Appendisitis
Appendisitis
Appendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.
Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan.
Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.(2)
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.(2)
I. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog
dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. (2) Appendiks adalah
suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian
awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal
junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat
valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. (1) Appendiks
terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan
pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari
topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik
pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(3)
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks
penggantungnya.
Pada
kasus
selebihnya,
apediks
terletak
Promontorik
Retrocolic
biasanya retroperitoneal.
Antecaecal
Paracaecal
Pelvic descenden
Retrocaecal
Tunika mucosa
Tunika submucosa
Tunika muscularis
stratum
sirculare
sebelah
dalam
dan stratum
II. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.(2)
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.(2)
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit. (5)
III. Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan
akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.(2)
IV. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing
usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat
mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi
penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
(5,8)
dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus
apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan
sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. (5)
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal,
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. (9)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.(9)
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat. (2)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.(9)
Kecepatan
rentetan
peristiwa
tersebut
tergantung
pada
virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus
yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba,
mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini
belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun
proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau
tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar
istirahat (bedrest). (4)
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. (2)
VI. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri
berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney).
Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(2)
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5-38,5 C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi. (2)
Kelainan patologi
Peradangan awal
Apenditis mukosa
Radang di seluruh
Ketebalan dinding
genitalia
interna,
ureter,
Pendindingan (Infiltrat)
m.psoas,
Tidak berhasil
syok, toksik
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis
setelah perforasi. (2)
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan. (2)
VII. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1C.
1. Inspeksi
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur. (2)
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri. (2)
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada
pinggul / pangkal paha kanan. (11)
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). (11)
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (11)
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan
otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. (11)
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan
kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, Creaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat.
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar
20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan
cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah,
1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga
gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem
skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia,
nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas
tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri
tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah
skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
Gejala dan tanda:
Skor
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri lepas
__________________________________________________
Total skor:
10
14
56
79
: observasi
56
: antibiotic
7 10 : operasi dini
IX. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni,
rumple leed (+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ
ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan
di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadangkadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Cito
Elektif
: kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. (12)
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi
lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus
menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.(12)
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular
yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit. (2)
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
apendisitis sederhana tanpa perforasi. (13)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum. (13)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (2)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
LED
Jumlah leukosit
Massa
2. Pemeriksaan fisik :
o
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan
terapi adalah drainase.(4)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi
Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada
kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang
dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Cutis
6.
MOI
2.
Sub cutis
7.
M. Transversus
3.
Fascia Scarfa
8.
Fascia transversalis
4.
Fascia Camfer
9.
Pre Peritoneum
5.
Aponeurosis MOE
10.
Peritoneum
XI. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa
massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2)
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Perut distended
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html
2. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.
3. http://www.medicinenet.com/appendicitis/
4. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran
UNAIR. Surabaya.
5. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an
Enigma Electronic Publication.
6. Kartika, Dina, 2005. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta.