Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah
penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam

satu

lembaga

melaksanakan tugas dan

fungsi nya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi
utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat
umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan
terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. 1
Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi janji-janji dan tujuan-tujuan
hukum untuk mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan.
Perincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, misalnya membuktikan hal
tersebut, diantaranya yaitu:
1.

Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

2.

Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberi


perlindungan dan pertolongan.

3.

Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam.

4.

Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat.

5.

Mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturanperaturan Negara.


1

Mahmud Mulyadi,
Medan,2009,halaman 40

Kepolisian

dalam

sistem

peradilan

pidana,

USU

press,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perincian tugas-tugas polisi sebagaimana yang tertera diatas, mencapai dan


memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi.
Persoalan mulai timbul pada saat dipertanyakan dengan cara bagaimanakah tujuan
tersebut hendak dicapai. Ternyata pekerjaan kepolisian tersebut hanya boleh
dijalankan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu
dari pembatasan-pembatasan tersebut adalah hukum. Polisi ditugasi untuk
menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku. 2
Kepolisian dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 merupakan sebagai alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kepolisian dalam
undang-undang tersebut juga disebutkan mempunyai tujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Disepakati atau tidak sebenarnya polisi adalah pekerja sosial berseragam,
tidak dapat disangkal bahwa mereka menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat
disebut sebagai pelayanan sosial bagi masyarakat yang menjadi tanggung jawab
mereka. Jelas, hanya sebagian kecil dari kerja rutin aparat kepolisian harus mengarah

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing,


Yogyakarta, 2009,Halaman 113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kepada mencegah, menjawab, dan menangani kejahatan. Sebenarnya jasa yang


mereka berikan, entah berkaitan dengan kejahatan atau tidak, merupakan suatu
bentuk layanan jasa sosial. Namun lebih jauh, dalam konteks kerja kepolisian, polisi
harus berurusan dengan sederet pemberi jasa lainnya yang luas, mulai dari biro
layanan keluarga dan anak-anak hingga dinas pekerjaan umum yang menyangkut
pengumpulan sampah dan kondisi jalan. Bukan hal yang aneh jika tiba-tiba polisi
harus menengahi penculikan anak, menangani pertikaian suami-istri, perkelahian
antar

tetangga, dan kasus-kasus depresi serta bunuh diri yang kondusif bagi

kerjasama yang lebih besar dengan biro jasa sosial. Diantara kegiatan mereka, aparat
kepolisian harus tiba-tiba berurusan dengan pemberi jasa lain, atau dalam beberapa
kasus, berhadapan dengan masalah pencegahan kejahtan yang barangkali lebih
beresiko, misalnya yang menyangkut orang-orang jompo atau manula atau pemabuk,
keduanya memerlukan kepekaan yang berbeda antara calon korban dan calon
pelanggar. 3
Polisi pada hakekatnya dihadapkan kepada suatu situasi konflik dan polisi
bertugas untuk mengambil keputusan. Apabila pada akhirnya polisi bertindak, maka
pada saat tersebut polisi telah melakukan suatu yang menguntungkan atau melindungi
salah satu pihak dalam konflik, tetap dengan melawan, mengalahkan merugikan
pihak yang lain, tetapi sulit juga untuk mengharapkan, polisi selalu akan
mempertimbangkan dengan masak-masak segala segi etis dan moral. Untuk itu, maka
3

Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan dan ketertiban


masyarakat perbandingan perspektif dan prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, halaman
83-84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

polisi tidak hanya harus berbuat sebagai seorang polisi, melainkan juga seorang
filosofi. 4
Kepolisian Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diberikan kewenangan dalam hal
melaksanakan tugas sebagai penyelidik dan penyidik.
Penyelidikan merupakan tindakan, bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang
berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara
atau metode atau sub fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu
penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas
kepada penuntut umum. 5
Berdasarkan kewenangan Aparat Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik
dalam membantu memperlancar proses penyidikan maka seorang aparat kepolisian
juga berwenang untuk melakukan Penangkapan, yaitu Wewenang yang diberikan
kepada penyidik khusus nya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sangatlah luas.
Bersumber dari wewenang tersebut,penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak
asasi seseorang, selama masih berpijak pada suatu landasan hukum yang sah. Salah
satu wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak
4

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. halaman 113-117


Ratna Sari, penyidikan dan penuntutan dalam hukum acara pidana, kelompok studi hukum
dan masyarakat fakultas hukum USU, Medan , 1995, halaman 30
5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pidana. Aparat kepolisian juga berwenang melakukan Penahanan,yang merupakan


salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, sehingga penahanan
merupakan suatu kewenangan penyidik yang sangat bertentangan dengan hak asasi
manusia. 6 Penahanan berkaitan erat dengan penangkapan karena seorang tersangka
pelaku tindak pidana yang setelah ditangkap dan memenuhi persyaratan sebagaimana
telah ditentukan oleh Undang-undang, baru dapat dikenakan penahanan guna
kepentingan pemeriksaan. Jadi penangkapan merupakan langkah awal dari
perampasan kemerdekaan tersangka atau terdakwa. 7
Aparat penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari
perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan
dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat, ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak
bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas waktu yang telah
ditentukan, sehingga tersangka/ terdakwa menderita lahir bathin akibat sikap tindak
para aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. 8
Seseorang ditangkap, ditahan, kemudian diadili diforum pengadilan dengan
kekuasaan yang diberikan hukum (khususnya aturan tertulis) mengandung resiko
bahwa, semakin bebas aparatur hukum melaksanakan tugas (kewenangan ) yang

Mahmud Mulyadi, Op.cit, halaman 20


Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta,
1986, halaman 35-36
8
Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, Halaman 3
7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadi


pelanggaran (penyelewengan/penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu
sendiri) merupakan musuh tersembunyi( a hidden enemy). Hal demikian membawa
konsekuensi (semacam tuntutan), perlu kehati-hatian dalam menerapkan aturan,
karena aturan seringkali bias terutama apabila berjalan melalui proses penafsiran. 9
Tindakan

penangkapan sebagai pegangan, baru dapat dilakukan oleh

penyidik apabila seseorang itu: diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan
itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup. Pembuat Undang-undang
menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari
cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan kekurangpastiandalam praktek
hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang
ada atau tidak permulaan bukti yang cukup.
Salah satu solusi yang rasional dan realistis adalah apabila kata permulaan
dalam ketentuan tersebut dihilangkan. Dengan demikian nya ada tercipta suatu
kepastian dalam melakukan proses penangkapan, sebagaimana yang telah diterapkan
dalam hukum acara pidana Amerika yang menentukan bahwa untuk melakukan
tindakan penangkapan atau penahanan harus didasarkan atas affidavit and testimony
yakni harus berdasarkan adanya bukti dan kesaksian . 10
Penangkapan tidak boleh dilakukan terhadap tersangka tindak pidana
pelanggaran sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 KUHAP,
9

Anton F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, Halaman 6-7
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHP,(penyidikan dan
penuntutan)buku I, Sinar grafika, Jakarta, 2007, Halaman 158
10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

namun apabila tersangka tindak pidana pelanggaran tidak memenuhi panggilan


penyidik selama 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah maka tersangka
dapat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk dilakukan
pemeriksaan.
Menurut ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHAP tidak semua tersangka tindak
pidana pelanggaran tidak dapat ditangkap dan ditahan karena menurut ketentuan ini
penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka pelaku percobaan tindak pidana dan
terhadap orang yang memberi bantuan untuk terjadinya suatu tindak pidana.
Setiap dalam melakukan tugasnya, Polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus selalu
bertindak berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak
boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh
melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP menyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut Undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada
perbuatannya itu sendiri. 11
Pelaksanaan wewenang sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat yang
dilakukan oleh aparatnya terkadang terjadi penyimpangan tindakan anggota Polri dari
yang seharusnya dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Padahal
Polisi yang sehari-hari dihadapkan pada tugas yang tak menentu dan berhadapan

11

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung,
1997, halaman 123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

langsung dengan

masyarakat, sangat mutlak memiliki kestabilan

emosi dan

berprilaku baik kepada masyarakat. 12


Kepolisian terutama Polri nyatanya sebagai penyidik yang memiliki
kewenangan dalam menangani setiap tindak pidana. Sebagaimana fenomena yang ada
sekarang tentang Kepolisian Republik Indonesia banyak dijumpai kejanggalankejanggalan dalam hal penyidikan yang melampaui dari batas-batas kewenangannya,
seperti dalam tahap awal pemeriksaan yang seringkali tidak sesuai dengan prosedur
yang telah diatur oleh peraturan perundang-undang yang ada. Penyimpangan
pelanggaran hak asasi manusia terkadang terjadi didalam prakteknya.
Salah satu contoh Korban salah tangkap di Jakarta,yang dianiaya oleh oknum
kepolisian Polres Tangerang Kabupaten, Ujang A. Melalui kuasa hukumnya
mengatakan

telah ditangkap untuk kasus yang kejahatan yang tidak dilakukan,

kemudian dianiaya oknum polisi dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan itu.
"Sampai saat ini tidak ada itikad baik dari kepolisian terkait salah tangkap ini," jelas
kuasa hukum korban. Kuasa hukum korban menjelaskan bahwa Ujang diperlakukan
bak tahanan selama 12 hari. Ia ditangkap, dipaksa mengaku, dianiaya kemudian
dilepas kemudian diajak belanja beli baju lalu diberi uang Rp1 juta. "Keadilannya
dimana, sudah dituduh yang tidak benar, disiksa, lalu sadar telah salah menangkap,
klien dikeluarkan begitu saja tanpa kata maaf dan surat perintah perhentian
penyidikan (SP3)," paparnya. Ujang K sudirman, sehari-harinya bekerja sebagai

12

Anton Tabah, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta,1991, Halaman 23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tukang ojek. Ia sendiri dituduh terlibat kasus pencurian brankas berisi uang tunai Rp.
80 juta dan surat-surat berharga di rumah Mintarja, warga Perumahan Citra Raya,
Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang. 13
Medan Sumatera Utara, juga ada terdapat kasus salah tangkap Sumiyati dan
Sia Kim Tui, istri korban salah tangkap melaporkan kasus kekerasan dan intimidasi
aparat kepolisian ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ditemani aktivis
KontraS Usman Hamid, mereka diterima secara langsung oleh anggota bidang
Hukum Albert Hasibuan.
Menurut laporannya itu, mereka meminta agar pemerintah menindak aparat
yang menangkap suaminya Ang Ho dan Sun An karena dituduh sebagai otak
pembunuhan di Medan, Sumatera Utara. Tidak hanya ditangkap, korban juga
mengalami kekerasan fisik dan seksual saat menjalani pemeriksaan.Sia Kim Tui
ditangkap bersama suaminya saat berada di Hotel JW Marriot. Sedangkan Sumiyati
ditahan kesesokan harinya di Kisaran, Sumatera Utara. Keempatnya dibawa ke ruang
tahanan Mako Brimob Medan, Polsek Medan Timur dan Polresta Medan."Saya dan
suami Sun An ditangkap polisi tanpa surat penangkapan. Saat di tahanan, saya
mendengar suami berteriak karena disiksa. Saya juga diancam intel dan penyidik
berjumlah 10 orang untuk mengakui suami saya otak pelaku pembunuhan," ujar Sia
Kim

di

Wantimpres,

Jakarta,

Selasa

(23/10).

Akibat berada di bawah ancaman sejumlah penyidik, Sun An terpaksa mengakui

13

http://www.gatra.com/hukum/20900-sempat-dipukul,-korban-salah-tangkap-diajakshopping-polisi.html , diakses pada tanggal 5 desember 2012 pukul 15.30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perbuatan yang belum pernah dia lakukan dan menandatangani BAP. Saat
menandatangani,

Sun

An

tidak

didampingi

pengacara

yang

ditunjuk

pemerintah."Selama pemeriksaan, penyidik meminta uang sebesar Rp 12 juta, lalu


minta lagi Rp 20 juta. Total ada Rp 30 juta. Ketika di tahanan, HP dan kartu ATM
suami diambil dan diminta nomor PIN, di sana mereka mengambil semua uang
tabungan yang jumlahnya Rp 50 juta," Sia Kim nada kesal.Tidak selesai di sana,
salah satu penyidik bernama Aiptu Baharuddin yang memeriksa suaminya
mengirimkan surat yang ditandatangai atas namanya. Surat itu berisi permintaan
Baharuddin agar suami maupun keluarga memberikan bantuan untuk dapat
membangun rumah tinggal.Dalam pemeriksaan di pengadilan, keduanya diputus
bersalah dan dihukum seumur hidup, lebih tinggi dari tuntutan JPU selama 20 tahun
penjara."Padahal BAP sudah dibatalkan, tapi hakim pengadilan negeri dan tinggi
Medan menutup mata," sahut Edwin.Terkait pengalaman itu, dengan bantuan dari
kuasa hukum dan KontraS, keluarga melaporkan kejadian yang mereka alami melalui
Propam Mabes Polri, Kompolnas, Komisi Yudisial dan Wantimpres. Mereka
berharap agar mendapatkan keadilan dari peristiwa yang mereka alami. 14
Terjadinya salah tangkap terhadap orang-orang yang tidak sama sekali
bersalah, bahkan lebih dari sekedar penangkapan, orang yang tidak bersalah tersebut
terkadang mau tidak mau harus merasakan pahitnya penahanan dengan kurungan,
menghadapi hukuman yang sama sekali tidak diperbuat oleh korban. Hal ini sudah

14

http://www.merdeka.com/peristiwa/istri-korban-salah-tangkap-polisi-lapor-kewantimpres.html, di akses pada tanggal 7 Desember 2012, pukul 15.30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pasti mengalami mental dan fisik yang negatif pula bagi si korban, selain mendapati
kerugian-kerugian besar bagi keluarga korban salah tangkap tersebut yang sebagian
merupakan tulang punggung bagi kehidupan keluarganya selama ini, kemudian pada
akhirnya di ketahui terjadinya kesalahan Penyidik Polri dalam melakukan tugasnya
sebagai penegak hukum, tetapi hanya dengan membebaskan atau meminta maaf
kepada korban salah tangkap tanpa melihat kerugian-kerugian yang diterima si
korban. Hal tersebut sudah jelas tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang
diperbuat oleh Polri sebagai penyidik.
Aparatur harus mampu mengoptimalkan fasilitas, kinerja yang ditopang oleh
sikap mental agar hasil optimal, dan suasana kondusif dapat diwujudkan. Hal ini
dapat menjadi umpan balik yaitu sebagai bentuk pengendalian diri sekaligus
mekanisme tanggung jawab (akuntabilitas) peradilan yang selama ini sulit dipastikan.
Sangat tidak bijaksana dan memperlihatkan rentannya persoalan apabila seorang
(pejabat peradilan), atau kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan (dalam sebuah
birokrasi) melakukan tindakan (pelanggaran hak asasi) yang merugikan (tersangka
atau masyarakat umum), terlebih jika tindakan tersebut dilakukan dengan dalih atau
dasar

sebuah

aturan

yang

mendukung.

Etika,

akuntabilitas

pejabat

dan

professionalitas merupakan kunci utama yang mampu membawa peradilan kepada


model pelayanan manusiawi, karena peradilan harus memanusiakan manusia sebagai
manusia dan bukan mesin atau objek pasif yang rigid serta tertutup. 15

15

Anthon F. Susanto, Op.Cit, halaman 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk itu saya ingin mengetahui secara lebih jelas bagaimana upaya-upaya
dan pertanggungjawaban penyidik Polri atas kesalahan yang diperbuat dan apa yang
dapat dilakukan korban salah tangkap tersebut untuk menuntut atas hukuman dan
kerugian yang telah korban alami.
Maka dalam kasus diatas saya selaku penulis tertarik untuk membahas dan
untuk mengetahui lebih lanjut mengenai judul skripsi yang berjudul Analisa
Pertanggungjawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah
Tangkap atau Error In Persona.
A. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah fungsi Polri dalam penegakan hukum?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah
tangkap atau error in persona.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
1.

Untuk mengetahui bagaimana fungsi Polri dalam penegakkan hukum.

2.

Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam mengaplikasikan


peraturan perandang-undangan yang mengatur tentang kesalahan penyidik Polri
dalam kasus salah tangkap yang terjadi.

C. Manfaat penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.

Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis
kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu
hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan
pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap korban salah tangkap yang terjadi
atas kesalahan si penyidik sehingga kemungkinan terjadinya kerancuankerancuan dan tumpang tindih hukum dapat diminimalisasi.

2.

Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk kepentingan penegakan
hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan
hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan
keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri
dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah tangkap atau Error In Persona berdasarkan
pemeriksaan arsip hasil penulisan skripsi di Fakultas Universitas Sumatera Utara
(USU) belum pernah dilakukan.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulisan sendiri tanpa ada penipuan, penjuplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulisan dalam mencari
keterangan-keterangan

baik

berupa

buku-buku

maupun

internet,

peraturan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan


pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan. Dengan demikian,
penulisan skripsi merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tanggung Jawab
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah
laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga

berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab


timbul karena telah diterimanya wewenang. Tanggung jawab juga membentuk
hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung
jawab seimbang dengan wewenang.
Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang
telah menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya. Dengan
demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib
menanggung segala sesuatunya. Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia
akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Burhanuddin Salam, dalam bukunya Etika Sosial, memberikan pengertian


bahwa responsibility is having the character of a free moral agent; capable of
determining ones acts; capable deterred by consideration of sanction or
consequences. (Tanggung jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mampu menentukan tindakan seseorang; mampu ditentukan oleh sanksi/hukuman


atau konsekuensi). Setidaknya dari pengertian tersebut, dapat kita ambil 2 kesimpulan
: a)harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan; dan b)harus ada
kesanggupan untuk memikul resiko atas suatu perbuatan. Kemudian, kata tanggung
jawab sendiri memiliki 3 unsur : 1)Kesadaran (awareness). 16
2. Pengertian Penyidik
Menurut KUHAP ketentuan umum, pasal 1 ayat (1) penyidik adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakiikan penyidikan. Dan
kemudian menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengampalkan bukti-bukti terjadi dan guna menemukan tersangkanya, Penyidikan
dilakukan setelah adanya tahap penyelidikan terlebih dahulu yaitu serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai ttndak pidana guna menentnkan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan
oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti
permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan,
Barangkali penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian tindakan pengusutan

16

Muhammad
Joe
Sekigawa,
Tanggung
Jawab
Sosial
Perusahaan,
http://bocahbancar.wordpress.com, Diakses tanggal 28 November 2012, jam 15.34 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bxikti-bukti
sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. 17
Penyidik sebagaimana diatur didalam KUHAP terdiri dari dua bagian yaitu:
A. Penyidik Polri
Penyidik menurut ketentuanTasal 6 ayat (l) huruf a, salah satu instansi yang
diberi wewenang melakukan penyidikan ialah pejabat polisi Negara. Memang dari
segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi
penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat
diberi jabatan sebagai penyidik, haras memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana
hal itu ditegaskan dalam pasal 6 ayat (2), Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2),
kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum
dan hakim peradilan umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP sendiri belum
mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan itu diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi
petunjuk supaya dalarn menetapkan kepangkatan jabatan penyidik disesuaikan
dengan kepangkatan penutut umum dan Hakim Peradilan Negeri Peraturan
Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik sebagaimana yang
dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1
Agustus 1983, berupa PP No. 27 tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik
diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab
17

M. Yahya Harahap, Op,cit., halaman 109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

11 PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian,


dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pejabat penyidik penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh harus
memenuhi syarat kepangkatan dau pengangkaian.
a.

Sekurang-kurangnyaPembantu Letnan Dua Polisi;

b.

Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila


dalam suatu sector kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat
Pembantu letnan Dua;

c.

Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala kepolisian RI.

Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi


penjabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983,
sekalipun prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya
berpangkat pembantu letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang
belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sector kepolisian, Peraturan
Pemerintahan memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota
kepolisian yang berpangkat bintara. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak
serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan Kepangkatan penuntut umum maupun
hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan
pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi
kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak
memadai dan tidak terarah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Penyidik Pembantu
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantudiatur dalam
Pasal 3 PPNo. 27 Tahun 1983.menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan
untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik umum:
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian Negara dengan
syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a)
c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing.
Penyidikan pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa
diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang
mereka miliki dalam bidang tertentu.misalnya ahli kimia atau ahli patologi. Kalau
pegawai negeri sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik
pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan.
Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat pengangkatan dan
keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi
motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai sipil.

B. Penyidik Pegawai Negeri Sipil


Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik negeri sipil
diatur dalam Pasal ayat (1) huruf b, yaitu pegawai sipil yang mempunyai fungsi dan
wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khususnya, yang telah menetapkan


sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Lebih lanjut dapat
dilihat kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan
tugas penyidikan.
1. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah:
a. Koordinasi penyidik Polri, dan
b. Di bawah pengawasan penyidik Polri
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada
penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan (Pasal 107 ayat (1))
3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri
tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu
oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk
mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (pasal 107 ayat (2)).
4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil
penyidikan

tersebut

harus

diserahkan

kepada

penuntut

umum.

Cara

penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui


penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah


dilaporkan

kepada

penyidik

Polri,

penghentian

penyidikan

itu

harus

diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat (3)). 18
3.

Penangkapan
Sering kali dikatakan pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan

sejajar dengan arrest (inggris) sedangkan penahanan sejajar dengan detention


(inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan,
penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara
ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor
polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang
dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.
Penangkapan pada Pasal 1 butir 20 KUHAP dijelaskan: penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka
atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Dari defenisi penangkapan yang disebut dalam pasal 1 butir 20 KUHAP,
maka dapat disimpulkan bahwa yang berwenang melakukan penangkapau ialah:
a.

Penyidik dan alas perintah penyidik juga penyelidik serta penyidik pernbanru
untuk kepentingan penyidikan.

b.

Penuntut umum untuk kepentingan penuntutan.


18

M.Yahya Harahap, Op Cit. halaman 109-114.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c.

Hakim untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan.


Untuk kepentingan penyidikan, maka baik penyidik maupun penyidik

pembantu berwenang melakukan penangkapan. Penangkapan yang akan dilakukan


ditujukan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup
ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Oleh sebab itu
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditajukan
kepada orang yang benar-benar melakukan tindak pidana. 19
Mengenai alasan penangkapan atau syarat penangkapan terdapat dalam pasal
17:
a.

Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana.

b.

Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.
Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan pasal

17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi
pasal 1 butir 14. Selanjtrtnya penjelasan pasal 17 menyatakan; Pasal ini
menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenangwenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Sebagai pegangan, tindakan penangkapan bara dapat dilakukan oleh penyidik
apabila seseorang itu: diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu
didukung oleh permulaan bukti yang cukup. Pembuat undang-undang menyerahkan
sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan
19

Ratna Sari, Op,cit., halaman 36.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang demikian, bias menimbulkan kekurangpastian dalam praktek hukum serta


sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak
permulaan bukti yang cukup. 20
4. Error in persona
Error in persona adalah suatu dwaling, saata salah faham atau kekeliruan dari
pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi, salah paham tentang obyeknya
perbuatan, umpamanya, apabila yang akan dibunuh itu A, kemudian dikira telah
membunuh A, padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B. 21
Keadaan

semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai

kesengajaan untuk membunuh B, Tetapi terdakwa dapat dipidana tergantung dari


bunyinya dakwaan. Jika didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh
karena memang kesengajaannya untuk itu tidak ada. Yang adalah untuk membunuh
A. Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan
pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain dari pada
terdakwa). Jadi error in persona dalam contoh diatas tidak membawa akibat apaapa. 22
G. Metode Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu.
Sebagaimanatentang cara penelitian hams dilakukan, maka metode penelitian yang
digunakan penulis mencakup antara lain:
20

M. Yahya Harahap, Op Cit. halaman 158.


Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2008, halaman 209.
22
Ibid, halaman 216
21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan
pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana sebagai sarana
kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan pembaharuan
hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk
melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana badan di Indonesia dan
aplikasinyaterhadap penegakan hukum di Indonesia.
2. Sumber Data
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang
berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang
terdiri dari :
a.

Norma kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-undang Dasar


Republik Indonesia 1945;

b. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;


c. Undang-undang No, 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang
Hukum acara pidana dan Undang-undang No. 2 Talum 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

d. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan


penelitian ini.

2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan


penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari:
a. Buku-buku yang terkait dengan hukum;
b. Artikel dijurnal hukum;
c. Komentar-komentar atas putusan pengadilan;
d. Skripsi, tesis dan Disertasi Hukum.
e.

karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk


atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yang terdiri dari :
a. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
b. Majalah-majalah yang ada hubungatmya dengan penelitian ini;
c. Surat kabar yang berkaitan dengan materi skripsi;
d. Data skunder diatas akan didukung alat data primer berupa data
laporan
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian Medan pada instansi :
a. Polda Sumatera Utara
b. Pengadilan Negeri Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4. Narasumber Penelitian
a. Kepala Direktur Resort kriminal Umum atau yang mewakilinya
b. Pelaku atau korban salah tangkap atau yang mewakilinya.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Library research (penelitian kepustakaan).
Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan.
dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum
yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
b. Field research (penelitian lapangan)
Yaitu data dilakukan dengan cara wawancara dan mengajukan daftar
pertanyaan kepada responden penelitian.
6. Analisis Data
Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif
dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan


permasalahan dalam penelitian
b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
dasar dalam pengambilan kesimpulan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

H. Sistematika Penulisan
Dalam membantu penulis dan pembaca dalam memahami suatu skripsi perlu
dibuat suatu sistematika (gambaran isi) dengan menguraikan secara singkat materimateri yang terdapat didalam uraian mulai dari bab pertama sampai dengan bab yang
terakhir sehingga tergambar hubunaan antara bab yang satu dengan bab yang lain.
Maka dalam penulisan skripsi ini penulis menyusun secara sistematis dalam
beberapa bab sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang : Latar belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,
Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistemarika Penulisan.

BAB II

: FUNGSI POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM


Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Tugas dan
Fungsi POLRI secara umum, Fungsi POLRI dalam penegakan
hukum, Penyimpangan Prilaku Penyidik dalam Penegakan Hukum

BAB III

: PERTANGGUNGJAWABAN

PENYIDIK

POLRI MENURUT

KUHAP TENTANG POLISI BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN


2002 TENTANG KEPOLISIAN
Dalam

bab

ini

akan

diuraikan

pembahasan

tentang

Pertanggungjawaban Penyidik POLRI Menurut KUHAP Tentang


Polisi Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian,
Prosedur

teknis

Proses

Praperadilan

sebagai

upaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pertanggungjawaban Penyidik terkait kasus salah tangkap di POLDA


Sumatera Utara Tanjung Merawa Medan.
BAB IV

: KESIMPULAN dan SARAN


Dalam bagian terakhir ini akan diuraikan Kesimpulan dan Saran
Skripsi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai