Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH SUHU TERHADAP POPULASI MIKROBA

(Tugas Makalah Fisiologi Mikroba)

Oleh
Dea Putri Andeska
Eka Nurhasanah
Fatmawati Putri
Nuraini Prija Agustina
Retno Khusniati Rofiqoh
Rizani Oktanisyah
Sarah Niati
Try Larasati
Yovita Selvie Pasaribu

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan mikroorganisme memerlukan faktor-faktor penunjang yang


berbeda-beda tiap spesiesnya. Medium yang cocok untuk pertumbuhan harus
mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh organisme yang ditanam dan
memenuhi faktor-faktor pertumbuhan yang terkontrol seperti pH, temperatur, dan
aerasi. Suhu berperan penting pada pertumbuhan populasi
mikroorganisme..Mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan optimum yang
berbeda-beda. Mikroorganisme psychrophilic tumbuh pada suhu 15-20oC,
mesophilic tumbuh dengan baik pada suhu 30-37oC, dan thermophilic tumbuh
baik pada suhu 50-60oC. Sebagian besar mikroorganisme adalah mesophilic.
Derajat pertumbuhan juga dipengaruhi oleh suhu yaitusuhu inkubasi untuk
menuju keseimbangan populasi mikroorganisme. Ketika derajat pertumbuhan
mikroorganisme telah menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan terjadi
keseimbangan antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup.
Contohnya yaitu pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri Escherechia coli,
Staphylococcus aureus, Lactobacillus sp. dan Pseudomonas sp. Dalam makalah
ini dipaparkan mengenai pengaruh suhu terhadap populasi mikroba, dengan data
yang diperoleh dari berberapa jurnal.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:


1. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap populasi mikroba.
2. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap pertumbuhan berbagai macam
populasi mikroba termasuk jamur dan bakteri.
II. PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Suhu terhadap Populasi Mikroba

Pertumbuhan mikroba pada umumnya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh


faktor lingkungan, perubahan faktor lingkungan dapat mengakibatkan perubahan
sifat morfologi dan fisiologi. Hal ini dikarenakan, mikroba selain menyediakan
nutrient yang sesuai untuk kultivasinya, juga diperlukan faktor lingkungan yang
memungkinkan pertumbuhan mikroba secara optimum. Mikroba tidak hanya
bervariasi dalam persyaratan nutrisinya, tetapi menunjukkan respon yang
berbeda-beda. Untuk berhasilnya kultivasi berbagai tipe mikroba diperlukan
suatu kombinasi nutrient serta faktor lingkungan yang sesuai (Pelczar & Chan,
1986).

Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan hal yang
penting dalam ekosistem pangan. Suatu pengetahuan dan pengertian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan tersebut sangat penting untuk
mengendalikan hubungan antara mikroorganisme-makanan-manusia. Beberapa
faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme meliputi suplai
zat gizi, waktu, suhu, air, pH dan tersedianya oksigen (Buckle, 1985). Kehidupan
bakteri tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, akan tetapi juga
mempengaruhi keadaan lingkungan. Bakteri dapat mengubah pH dari medium
tempat ia hidup, perubahan ini disebut perubahan secara kimia. Adapun faktor-
faktor lingkungan dapat dibagi atas faktor-faktor biotik dan faktor-faktor abiotik.
Di mana, faktor-faktor biotik terdiri atas makhluk-makhluk hidup, yaitu
mencakup adanya asosiasi atau kehidupan bersama antara mikroorganisme, dapat
dalam bentuk simbiose, sinergisme, antibiose dan sintropisme. Sedangkan faktor-
faktor abiotik terdiri atas faktor fisika (misal: suhu, atmosfer gas, pH, tekanan
osmotik, kelembaban, sinar gelombang dan pengeringan) serta faktor kimia
(misal: adanya senyawa toksik atau senyawa kimia lainnya (Hadioetomo, 1993).
Karena semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena
laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh temperatur, maka pola pertumbuhan
bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur juga
mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah total pertumbuhan organisme.
Keragaman temperatur dapat juga mengubah proses-proses metabolik tertentu
serta morfologi sel (Pelczar & Chan, 1986).

Pengaruh temperatur pada petumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan atas


tiga golongan yaitu:
1. Mikroorganisme Psikrofilik adalah bakteri yang dapat bertahan hidup antara
temperatur 0°C sampai 30°C. Sedangkan temperatur optimumnya antara 10°C
sampai 20°C.
2. Mikroorganisme mesofilik adalah bakteri yang dapat bertahan hidup antara
temperatur 5°C sampai 60°C. Sedangkan temperatur optimumnya antara 25°C
sampai 40°C.
3. Mikroorganisme Termofilik adalah bakteri yang dapat bertahan hidup antara
temperatur 55°C sampai 65°C, meskipun bakteri ini juga dapat berkembang
biak pada temperatur yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dengan batas
optimumnya antara 40°C sampai 80°C.

2.2 Fase-Fase Pertumbuhan Mikroba


Berikut ini adalah fase-fase pertumbuhan mikroba :
1. Fase Lag.
Setelah inokulasi, terjadi peningkatan ukuran sel, mulai pada waktu sel tidak
atau sedikit mengalami pembelahan. Fase ini, ditandai dengan
peningkatan komponen makromolekul, aktivitas metabolik, dan kerentanan
terhadap zat kimia dan faktor fisik. Fase lag merupakan suatu periode
penyesuaian yang sangat penting untuk penambahan metabolit
pada kelompok sel, menuju tingkat yang setaraf dengan sintesis sel
maksimum.
2. Fase Log/Pertumbuhan Eksponensial.
Pada fase eksponensial atau logaritmik, sel berada dalam keadaan
pertumbuhan yang seimbang. Selama fase ini, masa dan volume sel
meningkat oleh faktor yang sama dalam arti rata-rata komposisi sel dan
konsentrasi relatif metabolit tetap konstan. Selama periode ini pertumbuhan
seimbang, kecepatan peningkatan dapat diekspresikan dengan fungsi
eksponensial alami. Sel membelah dengan kecepatan konstan yang
ditentukan oleh sifat intrinsik bakteri dan kondisi lingkungan. Dalam hal ini
terdapat keragaman kecepatan pertumban berbagai mikroorganisme. Waktu
lipat dua untuk Escherichia coli dalam kultur kaldu pada suhu 37oC, sekitar
20 menit, sedangkan waktu lipat dua minimal sel mamalia sekitar 10 jam
pada temperatur yang sama.

3. Fase Stasioner.
Pada saat digunakan kondisi biakan rutin, akumulasi produk limbah,
kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain yang tidak diketahui akan
mendesak dan mengganggu biakan, mengakibatkan penurunan kecepatan
pertumbuhan. Selama fase ini, jumlah sel yang hidup tetap konstan untuk
periode yang berbeda, bergantung pada bakteri, tetapi akhirnya menuju
periode penurunan populasi. Dalam beberapa kasus, sel yang terdapat dalam
suatu biakan yang populasi selnya tidak tumbuh dapat memanjang,
membengkak secara abnormal, atau mengalami penyimpangan, suatu
manifestasi pertumbuhan yang tidak seimbang.
Alasan bakteri tidak melakukan pembelahan sel pada fase statis bermacam-
macam. Beberapa alasan yang dapat dikemukan akan adalah :
a. Nutrien habis
b. Akumulasi metabolit toksik (misalnya alkohol,asam, dan basa)
c. Penurunan kadar oksigen
d. Penurunan nilai aw (ketersediaan air)
4. Fase Penurunan Populasi Atau Fase Kematian.
Pada saat medium kehabisan nutrien maka populasi bakteri akan menurun
jumlahnya, Pada saat ini jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel
yang hidup.Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan
energi seluler. Beberapa bakteri hanya mampu bertahan beberapa jam
selama fase statis dan akhirnya masuk ke dalam fase kematian, sementara itu
beberapa bakteri hanya mampu bertahan sampai harian dan mingguan pada
fase statis dan akhirnya masuk ke fase kematian. Beberapa bakteri bahkan
mampu bertahan sampai puluhan tahun sebelum mati, yaitu dengan
mengubah sel menjadi spora.

2.3 Beberapa Penelitian Mengenai Pengaruh Suhu/Temperatur terhadap


Pertumbuhan Mikroba
Dalam beberapa penelitian mengenai pengaruh suhu/temperature terhadap
pertumbuhan suatu mikroorganisme, hasil yang diperoleh berbeda-beda. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena perlakuan yang diberikan di dalam penelitian
berbeda. Namun, perbedaan dalam hasil yang diperoleh ini tetap menunjukkan
bahwa suatu bakteri memang hidup pada kisaran suhu yang sesuai dengan
literatur. Dalam penelitian t.a. elmsly and j. dixon, 2003 tentang “ Growth Rates
Of Ripe Rot Fungi At Different Temperatures”, menyebutkan bahwa rata-rata
pertumbuhan koloni fungi semakin tinggi seiring pertambahan suhu yang
meningkat. Serta rata-rata pertumbuhan yang tinggi terjadi pada fungi spesies
B.p dan b.d yaitu pada suhu 250C dan jenis fungi yang mengalami pertumbuhan
terendah rata-rata di setiap suhunya yaitu fungi jenis C.a. Dapat dilihat pada
kurva pertumbuhan berikut yaitu grafik mewakili seluruh jenis pertumbuhan
fungi yang diamati dalam percobaan.
Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan dari koloni Colletotrichum loeosporioides pada
media PDA dengan temperatur berbeda.

Berikut ini adalah tabel pertumbuhan rata-rata (mm.day-1) dari lima jenis
jamur/fungi berbeda pada media PDA dengan suhu 25°C - 5°C.

Temperature (°C)
Fungi 25 20 15 10 5
C.g. 6.3 5.0 3.4 1.6 0.6
C.a. 4.6 2.4 1.2 0.8 0.3
B.d. 21.2 8.5 6.5 1.5 0.8
B.p. 25.6 12.0 10.5 4.1 0.7
Phomopsis sp. 7.1 4.4 3.4 1.4 0.0

Keterangan 5 jenis fungi antara lain yaitu : Colletotrichum acutatum (C.a.),


Colletotrichum gloeosporioides (C.g.), Phomopsis sp. (P.sp.), Botryosphaeria
dothidea (B.d.) dan Botryosphaeria parva (B.p.).
Pada tabel pertumbuhan kelima jenis fungi tersebut diambil kesimpulan bahwa
semakin tingginya suhu maka semakin tinggi pula pertumbuhannya pada setiap
jenis fungi, namun hanya jenis fungi Botryosphaeria dothidea (B.d.) dan
Botryosphaeria parva (B.p.) yang mengalami peningkatan jumlah koloni yang
tertinggi dan signifikan dari jenis lainnya, serta pertumbuhan terendah dialami
oleh fungi jenis Colletotrichum acutatum (C.a.).

Pada penelitian lain, mengenai pengaruh suhu terhadap populasi bakteri dalam
media mineral sederhana dengan LAS sebagai satu-satunya sumber karbon,
dengan menggunakan media LAS dengan bakteri uji genus spesies Pseudomonas
adalah bahwa isolat P3.2 dan C2.3, memiliki variasi yang nyata pada laju
pertumbuhannya, artinya suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata pada
kedua isolat ini. Sementara itu dua isolat lain yaitu C2.1 dan C2.2 memiliki variasi
laju pertumbuhan yang tidak begitu besar. Untuk isolat C2.1 variasi yang ada pada
suhu 30oC sedangkan pada isolat C2.2 variasi ada pada suhu 40oC, sedangkan
untuk isolat P2.1 tidak berbeda nyata pada tiap variasi suhu yang ada (p>0,05).
Kelima isolat memiliki laju pertumbuhan optimum yang berbeda, isolat P3.2
memiliki laju pertumbuhan terbaik pada suhu 40oC, sedangkan isolat C2.1, C2.2
dan C2.3 mempunyai laju pertumbuhan yang baik pada suhu 30oC. Dari data yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan isolat bakteri dipengaruhi
oleh suhu dan isolat yang berbeda. Pada tabel tersebut dapat dilihat
Linear Alkilbenzena Sulfonat (LAS) itu sendiri merupakan surfaktan anionik yang
digunakan secara luas untuk menggantikan golongan Alkil Benzena Sulfonat
(ABS) sebagai bahan pembersih (detergen). Bakteri anggota Genus Pseudomonas
sp. dominan di sedimen ekosistem sungai yang tercemar deterjen. Hasil penelitian
menunjukan bahwa strain bakteri anggota genus Pseudomonas yang diisolasi dari
ekosistem sungai tercemar memiliki potensi yang baik dalam mendegradasi LAS
(Suharjono et al., 2007).

Bakteri anggota Genus Pseudomonassp.umumnya tumbuh pada suhu optimal yaitu


37 – 40oC. Namun ada beberapa bakteri anggota Genus Pseudomonas yang dapat
hidup pada suhu di bawah suhu optimal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua isolat bakteri dapat tumbuh pada rentang suhu 20oC sampai dengan
40oC tetapi ada beberapa isolat bakteri yang tumbuh lebih baik pada suhu 40oC,
ada juga yang tumbuh lebih baik pada suhu 20oC dan untuk isolat yang lain
tumbuh lebih baik pada suhu 30oC. Perbedaan faktor suhu dapat terjadi karena
bakteri anggota Genus Pseudomonas dapat hidup pada rentang suhu rendah.

Suhu sangat memengaruhi kecepatan pertumbuhan mikrobia, kecepatan sintesis


enzim dan kecepatan inaktivasi enzim (Knob dan Carmona, 2008). Pada penelitian
ini terlihat pada isolat P3.2 dimana laju pertumbuhannya meningkat seiring dengan
peningkatan suhu. Setiap mikroba termasuk bakteri mempunyai suhu optimum,
maksimum dan minimum untuk pertumbuhannya. Jika suhu lingkungan lebih kecil
dari suhu minimum atau lebih besar dari suhu maksimum pertumbuhannya maka
aktivitas enzim akan terhenti bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi
denaturasi enzim (Sari, 2012). Pada penelitian ini, ada isolat yang tidak
memberikan variasi pada tiap perlakuan suhu yang diberikan. Hal ini diduga
terjadi karena suhu yang diberikan masih tergolong dalam rentang suhu optimum
dari pertumbuhannya, sedangkan beberapa isolat memilik variasi laju
pertumbuhan pada perlakuan suhu yang diberikan. Isolat-isolat yang
pertumbuhannya lambat diduga karena faktor suhu yang diberikan lebih kecil dari
suhu minimum atau lebih besar dari suhu maksimum pertumbuhannya. Menurut
Sari (2012) pertumbuhan mikrobia terjadi pada suhu dengan kisaran kira-kira 30oC.
Kecepatan pertumbuhan mikrobia meningkat secara bertahap dengan naiknya suhu
untuk mencapai kecepatan pertumbuhan maksimum. Di atas suhu maksimum
kecepatan pertumbuhan mikrobia menurun dengan cepat, dengan naiknya suhu.

Sedangkan penelitian lain menyebutkan Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan


Staphylococcus aureus, didapat hasil bahwa, peningkatan inkubasi mempengaruhi
tingkat pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan paling lambat terdapat pada suhu 7°C.
Duplikasi populasi Staphylococcusaureus terjadi setelah 123 jam (μ = 0,005 h-1).
Sedangkan pertumbuhan S. aureus pada suhu 8°C terjadi setelah 98 jam (4 hari)
dan tingkat pertumbuhan sekitar 5,5 kali lebih tinggi dari pada 7°C.Peningkatan
berikutnya pada suhu 10°C menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan pada suhu
tersebut sekitar 50% lebih tinggi daripada nilai sebelumnya.Pertumbuhan yang
paling intensif diamati pada suhu 43°C. Populasi Staphylococcus aureus
digandakan setiap21 menit dengan laju pertumbuhan spesifik μ = 1,969 h-1.
Pada suhu 46°C terjadi perlambatan pertumbuhan yang dinamis dan laju
pertumbuhan spesifik berkurang sekitar3,5 kali dengan nilai μ = 0,560 h-1. Sesuai
dengan pengamatan di atas, suhu minimaldan maksimal untuk model pertumbuhan
Staphylococcus aureus sekitar 6°C dan 47°C. Kurva pertumbuhan Staphylococcus
aureus sebagai berikut.
Dari data hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu minimal dan
maksimal untuk model pertumbuhan Staphylococcus aureus sekitar 6°C dan
47°C. Staphylococcus aureus akan mengalami pertumbuhan yang semakin cepat
dengan perlakuan suhu yang semakin mendekati suhu optimum. Tetapi,
pertumbuhan ini akan melambat seiring dengan perlakuan suhu yang mendekati
suhu minimum dan suhu maksimum. Perlambatan pertumbuhan ini berkaitan
dengan penurunan jumlah populasi mikroba (Staphylococcus aureus).

Dari ketiga hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, suhu


mempengaruhi pertumbuhan mikroba, baik pada fungi maupun bakteri, dan
memiliki pertumbuhan yang berbeda, dari setiap jenisnya. Umumnya, mikroba
akan mengalami penurunan populasi ketika perlakuan suhu yang diberikan tidak
pada suhu optimum. Laju pertumbuhannya meningkat seiring dengan
peningkatan suhu (mencapai suhu optimum). Setiap mikroba termasuk bakteri
dan fungi mempunyai suhu optimum, maksimum dan minimum untuk
pertumbuhannya. Jika suhu lingkungan lebih kecil dari suhu minimum atau lebih
besar dari suhu maksimum pertumbuhannya maka aktivitas enzim akan terhenti
bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim sehingga
pertumbuhan tidak optimal atau bahkan terhenti yang menyebabkan penurunan
populasi mikroba.
III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Variasi suhu mempengaruhi pertumbuhan mikroba, baik fungi maupun bakteri.
2. Jenis fungi Botryosphaeria dothidea (B.d.) dan Botryosphaeria parva (B.p.) yang
mengalami pertumbuhan maksimal pada suhu 25°C.
3. Bakteri anggota Genus Pseudomonas umumnya tumbuh pada suhu optimal yaitu
37 – 40oC.
4. Pertumbuhan yang paling intensif pada pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus diamati pada suhu 43°C.
5. Pertumbuhan mikroba pada suhu maksimal akan membuat pertumbuhan mikroba
menurun, akibat enzim yang ada pada mikroba akan rusak oleh suhu yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Ammor S., G. Tauveron, E. Dufour, and I. Chevallier. 2006. Antibacterial activity of


lactic acid bacteria against spoilage and pathogenic bacteria isolated from
the same meat smallscale fascility : 1—Screening and characterization of the
antibacterial compounds. Food Control 17: 454–461.

Copper V. S., Bennet A. F., Lenski R. E., 2001. Evolution of thermal dependence of
growth rate of Escherichia coli population during 20,000 generations in a
constantenvironment. Evolution.(5) 55: 889-896.

Elmsly, T.A. And J. Dixon. 2003. Growth Rates Of RipeRot Fungi At Different
Temperatures. New Zealand Avocado Growers’ Association Annual Research
Report Vol 8 Hal: 77 - 84

Halden, R. U., S. M. Tepp, B. G. Halden & D. F. Dwyer. 1999. Degradation of 3-


Phenoxybenzoic Acid in Soil by Pseudomonas pseudoalcaligenes POB310
(pPOB) and Two Modified Pseudomonas Strains. Appl. Environ. Microbiol.
65(8): 3354-3359.

Medvedova, Alzbeta. 2009. The Effect of Temperature and Water Activity on the
Growth ofStaphylococcus aureus. Hlm 29-30 vol. 27.

Suriani, S., Soemarno, Soeharjono. 2013. PengaruhSuhu dan pH terhadap Laju


pertumbuhan Lima Isolat Bakteri Anggota Genus Pseudomonas yang diisolasi
dari Ekosistem Sungai Tercemar Deterjen di sekitar Kampus Universitas
Brawijaya. Jurnal Mikrobiologi. Hlm-60 vol.3.

Prats D, C. Lopez, D. Vallejo, P. Varo, V.M. Leon, 2006. Effect of temperature on


the biodegradation of Linear Alkylbenzene Sulfonat and alcohol ethoxylate. J.
Surfact. Det. 9 : 69–75.

Anda mungkin juga menyukai