Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN HIDRO-OSEANOGRAFI DALAM MENDUKUNG OPERASIONAL DI

BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (BICT)


Khaidir Hafiz Ramadhan1 dan Ahmad Perwira Mulia Tarigan2
1

Mahasiswa Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1
Kampus USU Medan
Email: khaidirhafiz@ymail.com
2
Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara,
Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus Usu Medan
Email: a.perwira@usu.ac.id

ABSTRAK
Kegiatan bongkar muat di BICT sangat dipengaruhi oleh aspek hidro-oseanografi dan fasilitasnya.Tujuan
penelitian ini untuk mengkaji aspek hidro-oseanografi terkait dengan fasilitas di BICT, khususnya mengevaluasi alur
pelayaran, dermaga, luas kolam pelabuhan dan areal penjangkaran yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil perhitungan
didapat panjang fetch efektif terpanjang dari arah utara. Tinggi gelombang signifikan didapat sebesar 0,26 m dan
periodenya yaitu 2,701 detik. Jumlah sedimen dalam sehari adalah 19.828,713 ton. Berdasarkan jenis kapal terbesar
yang masuk ke pelabuhan, kedalaman alur yang diperlukan yaitu 13,43 mLWS, lebar alur untuk satu jalur adalah
57,6 m, sedangkan untuk dua jalur 144 m, luas kolam pelabuhan yaitu 27,406 ha dan luas areal penjangkaran untuk
satu kapal sebesar 24,26 ha. Berdasarkan hasil analisa di dermaga internasional dibutuhkan 4 dermaga, sedangkan di
dermaga antar pulau 2 dermaga. Karena kedalaman eksisting di alur pelayaran BICT hanya 9,5-12 mLWS, maka
alur tersebut tidak dapat dilalui oleh jenis kapal terbesar ketika sedang terjadi surut atau pun ketika kapal tersebut
bermuatan penuh. Lebar alur eksisiting yaitu 100 m sudah memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan untuk satu
jalur sedangkan untuk dua jalur diperlukan penambahan lebar alur. Kapasitas dermaga sebaiknya ditambah agar
dapat melayani arus bongkar muat yang tiap tahun selalu meningkat.
Kata kunci: BICT, hidro-oseanografi, bongkar-muat.

ABSTRACT
Loading and unloading activities in BICT strongly influenced by aspects of the hydro-oceanographic and
its facilities.Object this study was to examine the hydro-oceanographic aspects related to facilities in BICT,
specifically evaluating the channel shipping, wharf, large of port basin and required anchoring area. Based on
calculations results obtained effective fetch length of the longest from the north. Significant wave height obtained by
0.26 m and the period is 2.701 seconds. The amount of sediment in a day is 19828.713 tons. Based on the type of the
largest ship into the port, the required channel depth is 13.43 mLWS, channel width for one way is 57.6 m, while for
two way 144 m, the large of port basin is 27.406 ha and large of anchoring area for one ships is 24.26 ha. Based on
the analysis in the international wharf required 4 wharf, while inter-island wharf 2. Because the existing depth in
the channel shipping in BICT only 9.5-12 mLWS, that the channel cant be passed by the largest type of ship while it
is happening neap or when the ship is fully loaded. Existing channel width is 100 m already qualified safety and
comfort for one way while for two way required the addition channel width. The capacity of the wharf should be
added in order to serve the current loading and unloading which each year always increasing.
Keywords: BICT, hydro-oceanography, loading and unloading

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan terbesar ketiga di Indonesia yang menjadi salah satu pintu
masuk bagi Kota Medan khususnya dan Sumatera Utara umumya melalui jalur Selat Malaka. Salah satu aktivitas
penting di Pelabuhan Belawan adalah bongkar muat barang di Belawan International Container Terminal (BICT).
Setiap tahun kegiatan bongkar muat di BICT cenderung meningkat yaitu sekitar 9,39 %. Hal ini menjadi bukti
bahwasanya pelayanan di BICT haruslah ditingkatkan karena di era modern ini, mobilitas dan aksesibilitas menjadi
hal yang sangat diperlukan agar waktu yang digunakan dapat digunakan secara efisien.
Beberapa hal yang mempengaruhi kegiatan bongkar muat barang di BICT adalah aspek hidrooseanografinya yaitu bathymetri, pasang surut, gelombang, angin, sedimentasi, dan alur pelayaran serta fasilitas

yang ada di terminal peti kemas tersebut, seperti areal penjangkaran, kolam pelabuhan dan dermaga. Tidak dapat
dipungkiri bahwa hal tersebut di atas sangat berperan besar terhadap kualitas arus lalu lintas kapal yang keluar
masuk di BICT. Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek hidro-oseanografi yang dikaitkan dengan fasilitas terminal
dalam mendukung operasional peti kemas.

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN INFORMASI LOKASI STUDI


Pasang Surut, Angin dan Gelombang
Data pasang surut digunakan untuk analisa pasang surut untuk memperoleh elevasi muka air penting yang
berguna untuk evaluasi dan perencanaan elevasi dermaga. Pasang surut di Belawan terkarakter pasang surut
campuran condong ke harian ganda yang mana berdasarkan hasil analisa Chairunnisa (2008) didapat rentang pasang
surut di Sungai Belawan yaitu 3,41 m. Untuk analisa gelombang nantinya dapat diketahui tingkat keamanan kapal
yang berlabuh di dermaga terhadap kejadian gelombang yang terjadi. Tinggi gelombang kritis untuk bongkar muat
barang di kolam pelabuhan ditentukan berdasarkan jenis kapal, ukuran dan kondisi bongkar muat diberikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Tinggi Gelombang Kritis di Pelabuhan (Triatmodjo, 2007)
Ukuran Kapal
Tinggi gelombang kritis untuk bongkar muat (H 1/3)
Kapal kecil (<500 GRT)
0,3 m
Kapal sedang dan besar (500-500.000 GRT)
0,5 m
Kapal sangat Besar (>500.000 GRT)
0,7-1,5 m
Salah satu cara peramalan gelombang adalah dengan menggunakan data angin, tetapi jangka waktu data
angin yang harus tersedia minimal selama lima tahun. Data angin diperlukan untuk peramalan tinggi dan periode
gelombang signifikan yang dibangkitkan dipengaruhi oleh angin yang meliputi kecepatan angin (U) dan arah angin
dari fecth (F). Dari data angin yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel (ringkasan) atau diagram yang
disebut wind rose (mawar angin). Data angin yang berupa kecepatan perlu dikoreksi untuk mendapatkan faktor
tegangan angin (UA), adapun koreksi tersebut meliputi:
- Koreksi Elevasi
- Koreksi Durasi
- Koreksi Stabilitas
- Koreksi Lokasi Pengamatan
Rumus yang dipakai adalah (Pelabuhan Indonesia I, 2003):
U
RL = W
(1)
UL

di mana UW = kecepatan angin di atas permukaan laut (m/s), R L = nilai yang diperoleh dari Grafik hubungan
antara kecepatan angin di darat dan di laut (Gambar 1) dan UL = kecepatan angin di atas daratan (m/s).

Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Kecepatan Angin di Laut dan di Darat


- Koreksi Koefisien Seret
rumus yang dipakai sebagai berikut:
UA = 0,71 U1,23
(2)
di mana U = kecepatan angin hasil koreksi-koreksi sebelumnya (m/s) dan UA = faktor tegangan angin (m/s).
Kemudian setelah nilai UA didapat maka dapat dicari panjang fetch. Bentuk fetch tidak teratur akibat
bentuk garis pantai yang tidak teratur, maka untuk peramalan gelombang perlu ditentukan fetch efektif dengan
persamaan sebagai berikut:
(x cos )
Feff = i
(3)
cos
di mana Feff = panjang fetch efektif (km), Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke

ujung akhir fetch (km) dan = deviasi pada kedua sisi dari arah angin dengan menggunakan pertambahan 6 o sampai
sudut sebesar 42o pada kedua sisi arah angin.
Setelah panjang fetch efektif di dapat, maka untuk menentukan tinggi dan periode gelombang, digunakan
hasil analisa UA dan Feff. Persamaan yang dipakai dari metode SMB adalah sebagai berikut:
Untuk panjang fetch tidak terbatas (US Army, 1984):
g.H
1
(4)
2 = 2,433 x 10
UA
g.T
UA

= 8,133

(5)

di mana H = tinggi gelombang signifikan (m), T = periode gelombang (detik), g = percepatan gravitasi bumi = 9,81
(m/s2), UA = faktor tegangan angin, Feff = panjang fetch efektif (km) dan t = waktu hembus angin (jam).

Angkutan Endapan
Salah satu rumus yang bisa digunakan dalam menghitung angkutan sedimen adalah Persamaan Engelund
and Hansen (Yang, 2003), yang mana rumusnya yaitu:
qs = 0,05s V

d 50

g s 1

1
2

3
2

s d 50

(6)

di mana qs = jumlah angkutan sedimen (lb/s)/m, s = berat jenis sedimen (lb/ft3), V = kecepatan aliran rata-rata
(ft/s), d50 = ukuran diameter sedimen (ft), g = percepatan gravitasi bumi (ft/s2), = berat jenis air (lb/ft3) dan 0 =
tegangan geser (lb/ft2).
Kemudian untuk mencari muatan sedimen (Qs) maka gunakan rumus (Yang, 2003):
Qs = W x q s
(7)
di mana W = lebar dasar sungai (ft).

Alur Pelayaran
Alur Pelayaran eksisting di BICT (Pelabuhan Belawan) memiliki kedalaman 9,5-12 mLWS dan lebar 100
m. Untuk menghitung kedalaman alur pelayaran, rumus yang dipakai adalah (Tsinker, 2004):
H=d+z+G+R+K+S
(8)
di mana H = kedalaman total air di alur pelayaran saat muka air terendah (m), d = draft kapal atau loaded vessel
draft (m), G = gerakan vertikal kapal karena gelombang atau wave induced motion (m), R = ruang kebebasan bersih
atau safety clearance (m), K = toleransi pengerukan atau dredging tolerance (m), S = endapan sedimen diantara dua
pengerukan atau advanced maintenance dredging (m) dan z = squat (m).
Untuk menghitung lebar alur pelayaran
satu jalur maka rumusnya adalah (Tsinker, 2004):
n
W WBM Wi WBr / WBg
(9)
i1
Sedangkan untuk alur pelayaran dua jalur
yaitu
(Tsinker,
2004):
n
W 2WBM 2 Wi WBr / WBg W
(10)
i1
di mana W = lebar alur pelayaran (m), WBM = ruang aman manuver kapal atau basic maneuvering lane (ML), WP =
ruang aman antar kapal atau ship clearance lane (SC), WBr dan WBg = ruang aman sisi kapal atau bank clearance
(BC) dan Wi = faktor lingkungan.
P

Areal Penjangkaran dan Kolam Pelabuhan


Besarnya kebutuhan areal penjangkaran dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Areal Penjangkaran (Triatmodjo, 2007)
Tipe Tambatan
Tanah Dasar atau kec. Angin
Jari-jari (m)
Tambatan bisa
Pengangkeran baik
Loa + 6h
Penungguan di lepas pantai
berputar 360o
Pengangkeran jelek
Loa + 6h + 30
atau Bongkar muat barang
Tambatan dengan
Pengangkeran baik
Loa + 4,5h
dua jangkar
Pengangkeran jelek
Loa + 4,5h + 25
Penambatan selama ada
Kec. angin 20 m/d
Loa + 3h + 90
badai
Kec. angin 30 m/d
Loa + 4h + 145
di mana Loa = panjang total kapal (m) dan h = Kedalaman air (m).
Untuk mencari luas kolam pelabuhan maka dapat didasarkan pada luas kolam putar atau juga panjang dan
lebar kolam pelabuhan. Ukuran kolam putar pelabuhan dalam buku Design and Construction of Port and Marine
Structure pada Tugas Akhir Ngainunimah (2006) sebagai berikut:
Penggunaan

Ukuran diameter turning basin optimum untuk melakukan manuver berputar yang mudah adalah 4 Loa.
Ukuran diameter turning basin menengah adalah 2 Loa, manuver kapal saat berputar lebih sulit dan
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Ukuran diameter turning basin kecil adalah < 2 x Loa, untuk turning basin tipe ini, manuver kapal akan dibantu
dengan jangkar dan tug boat/kapal tunda.
Ukuran diameter turning basin minimum adalah 1,2 x Loa, manuver kapal harus dibantu dengan tugboat, jangkar
dan dolphin. Kapal ini harus memiliki titik-titik yang pasti sebagai pola pergerakannya saat berputar.
Untuk mencari panjang dan lebar kolam pelabuhan maka caranya sebagai berikut:
Panjang kolam tidak kurang dari panjang total kapal (Loa) ditambah dengan ruang yang diperlukan untuk
penambatan yaitu sebesar lebar kapal.
Apabila dermaga digunakan untuk tambatan tiga kapal atau kurang, lebar kolam di antara dermaga adalah sama
dengan panjang kapal (Loa). Sedangkan dermaga untuk empat kapal atau lebih, lebar kolam adalah 1,5 Loa.

Dermaga
Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah dermaga yaitu:
Volume Arus Muatan
Jumlah dermaga =

(11)

Kap asitas Dermaga x BOR

Berth Occupancy Ratio (BOR) adalah prosentase pemakaian dermaga dibanding keberadaannya dalam
suatu periode tertentu biasanya setahun. Rumus untuk mencari kapasitas dermaga yaitu:
Kapasitas dermaga = jumlah alat x produktifitas x waktu kerja x koefisien
(12)
Panjang dermaga untuk pelabuhan peti kemas umunya menggunakan sistem tambat kapal berderet, maka
untuk mencari ukurannya digunakan rumus:
Lp = n.Loa + (n 1) 15 + 50
(13)
di mana Lp = panjang dermaga (m), n = jumlah kapal yang bertambat (unit), Loa = panjang total kapal (m), 15 =
ketetapan (jarak antara buritan ke haluan dari satu kapal ke kapal lain) dan 50 = ketetapan (jarak dari kedua ujung
dermaga ke buritan dan haluan kapal).
Elevasi dermaga ditentukan dengan menambahkan elevasi pasang tertinggi ditambah tinggi gelombang
yang terjadi akibat angin atau fetch di dalam kolam pelabuhan dan tinggi jagaan. Menurut Standard Design Criteria
for Port in Indonesia tinggi jagaan pelabuhan adalah 0,5 sampai dengan 1,5 meter.

3. METODE PENELITIAN
Gambar 2 menjelaskan secara skematik lingkup dan tahapan penelitian.
Mulai
Studi Literatur

Pengumpulan Data

Klimatologi dan
Topografi

HidroOseanografi

Pengolahan data angin,


dan sedimentasi

Bathymetri

Pengolahan data
kedalaman alur dan
areal penjangkaran

Data kapal yang


bersandar di BICT

Pengolahan data
karakteristik kapal

Data eksisting BICT dan


navigasi di Pelabuhan Belawan
Pengolahan data alur, areal
penjangkaran, kolam
pelabuhan dan dermaga

Analisa data dan evaluasi :


- Evaluasi alur pelayaran
- Menghitung luas kolam pelabuhan dan areal penjangkaran yang dibutuhkan
- Evaluasi Dermaga

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 2. Tahapan Penelitian Tugas Akhir

4. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA


Angin
Berdasarkan data maka didapat dibuat wind rose seperti pada Gambar 3 berikut.
U

60 %
50 %

BL

TL

40 %
30 %
20 %
10 %

BD

TG

: 5 - 7 knot (9,26 -12,964 km/jam)


: 3 - 5 knot (5,556 - 9,26 km/jam)
: 1 - 3 knot (1,852 - 5,56 km/jam)

Gambar 3. Wind Rose di Pelabuhan Belawan


Dari wind rose di atas terlihat bahwa arah angin yang dominan adalah arah angin dari timur laut yaitu
sebesar 56,66 %, sedangkan kecepatan dominannya yaitu 3-5 knot sebesar 56,67 %, Kecepatan angin yang didapat
dari data perlu dikoreksi untuk mendapatkan U A dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Koreksi Elevasi
Karena pengukuran angin dilakukan pada elevasi 10 m, maka koreksi ini tidak perlu dilakukan.
2. Koreksi Durasi
Data angin diukur jam-jaman yang dikonversikan pada rata-rata bulanan, maka konversi ini tidak perlu
dilakukan.
3. Koreksi Stabilitas
Lokasi stasiun pengamatan terletak di daerah yang dekat dengan pantai dan perbedaan suhu antara daratan dan
lautan hampir sama, maka tidak perlu adanya koreksi terhadap perbedaan stabilitas.
4. Koreksi Lokasi Pengamatan
Pengamatan angin dilakukan di sekitar daerah BICT, yaitu BMKG Maritim Belawan. Pengukuran ini dilakukan
di darat sehingga perlu dilakukan koreksi. Nilai kecepatan angin di darat (U L) harus ditransformasikan menjadi
kecepatan angin di laut.
- Berdasarkan Kecepatan Angin rata-rata
Dengan kecepatan angin di darat dirata-ratakan yaitu sebesar 3,73 knot. Kemudian diplot pada Gambar 1
menghasilkan nilai RL = 1,8. Kemudian gunakan Persamaan 1, yaitu:
UW
RL =
UL
UW = 1,8 x 3,73
= 6,714 knot = 3,451 m/s
- Berdasarkan Kecepatan Angin rata-rata Maksimum
Dengan kecepatan angin di darat yaitu rata-rata maksimum sebesar 6,1 knot. Kemudian diplot pada Gambar
1 menghasilkan nilai RL = 1,6. Maka nilai UW = 1,6 x 6,1
= 9,76 knot = 5,017 m/s
5. Koreksi Koefisien Seret
Kecepatan angin dikonversikan pada faktor tegangan angin dengan menggunakan Persamaan 2, sehingga
didapat:
- Berdasarkan Kecepatan Angin rata-rata
UA = 0,71 x U1.23
= 0,71 x (3,451)1,23 = 3,258 m/s
- Berdasarkan Kecepatan Angin rata-rata Maksimum
UA = 0,71 x (5,017)1,23
= 5,162 m/s
Setelah itu maka panjang fetch efektif dapat dicari. Pelabuhan BICT ini berada di pantai yang menghadap
ke timur laut sehingga arah angin yang berpengaruh adalah arah Utara, Timur Laut dan Timur. Perhitungan fetch
efektif dapat dilihat pada Tabel 3.


42
36
30
24
18
12
6
0
-6
-12
-18
-24
-30
-36
-42
Total

Cos
0,7431
0,8090
0,8660
0,9135
0,9511
0,9781
0,9945
1,000
0,9945
0,9781
0,9511
0,9135
0,8660
0,8090
0,7431
13,5106

Tabel 3. Perhitungan Panjang Fetch Efektif


x (km)
utara
timur laut
timur
utara
78,23
440,18
250,46
58,13
1047,76
298,87
229,05
847,63
1164,83
347,76
232,21
1008,74
1146,77
291,51
225,45
1047,57
1346,25
322,91
218,95
1280,42
1358,52
306,46
213,27
1328,76
416,63
282,59
225,15
414,34
436,7
230,96
232,29
436,7
380,43
229,41
262,97
378,33
289,04
226,67
292,61
282,71
280,89
230
292,52
267,15
264,8
222,21
411,65
241,89
290,42
207,17
25,34
251,50
271,65
222,13
0
219,76
218,77
219,43
0
162,57
8226,2

x.cos
timur laut
327,09
241,78
301,16
266,29
307,12
299,75
281,03
230,96
228,15
221,70
218,75
202,99
179,41
179,70
163,06
3648,94

timur
186,11
185,30
201,09
205,95
208,24
208,60
223,91
232,29
261,52
286,20
278,21
376,04
21,94
0
0
2875,4

8226,2
= 608,87 km
13,5106
3648,94
Fefektif timur laut =
= 270,08 km
13,5106
2875,4
Fefektif timur =
= 212,82 km
13,5106
Dari hasil analisa fetch diatas didapat fetch efektif terpanjang dari utara. Karena ketiga arah mata angin
tersebut terlampau jauh maka fetch tersebut tidak mempengaruhi tinggi gelombang yang terjadi di perairan BICT.
Fefektif utara =

Tinggi dan Periode Gelombang


Untuk menghitung tinggi dan periode gelombang maka digunakan Persamaan 4 dan 5. Hasil perhitungan
tinggi dan periode gelombang di laut dalam dapat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Perhitungan Tinggi dan Periode Gelombang
UA (m/s)
Tinggi gel. (m)
Berdasarkan kec. angin rata-rata
3,258
0,26 m
Berdasarkan kec. angin rata- rata maximum
5,162
0,66 m

Periode gel. (detik)


2,701
4,279

Berdasarkan hasil analisa data total kecepatan angin 3-5 knot yaitu 56,67 % sehingga menjadi kecepatan
angin dominan di perairan BICT, sedangkan total kecepatan angin 5-7 knot hanya 16,66 %. Oleh karena itu yang
menjadi tolak ukur tinggi gelombang di BICT adalah yang berdasarkan kecepatan angin rata-rata yaitu 0,26 m.
Gelombang tersebut tidak perlu direfraksi karena tingginya masih di bawah tinggi gelombang kritis untuk kapal peti
kemas yang bersandar di BICT dengan ukuran kapal 2.994-61.114 GRT melakukan bongkar muat sebesar 0,5 m.
Analisa tersebut juga menunjukkan bahwa perairan pelabuhan ini tidak membutuhkan breakwater.

Angkutan Endapan
Berdasarkan hasil uji di Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil USU maka di dapat
analisa distribusi butiran sedimen untuk sampel yang diambil di lapangan pada Tabel 5 dan Gambar 4 berikut ini.

Saringan
nomor
No.10
No.20
No.40

Tabel 5. Hasil Analisa Saringan Sampel Sedimen


Berat diatas
Jumlah berat
Persen
Persen
(gr)
diatas (gr)
diatas (%)
melalui (%)
10,2
10,2
1,83
98,17
20,3
30,5
5,47
94,53
31,5
62
11,12
88,88

Persen seluruh
contoh melalui (%)
98,17
94,53
88,88

No.80
No.120
No.200

60,8
87,2
104,3

122,8
210
314,3

22,02
37,65
56,35

77,98
62,35
43,65

77,98
62,35
43,65

Gambar 4. Grafik Distribusi Ukuran Sampel Sedimen.


Dari gambar 4 dapat ditemukan diameter sedimen berikut D50 = 0,095 mm = 3,115 x 10-4 ft, dan juga
persentase pasir sebesar 58 %, lanau sebesar 3 %, dan lempung sebesar 39 %. Berdasarkan klasifikasi tanah menurut
USDA maka karakteristik sedimen tersebut dapat digolongkan kepada sandy clay (lempung berpasir). Berat jenis
sedimen dipakai yaitu pasir karena merupakan persentase terbesar pada sedimen hasil analisa yang mana nilai yang
diambil yaitu 2,65 gr/cm3 = 2650 kg/m3. 2650 kg/m3 = 164,3 lb/ft3. Perhitungan angkutan sedimen ini menggunakan
Metode Engelund and Hansen. Kecepatan aliran rata-rata (V) = 1,601 ft/s. percepatan gravitasi = 32,184 ft/s 2. Berat
jenir air di muara sungai belawan diambil dari Ronggodigdo (2011) yaitu sebesar 999,14 kg/m 3. 999,14 kg/m3 =
61,946 lb/ft3. Nilai tegangan geser (0 ) = 0,168 lb/ft 2 , sedangkan lebar dasar sungai (W) didapat dari google earth
yaitu 240 m = 787,392 ft. Maka untuk mencari jumlah angkutan sedimen (qs) gunakan Persamaan 6, yaitu:
1
2

qs = 0,05s v

d50
s
g
1

3
2

s d50
1
2

2
3,115x104
0,168
= 0,05x164,3x1,601
= 0,642 (lb/s)/ft
4
164,3
164,3

61,946
x3,115x10
32,184
1
61,946
Hitung muatan sedimen (Qs) menggunakan Persamaan 7, yaitu:
Qs = W x q s
= 787,392 x 0,642 = 505,505 lb/s
Bila dikonversikan ke dalam satuan kg/s maka dikalikan 0,454, sehingga 505,505 lb/s = 229,499 kg/s.
86400
Q s = 229,499
1000
= 19.828,713 ton/hari
Bila asumsi satu bulan sama dengan 30 hari, maka muatan sedimen untuk satu bulan adalah:
= 19.828,713 x 30 hari
= 594.861,39 ton
jika asumsi dalam 1 tahun semua bulan 30 hari, maka jumlah sedimennya dalam setahun adalah:
= 594.861,39 x 12
= 7.138.336,68 ton
Untuk lebih akurat dalam membandingkan hasil perhitungan muatan sedimen dengan hasil pengerukan
yang dilakukan PT Pelindo I maka diperlukan perbandingan luas wilayah yang dihitung. Luas tersebut merupakan
luas muara sungai belawan yang didapat dengan bantuan google earth yaitu 2.140.545 m2, maka didapat hasil
sebagai berikut:
Muatan Sedimen (ton)
Jumlah (ton/m2 ) =
Luas (m2 )
7.138 .336,68
=
= 3,334 ton/m2
2.140 .545
Kemudian hasil tersebut dibandingkan dengan luas wilayah yang dilakukan pengerukan. Berdasarkan data,
volume keruk di kolam pelabuhan BICT pada Tahun 2012 yaitu 8147,46 m3. 8147,46 m3 dikonversikan ke dalam
satuan ton maka dikalikan 2,65, karena berat jenis sedimen yang diapakai adalah 2650 kg/m 3, Maka: 8147,46 m3 x
2

2,65 = 21590,769 ton. Sedangkan luas kolam pelabuhan di BICT berdasarkan perhitungan adalah 274.069,35 m 2.
Maka jumlah pengerukan yang dilakukan untuk setiap m2 yaitu:
21590,769 ton / 274.069,35 m2 = 0,078 ton/m2.
Berdasarkan hasil analisa ini didapat bahwa volume sedimen berdasarkan analisa lebih besar daripada
volume keruk yang dilakukan oleh PT. Pelindo I. Itu dikarenakan mulut muara sungai belawan tidak hanya terdapat
kolam pelabuhan BICT saja tetapi juga ada alur kolam citra dan kolam pelabuhan Ujung Baru. Selain itu tidak
semua bagian mulut muara sungai belawan merupakan kolam pelabuhan BICT.

Alur Pelayaran
Untuk menghitung kedalaman alur pelayaran maka yang digunakan adalah Persamaan 8, yaitu sebagai
berikut:
H=d+z+G+R+K+S
Draft (d) yang digunakan dalam perhitungan ini adalah draft kapal terbesar yang bersandar di BICT.
Berdasarkan data draft kapal terbesar adalah 12 m. Nilai squat (Z) yaitu 0,38 m. gerakan vertikal karena gelombang
nilainya diabaikan karena periode gelombang yang diperoleh hasil analisanya nilainya kecil. Nilai ruang kebebasan
bersih diambil 0,6 m, karena kondisi dasar alur pelayaran berdasarkan analisa sedimentasi berbutir halus. Nilai
toleransi pengerukan diambil 0,45 m. Nilai endapan sedimen diantara dua pengerukan diabaikan karena dibutuhkan
survey hidrologi berkala untuk mendapatkan nilainya, maka dari itu nilainya dijadikan satu dengan toleransi
pengerukan.
Maka kedalaman alur pelayaran yang diperoleh adalah:
Kedalaman alur = 12 m + 0,38 m + 0 m + 0,6 m + 0,45 m
= 13,43 mLWS
Berdasarkan hasil analisa diatas maka kapal dengan draft 12 m tidak dapat bersandar di dermaga BICT
apabila sedang terjadi surut di perairan pelabuhan belawan karena kedalaman eksisiting alur pelayaran di BICT
yaitu 9,5-12 mLWS, atau mungkin kapal dengan draft tersebut tidak bermuatan penuh ketika akan bersandar di
BICT sehingga draft kapal tersebut dapat di bawah 12 m. Oleh karena itu kedalaman alur pelayaran di belawan perlu
ditambah menjadi 13,43 m lagi agar lalu lintas kapal tidak tergantung pasang surut air laut dan banyaknya muatan
yang dibawa oleh kapal, sehingga waktu tunggu kapal untuk bersandar di BICT bisa lebih dipersingkat.
Lebar eksisting alur pelayaran di BICT sebesar 100 m, untuk mengevaluasi lebar alur untuk satu jalur maka
rumus yang dipakai menggunakan Persamaan 9, yaitu:
n
W WBM Wi WBr / WBg
i1

- Nilai WBM yang dipilih adalah 1,5 B.


- Nilai WBr diambil 0,3 B.
- Nilai Wi didapat 0 B.
Lebar kapal (B) terbesar yaitu 32 m. Maka lebar alur pelayaran satu jalur adalah:
W = 1,5 B + 0 B + 0,3 B = 1,8 B
= 1,8 (32) = 57,6 m
Dari analisa diatas maka diketahui bahwa lebar alur pelayaran eksisting di BICT sudah memenuhi syarat
keamanan dan kenyamanan untuk lalu lintas satu kapal (satu jalur). Bila alur pelayaran di belawan ingin dapat
dilalui 2 kapal yang saling berpapasan sehingga dapat mempersingkat waktu kapal di areal penjangkaran maka
rumus yang digunakan untuk menghitung kebutuhan alur
tersebut adalah Persamaan 10, yaitu:
n
W 2WBM 2 Wi WBr / WBg WP
i1

Hampir sama dengan rumus untuk satu jalur bedanya ada penambahan W p. nilai Wp yaitu didapat 1,2 B.
Maka lebar alur pelayaran dua jalur adalah:
W = 2 (1,5 B) + 2 (0) + 0,3 B + 1,2 B = 4,5 B
= 4,5 (32) = 144 m
Berdasarkan analisa kebutuhan alur untuk 2 jalur maka lebar alur pelayaran eksisiting di BICT perlu
ditambah 44 m lagi sehingga nantinya dapat mendukung operasional kapal, dan tentunya akan mempersingkat
waktu tunggu kapal di BICT khusunya dan Pelabuhan Belawan pada Umumnya.

Areal Penjangkaran dan Kolam Pelabuhan


Rumus yang dipakai untuk menghitung jari-jari areal penjangkaran untuk satu buah kapal menurut Tabel 3 adalah:
r = Loa + 4,5 h
Panjang kapal (Loa) yang digunakan dalam perhitungan ini adalah panjang kapal terbesar yang bersandar di
BICT yaitu 210,01 m, sedangkan kedalaman air di areal penjangkaran berkisar antara 10-20 m, pada perhitungan ini
dipakai kedalaman air 15 m. sehingga jari-jarinya adalah:
= 210,01 + 4,5 (15)

= 277,51 = 278 m
Maka luas areal penjangkaran untuk satu buah kapal yaitu:
Luas = r2
= 3,14 278 2 = 242.671,76 m2 = 24,26 ha
Seperti yang sudah dijelaskan pada tinjauan pustaka, luas kolam pelabuhan dapat didasarkan pada luas
kolam putar. Rumus yang dipakai untuk mencari diameter kolam putar adalah untuk diameter kolam putar
menengah. Panjang kapal yang digunakan adalah panjang kapal terbesar yaitu 210,01 m. Maka rumus yang
digunakan untuk mencari diameter kolam putar yaitu:
D = 2 x Loa
= 2 x 210.01 = 420,02 m
Sedangkan untuk mencari luas kolam putar maka digunakan rumus mencari luas lingkaran, maka didapat
luasnya yaitu 13,85 ha. Kemudian bila didasarkan cara mencari panjang dan lebar kolam pelabuhan maka dicari
terlebih dahulu panjang kolam pelabuhan, yang mana harus diketahui terlebih dahulu jumlah kapal yang dapat
berlabuh di dermaga pada saat bersamaan. Untuk di dermaga internasional bila kapal terpanjang dengan panjang
210,01 m dengan lebar yaitu 32 m yang bersandar maka hanya bisa untuk 2 kapal, sedangkan di dermaga antar
pulau bila kapal terpanjang dengan panjang 186 m dengan lebar yaitu 30 m yang bersandar maka hanya bisa untuk 1
kapal ukuran 186 m ditambah kapal dengan ukuran 148 m dengan lebar yaitu sekitar 22 m. Sehingga bila dicari
panjang kolam pelabuhan maka didapat:
Panjang kolam pelabuhan = (210,01 + 32) + (210,01 + 32) + (186 + 30) + (148+22) = 870,02 m
Untuk mencari lebar kolam pelabuhan, sesuai dengan keterangan sebelumnya dermaga di BICT dapat
ditambat oleh 4 kapal maka rumusnya adalah 1,5 Loa, sehingga lebar kolam pelabuhan yang dibutuhkan adalah:
Lebar kolam pelabuhan = 1,5 x 210,01 = 315,015.
Maka luas kolam pelabuhan yang dibutuhkan BICT yaitu:
Luas kolam pelabuhan = (Panjang x Lebar) kolam pelabuhan
= 870,02 x 315,015
= 274.069,35 m2 = 27,406 ha
Karena luas kolam pelabuhan berdasarkan panjang dan lebar didapat lebih besar daripada berdasarkan luas
kolam putar berdasarkan buku Design and Construction of port and Marine Structure pada Tugas Akhir
Ngainunimah (2006) maka yang dipakai sebagai kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah yang 27,406 ha,

Dermaga
Rumus yang dipakai dalam mencari jumlah dermaga adalah Persamaan 11, yaitu:
Volume Arus Muatan
Jumlah dermaga =
Kapasitas Dermaga x BOR
Terlebih dahulu harus diketahui kapasitas dermaga dengan menggunakan Persamaan 12. Berdasarkan
informasi yang didapat peneliti, BICT dalam satu tahun diperhitungkan 365 hari kerja dengan 24 jam kerja dalam
satu hari. Produktifitas container crane per jam dari data didapat 28 peti kemas per jam. Satu dermaga biasanya
dilayani oleh 2 container crane. Kapasitas dermaga harus dikalikan dengan koefisien reduksi. Berdasarkan analisa
kapasitas dermaga oleh Sukmana (2007), koefisien reduksi yang dipakai adalah 0,7, sehingga kapasitas satu
dermaga adalah:
Kapasitas dermaga = 2 x 28 x 24 x 365 x 0,7
= 343.392 TEUs / tahun
Dari data, di dermaga internasional volume arus muatannya sebesar 418009,091 TEUs dan rata-rata nilai
BOR adalah 38,39 %, sedangkan di dermaga antar pulau volume arus muatannya sebesar 406301,454 TEUs dan
rata-rata nilai BOR adalah 67 %. Sehingga jumlah dermaga yang dibutuhkan adalah:
- Dermaga Internasional
418009,091
Jumlah dermaga =
343392 x 38,39 %
= 3,17 = 4 dermaga
- Dermaga Antar Pulau
406301,454
Jumlah dermaga =
343392 x 67 %
= 1,76 = 2 dermaga
Di dermaga internasional, jumlah kapal yang dapat bersandar pada waktu yang bersamaan bisa 2-4 kapal
tergantung ukuran kapal yang bersandar, tetapi bila berdasarkan ukuran kapal rata-rata yang bersandar seperti yang
ada pada perhitungan panjang dermaga, maka hanya 3 kapal saja yang bisa bersandar pada waktu yang bersamaan,
sedangkan bila berdasarkan analisa diatas kebutuhan akan kapal yang bersandar lebih dari 3 kapal. Oleh karena itu

jumlah dermaga internasional perlu ditambah 1 dermaga lagi. Sedangkan di dermaga antar pulau, jumlah kapal
yang dapat bersandar pada waktu yang bersamaan yaitu 2-3 kapal tergantung ukuran kapal yang bersandar. Jika
berdasarkan ukuran kapal rata-rata yang bersandar seperti yang ada pada perhitungan panjang dermaga, maka hanya
2 kapal saja yang bisa bersandar pada waktu yang bersamaan, sehingga bila berdasarkan hasil analisa di atas jumlah
dermaga antar pulau sudah sesuai dengan volume bongkar muat yang terjadi.
Untuk mengetahui panjang dermaga yang dibutuhkan maka gunakan Persamaan 13. Panjang kapal yang
digunakan dalam analisa ini adalah panjang kapal terbesar, rata-rata dan yang terkecil yang didapat dari data, baik di
dermaga internasional maupun antar pulau. Berdasarkan Persamaan 13 maka didapat kebutuhan panjang dermaga
bila kapal dengan ukuran yang sama bersandar di dermaga BICT yang dibuat ke dalam Tabel 6.

Dermaga
antar pulau
(eksisiting
400 m)

Dermaga
internasional
(eksisting
550 m)

Berdasarkan
panjang kapal
terbesar
Berdasarkan
panjang kapal
rata-rata
Berdasarkan
panjang kapal
terkecil
Berdasarkan
panjang kapal
terbesar
Berdasarkan
panjang kapal
rata-rata
Berdasarkan
panjang kapal
terkecil

Tabel 6. Kebutuhan Panjang Dermaga


n (unit)
Loa (m)
Lp (m)
Penambahan panjang dermaga (m)
2
186
437
37
3
186
638
238
4
186
839
439
2
161,251
387,502
3
161,251
563,753
163,753
4
161,251
740,004
340.004
2
105
275
3
105
395
4
105
515
115
3
210,01
710,03
160.03
4
210,01
935,04
385.04
5
210,01
1160,05
610.05
3
146,65
519,95
4
146,65
681,6
131.6
5
146,65
843,25
293.25
3
92,8
358,4
4
92,8
466,2
5
92,8
574
24

Berdasarkan analisa di atas maka dapat dilihat bahwa panjang dermaga eksisting di dermaga antar pulau
hanya cukup untuk kapal dengan ukuran panjang kapal rata-rata dengan dua kapal yang berukuran sama dan juga
berdasarkan panjang kapal terkecil dengan dua dan tiga kapal yang berukuran sama, sedangkan yang lain
dibutuhkan penambahan panjang dermaga. Untuk panjang dermaga eksisiting di dermaga internasional hanya
cukup untuk kapal dengan ukuran panjang kapal rata-rata dengan tiga kapal yang berukuran sama dan juga
berdasarkan panjang kapal terkecil dengan tiga dan empat kapal yang berukuran sama, sedangkan yang lain
dibutuhkan penambahan panjang dermaga.
Elevasi dermaga ditentukan dengan menambahkan elevasi muka air laut tertinggi yaitu 3,41 mLWS
ditambah tinggi gelombang yang terjadi akibat angin atau fetch yang didapat dari perhitungan sebelumnya yaitu
0,26 m dan juga tinggi jagaan pelabuhan yang mana diambil tinggi rata-rata yaitu 1 m. Sehingga elevasi dermaga:
Elevasi dermaga = + 3,41 mLWS + 0,26 m + 1 m
= + 4,67 = + 4,7 mLWS
Berdasarkan hasil analisa di atas maka ketinggian elevasi dermaga yang sesuai di BICT yaitu 4,7 mLWS,
sehingga nantinya dapat memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi kapal dalam melakukan bongkar muat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa angin dominan bertiup dari
arah timur laut yaitu 56,66 % dan kecepatan dominan yaitu 3-5 knot sebesar 56,67 %. Fetch efektif terpanjang
berasal dari arah utara yaitu 608,87 km, karena jarak fetch efektif dari 3 mata angin terlampau jauh maka fetch
tersebut tidak mempengaruhi tinggi gelombang yang terjadi di perairan BICT. Tinggi gelombang (H) didapat yaitu
0,26 m dan periode (T) yaitu 2,701 detik. Perairan BICT tidak memerlukan breakwater. Karakteristik sedimen yang
terdapat di alur pelayaran BICT umumnya berupa sandy clay (lempung berpasir). Hasil sedimen dalam sehari yang
didapat di perairan BICT yaitu 19.828,713 ton. Jika perhitungan dibandingkan berdasarkan luas areal maka didapat
hasil sedimen 3,334 ton/m2. Bila didasarkan jenis kapal terbesar yang masuk ke pelabuhan, maka kedalaman alur
pelayaran eksisiting di BICT yaitu 9,5-12 mLWS tidak dapat dilalui oleh kapal tersebut ketika sedang terjadi surut

atau pun juga ketika kapal tersebut bermuatan penuh. Lebar alur pelayaran eksisiting di BICT yaitu 100 m sudah
memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan untuk lalu lintas satu kapal (satu jalur) yaitu 57,6 m. Luas areal
penjangkaran yang dibutuhkan untuk satu kapal di BICT yaitu 24,26 ha. Luas kolam pelabuhan yang dibutuhkan
BICT yaitu 27,406 ha. Berdasarkan hasil analisa jumlah dermaga yang dibutuhkan di dermaga internasional yaitu 4
dermaga, sedangkan di dermaga antar pulau yaitu 2 dermaga. Ketinggian elevasi dermaga yang sesuai di BICT yaitu
4,7 mLWS.

Saran
Perlu dilakukan penambahan kedalaman alur menjadi 13,43 mLWS sehingga untuk aktifitas kapal terbesar
yang masuk ke pelabuhan tidak harus tergantung pasang air laut dan juga banyaknya muatan yang dibawa kapal,
sedangkan mengenai lebar alur bila arus bongkar muat di BICT semakin meningkat, maka lebar alur sebaiknya perlu
ditambah menjadi dua jalur yaitu 144 m. Kapasitas dermaga di BICT sebaiknya ditambah agar dapat melayani arus
peti kemas yang setiap tahunnya cenderung meningkat dengan efisien. Untuk itu perlu dilakukan penambahan
jumlah dan panjang dermaga.

DAFTAR PUSTAKA
Chairunnisa, 2008. Kajian Sedimentasi Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan. Tugas Akhir Teknik Kelautan ITB,
Bandung, 129 hal.
Ngainunimah dan Nimah, Z. 2006. Perencanaan Dermaga Bongkar Batubara PLTU Cilacap. Tugas Akhir Teknik
Sipil UNDIP, Semarang, 141 hal.
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I. 2003. Studi Perilaku Sedimentasi/Siltasi dan Coastal Morphology Dalam
Rangka Pengembangan Pelabuhan Belawan. Laporan Akhir, Bandung, 95 hal.
Ronggodigdo, S. 2011. Kajian Sedimentasi Serta Hubungannya Terhadap Pendangkalan Di Muara Sungai
Belawan. Tugas Akhir Teknik Sipil USU, Medan, 89 hal.
Triatmodjo, B. 2007. Pelabuhan. Beta Offset, Yogyakarta, 289 hal.
Tsinker, G.P. 2004. Port Engineering. John Wiley & Sons, Inc, New Jersey, 881 hal.
US Army Corps Of Engineers. 1984. Shore Protection Manual Volume I. Washington, 337 hal.
Yang, C.T. 2003. Sediment Transport. Krieger Publishing Company, Florida, 395 hal.
Google Earth, 2012.

Anda mungkin juga menyukai