KATA PENGANTAR
Pekerjaan Kajian dan Analisis Usaha Ekonomi Komoditi Unggulan Kabupaten
Pinrang ini, bertujuan untuk menyusun konsep tentang kelayakan usaha
ekonomi dari komoditi unggulan yang dimiliki oleh Kabupaten Pinrang ditinjau
dari parameter net present value, benefit cost ratio, revenue cost ratio, break even
point, margin of safety dan rentabilitas pada komodity unggulan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat keberhasilan dari usaha ekonomi komoditi
tersebut. Diharapkan dengan tersusunnya konsep ini, dapat membantu
pemerintah daerah untuk meningkatkan efektifitas dan daya saiing daerahnya
dalam rangka menstimulus perekonomian daerah yang pada akhirnya akan
berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Laporan Akhir ini berisi
(1) studi literatur terhadap komoditi unggulan daerah kabupaten Pinrang; (2)
identifikasi konsep dasar pengembangan komoditi unggulan daerah; (3) analisis
usaha ekonomi terhadap komoditi unggulan daerah; (4) penelitian di daerah
melalui pengumpulan data sekunder, wawancara dan diskusi (focusing group
discussion); (5) diskusi intensif dan analisis dengan pakar dan narasumber; (6)
menganalisis pengembangan komoditi unggulan berdasarkan temuan lapangan;
(7) merumuskan prinsip dasar pengembangan yang akan menjadi strategi
pengembangan komoditi unggulan.
Hasil studi yang dituangkan pada laporan akhir ini, merupakan gambaran dari
pelaksanaan kegiatan pekerjaan, baik di lapangan maupun analisis data, dan
selanjutnya dilaporkan melalui laporan akhir ini. Selanjutnya, sasaran kajian ini
adalah terumuskannya komoditi unggulan yang layak untuk dikembangkan bagi
kabupaten Pinrang dan tersusunnya rencana tindak pengembangan komoditi
unggulan kabupaten Pinrang yang dapat diimplementasikan dan dilakukan
dengan proses partisipatori dan konsultatif dengan berbagai unsur di daerah.
Studi ini terselenggara atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Pinrang
dengan CV. Ulfa Consultant, yang memberikan jasa konsultasi dan manajemen.
Karena itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Pemerintah
Kabupaten Pinrang, khususnya BAPPEDA Kabupaten Pinrang atas kepercayaan
dan dukungan dana yang diberikan, Dinas-Dinas terkait di Kabupaten Pinrang
atas dukungan dan masukan yang diberikan, dan kepada masyarakat setempat
yang telah membantu pelaksanaan studi ini di lapangan.
Semoga studi ini bermanfaat untuk pembangunan pertanian dan kemaslahatan
masyarakat Kabupaten Pinrang.
Tim Penyusun
|i
Laporan Akhir
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................
ii
iii
iv
1.
PENDAHULUAN .........................................................................................................
12
15
20
36
42
44
46
2.9
48
65
METODOLOGI .............................................................................................................
71
71
71
3.3 Kerangka Kajian dan anlisa Usaha Ekonomi Komoditi Unggulan ...
77
78
78
2.
3.
4.
| ii
Laporan Akhir
5.
81
98
132
132
132
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Tabel 4.2
82
Tabel 4.3
85
Tabel 4.4
88
Tabel 4.5
Luas Lahan & Produksi Kakao Kab. Pinrang Tahun 2013 ......
93
Tabel 4.6
Luas Lahan & Produksi Cabai Kab. Pinrang Tahun 2013 .......
95
Tabel 4.7
97
Tabel 4.8
102
Tabel 4.9
103
116
120
124
125
125
125
126
126
127
Tabel 4.19 Hasil perhitungan analisis kelayakan Budidaya Ikan Nila .....
129
| iii
Laporan Akhir
130
131
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Aliran bahan pada mesin pemecah kulit gabah tipe rubber roll
.................................................................................................................. 56
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
15
111
| iv
Laporan Akhir
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang
Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah yang menjamin sepenuhnya pelaksanaan reformasi otonomi daerah
yang lebih luas dan stabil, maka semangat reformasi otonomi daerah tersebut
perlu diterjemahkan ke dalam berbagai aspek pembangunan antara lain adalah
pembangunan sektor pertanian, karena sektor pertanian merupakan salah satu
pilar pembangunan yang terbukti mampu bertahan terhadap deraan krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, bahkan sektor pertanian mampu
memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor pertanian dapat dijadikan sebagai sektor
andalan daerah, seperti halnya Kabupaten pinrang di masa yang akan datang.
Selain itu, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengamanatkan
Pemerintah
|1
Laporan Akhir
pemerintah
perlu
melakukan
reorientasi
peran
dan
system
dan
jaringan
kerja
(networking)
dengan
|2
Laporan Akhir
kebutuhan
pasar
(demand)
dan
jaminan
kontinuitas
ketersediaannya (delivery/supply)
5. Memfasilitasi lembaga keuangan agar bersedia memberikan modal usaha
bagi industri skala kecil dan menengah pada berbagai sector unggulan
daerah, sehingga mereka dapat menjamin dan mempertahankan
keberlangsungan usahanya.
6. Berperan mentransportasikan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan
di berbagai sector unggulan produk daerah, agar proses produksi dapat
mencapai efektifitas, efisiensi, dan ekonomis.
7. Mendorong agar para produsen mengembangkan jenis-jenis produk
unggulan yang bersifat komplementer baik intern maupun antar region,
memiliki nilai tambah (value edded) dan menghasilkan manfaat ganda
(multiple effect) baik secara backward-linkage dan forward linkage
terhadap berbagai sector, dengan demikian dapat memperkuat posisi
daerah dari pengaruh fluktuasi ekonomi
8. Memposisikan birokrasi pemerintah daerah cukup berperan sebagai
katalisator, stimulator, dan regulator agar mekanisme pasar dapat
bekerja secara sehat
9. Memprioritaskan program pembangunan infrastuktur yang dibutuhkan
dalam rangka kemudahan aksebilitas usaha di bidang industri meliputi
sarana transprtasi, komunikasi, energi, lokasi industri, sarana dan
prasarana pelayanan umum yang baik serta situasi lingkungan yang
sehat dan aman.
Pembangunan pertanian yang merupakan perwujudan amanat Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 dan sebagai pengamalan Pancasila adalah seluruh upaya
untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara lestari dan
berkelanjutan, sumber daya manusia, modal, serta ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) untuk menghasilkan produksi pertanian dan bahan baku
primer industri. Sektor pertanian saat ini masih memiliki peranan strategis,
CV. ULFA CONSULTANT
|3
Laporan Akhir
mengenai
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
yang
menggariskan bahwa pertanian dalam arti yang luas perlu terus dikembangkan
CV. ULFA CONSULTANT
|4
Laporan Akhir
agar makin maju dan efisien, dan diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi serta keanekaragaman hasil pertanian, melalui usaha
diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi pertanian dengan
memanfaatkan iptek, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta kebutuhan
bahan baku industri.
Selain itu diharapkan industri pertanian dan industri lain yang terkait terus
didorong perkembangannya sehingga makin mampu memanfaatkan peluang
pasar dalam dan luar negeri, memperluas kesempatan usaha dan lapangan
kerja. Semua itu diarahkan untuk memperbaiki taraf hidup petani dan
masyarakat pada umumnya
Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang menjadi tumpuan hidup
sebagian besar masyarakat Indonesia. Sektor ini dapat memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, menyediakan pasar dan
bahan baku untuk produksi sektor industri, menciptakan pendapatan dan
menghasilkan devisa yang dibutuhkan untuk proses pembangunan.
Kebutuhan masyarakat terhadap hasil pertanian, terutama beras menjadi
permasalahan utama yang harus diatasi. Beras merupakan komoditas yang
sangat penting, karena sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras bukan saja merupakan bahan
pangan pokok, tetapi sudah merupakan komoditas sosial. Suplai beras harus
tetap terjamin karena dapat berakibat pada timbulnya keresahan sosial. Oleh
karena itu, perhatian terhadap produksi, kualitas, distribusi, dan kesejahteraan
pelaku sektor perberasan harus mendapat prioritas dari pemerintah.
Pencanangan program peningkatan produksi beras nasional sebesar 3 juta ton
tahun 2014 memberi arti bahwa pemerintah memiliki kepedulian terhadap
sektor pertanian. Pencanangan ini membuat setiap wilayah produksi
menentukan target produksinya. Salah satu wilayah yang melakukan penetapan
target produksi beras adalah Kabupaten Pinrang. Luas Kabupaten Pinrang
|5
Laporan Akhir
adalah 1.961,77 km2, dengan potensi luas tanam 91.164 ha lahan sawah
(Distanak Pinrang, 2011).
Target peningkatan produksi beras tahun 2014 di wilayah Kabupaten Pinrang
adalah sebesar 520.000 ton. Penentuan target dilakukan sebagai upaya untuk
mendukung peningkatan produksi beras di Sulawesi Selatan. Dalam upaya
tersebut Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pinrang dihadapkan pada
berbagai masalah, di antaranya lahan sawah di Kabupaten Pinrang semakin
berkurang akibat banyaknya sawah yang beralih fungsi menjadi lahan
nonpertanian, dan persediaan air untuk menumbuhkan tanaman padi sawah
juga berkurang akibat banyaknya jaringan irigasi yang rusak. Oleh karena itu,
diperlukan kerja keras dan penanganan lintas sektoral, serta dukungan dan
keterlibatan masyarakat dalam menentukan tercapainya target tersebut.
Penanganan pasca panen padi yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten
Pinrang meliputi pemanenan, pengumpulan, perontokan, pengangkutan,
pengeringan,
penyimpanan,
dan
yang
terakhir
dan
terpenting
yaitu
sangat
penting
dalam
rangka
pemberdayaan
perekonomian
|6
Laporan Akhir
usaha penggilingan gabah di desa ini memang layak terutama dari aspek pasar
dan pemasaran, teknis, maupun finansial.
Sistem Pertanian Terpadu (Integrated Farming System), didefinisikan sebagai
penggabungan semua komponen pertanian dalam suatu sistem usaha pertanian
yang terpadu. Sistem ini mengedepankan ekonomi yang berbasis teknologi
ramah lingkungan dan optimalisasi semua sumber energi yang dihasilkan. Di
Indonesia, model usaha ini masih sebatas wacana karena masih kurangnya
pengetahuan masyarakat dan diperlukan modal yang cukup tinggi. Padahal
usaha ini sangat cocok digunakan di Indonesia yang memiliki iklim tropis
dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi.
Berkembangnya
sistem
pertanian
terpadu
berkaitan
dengan
konsep
penggunaan input produksi yang rendah. Konsep ini disebut dengan konsep
LISA (Low Input Sustainable Agriculture). Menurut Mangoting (1998), LISA
adalah suatu sistem pertanian terpadu yang merupakan kombinasi dari
berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam rencana
manajemen usahatani yang utuh agar dapat memenuhi kepentingan produksi
dan konservasi bagi petani Komite Pemerintahan Australia dalam Mason (2010)
mengidentifikasi empat faktor kunci yang harus diperhatikan sebagai indikator
untuk pertanian terpadu, yaitu (1) Pendapatan pertanian bersih jangka panjang,
(2) Kualitas tanah dan air, (3) Kemampuan manajerial, dan (4) Efek terhadap
lingkungan.
1.2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kajian ini yaitu tersusunnya konsep tentang kelayakan usaha ekonomi
dari komoditi unggulan yang dimiliki oleh kabupaten Pinrang di tinjau dari
parameter net present value, benefit cost ratio, revenue cost ratio, break even
point, margin of safety dan rentabilitas pada komoditi unggulan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat keberhasilan dari usaha ekonomi komoditi
tersebut. Diharapkan dengan tersusunnya konsep ini, dapat membantu
pemerintah daerah untuk meningkatkan efektivitas dan daya saing daerahnya
CV. ULFA CONSULTANT
|7
Laporan Akhir
daerah
kabupaten
Pinrang;
(2)
identifikasi
konsep
dasar
|8
Laporan Akhir
BAB II
LANDASAN PUSTAKA
2.1. PRODUK UNGGULAN DAERAH
Dalam rangka upaya pembangunan ekonomi daerah, inventarisasi potensi
wilayah/masyarakat/daerah
kebijakan
pola
mutlak
pengembangan
diperlukan
baik
secara
agar
sektoral
dapat
ditetapkan
maupun
secara
berkembang
komparatif
terjadi
karena
keunggulan
misalnya
karena
komparatif.
kecukupan
Keunggulan
ketersediaan
|9
Laporan Akhir
direktorat
Jenderal
Pembangunan
Daerah
Depdagri,
bahwa
| 10
Laporan Akhir
| 11
Laporan Akhir
2. 2. PERTANIAN
Indonesia telah lama dikenal sebagai negara agraris yang subur. Mayoritas
penduduknya, sekitar 60% dari total populasi, menggantungkan hidup dari
sektor pertanian dan bekerja sebagai petani, buruh tani, pekebun, peternak dan
nelayan. Sumber daya alam yang melimpah sering diekploitasi berlebihan oleh
para investor yang note bene orang luar daerah bahkan manca negara. Andai
para petani mayoritas penduduk negeri ini memperoleh akses yang memadai
oleh para pemegang kebijakan, mereka tentu dapat mengandalkan hidup dari
lahan disekitarnya.
Sebagai negara agraris, akan tetapi ironisnya rata-rata kepemilikan penduduk
atas lahan pertanian kurang dari 0,3 hektar, terutama mereka yang berada di
Pulau Jawa. Kondisi kepemilikan lahan yang sempit ditambah dengan sistem
pertanian yang masih mengandalkan input produksi tinggi dan harga jual
berfluktuasi, telah menyebabkan petani berada dalam Iingkaran kemiskinan
yang tiada putus-putusnya. Petani dengan pendapatan rendah tidak akan
mampu menabung, meningkatkan pendidikan dan ketrampilan apalagi
melakukan investasi guna meningkatkan produksi. Dalam keterbatasan yang
dilematis tersebut, diperlukan jalan keluar yang bijaksana dengan membangun
paradigma baru sistem pertanian yang berwawasan ekologis, ekonomis dan
berkesinambungan (sustainable integrated farming system atau integrated
farming system)
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber
energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan
sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang
sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop
cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya
dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam
pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar
ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
| 12
Laporan Akhir
| 13
Laporan Akhir
| 14
Laporan Akhir
| 15
Laporan Akhir
nutrisi
(tanaman
organik
kaya
akan
vitamin,
mineral,
mikronutrien, dan enzim), rasa yang lebih nikmat, serta menjaga kelestarian
lingkungan dan mengurangi polusi (Parlyna dan Munawaroh 2011). Sistem
pertanian terpadu ini juga memberikan manfaat kepada pemerintah karena
produksi nasional yang juga ikut meningkat serta dapat memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat.
Menurut Mason (2003) pertanian terpadu adalah pokok dan perhatian terhadap
segala sesuatu yang berdampak pada keberlangsungan pertanian, dimana
pertanian secara pasti tidak dapat terjaga apabila terjadi degradasi pada
sumberdaya-sumberdaya yang ada, seperti sumberdaya lingkungan, keuangan,
peralatan, permesinan, atau sumberdaya lainnya. Pada jangka pendek sampai
jangka menengah, permasalahan dari pertanian terpadu adalah overwhelmingly
keuangan, sedangkan dalam jangka panjang adanya keberlangsungan dan
kelestrian lingkungan dari sistem pertanian terpadu akan berdampak pada
keseluruhan industri.
Berkembangnya
sistem
pertanian
terpadu
berkaitan
dengan
konsep
penggunaan input produksi yang rendah. Konsep ini disebut dengan konsep
LISA (Low Input Sustainable Agriculture). Menurut Mangoting (1998), LISA
adalah suatu sistem pertanian terpadu yang merupakan kombinasi dari
berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam rencana
manajemen usahatani yang utuh agar dapat memenuhi kepentingan produksi
dan konservasi bagi petani Komite Pemerintahan Australia dalam Mason (2010)
mengidentifikasi empat faktor kunci yang harus diperhatikan sebagai indikator
| 16
Laporan Akhir
untuk pertanian terpadu, yaitu (1) Pendapatan pertanian bersih jangka panjang,
(2) Kualitas tanah dan air, (3) Kemampuan manajerial, dan (4) Efek terhadap
lingkungan.
2.3.2. Landasan Filosofis Sistem Pertanian Terpadu (Integrated Farming
System)
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi membawa misi kekalifahan sebagai
wakil Tuhan untuk membawa kesejahteraan bumi dan seluruh isinya. Islam
sebagai agama penutup diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, artinya
kehadiran
manusia
di
bumi
seharusnya
memberikan
manfaat
yang
isinya,
dengan
dalih
untuk
kesejahteraan
umat
manusia
| 17
Laporan Akhir
pertanian
dengan
tetap
menjaga
keseimbangan
ekosistemnya,
| 18
Laporan Akhir
| 19
Laporan Akhir
Selatan, petani menjadi lebih mudah mendapatkan pakan hijauan untuk ternak
karena lahan yang berada diantara tanaman kelapa dimanfaatkan untuk
budidaya leguminosa untuk pakan ternak yang pupuknya berasal dari kotoran
sapi.
Pada integrasi tanaman pangan dan ternak di Semarang, Jawa Tengah, limbah
tanaman pangan (jerami) dapat digunakan sebagai pakan sapi, dan produksi
tanaman utamanya dimanfaatkan sebagai pangan, sedangkan kotoran ternak
serta sisa-sisa pakan digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan
tanah dan Meningkatkan produktivitas tanaman (Lukiwati 2010).
Hoesein (2011) menjelaskan manfaat sistem pertanian terpadu adalah sebagai
penyedia pangan yang paling efektif dan efisien melalui peningkatan produksi
dan penurunan biaya produksi. Oleh karena itu, pola pertanian terpadu ini
bermanfaat untuk diaplikasikan untuk pengembangan produksi pangan di
Indonesia.
| 20
Laporan Akhir
tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus
meningkat.
Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor daging sapi dan sapi
bakalan untuk digemukkan (Priyanti et al. 1998). Kebijakan impor tersebut
harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi
daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam
negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya (Priyanti et al. 1998; Yusdja et al.
2003). Data Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa impor
sapi bibit pada tahun 2005 mencapai 4.600 ekor atau setara dengan
US$1.921.600, bakalan 265.200 ekor (US$107.731.000), daging sapi 21.484.000
ton (US$ 603.812.700), dan hati sapi 34.436.000 ton (US$3.803.800). Dari total
impor daging dan sapi bakalan tersebut, 30% di antaranya berasal dari
Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Koran Tempo 2008).
Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan
tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan
sapi potong. Beberapa permasalahan tersebut adalah: 1) usaha bakalan atau
calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis
kurang menguntungkan dan dibutuhkan waktu pemeliharaan yang lama, 2)
adanya keterbatasan pejantan unggul pada usaha pembibitan dan peternak, 3)
ketersediaan pakan tidak kontinu dan kualitasnya rendah terutama pada musim
kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustry pertanian sebagai
bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan jarak
beranak (calving interval) yang panjang (Maryono et al. 2006), 6) terbatasnya
sumber bahan pakan yang dapat meningkatkan produktivitas ternak dan
masalah potensi genetik belum dapat diatasi secara optimal (Kariyasa 2005;
Santi 2008), serta 7) gangguan wabah penyakit (Isbandi 2004).
Djajanegara dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, perubahan fungsi lahan
dari wilayah sumber hijauan pakan menjadi areal tanaman pangan atau
kawasan permukiman dan industri juga mengganggu penyediaan hijauan pakan
ternak. Di lain pihak, ketersediaan padang penggembalaan menurun hingga
| 21
Laporan Akhir
| 22
Laporan Akhir
ternak dan tanaman dapat dilakukan melalui pola kemitraan antara pihak
perusahaan dan petani-ternak atau pemerintah daerah (Suharto 2004; Utomo
dan Widjaja 2004). Masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah
tingginya angka pemotongan sapi betina produktif meskipun Undang-undang
Peternakan dan Veteriner dengan tegas melarang pemotongan sapi betina
produktif. Jika pemotongan sapi betina produktif terus berlangsung tanpa
pengawasan yang ketat dan sanksi yang berat maka sumber penghasil sapi
bakalan akan menjadi berkurang yang selanjutnya akan menurunkan populasi
sapi potong di Indonesia. Dalam tulisan ini diulas usaha ternak sapi potong dari
aspek agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan melalui pola kemitraan.
2.4.1. Peran dan Manfaat Sapi
Sapi merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun,
produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena
populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah (Isbandi 2004; Rosida 2006;
Direktorat Jenderal Peternakan 2007; Syadzali 2007; Nurfitri 2008; Santi 2008).
Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak
dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas
(Kariyasa 2005; Mersyah 2005; Suwandi 2005). Berdasarkan data sebaran
populasi sapi potong di Indonesia tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan
2007), sentra sapi potong terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi
Selatan.
Pola usahanya sebagian besar adalah perbibitan atau pembesaran anak, dan
hanya sebagian kecil peternak yang mengkhususkan usahanya pada
penggemukan ternak (Yusdja et al. 2003). Menurut Umiyasih et al. (2004) dan
Kuswaryan et al. (2004), pola usaha perbibitan secara ekonomis kurang
menguntungkan, namun usaha tersebut masih tetap berkembang. Populasi dan
produksi sapi potong dan ternak ruminansia lainnya di Indonesia tahun
20032007 cenderung meningkat (Tabel 1 dan 2)
| 23
Laporan Akhir
dan
Brahman.
Di
Jawa,
sapi-sapi
tersebut
banyak
yang
| 24
Laporan Akhir
| 25
Laporan Akhir
memperbaiki
performan
induk
dan
system
perkawinan,
penyediaan pakan yang cukup, dan sistem manajemen yang memadai (Wijono
et al. 2004).
Situmorang dan Gede dalam Mersyah (2005) menyatakan, untuk meningkatkan
produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan terarah melalui
perkawinan, baik secara alami maupun melalui IB, bergantung pada kondisi
setempat. Perkawinan alami untuk menghasilkan pedet (net calf crop) dapat
diperbaiki dengan meningkatkan kualitas pakan induk selama bunting,
menyapih anak sejak dini, mengoptimalkan rasio ternak jantan dan betina, serta
pengontrolan penyakit.
Untuk memperbaiki kualitas bibit dan meningkatkan populasi ternak dapat
dilakukan IB dengan memasukkan sumber genetik baru, baik dari darah zebu
| 26
Laporan Akhir
maupun Eropa dengan pejantan unggul sapi lokal, serta penyebaran ternak ke
lokasi-lokasi baru yang disertai dengan pengontrolan penyakit.
Hadi dan Ilham (2002); Kuswaryan et al. (2004); Umiyasih et al. (2004)
melaporkan bahwa usaha pembibitan sapi potong secara finansial memberikan
keuntungan yang jauh lebih kecil dibandingkan usaha penggemukan. Hasil
penelitian di beberapa provinsi juga memberikan kesimpulan serupa. Benefit
Cost Ratio (BCR) untuk usaha penggemukan sapi berkisar antara 1,631,72,
sedangkan untuk usaha pembibitan sebesar 1,62 (Direktorat Jenderal
Peternakan 1995).
Pola usaha penggemukan sapi potong oleh masyarakat pedesaan sebagian
masih bersifat tradisional. Menurut Ferdiman (2007), penggemukan sapi
potong dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sistem kereman, dry lot
fattening, dan pasture fattening. Pakan yang digunakan dalam penggemukan
berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan diberikan 10% dari bobot badan,
konsentrat 1% dari bobot badan, dan air minum 2030 l/ekor/hari. Dalam
sistem ini, sapi muda (umur 1,502 tahun) dipelihara secara terus-menerus di
dalam kandang dalam waktu tertentu untuk meningkatkan volume dan mutu
daging dalam waktu relatif singkat (Ahmad et al. 2004; Ferdiman 2007).
Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan
menjadi tiga (Sugeng 2006), yaitu: 1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang
dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 89 bulan, 2) untuk sapi
bakalan umur 12 tahun, lama penggemukan 67 bulan, dan 3) untuk sapi
bakalan umur 22,50 tahun, lama penggemukan 46 bulan.
Hasil pengkajian usaha penggemukan sapi potong dengan sistem kereman
selama 5 bulan dengan menggunakan teknologi introduksi, berupa perbaikan
komposisi pakan dan penanggulangan penyakit, mampu meningkatkan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali dari 296,90 g menjadi 528
g/ekor/hari. Untuk sapi PO, rata-rata PBBH meningkat dari 381 g menjadi 697
g/ekor/hari. Pendapatan dari penggemukan sapi bali juga meningkat dari
Rp291.525
menjadi
Rp532.450/ekor/5
bulan,
sementara
pada
usaha
| 27
Laporan Akhir
| 28
Laporan Akhir
dari
pembibitan
sapi
dengan
pola
introduksi
mencapai
410.000
| 29
Laporan Akhir
| 30
Laporan Akhir
pemangku
kepentingan
(stakeholders),
dengan
tujuan
untuk
| 31
Laporan Akhir
industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan
tersebut mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem
agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang
(Saragih dalam Suwandi 2005). Menurut Siregar dan Ilham (2003), agar
pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat mengakomodasi tujuan
untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus melibatkan peternak
skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang dapat dilakukan,
yaitu: 1) integrasi vertical yang dikelola secara profesional oleh suatu
perusahaan swasta, 2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara
bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya,
dan 3) kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.
Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi
kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya
merupakan kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut
mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh
keuntungan dan manfaat (Mudikdjo dan Muladno 1999). Menurut Saptana et al.
(2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbagai pelaku agribisnis,
mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga pemasaran.
Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan
saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra
untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat (Widyahartono dalam
Hermawan et al. 1998). Sebagai contoh adalah usaha kemitraan ayam broiler.
Pada kemitraan tersebut, perusahaan bertindak sebagai inti dan peternak
sebagai plasma. Dalam proses produksi, peternak hanya menyediakan tenaga
kerja dan kandang, sedangkan pihak perusahaan menyediakan bibit, pakan,
obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan kesehatan hewan (Hartono
2000).
Sedikitnya ada lima manfaat pembangunan pertanian yang berkelanjutan
melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dan kemitraan, yaitu: 1)
mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan lintas generasi,
| 32
Laporan Akhir
| 33
Laporan Akhir
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak
dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi
kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor. Kondisi tersebut
mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan usaha budi daya ternak,
terutama sapi potong.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah
pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan
sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah
pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan
berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi
bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).
Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah.
Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya
pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu
ekstensifikasi
dan
intensifikasi.
Pengembangan
sapi
potong
secara
| 34
Laporan Akhir
ciri masing-masing jenis sapi yang ada di suatu lokasi (Talib dan Siregar 1991).
Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005)
mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari
pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong ternak, terutama
dukungan kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih
fungsi lahan pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2)
pengembangan teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara
lain dengan memanfaatkan limbah industri dan perkebunan (Gordeyase et al.
2006; Utomo dan Widjaja 2006), dan 3) untuk menjaga sumber plasma nutfah
sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak
terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan
konsumsi daging dalam negeri. Menurut Bahri et al. (2004), paling tidak ada tiga
pemicu timbulnya pengurasan populasi sapi local sebagai dampak dari
tingginya permintaan daging sapi terutama pada periode 1997 1998, serta
tingginya impor daging dan jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1) produksi dalam
negeri tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan, 2) permintaan
meningkat, sedangkan produksi dalam negeri menurun, dan 3) permintaan
tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.
Hidajati dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, pengurasan sumber daya
ternak akan berakibat pada penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat,
karena ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk perbibitan.
Kuswaryan et al. (2003) mengemukakan, usaha untuk menanggulangi
pengurasan sapi bibit terbentur pada masalah kepemilikan ternak yang hanya
berkisar antara 13 ekor sapi dewasa/KK dengan kemampuan memelihara 24
unit ternak. Kebijakan impor sapi dan daging sapi dapat menghambat laju
pengurasan sapi di dalam negeri, selain menciptakan peluang usaha yang
menguntungkan bagi importir sapi potong.
Selain itu, upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan beberapa
hal, antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan
harga yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong di dalam negeri (peternakan
| 35
Laporan Akhir
penghuni
perairan
dan
wilayah
yang
berdekatan,
serta
| 36
Laporan Akhir
menekan
kolesterol
dalam
darah.
Dengan
tumbuhnya
| 37
Laporan Akhir
ikan
dalam kolam
air tawar
menyumbangkan angka hingga 1,1 juta ton. Sisanya adalah budidaya tambak air
payau, budidaya di laut, budidaya dalam keramba dan budidaya jaring apung.
Kenaikan produksi budidaya ikan dalam kolam air tawar pun cukup pesat yaitu
berkisar 11 persen setiap tahun. Hal ini menujukkan ada gairah besar di
masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya ikan air tawar. Tentunya
pertumbuhan produksi ini mengacu pada permintaan pasar yang terus
meningkat.
Lebih dari 70 persen produksi ikan air tawar diserap oleh pasar dalam negeri.
Pulau Jawa menjadi penyerap terbesar mengingat jumlah penduduknya yang
padat. Apabila dilihat dari potensinya, kebutuhan untuk pulau Jawa saja masih
akan terus berkembang. Mengingat, konsumsi per kapita ikan di Jawa masih di
bawah konsumsi per kapita di luar Jawa.
2.5.2. Budidaya Ikan Air Tawar
Produksi budidaya ikan air tawar dalam kolam didominasi oleh ikan mas, lele,
patin, nila dan gurame. Lima jenis ikan tersebut menyumbang lebih dari 80
persen dari total produksi. Secara umum komersialisasi budidaya ikan air tawar
dibagi dua segmen, yaitu pembibitan dan pembesaran. Budidaya pembibitan
bertujuan untuk menghasilkan bibit bagi para peternak ikan. Sedangkan
budidaya pembesaran bertujuan untuk menghasilkan ikan siap konsumsi.
Berikut sekilas profil ikan air tawar yang paling banyak diproduksi di Indonesia.
Ikan yang digunakan untuk integrated farming system adalah ikan air tawar
yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan
perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai
| 38
Laporan Akhir
ekonomis. Ikan yang sering digunakan adalah lele dan nila. Ikan dapat
dipelihara secara tunggal (monoculture) atau campuran (polyculture), asalkan
jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda agar tidak terjadi
perebutan pakan.
Nutrisi untuk ikan berasal dari jatuhan kotoran ternak yang kering dan sisa
pakan ternak. Selain yang kering, kotoran ternak yang jatuh ke kolam juga
memacu perkembangan plankton yang menjadi makanan ikan. Oleh karena itu,
sebaiknya peternak juga memilih ikan yang dapat memanfaatkan plankton di
dalam kolam seperti ikan lele dan nila. Ikan lele dan nila adalah ikan yang dapat
digunakan dalam integrated farming system.
Ikan Lele
Terdapat tiga jenis lele yang umum dibudidayakan di Indonesia, silahkan lihat
jenis-jenis lele budidaya. Segmen pembibitan untuk ikan lele dimulai dari
pemijahan dan penetasan telur. Penetasan telur menjadi larva membutuhkan
waktu 1-2 hari. Kemudian perlu waktu sekitar 7 hari lagi agar larva kuat untuk
dipindahkan. Setelah larva jadi dibutuhkan waktu hingga 1-2 bulan untuk
membesarkan ikan lele hingga berukuran 5-10 cm.
Lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang bisa dibudidayakan dengan
kepadatan tinggi, sekitar 100-300 ekor per meter kubik. Pembesaran ikan lele
dimulai dari ukuran 5-10 cm. Untuk membesarkan lele dari jenis sangkuriang
sampai ukuran konsumsi sekitar 9-10 ekor per kg dibutuhkan waktu 60 hari,
silahkan lihat panduan lengkap budidaya ikan lele. Rasio pakan menjadi daging
untuk jenis lele sangkuriang sangat tinggi, bisa mencapai 1:1. Artinya setiap
pemberian pakan sebanyak 1 kg akan dihasilkan 1 kg peretambahan berat lele.
Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan untuk konsumsi dan hidup di air tawar. Ikan ini
cenderung sangat mudah dikembangbiakkan serta sangat mudah dipasarkan
karena merupakan salah satu jenis iklan yang paling sering dikonsumsi sehari-
| 39
Laporan Akhir
hari oleh Masyarakat. Dengan teknik budidaya yang sangat mudah, serta
pemasarannya yang cukup luas, sehingga budidaya ikan nila sangat layak
dilakukan, baik skala rumah tangga maupin skala besar atau perusahaan.
Ikan nila adalah ikan yang pertumbuhan dan perkembangan biakannya paling
cepat dibandingkan ikan lain. Ikan nilan dapat tumbuh sampai 1 kg per ekornya
dengan rasa dagingnya yang enak. Ikan nila merupakan ikan favorit bagi para
peternak ikan karena nilai jualnya yang relatif tinggi dan sekaligus masa
pertumbuhannya yang pesat menyebabkan waktu panen yang lebih pendek.
Ikan nila juga mudah sekali pembudidayaannya, bahkan ikan ini dapat
dibudidayakan dengan berbagai macam cara menggunakan kolam, jarring
apung , atau karamba, di sawah, bahkan di kolam yang berair payau ikan ini
mampu tumbuh dan berkembang.
Udang
Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut, atau
danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang berukuran
besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari
dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan.
Salah satu teknik untuk membudidayakan udang dengan lahan yang tidak
begitu luas atau dalam skala mini dengan membuat empang plastik atau yang
lebih
mudah
disebut
dengan
istilah
BUSMETIK,
merupakan
suatu
pengembangan teknologi budidaya udang saat ini. Udang dipilih karena udang
hingga saat merupakan suatu komoditas bisnis yang sangat menguntungkan.
Teknologi BUSMETIK diharapkan menjadi pengungkit bagi wirausahawan muda
di bidang pertambakan udang. Program ini merupakan kebijakan strategis
dalam menggerakkan seluruh potensi, sehingga secara langsung akan
berdampak
terhadap
peningkatan
produksi
dan
produktivitas
serta
| 40
Laporan Akhir
| 41
Laporan Akhir
pembuatan
bendungan,
persemaian,
pelaksanaan
mempersiapkan
persemaian,
dan
tanah,
pemeliharaan
| 42
Laporan Akhir
| 43
Laporan Akhir
Selain itu penyakit yang menyerang tanaman cokelat antara lain penyakit busuk
buah hitam dan kanker batang, penyakit buah busuk buah diplodia, penyakit
vascular steak dieback, penyakit bercak daun, mati ranting dan busuk buah.
Namun jika dirawat dan dipelihara secara teratur hama dan penyakit akan
jarang timbul.
Cara pemanenan buah tanaman cokelat adalah memetik buah cokelat yang
matang atau masak dari pohon, kemudian memecah buah tersebut dan
mengambil biji-bijinya yang basah. Pemanenan dilakukan setiap 7 hari atau 14
hari sekali dengan menggunakan pisau atau benda yang tajam. Setelah biji-biji
cokelat yang basah sudah terkumpul dilakukan pemeraman (fermentasi) dalam
kotak atau tempat yang besar. Setelah selesai pemeraman kemudian dilakukan
pencucian biji cokelat untuk memperoleh biji yang berkualitas baik. Langkah
selanjutnya adalah pengeringan, model pengeringan dapat dilakukan degan
sinar matahari maupun pengeringan buatan. Selesai pengeringan biji cokelat
dibersihkan dari kotoran kemudian dimasukkan ke dalam karung goni untuk
dikemas untuk diproduksi dalam bentuk makanan atau lain sebagainya.
2.7. BUDIDAYA CABAI
Cabai atau cabai merah atau chili adalah buah dan tumbuhan anggota genus
Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu,
tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas
sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Bagi seni
masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai "bahan makanan pokok" ke
sepuluh (alih-alih sembilan). Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa
cabai.
Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran
yang memilki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai mengandung berbagai macam
senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan
cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari
serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai
| 44
Laporan Akhir
| 45
Laporan Akhir
bahwa kerusakan pada tanaman cabai di Indonesia dapat mencapai 35%. Buah
cabai yang terserang sering tampak sehat dan utuh dari luar tetapi bila dilihat di
dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat. Penyebabnya terutama
adalah lalat buah Bactrocera carambolae. Karena gejala awalnya yang tak
tampak jelas, sementara hama ini sebarannya masih terbatas di Indonesia, lalat
buah menjadi hama karantina yang ditakuti sehingga dapat menjadi
penghambat ekspor buah-buahan maupun pada produksi cabai.
Selain lalat buah, Kutu daun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan
salah satu hama penting pada budidaya cabai karena dapat menyebabkan
kerusakan hingga 80%. Upaya pengendaliannya dapat menggunakan insektida
nabati ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga.
Pengendalian serangan lalat buah dilakukan dengan pembrongsongan
(kondomisasi) yang dapat mencegah serangan lalat buah. Akan tetapi, cara ini
tidak praktis untuk dilakukan pada tanaman cabai dalam areal yang luas.
Sementara penggunaan insektisida selain mencemari lingkungan juga sangat
berbahaya bagi konsumen buah. Oleh karena itu, diperlukan cara pengendalian
yang ramah lingkungan dan cocok untuk diterapkan di areal luas seperti di
lahan sentral produksi cabai. Upaya pengendalian lalat buah pada tanaman
cabai, khususnya cabai merah, adalah penggunaan insektisida sintetik karena
dianggap praktis, mudah didapat, dan menunjukkan efek yang cepat. Selain
insektisida sintetik, insektisida nabati seperti kacang babi Tephrosia vogelii,
jeruk purut Citrus hystrix, serai wangi Cymbopogon citratus efektif sebagai
penolak lalat buah.
2.8. BUDIDAYA PADI
Padi yang termasuk genus Oryza sativa L terdiri dari sekitar 25 spesies yang
tersebar di daerah tropis dan sub tropis seperti Asia, Afrika, Amerika, dan
Australia. Menurut Dinas Pertanian dan Perhutanan, di Indonesia pada mulanya
padi ditanam di daerah tanah kering dengan sistem ladang, akhirnya
masyarakat berusaha untuk meningkatkan hasil usahanya dengan cara mengairi
| 46
Laporan Akhir
daerah yang memiliki curah hujan rendah. Teknik bercocok tanam yang baik
dapat mempengaruhi produksi padi atau gabah yang dihasilkan. Pertanian
organik dapat dilakukan dengan cara tidak menggunakan benih atau bibit hasil
rekayasa
genetika,
menghindari
penggunaan
pestisida
kimia
sintetis,
| 47
Laporan Akhir
| 48
Laporan Akhir
mekanis.
Kerusakan
mekanis
selama
perontokan
atau
aktifitas
metabolisme
akibat
respirasi
sangat
kecil
bila
dibandingkan dengan produk lain seperti buah dan sayuran. Namun hal ini
hanya akan terjadi bila biji-bijian telah menjalani proses pengeringan dengan
benar, dan disimpan dengan baik. Bila biji-bijian tidak dikeringkan dengan
benar (kadar airnya masih tinggi), atau disimpan pada tempat yang hangat dan
lembab, transpirasi uap air oleh biji-bijian yang disimpan meningkat sehingga
kelembaban udara dalam ruang penyimpanan juga meningkat. Hal yang
| 49
Laporan Akhir
| 50
Laporan Akhir
mempunyai modal yang cukup untuk itu. Hal ini tidak menjadi masalah dalam
pengembangan desa ekologi.
Skala usaha industri jasa penggilingan gabah ditentukan oleh besar kecilnya
kapasitas giling terpasang yang dimiliki suatu penggilingan gabah. Suatu
penggilingan gabah digolongkan sebagai penggilingan gabah berskala kecil bila
kapasitas penggilingannya tidak lebih dari 1500 kg beras per jam (Departemen
Pertanian, 2001). Menurut data tahun 1990-1997, yang dirilis oleh Departemen
Pertanian RI (1998), lebih dari 50% penggilingan gabah yang ada di Indonesia
tergolong dalam penggilingan gabah dengan skala kecil dan lebih dari 36%
adalah rice milling unit, yang dari segi kapasitas juga termasuk penggilingan
gabah kecil. Dari sekitar 82 ribu unit industri jasa penggilingan gabah berskala
kecil ini, setiap tahunnya dihasilkan lebih dari 24 juta ton beras atau sekitar
95% dari kapasitas giling seluruh penggilingan gabah di Indonesia.
Secara umum, mesin-mesin yang digunakan dalam usaha industri jasa
penggilingan gabah adalah mesin pemecah kulit/sekam, (huller atau husker),
mesin pemisah gabah dan beras pecah kulit (brown rice separator), mesin
penyosoh atau mesin pemutih (polisher), mesin pengayak bertingkat (sifter),
mesin atau alat bantu pengemasan (timbangan dan penjahit karung). Bila
ditinjau dari kapasitasnya, mesin-mesin penggiling padi dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu rice milling unit (RMU) dan rice milling plant (RMP). Perbedaan
yang mendasar antara keduanya adalah pada ukuran, kapasitas dan aliran
bahan dalam proses penggilingan yang dilakukan. Penggilingan gabah yang
lengkap kadangkala dilengkapi dengan pembersih gabah sebelum masuk mesin
pemecah kulit, dan pengumpul dedak sebagai hasil sampingan dari proses
penyosohan.
Saat ini ketersediaan penggilingan gabah di pedesaan cukup memadai terutama
di pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penggilingan gabah yang ada
dibandingkan dengan tingkat produksi padi di daerah tersebut. Bahkan
belakangan ini muncul usaha penggilingan gabah bergerak yang biasa disebut
grandong di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Usaha ini muncul dengan
| 51
Laporan Akhir
| 52
Laporan Akhir
lain sebagainya. Bila hal-hal seperti di atas diamati dengan seksama, seharusnya
volume giling minimal sudah dapat diperkirakan, sehingga peralatan
penggilingan gabah yang disediakan sudah disesuaikan sejak awal. Risiko
kerusakan mesin-mesin penggilingan gabah dapat diperkecil dengan melakukan
perawatan dan pemeriksaan kondisi mesin-mesin tersebut secara berkala.
Penggantian suku cadang harus sesuai dengan umur pakai setiap suku cadang
tertentu, sehingga mesin-mesin dapat beroperasi secara optimal.
Usaha jasa penggilingan gabah memiliki berbagai variasi dalam pola usaha
maupun peralatan yang digunakan. Secara umum sesuai dengan kondisi di
lapangan, penggilingan gabah yang menggunakan mesin rice milling unit (RMU)
biasanya memiliki kapasitas kecil dan merupakan usaha jasa murni yang hanya
menerima gabah dari petani tanpa ada kerjasama dengan tengkulak atau
pedagang beras. Sedangkan penggilingan gabah besar biasanya menggunakan
fasilitas rice milling plant (RMP) yang memiliki kapasitas giling besar dan
menjalin kerjasama dengan tengkulak atau pedagang beras dalam menjalankan
usahanya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan penggilingan gabah
kecil menggunakan RMP berkapasitas kecil dengan jumlah mesin terbatas pada
satu atau dua set. Demikian juga dengan penggilingan gabah besar dapat
menggunakan beberapa buah mesin RMU dengan catatan kapasitas giling mesin
keseluruhan cukup besar. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi
penggilingan gabah telah memungkinkan membuat RMU dengan kapasitas yang
relatif besar dan bentuk tetap kompak.
Peluang usaha jasa pada industri penggilingan gabah tergantung pada kondisi
lingkungan setempat. Lingkungan yang menunjang dalam hal ini adalah
ketersediaan penggilingan gabah masih berada di bawah jumlah yang
dibutuhkan, yang dapat diketahui dari jumlah produksi padi total dalam suatu
wilayah, dikaitkan dengan kapasitas total dari sejumlah penggilingan gabah
yang beroperasi di wilayah tersebut, dengan asumsi bahwa padi tidak dijual ke
luar wilayah dalam bentuk gabah. Selanjutnya dalam satu wilayah sejumlah
penggilingan gabah tidak dibenarkan berada pada lokasi yang berdekatan
| 53
Laporan Akhir
Mesin pemisah gabah dan beras pecah kulit (brown rice separator)
| 54
Laporan Akhir
Mesin pemecah kulit diperlihatkan pada Gambar 2.2, sedangkan Gambar 2.3
memperlihatkan aliran gabah dalam mesin tersebut. Gabah yang diumpankan
ke dalam mesin pemecah kulit biasanya tidak seluruhnya terkupas. Besar
kecilnya persentase gabah tidak terkupas ini tergantung pada penyetelan mesin.
Bagian yang tidak terkupas tersebut harus dipisahkan dari beras pecah kulit
untuk diumpankan kembali kedalam mesin pemecah kulit. Pemisahan ini
dilakukan dengan menggunakan mesin pemisah gabah dari beras pecah kulit,
yang dapat menyatu atau terpisah dengan mesin pemecah kulit.
Gambar 2.2. Mesin pemecah kulit gabah tipe rubber roll (Sumber : PT Agrindo)
| 55
Laporan Akhir
Gambar 2.3. Aliran bahan pada mesin pemecah kulit gabah tipe rubber roll
(Sumber : PT Agrindo)
Selanjutnya beras pecah kulit mengalami proses penyosohan yang dilakukan
menggunakan mesin penyosoh atau disebut juga mesin pemutih. Hasil dari
proses penyosohan adalah beras putih yang siap dipasarkan atau dimasak.
Mesin penyosoh yang umum digunakan di Indonesia adalah mesin tipe friksi
jetpeller. Beras pecah kulit yang diumpankan ke dalam mesin ini didorong
memasuki silinder dengan permukaan dalam tidak rata dan pada bagian
dalamnya terdapat silinder lain yang lebih kecil dan mempunyai permukaan
luar yang tidak rata serta berlubang-lubang. Beras pecah kulit akan berdesakan
dan bergesekan dengan permukaan silinder yang tidak rata sehingga lapisan
kulit arinya (aleuron) yang berwarna kecoklatan terkikis. Kulit ari yang terkikis
ini menjadi serbuk dedak yang dapat menempel pada permukaan beras dan
juga permukaan dinding silinder, sehingga dapat menurunkan kapasitas
penyosohan. Oleh karena itu mesin penyosoh tipe jetpeller dilengkapi dengan
hembusan udara yang kuat dari dalam silinder kecil yang berlubang-lubang,
sehingga mendorong dan melepaskan serbuk dedak dari permukaan beras dan
dinding silinder untuk mendapatkan beras putih yang bersih dan menjaga
| 56
Laporan Akhir
kapasitas giling tidak menurun. Selain itu hembusan udara ini juga berfungsi
untuk menjaga suhu beras tetap rendah selama proses penyosohan sehingga
penurunan mutu akibat perubahan kimia (menyebabkan cracking pada beras)
yang disebabkan oleh panas dapat dicegah. Gambar xx memperlihatkan mesin
penyosoh beras.
Gambar 2.4. Mesin penyosoh beras pecah kulit tipe friksi jetpeller (Sumber : PT
Agrindo)
Beras putih hasil proses penyosohan kemudian perlu dipisahkan menurut
kelompok mutunya yaitu beras utuh dan beras kepala sebagai mutu terbaik,
beras patah sebagai mutu kedua, dan beras menir sebagai mutu ketiga.
Pemisahan dilakukan menggunakan mesin pengayak bertingkat (sifter) atau
silinder pemisah (silinder separator). Ketiga macam mutu beras tadi akan
dicampurkan kembali dengan perbandingan tertentu untuk menentukan harga
jual sebelum beras dikemas bila akan dipasarkan. Pengemasan umumnya
menggunakan karung plastik berukuran 50 kg. Penimbangan dilakukan secara
manual, demikian pula penutupan karung, dapat dilakukan secara manual baik
dengan atau pun tanpa bantuan alat penjahit portabel. Gambar xx
memperlihatkan cara kerja mesin pengayak beras dengan saringan bertingkat
beserta hasil pemisahannya.
| 57
Laporan Akhir
Gambar 2.5. Mesin pengayak beras dengan saringan bertingkat dan hasil proses
pemisahannya (Sumber : PT Agrindo)
Bila ditinjau dari konstruksinya, mesin-mesin penggiling padi dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu rice milling unit (RMU) dan rice milling plant (RMP).
Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah pada ukuran, kapasitas dan
aliran bahan dalam proses penggilingan yang dilakukan. Penggilingan gabah
yang lengkap kadangkala dilengkapi dengan pembersih gabah sebelum masuk
mesin pemecah kulit, dan pengumpul dedak sebagai hasil sampingan dari
proses penyosohan.
Rice Milling Unit
Rice milling unit (RMU) merupakan jenis mesin penggilingan gabah generasi
baru yang kompak dan mudah dioperasikan, dimana proses pengolahan gabah
menjadi beras dapat dilakukan dalam satu kali proses (one pass process). RMU
rata-rata mempunyai kapasitas giling kecil yaitu antara 0.2 hingga 1.0 ton/jam,
walau mungkin sudah ada yang lebih besar lagi. Mesin ini bila dilihat fisiknya
menyerupai mesin tunggal dengan fungsi banyak, namun sesungguhnya
memang terdiri dari beberapa mesin yang disatukan dalam rancangan yang
kompak dan bekerja secara harmoni dengan tenaga penggerak tunggal. Di
| 58
Laporan Akhir
| 59
Laporan Akhir
| 60
Laporan Akhir
dapat dijalankan secara otomatis bila mesin-mesin dari RMP merupakan satu
set mesin yang sama, dari industri manufaktur yang sama.
| 61
Laporan Akhir
Gambar 2.8. Alur perlakuan dalam proses penggilingan gabah/beras pada rice
milling plant
| 62
Laporan Akhir
(a)
(b)
| 63
Laporan Akhir
(a)
(b)
| 64
Laporan Akhir
proses
pemecahan
dan
pengupasan
kulit/sekam,
dilanjutkan
penyosohan beras pecah kulit (BPK) dan diakhiri dengan pemutuan (grading),
sebelum dikemas dan dijual. Alur perlakuan yang dikenakan terhadap gabah
kering panen dalam proses penggilingan gabah/beras diperlihatkan dalam
Gambar 6 dan Gambar 8, dengan perbedaan kecil yang terletak pada jenis mesin
penggilingan gabah yang digunakan.
2.10. ANALISIS EKONOMI
Analisis kelayakan usaha ditinjau dari aspek ekonomi dan keuangan adalah
dengan memperlihatkan jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan
mengoperasikan usaha. Dibutuhkan modal tetap untuk investasi tempat dan
teknologi usaha dan modal kerja untuk mengoperasikan teknologi tersebut.
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis biaya-biaya untuk menentukan
pendapatan yang diharapkan dan melakukan analisis kelayakan usaha dengan
menentukan net present value (NPV), internal rate return (IRR), payback period
(PBP) dan jangka waktu balik modal atau titik impas (break even point/BEP).
Analisis Biaya Manfaat
Tujuan dari analisis biaya manfaat adalah untuk memilih kegiatan atau usaha
yang memberikan nilai tambah terhadap kebutuhan masyarakat luas, dengan
meningkatkan kemampuan untuk mengkonsumsi dan memberikan pandangan
yang lebih baik dari sebelumnya dalam menilai kegunaan suatu barang. Analisa
biaya manfaat memilih yang terbaik (lebih efisien) suatu kegiatan dari beberapa
alternatif yang ada (Hanley 1993). Tujuan analisis dalam analisis ini harus
disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya dan manfaat. Secara sederhana
biaya adalah sesuatu yang membantu tujuan (Gittinger 1986). Biaya yang
umumnya dimasukkan dalam analisis usaha pertanian adalah biaya-biaya yang
| 65
Laporan Akhir
| 66
Laporan Akhir
merupakan biaya yang dikeluarkan secara rutin dalam setiap tahun selama
umur usaha. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Menurut Boediono (2003) biaya mencakup suatu pengukuran nilai sumberdaya
yang harus dikorbankan sebagai akibat dari aktivitas yang bertujuan mencari
keuntungan. Berdasarkan volume kegiatan biaya dibedakan atas biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan
dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegaiatan
tertentu. Komponen biaya tetap meliputi sewa, peyusutan, pajak dan
sebagainya. Biaya jenis ini selamanya sama atau tidak berubah dalam
hubungannya dengan jumlah satuan yang diproduksi. Komponen biaya variabel
meliputi biaya-biaya sepeti bahan baku, tenaga kerja langsung dan sebagainya.
Jenis biaya ini jumlahnya bertambah sesuai dengan bertambahnya volume
produksi sehingga biaya-biaya persatuannya cenderung berubah pula.
Manfaat atau Penerimaan (Benefit)
Secara ekonomis, manfaat atau benefit diartikan sebagai hasil kali total kualitas
output dari suatu proses produksi dengan harga yang dibentuk di pasar yang
dinyatakan dalam satuan mata uang tertentu (Sukirno 2003). Menurut Gittinger
dalam Maryanto (2006) manfaat kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga bagian
yaitu:
1. Direct benefit, dapat berupa kenaikan dalam output fisik atau kenaikan nilai
output yang disebabkan diantaranya oleh adanya perbaikan kualitas,
perubahan lokasi, perubahan dalam waktu penjualan, dan penurunan
kerugian, selain itu juga berupa penurunan biaya.
2. Indirect benefits atau secondary benefits suatu usaha adalah benefit yang
timbul atau dirasakan di luar kegiatan usaha karena adanya realisasi suatu
usaha.
3. Intangible benefits, yaitu manfaat yang sulit dinilai dengan uang, diantaranya
adalah seperti perbaikan hidup, perbaikan pemandangan karena adanya
| 67
Laporan Akhir
| 68
Laporan Akhir
Internal rate of return (IRR) merupakan tingkat suku bunga yang menjadikan
manfaat bersih sekarang sama dengan nol. Tingkat suku bunga tersebut
merupakan tingkat suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan
usaha untuk sumber daya yang digunakan. Tujuan perhitungan IRR adalah
untuk mengetahui persentase keuntungan dari suatu usaha tiap tahunnya dan
menunjukkan kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman. Suatu
kegiatan usaha dikatakan layak jika nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari
tingkat diskonto. Sedangkan jika nilai IRR yang diperoleh lebih kecil dari tingkat
diskonto, maka kegiatan usaha tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
Penerapan metode ini lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan penerapan
metode NPV, karena dalam hal tertentu terdapat kemungkinan dihasilkannnya
nilai IRR yang lebih dari satu yang dapat membuat nilai NPV sama dengan nol.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C ratio) merupakan angka perbandingan nilai
sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Perhitungan ini
digunakan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang akan diperoleh dari
biaya yang dikeluarkan. Nilai Net B/C yang lebih kecil dari satu (Net B/C < 1),
menunjukkan bahwa manfaat yang akan diperoleh dari suatu kegiatan usaha
lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Usaha semacam ini
tidak layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika nilai Net B/C lebih besar atau
sama dengan satu (Net B/C > 1) berarti kegiatan usaha tersebut layak untuk
dijalankan atau menguntungkan untuk diusahakan.
Payback Period (PBP) merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan
untuk melihat periode waktu yang diperlukan dalam melunasi seluruh
pengeluaran investasi. Masa pengembalian investasi diartikan sebagai waktu
yang dibutuhkan agar jumlah penerimaan sama dengan jumlah investasi atau
biaya.
Awal pelaksanaan kegiatan usaha, umumnya pendapatan yang diterima oleh
pelaksana masih menunjukkan nilai yang negatif, karena pada awal
pelaksanaan, biasanya dilakukan investasi yang memerlukan biaya yang cukup
besar. Maka, perlu dilakukan suatu analisis untuk melihat jangka waktu dalam
| 69
Laporan Akhir
pelaksanaan usaha yang dapat menutupi nilai negatif pada awal kegiatan usaha
tersebut.
Cashflow adalah susunan arus manfaat bersih tambahan sebagai hasil
pengurangan arus biaya tambahan terhadap arus manfaat. Arus tersebut
menggambarkan keadaan dari tahun ke tahun selama jangka hidup dari suatu
proyek (Kuntjoro 2002).
Inflow atau arus penerimaan dimasukkan setiap komponen yang merupakan
pemasukan bagi perusahaan selama kegiatan berjalan. Komponen-komponen
yang termasuk dalam inflow terdiri atas; 1). Nilai produksi total. Ini berasal dari
produksi total yang dihasilkan dikalikan dengan harga per satuan produk
tersebut ke dalam komponen ini termasuk semua produksi baik yang dijual
maupun tidak dijual dan 2). Nilai Sisa (Salvage Value) adalah nilai dari barang
modal yang tidak habis terpakai. Pada akhir kegiatan sering terjadi masih ada
barang modal yang tidak habis terpakai, terhadap barang-barang tersebut harus
dinilai harganya pada saat kegiatan selesai. Penaksiran nilai tersebut dilakukan
pada saat menyusun
berdasarkan harga barang pada keadaan atau kondisi setelah kegiatan berakhir.
Outflow. Analisis finansial komponen outflow yang diperhitungkan dalam
cashflow terdiri atas biaya investasi, biaya tenaga kerja, pajak, dan lain-lain.
Biaya operasional yang terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel juga sebagai
komponen outflow.
| 70
Laporan Akhir
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan kajian in ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret
Juni 2014 dengan lokasi kajian di Kabupaten Pinrang. Pengumpulan data primer di
Lapangan dan data sekunder dilakukan di Kab. Pinrang, kecuali desk study berupa
penelusuran literatur dan peta dasar dilakukan di Makassar. Analisis dan
pengolahan data serta interpretasinya dilakukan di Makassar.
3.2 Metode
Kegiatan kajian ini dilakukan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Survei database agribisnis;
2. Analisis kelayakan lokasi hasil survei
Tujuan dari analisis usaha ekonomi ini untuk mengetahui kebutuhan biaya dan
pendapatan yang akan diperoleh dari kegiatan usaha yang dikembangkan.
Secara sederhana biaya adalah sesuatu yang membantu tujuan. Biaya yang
umumnya dimasukkan dalam analisis usaha pertanian adalah biaya-biaya yang
langsung berpengaruh langsung terhadap suatu investasi, antara lain seperti
biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa untuk
pengeluaran untuk pembangunan tempat kegiatan, pembelian alat dan mesin
dan biaya untuk menggantikannya. Biaya operasional merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan meliputi biaya bahan baku, upah
tenaga kerja langsung, pemeliharaan, dan pajak.
| 71
Laporan Akhir
NPV
t i
( Bt Ct )
.(1)
(1 i)t
Keterangan :
Bt = Manfaat penerimaan tiap tahun
Ct = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = Tahun kegiatan usaha (t = 1,2,...n)
i = Tingkat bunga yang berlaku
Kriteria NPV yaitu NPV > 0,
berarti
usaha
yang
telah
dilaksanakan
| 72
Laporan Akhir
( Bt Ct )
0 ..(2)
t
t 1 (1 i )
t n
IRR
Kriteria IRR yaitu IRR > Discount Rate berarti usaha layak dilaksanakan dan
IRR < Discount Rate berarti usaha tidak layak dilaksanakan.
NPV PB PC .......................................................................................................(1)
BCR PB / PC ........................................................................................................ (2)
n
n
Bt
Ct
dan
PC
t
t
t 0 (1 i )
t 0 (1 i ) .............................................................(3)
PB
Kapasitas produksi,
Bangunan instalasi
| 73
Laporan Akhir
ii.
Pengembangan
kegiatan
agribisnis
yang
menghasilkan
dan
Penguatan
kegiatan
pengolahan
hasil
perikanan
primer
dan
| 74
Laporan Akhir
| 75
Laporan Akhir
RPJP
Kab. Pinrang
diacu
dipedomani
RPJM
Kab. Pinrang
Dipedomani
dipedomani
dijabarkan
diacu
RKPD
RENSTRA
PERTANIAN
TERPADU KAB.
PINRANG
RENJA SKPD
PENATAAN
KAWASAN
AGROPOLITAN DAN
MINAPOLITAN
dipedomani
APBD
Kab. Pinrang
Pengembangan
Sentra Agribisnis
Perikanan
Secara umum tentatif kerangka acuan dan fikir dalam pengembangan sentra
agribisnis perikanan di Kabupaten Pinrang dilakukan mengikuti alur seperti
disajikan dalam diagram pada Gambar 6. Kerangka tentatif ini dapat dimodifiikasi
sesuai hasil survey dan ketersediaan data di tingkat pemangku kepentingan atau
SKPD terkait dan relevan. Dalam kerangka makro ini penentuan site secara spesifik
dilakukan mengikuti metode pembobotan site secara mikro.
| 76
Laporan Akhir
Input Variabel
(Biaya-biaya)
Jenis Usaha
(Komoditi)
Produksi
- Keuntungan
- Kelayakan
Ekonomi
Input Tetap
(lahan)
Dari gambar di atas, terlihat bahwa dalam rangka analisis usaha ekonomi komoditi
unggulan daerah bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha dari segi ekonomi,
maka setidaknya terdapat empat tahapan pekerjaan yaitu penentuan jenis usaha
atau komoditi yang akan dikembangkan, penentuan input dan produksinya.
Kemudian di akhir tahapan akan diketahui keuntungan dan kelayan ekonomi dari
usaha yang dikembangkan.
| 77
Laporan Akhir
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI SELATAN
Identifikasi kondisi dan karakteristik wilayah Provinsi Sulawesi Selatan meliputi,
kondisi umum wilayah, karakteristik fisik dan sumberdaya alam, social
kependudukan, perekonomian, prasarana dan sarana
kota
serta sistem
transportasi. Tinjauan terhadap kondisi wilayah provinsi ini menjadi dasar kajian
dalam melahirkan arah kebijakan dan strategi pembangunan daerah ke depan.
4.1.1. Kondisi Geomorfologis
1. Letak Geografis
Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis
khatulistiwa yang terletak antara 0012~80 Lintang Selatan dan 1160 48~122 36
Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan
Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan
dengan Selat Makassar di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas
kurang lebih 45.519,24 km2, dimana sebagian besar wilayah daratnya berada pada
jazirah barat daya Pulau Sulawesi serta sebagian lainnya berada pada jazirah
tenggara Pulau Sulawesi.
2. Topografi
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran
tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif
| 78
Laporan Akhir
| 79
Laporan Akhir
| 80
Laporan Akhir
ton/ha. Luas lahan areal perkebunan kacang-kacangan saat ini masih relatif kecil.
Kabupaten penghasil kacang kedelai terutama adalah Kabupaten Jeneponto, Bone,
Soppeng, Wajo, Takalar, Enrekang. Tanaman kacang tanah terdapat di Kota
Parepare, Kabupaten Selayar dan Bone, sedangkan tanaman kacang hijau terutama
terdapat di Kabupaten Takalar, Pangkep, Selayar dan Jeneponto. Disamping
tanaman pangan, terdapat juga potensi sayur-sayuran dan buah-buahan. Jenis
sayur-sayuran yang banyak diusahakan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
adalah kentang, kubis, sawi, bawang merah, kacang panjang, cabai, ketimun, labu
siam, kangkung, bayam dan wortel.
4.2. GAMBARAN UMUM KABUPATEN PINRANG
4.2.1. Geografis
Kabupaten Pinrang dengan ibukota Pinrang terletak 185 km disebelah utara
ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (185 km), berada pada posisi 41030 sampai
301913 lintang selatan dan 1192644 sampai 1194720 bujur timur. Secara
administratif, Kabupaten Pinrang terdiri atas 12 kecamatan, 39 kelurahan dan 65
desa. Batas wilayah kabupaten ini adalah sebelah Utara dengan Kabupaten Tana
Toraja, sebelah Timur dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan Enrekang,
sebelah Barat dengan Kabupaten Polewali Mandar (Polman) Propinsi Sulawesi
Barat, sebelah Selatan dengan Kota Parepare. Luas wilayah Kabupaten mencapai
1.961,77 km atau sekitar 3,1 persen luas wilayah daratan Sulawesi Selatan dan
sangat strategis karena merupakan jalur lalu lintas darat yang menghubungkan
Propinsi Sulawesi Selatan dengan Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah melalui
Kabupaten Mamuju (Sulawesi Barat). Berdasarkan struktur perekonomiannya
Kabupaten Pinrang merupakan daerah agraris dengan berbagai potensi pertanian
yang dimiliki, dengan rincian sebagai berikut :
| 81
Laporan Akhir
Tabel 4.1. Luas Lahan Menurut Penggunaanya di Kabupaten Pinrang ahun 2010
Mattiro Sompe
9.699
Lanrisang
7.301
Mattiro Bulu
13.249
Watang Sawitto
5.897
Tiroang
7.773
Patampanua
13.685
10
Cempa
9.030
Duampanua
29.186
10
14
10
Lembang
73.309
14
14
11
Paleteang
3.729
No.
| 82
Laporan Akhir
12
Batulappa
Jumlah
15.899
196.177
69
39
108
| 83
Laporan Akhir
| 84
Laporan Akhir
| 85
Laporan Akhir
Gambar 4.1
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi pertanian
adalah ketersediaan prasarana yang menunjang usahatani misanya ketersediaan
air. Hal ini dapat menunjang produktivitas lahan. Sebagai contoh dalam usahatani
padi, sarana irigasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas
seperti terlihat pada Gambar 4.2.
| 86
Laporan Akhir
| 87
Laporan Akhir
Tabel 4.4. Perkembangan Luas Tanam, Panen dan Produksi Padi di Kabupaten
Pinrang Tahun 2004 2011
| 88
Laporan Akhir
| 89
Laporan Akhir
5. Komoditas Kakao
Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat
mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya
dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini
dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif.
Bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari
batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm),
tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu
titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil
(midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang
biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu
beberapa hari.
Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok
besar: kakao mulia ("edel cacao") dan kakao curah ("bulk cacao"). Di Indonesia,
kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa, misal di kabupaten
Jember yang dikelola oleh PTPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Varietas
penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang dilakukan pada masa kolonial
Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan "DR" (misalnya DR-38).
Singkatan ini diambil dari singkatan nama perkebunan tempat dilakukannya
seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa Tengah). Varietas kakao mulia
berpenyerbukan sendiri dan berasal dari tipe Criollo. Sebagian besar daerah
produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari
varietas-varietas yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah,
meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya
kandungan lemaknya.
Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi
peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia
CV. ULFA CONSULTANT
| 90
Laporan Akhir
berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah
Pantai Gading (Cote dIvoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi
ketiga oleh Ghana pada tahun 2003. Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah
satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Di samping itu,
perkakaoan Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain: mutu
produk yang masih rendah dan masih belum optimalnya pengembangan produk
hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor
untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari
agribisnis kakao.
Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia,
apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat
diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia
masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao
yaitu lebih dari 6,2 juta ha terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tangah Maluku dan Sulawesi Tenggara. Disamping itu kebun yang telah di bangun
masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas ratarata saat ini kurang dari 50% potensinya. Di sisi lain situasi perkakaoan dunia
beberapa tahun terakhir sering mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia
stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik
untuk segera dimanfaatkan. Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti
yang stratigis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan
pasar domestik masih belum tergarap.
Dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif stabil dan cukup tinggi maka
perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut
dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun dapat
memberikan produktivitas yang tinggi. Melalui berbagai upaya perbaikan dan
perluasan maka areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 1,1 juta ha dan diharapkan mampu menghasilkan produksi 730 ribu
CV. ULFA CONSULTANT
| 91
Laporan Akhir
ton/tahun biji kakao. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi produsen utama
kakao dunia bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal
perkebunan kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan mampu
menghasilkan 1,3 juta ton/tahun biji kakao.
Untuk mencapai sasaran produksi tersebut diperlukan investasi sebesar Rp 16,72
triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang
kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber dari masyarakat
karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara swadaya oleh
petani. Dana pemerintah diharapkan dapat berperan dalam memberikan pelayanan
yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani seperti biaya
penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasaran jalan dan
telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional,
dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir.
Produksi komoditi kakao provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 mencapai 171.500
ton dengan target produksi tahun 2013 sebesar 325.900 ribu ton. Volume ekspor
kakao tahun 2009 mencapai 151.073 ton dengan nilai 364.066.100 (US$). Luas
areal mencapai 250.854,64 Ha dengan lokasi pengembangan tersebar di Luwu,
Luwu Timur, Luwu Utara, Wajo dan Pinrang.
Tabel 4.5. Memunjukkan luas lahan dan produksi komoditi kakao di kabupaten
Pinrang tahun 2013. Produksi kakao kabupaten Pinrang pada tahun 2013
mencapai 14.109.400 ton. Ini menunjukkan bahwa kabupaten Pinrang merupakan
salah satu sentra produksi tanaman kakao.
| 92
Laporan Akhir
Tabel 4.5. Luas Lahan dan Produksi Kakao Kabupaten Pinrang Tahun 2013.
| 93
Laporan Akhir
momen lain bisa turun hingga tak berharga. Hal ini membuat budidaya cabai merah
menjadi tantangan tersendiri bagi para petani.
Desa Sipatokkong, Malimpung, dan Padalloang (Sipundang), yang berlokasi di
Kecamatan Patampanua, Kabupaten Pinrang, menjadi sentra pengembangan
tanaman hortikultura, khususnya tanaman cabai. Bahkan produksi cabai Pinrang
telah diekspor ke Singapura.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Andi
Tjalo Kerrang membenarkan kawasan itu sebagai sentra pengembangan tanaman
hortikultura. Menurut dia, luas area di daerah Sipundang sekitar 300 hektare dan
terus diperluas dengan membuka lahan baru.
Sistem penanaman juga menerapkan pola tanam dua kali musim menanam cabai,
setelah itu ditanami palawija. Hal ini dilakukan, untuk memutuskan siklus hama
cabai.
Tabel 4.6. Menunjukkan produksi cabai di kabupaten Pinrang pada tahun 2013
mencapai 892.300 ton untuk cabai besar dan 476.700 ton untuk cabai rawit. Ini
menunjukkan bahwa kabupaten Pinrang dapat dijadikan sebagai sentra produksi
hortikultura khususnya cabai.
| 94
Laporan Akhir
Tabel 4.6. Luas Lahan dan Produksi Cabai Kabupaten Pinrang Tahun 2013
| 95
Laporan Akhir
Kabupaten Pinrang dengan luas wilayah pesisir yang mencapai 1.457,19 km atau
74,27%, dan panjang garis pantai 93 km, memiliki sumberdaya perikanan yang
cukup besar dan merupakan sektor andalan bagi perekonomian daerah Pinrang,
serta di dukung dengan potensi pertambakan seluas 15.026,20 Ha, atau 22,72%,
menjadikan Kabupaten Pinrang terpilih sebagai daerah industrialisasi Pembesaran
Udang Windu.
Industrialisasi perikanan budidaya udang adalah proses perubahan sistem
produksi budidaya udang untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan
skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan, melalui modernisasi yang
didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro,
pengembangasn
infastruktur,
sistem
investasi,
IPTEK
dan
SDM
untuk
kesejahteraan rakyat.
Seperti kita ketahui bersama, udang windu Indonesia saat ini masih dalam kondisi
memprihatinkan. Untuk dapat membangkitkan kembali udang windu kita, sangat
dibutuhkan sumberdaya manusia yang terampil. Kabupaten Pinrang memiliki
potensi wilayah yang cukup besar untuk mendukung industrialisasi budidaya
udang windu. Namun hal ini perlu didukung dengan kondisi sumberdaya manusia
yang handal.
Salah satu program pemerintah daerah Kabupaten Pinrang tahun 2012 adalah
pemerintah daerah Pinrang memfokuskan pada peningkatan produksi udang
windu. Pemberian bantuan alat dan bahan ini di harapkan dapat menambah
semangat bagi pembudidaya udang untuk terus berusaha meningkatkan hasil
produksi mereka dan mengembalikan udang pada masa kejayaannya.
Tabel 4.7. Menunjukkan luas lahan tambak dan produksi udang di kabupaten
Pinrang tahun 2013. Produksi udang Waname sebesar 776.500 ton sedangkan
udang Windu 2.973.200 ton. Ini menunjukkan bahwa kabupaten Pinrang sangat
potensial untuk mengembangkan usaha budidaya tambak udang.
CV. ULFA CONSULTANT
| 96
Laporan Akhir
Tabel 4.7. Luas Lahan Tambak dan Produksi Udang Kabupaten Pinrang 2013
dan
sangat membutuhkan
penggilingan
| 97
Laporan Akhir
| 98
Laporan Akhir
negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah
satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
Modal dan Tenaga Kerja
Modal yang digunakan untuk menjalankan budidaya tanaman kakao adalah modal
sendiri. Tenaga kerja yang digunakan pada umumnya adalah tenaga kerja upahan
dengan waktu mulai bekerja yaitu pada pukul 07.00 sampai dengan pukul 16.00.
Upah tenaga kerja per hari adalah Rp 20.000 per tenaga kerja pria.
Tenaga kerja digunakan pada tanaman kakao dan tanaman pohon pelindung. Pada
tanaman kakao tenaga kerja yang digunakan yaitu antara lain saat persiapan lahan
berupa pembukaan lahan, dan penggemburan tanah dengan rata jumlah tenaga
yaitu delapan orang. Proses persiapan lahan, penggalian lubang tanam,
penyemaian bibit, dan penanaman dilakukan pada tahun pertama. Pemupukan
dilakukan pada tahun pertama sampai dengan tahun ke enam, hal ini dilakukan
oleh petani dikarenakan petani tak menginginkan tanaman mereka terlalu banyak
menggunakan bahan yang tidak alami. Penyulaman dilakukan apabila terdapat
tanaman kakao yang tidak tumbuh sempurna sehingga tanaman tersebut dicabut
dan diganti dengan bibit yang baru. Penyulaman dilakukan sampai tanaman
berumur dua tahun. Pada tahun kedua sampai tahun ke 25 dilakukan pemangkasan
bertujuan agar produksi tanaman dapat maksimal. Tanaman muda kakao sangat
membutuhkan unsur hara dan rentan terhadap penyakit tanaman oleh sebab itu
dilakukan pengendalian gulma yang bertujuan untuk mencegah persaingan
mendapatkan suplai air dan unsur hara antara tanaman kakao dan gulma.
Penyiangan gulma dilakukan tiga bulan satu kali sehingga dalam satu tahun
dilakukan penyiangan gulma sebanyak empat kali. Pemanenan dilakukan pada saat
tanaman kakao telah menghasilkan buah kakao yang telah matang. Matangnya
buah kakao ditandai dengan warna buah yang telah menjdi kekuning-kuningan.
| 99
Laporan Akhir
Kakao akan panen perdana pada umur tanaman tiga tahun dan terus menerus
sampai dengan umur 25 tahun.
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pohon pelindung yaitu saat penyertekan bibit
yang dilakukan pada tahun pertama. Lamtoro merupakan pohon pelindung non
komersil yang sengaja ditanam hanya untuk melindungi tanaman kakao dari sinar
matahari yang berlebihan sehingga tidak menggunakan pemeliharaan yang
berlebihan seperti pemupukan. Daun dan ranting yang berlebihan dapat juga
mempengaruhi pertumbuhan kakao sehingga diperlukan perlakuan pemangkasan
terhadap pohon pelindung setiap setahun satu kali sampai umur ekonomis kakao
yaitu 25 tahun.
Penggunaan Sarana Produksi dan Produksi
Bibit pada tanaman kakao berasal dari Jember yang telah diakui sebagai bibit yang
berkualitas di kalangan petani. Bibit tersebut dikirim berupa benih yang kemudian
melalui penyemaian akan menjadi bibit kakao yang siap tanam. Bibit dapat pula
didapatkan melalui pembibitan sendiri menggunakan biji kakao yang berasal dari
buah kakao yang dibudidayakan oleh satu-satunya petani kakao yang meiliki
tanaman kakao yang telah berbuah. Cara pembibitan sendiri kurang diminati
oleh petani dikarenakan petani belum meyakini akan hasil yang didapatkan
dari tanaman kakao yang dibibit sendiri. Pengalaman yang belum dimiliki oleh
petani untuk pembibitan mendorong petani untuk membeli bibit dari Jember.
Pupuk yang digunakan dalam pengusahaan kakao sangat minim yaitu hanya
menggunakan pupuk kandang dan pupuk ZA. Jumlah rata-rata penggunaan pupuk
kandang yaitu 2.000 kg/Ha. Pupuk ZA digunakan sebanyak 100 kg. Penggunaan
pupuk dilakukan pada tahun pertama sampai pada tahun ke enam. Minimalnya
penggunaan pupuk dikarenakan petani ingin meningkatkan kualitas tanaman tanpa
penggunaan pupuk dan obat-obatan yang berlebihan.
| 100
Laporan Akhir
Peralatan yang digunakan dalam usaha tani kakao berupa cangkul, golok, gerobak,
sepatu bot dan sprayer. Jumlah rata-rata peralatan yang dimiliki yaitu tiga
cangkul , tiga golok, satu gerobak dan satu sprayer. Minimnya kepemilikan
peralatan dikarenakan tenaga kerja memiliki peralatan sendiri untuk melakukan
pekerjaan sehingga peralatan yang tersedia merupakan perlatan yang digunakan
oleh pemilik jika ikut melakukan pekerjaan.
Tanaman kakao mulai berproduksi pada umur tiga tahun dan akan terus berbuah
setiap tahunnya. Jumlah produksi kakao mengalami fluktuasi setiap tahun.
Penurunan dan peningkatan produksi kakao dipengaruhi oleh pemeliharaan
selama umur produksi.
Secara ekonomi, kakao memberikan kontribusi terhadap negara berupa perluasan
lapangan kerja dan pemerataan pendapatan. Usaha perkebunan ini memiliki sifat
padat tenaga kerja yang berdampak pada pemerataan pendapatan melalui
pertambahan kesempatan kerja terutama bagi penduduk sekitar usaha
perkebunan. Usaha perkebunan kakao masih dapat memberikan prospek yang
cerah bagi investor yang akan menanamkan modalnya.
| 101
Laporan Akhir
Tabel 4.8. Potensi Produksi Biji Kakao per Hektar dalam Siklus 25 tahun
Umur Tanaman
Biji Kering Kakao (Kg)
3
600
4
900
5
1.200
6
1.400
7
1.600
8
1.700
9
1.600
10
1.800
11
1.700
12
1.600
13
1.500
14
1.400
15
1.400
16
1300
17
1.300
18
1.300
19
1.200
20
1.200
21
1.100
22
1.000
23
700
24
700
25
700
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003
Biaya investasi tanaman kakao dikeluarkan pada tahun pertama terdiri dari
investasi non tanaman, investasi tanaman dan tanaman pelindung. Investasi non
tanaman berupa bangunan yang digunakan sebagai rumah kebun. Biaya yang
dikeluarkan untuk investasi tanaman berupa bibit, sarana produksi dan tenaga
kerja untuk pengolahan lahan sampai penanaman. Pada usaha tanaman kakao
tidak terdapat nilai sisa dikarenakan biaya investasi yang dikeluarkan berupa
bangunan dan peralatan produksi yang habis digunakan selama umur produksi.
Tanaman kakao merupakan tanaman yang membutuhkan pohon pelindung,
sehingga menyebabkan adanya pengeluaran biaya untuk pohon pelindung yaitu
lamtoro yang meliputi biaya penyetekan dan penanaman. Dari Tabel xx dapat
dilihat bahwa total biaya investasi kakao adalah sebesar Rp 6.500.000 dengan
CV. ULFA CONSULTANT
| 102
Laporan Akhir
alokasi biaya terbesar adalah untuk investasi tanaman sebesar Rp. 5.500.000.
Rincian biaya investasi tanaman kakao dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Rincian Biaya Investasi Tanaman Kakao pada Luas Lahan 1 Ha
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
A.Investasi Tanaman Kakao
- Bibit tanaman Kakao
- Sarana Produksi (Peralatan)
B. Investasi Non Tanaman
- Bangunan
C. Tanaman Pelindung (Lamtoro)
- Tenaga Kerja Penyetekan Tanaman
- Tenaga Kerja Penanaman
Total Biaya Investasi
5.500.000
5.000.000
500.000
500.000
500.000
500.000
250.000
250.000
6.500.000
Biaya operasional yang dikeluarkan pada tanaman kakao berupa pupuk dan tenaga
kerja. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk ZA.
Pemakaian pupuk dilakukan hanya sampai pada tahun ke enam. Hal ini
dikarenakan tanaman telah dapat memenuhi unsur hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhannya. Pengurangan penggunaan pupuk oleh petani juga bertujuan agar
tanaman tidak banyak mengandung unsur anorganik, selain itu dapat mengurangi
biaya yang dikeluarkan selama kegiatan produksi.
Tenaga kerja digunakan pada saat pemupukan, penyulaman, pemangkasan,
penyiangan gulma, dan pemanenan. Penyulaman merupakan kegiatan mengganti
tanaman yang tumbuh tidak sempurna atau mati dengan tanaman yang baru yang
dilakukan sampai tahun ke dua. Pemangkasan tanaman merupakan pengurangan
daun dan ranting yang menghambat produksi yang dilakukan sampai umur
ekonomis tanaman. Gulma yang terdapat disekitar tanaman dapat mempengaruhi
produktivitas tanaman sehingga gulma harus disiangi. Proses pemanenan
dilakukan pada saat tanaman berumur tiga tahun sampai umur tanaman 25 tahun.
| 103
Laporan Akhir
| 104
Laporan Akhir
Cabai merah merupakan salah satu komoditas pertanian paling atraktif. Pada saatsaat tertentu, harganya bisa naik berlipat-lipat. Pada momen lain bisa turun hingga
tak berharga. Hal ini membuat budidaya cabai merah menjadi tantangan tersendiri
bagi para petani.
Disamping fluktiasi harga, budidaya cabai cukup rentan dengan kondisi cuaca dan
serangan hama. Untuk meminimalkan semua resiko tersebut, biaya untuk budidaya
cabai bisa dikatakan cukup tinggi.
Langkah-langkah yang harus dipersiapkan untuk budidaya cabai merah, khususnya
jenis Capsicum annum L. Tanaman ini berasal dari benua Amerika yang beriklim
tropis dan subtropis. Dari sini menyebar ke berbagai belahan bumi lainnya.
Kondisi iklim di kabupaten Pinrang cocok untuk budidaya cabai dimana matahari
bersinar penuh. Tanaman ini bisa tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga
ketinggian 1400 meter dpl. Di dataran tinggi, cabai masih bisa tumbuh namun
produksinya tidak maksimal.
Suhu yang optimal untuk pertumbuhan cabai merah, antara 24-28 derajat Celcius.
Pada suhu yang terlalu dingin dibawah 15 atau panas di atas 32, pertumbuhan
akan terganggu. Cabai bisa tumbuh pada musim kemarau asal mendapatkan
pengairan yang cukup. Curah hujan yang dikehendaki berkisar 800-2000 mm per
tahun dengan kelembaban 80%.
Budidaya cabai merah mulai bisa dipanen setelah berumur 75-85 hari setelah
tanam. Proses pemanenan dilakukan dalam beberapa kali, tergantung dengan jenis
varietas, teknik budidaya dan kondisi lahan.
Pemanenan bisa dilakukan setiap 2-5 hari sekali, disesuaikan dengan kondisi
kematangan buah dan pasar. Buah cabai sebaiknya dipetik sekaligus dengan
| 105
Laporan Akhir
tangkainya untuk memperpanjang umur simpan. Buah yang dipetik adalah yang
berwarna oranye hingga merah. Lakukan pemetikan pada pagi hari.
Produktivitas budidaya cabai merah biasanya mencapai 10-14 ton per hektar,
tergantung dari varietas dan teknik budidayanya. Pada budidaya yang optimal,
potensinya bisa mencapai hingga 20 ton per hektar.
Menurut Soekartawi (1995), pendapatan usahatani merupakan selisih antara
penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani cabai
merah diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
TL = Y.Py - X i . Pi
Keterangan :
TL = Pendapatan usahatani cabai merah.
Y = Produksi cabai
Py = Harga cabai per unit
X i = Penggunaan faktor ke-i
Pi = Harga faktor ke-i per unit
Untuk mengetahui tingkat kelayakan usahatani cabai merah dipergunakan analisis
R/C ratio. Makin besar nilai R/C ratio usahatani itu makin layak diusahakan
(Soekartawi, 1995).
Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Dengan adanya
tanah para petani dapat mengusahakan berbagai komoditi pertanian yang sesuai
dengan jenis tanah yang akan ditanami.
Pengeluaran (biaya) dalam usahatani cabai merah meliputi pengeluaran untuk
membeli sarana produksi, upah tenaga kerja di luar keluarga, biaya untuk
pembayaran pajak dan pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) yakni biaya
tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat-alat pertanian, dan bunga.
| 106
Laporan Akhir
yang
paling
banyak
dikeluarkan
yakni
sebesar
Rp
penerimaan
petani
dari
usahatani
cabai
merah
sebesar
Rp
90.000.000,00/ha/musim.
Secara umum tujuan usahatani cabai merah pada akhirnya untuk memperoleh
pendapatan dan tingkat keuntungan yang layak dari usahataninya. Kegairahan
petani untuk meningkatkan kualitas produksinya akan terjadi selama harga produk
berada di atas biaya produksi.
4.3.3. Analisis Ekonomi Usaha Komoditas Udang
Salah satu teknik untuk membudidayakan udang dengan lahan yang tidak begitu
luas atau dalam skala mini dengan membuat empang plastik atau yang lebih
| 107
Laporan Akhir
dipilih
| 108
Laporan Akhir
sekitar Rp. 50.000,-/kg. Jika kita membuat perhitungan lebih sederhana, maka dari
data di atas dapat dikatakan bahwa Harga Produksi Per Kg (HPP) sekitar 48% dan
margin keuntungannya sebesar 42%.
Nilai margin tersebut akan sangat mendongkrak para pembudidaya udang
kelompok menengah ke bawah apabila teknologi ini diterapkan di seluruh
Indonesia. Sehingga akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional
dari sektor Kelautan dan Perikanan.
Teknologi busmetik sudah dicoba dalam kepadatan tanam yang berbeda. Mulai
kepadatan rendah yaitu sekitar 100 ekor/m2 hingga kepadatan tinggi di atas 250
ekor/m2 . Produktivitas yang saat ini sudah dihasilkan adalah 1,4 kg/ m2 atau
setara dengan 14 ton/ha hingga 3,4 kg/m2 atau setara 34 ton/ha pada kepadatan
250 ekor/m2 . Saat ini masih terus dilakukan kajian dan percobaan dengan
melakukan perbaikan SOP agar dapat meningkatkan produktivitas per kg-nya,
sekitar 4 kg/m2 atau setara dengan 40 ton/ha.
4.3.4. Analisis Ekonomi Usaha Penggilingan Gabah
Kabupaten Pinrang sebagai lumbung beras provinsi Sulawesi Selatan saat ini
memiliki 527 penggilingan gabah dengan nilai investasi mencapai lebih dari 23,7
milyar rupiah dan memiliki kapasitas produksi 302.305 ton/tahun. Sementara
produksi gabah GKG kabupaten Pinrang pada tahun 2011 mencapai 519670,71 ton
(Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pinrang, 2014). Ini menunjukkan
bahwa kabupaten Pinrang masih membutuhkan usaha penggilingan gabah yang
dapat mengolahnya menjadi beras bermutu.
Dalam menjalankan usaha penggilingan gabah ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dan dianalisis sehingga usaha ini dapat berjalan dengan baik dan
menguntungkan secara finansial. Berikut beberapa aspek yang dianalisis dalam
usaha penggilingan gabah di kabupaten Pinrang.
CV. ULFA CONSULTANT
| 109
Laporan Akhir
operasional penggilingan
gabah dilakukan dengan kerjasama tim, dimana tim terdiri dari beberapa orang
pengelola, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jalannya usaha
penggilingan sangat tergantung pada komitmen pengelola dalam mengelola
penggilingan. Komitmen tersebut sudah terlihat dari kesungguhan tim untuk
melakukan usaha kolaboratif.
Keberadaan suatu usaha harus diakui oleh masyarakat sekitar, Lembaga
Pemusyawaratan Masyarakat (LPM), dan pemerintahan desa (BPD) setempat.
Manfaat dari adanya legalitas adalah usaha tersebut akan diakui eksintensinya,
dengan pengakuan eksistensi ini, maka usaha tersebut akan dikenal oleh
masyarakat, kemudian memudahkan usaha untuk mengembangkan bisnisnya
karena mendapatkan perlindungan secara hukum dari pemerintah.
Dalam mendapatkan legalitas tersebut, penggilingan
mengurus perizinan,
meminta rekomendasi dari berbagai instansi, mengurus nomor pokok wajib pajak
(NPWP) dan surat izin usaha perdagangan (SIUP)
Struktur Organisasi
Organisasi usaha penggilingan gabah terdiri atas bagian pemasaran, produksi,
keuangan, dan administrasi. Keseluruhan operasional penggilingan gabah
CV. ULFA CONSULTANT
| 110
Laporan Akhir
dikoordinir oleh manajer umum yang menjalankan fungsi perencanaan kerja dan
tata-tertib, memotivasi dan menggerakkan karyawan, melakukan pengawasan
secara keseluruhan, serta memberikan laporan pertanggungjawaban kepada
kelompok tani dan penanam saham.
Manajer
Umum
Manajer
Pemasaran
Manajer
Produksi
Pengawas dan
Penasehat
Administrasi
Keuangan
Administrasi
| 111
Laporan Akhir
per
bulan,
tahun
ketiga
akan
mendapatkan
gaji
sebesar
| 112
Laporan Akhir
masyarakat sekitar sangat besar. Penggilingan gabah ini bukan saja keinginan dan
kebutuhan dari kelompok tani, namun penggilingan ini merupakan keinginan dan
kebutuhan masyarakat sekitar.
Pendirian usaha penggilingan gabah ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
akan jasa giling yang dekat dengan wilayahnya. Dampak dari usaha penggilingan
tersebut yaitu terpenuhinya kebutuhan masyarakat, peningkatan motivasi
masyarakat dalam berwirausaha karena penggilingan akan memproduksi hasil
samping seperti sekam yang dapat dibuat menjadi pupuk kompok, biogas, energi
pembakaran dari hasil bakarnya atau untuk abu gosok. Dedak yang dapat
dipasarkan dan dijual untuk pakan ternak, serta menir yang dapat dibuat menjadi
tepung beras dan dipasarkan, pengembangan ekonomi desa, dan pembukaan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Antisipasi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh penggilingan gabah seperti
polusi udara, dan polusi suara, membuat pengelola untuk mempertimbangkan
lokasi yang tepat. Lokasi pendirian penggilingan gabah tersebut direncanakan akan
berada dimana sebelah kanan dan kiri penggilingan adalah lahan sawah yang tidak
berdekatan dengan pemukiman penduduk, sehingga tidak menimbulkan gangguan
pada masyarakat sekitar.
Analisis Aspek Finansial
Analisis aspek finansial dalam rencana usaha Penggilingan Gabah terdiri atas halhal sebagai berikut :
| 113
Laporan Akhir
| 114
Laporan Akhir
dikurangi biaya penyusutan dan biaya sosial sebesar Rp. 52. 960.000,00. Biaya
tetap terdiri dari gaji karyawan tetap, penyusutan, biaya umum, dan sewa tanah,
sedangkan biaya variabel terdiri dari upah kerja atau buruh, bahan baku gabah,
bahan bakar, biaya transport dan biaya sosial.
Sumber Modal
Sumber modal untuk usaha ini berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Jika
perbandingan modal sendiri dan modal pinjaman adalah 30:70. Modal pinjaman
akan berasal dari bank syariah atau bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) atau
bank lainnya yang menetapkan proporsi bagi hasil yaitu 40:60 untuk pinjaman
yang dipergunakan untuk investasi. 40 persen dari keuntungan menjadi hak bank,
dan 60 persen dari keuntungan menjadi hak pengelola. Bagi hasil untuk pinjaman
modal kerja ditetapkan proporsi sebesar 45:55. 45 persen untuk bank syariah dan
55 persen untuk usaha. Total kebutuhan adalah Rp. 112.716.000,00. Modal sendiri
yang dipergunakan untuk investasi adalah Rp. 17.927.000,00 dan untuk modal
kerja adalah Rp. 15.888.000,00. Sedangkan modal pinjaman untuk kegiatan
investasi adalah Rp. 41.829.000,00 dan untuk modal kerja adalah Rp.
37.072.000,00.
Identifikasi Manfaat atau Penerimaan
Manfaat yang diterima oleh usaha penggilingan gabah kelompok tani berasal dari
penjualan produk utama yaitu jasa giling dan beras, produk sertaan seperti dedak,
sekam dan menir. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah output
dengan harga jual per satuannya. Pada
| 115
Laporan Akhir
pemasaran, sedangkan rencana produksi terdapat pada analisis aspek teknis dan
teknologis.
Kriteria Kelayakan Investasi
Lima kriteria yang digunakan dalam menilai investasi yaitu Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B/C, Break Even Point (BEP), dan Payback
Period. Hasil perhitungan kelayakan investasi ini diperoleh dari hasil perhitungan
komponen outflow dan inflow yang didiskontokan. Nilai dari kriteria penilaian
investasi usaha Penggilingan Gabah dapat dilihat pada Tabel xx.
Tabel 4.10. Nilai Kriteria Penilaian Investasi Usaha Penggilingan
Gabah Kelompok Tani
Kriteria Investasi
Nilai
Net Present Value (NPV)
Rp. 254.889.000,00
Profitability Index (PI)
8,54
Internal Rate of Return (IRR)
40,8 %
Payback Period (PBP)
0,8 tahun
| 116
Laporan Akhir
hasil perhitungan, diperoleh nilai IRR dari rencana usaha penggilingan gabah
kelompok tani sebesar 40,8 persen. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan
metode coba-coba (trial and error). Nilai IRR tersebut menunjukkan kelayakan dari
suatu usaha, karena IRR lebih besar dari tingkat suku bunga deposito. Payback
Period (PBP) merupakan jumlah lama tahun yang dibutuhkan bagi suatu usaha
untuk menutupi biaya investasi awal dengan jumlah keuntungan bersih yang telah
didiskontokan. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai PBP adalah 0,8
tahun, artinya adalah penggilingan gabah ini baru dapat menutupi pengeluaran
biaya investasinya dengan jumlah keuntungan bersih yang telah didiskontokan
setelah usaha ini berjalan sekitar 9 bulan 6 hari.
Berdasarkan hasil dari empat kriteria penilaian investasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa penggilingan gabah layak pada kondisi atau asumsi yang telah disepakati
bersama. Hal ini ditunjukkan dari nilai NPV > 0, PI > 1, IRR > tingkat suku bunga
yang dijadikan dasar perhitungan, yaitu 7 persen, dan PBP lebih pendek waktunya
dari periode pembayaran maksimum atau tertutupi sebelum umur usaha berakhir.
Kriteria lainnya
Selain empat kriteria penilaian investasi di atas, pada penelitiannya ini juga
dilakukan perhitungan terhadap kriteria-kriteria tambahan lainnya, Break Even
Point (BEP) tahun analisis, BEP volume produksi, dan BEP harga jual. Perhitungan
masing-masing kriteria dapat dilihat pada Lampiran.
Analisis Sensitivitas
Hasil analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu
usaha dalam menghadapi setiap perubahan yang mungkin terjadi. Analisis ini
dilakukan dengan terjadinya perubahan di tingkat harga input operasional dan
volume penjualan hingga nilai NPV menjadi negatif. Dari skenario kenaikan dan
penurunan harga input operasional dan volume penjualan sebesar 10 persen.
CV. ULFA CONSULTANT
| 117
Laporan Akhir
Kenaikan 10 persen harga input operasional meliputi harga bahan baku gabah,
transport, dan bahan bakar minyak solar. Kenaikan 10 persen harga input
operasional dan penurunan 10 persen volume penjualan menghasilkan nilai NPV
sebesar Rp. 213.709.000,00, IRR 40,4 persen, nilai Net B/C adalah 7,32 dan PBP 1
tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usaha ini tidak sensitive terhadap
penurunan 10 persen penjualan dan kenaikan 10 persen harga input operasional.
Analisis sensitivitas dapat dilihat pada Lampiran.
Hasil analisis sensitivitas switching value menyatakan bahwa usaha Penggilingan
Gabah akan menjadi tidak layak saat harga harga input operasional yang meliputi
harga bahan baku gabah, transport, dan bahan bakar minyak solar naik hingga
sebesar 50 persen dan volume penjualan turun sebesar 66 persen, penurunan
volume penjualan dan kenaikan harga input operasional tersebut akan
menghasilkan NPV negatif sebesar Rp. 3.016.000,00, IRR 7,1 persen, nilai Net B/C
adalah 0,91 dan PBP lebih dari periode analisis atau 10 tahun. Analisis sensitivitas
switching value dapat dilihat pada Lampiran.
Rekomendasi Dalam Tahap Implementasi Pendirian Pengilingan Gabah
Usaha Penggilingan gabah di kabupaten Pinrang sangat layak dan menguntungkan,
apabila pengelola memiliki kesungguhan dalam melaksanakannya. Kesungguhan
dan keyakinan yang dimiliki oleh pengelola merupakan modal yang utama. Dalam
mengatasi permasalahan permodalan, pengelola sebaiknya mensosialisasikan
usaha yang dibuat agar investor tertarik untuk menanamkan saham segera.
Pengelola perlu mempersiapkan kondisi internalnya, kondisi internal yang
dimaksud adalah kesiapan bagian pemasaran dan penjualan dalam mencari
konsumen, kesiapan bagian produksi yaitu mampu memenuhi permintaan yang
diinginkan oleh konsumen, serta kesiapan bagian adminstrasi baik itu keuangan
maupun non keuangan untuk membentuk sistem pencatatan yang baik, agar
memudahkan untuk menghitung keuntungan dan kerugian serta kecepatan untuk
| 118
Laporan Akhir
| 119
Laporan Akhir
Uraian
B
1
2
3
C
Penyiangan*)
Pemupukan*)
Pengendalian hama
penyakit*)
Panen (sewa threser)
Pasca panen*)
Pengeringan*)
Output
Hasil GKP
Penyusutan
Hasil GKG
Keuntungan
Volume
Satuan
5
600
10
50
20
1
30
1,0
0,5
1,0
1,0
1,0
1,0
2,0
1,0
kg
kg
kg
kg
kg
liter
buah
HOK
Hari
HOK
HOK
HOKW
HOK
HOK
HOK
1,0
HOK
0,5
1,0
1,0
10
0,9
9.1
Hari
HOK
HOK
kuintal
kuintal
kuintal
Harga Satuan
(Rp)
10.000
3.000
2.500
3.300
75.000
3.000
700.000
Jumlah Harga
(Rp)
1.445.000
445.000
50.000
30.000
125.000
66.000
75.000
99.000
1.000.000
500.000
-
850.000
420.000
500.000
3.185.000
3.822.000
2.377.000
Keterangan :
*) Dikerjakan sendiri tanpa mengupah tenaga kerja lainnya, luas tanah 2000 m2
| 120
Laporan Akhir
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengelolaan lahan untuk tanaman padi yang
luasnya
2000
m2
dapat
menghasilkan
keuntungan
sebesar
Rp
yang
digunakan
merupakan
tanah
pekarangan
yang
belum
| 121
Laporan Akhir
Rp. 500/kg.
Pakan yang diperlukan untuk satu periode :
Modal Usaha
Modal usaha terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya variabel)
Biaya Investasi
1. Pembuatan kandang 105 m2 x Rp. 400.000
Rp. 42.000.000
2. Peralatan kandang
Rp.
1.500.000
Biaya Variabel
1. Sapi bakalan 20 x Rp. 7.000.000
Rp. 140.000.000
2. HMT
Rp. 57.600.000
3. Konsentrat
Rp.
27.000.000
4. Pakan Tambahan
Rp.
5.400.000
Rp. 273.500.000
Biaya Tetap
1. Tenaga Kerja 3 orang x 6 x Rp.1.000.000
Rp. 18.000.000
Rp. 4.200.000
3. Penyusutan peralatan
Rp.
750.000
Rp. 22.950.000
| 122
Laporan Akhir
Penerimaan
Penerimaan atau pemasukan usaha ternak sapi berasal dari penjualan sapi dan
kotoran sapi.
Jika kotoran sapi tidak dijual dan dimanfaatkan sendiri untuk pupuk
kompos dan biogas, maka total penerimaan hanya dari penjualan sapi yaitu
Rp. 263.200.000, sehingga keuntungan = Rp. 676.800.000
- Rp.
| 123
Laporan Akhir
Bahan
Jumlah Satuan
Kompos
- Kotoran Sapi
Harga (Rp)
Satuan (Rp)
Biaya (Rp)
kg
Jerami padi
kg
150
150
- Kemasan plastic
100
100
buah
250
Jika sapi yang diternak adalah 20 ekor dan setiap hari mengeluarkan kotoran 5
kg/ekor, maka akan menghasilkan kotoran sebanyak 3000 kg (3 ton), dari data
| 124
Laporan Akhir
tersebut bisa dihitung biaya produksi untuk pupuk organik (kompos) sebagai
berikut :
Tabel 4.13. Perhitungan total biaya produksi/bulan
No.
1.
Bahan
Kompos
Jumlah
Bahan
3.000
Satuan
kg bln
Biaya Produksi
(Rp/kg)
250
Biaya Total
(Rp)
750.000
Perhitungan Keuntungan
Keuntungan atau laba (rugi) dapat diketahui setelah penerimaan hasil penjualan
produk dikurangi dengan harga pokok dan biaya produksi. Dimana jumlah kotoran
sapi sebanyak 3000 kg yang di campur 500 kg jerami padi akan menghasilkan
pupuk organic/kompos sebanyak 2.100 kg (2,1 ton/bulan) atau setara dengan 60
% dari jumlah bahan baku.
Tabel 4.14. Perhitungan Penerimaan
No.
1.
Bahan
Kompos
Jumlah
Produksi
2.100
Satuan
kg bln
Harga Jual
(Rp/kg)
1500
Penerimaan
(Rp)
3.150.000
Bahan
Kompos
Penerimaan
(Rp)
3.150.000
Biaya Produksi
(Rp)
Keuntungan (Rp)
750.000
2.400.000
| 125
Laporan Akhir
Keuntungan bersih yang diperoleh dari usaha pengomposan ini adalah keuntungan
kotor dikurang dengan biaya produksi yaitu sebesar Rp. 2.400.000,-/bulan atau
setara dengan Rp. 28.800.000,-/tahun.
Return Cost Ratio (R/C)
Return Cost Ratio (R/C) adalah perbandingan antara penerimaan penjualan dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi hingga menghasilkan
produk. Usaha pembuatan pupuk organik/kompos akan menguntungkan apabila
nila R/C bernilai >1.
Tabel 4.16. Perhitungan R/C
No.
1.
Bahan
Kompos
Penerimaan
(Rp)
3.150.000
Biaya Produksi
(Rp)
R/C
750.000
4,2
Bahan
Kompos
B/C
3,2
| 126
Laporan Akhir
Bahan
Kompos
Harga
Total
Total
BEP Produksi BEP Harga
Penjualan (Rp) Produksi (kg) Biaya (Rp)
(kg)
(Rp)
1500
2.100
750.000
500
357
Sebagai contoh untuk pembuatan kompos, usaha tidak mengalami kerugian atau
memberikan keuntungan jika total produksi kompos sebanyak 500 kg atau harga
pupuk kompos hanya Rp. 357,00 per kg.
Analisis Usaha Budidaya Ikan Air Tawar
Pelaksanaan agribisnis perikanan di kabupaten Pinrang mayoritas dilakukan
dengan sistem konvensional atau tradisional yang belum banyak mengadopsi
sistem
budidaya
perikanan
teknis.
Dari
semua
sampel
yang
diambil,
| 127
Laporan Akhir
Analisis ekonomi usaha budidaya ikan air tawar di kabupaten Pinrang didasarkan
pada beberapa asumsi untuk memberikan syarat dalam perhitungan indikator
kelayakan usaha berupa:
a. Nilai jual didasarkan pada nilai pembelian komoditi di tempat (lahan
tambak/kolam/empang petani setempat.
b. Segala investasi berupa peralatan dihitung dengan nilai penyusutan tetap linier
sesuai umur ekonomi alat atau mesin yang digunakan dalam sistem agribisnis
perikanan.
c. Lahan dianggap sewa untuk memberikan ruang pada lahan yang dikelola
sendiri atau dikelolakan dengan sistem bagi hasil.
d. Produksi dihitung dari jumlah tonnase yang dijual dan tidak termasuk yang
dikonsumsi oleh petambak.
e. Nilai suku bunga dihitung tetap 12% pertahun tanpa inflasi dan devaluasi.
Kondisi ekonomi agribisnis perikanan wilayah disajikan berdasarkan komoditas
yang sering diusahakan oleh petani setempat. Jika diasumsikan bahwa sistem
budidaya atau pembesaran ikan-ikan air tawar di kabupaten Pinrang dilakukan
dengan metode monokultur dan komoditi yang banyak dipelihara oleh masyarakat
setempat adalah ikan Nila.
Sistem monokultur merupakan sistem pembesaran ikan air tawar yang dilakukan
dengan memilih hanya satu komoditi ikan dalam suatu sistem pemeliharaan.
Sistem ini mulai dianggap oleh masyarakat sebagai suatu usaha dengan resiko
tinggi, mengingat jika terjadi serangan penyakit maka tingkat kerugian sangat
besar. Namun demikian sistem monokultur ini sangat memudahkan dalam
penyediaan sarana produksi karena sistem tunggal.
Ikan Nila merupakan komoditi yang banyak dibudidayakan karena merupakan
komoditi konsumsi yang pemasarannya sangat mudah dilakukan untuk wilayah
| 128
Laporan Akhir
PC
Rp 13,961,135.24
Rp 3,394,989.38
Rp 8,411,210.49
Rp 6,788,958.63
Rp 14,116,622.91
NPV
BCR
Rp 87,921,140.92
Rp 9,800,843.57
Rp 7,928,474.32
Rp 475,491.63
Rp 30,683,823.63
IRR
7.30 >1
3.89
1.94
1.07
3.17
0.90
0.39
0.14
0.72
| 129
Laporan Akhir
Hal lain yang sering menjadi kendala bagi petani yaitu banjir seperti yang dialami
oleh petani, sehingga petani sering melakukan panen sementara ikan masih terlalu
muda, akibatnya hasil panen tidak optimal, selain itu setelah banjir, ikan-ikan yang
mengganggu perkembangan ikan nila juga memasuki tambak.
Secara umum budidaya Ikan Nila di Pinrang masih dilakukan secara tradisional,
dan cara yang dilakukan masih berdasarkan pada pengalaman atau informasi dari
petani lainnya. Potensi budidaya Ikan Nila ini masih dapat ditingkatkan jika petani
memperoleh penyuluhan tentang cara budidaya Ikan Nila yang intensif, serta
sumber irigasi untuk tambak mereka terjamin dan adanya penangan banjir. Selain
itu budidaya ikan nila yang dapat dilakukan di lahan sawah juga merupakan
potensi yang cukup besar, di mana masih terdapat lahan sawah yang luas di
kabupaten Pinrang. Selain ikan Nila, ikan Lele juga sangat baik untuk
dibudidayakan dalam sistem pertanian terpadu karena pemeliharaannya relative
lebih mudah dan praktis. Berikut analisis usaha untuk budidaya ikan lele :
Tabel 4.20. Analisis Usaha Ikan Lele
1
a
b
2
a
b
3
a
b
c
d
e
f
Investasi
Pembuatan kolam 10 m x 20 m 2 unit @ Rp 1.500.000,Drum plastik 5 buah @ Rp 200.000,Sub Total
Biaya Tetap
Penyusutan terpal plastik pelapis kolam Rp 1.000.000,-/2 thn
Penyusutan drum plastik Rp 1.000.000,-/5 thn
Sub Total
Biaya Variabel
Pakan 100 kg @ Rp 3700
Benih ukuran 5-8 cm sebanyak 5.000 ekor @Rp 200,Obat-obatan 2 unit @ Rp 50.000,Alat perikanan 1 paket @ Rp 500.000,Tenaga kerja tetap (dikerjakan sendiri)
Lain-lain 12 bln @ Rp 100.000,Sub Total
Total Biaya
Pendapatan
Jumlah
3000000
1000000
4000000
15000000
7130000
500000
200000
700000
370000
1000000
100000
500000
0
1200000
3170000
7870000
| 130
Laporan Akhir
Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha budidaya ikan lele yag diterapkan pada
ssstem pertanian terpadu dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 7.130.000,/tahun sehingga usaha ini sangat layak untuk dikembangkan di kabupaten Pinrang.
Analisis ekonomi yang dilakukan terhadap sistem pertanian terpadu yang dapat
diterapkan di kabupaten Pinrang menunjukkan bahwa usaha pertanian yang
dilakukan oleh petani/kelompok tani akan memberikan keuntungan yang berlipat
dengan
lahan pertanian yang tidak begitu luas (0,5 ha). Keuntungan usaha
Usaha
Tanaman Padi
Ternak Sapi
Kompos
Ikan Lele
Total keuntungan /tahun
Keuntungan (Rp)
7.131.000,380.350.000,28.800.000,7.130.000,423.411.000,-
| 131
Laporan Akhir
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
a. Analisis kelayakan aspek manajemen operasional dan dampak usaha
menjelaskan
mengenai
kepemilikan,
legalitas,
struktur
organisasi,dan
motivasi
dan
kemampuannya
dalam
menciptakan
harus
dan
| 132
Laporan Akhir
| 133
Laporan Akhir
DAFTAR PUSTAKA
http://distanak.pinrangkab.go.id/index.php/2012-04-26-13-1601/ternak/produksi-ternak
http://dkp.pinrangkab.go.id/index.php/2012-04-25-17-37-38/budidaya-lautair-payau-dan-air-tawar/88-pengembangan-sistem-kawasan-budidayalaut-air-payau-dan-air-tawar
http://perindagem.pinrangkab.go.id/index.php/2012-04-26-13-16-01/ikm/irt
Ahmad, S.N., D.D. Siswansyah, dan O.K.S. Swastika. 2004. Kajian sistem usaha
ternak sapi potong di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 7(2): 155170.
Anggraini, W. 2003. Analisis Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan
Biaya Produksi dan Tingkat Pendapatan Peternakan Menurut Skala Usaha
(Kasus di Kecamatan Were Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat).
Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi
Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat
Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Bahri, S., B. Setiadi, dan I. Inounu. 2004. Arah penelitian dan pengembangan
peternakan tahun 20052009. hlm. 610. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang, 2013. Sensus Pertanian 2013.
Bamualim, A. 1988. Peran peternakan dalam usaha tani di daerah Nusa
Tenggara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VII(3): 6974.
Batubara, L.P. 2003. Potensi integrasi peternakan dengan perkebunan kelapa
sawit sebagai simpul agribisnis ruminan. Wartazoa 13(3): 8391.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Identifikasi dan Kajian Agribisnis
Peternakan di 13 Provinsi di Indonesia. Volume III Buku I, III, dan IV,
Nexus Indo Consultama, Jakarta. hlm. 467.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta.
CV. ULFA CONSULTANT
| 134
Laporan Akhir
| 135
Laporan Akhir
| 136
Laporan Akhir
| 137
Laporan Akhir
| 138
Laporan Akhir
Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2004. Limbah padat pengolahan sawit sebagai
sumber nutrisi ternak ruminansia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 23(1): 2128.
Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2006. Pengkajian integrasi sapi potong dengan
perkebunan kelapa sawit dengan pola breeding di Kalimantan Tengah.
Laporan Akhir Hasil PengJurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 37 kajian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya.
Wijono, D.B., Maryono, dan P.W. Prihandini. 2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe
terhadap laju pertumbuhan sapi potong pada kondisi foundation stock.
hlm. 1620. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Winarso, B., R. Sajuti, dan C. Muslim. 2005. Tinjauan ekonomi ternak sapi potong
di Jawa Timur. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 23(1): 6171.
Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil dan permasalahan peternakan.
Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 4556.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004. Tinjauan kebijakan pengembangan agribisnis sapi
potong. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 2(2): 167182.
Antara M. 2006. Ekonomi dan degradasi lingkungan. J SOCA. 6(2):109-216.
Atabany A, Abdulgani IK, Sudono A, Mudikdjo K. 2010. Performa
produksi,reproduksi dan nilai ekonomis kambing peranakan etawa di
peternakan barokah. JMP. 24(2):1-7
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Bibit Kambing Peranakan Ettawa
(PE). SNI. 7325:1-5
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Laju pertumbuhan penduduk. [Internet].
[diunduh 2013 Apr 12].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas lahan pertanian Indonesia. [Internet].
[diunduh 2013 Apr 12].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia tahun 2012 Departemen
Pertanian. 2007. Road map pengembangan pertanian organik 2008-2015.
Dewi TG. 2010. Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Ternak Kambing Perah
(Studi Kasus: Peternakan Prima Fit, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Provisi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
| 139
Laporan Akhir
| 140
Laporan Akhir
Octavia I. 2010. Analisis kelayakan finansial dan strategi pemasaran susu kambing
(studi kasus: CV. Ettawa Dairy Farm, Kecamatan Megamendung,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor. Parlyna R, Munawaroh. 2011. Konsumsi pangan organik:
meningkatkan kesehatan konsumen. J Econosains. 9(2): 159
Poetryani A. 2011. Analisis perbandingan efisiensi usahatani padi organic dengan
anorganik (studi kasus: Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Prabowo A. 2010. Petunjuk teknis budidaya ternak kambing (materi pelatihan
agribisnis bagi KMPH) [ulasan].
Pramudya B, Dewi N. 1991. Ekonomi Teknik. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Priadi D, Kuswara T, Soetisna U. 2007. Padi organik versus non organik: studi
fisiologi benih padi (Oryza sativa L.) kultivar lokal Rojolele. JIPI. 9(2):133137 Pudjiono P, Julendra H, Lestari R. 2003. Implementasi sistem
pertanian terpadu untuk menanggulangi masalah lahan marginal. (Pusat
Penelitian Informatika-LIPI).
Rachmiyanti I. 2009. Analisis perbandingan usahatani padi organik metode
System of Rice Intensification (SRI) dengan padi konvensional. [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rosid M. 2009. Evaluasi kelayakan usaha ternak kabing perah Peranakan Etawa
(PE), di Peternakan Unggul, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salendu AS. 2011.
Pengembangan ternak sapi lokal berwawasan lingkungan di Sulawesi
Utara. Medan (ID): Universitas Sam Ratulangi.
Siagian G. 2011. Studi kelayakan bisnis usaha peternakan rakyat kambing perah
Peranakan Etawa di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Subagyo A. 2007. Studi Kelayakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Elex Media
Komputindo.
Sutama IK, Budiarsana IGM. 1995. Kambing Peranakan Etawah penghasil susu
sebagai sumber pertumbuhan baru sub sektor peternakan dan veteriner.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutama IK. 2008. Pemanfaatan sumberdaya ternak lokal sebagai ternak perah
mendukung peningkatan produksi susu nasional. J Wartazoa. 18(4): 214
Sutama IK. 2011. Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan
kambing perah lokal. JPIP. 4(3): 235-236
| 141
Laporan Akhir
| 142
Laporan Akhir
Lampiran :
Kegiatan Investasi
No Rencana Investasi
1
1 unit
12.000.000,00
1 set
1.000.000,00
1 unit
1.500.000,00
3 unit
20.000,00
1 unit
1.500.000,00
1 unit
125.000,00
3 unit
10.000,00
11
Pembelian terpal
62 m
8.000,00
12
500 bh
1.000,00
13
2 bh
150.000,00
14
5 bh
50.000,00
15
Pembelian gerobak
1 unit
16
Pembelian ember
4 bh
5.000,00
17
Pembelian selang
10 m
3.500,00
18
Pemasangan listrik
900 Watt
900.000,00
19
Perijinan
1 paket
250.000,00
20
Penyewaan lahan
320 m/bln
300.000,00
21
22
Pembelian solar
23
5.000.000,00
24
Upah pengelola
4 orng/bln
1.000.000,00
25
Upah buruh
1 orng/bln
500.000,00
26
Pajak penghasilan
1 thn
10 % / thn
1890 lt/thn
300.000,00
40.000,00
40.000,00
350.000,00
1.000.000,00
5.500,00
| 143