Anda di halaman 1dari 69

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALUOLEO
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN JURNALISTIK
MAKALAH
BATUAN KARBONAT

OLEH :
MUH. ERFIN
C1D316091

KENDARI
2016
KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat dan hidayah serta atas kehadirat Allah SWT atas
limpahan karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas makalah
ini, dan tak lupa saya panjatkan Doa bagi junjungan kita Nabi besar
Muhammad Saw., dan para sahabatnya serta para ulama zuama semoga
diberkahi. Amin.
Makalah ini berjudul Tentang batuan karbonat yang memuat tentang
Serangkaian konsep dalam bentuk preposisi yang saling berkaitan, yang
memberi gambaran sistematis tentang batuan karbonat merupakan yang
mencakupi

tentang

fasies

dan

lingkungan

pengendapan

batuan

karbonat,mineral pembentuk batuan karbonat dan lain-lain.


Sesungguhnya Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan olehnya itu
saya memperkenankan teman-teman dan para pembaca memberikan
kritik dan saran yang sifatnya membangun guna melengkapi dan
menyempurnakan pembuatan makalah saya berikutnya. Sekian dan
terima kasih.
Kendari , 8
November 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

halaman
KATA
PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN .....................................................................................

1.1 .

Latar Belakang ..........................................................................

1.2 .
Rumusan
Masalah ...................................................................................

1.3 .
Tujuan
Masalah .......................................................................................
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA .......................................................................................
2.1 . Pengertian batuan karbonat
........................

2.2 . Diagenesa batuan


karbonat ...............................................................
2.3 . Kpmponen-komponen batuan karbonat
. ..
6
2.4 . Klasifikasi batuan karbonat
.......................................

2.5 . Komposisi mineral batuan karbonat


..............
8
2.6 . Fasies dan lingkungan pengendapan batuan
karbonat.. 9

2
3

BAB III
PENUTUP ................................................................................................
10
3.1
Kesimpulan .............................................................................................
10
3.2
Saran .......................................................................................................
11
DAFTAR
PUSTAKA ..............................................................................................

iii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan, dimana bagian lautan lebih besar
daripada bagian daratan. Akan tetapi daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat
diamati langsung dengan dekat, maka banyak hal-hal yang dapat diketahui secara cepat dan
jelas. Salah satu diantaranya adalah kenyataan bahwa daratan tersusun oleh jenis batuan yang
berbeda satu sama lain dan berbeda-beda materi penyusun serta berbeda pula dalam proses
terbentuknya.
Batuan karbonat sebenarnya telah banyak dipergunakan orang dalam kehidupan sehari-hari
hanya saja kebanyakan orang hanya mengetahui cara mempergunakannya saja, dan sedikit
yang mengetahui asal kejadian dan seluk-beluk mengenai batuan karbonat ini. Secara
sederhana adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari 50 % yang
tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil
presipitasi langsung

1.2

. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis megkaji

masalah-masalah sebagai berikut :


1 . Pengertian batuan karbonat ?
2 . Bagaimana diagenesa batuan karbonat ?
3 . Komponen-komponen dalam batuan karbonat ?
4 . Klasifikasi batuan karbonat ?
5 . Sebutkan komposisi mineral batuan karbonat ?
6 . Sebutkan fasies dan lingkungan pengendapan batuan karbonat.?
1.3 . Tujuan penulisann
Berdasarkan latar belakang di atas ,maka tujuan penulisan makalah ini
sebaga berikut :
1 . Menjelaska apa pengertiandari batuan karbonat ?
2 . Menjelaskan diagenesa dari batuan karbonat.?
3 . Menjelaskan komponen-komponen batuan karbonat.?
4 . Menjelaskan klasifikasi pada batuan arbonat.?
5 . Menjelaskan komposisi mineral pada batuan arbonat .?
6 . Menjelaskan fasies dan lingkungan pengendapan batuan karbonat.?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian batuan karboant
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari 50 %
yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil
presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986).Bates & Jackson (1987) mendefinisikan batuan
karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat
keseluruhan lebih dari 50 %. Sedangkan batugamping menurut definisi Reijers &Hsu (1986)
adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95 %. Sehingga tidak semua
batuan karbonat adalah batugamping.
secara umum batuan karbonat ini mengandung fase primer, sekunder dan butiran
reworked. Fase primer ini merupakan mineral presipitasi yang dihasilkan oleh organisme,
sementara mineral karbonat sekunder dihasilkan oleh presipitasi alami non organik yang
terjadi saat proses diagenesis berlangsung. Material reworked ini sama dengan mekanisme
yang terjadi pada batuan terigen klastik yaitu hasil abrasi pelapukan batuan sebelumnya.
lime mud merupakan istilah untuk material karbonat dengan butiran yang sangat halus
lebih kecil dari ukuran pasir (kurang lebih kayak matrik or lempung versi karbonatlah) dibagi
dua jenis yaitu micrite yaitu butiran karbonat berukuran <0.004 mm dan microsparite
berukuran atnara 0.004 dan 0.06 mm (Raymond, 2002). Komponen - komponen lainnya ada
juga semen karbonat yang genetiknya lebih kearah diagenesis (sementasi) karbonat dan
fragmen yang lebih kasar dalam batuan karbonat dikenal sebagai allochem (memliki jenis
yang macam-macam. Secara umum dibagi dua , yaitu: yang berasal dari cangkang fosil atau
skeletal grain dan fragmen yang bukan dari tubuh fosil atau murni hasil presiptasi).

2.2. Diagenesa batuan karbonat


Batuan karbonat merupakan salah satu jenis batuan sedimen non silisiklastik. Pada batuan
ini terkandung fraksi karbonat yang lebih besar jumlahnya daripada fraksi non karbonat,
jumlah fraksi karbonatnya lebih dari 50%. Selama pembentukannya, batuan karbonat melalui
serangkaian proses-proses yang disebut diagenesa. Dengan kata lain diagenesa adalah
perubahan yang terjadi pada sedimen secara alami, sejak proses pengendapan awal hingga
batas (onset) dimana metamorfisme akan terbentuk. Setelah proses pengendapan berakhir,
sedimen karbonat mengalami proses diagenesa yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi
dan mineralogi untuk selanjutnya mengeras menjadi batuan karbonat.
Proses diagnesa sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir batuan
sedimen yang dihasilkannya. Proses diagenesa akan menyebabkan perubahan material
sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik, mineralogi dan kimia. Pada batuan
karbonat, diagenesa merupakan proses transformasi menuju batugamping atau dolomit yang
lebih stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir produk diagenesa antara lain :
1.

Komposisi sedimen mula-mula

2.

Sifat alami fluida interstitial dan pergerakannya

3.

Proses kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesa

Dengan melihat faktor-faktor tersebut dapat diketahui bahwa batuan karbonat dengan
komposisi utama kalsit akan mengalami proses diagenesa yang berbeda dibandingkan dengan
batuan karbonat yang berkomposisi dominan aragonit maupun juga dolomit. Lingkungan
pelarutan dan lithifikasi yang berbeda, misal di lingkungan air laut dan air tawar akan
menghasilkan batuan yang berbeda. Demikian juga halnya dengan tekstur semen dan butiran

batuan, juga akan bervariasi bergantung pada tekanan dan temperatur lingkungan
diagenesanya.
Lingkungan diagenesa yang berbeda akan memiliki proses kimia dan fisika yang relatif
berbeda pula, sehingga produk diagenesanya pun akan berbeda. Hal inilah yang dapat
dijadikan indikator untuk mengetahui lingkungan diagenesa yang bersangkutan. Ada
beberapa lingkungan diagenesa beserta produknya, yaitu:
1.

Marine (dicirikan oleh kehadiran semen aragonit, High Mg-Calcite)

2.

Lagoon (dicirikan oleh adanya dolomititsasi akibat proses evaporasi)

3.

Phreatic (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)

4.

Vadose (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)

5.

Burial (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan tekanan/pressure solution

Secara umum penggambaran diagenesa batuan karbonat adalah sebagai berikut:


Proses-proses diagenesa batuan karbonat meliputi:

Pelarutan (Dissolution)

Merupakan proses melarutnya komponen karbonat yang terjadi saat fluida pori tidak jenuh
(undersaturated) oleh mineral-mineral karbonat. Pelarutan akan terbantu oleh adanya mineral
yang bisa larut (mineral karbonat yang tidak stabil seperti aragonit dan Mg-calcite), serta nilai
pH yang rendah (lingkungan menjadi asam). Fluida air pori yang ada dalam ruang antar
butiran pada batuan karbonat biasanya akan sangat agresif melarutkan karbonat jika
terkandung konsentrasi gas CO2 yang disumbangkan oleh lingkungan sekitar (misalnya

karbon dan oksigen yang dilepaskan oleh jasad oganik). Pelarutan karbonat kurang banyak
terjadi di lingkungan laut. Tapi justru banyak terjadi pada lingkungan darat atau manapun
yang ada perkolasi (rembesan) dari air meteorik (air hujan maupun air tawar). Bentang alam
karst merupakan hasil dari proses pelarutan batuan karbonat. Pembentukkannya dipengaruhi
oleh proses pelarutan yang sangat tinggi di bandingkan dengan batuan di tempat lainnya
dimanapun. Proses pelarutan tersebut umumnya dibarengi dengan proses-proses lainnya
seperti runtuhan, transport dalam bentuk larutan melalui saluran bawah tanah, juga longsoran
dan amblesan dipermukaan. Pelarutan yang terjadi secara terus menerus, pada akhirnya
menciptakan bentukan alam yang sangat beragam. Proses pelarutan tersebut dapat
digambarkan dalam reaksi kimia yaitu :
CaCO3

(batu gamping)

CO2+H2O ==> Ca2- + 2HCO3(air hujan)

(larutan batu gamping)

Salah satu bentangan Karst yang ada di Indonesia yaitu Kawasan Karst Gunung Sewu,
dimana daerah ini memiliki topografi Karst yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan
kapur. Kabupaten Wonogiri merupakan bagian dari bentangan Karst Gunung Sewu yang
dimana daerah ini memiliki topografi karst yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan
kapur.
Secara umum, pelarutan karena pergerakan air melewati batuan karbonat akan melarutkan
mineral karbonat yang dilewatinya, maka imbasnya: (1) air akan berubah kimianya (karena
adanya konsentrasi ion karbonat di dalamnya), (2) air akan masuk ke litologi berbeda atau
sebaliknya air datang membawa material asing dari batuan lain sebelum menerobos
karbonat dan membawa sistem baru, (3) perilaku pelarutan bergantung pada variabel kontrol
kelarutannya (misalnya P, T, Eh, PCO2, dll) (Raymond, 2002).

Pelarutan karbonat lebih intensif terjadi di daerah permukaan, sedangkan hal sebaliknya
terjadi di daerah bawah permukaan. Hal ini disebabkan karena peningkatan temperatur pada
kedalaman cenderung akan menurunkan tingkat kelarutan karbonat. Kelarutan karbonat akan
meningkat di kedalaman atau dimanapun asalkan ada penambahan gas CO2 dalam air pori
(yang bisa saja berasal dari hasil pembusukan jasad organisme yang tertimbun), maka
meskipun temperatur meningkat kalau terdapat konsentrasi gas CO 2 dalam air pori, mineralmineral karbonat yang ada tetap akan larut.
Berikut adalah gambar sayatan batuan karbonat yang memperlihatkan bentukan akibat proses
pelarutan:

Sumber: http://www.psrd.hawaii.edu/Oct96/PAH.html

Sementasi (Cementation)

Merupakan proses presipitasi yang terjadi pada saat lubang antar pori batuan karbonat terisi
oleh fluida jenuh karbonat. Dalam proses ini butiran-butiran sedimen direkat oleh material
lain yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air tanah atau pelarutan mineral-mineral
dalam sedimen itu sendiri. Proses ini merupakan proses diagenetik yang penting untuk semua

jenis batuan sedimen, termasuk didalamnya batuan karbonat. Di lantai laut, sementasi terjadi
di air hangat dalam pori dari butiran ruangan antar butiran karbonat. Di meteoric realm
(lingkungan meteorik dimana pengaruh air yang hadir hanya dari hujan saja) sementasi juga
hadir disini, semennya dominan kalsit. Meskipun kondisi yang mengontrol sementasi pada
kedalaman kurang dipahami pasti, tapi beberapa faktor dapat diketahui mengontrol hal ini.
Air pori, peningkatan temperatur, dan penurunan tekanan parsial dari karbondioksida
merupakan faktor-faktor yang diperlukan untuk presipitasi semen kalsit ini. Pada proses
sementasi ini diperlukan suplai kalsium karbonat secara mutlak. Sifat sementasi ini
berlawanan dengan pelarutan, dimana sementasi membuat mineral semen (karbonat)
terpresipitasi, sementara pelarutan akan merusak struktur mineral yang telah terbentuk.

Dolomitisasi (Dolomitization)

Merupakan proses penggantian mineral-mineral kalsit menjadi dolomit. Dolomit


mempunyai komposisi CaMg(CO3)2 dan secara kristalografi serupa dengan kalsit, namun
lebih besar densitasnya, sukar larut dalam air, dan lebih mudah patah (brittle). Secara umum,
dolomit lebih porous dan permeable dibandingkan limestone. Dalam proses dolomitisasi,
kalsit (CaCO3) ditransformasikan menjadi dolomite (CaMg(CO3)2) menurut reaksi kimia :
2CaCO3 + MgCl3 ==> CaMg(CO3)2 + CaCl2
Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas yang lebih besar
dari pada batugamping itu sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi dilaut dangkal-campuran fresh
dan sea water, tidal flat, di danau, lagoon, dll, apalagi kalau ada batuan yang mengandung Mg
yang dilewati sungai-sungai dan membawanya ke lingkungan dimana batu gamping berada
atau terjadi.

Aktivitas Organisme (Microbial Activity)

Aktifitas organisme akan mempercepat atau memacu terjadinya proses diagenesis lainnya.
Organisme yang menyebabkan proses ini merupakan organisme yang sangat kecil (mikrobia)
dimana aktivitas jasad renik sangat berhubungan dengan proses dekomposisi material
organik. Proses dekomposisi material organik akan mempengaruhi pH air pori sehingga
mempercepat terjadinya reaksi kimia dengan mineral penyusun sedimen. Aktifitas mikrobia
antara lain fermentasi, respirasi, pengurangan nitrat, besi, sulfat dan pembentukan gas
metana. Organisme dalam lingkungan pengendapan karbonat merework sedimen dalam
bentuk jejak boring, burrowing, dan sedimen-ingesting activity (memakan dan mencerna
sedimen). Aktivitas ini akan merusak struktur sedimen yang berkembang pada sedimen
karbonat dan meninggalkan jejak-jejak aktivitasnya saat organisme ini beraktivitas.
Kebanyakan bioturbasi terjadi pada sedikit di bawah permukaan pengendapan, setelah
pengendapan material sedimen dengan kedalaman beberapa puluh sentimeter. Proses ini akan
membentuk kenampakan yang khas pada batuan sedimen yang disebut struktur sedimen.
Semua jenis organisme kecil macam fungi bakteri, dan alga, membentuk microboring dalam
fragmen skeletal dan butiran karbonat lainnya yang berukuran besar. Boring dan presipitasi
mikrit dapat intensif di lingkungan yang berair hangat dimana butiran karbonat menjadi
berkurang dan terubah menjadi mikrit, proses pada kondisi ini dikenal sebagai mikritisasi
(Boggs, 2006). Di beberapa kasus, aktivitas organisme ini dapat meningkatkan kompaksi
batuan dan biasanya merusak struktur sedimen yang halus seperti paralel laminasi (Purdy,
1965). Selama proses ini beberapa organisme melepaskan material presipitasi yang bisa
menjadi fase semen dalam batuan (Raymond, 2002).

Mechanical Compaction

Merupakan proses diagenesa yang terjadi akibat adanya peningkatan tekanan overburden.
Seperti halnya pada batuan silisiklastik, kompaksi terjadi karena adanya pembebanan
sedimen yang berada diatasnya. Proses kompaksi ini menyebabkan berkurangnya porositas
batuan, karena terjadi juga thining (penipisan) dari bed (perlapisan batuan) pada kedalaman
dangkal. Seiring bertambahnya kedalaman, tekanan juga akan bertambah, sedangkan
porositas karbonat berkurang sampai setengahnya atau lebih (porositas saat batuan
mengendap) sekitar 50-60% pada kedalaman sekitar 100 m (Boggs, 2006). Proses kompaksi
ini terjadi karena adanya gaya berat/gravitasi dari material-material sedimen yang semakin
lama semakin bertambah sehingga volume akan berkurang dan cairan yang mengisi pori-pori
akan bermigrasi ke atas, menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga air
yang dikandung dalam pori terperas keluar.. Kompaksi menyebabkan berkurangnya porositas
batuan karena adanya rearangement (penyusunan ulang) dari butiran butiran yang jarang
(tidak bersentuhan) menjadi saling bersentuhan atau makin rapat. Ketika sedimen pertama
kali terendapkan tentu saja berupa material lepas (loose) dan sifatnya porous (berpori), ketika
kompaksi terjadi material lepas ini akan menjadi lebih rapat dan padat yang otomatis akan
mengurangi porositasnya.

Chemical Compaction

Pada kedalaman burial sekitar 200-1500 m, kompaksi kimia dari sedimen karbonat
dimulai. Tekanan larutan pada kontak antar butiran seperti pada diagenesa sedimen klastik
lainnya akan melarutkan permukaan butiran mineral dan pada karbonat dapat membentuk
kontak bergerigi. Pada skala yang lebih besar pressure solution pada batuan karbonat
membentuk pola bergerigi (zig-zag) yang kita kenal sebagai struktur styolite. Styolite
umumnya hadir pada batuan karbonat berbutir halus. Jadi pressure solution pada batuan

karbonat diikuti perkembangan strktur styolite, mencirikan hilangnya porositas dan thining
(penipisan) dari bed (perlapisan batuan).
Pada batuan karbonat terkadang tidak mengalami semua proses diagenesa tersebut, namun
biasanya justru hanya melalui beberapa proses diagenesa saja. Proses diagnesa ini akan
sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir batuan sedimen yang
dihasilkannya.
2.3. Komponen-komponen batuan karbonat
Komponen penyusun batuan karbonat secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: a.
Butiran (skeletal, non-skeletal), b. matrix dan c. semen. Komponen tersebut tersusun oleh mineralmineral karbonat yang berbeda.

Gambar. 1
Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat terhadap lingkungan
pengendapan pada laut modern.
BUTIRAN

Butiran atau grain adalah semua komponen dalam batuan karonat yang berkomposisi kalsium
karbonat (CaCO3) baik yang berasal dari proses biologi seperti terumbu maupun dari proses
biokimia. Butiran ini merupakan komponen yang menunjukkan kesan berbutir dengan batasbatas antar butir. Komponen tersebut dapat berupa hasil rombakan batuan karbonat itu sendiri

atau batuan karbonat yang telah terbentuk sebelumnya (luar lingkungan pengendapan),
fragmen-fragmen organisme ataupun hasil aktifitas organisme dan presipitasi mineral-mineral
karbonat atau hasil diagenesis.Jika dianalogikan terhadap batuan silisiklastik, butiran
merupakan fragmen yang berada dalam massa matriks dan semen. Butiran dibagi menjadi
dua kelompok yaitu yang berasal dari organisme atau skeletal dan yang berasal dari nonorganisme atau non-skeletal.
A.Skeletal

Skeletal adalah komponen batuan karbonat yang berasal dari organisme baik dalam
bentuk utuh maupun berupa fragmental. Komponen tersebut merupakan penyusun batuan
karbonat yang umum dijumpai. Komponen ini dapat berupa organisme utuh (dikenal dengan
fosil) atau sebagai fragmen-fragmen organisme. Jenis organisme yang bertindak sebagai
komponen skeletal dalam batuan karbonat bervariasi sepanjang sejarah geologi. Penyusun
batuan karbonat dalam hal ini diambil referensi adalah terumbu mulai dari kala Paleozoikum
hingga Kenozoikum terlihat pada tabel2.1.
Tabel 1 Kelompok utama pembentuk reef sepanjang sejarah geologi (sejak Archaean
Cenozoic) (Heckel, 1974).

Menurut

Heckel

(1974),

terdapat

unsur

menyusun

batuan

(organisme) utama

yang

karbonat

dari

waktu

masing

Era

mempunyai ciri khas organisme

penyusunnya.

ke

Stromatolit

waktu.

umum

Masing-

dijumpai

pada Era Proterozoic hingga Paleozoic. Namun pada mulanya organisme yang menyusun
batuan karbonat (terumbu) tersebut keaneka ragaman masih sangat kecil dan semakin ke arah
resen (umur muda) keaneka ragaman organisme pembentuk batuan karbonat semakin banyak.
Diversitas (keaneka ragaman) jenis organisme mulai berkembang pesat pada Era
Mesozoikum khususnya pada Zaman Karbon. Khusus untuk Tersier, organisme yang umum
dijumpai adalah koral, algae dan foraminifera dengan spesies yang cukupberagam. Selain itu
juga dijumpai molluska, stromatoporoid dan lain-lain. Pada umumnya untuk batuan berumur
Tersier, terutama pada kala Neogen maka komponen skeletalnya atau fosilnya hampir sama
dengan yang hidup sekarang ini. Ada tiga kelompok utama penyusun batuan karbonat pada
kala Tersier yaitu Algae, Koral dan Foraminifera (Gambar 2).

Gambar 2 Jenis-jenis skeletal yang umum dijumpai pada batuan karbonat. Sketsa
organisme yang hidup sekarang berupa algae(A),koral(B),dan Sponge(C).
Organisme sebagai penyusun batuan karbonat khususnya pada kala Tersier
(sejak 65 juta tahun lalu) sangat beragam. Berdasarkan tabel 2.1 terlihat bahwa
jenis, sebaran dan bentuk organisme berkembang pesat pada waktu tertentu.
Beberapa jenis organisme yang umum dijumpai pada Zaman Tersier adalah
Koral, Algae, sponges dan Foram (Gambar 3- 5).

Gambar 3 Kenampakan singkapan dari koral yang dijumpai pada lower teras batugamping
Selayar di daerah Bira, Kab. Bulukumba (A). Foto sayatan tipis yang memperlihatkan fosil
foraminifera besar (B) yang juga tersebar luas dalam batuan karbonat.

Gambar 4 Komponen batuan karbonat berupa fragmen-fragmen algae merah


(Corallinaceae) (A), Foram besar (B) dan koral (C). A dan B dalam sayatan tipis, C
dalam bentuk poles. Lokasi batugamping Selayar, Bira.

Gambar 5 Komponen batuan karbonat berupa koral soliter dari skerattinian dalam hand
specimen (A), sayatan tipi yang memperlihatkan fragmen Halimeda, tanda panah (B). Lokasi
batugamping Selayar, Bira.
B.Non-Skeletal
Komponen Non-skeletal adalah material penyusun batuan karbonat yang berasal dari non
organisme. Material tersebut terakumulasi pada suatu cekungan atau lingkungan
pengendapan dengan proses yang berbeda-beda. Komponen-komponen tersebut adalah
lithoklas (intraklas dan ekstraklas), ooids, peloids dan coated grain. Sedangkan yang berasal

dari

organisme

dengan

proses

tertentu

misalnya

onkoliths,

rhodoliths.

Lithoklas.
Lithoklas dalam beberapa literatur dikenal sebagai lime-clast atau intraclast. Dalam buku ini
peristilahan lithoklas diambil dari Tucker & Wright (1990) yang mencakup intraklas &
ekstraklas (Gambar 2.11). Intraklas adalah komponen karbonat yang merupakan hasil
rombakan batuan karbonat dalam lingkungan pengendapan yang sama, sedangkan ekstraklas
adalah komponen karbonat hasil rombakan dari batuan karbonat yang telah ada di luar
lingkungan pengendapannya.
Ooid(oolit)

Ooid (atau oolite) adalah butiran yang berbentuk bulat, lonjong dan memperlihatkan struktur
dalam baik secara konsentris maupun tangensial dengan suatu inti (nuclei) yang
komposisinya bervariasi. Cortex tersebut adalah halus dan terlaminasi secara rata pada bagian
luarnya, tetapi laminae individu mungkin lebih tipis pada titik-titik sudut tajam intinya.
Bentuk nucleus tersebut tipikal spheroid atau elipsoid dengan derajat sphericity meningkat
kearah luar (Gambar 6).

Gambar 6 Komponen dalam batuan karbonat berupa lithoklas jenisnya belum diketahui
dengan pasti. Contoh setangan (hand speciment) berupa slab dari batugamping Selayar (A),
sayatan tipis yang menunjukkan beberapa ukuran dan batas butir yang tegas (Kendall, 2005)
(B).
Ooid dapat diklasifikasikan berdasarkan microfabriknya atau mineraloginya. Namun ooid
dapat menjadi sulit dikenali bilamana mengalami diagenesis yang terutama terjadi pada ooid
berasal dari aragonit yang telah terganti oleh kalsit. Proses pembentukan ooid bisa pada
daerah beragitasi atau bernergi tinggi dan akan menghasilkan ooid dengan struktur dalam
yang konsentris. Selain itu ooid juga terbentuk pada lingkungan air tenang dengan struktur
dalam tangensial (Gambar 8 B).

Gambar 7 Sketsa kenampakan melintang sayatan oolit (ooid) yang memperlihatkan struktur
dalam (radial dan konsentris). (Sumber: An Overview of Carbonates, Kendall, 2005).

Gambar 8 Fotograf dari ooid (bulat putih bersih) dan mineral terrigenous (kuarsa) warna
bening (A), ooid dalam bentuk sayatan tipis yang memperlihatkan struktur dalam dan
beberapa ooid intinya telah melarut (B). (Sumber: An Overview of Carbonates, Kendall,
2005).
Peloid(Pellet)

Peloid merupakan suatu komponen karbonat berukuran pasir, dengan ukuran rata-rata 100500m yang tersusun oleh kristal-kristal karbonat. Peloid umumnya berbentuk rounded
subrounded, spherical, ellipsoid hingga tak beraturan dan tidak mempunyai struktur dalam.
Istilah tersebut murni deskriptif yang dikemukakan oleh McKee & Gutschick (1969). Istilah
Pellet juga umum digunakan tetapi mempunyai konotasi untuk peloid yang berasal dari
aktifitas organism atau faecal pellet (Gambar9).
Peloid merupakan komponen penting didalam batuan karbonat dangkal. Seperti pada Great
Bahama bank bagian barat dari P. Andros, dimana pelet menutupi kurang lebih 10.000 km2.
Peloid menyusun lebih dari 30% total sedimen dan 75% pasir. Pada daerah-daerah berenergi
rendah seperti sedimen-sedimen lagun di daerah Balize, peloid juga umum dijumpai pada
batugamping berenergi rendah di daerah laut dangkal, atau pada lingkungan laut yang
tertutup.

Gambar 9 Sketsa kenampakan butiran peloid dengan lingkungan pembentukannya. Berbeda


dengan ooid yang terbentuk pada daerah agitasi, maka peloid merupakan komponen batuan
karbonat yang terbentuk pada lingkungan enrgi rendah seperti lagoon.

Gambar 10 (A) kenampakan butiran peloid modern, (B) kenampakan peloid dalam bentuk
sayatan tipis yang tidak memperlihatkan struktur dalam.
Banyak peloid merupakan butiran yang telah mengalami diagenesa atau mikritisasi seperti
fragmen-fragmen organisme dan akhirnya membentuk peloid. Sumber lain dari peloid adalah
berasal dari butiran karbonat (lithoklas) yang telah mengalami mikritisasi dan tidak
menampakkan struktur asal sehingga membentuk peloid.
Coatedgrains
Sejumlah carbonated-coated grains kadang tidak konsisten dalam penggunaan terminologinya
sehingga kadang memunculkan masalah dalam interpretasinya. Memang hampir semua ahli
petrografi batuan karbonat nampaknya mempunyai defenisi sendiri-sendiri. Coated grains
terjadi secara poligenetik dengan perbedaan proses yang membentuk tipe butiran sama dan
banyak dari proses ini belum dimengerti. Selanjutnya coated grain sama dapat terjadi pada
lingkungan yang berbeda sama sekali yang menjadikan penggunaannya dalam interpretasi
lingkungan pengendapan sangat susah.
Beberapa ahli masih memberikan istilah yang berbeda pada obyek yang sama. Istilah-istilah
tersebut misalnya macro-oncoid, pisovadoid, cyanoid, bryoid, turberoid, putroid dan
walnutoid (Peryt, 1983a). Peristilahan ini sudah terlalu jauh dan barangkali istilah yang

membingungkan tersebut tidak akan dibahas dalam buku ini. Penjelasan yang paling baru
mengenai istilah coated grain yakni yang dilakukan oleh Peryt (1983b) yang mengajukan
klasifikasi lain yang menggunakan sistem genetik dan generik untuk pengklasifikasian
butiran ini.
Banyak klasifikasi, termasuk klasifikasi Peryt, membedakan dua kategori besar tentang
coated grains: terbentuk secara kimia (khususnya ooids) dan terbentuk secara biogenik
(oncoids). Tetapi sering tidak mungkin untuk membuktikan apakah suatu coated grain telah
terbentuk secara biogenik dan banyak ooid (biasanya yang diklasifikasikan terbentuk secara
kimia) terbentuk langsung secara biogenik atau mungkin pertumbuhannya dipengaruhi secara
biokimia. Didalam klasifikasinya, Flgel (1982) dan Richter (1983a) mengambil suatu
pendekatan kearah lebih deskriptif terhadap istilah ooid dan oncoid. Defenisi berikut
dimodifikasi dari peneulis tersebut diatas dan menekankan pada sifat dari bentuk cortikal
laminae dan kontinuitas.
Oncoid (atau oncolith) merupakan suatu coated grain dengan cortex kalkareous dari laminae
yang irreguler dan sebagain overlapping. Bentuk oncoid tersebut irregular dan dapat
memperlihatkan struktur biogenik. Beberapa bentuk tidak mempunyai nucleus jelas (Gambar
10).

Gambar 10 Kenampakan sayatan tipis oncoid dimana intinya merupakan ooid yang
mengalami perkembangan membentuk oncoid. (Sumber: An Overview of Carbonates,
Kendall, 2005).

Oncoids dapat diklasifikasikan pada tipe struktur biogenik yang dikandungnya, contoh
oncoid yang terbentuk oleh coating algae merah disebut rhodolith (atau rhodoids). Suatu
batuan terbuat dari oncoid harus disebut oncolite. Beberapa peneliti membatasi istilah
terhadap nodul algae tetapi penggunaan ini penuh dengan masalah.
Istilah pisoid utamanya digunakan dalam petrografi tetapi tidak ada konsensus muncul untuk
defenisinya. Flgel (1982) menganggap pisoid sebagai non marine ooid, sedangkan
kebanyakan peneliti menekankan pisoid untuk ooid dengan diameter lebih besar dari 2 mm
(Leighton & Pendexter, 1962; Donahue, 1978). Disamping lebih besar dari ooid, pisoid
mempunyai laminae yang kurang teratur. Peryt (1983b) telah mendefinisikan tiga kategori
ukuran untuk coated grain yang didasarkan pada diameternya: microid (<2 mm), pisoid (2 10 mm) dan macroid (> 10 mm). Pembagian ini telah digunakan oleh Peryt sebagai prefiks
(contoh untuk mendefinisikan oncoid besar sebagai macro-oncoid), tetapi sistemnya
kemudian diketahui tipe genetik, interpretatif yang masih sangat diragukan (Richter, 1983a).
Krumbein (1984) mengklasifikasikan ooid dan oncoid pada sifat keteraturan bentuk dan
kontinuitas laminae, dan dia mengenali micro-oncoid seperti dijelaskan diatas tetapi
kemudian menambahkan suatu termiologi genetik berdasarkan pada apakah secara
keseluruhan butiran merupakan biogenik atau abiogenik.
Klasifikasi ini memperkenalkan oolite dan oncolite sebagai suatu kumpulan dari coated grain
yang terbentuk secara biogenik dan ooloid serta oncoloid sebagai kumpulan dari butiran yang

terbentuk secara abiogenik. Karena tidak mungkin menjelaskan apakah banyak coated grain
adalah biogenik atau tidak, sistem klasifikasi terakhir tidak digunakan dan diharapkan
tambahan istilah membingungkan terakhir tersebut tidak akan dipakai dalam literatur.
Cortoid adalah tipe lain dari coated grain yang dikenal oleh beberapa peneliti (Flgel, 1982).
Cortoid adalah butiran yang diselimuti oleh micrite envelope, dianggap terbentuk oleh
endholitic micro-organisme. Butiran ini bukan sebenarnya butiran tetapi memperlihatkan
alterasi pada permukaan butiran. Tetapi banyak micrite envelope berasal dari penambahan
yan terbentuk oleh enkrustasi dari micro-organisme yang sebagian merupakan endolithic dan
sebagian epilithic (Kobluk & Risk, 1977a,b). Butiran ini mengandung suatu tipe coated grain
non laminated, untuk itu istilah cortoid beralasan untuk dapat digunakan.
2.2. MATRIKS (MIKRIT)

Matriks adalah komponen batuan karbonat yang secara teoritis berukuran halus (<4 mm).
Matriks atau mikrit (Folk, 1962) atau mud (Dunham, 1962) adalah komponen batuan
karbonat yang terbentuk bersama butiran dan bertindak sebagai matriks. Komponen ini
sangat umum dijumpai dalam batuan karbonat dan diinterpretasi terbentuk pada lingkungan
berenergi rendah. Matriks harus dibedakan dengan mikrit yang terbentuk melalui proses
diagenesis (mikritisasi). Mikrit yang terbentuk dengan proses tersebut bisa berasal dari
komponen lain seperti butiran atau semen. Jika dianalogikan dengan batuan sedimen
silisiklastik, matriks disamakan dengan lempung yang terendapkan pada lingkungan
berenergi rendah. Konsekwensinya adalah warnanya menjadi relatif lebih gelap baik dalam
bentuk outcrop (Gambar 2.17B) maupun dalam bentuk sayatan tipis (Gambar 11C).

Gambar 11 Endapan mikrit atau matrik yang terperangkap pada sea grass di daerah dangkalan
(A). Outcrop yang menunjukkan mikrit (warna abu-abu) dengan tekstur wackestone (B).
Internal sedimen yang terdiri atas mikrit (panah) (C). (Sumber: An Overview of Carbonates,
Kendall, 2005).

2.3 SEMEN
Semen merupakan komponen batuan karbonat yang mengisi pori-pori dan merupakan hasil
diagenesis atau hasil presipitasi dalam pori batuan dari batuan yang telah ada. Semen sering
disamakan dengan sparit hasil neomorphisme, padahal sparit hasil neomorphisme adalah
perubahan (rekristalisasi) dari komponen karbonat yang telah ada.
Beberapa jenis semen yang dikenal dalam batuan karbonat moderen adalah fibrous, botroidal,
isophaceous, mesh of needles dll (Gambar 12). Jenis semen tersebut tergantung pada
lingkungan pembentuk semen yang dikenal sebagai lingkungan diagenesis. Penjelasan lebih
lengkap tentang semen dibahas pada bab diagenesis batuan karbonat.
Kenampakan lapangan dari semen adalah bening seprti kaca, sedangkan dibawah mikroskop
memperlihatkan warna tranparan. Semen dapat terbentuk pada ruang antar komponen dan
dapat juga terbentuk pada ruang dalam komponen atau ruang hasil pelarutan (Gambar 12).

Gambar 12 Kenampakan jenis-jenis semen dan jenis mineral pembentuk semen pada batuan
karbonat. Jenis semen yang umum dijumpai pada laut dangkal menurut James & Choquette,
1990.
Beberapa contoh semen dalam batuan karbonat yang banyak dijumpai pada karbonat modern
khususnya pada daerah terumbu adalah fibrous dan botryoidal. Jenis semen tersebut dapat
dijumpai pada batugamping Selayar yang memperlihatkan beberapa jenis (Gambar 13) yaitu
fibrous, granular dan bladed.

Gambar 13 Semen jenis fibrous dan granular yang dijumpai pada batugamping Selayar.
Radial fibrous cement yang menyemen fragmen Halimeda (A) dan stratigrafi semen dengan
tiga fase pekembangan (B).
Selain tinjauan morfologi semen, semen juga dapat dianalisis melalui bentuk kristalnya
seperti granular (equant), bladed, dan menjarum (fibers) (Gambar 2.20). Bentuk kristal semen
tersebut dibedakan dengan memperhatikan perbandingan panjang sumbu-sumbu kristalnya.
Bentuk equant memiliki sumbu kristal yang sama panjang antara sumbu a, b, dan c atau 2 : 1.

Sedangkan bentuk kristal blades adalah semen dengan panjang sumbu kristal yang tidak sama
dimana perbandingannya antara 1 : 2 sampai 1:6 antara sumbu a, b dengan sumbu c. Bentuk
kristal menjarum (fibers) jika panjang sumbu c-nya lebih besar dari 1:6

Gambar 14 Bentuk kristal semen karbonat yang terdiri atas granular (equants), melembar
(blades) dan menjarum (fibers). Sumber Tucker & Wright (1990).
Selain dari bentuk kristalnya jenis semen juga dapat dibedakan berdasarkan morfologi
semennya seperti blade rim cement, granular cement, meniscus cement dan microstalactitic
cement (Gambar 15).

Gambar 15 Morfologi semen seperti bladed cement (A), meniscus cements (B), granular
cements (C) dan microstalactitic cements (D). Bar adalah 1 mm.

2.4. Klasifikasi batuan karbonat


Beberapa klasifikasi batuan karbonat telah diterbitkan oleh APPG pada Memoir 1 tahun
1962. Namun yang paling banyak digunakan oleh para ahli batuan karbonat adalah yang
dikemukakan oleh Folk (1959, 1962), Dunham (1962). Klasifikasi batuan karbonat oleh
Dunham (1962) kemudian disempurnakan oleh Embry and Klovan, (1971). Dalam
pembahasan ini klasifikasi akan difokuskan pada klasifikasi batuan karbonat yang
dikeluarkan oleh Dunham, 1962.
Leighton & Pendexter (1962) telah membedakan batuan karbonat berdasarkan kandungan
kalsit, dolomit dan mineral pengotornya (non-karbonat). Klasifikasi tersebut menyebutkan
bahwa batuan karbonat (dolostone dan limestone) jika batuan tersebut berkomposisi mineral
karbonat di atas 50%. Sedangkan Tucker dan Wright (1990) mendefenisikan bahwa batuan
karbonat harus mempunyai mineral karbonat di atas 50%. Sementara batuan yang memiliki
kandungan karbonat kecil dari 50% dan signifikan dipertimbangkan dapat menjadi awalan
yang menunjukkan sifat karbonatan.Berdasarkan pengertian batuan karbonat tersebut di atas
kemudian mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi batuan pada buku AAPG Memoir 1
(1962). Secara umum dalam buku ini akan dijelaskan klasifikasi batuan karbonat berdasarkan
Dunham (1962) dan penyempurnaannya dan klasifikasi oleh Folk (1962).
Perbedaan kedua klasifikasi tersebut terletak dari cara pandangnya. Folk membuat klasifikasi
berdasarkan apa yang dilihatnya melalui mikroskop atau lebih bersifat deskriptif, sedangkan
Dunham lebih melihat batuan karbonat dari aspek deskriptif dan genesis, sehingga dalam
klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan kenampakan dibawah mikroskop tetapi juga
kenampakan lapangan (fieldobservation). Klasifikasi Folk menuntun kita untuk mendeskripsi
batuan karbonat tentang apa yang dilihat dan hanya sedikit untuk dapat menginterpretasikan
apa yang dideskripsi tersebut. Sebenarnya batuan karbonat merupakan batuan yang mudah
mengalami perubahan (diagenesis) oleh karena itu studi tentang batuan karbonat tidak akan

memberikan hasil yang maksimal jika tidak mengetahui proses-proses yang terjadi pada saat
dan setelah batuan tersebut terbentuk.
Kelemahan klasifikasi Folk tersebut diperbaiki oleh Dunham dan membuat klasifikasi baru
dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Kelebihan klasifikasi Dunham (1962) adalah
adanya perpaduan antara deskriptif dan genetik dalam pengklasifikasian batuan karbonat.
Selanjutnya klasifikasi ini disempurnakan oleh Embry dan Klovan (1971) yang lebih
mempertimbangkan kepada genetik batuannya. Dengan menggunkan klasifikasi tersebut
maka secara implisit akan menggambarkan proses yang terjadi selama terbentuknya batuan
tersebut demikian pula dengan lingkungan pengendapannya. Oleh karena itu klasifikasi
tersebut menjadi lebih populer dibanding dengan klasifikasi Folk.
Grain supported atau batuan yang didominasi oleh butiran adalah tekstur batuan karbonat
yang terendapkan pada lingkungan berenergi sedang tinggi. Tekstur ini terbagi dua yaitu
yang masih mengandung matriks digolongkan menjadi packstone dan yang tidak
mengandung matriks sama sekali atau grainstone.

Tabel Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan Dunham 1962 yang didasarkan pada kehadiran
mud (mikrit) dan butiran (grain).

Kelompok ketiga dalam klasifikasi Dunham adalah batuan dimana komponennya saling
terikat satu sama lainnya atau tersusun oleh organisme. Dalam klasifikasi tersebut tekstur
seperti ini dimasukkan kedalam boundstone. Selain ketiga kelompok tekstur di atas, maka
batuan karbonat juga dikelompokkan berdasarkan diagenetiknya, yaitu jika komponen
penyusunnya tidak lagi memperlihatkan tekstur asalnya. Kelompok batuan ini dikenal
sebagai kristallin karbonat (calcite crystalline rocks dan dolomite crystalline rocks).
Tekstur ini oleh Embry & Klovan 1971 menyempurnakannya klasifikasi Dunham (1962)
dengan mempertimbangkan pengaruh energi dan sedimen-sedimen yang terbawa dan
terakumulasi pada batuan tersebut. Embry & Klovan melihat pentingnya ukuran fragmen
(butiran) yang terakumulasi pada batuan yang didominasi oleh matriks. Batuan dengan
tekstur wackestone dengan kandungan butiran lebih besar dari 2 mm, maka menurut Embry
& Klovan bahwa batuan ini erat hubungannya dengan sumber butiran (fragmen) sehingga
perlu memberikan nama khusus yaitu floatstone untuk menggambarkan lingkungan
pengendapannya. Sedangkan pada tekstur grainstone Embry & Klovan menamakannya
sebagai rudstone untuk batuan dengan butiran lebih besar dari 2 mm.

Klasifikasi batuan karbonat yang dibedakan berdasarkan tekstur pengendapannya, tipe


butiran, dan faktor lainnya seperti yang diperkenalkan oleh Dunham 1962. Klasifikasi ini

dimodifikasi oleh Embry dan Klovan (1971) yang mempertimbangkan ukuran butir dan
bentuk perkembangan organisme pembentuk batuan
Selain berdasarkan pada ukuran fragmen dalam batuan, Embry & Klovan juga memberikan
perhatian pada organisme yang menyusun batuan karbonat yang dalam klasifikasi Dunham
(1962) menamakan boundstone. Menurutnya bahwa cara sedimen terperangkap pada
organisme penyusun boundstone perlu dibedakan menjadi tiga yaitu bindstone, bafflestone
dan framestone . Seperti yang terlihat pada illustrasi di atas bahwa masing-masing tekstur
mempunyai kekhasan tersendiri. Bindstone adalah orgnisme yang menyusun batuan karbonat
dimana cara hidupnya dengan mengikat sedimen yang terakumulasi pada organisme tersebut.
Organisme yang seperti ini biasanya hidup dan berkembang didaerah berenrgi sedang
tinggi. Batuan ini umumnya terdiri dari kerangka ataupun pecahan-pecahan kerangka
organik, seperti koral, bryozoa dll, tetapi telah diikat kembali oleh kerak lapisan-lapisan
(encrustation) gamping yang dikeluarkan oleh ganggang merah.

Penyempurnaan klasifikasi Dunham oleh Embry dan Klovan yang membagi boundstone
menjadi tiga yaitu bafflestone, bindstone dan framestone. Selain itu wackestone menjadi
floatstone dan grainstone manjadi rudstone jika butiran lebih besar dari 2 mm.
Bafflestone adalah tekstur batuan karbonat yang terdiri dari organisme penyusun yang cara
hidupnya menadah sedimen yang jatuh pada organisme tersebut. Tekstur ini umumnya
dijumpai pada daerah berenergi sedang. Bafflestone terdiri dari kerangka organik seperti
koral (branching coral) dalam posisi tumbuh (growth position) dan diselimuti oleh lumpur
gamping. Kerangka organik bertindak sebagai baffle yang menjebak lumpur gamping.
Tekstur yang ketiga adalah framestone. Batuan ini tersusun oleh organisme yang hidupnya
pada daerah yang berenergi tinggi sehingga tahan terhadap gelombang dan arus. Penyusun
batuan ini seluruhnya dari kerangka organik seperti koral, bryozoa, ganggang, sedangkan
matriksnya < 10% dan semen mungkin kosong. Secara umum pembagian zona energi dan
batuan penyusun meurut Embry & Klovan (1971) diperlihatkan pada gambar berikut.

Penampang melintang kompleks terumbu yang menggambarkan perbedaan zona dan batuan
penyusun setiap zona menurut James N.P,1983
Selain klasifikasi Dunham, maka klasifikasi batuan karbonat yang sering digunakan adalah
klasifikasi Folk (1959/1962). Klasifikasi ini lebih menekankan kepada pendekatan deskriptif
dan tidak mempertimbangkan masalah genetiknya. Dasar pembagiannya adalah kehadiran

sparit (semen) dan mikrit (matriks). Selain itu klasifikasi ini juga melihat volume butiran
(allochem) dalam batuan yang diurut seperti intraklas, ooid, fosil/pellet.
Kehadiran sparit dan mikrit menjadi komposisi utama dimana jika sparitnya lebih besar
daripada mikrit maka nama batuannya akan berakhiran ......sparit, demikian pula jika mikrit
yang lebih dominan maka nama batuannya akan berakhiran ......mikrit. Awalan dalam
penamaan batuan karbonat menurut Folk tergantung pada komposisi intraklas, jika intraklas
di atas 25% maka nama batuannya menjadi intasparit atau intramikrit. Namun jika butiran ini
tidak mencapai 25% maka butiran kedua menjadi pertimbangan yaitu ooid, sehingga batuan
dapat berupa oosparit atau oomikrit.
Pertimbangan lainnya adalah jika kandungan ooid kurang dari 25%, maka perbandingan
pellet dan fosil menjadi penentu nama batuan. Terdapat tiga model perbandingan (fosil :
pellet) yaitu 3:1, 1:3, dan antara 3:1 1:3. Jika fosil lebih besar atau 3 : 1 maka nama
batuannya biosparit atau biomikrit demikian pula sebaliknya akan menjadi pelsparit atau
pelmikrit. Jika oerbandingan ini ada pada komposisi 3:1 1:3 maka menjadi biopelsparit atau
biopelmikrit.
Klasifikasi ini juga masih menganut paham Grabau dengan menambahkan akhiran rudit jika
allochemnya mempunyai ukuran yang lebih besar dari 2 mm dengan prosentase lebih dari
10%. Dengan demikian penamaan batuan karbonat menurut klasifikasi ini akan menjadi
.rudit (misalnya biosparudit, oomikrudit dst).

Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk (1959) yang membagi batuan karbonat secara
deskriptif. Kehadiran sparit dan mikrit menjadi pertimbangan utama dalam klasifikasi ini.

2.5. Komposisi mineral batuan karbonat


Pembentukan mineral karbonat tidak lepas dari kondisi air (tawar dan asin) dimana batuan
karbonat tersebut terbentuk. Walaupun mineral karbonat dapat terbentuk pada air tawar dan
laut, namun informasi banyak diperoleh dari kondisi air laut.
Terdapat variasi kedalaman laut (hingga ribuan meter) dimana mineral-mineral karbonat
dapat terbentuk, namun produktifitas terbentuknya mineral karbonat hanya pada wilayah
dimana cahaya matahari dapat tembus (Light saturation zone). Tingkat produktifitas mineral
karbonat paling tinggi yaitu pada kedalaman 0 20 meter (Gambar 1) dimana cahaya
matahari efektif menembus kedalaman ini.

Gambar 2.1 Penampang yang memperlihatkan hubungan produksi mineral karbonat terhadap
kedalaman laut (Tucker & Wright, 1990).
Selain kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh organisme
penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai komposisi mineral
karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai sebagi penyusun batuan karbonat
modern memiliki komposisi mineral aragonit, sedangkan organisme lainnya seperti algae,
foraminifera umumnya tersusun oleh mineral kalsit (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada batuan karbonat
modern. (Sumber: Flgel, 1982).

Indikasi organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan pengendapan yang
paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi mineralogi organisme tersebut. Koral
misalnya yang berkomposisi aragonit, dimana aragonit hanya ditemukan pada kedalaman
hingga 2000 meter, maka dapat dikatakan bahwa koral yang menyusun batuan karbonat
umumnya pada lingkungan laut dangkal.

MINERAL UTAMA PENYUSUN BATUAN KARBONAT


Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990) mengungkapkan
bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat adalah aragonit (CaCO3),
kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain mineral utama tersebut beberapa mineral
sering pula dijumpai dalam batuan karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite
(MnCO3) dan siderite (FeCO3) (Tabel2). Tabel 2 Sifat petrografis mineral pembentuk batuan
karbonat (Flgel (1982)

Aragonite
Rumus Kimia
Sistem Kristal
Trace elemen
yang umum
Mol% MgCO3
Indeks refraksi
ganda
Berat jenis
Kekerasan
Kenampakan
kristal

Pembentukan

CaCO3
rhombik

Calcite
(Low-Mg Calcite)
CaCO3

Mg- Calcite
(High-Mg Calcite)
CaCO3

Dolomite

Hexagonal (rhombohedral) crystal

CaMg(CO3)2
trigonal

Sr, Ba, Pb, K

Mg, Fe, Mn, Zn, Cu

Fe, Mn, Zn, Cu

0,155

<4
0,172

2.94
3,5 - 4
Umumnya
dalam bentuk
acicular
(fibrous)
micrite
Dominan pada
lingkungan
laut dangkal

2,72
3
Sering dalam
bentuk isometric
(sparry calcite)
micrite
Dominan pada
lingkungan laut
dalam, umum pada
lingkungan air
tawar

> 4 s/d > 20

Micrite, sering
dalam bentuk
acicular (fibrous)

Dominan pada
lingkungan laut
dangkal

40 - 50
0,177
2,86
3,5 - 4
Sering dalam
bentuk isometric
(sparry dolomite)
micrite
Utamanya pada
lingkungan laut
sangat dangkal
(transisi)

2.6. Fasies dan lingkungan pengendapan batuan karbonat


Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana proses fisik, kimia dan
biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya (Selley, 1988). Sedangkan
menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah karakteristik dari suatu tatanan
geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi berlangsung yang menghasilkan suatu jenis
endapan sedimen tertentu. Nichols (1999) menambahkan yang dimaksud dengan proses
tersebut adalah proses yang berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan
pengendapan sedimen. Perbedaan fisik dapat berupa elemen statis ataupun dinamis. Elemen
statis antara lain geometri cekungan, material endapan, kedalaman air dan suhu, sedangkan
elemen dinamis adalah energi, kecepatan dan arah pengendapan serta variasi angin, ombak
dan air. Termasuk dalam perbedaan kimia adalah komposisi dari cairan pembawa sedimen,
geokimia dari batuan asal di daerah tangkapan air (oksidasi dan reduksi (Eh), keasaman (Ph),
salinitas, kandungan karbon dioksida dan oksigen dari air, presipitasi dan solusi mineral).
Sedangkan perbedaan biologi tentu saja perbedaan pada fauna dan flora di tempat sedimen
diendapkan maupun daerah sepanjang perjalanannya sebelum diendapkan.
Permukaan bumi mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari pegunungan,
lembah sungai, pedataran, padang pasir (desert), delta sampai ke laut. Dengan analogi
pembagian ini, lingkungan pengendapan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yakni darat (misalnya sungai, danau dan gurun), peralihan (atau daerah transisi
antara darat dan laut; seperti delta, lagun dan daerah pasang surut) dan laut. Banyak penulis
membagi lingkungan pengendapan berdasarkan versi masing-masing. Selley (1988)
misalnya, membagi lingkungan pengendapan menjadi 3 bagian besar: darat, peralihan dan
laut . Namun beberapa penulis lain membagi lingkungan pengendapan ini langsung menjadi
lebih rinci lagi. Lingkungan pengendapan tidak akan dapat ditafsirkan secara akurat hanya
berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan saja. Maka dari itu untuk menganalisis lingkungan

pengendapan harus ditinjau mengenai struktur sedimen, ukuran butir (grain size), kandungan
fosil (bentuk dan jejaknya), kandungan mineral, runtunan tegak dan hubungan lateralnya,
geometri serta distribusi batuannya.
Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu sedimentologi.
Boggs (1995) mengatakan bahwa dalam mempelajari lingkungan pengendapan sangat
penting untuk memahami dan membedakan dengan jelas antara lingkungan sedimentasi
(sedimentary environment) dengan lingkungan facies (facies environment). Lingkungan
sedimentasi dicirikan oleh sifat fisik, kimia dan biologi yang khusus yang beroperasi
menghasilkan tubuh batuan yang dicirikan oleh tekstur, struktur dan komposisi yang spesifik.
Sedangkan facies menunjuk kepada unit stratigrafi yang dibedakan oleh litologi, struktur dan
karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan. Kata fasies didefinisikan yang berbedabeda oleh banyak penulis. Namun demikian umumnya mereka sepakat bahwa fasies
merupakan ciri dari suatu satuan batuan sedimen. Ciri-ciri ini dapat berupa ciri fisik, kimia
dan biologi, seperti ukuran tubuh sedimen, struktur sedimen, besar dan bentuk butir, warna
serta kandungan biologi dari batuan sedimen tersebut. Sebagai contoh, fasies batupasir
sedang bersilangsiur (cross-bed medium sandstone facies). Beberapa contoh istilah fasies
yang dititikberatkan pada kepentingannya:
Litofasies: didasarkan pada ciri fisik dan kimia pada suatu batuan Biofasies: didasarkan pada
kandungan fauna dan flora pada batuan Iknofasies: difokuskan pada fosil jejak dalam batuan
Berbekal pada ciri-ciri fisik, kimia dan biologi dapat dikonstruksi lingkungan dimana suatu
runtunan batuan sedimen diendapkan. Proses rekonstruksi tersebut disebut analisa fasies.
Klasifikasi lingkungan pengendapan (Selley, 1988)

1. Terestrial Padang pasir (desert)

2. Glasial

3. Daratan

4. Sungai

5. Encer (aqueous) Rawa (paludal)

6. Lakustrin

7. Delta

8. Peralihan

9. Estuarin

10. Lagun

11. Litoral (intertidal)

12. Reef

13. Laut

14. Neritik ( kedalaman 0-200 m)

15. Batial ( kedalaman 200-2000 m)

16. Abisal ( kedalaman > 2000 m)

LINGKUNGAN SUNGAI
Berdasarkan morfologinya sistem sungai dikelompokan menjadi 4 tipe sungai, sungai
lurus (straight), sungai teranyam (braided), sungai anastomasing, dan sungai kekelok
(meandering).

Gambar : Klasifikasi Sungai


1. Sungai Lurus (Straight)
Sungai lurus umumnya berada pada daerah bertopografi terjal mempunyai energi aliran kuat
atau deras. Energi yang kuat ini berdampak pada intensitas erosi vertikal yang tinggi, jauh
lebih besar dibandingkan erosi mendatarnya. Kondisi seperti itu membuat sungai jenis ini
mempunyai pengendapan sedimen yang lemah, sehingga alirannya lurus tidak berbelok-belok
(low sinuosity). Karena kemampuan sedimentasi yang kecil inilah maka sungai tipe ini jarang
yang meninggalakan endapan tebal. Sungai tipe ini biasanya dijumpai pada daerah
pegunungan, yang mempunyai topografi tajam. Sungai lurus ini sangat jarang dijumpai dan
biasanya dijumpai pada jarak yang sangat pendek.
2. Sungai Kekelok (Meandering)

Sungai kekelok adalah sungai yang alirannya berkelok-kelok atau berbelok-belok . Leopold
dan Wolman (1957) dalam Reineck dan Singh (1980) menyebut sungai meandering jika
sinuosity-nya lebih dari 1.5. Pada sungai tipe ini erosi secara umum lemah sehingga
pengendapan sedimen kuat. Erosi horisontalnya lebih besar dibandingkan erosi vertikal,
perbedaan ini semakin besar pada waktu banjir. Hal ini menyebabkan aliran sungai sering
berpindah tempat secara mendatar. Ini terjadi karena adanya pengikisan tepi sungai oleh
aliran air utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan pengendapan pada kelokan
tepi dalam. Kalau proses ini berlangsung lama akan mengakibatkan aliran sungai semakin
bengkok. Pada kondisi tertentu bengkokan ini terputus, sehingga terjadinya danau bekas
aliran sungai yang berbentuk tapal kuda atau oxbow lake.
3. Sungai Teranyam (Braided)
Sungai teranyam umumnya terdapat pada daerah datar dengan energi arus alirannya lemah
dan batuan di sekitarnya lunak. Sungai tipe ini bercirikan debit air dan pengendapan sedimen
tinggi. Daerah yang rata menyebabkan aliran dengan mudah belok karena adanya benda yang
merintangi aliran sungai utama.
Tipe sungai teranyam dapat dibedakan dari sungai kekelok dengan sedikitnya jumlah
lengkungan sungai, dan banyaknya pulau-pulau kecil di tengah sungai yang disebut gosong.
Sungai teranyam akan terbentuk dalam kondisi dimana sungai mempunyai fluktuasi dischard
besar dan cepat, kecepatan pasokan sedimen yang tinggi yang umumnya berbutir kasar,
tebing mudah tererosi dan tidak kohesif (Cant, 1982). Biasanya tipe sungai teranyam ini
diapit oleh bukit di kiri dan kanannya. Endapannya selain berasal dari material sungai juga
berasal dari hasil erosi pada bukit-bukit yang mengapitnya yang kemudian terbawa masuk ke
dalam sungai. Runtunan endapan sungai teranyam ini biasanya dengan pemilahan dan
kelulusan yang baik, sehingga bagus sekali untuk batuan waduk (reservoir).
4. Sungai Anastomasing

Sungai anastomasing terjadi karena adanya dua aliran sungai yang bercabang-cabang, dimana
cabang yang satu dengan cabang yang lain bertemu kembali pada titik dan kemudian bersatu
kembali pada titik yang lain membentuk satu aliran. Energi alir sungai tipe ini rendah. Ada
perbedaan yang jelas antara sungai teranyam dan sungai anastomosing. Pada sungai teranyam
(braided), aliran sungai menyebar dan kemudian bersatu kembali menyatu masih dalam
lembah sungai tersebut yang lebar. Sedangkan untuk sungai anastomasing adalah beberapa
sungai yang terbagi menjadi beberapa cabang sungai kecil dan bertemu kembali pada induk
sungai pada jarak tertentu . Pada daerah onggokan sungai sering diendapkan material halus
dan biasanya ditutupi oleh vegetasi.
LACUSTRIN
Lacustrin atau danau adalah suatu lingkungan tempat berkumpulnya air yang tidak
berhubungan dengan laut. Lingkungan ini bervariasi dalam kedalaman, lebar dan salinitas
yang berkisar dari air tawar hingga hipersaline. Pada lingkungan ini juga dijumpai adanya
delta, barried island hingga kipas bawah air yang diendapkan dengan arus turbidit. Danau
juga mengendapkan klastika dan endapan karbonat termasuk oolit dan terumbu dari alga.
Pada daerah beriklim kering dapat terbentuk endapan evaporit. Endapan danau ini dibedakan
dari endapan laut dari kandungan fosil dan aspek geokimianya.

Danau dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme, yaitu berupa pergerakan tektonik
sebagai pensesaran dan pemekaran; proses glasiasi seperti ice scouring, ice damming dan
moraine damming (penyumbatan oleh batu); pergerakan tanah atau hasil dari aktifitas
volkanik sebagai penyumbatan lava atau danau kawah hasil peledakan.

Visher (1965) dan Kukal (1971) dalam selley (1988) membagi lingkungan lacustrin menjadi
dua yaitu danau permanen dan danau ephemeral . Danau permanen mempunyai 4 model dan
danau ephemeral mempunyai 2 model seperti yang terlihat pada gambar.

Gambar : Profil Lacustrine


DANAU PERMANEN
Danau permanen model pertama adalah danau yang terisi oleh endapan klastika yang terletak
di daerah pegunungan. Danau ini mempunyai hubungan dengan lingkungan delta sungai yang
berkembang ke arah danau dengan mengendapkan pasir dan sedimen suspensi berukuran
halus. Ciri dari endapan danau ini dan juga endapan model lainnya adalah berupa varve yaitu
laminasi lempung yang reguler. Pada endapan danau periglasial, varves berbentuk
perselingan antara lempung dan lanau. Lanau diendapkan pada saat mencairnya es,
sedangkan lempung diendapkan pada musim dingin dimana tidak ada air sungai yang
mengallir ke danau. Contoh danau ini adalah Danau Costance dan Danau Zug di Pegunungan
Alpen.

Danau permanen model kedua adalah danau yang terletak di dataran rendah dengan iklim
yang hangat. Material yang dibawa oleh sungai dalam jumlah yang sedikit. Endapan karbonat
terbentuk pada daerah yang jauh dari mulut sungai disekitar pantai. Cangkang-cangkang
molluska dijumpai pada endapan pantai, yang dapat membentuk kalkarenit jika energi
gelombang cukup besar. Kearah dalam dijumpai adanya ganggang merah berkomposisi
gampingan. Contoh danau ini adalah Danau Schonau di Jerman dan Danau Great Ploner di
Kanada Selatan.

Danau permanen model ketiga adalah danau dengan endapan sapropelite (lempung kaya akan
organik) pada bagian dalam yang dikelilingi oleh karbonat di daerah dangkal. Endapan pantai
berupa ganggang dan molluska.

Danau permanen model ke empat dicirikan oleh adanya marsh pada daerah dangkal yang
kearah dalam menjadi sapropelite. Contoh dari danau ini adalah Danau Gytta di Utara
Kanada.
DANAU EPHERMAL
Danau ephemeral adalah danau yang terbentuk dalam jangka waktu yang pendek di daerah
gurun dengan iklim yang panas. Hujan hanya terjadi sesekali dalam setahun.
Danau playa antar-gunung pada bagian dekat pegunungan berupa fan alluvial piedmont yang
kearah luar berubah menjadi pasir dan lempung. Ciri dari danau playa ini adalah lempung
berwarna merah-coklat yang setempat disisipi oleh lanau dan gamping. Contoh danau ini
adalah Danau Qa Saleb dan Qa Disi di Jordania.

Karena adanya pengaruh evaporasi, danau ephemeral ini dapat membentuk endapan evaporite
pada lingkungan sabkha. Contoh dari danau ini adalah Danau Soda di Amerika Utara dan di
Gurun Sahara dan Arab.
LAGUN ( LAGOON )
Lagun adalah suatu kawasan berair dangkal yang masih berhubungan dengan laut lepas,
dibatasi oleh suatu punggungan memanjang (barrier) dan relatif sejajar dengan pantai
(Gambar VII.15). Maka dari itu lagun umumnya tidak luas dan dangkal dengan energi
rendah. Beberapa lagun yang dianggap besar, misalnya Leeward Lagoon di Bahama luasnya
hanya 10.000 km dengan kedalaman + 10 m (Jordan, 1978, dalam Bruce W. Sellwood, 1990).
DELTA

Gambar : Lingkungan Delta


Kata Delta digunakan pertama kali oleh
Filosof Yunani yang bernama Herodotus
pada

tahun

490

SM,

dalam

penelitiannya pada suatu


bidang

segitiga

yang

dibentuk
oleh

oleh

alluvial pada muara Sungai Nil.

Sebagian besar Delta modern saat ini berbentuk segitiga dan sebagian besar bentuknya tidak
beraturan . Bila dibandingkan dengan Delta yang pertama kali dinyatakan oleh Herodotus
pada sungai nil. Ada istilah lain dari Delta adalah seperti yang dikemukakan oleh Elliot dan
Bhatacharya (Allen, 1994) adalah Discrette shoreline proturberance formed when a river
enters an ocean or other large body of water.
Proses pembentukan delta adalah akibat akumulasi dari sedimen fluvial (sungai) pada
lacustrine atau marine coastline. Delta merupakan sebuah lingkungan yang sangat
komplek dimana beberapa faktor utama mengontrol proses distribusi sedimen dan morfologi
delta, faktor-faktor tersebut adalah regime sungai, pasang surut (tide), gelombang, iklim,
kedalaman air dan subsiden (Tucker, 1981). Untuk membentuk sebuah delta, sungai harus
mensuplai sedimen secara cukup untuk membentuk akumulasi aktif, dalam hal ini prograding
system. Secara sederhana ini berarti bahwa jumlah sedimen yang diendapkan harus lebih
banyak dibandingkan dengan sedimen yang terkena dampak gelombang dan pasang surut.
Dalam beberapa kasus, pengendapan sedimen fluvial ini banyak berubah karena faktor diatas,
sehingga banyak ditemukan variasi karakteristik pengendapan sedimennya, meliputi
distributary channels, river-mouth bars, interdistributary bays, tidal flat, tidal ridges, beaches,
eolian dunes, swamps, marshes dan evavorites flats (Coleman, 1982).
Ketika sebuah sungai memasuki laut dan terjadi penurunan kecepatan secara drastis, yang
diakibatkan bertemunya arus sungai dengan gelombang, maka endapan-endapan yang
dibawanya akan terendapkan secara cepat dan terbentuklah sebuah delta.
Deposit (endapan) pada delta purba telah diteliti dalam urutan umur stratigrafi, dan sedimen
yang ada di delta sangat penting dalam pencarian minyak, gas, batubara dan uranium. Delta delta modern saat ini berada pada semua kontinen kecuali Antartica. Bentuk delta yang besar
diakibatkan oleh sistem drainase yang aktif dengan kandungan sedimen yang tinggi.

Klasifikasi dan pengendapan delta


Berdasarkan sumber endapannya, secara mendasar delta dapat dibedakan menjadi dua jenis
(Nemec, 1990 dalam Boggs, 1995), yaitu:
1. Non Alluvial Delta
a. Pyroklastik delta
b. Lava delta
2. Alluvial Delta
a. River Delta
Pembentukannya dari deposit sungai tunggal.
b. Braidplain Delta
Pembentukannya dari sistem deposit aliran teranyam
c. Alluvial fan Delta
Pembentukannya pada lereng yang curam dikaki gunung yang luas yang dibawa air.
d. Scree-apron deltas
Terbentuk ketika endapan scree memasuki air.
Pada tahun 1975, M.O Hayes (Allen & Coadou, 1982) mengemukakan sebuah konsep
tentang klasifikasi coastal yang didasarkan pada hubungan antara kisaran pasang surut
(mikrotidal, mesotidal dan makrotidal) dan proses sedimentologi. Pada tahun 1975, Galloway

(Allen & Coadou, 1982) menggunakan konsep in dalam penerapannya terhadap aluvial delta,
sehingga disimpulkan klasifikasi delta berdasarkan pada delta front regime dibagi menjadi
tiga , yaitu :

1. Fluvial-dominated Delta
2. Tide-dominated Delta
3. Wave-dominated Delta

Fisiografi Delta
Berdasarkan fisiografinya, delta dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama , yaitu :
1. Delta plain
2. Front Delta
3. Prodelta

Gambar : Fisografi Delta dan Litologi

Gambar : Gambar : Fisografi Delta dan Litologi


Delta plain
Delta plain merupakan bagian kearah darat dari suatu delta. Umumnya terdiri dari endapan
marsh dan rawa yang berbutir halus seperti serpih dan bahan-bahan organik (batubara). Delta
plain merupakan bagian dari delta yang karakteristik lingkungannya didominasi oleh proses
fluvial dan tidal. Pada delta plain sangat jarang ditemukan adanya aktivitas dari gelombang
yang sangat besar. Daerah delta plain ini ditoreh (incised) oleh fluvial distributaries dengan
kedalaman berkisar dari 5 30 m. Pada distributaries channel ini sering terendapkan endapan
batupasir channel-fill yang sangat baik untuk reservoir (Allen & Coadou, 1982).

Delta front
Delta front merupakan daerah dimana endapan sedimen dari sungai bergerak memasuki
cekungan dan berasosiasi/berinteraksi dengan proses cekungan (basinal). Akibat adanya
perubahan pada kondisi hidrolik, maka sedimen dari sungai akan memasuki cekungan dan
terjadi penurunan kecepatan secara tiba-tiba yang menyebabkan diendapkannya materialmaterial dari sungai tersebut. Kemudian material-material tersebut akan didistribusikan dan
dipengaruhi oleh proses basinal. Umumnya pasir yang diendapkan pada daerah ini
terendapkan pada distributary inlet sebagai bar. Konfigurasi dan karakteristik dari bar ini
umumnya sangat cocok sebagai reservoir, didukung dengan aktivitas laut yang
mempengaruhinya (Allen & Coadou, 1982).

Prodelta

Prodelta adalah bagian delta yang paling menjauh kearah laut atau sering disebut pula sebagai
delta front slope. Endapan prodelta biasanya dicirikan dengan endapan berbutir halus seperti
lempung dan lanau. Pada daerah ini sering ditemukan zona lumpur (mud zone) tanpa
kehadiran pasir. Batupasir umumnya terendapkan pada delta front khususnya pada daerah
distributary inlet, sehingga pada daerah prodelta hanya diendapkan suspensi halus. Endapanendapan prodelta merupakan transisi kepada shelf-mud deposite. Endapan prodelta umumnya
sulit dibedakan dengan shelf-mud deposite. Keduanya hanya dapat dibedakan ketika adanya
suatu data runtutan vertikal dan horisontal yang baik (Reineck & Singh, 1980).

ESTUARIN
Beberapa ahli geologi mengemukakan beberapa pengertian yang bermacam-macam tentang
estuarin. Pritchard, 1967 (Reineck & Singh, 1980) mengemukakan bahwa estuarin adalah a
semi-enclosed coastal body of water which has a free connection with the open sea and
within which sea water is measurably diluted with fresh water derived from land drainage.
Ada dua faktor penting yang mengontrol aktivitas di estuarin, yaitu volume air pada saat
pasang surut dan volume air tawar (fresh water) serta bentuk estuarin. Endapan sedimen pada
lingkungan estuarin dibawa dua aktivitas, yaitu oleh arus sungai dan dari laut terbuka.
Transpor sedimen dari laut lepas akan sangat tergantung dari rasio besaran tidal dan disharge
sungai. Estuarin diklasifikasikan menjadi tiga daerah yaitu :
1. Marine atau lower estuarin, yaitu estuarine yang secara bebas berhubungan dengan laut
bebas, sehingga karakteristik air laut sangat terasa pada daerah ini.

2. Middle estuarin, yaitu daerah dimana terjadi percampuran antara fresh water dan air asin
secara seimbang.
3. Fluvial atau upper estuarin, yaitu daerah estuarin dimana fresh water lebih mendominasi,
tetapi tidal masih masih berpengaruh (harian)
Marine atau lower estuarin adalah estuarine yang secara bebas berhubungan dengan laut
bebas, sehingga karakteristik air laut sangat terasa pada daerah ini. Daerah dimana terjadi
percampuran antara fresh water dan air asin secara seimbang disebut middle estuarin.
Sedangkan fluvial atau upper estuarin, yaitu daerah estuarin dimana fresh water lebih
mendominasi, tetapi tidal masih masih berpengaruh (harian). Friendman & Sanders (1978)
dalam Reineck & Singh mengungkapkan bahwa pada fluvial estuarin konsentrasi suspensi
yang terendapkan lebih kecil (<160mg/l) dibanding pada sungai yang membentuk delta.
Gambar VII.31 Skema system lingkungan pengendapan estuarin yang sangat dipengaruhi
gelombang (Dalrymple, 1992) Berdasarkan aktivitas dari tidal yang mempengaruhinya,
estuarin dapat diklasifikasikan menjadi tiga (Hayes, 1976 dalam Reading, 1978), yaitu :
1. Mikrotidal estuarin
2. Mesotidal estuarin
3. Makrotidal estuarin
Pada mikrotidal estuarin, perkembangan daerahnya sering ditandai dengan kemampuan
disharge dari sungai untuk menahan arus tidal yang masuk ke dalam sungai, meskipun
kadang-kadang pada saat disharge sungai sangat kecil, arus tidal dapat masuk sampai ke
sungai. Pada mesotidal estuarin, efektivitas dari tidal lebih efektif dibanding pada mikrotidal,
khususnya ini terjadi pada sungai bagian bawah. Pada makrotidal estuarin sering ditemukan
funnel shaped dan linier tidal sand ridges. Arus tidal sangat efektif dalam sirkulasi daerah ini,

serta endapan suspensi umumnya diendapkan pada dataran (flats) intertidal pada daerah batas
estuarin (Reading, 1978). Endapan pada daerah estuarin umumnya aggradational dengan alas
biasanya berupa lapisan erosional hasil scour pada mulut sungai. Hal ini berbeda dengan
endapan delta yang umumnya progadational yang sering menunjukan urutan mengkasar
keatas. Pada daerah estuarin yang sangat dipengaruhi oleh tidal, endapannya akan sangat sulit
dibedakan dengan daerah lingkungan pengendapan tidal, untuk membedakannya harus
didapat informasi dan runtunan endapan secara lengkap (Nichols, 1999).

TIDAL FLAT
Tidal flat merupakan lingkungan yang terbentuk pada energi gelombang laut yang rendah
dan umumnya terjadi pada daerah dengan daerah pantai mesotidal dan makrotidal. Pasang
surut dengan amplitudo yang besar umumnya terjadi pada pantai dengan permukaan air yang
sangat besar/luas. Danau dan cekungan laut kecil yang terpisah dari laut terbuka biasanya
hanya mengalami efek yang kecil dari pasang surut ini, seperti pada laut mediterania yang
ketinggian pasang surutnya hanya berkisar dari 10 20 cm. Luas dari daerah tidal flat ini
berkisar antara beberapa kilometer sampai 25 km (Boggs, 1995). Berdasarkan pada
elevasinya terhadap tinggi rendahnya pasang surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi
tiga zona, yaitu subtidal, intertidal dan supratidal . Pembagian serta hubungan antara zonazona pada lingkungan tidal flat (Boggs, 1995) Zona subtidal meliputi daerah dibawah ratarata level pasang surut yang rendah dan biasanya selalu digenangi air secara terus menerus.
Zona ini sangat dipengaruhi oleh tidal channel dan pengaruh gelombang laut, sehingga pada
daerah ini sering diendapkan bedload dengan ukuran pasir (sand flat). Pada zona ini sering
terbentuk subtidal bar dan shoal. Pengendapan pada daerah subtidal utamanya terjadi oleh
akresi lateral dari sedimen pasiran pada tidal channel dan bar. Migrasi pada tidal channel ini

sama dengan yang terjadi pada lingkungan sungai meandering. Zona intertidal meliputi
daerah dengan level pasang surut rendah sampai tinggi. Endapannya dapat tersingkap antara
satu atau dua kali dalam sehari, tergantung dari kondisi pasang surut dan angin lokal. Pada
daerah ini biasanya tidak tumbuh vegetasi yang baik, karena adanya aktifitas air laut yang
cukup sering (Boggs, 1995). Karena intertidal merupakan daerah perbatasan antara pasang
surut yang tinggi dan rendah, sehinnga merupakan daerah pencampuran antara akresi lateral
dan pengendapan suspensi, maka daerah ini umumnya tersusun oleh endapan yang berkisar
dari lumpur pada daerah batas pasang surut tinggi sampai pasir pada batas pasang surut
rendah (mix flat). Pada daerah dengan pasang surut lemah disertai adanya aktivitas ombak
pada endapan pasir intertidal dapat menyebabkan terbentuknya asimetri dan simetri ripples.
Facies intertidal didominasi oleh perselingan lempung, lanau dan pasir yang memperlihatkan
struktur flaser, wavy dan lapisan lentikular. Facies seperti ini menunjukan adanya fluktuasi
yang konstan dengan kondisi energi yang rendah (Reading, 1978) Zona supratidal berada
diatas rata-rata level pasang surut yang tinggi. Karena letaknya yang lebih dominan ke arah
darat, zona ini sangat dipengaruhi oleh iklim. Pada daerah sedang, daerah ini kadang-kadang
ditutupi oleh endapan marsh garam , dengan perselingan antara lempung dan lanau (mud flat)
serta sering terkena bioturbasi (skolithtos). Pada daerah beriklim kering sering terbentuk
endapan evaporit flat. Daerah ini umumnya ditoreh oleh tidal channel (incised tidal channel)
yang membawa endapan bedload di sepanjang alur sungainya. Pengendapan pada tidal
channel umumnya sangat dipengaruhi oleh arus tidal sendiri, sedangkan pada daerah datar di
sekitarnya (tidal flat), pengendapannya akan dipengaruhi pula oleh aktivitas dari gelombang
yang diakibatkan oleh air ataupun angin. Suksesi endapan pada lingkungan tidal flat
umumnya memperlihatkan sistem progadasi dengan penghalusan ke atas sebagai refleksi dari
batupasir pada pasang surut rendah (subtidal) ke lumpur pada pasang surut tinggi (supratidal

dan intertidal bagian atas). Blok diagram silisiklastik pada lingkungan tidal flat (Dalrymple,
1992 dalam Walker & James, 1992)

Gambar : Model Tidal Flat, Tucker

Gambar : Model Lain Dari Tidal Flat


NERITIK (Shelf Environment)
Daerah shelf merupakan daerah lingkungan pengendapan yang berada diantara daerah laut
dangkal sampai batas shelf break . Heckel (1967) dalam Boggs (1995) membagi lingkungan
shelf ini menjadi dua jenis, perikontinental (marginal) dan epikontinental (epeiric).

Perikontinental shelf adalah lingkungan laut dangkal yang terutama menempati daerah di
sekitar batas kontinen (transitional crust) shelf dengan laut dalam. Perikontinental seringkali
kehilangan sebagian besar dari endapan sedimennya (pasir dan material berbutir halus
lainnya), karena endapan-endapan tersebut bergerak memasuki laut dalam dengan proses arus
traksi dan pergerakan graviti (gravity mass movement). Karena keberadaannya di daerah
kerak transisi (transitional crust), perikontinental juga sering menunjukan penurunan
(subsidence) yang besar, khususnya pada tahap awal pembentukan cekungan, yang dapat
mengakibatkan terbentuknya endapan yan tebal pada daerah ini (Einsele, 1992). Sedangkan
epikontinental adalah lingkungan laut yang berada pada daerah kontinen (daratan) dengan
sisi-sisinya dibatasi oleh beberapa daratan. Daerah ini biasanya dibentuk jauh dari pusat badai
(storm) dan arus laut, sehingga seringkali terproteksi dengan baik dari kedua pengaruh
tersebut. Jika sebagian dari daerah epeiric ini tertutup, maka ini akan semakin tidak
dipengaruhi oleh gelombang dan arus tidal.
Skema penampang lingkungan pengendapan laut (Boggs, 1995) Ada enam faktor yang
mempengaruhi proses sedimentasi pada lingkungan shelf (Reading, 1978), yaitu : 1.
kecepatan dan tipe suplai sedimen 2. tipe dan intensitas dari hidrolika regime shelf 3.
fluktuasi muka air laut 4. iklim 5. interaksi binatang sedimen 6. faktor kimia Pasir shelf
modern sebagian besar (70%) adalah berupa relict sedimen, meskipun kadang-kadang daerah
shelf ini menerima secara langsung suplai pasir dari luar daerah, seperti dari mulut sungai
pada saat banjir dan dari pantai pada saat badai (Drake et al, 1972 dalam Reading, 1978).
Endapan sedimen pada lingkungan shelf modern umumnya sangat didominasi oleh lumpur
dan pasir, meskipun kadang-kadang dijumpai bongkah-bongkah relict pada beberapa daerah.
Ada empat tipe arus (current) yang mempengaruhi proses sedimentasi pada daerah shelf
(Swift et al, 1971 dalam Boggs, 1995), yaitu :

1. Arus tidal
2. Arus karena badai (storm)
3. Pengaruh gangguan arus lautan
4. Arus density
Sehingga berdasarkan pada proses yang mendominasinya, lingkungan shelf ini secara dibagi
menjadi dua tipe (Nichols, 1999), yaitu shelf didominasi tidal (tide dominated shelves) dan
shelf didominasi badai (storm dominated shelves). Pada lingkungan shelf modern pada
umumnya tidak ada yang didominasi oleh pengaruh arus density.
Shelf yang didominasi oleh arus tidal ditandai dengan kehadiran tidal dengan kecepatan
berkisar dari 50 sampai 150 cm/det (Boggs, 1995). Sedangkan Reading (1978)
mengungkapkan bahwa beberapa shelf modern mempunyai ketinggian tidal antara 3 4m
dengan maksimum kecepatan permukaan arusnya antara 60 sampai >100 cm/det. Endapan
yang khas yang dihasilkan pada daerah dominasi pasang surut ini adalah endapan-endapan
reworking in situ berupa linear ridge batupasir (sand ribbons), sand waves (dunes), sand
patches dan mud zones. Orientasi dari sand ridges tersebut umumnya paralel dengan arah
arus tidal dengan kemiringan pada daerah muka sekitar 50. Umumnya batupasir pada shelf
tide ini ditandai dengan kehadiran cross bedding baik berupa small-scale cross bedding
ataupun ripple cross bedding.
Shelf yang didominasi storm dicirikan dengan kecepatan tidal yang rendah (<25 m/det). Pada
daerah ini biasanya sangat sedikit terjadi pengendapan sedimen berbutir kasar, kecuali pada
saat terjadi badai yang intensif. Kondisi storm dapat mempengaruhi sedimentasi pada

kedalaman 20 50 m. pada saat terjadi badai, daerah shelf ini menjadi area pengendapan
lumpur dari suspensi. Material klastik berbutir halus dibawa menuju daerah ini dari mulut
sungai dalam kondisi suspensi oleh geostrphik dan arus yang disebabkan angin (Nichols,
1999). Storm juga dapat mengakibatkan perubahan (rework) pada dasar endapan sedimen
yang telah diendapkan terlebih dahulu. Pada suksesi daerah laut dangkal dengan pengaruh
storm akan dicirikan dengan simetrikal (wave) laminasi bergelombang (ripple), hummocky
dan stratifikasi horisontal yang kadang-kadang tidak jelas terlihat karena prose bioturbasi.

8 Oceanic (Deep-water Environment)


Sekitar 70% daerah bumi ini merupakan daerah cekungan laut dengan alas kerak samudra
tipe basaltis. Daerah cekungan laut dalam merupakan daerah yang pada bagian atanya
dibatasi oleh lingkungan shelf pada zona break, secara topografi ditandai dengan kemiringan
yang curam (lebih besar) dibandingkan dengan shelf. Berdasarkan dari fisiografinya,
lingkungan laut dalam ini dibagi menjadi tiga daerah yaitu,
1. continental slope,
2. continental rise dan
3. cekungan laut dalam .

Prinsip elemen dari Kontinental margin (Drake, C.L dan Burk, 1974 dalam Boggs, 1995)
Lereng benua (continental slope) dan continental rise merupakan perpanjangan dari shelf
break. Kedalaman lereng benua bermula dari shelf break dengan kedalaman rata-rata 130 m
sampai dengan 1500-4000 m. Kemiringan pada lereng benua ini sekitar 40, walaupun ada

variasi pada lingkungan delta (20) dan pada lingkungan koral (450) (Boggs, 1995).
Sedangkan kemiringan pada continental rise biasanya lebih kecil dibandingkan kemiringan
pada lereng benua. Karena lerengnya yang cukup curam dibandingkan paparan, pada lereng
benua ini sering merupakan daerah dari pergerakan arus turbidit. Continental rise biasanya
tidak akan ada pada daerah convergen atau aktif margin dimana subduksi berlangsung.
Morfologi pada lereng benua ini sering menunjukan bentuk cembung, kecuali pada daerahdaerah yang yang mempunyai stuktur sangat aktif. Volume endapan sedimen yang dapat
mencapai lereng benua dan continental rise ini akan sangat bergantung pada lebarnya shelf
dan jumlah sedimen yang ada. Continental rise dan cekungan laut dalam membentuk sekitar
80% dari total dasar laut. Bagian lebih dalam dari continental slope dibagi menjadi dua
fisiografi, yaitu :
1. Lantai Samudra (ocean floor), yang dikarakteristikan dengan kehadiran dataran abisal,
perbukitan abisal (< 1 km) dan gunungapi laut (> 1 km)
2. Oceanic Ridges
Dataran abisal merupakan daerah yang relatif sangat datar, kadang-kadang menjadi sedikit
bergelombang karena adanya seamount. Beberapa dataran abisal juga kadang-kadang
terpotong oleh channel-channel laut dalam. Pada pusat cekungan laut dalam biasanya
terendapkan sedimen dari material pelagik. Mid-oceanic ridges memanjang sejauh 60.000 km
dan menutupi sekitar 30 35% dari luas lautan.

Transport Laut Dalam


Aliran turbidit merupakan salah satu jenis aliran yang sangat banyak dilakukan kajian oleh
para peneliti. Aliran turbidit pada prinsipnya dapat terjadi pada berbagai macam lingkungan

pengendapan, tetapi aliran turbidit lebih sering ditemukan pada lingkungan laut dalam. Pada
lingkungan laut dalam sebenarnya terdapat beberapa proses transpor yang dapat terjadi
(Boggs, 1995), yaitu :
1. Transport suspensi dekat permukaan oleh air dan angin
2. Transport nepheloid-layer
3. Transport arus tidal pada submarine canyon
4. Aliran sedimen gravitasi
5. Transpor oleh arus geostrophic contour
6. Transport oleh floating ice
Transport oleh aliran gravitasi adalah transpor yang mendominasi dan banyak dijadikan
kajian sejak beberapa tahun kebelakang. Sedimen dengan aliran gravitasi merupakan
material-material yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi. Aliran gravitasi ini secara
prinsip terbagi menjadi empat tipe dengan karakteristik endapannya masing-masing.Keempat
tipe tersebut adalah :
1. Aliran arus turbidit
2. Aliran sedimen liquefied
3. Aliran butiran (Grain Flow)
4. Aliran Debris (Debris Flow)
Kuenen dan Migliori (1950) dalam Allen (1978) memvisualisasikan aliran turbidit sebagai
aliran suspensi pasir dan lumpur dengan densitas yang tinggi serta gravitasi mencapai 1,5
2,0. Ketika aliran melambat dan cairan turbulence berkurang, maka aliran turbidit akan

kelebihan beban, dan diendapkanlah butiran-butiran kasar. Beberapa percobaan menunjukan


bahwa aliran turbidit secara umum terbagi menjadi empat bagian, yaitu kepala, leher, tubuh
dan ekor. Pengendapan dengan aliran turbidit merupakan suatu proses yang sangat cepat,
sehingga tidak terjadi pemilahan dari butiran secara baik, kecuali pada grading yang normal
pada sekuen Bouma (Nichols, 1999). Pasir yang terendapkan oleh aliran turbidit umumnya
lebih banyak berukuran lempung, mereka sering diklasifikasikan sebagai wackes dalam
klasifikasi Pettijohn.

Kipas Laut Dalam


Ngarai (canyons) pada shelf merupakan tempat masuknya aliran air dan sedimen ke dalam
laut dalam (Gambar VII. 37). Hal ini dapat dianalogikan dengan pembentukan alluvial fan.
Pada setting laut dalam, morfologi kipas juga dapat terbentuk, menyebar dari ngarai-ngarai
dan membentuk menyerupai kerucut (cone) pada lantai samudera. Morfologi tersebut
terkenal dengan sebutan kipas bawah laut (submarine fans). Ukuran dari kipas bawah laut ini
sangat bervariasi, terbentang mulai dari beberapa kilometer sampai 2000 km (Stow, 1985).

Proses sedimentasi yang terjadi pada kipas bawah laut ini umumnya didominasi oleh sistem
aliran turbidit yang membawa material-material dari shelf melalui ngarai-ngarai. Proses
sedimentasi ini membentuk trend yang sangat umum, dimana material yang kasar akan
terendapkan dekat dengan sumber dan material yang halus akan terendapkan pada bagian
distal dari kipas. Kipas bawah laut modern dan turbidit purba terbagi ke dalam tiga bagian,
proximal (upper fan), medial (mid fan) dan distal (lower fan).

Upper fan berada pada kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter dengan lebar bisa
mencapai ratusan meter. Kecepatan aliran yang sangat cepat pada daerah ini menyebabkan
endapan yang terbentuk berupa endapan tipis, tanpa struktur sedimen atau perlapisan batuan
yang kasar (Nichols, 1999). Jika didasarkan pada sekuen endapan turbidit dari Bouma, maka
pada daerah ini banyak ditemukan endapan dengan tipe sekuen a, sedangkan pada
overbank upper fan dan channel sering ditemukan sekuen Bouma bagian atas (Tcde atau
Tde). Pada daerah mid fan, aliran turbidit menyebar dari bgian atas kipas (upper fan). Pada
daerah ini endapan turbidit membentuk lobe (cuping) yang menutupi hampir seluruh daerah
ini. Unit stratigrafi yang terbentuk pada mid fan lobe ini, idealnya berupa sekuen mengkasar
ke atas (coarsening-up) serta adanya unit-unit channel. Pada mid fan lobe ini sering
ditemukan sekuen boma secara lengkap Ta-e dan Tb-e. Kadang-kadang aliran turbidit yang
mengalir dari upper fan dan melintasi mid fan dapat pula mencapai daerah lower fan. Daerah
lower fan merupakan daerah terluar dari kipas bawah laut, dimana material yang diendapkan
pada daerah ini umumnya berupa pasir halus, lanau dan lempung. Lapisan tipis dari aliran
turbidit ini akan membentuk divisi Tcde dan Tde. Hemipelagic sedimen akan bertambah pada
daerah ini seiring dengan menurunnya proporsi endapan turbidit (Nichols, 1999).

BAB III
PENUTUP
3.1 . Kesimpulan
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari 50 %
yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil
presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986).Bates & Jackson (1987) mendefinisikan batuan
karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat
keseluruhan lebih dari 50 %.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/95696947/BATUAN-SEDIMEN-KARBONAT
http://arrheniustory.blogspot.com/
http://www.scribd.com/doc/24234609/10/II-3-2-Batuan-sedimen-karbonat
http://geologi08.wordpress.com/2012/02/23/60/

Anda mungkin juga menyukai