakan dapat mensintesis CSP. Keberadaan cold shock
protein (CSP) sangat penting bagi bakteri agar dapat tetap bertahan pada suhu
dingin, hal ini dapat dilihat pada bakteri patogen Campylobacter jejuni yang tidak
mensintesis CSP. Fenomena ini mungkin menjelaskan kenapa bakteri ini tumbuh
pada rentang suhu yang pendek dan tidak mampu tumbuh pada suhu di bawah
30oC (Hazeleger et al. 1998; Russell 2002). Cold shock response juga
mempengaruhi sintesis protein yang terlibat dalam transkripsi dan translasi
(Berry dan Foegeding 1997).
Eksposur suhu rendah seringkali dihadapi oleh bakteri dalam berbagai
situasi, selama beberapa dekade eksposur suhu dingin meningkat disebabkan
oleh meluasnya penggunaan refrigerasi dan pembekuan dalam pengawetan
pangan. Respon pertahanan bakteri berupa induksi sementara terhadap susunan
protein spesifik, yakni sintesis cold induced proteins (CIPs), dimana dengan
sintesis CIPs akan menekan sintesis protein lain sebagai cara menghadapi
stress fisiologi yang disebabkan oleh kejutan dingin (cold shock) (Tsakalidou dan
Papadimitriou 2011). Protein terinduksi selama eksposur stress dingin termasuk
kelompok yang berkaitan erat dengan protein dengan berat molekul rendah yang
dikenal sebagai CSPs (cold shock proteins) yang ditemukan dalam jumlah besar
sekitar 45% dari seqeuence pada bakteri Gram positif dan Gram negatif
(Phadtare 2004). Selama adaptasi terhadap suhu dingin, sebagian besar protein
yang tidak digunakan untuk adaptasi dingin (non-CIPs) tidak diekspresikan dan
CIPs diinduksi (Horn et al. 2007). Proses adaptasi cold shock dapat dilihat pada
gambar 2.4.

14
Gbr. 2.4. Proses adaptasi cold shock (Horn et al. 2007)
Setelah induksi cold shock, pertumbuhan sel (garis putus-putus) berhenti
dan melakukan aklimasi. Selama aklimasi, sintesis protein non-CIPS berhenti
(garis abu-abu), sementara fraksi kecil dari cold induced proteins (CIP)
diekspresikan (garis hitam). Setelah fase aklimasi, pertumbuhan dan produksi
protein kembali berlanjut meski dengan kecepatan lambat, dan sebagian besar
CIPs tidak diekspresikan (Horn et al. 2007).

2.5.2. Mekanisme induksi protein spesifik pada suhu rendah


Selama adaptasi suhu rendah, expresi dari kebanyakan protein
mengalami penurunan tetapi sebaliknya cold-induced proteins (CIPs) masih
dapat di ekspresikan bahkan diinduksi. Tidak ada faktor transkripsi spesifik yang
bertanggungjawab pada induksi tersebut. Tampaknya regulasi tersebut lebih
disebabkan karena perubahan pada stabilitas dan aksesibilitas mRNA yang
dibawa menuju ke pabrik translasi (ribosom). Induksi dingin pada cspA telah
banyak dipelajari secara intensif. Pada suhu rendah jumlah cspA sebesar 13%
dari jumlah sel protein, sedangkan pada suhu 37oC berkurang jumlahnya (Barria
et al. 2003).
Promotor cspA merespon terhadap penurunan suhu. Promotor utama
cspA dapat diinduksi sampai tiga kali lipat pada suhu 15oC. Kadar mRNA dari
cspA juga meningkat disebabkan oleh stabilisasi transkrip. mRNA dari cspA
sangat tidak stabil pada 37oC tetapi sangat stabil pada 15oC, dengan waktu
peningkatan dari sekitar 12 – 15 menit. Setelah suhu naik dari 15oC ke 37oC,
15
sekitar 99% mRNA dari cspA terdegradasi setelah satu menit. Perubahan pada
kestabilan disebabkan oleh perubahan struktur pada 59 untranslated region
(59UTR) dalam cspA, yang menyebabkan ketidakstabilan apada suhu 37oC
tetapi memiliki pengaruh positif terhadap stabilisasi mRNA pada suhu rendah.
Demikian pula, pada suhu rendah perubahan struktural pada 59 UTR dalam
cspA berpengaruh terhadap translasi dari pembawa pesan dengan membuka
translation initiation region (TIR). Meningkatnya kadar cspA, seiring dengan
meningkatnya initiation factors translasi seperti IF3 dan IF1, yang bertindak
sebagai faktor antara yang memfasilitasi produksi cspA. (Barria et al. 2013).
Cold shock proteins (CSPs) yang terdapat pada mikroorganisme
bermacam-macam jenisnya yang memiliki fungsi yang berbeda. CSPs pada
beberapa mikroorganisme ditampilkan pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Cold shock proteins (CSPs) pada beberapa mikroorganisme


Kondisi Hasil Sumber
L. Plantarum L67 78 % L. Plantarum bertahan Soong et al.
cold shock pada suhu 5oC hidup, 2014
selama 6 jam, dilanjutkan dengan Ekspresi gen csp P dan csp L
perlakuan pembekuan-pencairan
selama empat siklus
E. Coli k-12 Ekspresi 9 gen, yaitu: cspA, Czapski dan
Suhu cold Shock: 37oC menjadi cspB, cspC, cspD, cspE, Trun 2014
15oC cspF, cspG, cspH, cspI
cspA, cspD, cspE, dan cspI
banyak diekspresikan setelah
mengalami cold shock
cspI secara signifikan
diekspresikan dibandingkan
yang lain, baik pada medium
yang kaya nutrient atau yang
minimal
Corynobacterium Pseudo Ekspresi cspA, Lindae et al.
Tubercolosis berdasarkan hasil uji cspA 2015
menunjukkan tingginya β
sheet dan struktur coil
random
Clostridium Botulinum Ekspresi cspA, cspB, cspC Söderholm
Suhu Cold shock: 37oC menjadi cspB meng-encode mayor 2011
15oC cold shock protein dari C.
Botulinum ATCC 3502

Dengan memahami mekanisme pada masing-masing bakteri, misalnya


pemahaman industri makanan terkait toleransi C. Botulinum pada perlakuan
16
suhu rendah dan bagaimana mekanismenya, maka resiko penyakit/kematian
akibat makanan yang mengandung C. Botulinum dapat dikurangi.

2.6. Efek perubahan pada ribosom

Struktur dan fungsi ribosom memegang peranan penting dalam proses


adaptasi dingin. Penurunan suhu menyebabkan blok sensitif dingin dalam inisiasi
dan translasi, mengakibatkan penurunan polisom dan peningkatan jumlah 70S
monosom dan sub-unit ribosom. Cold shock protein diinduksi akibat adanya
perubahan suhu sebagai respon terhadap kapasitas translasi sel. Menurut
Vanbogelen and Neidhart (1990), ribosom merupakan sensor temperatur pada
bakteri. Selama perlakuan cold shock, kapasitas translasi dikurangi dengan
konsentrasi perubahan tRNA yang terlalu tinggi, memblok A-site dari ribosom.
Uji dilakukan dengan antibiotik dengan target ribosom memanfaatkan gel dua
dimensi dimana antibotik digunakan untuk menghasilkan HSP (heat shock
protein) dan menekan HSP untuk menginduksi CIP. Bergantung dosis, antibiotik
mampu menginduksi protein yang dihasilkan ketika heat shock dan cold shock
menyerupai efek akibat perubahan suhu ekstrim.
Inkubasi sel E. Coli dan B. subtilis dengan chloramphenicol memberikan
respon yang mirip dengan cold shock response dengan induksi spesifik CSPs
dan CIPs tertentu. Respon ini terkait dengan inaktivasi ribosom yang secara
khusus diblokir oleh chloramphenicol (Wouters et al. 2000). Menurut Bayles et
al. (2000) pada L. monocytogenes yang mengalami penurunan suhu dari 37C
ke 0C selama 3 jam, yakni suhu maksimum terjadinya denaturasi dari 50S
subunit ribosom dan 70S puncak partikel ribosom diinduksi cold shock
mengakibatkan ketidakstabilan struktur ribosom.

17
BAB III
KESIMPULAN

18
DAFTAR PUSTAKA

Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. 3rd Ed. Cambridge (UK): RSC
Publishing.
Annous BA, Becker LA, Bayles DO, Labeda DP, Wilkinson, BJ. 1997. Critical
role of anteiso-C15:0 fatty acid in growth of Listeria monocytogenes at low
temperatures, Appl. Environ. Microbiol. 63: 3887-3894.
Badanoui NM, Chikindas M, Montville, TJ. 2007. Changes in Listeria
monocytogenes membrane fluidity in response to temperature stress.
Appl. Environ. Microbiol. 73: 6429-6435.
Barria C, Malecki M, Arraiano CM. 2013. Bacterial Adaptation to Cold.
Microbiology. 159: 2437-2443.
Bayles DO, Tunnick MH, Foglia TA, Miller, AJ. 2000. Cold shock and its effect on
ribosomes and thermal tolerance in Listeria monocytogenes. Appl.
Environ. Microbiol. 66: 4351-4355.
Berry ED, Foegeding PM. 1997. Cold temperature adaptation and growth of
microorganisms. J Food Prot. 60(12):1583–94.
Busta FF. 1978. Introduction to injury and repair of microbial cells. Adv Appl
Microbiol. 23: 195–201.
Brennan M, Wanismail B, Johnson MC, Ray B. 1986. Cellular damage in dried
Lactobacillus acidophilus. J Food Prot. 49:47–53.
Chen CP, Lee RE Jr, Denlinger DL. 1991. Cold shock and heat shock: a
comparison of the protection generated by brief pretreatment at less severe
temperatures. Physiol Entomol. 16: 19-26.
Chintalapati S, Kiran MD, Shivaj S. 2004. Role of membrane lipid fatty acid in
cold adaptation. Cell Mol Biol. 505: 631-642.
Czapski TR, Trun N. 2014. Expression of csp genes in E. coli K-12 in defined rich
and definedminimal media during normal growth, and after cold-shock.
Gene. 547: 91–97.
Everis L. 2001. Injured bacteria in foods. Nutrition and Food Science. 31(2):84-
88. Abstract.
Fernandez MML, Cabrera GM, De Valdez GF, Disalvo A, Seldes AM. 2000.
Influence of growth temperature on cryotolerance and lipid composition of
Lactobacillus acidophilus. J Appl Microbiol. 88:342–348.
Gay M, Cerf O. 1997. Significance of temperature and preincubation temperature
on survival of Listeria monocytogenes at pH 4.8. Lett Appl Microbiol
25:257–60.
Gómez ZA, Disalvo EA, De Antoni GL. 2000. Fatty acid composition and freeze-
thaw resistance in lactobacilli. J Dairy Res. 67:241–247.
Hazeleger WC, Wouters JA, Rombouts FM, Abee T. 1998. Physiological
activities of Campylobacter jejuni far below the minimal growth
temperature. Appl. Environ. Microbiol. 64: 3917– 3922.
Holley RA, Guan TY, Peirson M, Yost CK. 2002. Carnobacterium viridans sp.
nov., an alkaliphilic, facultative anaerobe isolated from refrigerated,
vacuum-packed bologna sausage. Int J Syst Evol Micr. 52: 1881–1885.
Herbert RA. 1986. The ecology and physiology of psychrophilic microorganisms
In: Herbert RA, Codd GA, editors. Microbes in extreme environments.
London: The Society for General Microbiology. London (UK): Academic
Press.

19
Herbert RA. 1989. Microbial growth at low temperature. In: Gould GW, editor.
Mechanisms of action of food preservation procedures. London (UK):
Elsevier Applied Science.
Horn G, Hofweber R, Kremer W, Kalbitzer HR. 2007. Structure and function of
bacterial cold shock proteins. Cell Mol Life Sci 64, 1457–1470.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. 7th Ed. New
York (US): Springer Science + Business Media.
Kidd SP. 2011. Stress Response in Pathogenic Bacteria. CAB International :
Oxfordshire.
Klein W, Weber MHW, Marahiel MA. 1999. Cold shock response of Bacillus
subtilis: isoleucine-dependent switch in the fatty acid branching pattern
adaption to low temperatures. J Bacteriol. 181(17):5341–9.
Lindae A, Eberle RJ, Caruso IP, Coronado MA, de Moraes FR, Azevedo V, Arni
RK. 2015. Expression, purification and characterization of cold shock
protein A of Corynebacterium pseudotuberculosis. Protein Expr Purif.
112: 15–20.
Morita RY. 1975. Psychropilic bacteria. Bacteriol Rev. 39(2):144-167.
Morris GJ, Coulson G, Meyer MA, McLellan MR. 1983. Cold shock - a
widespread cellular reaction. Cryo- Letters. 4: 179-192.
Marechal PA, Marnanon DM, Poirier I, and Gervais P. 1999. The importance of
the kinetics of application of physical stresses on the viability of
microorganisms: significance for minimal food processing. Trends Food Sci
Tech. 10:15–20.
Olson JC, Nottingham PM. 1980. Temperature in microbial ecology of foods
volume 1: factors affecting life and death of microorganisms. International
Commission on Microbiological Specifications for Foods. London (UK):
Academic Press.
Phadtare S. 2004. Recent development in bacterial cold-shock response. Curr
Issues Mol Biol. 6:125-136.
Rosen R and Ron EZ. 2002. Proteome analysis in the study of the bacterial heat
shock response. Mass Spectrometry Reviews. 21:244–265.
Russell, N.J. 1989. Adaptive modifications in membranes of halotolerant and
halophilic microorganisms. J. Bioenerg. Biomembr. 21: 93-113.
Russell, N.J., and Fukunaga, N. 1990. A comparison of thermal adaptation of
membrane lipids in psychrophilic and thermophilic bacteria. FEMS
Microbiol. Rev. 75: 171-182.
Russell NJ, Evans RI, ter Steeg P.F. Hellemons J, Verheul A, and Abee T. 1995.
Membranes as a target for stress adaptation. Int J Food Microbiol. 28:255-
261.
Russell NJ. 2002. Bacterial membranes: the effects of chill storage and food
processing. An overview. Int J of Food Microbiol. 79:27-34.
Schügerl K, Kretzmer G. 2010. Influence of Stress on Cell Growth and Product
Formation. Volume 67. Berlin (DE): Springer Berlin Heidelberg.
Serror P, Dervyn R, Ehrlich, SD, Maguin, E. 2003. Csp-like genes of
Lactobacillus delbrueckii ssp. Bulgaricus and their response to cold shock.
FEMS Mikrobiology Letters. 226: 323-330.
Söderholm H, Lindström M, Somervuo P, Heap J, Minton N, Lindén J, Korkeala
H. 2011. cspB encodes a major cold shock protein in Clostridium botulinum
ATCC 3502. Int J Food Microbiol. 146: 23–30.

20
Soong S, Bae D, Lim L, Griffiths MW, Oh S. 2014. Cold stress improves the
ability of Lactobacillus plantarum L67 to survive freezing. J Food Microbiol.
191: 135-143.
Sopandi T, Wardah. 2013. Mikrobiologi Pangan : Teori dan Praktik. Yogyakarta
(ID): Penerbit ANDI.
Spano G, Massa S. 2006. Environmental stress response in wine lactic acid
bacteria: beyond Bacillus subtilis. Crit Rev Microbiol. 32:77–86.
Sugimoto S, Al-Mahin A, Sonomoto K. 2008. Molecular chaperones in lactic acid
bacteria: physiological consequences and biochemical properties. J Biosci
Bioeng. 106:324–336.
Tanaka Y, Ishino G, Matsuba T, Takayama H, Ishida S. 1999. Survival of bacteria
at a subfreezing temperature (-1oC). Yonago Acta Med. 42: 147-152.
Tsakalidou E, Papadimitriou K, editors. 2011. Stress Response of Lactic Acid
Bacteria. New York (US): Springer.
Van de Guchte M, Serror P, Chervaux C, Smokvina T, Ehrlich SD, Maguin E.
2002. Stress responses in lactic acid bacteria. Antonie van Leeuwenhoek.
82:187–216.
Weber MH, Marahiel MA .2002. Coping with the cold: the cold shock response in
the Gram positive soil bacterium Bacillus subtilis. Philos Trans R Soc Lond
B Biol Sci. 357(1423): 895-907.
Wouters JA, Rombouts F, Kuipers OP, De Vos WM, and Abee T. 2000. The role
of cold-shock proteins in low-temperature adaptation of food-related
bacteria. Minireview. Syst Appl Microbiol. 23:165-173.
Yousef AE, Courtney PD. 2003. Basics of Stress Adaptation and Implications in
New-Generation Foods. (US): CRC Press LLC.

21

Anda mungkin juga menyukai