Anda di halaman 1dari 8

Berkaca Pada Sejarah, Penerimaan Islam di Nusantara

Oleh : Syeh Abidin Kobar

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa akan sejarahnya. Dengan
mempelajari sejarah, kita dapat menggali pengalaman-pengalaman masa lalu untuk masa
sekarang dan masa depan. Kesinambungan belajar dari pengalaman inilah yang dapat
menciptakan kemajuan bagi suatu bangsa. Menurut Roeslan Abdulgani, mempelajari sejarah
sama halnya dengan meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan
masyarakat pada masa lampau beserta kejadian-kejadian yang menyertainya dengan maksud
untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian tersebut, untuk selanjutnya
dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa
depan. Beberapa yang dapat kita petik dari sejarah misalnya mengenai: keberhasilan dan
kegagalan dari para pemimpin, sistem perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk
pemerintahan, dan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan manusia. Dari sejarah, kita dapat
mempelajari apa saja yang memengaruhi kemajuan dan kejatuhan sebuah bangsa atau
peradaban. Kita juga dapat mempelajari latar belakang alasan kegiatan politik, pengaruh dari
filsafat sosial, serta sudut pandang budaya dan teknologi yang bermacam-macam, sepanjang
zaman.
Sementara itu, kedudukan sejarah dalam Islam sendiri sangatlah strategis. Nilai
strategis dan kedudukan sejarah dapat kita lihat dari fungsi yang terkandung di dalamnya
(Q.S. Yusuf, 12: 111). Sejarah sebagai itibar yakni sejarah yang dalam artian mengandung
makna peringatan, tauladan atau pelajaran. Fungsi itibar sejarah yaitu mengambil, menarik
pesan-pesan (pelajaran) yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah untuk dijadikan
cermin dalam menjalani kehidupan. Karena sejarah mengandung prinsip-prinsip, nilai-nilai,
tauladan yang dapat dijadikan rujukan, serta pedoman untuk diterapkan, sesuai konteks
kehidupan yang dihadapi masa kini dan masa datang.
Bangsa Indonesia saat ini nampaknya memang harus berkaca kembali pada
sejarahnya. Salah satu problematika yang sedang dialami bangsa ini misalnya isu intoleransi
beragama. Berbagai kasus intoleransi beragama yang umumnya dilakukan oleh kaum
mayoritas kepada minoritas sering terjadi di berbagai wilayah di tanah air. Hal ini pun tentu
dapat menjadi ancaman terhadap stabilitas nasional sekaligus mencederai nilai-nilai kebhinneka-an yang menjadi identitas bagi bangsa Indonesia.

Sepertinya sudah menjadi tabiat dari manusia, menjadi suatu golongan yang
mayoritas atas golongan lain akan menimbulkan sifat kecenderungan ingin mendominasi,
merasa berkuasa atas yang lain, hingga ada daya untuk menghilangkan atau melenyapkan
keberagaman yang ada. Hal ini dapat kita lihat dari peristiwa - peristiwa sejarah umat
manusia yang kita kenal seperti misalnya pembantaian suku Indian di Amerika Utara, tragedi
Holocaust semasa NAZI berkuasa, kejahatan genosida di Bosnia hingga sekarang yang masih
terjadi seperti kekerasan pada etnis Rohingya, pengepungan Israel atas Palestina, tindakan
rasisme yang semakin meningkat dan lain sebagainya. Tentunya peristiwa-peristiwa tersebut
tidak hanya diakibatkan oleh satu hal, akan tetapi oleh berbagai faktor yang
menyebabkannya. Namun yang pasti, legitimasi mayoritas untuk melakukan tindakantindakan sewenang-wenang tersebut menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi terhadap
minoritas.
Umat Islam di Indonesia yang alhamdulillah mendapat anugerah dari Allah yang luar
biasa untuk menjadi masyarakat mayoritas di negeri ini pun tidak luput dari isu intoleransi
ini. Kasus penodaan agama, pengusiran kegiatan ibadah, pengrusakan tempat ibadah,
tindakan sweeping semena-mena, terorisme, hingga ujaran kebencian yang ditujukan
terhadap umat lain yang tentunya hal ini dapat menghancurkan perdamaian dan
keharmonisan hubungan antar masyarakat yang selama ini telah dibina di bumi Nusantara.
Seperti yang telah diuraikan di atas, nampaknya umat Islam di Indonesia saat ini memang
harus berkaca kembali kepada sejarah yang telah ditorehkan oleh para leluhur kita tentang
bagaimana proses penerimaan Islam di negeri ini yang berjalan begitu damai sekaligus hidup
berdampingan bersama umat lain dengan tetap memelihara ke-bhinneka-an yang ada hingga
akhirnya pada saat ini menjadi satu bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia.
Kehadiran Islam di Nusantara sendiri sudah berabad-abad lamanya tercatat.
Kehadirannya telah turut mewarnai khazanah kebudayaan Nusantara yang kaya. Berbagai
karya yang luar biasa dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim Nusantara. Dari
buku buku sejarah yang kita pelajari, umumnya terdapat beberapa teori mengenai proses
kedatangan Islam ke Nusantara yang hingga kini rupanya masih terus dikaji dan
diperdebatkan, baik oleh sarjana barat maupun oleh intelektual Islam itu sendiri. Sekurangkurangnya ada tiga teori yang menjelaskan mengenai asal mula kedatangan Islam di
Nusantara.
Pertama adalah teori dari Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India.
Sebenarnya teori ini telah terlebih dahulu dikemukakan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari

Universitas Leiden, namun Snouck lah yang lebih banyak mempopulerkannya. Tempattempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di
Nusantara. Dalam Larabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyatakan teori tersebut
didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam
Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan,
teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara
dengan daratan India. Teori ini banyak diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana barat
lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia atau Iran sekarang ini disebut-sebut
sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang
dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja
tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan
Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi
Tabuik, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Teori ini
menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang
dijamah adalah Samudera Pasai.
Kedua teori yang telah dikemukakan di atas mendapatkan kritikan yang cukup
signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan bahwa Islam yang
masuk ke Indonesia datang dari tanah Arab, yakni langsung dari Makkah atau Madinah.
Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke- 12 ataupun 13, melainkan pada awal abad ke7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad pertama hijriah,
bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Penyebaran Islam kemungkinan besar
telah memulai ekspedisinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah
berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampunganperkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk
lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim. Hal ini juga bisa dilacak dari catatan
para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orangorang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India.
Dari beberapa teori tersebut dapat dipahami bahwa kapan kedatangan Islam di
Nusantara masih diperdebatkan. Awal abad pertama hijriyah atau abad ketujuh masehi sudah
ada orang Arab di Nusantara. Para saudagar muslim tersebut telah berinteraksi dengan
masyarakat lokal melalui perdagangan. Hingga tampaknya, pada abad ke 13 masehi Islam

sudah mulai menyebar, dapat dibuktikan dengan munculnya kerajaan Islam yang telah berdiri
di Sumatera, yakni Samudera Pasai. Kemudian setelah itu, Islam terus menyebar ke berbagai
penjuru kepulauan di Indonesia. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana Islam,
agama yang baru dikenal begitu mudah diterima oleh masyarakat dan betapa pesatnya
perkembangan Islam di Nusantara, bahkan tanpa ada kekerasan atau usaha kolonisasi
kekuasaan.
Islam datang ke Nusantara diawali dengan ekspedisi perdagangan dengan jalan damai,
bukan melalui peperangan maupun pemaksaan. Penerimaan Islam melalui beberapa jalur
sebagaimana dijelaskan oleh Musyrifah Sunanto antara lain: melalui perdagangan oleh para
pedagang muslim yang berinteraksi dengan penduduk lokal, dilakukan oleh para muballigh
yang datang bersama para pedagang, melalui perkawinan, ataupun melalui para sufi
pengembara yang datang dengan tarekatnya menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
Nusantara. Proses penerimaan Islam ini bagaikan arus yang bergelombang menghantam
pantai, memasuki pesisir kepulauan-kepulauan secara damai dan bertahap, mengikuti hilir
mudiknya para pedagang, pengaruh dan penyebarannya begitu efektif sekali. Hal ini
dikarenakan metode dalam berdakwah dan perilaku para dai muballigh yang sangat
bersahabat kepada masyarakat. Sehingga banyak orang yang dengan begitu saja masuk
agama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, bahkan sebelum mempelajari syariatnya
karena saking terpesona oleh ajarannya, ditambah pula sikap masyarakat yang tanpa berpikir
panjang, cukup dengan melihat dan mengamati tingkah laku yang diamalkan oleh pendatang
muslim dengan ajarannya mengenai aqidah dan akhlak mulia yang dijunjung tinggi. Hal ini
menyebabkan masyarakat berbondong-bondong masuk Islam untuk mengangkat harkat dan
martabatnya sebagai pribumi dan Islam menjadi solusi atas berbagai problematika hidup yang
dihadapi mereka.
Penerimaan agama Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua
pola yang berbeda. Pertama, agama Islam diterima terlebih dahulu/ bermula dari kalangan
masyarakat lapisan bawah seperti pedagang, petani, nelayan dan sebagainya, kemudian
berkembang pesat dan baru diterima oleh kalangan elit penguasa/ kerajaan. Kedua, Islam
diterima langsung oleh elit penguasa sehingga masyarakat kalangan bawah pun umumnya
cenderung mengikuti apa yang dikehendaki oleh raja atau penguasa. Selain itu, di tiap daerah
di Nusantara, penyebaran Islam juga memiliki ciri khasnya masing - masing. Inilah yang
menyebabkan mengapa Islam Nusantara itu dikenal moderat, karena Islam masuk dengan
cara damai, bukan dengan jalan kekerasan atau paksaan. Islam Nusantara dikenal fleksibel,
cenderung beradaptasi dan terbuka dengan budaya - budaya yang ada di masyarakat. Inilah

yang menyebabkan mengapa proses Islamisasi di Nusantara berjalan secara damai dan
efektif, dan ajaran - ajaran Islam dapat ditanamkan di masyarakat tanpa meninggalkan
identitas budayanya sendiri.
Hal ini sebagaimana metode penyebaran Islam yang dilakukan oleh Walisongo.
Dalam berdakwah, mereka menggunakan pendekatan sinkretis dan juga akulturatif, yaitu
dengan menggunakan lambang-lambang dan lembaga-lembaga budaya yang telah ada
kemudian diisi dengan ajaran Islam sehingga mudah dicerna dan ajarannya sampai pada
masyarakat awam. Metode dakwah mereka misalnya antara lain adalah apa yang dilakukan
oleh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal sebagai Sunan Gresik. Beliau dianggap sebagai
pelopor penyebaran agama Islam oleh para wali di tanah Jawa. Memulai dakwah dari desa
Leran di Gresik, beliau bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani. Keahlian beliau
bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Beliau juga dipercaya
sebagai ahli tata negara yang dikagumi oleh kalangan bangsawan. Beliau pula lah yang
dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.
Selanjutnya ada Sunan Kudus atau Jafar Shadiq, seorang wali yang sangat gigih
dalam syiar Islam. Beliau bersyiar di tempat yang dinamainya dengan Kota Kudus. Strategi
syiar yang dikembangkan, terutama adalah dengan pendekatan sosio-kultural dan religi.
Pendekatan religi ditempuh dengan cara mengakomodasi unsur nilai kepercayaan pra-Islam
dalam nilai kepercayaan Islam. Ajaran Islam di tangan Walisongo, termasuk Sunan Kudus,
tetap menyediakan raung bagi kesinambungan penghayatan nilai dan praktik ritual
berdasarkan tradisi lama. Aspek budaya dan spiritual seperti itulah yang melatarbelakangi
perwujudan budaya fisik, struktur dan bentuk estetis situs Masjid Menara Kudus, sehingga
mengambil dan memadukan berbagai unsut tradisi seni bangun dan seni hias pra- Islam,
terutama Hindu. Dengan demikian masyarakat tidak segan jika ingin masuk ke dalam masjid,
karena seolah ini adalah tempat yang disediakan bagi mereka juga. Inilah indahnya kebhinneka-an jika keberagaman tidak untuk dilenyapkan, justru dirawat, dikembangkan, dan
dilestarikan sebagai warisan budaya yang amat luhur
Dan tidak lupa pula, adalah salah satu wali yang juga sangat berpengaruh dan
memiliki andil besar dalam keragaman atas khazanah kebudayaan Jawa ialah Raden Syahid
atau Sunan Kalijaga. Beliau adalah murid dari Sunan Bonang, yang berdakwah dengan
mengembara di sekitar Jawa Tengah. Beliau tercatat paling banyak menghasilkan karya seni
berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali lain pun juga turut mencipta), baju
takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan Yogyakarta. Beliau
juga membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan sebuah hiburan

masyarakat yang paling dinanti pada masa itu. Sunan Giri pun sempat menentangnya karena
wayang beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam.
Sunan Kalijaga akhirnya mengkreasikan wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk
manusia utuh sehingga terciptalah wayang seperti sekarang ini yang memiliki nilai seni yang
sangat tinggi. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga
dalam upaya dakwahnya untuk lebih dekat dengan rakyat.
Selain wali wali yang telah disebutkan diatas masih ada pula wali lain seperti Sunan
Ampel yang menyiarkan Islam di Ampel, beliau juga merupakan perancang pembangunan
Masjid Demak. Sunan Bonang putra dari Sunan Ampel yang menyiarkan Islam di Tuban,
Lasem, dan Rembang, seorang wali yang arif bijaksana. Sunan Derajad yang juga putra dari
Sunan Ampel, menyiarkan agama di sekitar Surabaya, seorang wali yang memiliki jiwa sosial
yang sangat tinggi. Lalu ada Sunan Giri, menyiarkan Islam di timur Nusantara, berdakwah
dengan metode bermain. Ada juga Sunan Muria, berdakwah di sekitar lereng Gunung Muria,
seorang yang sangat dekat dengan rakyat jelata. Dan Sunan Gunung Jati, yang menyiarkan
Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon, seorang pemimpin yang memiliki jiwa besar.
Cara berdakwah seperti inilah yang cocok dengan masyarakat Indonesia. Para wali
tidak secara serampangan menganggap sesat, mengkafirkan, dan melarang apa yang telah
menjadi kebiasaan masyarakat, namun justru menjadikan kebiasaan tersebut menjadi suatu
metode dakwah yang sangat efektif dengan mengubahnya sedemikian rupa sehingga tetap
sesuai dengan apa yang telah disyariatkan di dalam agama Islam. Sehingga dalam kehidupan
bermasyarakat, umat Islam dapat hidup berdampingan dengan umat lain, bahkan menjadikan
Islam sebagai solusi kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai dan berkeadilan. Hal ini
pula yang mendorong terwujudnya kerajaan Islam pertama di Jawa yang diprakarsai oleh
Walisongo sehingga berdirilah Kesutanan Demak Bintoro yang menorehkan tinta emas
peradaban di Nusantara dengan masyarakatnya yang majemuk.
Inilah Islam yang relevan dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Islam yang
bersifat moderat, hal ini membuat stabilitas negara tetap terjaga. Umat yang saling
mengayomi dan menjaga toleransi ditengah masyarakat yang majemuk di Indonesia.
Keragaman yang menjadi ciri yang melekat pada bangsa Indonesia adalah suatu karunia dari
Allah yang harus dijaga dan jangan sampai hal tersebut menjadikan perpecahan diantara
masyarakat. Sebagai bangsa Indonesia kita harus bersama-sama menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa untuk mencapai cita cita bersama yakni bangsa Indonesia yang bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.

Umat Islam sebagai mayoritas penduduk di Indonesia harus menjadi contoh, teladan,
panutan bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa Islam itu mengayomi semua, Islam
adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta. Dalam agama Islam pun
diajarkan untuk mengasihi semua makhluk Allah, tidak peduli bahwa itu manusia atau
binatang, orang baik atau orang jahat, muslim, maupun nonmuslim. Allah saja membagikan
rezekinya kepada semua makhluk di alam semesta, tidak peduli apakah mereka beriman
kepadanya ataupun mengingkarinya, karena di dunia ini semua orang mendapatkan
kesempatan yang sama untuk menggapai akhirat-Nya, tinggal bagaimana kehendak Allah
untuk memberikan hidayah-Nya pada orang orang yang dikehendakinya.
Sebagai kesimpulan akhir, marilah kita, sebagai bangsa Indonesia berkaca kembali
kepada sejarah kita dulu. Islam mampu menerangi bumi Nusantara karena Islam hadir
sebagai solusi bagi masyarakat Nusantara, bukan sebagai alasan untuk menyebabkan
permasalahan baru di masyarakat. Islam melindungi hak setiap orang dan mengatur
bagaimana tata perilaku dan etika seorang muslim terhadap sesama maupun antar umat
beragama. Islam mampu mengayomi dan melindungi, bukan terkhusus pada umat muslim
saja namun juga pada seluruh lapisan masyarakat. Islam itu indah, keindahannya membuat
terpesona siapa saja yang bersentuhan dengannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bahasan, Ibnu. 2010. Halumma Ila Mardhatillah (Mari Menuju Ridha Allah) Islam: Lintasan
Sejarah Negara, Bangsa, dan Bahasa. Jakarta: Mara Media Publishing.
Darban, A. Adaby. 2004. Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah. Humaniora. 16(1):27-34.
Maarif, Ahmad Syafii. 1999. Benedetto Croce (1866 1952) dan Gagasannya Tentang
Sejarah. Humaniora. 10.
Suratno, dkk. 2003. Religious Pluralism In The Thought Of John Hick (1922 - ...).
Sosiohumanika. 16A(3).
Hidayah, Sita. 2012. The Politics of Religion The Invention of Agama in Indonesia.
Kawistara. 2(2):105-224.
Mirhan. Proses Dakwah Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Sejarah). http://www.
dokumenpemudatqn.com/2012/05/proses-dakwah-islam-di-indonesia-sebuah.html.
Diakses pada 29 Desember 2016.
Supatmo, dkk. 2005. Seni Bangun Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya.
Humanika. 18(4).
Utomo, Imam Budi, dkk. 2005. Siti Jenar: Perebutan Hegemoni Agama dan Kekuasaan di
Jawa. Humanika. 18(3).
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai