Anda di halaman 1dari 93

Modul Pembukuan dan Penyusunan LPJ Bendahara (MPPLB)

MPPLB : BAB I PENDAHULUAN


BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Reformasi di bidang keuangan negara ditandai dengan diterbitkannya tiga paket undangundang, yaitu
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1
Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Reformasi tersebut menyangkut seluruh aspek di
bidang
keuangan negara, termasuk pengelolaan uang di bendahara.
Sebelum reformasi di bidang keuangan negara, meskipun bendahara telah dinyatakan sebagai
pejabat
fungsional, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya bendahara sangat dipengaruhi oleh atasan
langsung atau
kepala satuan kerja. Setelah reformasi, terdapat kejelasan mengenai wewenang dan tanggung
jawab
serta hubungan bendahara dengan Kuasa Pengguna Anggaran dan Kuasa Bendahara Umum
Negara
dalam hal pengelolaan uang. Bahkan dalam pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004
dinyatakan dengan tegas bahwa bendahara wajib menolak perintah bayar dari Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan tidak terpenuhi. Selain itu,
bendahara
bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakan dan secara fungsional
bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara Umum Negara.
Bendahara selaku pejabat fungsional yang bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara
wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan seluruh uang negara yang dikelolanya.
Disamping itu, bendahara selaku pejabat yang diangkat oleh Menteri/pimpinan lembaga juga
wajib
membukukan seluruh transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran satuan kerja
sebagaimana tertuang
dalam DIPA. Oleh karena itu berbeda dengan laporan yang dihasilkan Unit Akuntansi Kuasa
Pengguna
Angaran (UAKPA), pembukuan bendahara akan menghasilkan laporan keadaan kas dan
realisasi
belanja yang sesungguhnya. Laporan ini merupakan managerial report yang sangat berguna
untuk
pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari bagi pimpinan.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud: untuk memberikan pedoman bagi pejabat/pegawai Kanwil

DJPBN, KPPN, dan bendahara dalam pelaksanaan penatausahaan dan pertanggungjawaban


atas
pengelolaan uang oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan APBN.
2. Tujuan: agar pelaksanaan penatausahaan/pengelolaan kas di bendahara
dilakukan dengan transparan dan sesuai ketentuan yang berlaku serta laporan
pertanggungjawaban yang
disusun bendahara akurat, akuntabel dan dapat disampaikan tepat waktu.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup modul ini meliputi pembukuan, penyusunan, dan penyampaian Laporan
Pertanggungjawaban oleh Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran pada
Kementerian
Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, termasuk Bendahara Pengeluaran Pembantu. Selain
itu, modul
ini juga meliputi proses dan verifikasi Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan
dan
Bendahara oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.

MPPLB : BAB II JENIS DAN TUGAS POKOK BENDAHARA


BAB II JENIS DAN TUGAS POKOK BENDAHARA
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 35 ayat (2) disebutkan bahwa setiap
orang yang
diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat
berharga atau
barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban
kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 pasal 1 nomor
urut 14
menyebutkan bahwa bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan
atas nama
Negara/daerah menerima, menyimpan, membayar, dan atau mengeluarkan uang/surat
berharga/barangbarang
milik Negara/daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 pasal 3 ayat (4)
menyebutkan bahwa Bendahara Penerimaan/Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang
secara
fungsional bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara Umum Negara atas pengelolaan
uang yang
menjadi tanggung jawabnya.
Dari pengertian bendahara tersebut di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa
bendahara
mempunyai tugas dan fungsi:
1. Menerima uang atau surat berharga/barang.
2. Menyimpan uang atau surat berharga/barang.
3. Membayar/menyerahkan uang atau surat berharga/barang.
4. Mempertanggungjawabkan uang atau surat berharga/barang yang berada

dalam pengelolaannya.
Berdasarkan ruang lingkup tugas dan wewenang yang ada pada bendahara maka dikenal ada
dua jenis
bendahara yaitu Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran. Selain itu, untuk
aktivitas
pekerjaan yang kompleks dan lokasinya berjauhan dengan tempat kedudukan Bendahara
Pengeluaran
maka Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberi kuasa dapat mengangkat satu atau
lebih
Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) guna kelancaran pelaksanaan kegiatan di maksud.
Penjelasan
jenis-jenis bendahara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bendahara Penerimaan
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 pasal 1
angka 15
dinyatakan bahwa Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan,
menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara
dalam rangka
pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga. Oleh karena itu,
semua
transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja yang berada di bawah
pengelolaannya harus dicatat dalam pembukuan Bendahara Penerimaan.
2. Bendahara Pengeluaran
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 pasal 1
angka 16
dinyatakan bahwa Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan
belanja negara
dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga.
Oleh karena
itu semua transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran satuan kerja yang berada di bawah
pengelolaannya harus dicatat dalam pembukuan Bendahara Pengeluaran.
3. Bendahara Pengeluaran Pembantu
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 pasal 1
angka 17
dinyatakan bahwa Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disebut BPP adalah
bendahara
yang bertugas membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada
yang berhak
guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. BPP juga wajib melakukan pembukuan atas
seluruh
uang yang berada dalam pengelolaannya, dan oleh karena itu BPP wajib melakukan
pembukuan
sebagaimana pembukuan yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran, sepanjang tidak diatur
lain.
Dalam melaksanakan tugasnya, BPP bertindak untuk dan atas nama Bendahara Pengeluaran.
Dengan
diangkatnya BPP dalam suatu satker, maka Bendahara Pengeluaran melimpahkan kewajiban

dan
tanggung jawab pengelolaan sebagian uang kepada BPP tersebut.
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran diangkat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga pada setiap
awal tahun
anggaran. Bendahara menjalankan tugas-tugas kebendaharaan yang meliputi kegiatan
menerima,
menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatusahakan dan mempertanggungjawabkan
uang dan
surat berharga yang berada dalam pengelolaannya pada Kementerian Negara/Lembaga/
Kantor/Satuan
Kerja. Meskipun diangkat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, namun secara fungsional
bendahara tetap
bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN). Dalam
pelaksanaan
tugasnya tersebut, dilarang adanya jabatan rangkap antara Bendahara Penerimaan dan
Bendahara
Pengeluaran, kecuali dalam kondisi tertentu setelah memperoleh ijin dari BUN/Kuasa BUN.
Dalam
rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya, Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dan
BPP
membuka rekening pada bank/pos atas nama jabatannya, bukan atas nama pribadi.
Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa PA dan atau bendahara merupakan wajib pungut atas
transaksi/kegiatan yang membebani APBN. Hasil pungutan/penerimaan yang dikelola oleh
bendahara
tidak dapat digunakan secara langsung untuk membiayai kegiatan untuk satuan kerja
bersangkutan,
kecuali diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakan dan
bertanggung
jawab hanya sebatas pada uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBN. Dalam
rangka
pertanggungjawaban tersebut, bendahara wajib melakukan pembukuan baik secara manual
maupun
menggunakan program komputer. Pembukuan bendahara diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan
Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan
Penyusunan
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan
Kerja dan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: PER-47/PB/2009 tanggal 10 November
2009
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja.

MPPLB : BAB III : BENDAHARA PENERIMAAN


BAB III
BENDAHARA PENERIMAAN

A. PENATAUSAHAAN KAS
Setiap Penerimaan pada dasarnya harus secara langsung disetor ke rekening
kas negara. Dengan demikian, Bendahara Penerimaan sebagaimana dijelaskan dalam
Bab II, dilarang menerima secara langsung setoran penerimaan dari wajib setor,
kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang diatur secara khusus dan telah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan. Apabila Bendahara Penerimaan tersebut menerima
secara langsung setoran penerimaan dari wajib setor, maka Bendahara Penerimaan
wajib menyetorkan seluruh penerimaannya ke kas Negara paling lambat satu hari
kerja, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang berdasarkan ketentuan yang
berlaku, penyetorannya dilakukan secara berkala. Penyetoran penerimaan oleh
Bendahara Penerimaan baik secara berkala maupun harian ke kas negara dilakukan
dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP).
Bendahara yang melakukan penyetoran secara berkala, wajib menyimpan uang
setoran penerimaan dari wajib setor pada rekening bank/pos atas nama jabatannya
(bukan atas nama pribadi). Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Penerimaan wajib
menyetorkan seluruh uang negara yang dikuasainya ke kas negara.
Bendahara Penerimaan wajib melakukan pembukuan atas seluruh penerimaan
dan pengeluaran/penyetoran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan
kerja yang berada di bawah pengelolaannya.
B. TATA CARA PEMBUKUAN
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Bendahara Penerimaan wajib
mencatat semua transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan
kerja yang berada di bawah pengelolaannya, maka dokumen sumber pembukuannya
dibukukan sebagai berikut:
1. Rencana Penerimaan yang tertuang dalam DIPA, dibukukan di sisi debet dan
kredit (in-out) pada Buku Kas Umum serta dicatat sebagai target penerimaan pada
Buku Pengawasan Anggaran Pendapatan.
2. Surat Bukti Setoran (SBS) yang merupakan tanda terima dari Satker/Bendahara
Penerimaan kepada wajib setor, dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu berkenaan, dan dibukukan secara
akumulatif pada kolom MAP sesuai MAP berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran Pendapatan.
3. SSBP yang dinyatakan sah yang merupakan setoran bendahara ke kas negara
sehubungan dengan penerimaan SBS tersebut pada butir 2 di atas, dibukukan di
sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu
berkenaan, serta dibukukan sebagai penyetoran pada Buku Pengawasan
Anggaran Pendapatan.
4. SSBP yang dinyatakan sah yang merupakan setoran langsung wajib setor ke kas
negara, dibukukan di sisi Debet dan sisi Kredit (in-out) pada Buku Kas Umum,
serta dicatat pada kolom sesuai MAP berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran Pendapatan dan sekaligus berfungsi sebagai penyetoran pada Buku
Pengawasan Anggaran Pendapatan.
5. Pada dasarnya bendahara wajib membukukan dan mempertanggungjwabkan
seluruh uang yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung kemungkinan
adanya penerimaan bendahara di luar aktivitas tersebut di atas, pembukuan
dilakukan sebagai berikut:

a. Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku
Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
b. SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan lainlain,
dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan
Buku Pembantu Lain-lain.

MPPLB : BAB IV BENDAHARA PENGELUARAN


BAB IV
BENDAHARA PENGELUARAN
A. BENDAHARA PENGELUARAN YANG TIDAK MEMPUNYAI BPP
1. Pengelolaan Kas UP/TUP
Pada setiap awal tahun anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP) kepada
Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar (PPSPM). Selanjutnya, atas dasar SPP-UP
tersebut, PPSPM akan menerbitkan SPM-UP dan menyampaikannya kepada Kantor
Pelayanan Perbendaharaan (KPPN). KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D) berdasarkan SPM-UP dimaksud. Dengan telah diterbitkannya SP2D-UP,
maka secara otomatis rekening Bendahara Pengeluaran akan terisi sejumlah nilai
dalam SP2D berkenaan. Uang Persediaan (UP) merupakan uang muka kerja yang
akan digunakan oleh KPA untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan
operasional kantor sehari-hari.
Apabila UP yang ada diperkirakan tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan
yang telah direncanakan dalam bulan berkenaan, maka KPA dapat mengajukan SPP
Tambahan Uang Persediaan (SPP-TUP), setelah memperoleh ijin prinsip sesuai
ketentuan yang berlaku dengan dilengkapi rincian rencana kebutuhan dana untuk
kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut. Seperti proses dalam pengajauan UP,
maka rekening Bendahara Pengeluaran akan bertambah sejumlah nilai yang tertuang
dalam SP2D atas SPM-TUP tersebut.
Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan Bendahara Pengeluaran harus
ditatausahakan, dicatat dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan
pembayaran dengan UP/TUP hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari
PA/KPA. Sebelum melakukan pembayaran, Bendahara Pengeluaran:
a. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diajukan oleh PA/Kuasa PA,
meliputi kuitansi/tanda terima, faktur pajak, dan lain-lain dokumen yang menjadi
dasar hak tagih;
b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran, termasuk perhitungan pajak dan perhitungan atas kewajiban lainnya
yang berdasarkan ketentuan dibebankan kepada pihak ketiga; dan
c. Menguji ketersediaan dana, meliputi pengujian kecukupan pagu/sisa pagu DIPA
untuk jenis belanja yang dimintakan pembayarannya.
Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah pembayaran apabila
persyaratan pada huruf a sampai dengan c di atas tidak dipenuhi. Dalam hal semua
syarat-syarat pada huruf a sampai dengan c dipenuhi maka Bendahara Pengeluaran
melakukan pembayaran sesuai dengan besarnya tagihan yang diajukan.
Atas pembayaran yang dilakukannya, Bendahara Pengeluaran sebagai wajib
pungut wajib memungut pajak-pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.
Bukti-bukti pembayaran selanjutnya disampaikan kepada Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) untuk dikumpulkan dan diajukan penggantian dana persediaannya


(GUP), sehingga uang UP nantinya akan berdaur ulang (revolving). Pada akhir tahun
anggaran, Bendahara Pengeluaran wajib menyetorkan sisa UP/TUP yang berada
dalam pengelolaannya ke kas negara.
2. Pengelolaan Kas Selain UP/TUP
Disamping mengelola uang persediaan, Bendahara Pengeluaran juga
mengelola uang yang berasal dari SP2D-LS yang ditujukan kepadanya, pajak-pajak
dari potongan pembayaran yang dilakukannya dan sumber penerimaan lainnya yang
menjadi hak negara.
Potongan pajak-pajak dan penerimaan lainnya tidak dapat digunakan langsung
untuk melakukan pembayaran. Pajak-pajak dan penerimaan lainnya tersebut harus
disetor ke kas negara dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan. Surat
Setoran Pajak (SSP) digunakan untuk penyetoran pajak, Surat Setoran Pengembalian
Belanja (SSPB) digunakan untuk penyetoaran pengembalian belanja tahun anggaran
berjalan, dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) digunakan untuk penyetoran
penerimaan lainnya.
SP2D-LS Bendahara harus dibayarkan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
yang berhak menerimanya. Apabila penerima pembayaran tidak menunaikan haknya,
maka atas uang yang tidak diambil tersebut disetorkan ke kas negara dengan
menggunakan formulir SSPB. Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Pengeluaran
wajib menyetorkan semua uang yang berada dalam pengelolaannya ke kas Negara.
3. Pembukuan Bendahara Pengeluaran
Berdasarkan aktivitasnya, dokumen sumber pembukuan Bendahara
Pengeluaran, dapat dibedakan dalam 5 (lima) kelompok, yaitu:
a. Aktivitas penerbitan SPM oleh Kuasa PA;
b. Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari Uang Persediaan;
c. Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari SPM-LS yang ditujukan
kepada bendahara (selanjutnya disebut SPM-LS Bendahara);
d. Aktivitas Lainnya.
Berikut petunjuk pembukuan dokumen sumber pembukuan Bendahara
Pengeluaran, dalam Buku Kas Umum dan Buku-buku Pembantu berdasarkan
kelompok aktivitas tersebut di atas.
3.a. Aktivitas Penerbitan SPM oleh Kuasa Pengguna Anggaran
1) Pagu DIPA yang telah mendapat pengesahan, merupakan Pagu Anggaran
tertinggi yang disediakan untuk satuan kerja, dibukukan di sisi debet dan
kredit (in-out) pada Buku Kas Umum dan dicatat sesuai MAK berkenaan pada
Buku Pengawasan Anggaran Belanja.
2) SPM-LS kepada pihak ketiga/rekanan yang dinyatakan sah adalah realisasi
belanja yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dan mengurangi/
membebani Pagu Anggaran yang disediakan dalam DIPA. Pelaksanaan
pembayaran atas SPM jenis ini, dilakukan langsung dari kas negara kepada
pihak ketiga/rekanan. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet dan sisi
kredit (in-out) pada Buku Kas Umum dan dicatat sebagai pengurang pagu
pada kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran
Belanja.
3) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) yang dinyatakan sah
merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai bukti penyediaan Uang
Persediaan dari KPPN kepada Kuasa PA melalui Bendahara Pengeluaran.
Dibukukan:
a) Sebesar nilai bruto di sisi debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu

Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan;


b) Sebesar nilai potongan (jika ada) di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
4) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) yang
dinyatakan sah merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai bukti
penyediaan tambahan Uang Persediaan dari KPPN kepada Kuasa PA melalui
Bendahara Pengeluaran. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet pada
Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang
Persediaan.
5) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GUP) yang
dinyatakan sah merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai sarana
pengisian kembali/revolving Uang Persediaan. Dibukukan:
a) sebesar nilai bruto di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu
Kas, Buku Pembantu Uang Persediaan, dan dibukukan sebagai
pengesahan pada Buku Pengawasan Anggaran Belanja;
b) sebesar nilai potongan (jika ada) dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
Sebagai catatan: potongan pada SPM-GUP terjadi apabila sisa Pagu
Anggaran yang tersedia pada DIPA terbatas, sehingga tidak memungkinkan
pemberian/revolving uang persediaan sepenuhnya. Dalam hal ini, maksimal
pemberian uang persediaan sebesar sisa Pagu Anggaran dalam DIPA,
terhadap selisihnya (nilai bruto SPM-GUP dikurangi sisa pagu) dinyatakan
sebagai setoran/potongan atas Uang Persediaan terdahulu.
6) SPM-GUP Nihil yang dinyatakan sah merupakan dokumen sumber sebagai
bukti pengesahan belanja yang menggunakan Uang Persediaan/Tambahan
Uang Persediaan. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet dan sisi kredit
(in-out) pada Buku Kas Umum, dan dibukukan sebagai pengesahan pada
Buku Pengawasan Anggaran Belanja.
7) SPM-LS Bendahara yang dinyatakan sah, adalah realisasi belanja yang
dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dan mengurangi/ membebani
Pagu Anggaran yang disediakan dalam DIPA. Pelaksanaan pembayaran atas
SPM jenis ini, dilakukan dari Kas negara kepada pegawai/pihak ketiga melalui
Bendahara Pengeluaran. Dibukukan:
a) sebesar nilai bruto di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu
Kas, Buku Pembantu LS-Bendahara, dan dicatat sebagai pengurang
pagu pada kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran Belanja;
b) sebesar nilai potongan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum dan di sisi
Kredit pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
3.b. Aktivitas Pembayaran atas Uang yang Bersumber dari Uang Persediaan.
1) Pembayaran atas uang persediaan dilakukan setelah kewajiban pihak
terbayar/pihak ketiga dilaksanakan. Selanjutnya bendahara wajib meminta
kuitansi/bukti pembayaran sebesar nilai bruto dan faktur pajak (bila
disyaratkan) serta mengembalikan faktur pajak yang telah disahkan oleh
bendahara kepada pihak terbayar/pihak ketiga. Kuitansi/bukti pembayaran
dan faktur pajak/bukti pungutan pajak dibukukan:
a) sebesar nilai bruto kuitansi/bukti pembayaran di sisi Kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu Uang Persediaan, dan
dicatat sebagai pengurang pagu pada kolom mata anggaran berkenaan
pada Buku Pengawasan Anggaran Belanja.

b) sebesar nilai faktur pajak/bukti pungutan pajak di sisi Debet pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
2) Setoran atas sisa uang persediaan ke Kas negara dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran pada akhir kegiatan atau akhir tahun anggaran dengan
menggunakan SSBP. Sedangkan setoran atas pungutan pajak dilakukan
segera setelah dilakukan pungutan/potongan dengan menggunakan SSP.
SSBP dan SSP dibukukan:
a) SSBP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
b) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
3.c. Aktivitas Pembayaran atas Uang yang Bersumber dari SPM-LS Bendahara.
1) Pada dasarnya dengan SPM-LS Bendahara pemotongan kepada pihak
terbayar telah dilakukan pada saat penerbitan SPM dimaksud. Oleh karena
itu, pelaksanaan pembayaran dilakukan atas nilai netto berdasarkan daftar
yang sudah dibuat. Demikian juga penyetoran atas sisa SPM-LS Bendahara
ke Kas negara dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran dengan menggunakan
SSPB sebesar nilai netto, hal mana terjadi apabila setelah waktu tertentu
pihak yang dituju tidak mengambil uang dimaksud. Pembukuan atas bukti
pembayaran dan SSPB dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran dibukukan di sisi Kredit pada
Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LSBendahara.
b) SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
2) Dalam hal SPM-LS Bendahara tidak mencakup pemotongan pajak pihak
terbayar, bendahara wajib melakukan pemotongan pajak dimaksud pada saat
pelaksanaan pembayaran. Pembukuan dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran (bruto) dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LSBendahara.
b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, di sisi debet pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu
Pajak.
c) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
3.d. Aktivitas Lainnya.
Pada dasarnya bendahara wajib membukukan dan mempertanggungjawabkan
seluruh uang yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung
kemungkinan adanya penerimaan bendahara di luar aktivitas tersebut di atas,
pembukuan dilakukan sebagai berikut:
1. Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
2. SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan
lain-lain, dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas,
dan Buku Pembantu Lain-lain.
B. BENDAHARA PENGELUARAN YANG MEMPUNYAI BPP.
Pembukuan Bendahara Pengeluaran yang mempunyai BPP pada dasarnya
tidak berbeda dengan pembukuan Bendahara Pengeluaran yang tidak mempunyai
BPP. Untuk Bendahara Pengeluaran yang mempunyai BPP ditambah dengan
pembukuan sebagai berikut:
1. Penyaluran Dana dari Bendahara Pengeluaran Kepada BPP.

Sehubungan dengan fungsi BPP selaku pembantu Bendahara Pengeluaran,


maka penyaluran dana kepada BPP (baik yang bersumber dari UP maupun SPMLS
Bendahara) pada dasarnya belum merupakan belanja/pengeluaran kas bagi
Bendahara Pengeluaran. Dengan demikian, kas pada BPP masih merupakan uang
yang harus dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran. Pembukuannya
adalah sebagai berikut:
a. Sebesar tanda terima/bukti transfer kepada BPP di sisi debet dan sisi kredit
pada Buku Kas Umum, di sisi kredit pada Buku Pembantu Kas dan di sisi debet
pada Buku Pembantu BPP.
b. Pengembalian sisa Uang Persediaan dari BPP ke Bendahara Pengeluaran
dibukukan melalui LPJ-BPP, dibukukan di sisi debet dan sisi kredit pada buku
kas umum, disisi debet pada buku pembantu kas dan sisi kredit pada buku
pembantu BPP.
2. LPJ-BPP sebagai dokumen sumber.
Berdasarkan ketentuan, bendahara wajib melakukan pembukuan atas dasar
transaksi dan mempertanggungjawabkannya. Oleh karena itu selaku bendahara,
BPP melakukan pembukuan atas transaksi yang dilakukannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada Bendahara Pengeluaran dalam bentuk LPJBPP.
Selanjutnya dalam kaitan penyaluran dana kepada BPP, LPJ-BPP menjadi
dokumen sumber pembukuan bagi Bendahara Pengeluaran. Adapun
pembukuannya sebagai berikut:
a. Dana UP.
1) Belanja yang dilakukan oleh BPP atas Uang Persediaan, sebesar jumlah
nilai pengurangan menurut MA dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu BPP, Buku Pembantu UP, dan dicatat sebagai
pengurangan pagu dalam kolom mata anggaran berkenaan pada Buku
Pengawasan Anggaran Belanja.
2) Transfer ke Bendahara Pengeluaran (pengembalian sisa Uang Persediaan
dari BPP ke Bendahara Pengeluaran) sebesar jumlah pengurangan/transfer
dibukukan di sisi debet dan sisi kredit (in-out) pada Buku Kas Umum, di sisi
debet pada Buku Pembantu Kas dan di sisi kredit pada Buku Pembantu
BPP.
b. Dana LS-Bendahara.
1) Pembayaran (yang dilakukan oleh BPP) atas dana yang bersumber dari
SPM-LS Bendahara, sebesar jumlah pengurangan/pembayaran dibukukan
di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku
Pembantu LS-Bendahara.
2) Setoran ke Kas Negara (yang dilakukan oleh BPP) atas sisa dana yang
bersumber dari SPM-LS Bendahara, sebesar jumlah pengurangan/setoran
dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu BPP, dan
Buku Pembantu LS-Bendahara.
c. Dana Pajak.
Pungutan pajak atas belanja/pembayaran yang dilakukan oleh BPP dibukukan:
1) Sebesar jumlah penambahan dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Pajak.
2) Sebesar jumlah pengurangan dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Pajak.
d. Dana Lain-lain.
1) Sebesar jumlah penambahan dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Lain-lain.

2) Sebesar jumlah pengurangan dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas


Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Lain-lain.
Catatan:
Bukti-bukti pengeluran dan bukti-bukti setor disampaikan kepada Pejabat Penerbit
SPM sebagai bahan penguji atas SPP yang diajukan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen.
Sebelum melakukan pembukuan atas LPJ-BPP, Bendahara Pengeluaran wajib
menguji kebenaran LPJ-BPP terkait dengan penyaluran dana dari Bendahara
Pengeluaran kepada BPP dan pengembalian sisa Uang Persediaan dari BPP
kepada Bendahara Pengeluaran. Dalam hal terjadi perbedaan Bendahara
Pengeluaran wajib melakukan konfirmasi kepada BPP (Pengujian kebenaran di sini
dimaksudkan hanya terhadap kebenaran pembebanan dan ketersediaan dananya
pada mata anggaran pengeluaran, bukan atas bukti-bukti kuitansi).
C. BENDAHARA PENGELUARAN PEMBANTU (BPP).
1. Pengelolaan Kas UP/TUP.
UP/TUP yang dikelola BPP berasal dari Bendahara Pengeluaran. Bendahara
Pengeluaran mentransfer sejumlah UP/TUP kepada BPP untuk membiayai kegiatankegiatan
yang akan dilakukan oleh BPP. UP/TUP BPP merupakan uang muka kerja
yang akan digunakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dimana BPP berada
(PPK-BPP) untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan
oleh PPK-BPP.
Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan BPP harus ditatausahakan, dicatat
dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan pembayaran dengan UP/TUP
hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari PPK-BPP. Sebelum melakukan
pembayaran, BPP:
a. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diajukan oleh PA/Kuasa PA,
meliputi kuitansi/tanda-terima, faktur pajak, dan lain-lain dokumen yang menjadi
dasar hak tagih;
b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran, termasuk perhitungan pajak dan perhitungan atas kewajiban lainnya
yang berdasarkan ketentuan dibebankan kepada pihak ketiga; dan
c. Menguji ketersediaan dana, meliputi pengujian kecukupan pagu untuk jenis belanja
yang dimintakan pembayarannya.
BPP wajib menolak perintah pembayaran apabila persyaratan pada huruf a
sampai dengan c di atas tidak dipenuhi. Dalam hal semua syarat-syarat pada huruf a
sampai dengan c dipenuhi, maka BPP melakukan pembayaran sesuai dengan
besarnya tagihan yang diajukan.
Atas pembayaran yang dilakukannya, BPP sebagai wajib pungut wajib
memungut pajak-pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku.
Bukti-bukti pembayaran selanjutnya disampaikan kepada PPK-BPP untuk
dikumpulkan dan diajukan penggantian dana persediannya (GUP) melalui PPK. Pada
akhir kegiatan/tahun anggaran, BPP wajib menyetorkan sisa UP/TUP yang berada
dalam pengelolaannya kepada Bendahara Pengeluaran.
2. Pengelolaan Kas Selain UP/TUP.
Disamping mengelola uang persediaan, BPP juga mengelola uang yang
berasal dari SP2D-LS yang ditujukan kepada Bendahara Pengeluaran namun
diteruskan kepadanya, pajak-pajak dari potongan pembayaran yang dilakukannya dan
sumber penerimaan lainnya yang menjadi hak negara.
Atas potongan pajak-pajak dan penerimaan lainnya tidak dapat digunakan

langsung untuk melakukan pembayaran. Pajak-pajak dan penerimaannya lainnya


tersebut harus disetor ke kas negara dengan menggunakan formulir yang telah
ditentukan. Surat Setoran Pajak (SSP) digunakan untuk penyetoran pajak, Surat
Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) digunakan untuk penyetoaran pengembalian
belanja tahun anggaran berjalan, dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) digunakan
untuk penyetoran penerimaan lainnya.
SP2D-LS Bendahara yang diteruskan kepada BPP harus dibayarkan oleh BPP
kepada yang berhak menerimanya. Apabila penerima pembayaran tidak menunaikan
haknya, maka atas uang yang tidak diambil tersebut disetorkan ke kas negara dengan
menggunakan formulir SSPB. Pada akhir tahun anggaran, BPP wajib menyetorkan
semua uang yang berada dalam pengelolaannya ke kas Negara (kecuali sisa UP yang
harus disetorkan ke Bendahara Pengeluaran).
3. Pembukuan BPP.
Sehubungan dengan fungsi BPP selaku pembantu Bendahara Pengeluaran,
BPP akan menerima sejumlah dana dari Bendahara Pengeluaran guna dibayarkan
kepada yang berhak. Selaku bendahara, BPP dalam melakukan pembayaran wajib
melakukan pengujian dan wajib melakukan pungutan baik pajak maupun non pajak
termasuk jasa giro.
a. Penerimaan dana dari Bendahara Pengeluaran.
Penyaluran dana dari Bendahara Pengeluaran kepada BPP dapat
bersumber dari Uang Persediaan dan dapat bersumber dari SPM-LS Bendahara.
Dalam hal setelah pelaksanaan pembayaran terdapat sisa atas dana dimaksud,
terhadap sisa dana UP dikembalikan kepada Bendahara Pengeluaran sedangkan
terhadap sisa dana SPM-LS Bendahara disetor ke Kas Negara dengan
menggunakan SSBP. Pembukuan yang dilakukan oleh BPP adalah sebagai
berikut:
1) Tanda terima/bukti transfer dari Bendahara Pengeluaran, dibukukan di sisi
debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP
dan/atau Buku Pembantu LS-Bendahara. Khusus untuk UP dicatat sebagai
pagu dalam kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran UP sesuai rencana penggunaan.
2) Pengembalian sisa UP kepada Bendahara Pengeluaran, dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan dan Buku Pembantu UP.
3) Setoran sisa dana SPM-LS Bendahara ke Kas Negara, dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS
Bendahara.
b. Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari Uang Persediaan.
1) Pembayaran atas uang persediaan dilakukan setelah dikurangi kewajiban
pihak terbayar/pihak ketiga. Selanjutnya BPP wajib meminta kuitansi/bukti
pembayaran sebesar nilai bruto dan faktur pajak serta mengembalikan faktur
pajak yang telah disahkan oleh BPP kepada pihak terbayar/pihak ketiga
sebesar kewajibannya. Kuitansi/bukti pembayaran dan faktur pajak dibukukan:
a) Sebesar nilai bruto kuitansi/bukti pembayaran dibukukan di sisi kredit pada
Buku Kas Umum dan di sisi kredit pada Buku Pembantu Kas, Buku
Pembantu Uang Persediaan, dan dicatat sebagai pengurangan pagu dalam
kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran UP.
b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum di sisi debet pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
2) Penyetoran pajak ke Kas Negara.
SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku

Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak


3) Pengembalian sisa UP kepada Bendahara Pengeluaran.
Tanda terima/bukti transfer dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP.
catatan: Sebagai wujud pertanggungjawaban kepada PA/Kuasa PA dan
sekaligus sebagai sarana revolving Uang Persediaan, Pejabat Pembuat
Komitmen menerbitkan SPP dan menyampaikannya kepada Pejabat Penerbit
SPM dengan disertai bukti-bukti pengeluaran dan bukti-bukti setor. SPP
dibukukan di sisi debet dan sisi Kredit (in-out) pada Buku Kas Umum, dan
dicatat dalam kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran UP.
c. Aktivitas pembayaran atas Uang yang bersumber dari SPM-LS Bendahara.
1) Pada dasarnya dengan SPM-LS Bendahara pemotongan kepada pihak terbayar
telah dilakukan pada saat penerbitan SPM dimaksud. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembayaran dilakukan atas nilai netto berdasarkan daftar yang
sudah dibuat. Demikian juga penyetoran atas sisa SPM-LS Bendahara ke Kas
negara dilakukan oleh BPP dengan menggunakan SSPB sebesar nilai netto, hal
mana terjadi apabila setelah waktu tertentu pihak yang dituju tidak mengambil
uang dimaksud. Pembukuan atas bukti pembayaran dan SSPB dilakukan
sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran dibukukan di sisi Kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
b) SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
2) Dalam hal SPM-LS Bendahara tidak mencakup pemotongan pajak pihak
terbayar, BPP wajib melakukan pemotongan pajak dimaksud pada saat
pelaksanaan pembayaran. Pembukuan dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran (bruto) dibukukan di sisi kredit pada
Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Pajak.
c) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Pajak.
3) Setoran sisa dana SPM-LS Bendahara ke Kas Negara
SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku
Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
d. Aktivitas Lainnya.
Pada dasarnya BPP wajib membukukan dan mempertanggungjawabkan
seluruh uang yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung kemungkinan
adanya penerimaan BPP di luar aktivitas tersebut di atas, pembukuan dilakukan
sebagai berikut:
1) Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi debet pada Buku Kas Umum, Buku
Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
2) SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan lainlain,
dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan
Buku Pembantu Lain-lain.

MPPLB : BAB V : LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA

BAB V
LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran wajib menyusun laporan
pertanggungjawaban secara bulanan atas uang yang dikelolanya. Bendahara
Pengeluaran Pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya kepada
Bendahara Pengeluaran pada setiap awal bulan.
Laporan pertanggungjawaban bendahara tersebut harus menyajikan informasi
tentang:
a. Keadaan pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo awal, penambahan,
penggunaan/pengurangan, dan saldo akhir dari buku-buku pembantu;
b. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai di brankas dan saldo
di rekening bank/pos;
c. Hasil rekonsiliasi internal (antara pembukuan bendahara dengan UAKPA); dan
d. Penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo kas.
A. TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN
LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disusun berdasarkan
buku kas umum, buku-buku pembantu dan buku pengawasan anggaran yang telah
direkonsiliasi dengan UAKPA. Disamping itu juga perlu ditambahkan bahwa LPJ
Bendahara Pengeluaran merupakan gabungan dari satu atau lebih LPJ-BPP dengan
LPJ Bendahara Pengeluaran itu sendiri.
LPJ BPP juga disusun berdasarkan Buku Kas Umum, Buku-buku Pembantu
dan Buku Pengawasan Anggaran.
B. PENYAMPAIAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN
LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disampaikan kepada:
a. Kepala KPPN yang ditunjuk dalam DIPA satuan kerjanya
b. Menteri/Pimpinan Lembaga masing-masing
c. Badan Pemeriksa Keuangan
Penyampaian LPJ tersebut dilakukan secara bulanan paling lambat tanggal 10
(sepuluh) hari kerja bulan berikutnya, disertai dengan salinan rekening koran dari
bank/pos bulan berkenaan.
LPJ BPP dikirimkan kepada Bendahara Pengeluaran induknya paling lambat 5
(lima) hari kerja bulan berikutnya disertai dengan salinan rekening koran dari bank/pos
bulan berkenaan.
C. BENTUK LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN (LPJ) BENDAHARA
1. LPJ Bendahara Penerimaan
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan, berbentuk sebagai berikut:

MPPLB : BAB VI : VERIFIKASI LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN


BENDAHARA
BAB VI
VERIFIKASI LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA
KPPN selaku Kuasa BUN melakukan verifikasi atas LPJ Bendahara yang diterimanya.
Verifikasi yang
dilakukan oleh KPPN meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Membandingkan saldo Uang Persediaan yang tertuang dalam LPJ dengan
Kartu Pengawasan Kredit Anggaran yang ada di KPPN;
b. Membandingkan saldo awal yang tertuang dalam LPJ dengan saldo akhir

yang tertuang dalam LPJ bulan sebelumnya;


c. Menguji kebenaran nilai uang di rekening bank yang tercantum dalam LPJ
dengan salinan rekening koran bendahara;
d. Menguji kebenaran perhitungan (penambahan/pengurangan) pada LPJ; dan
e. Meneliti kepatuhan bendahara dalam penyetoran pajak dan dalam
penyampaian laporan pertanggungjawaban.
LPJ Bendahara yang telah diverifikasi tetapi masih terdapat kesalahan, dikembalikan kepada
bendahara
yang bersangkutan untuk kemudian dilakukan pembetulan dan disampaikan kembali kepada
KPPN
setelah dilakukan revisi seperlunya.
KPPN merekap seluruh LPJ Bendahara yang berada di wilayah kerjanya untuk kemudian
menyampaikan rekap LPJ Bendahara tersebut ke Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan
setempat.
Atas dasar Rekapitulasi LPJ Bendahara yang diterima dari seluruh KPPN di wilayah
kerjanya, Kanwil
Ditjen Perbendaharaan melakukan rekapitulasi LPJ Bendahara menurut bagian anggaran dan
menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktur PKN.
Atas dasar Rekapitulasi LPJ Bendahara yang diterima dari seluruh Kanwil Ditjen
Perbendaharaan,
Direktorat PKN menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara menurut bagian anggaran. Hasil
rekapitulasi
LPJ disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk digunakan sebagai
sumbangan data
dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah tingkat pusat, serta sebagai bahan dalam
menentukan
kebijakan terkait dengan Kas di Bendahara.
BAB VII
PENUTUP
Dengan disusunnya modul Pembukuan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja
ini, maka
diharapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran serta Bendahara Pengeluaran
Pembantu
telah memiliki pedoman dalam melakukan penatausahaan yang meliputi pembukuan dan
penyusunan
laporan pertanggungjawaban atas uang yang berada dalam tanggung jawabnya, dalam rangka
pelaksanaan APBN. Selain itu, Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku Bendahara Umum
Negara
juga telah memiliki pedoman dalam pelaksanaan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban
Bendahara instansi.
Penyusunan modul Pembukuan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Penerimaan
dan Bendahara Pengeluaran Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja ini bukan
merupakan
akhir dari usaha peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan kas di Bendahara,

akan tetapi
merupakan bagian penting dalam rangka pemantauan dan pengelolaan kas di Bendahara.
Pelaksanaan
pembukuan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan dan
Bendahara
Pengeluaran pada Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/Satuan Kerja ini merupakan salah
satu bagian
penting dalam rangka manajemen kas Negara.
Seiring dengan terus berkembangnya praktik-praktik manajemen kas Negara, maka praktik
pengelolaan
dan penatausahaan kas di Bendahara juga akan mengalami perkembangan. Oleh karena itu,
perbaikan
ke arah yang lebih baik akan terus dilakukan dalam rangka peningkatan transparansi dan
akuntabilitas
pengelolaan keuangan Negara.
REFERENSI
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 4286);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4355);
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
25);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang
Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 83);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 73/PMK.05/2008 tentang Tatacara
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian
Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja.
7. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: PER-47/PB/2009
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara
Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/Satuan Kerja.
8. Bahan Ajar Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran,
BPPK Jakarta, 2006;

Modul Pengelolaan Keuangan Satker ( M P K S )

MPKS : BAB I : PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Penyelenggaraan
kepemerintahan
akan selalu berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara mengingat segala urusan
kepemerintahan akan berakibat pada timbulnya belanja negara maupun pendapatan negara.
Pengertian belanja negara adalah pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai
belanja
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sedangkan pendapatan negara
adalah penerimaan negara baik dari penerimaan perpajakan maupun penerimaan bukan pajak.
Sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance),
pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka dan
bertanggung
jawab. Adapun asas-asas yang diterapkan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai
pencerminan dalam penerapan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) antara lain
yaitu: (i) akuntabilitas berorientasi pada hasil, (ii) profesionalitas, (iii) proporsionalitas, (iv)
keterbukaan (transparansi), dan (v) pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan
mandiri.
Dalam pengelolaan keuangan negara, kita mengenal istilah siklus anggaran. Siklus anggaran
(budget cycle) adalah tahap-tahap pengelolaan anggaran negara dalam satu tahun anggaran
yang
terdiri dari: (i) tahap penyusunan anggaran, (ii) tahap pelaksanaan anggaran, (iii) tahap
pengawasan anggaran, dan (iv) tahap pertanggung-jawaban anggaran.
1. Penyusunan Anggaran
Pada tahap awal penyusunan anggaran, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok
kebijakan
fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Berdasarkan hasil
pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat
bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan
bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga
(RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai,
disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang
disusun. RKA-KL tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan kepada Menteri
Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun
berikutnya.
Penyusunan rencana kerja mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004

tentang
Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA./ 3HQ\XVXQDQ
UHQFDQD
kerja kementerian negara/lembaga untuk periode 1 (satu) tahun dituangkan dalam Rencana
Kerja
dan Anggaran Kementeran Negara/Lembaga (RKA-KL). Untuk selanjutnya, petunjuk teknis
penyusunan RKA-KL ditetapkan setiap tahun melalui Keputusan Menteri Keuangan.
Reformasi di bidang penyusunan anggaran juga diamanatkan dalam Undang-Undang 17
Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yang memuat berbagai perubahan mendasar dalam
pendekatan
penyusunan anggaran. Perubahan mendasar tersebut, meliputi aspek-aspek penerapan
berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yaitu:
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005
tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
2) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Peraturan di atas memuat bagaimana prosedur pengelolaan keuangan negara mulai dari
ketersediaan dana, pengajuan tagihan kepada negara, penataausahaan dan
pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara.
b. Peraturan teknis dalam rangka pelaksanaan kegiatan
kementerian negara/lembaga sebagaimana tercantum dalam DIPA dan Petunjuk Operasional
Kegiatan ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006.
3. Pengawasan Anggaran
Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata dalam
UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun demikian, Keputusan
Presiden Nomor 42 Tahun 2002 jo Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 tentang
Pedoman
Pelaksanaan APBN pada Bab IX memuat hal-hal yang mengatur pengawasan pelaksanaan
APBN. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh atasan/kepala
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga dalam lingkungannya. Atasan langsung
bendahara melakukan pemeriksaaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali
(namun
yang berlaku sekarang sesuai dengan Perdirjen No.47/PB/2009 jo. PMK
No.73/PMK.05/2008
bahwa pemeriksaan kas bendahara tersebut dilaksanakan sekurang-kurangnya satu bulan
sekali)
Inspektur Jenderal masing-masing kementerian negara/lembaga dan unit pengawasan pada
lembaga melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN di lingkungan kementerian
negara/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Inspektur Jenderal kementerian

negara/lembaga dan pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan


masyarakat mengenai hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan APBN.
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan yang
dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung mupun tidak langsung. Pengawasan
secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian laporan
semester
I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester I tahun anggaran
yang bersangkutan. Laporan tersebut harus pula mencantumkan prognosa untuk semester
kedua
dengan maksud agar DPR dapat mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN perubahan
untuk tahun anggaran bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut
dibahas dalam rapat kerja antara panitia anggaran dan Menteri Keuangan sebagai wakil
pemerintah. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan
BPK
atas pelaksanaan APBN kepada DPR. Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut
tanggung
jawab pemerintah dalam melaksanakan APBN.
4. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di lingkungan kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya berupa Laporan Keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA),
Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) yang dilampiri Laporan Keuangan
Badan
Layanan Umum (BLU) pada kementerian negara/lembaga masing-masing. Laporan
Keuangan
kementerian negara/lembaga oleh menteri/pimpinan lembaga disampaikan kepada Menteri
Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kemudian Menteri
Keuangan menyusun rekapitulasi laporan keuangan seluruh instansi kementerian negara.
Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga menyusun Laporan Arus Kas. Selain itu,
Menteri Keuangan sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara. Semua laporan keuangan
tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal sebagai wujud laporan
keuangan
pemerintah pusat disampaikan kepada Presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN. Presiden menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat kepada
BPK
paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit atas laporan keuangan
pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya dua bulan setelah laporan keuangan
tersebut
diterima oleh BPK dari Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 menyebutkan
bahwa
Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan
APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan
Keuangan
Pemerintah Pusat setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus
Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, serta dilampiri dengan laporan keuangan

perusahaan
negara dan badan lainnya. Mengenai bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.
B. Maksud Dan Tujuan
Maksud penyusunan Modul Pengelolaan Keuangan pada Satuan Kerja ini adalah:
1. Memberikan pedoman dan kesatuan penafsiran dalam rangka
pengelolaan keuangan pada satuan kerja
2. Memberikan prosedur dan tata cara pengelolaan keuangan pada
satuan kerja
Sehubungan dengan hal tersebut, maka secara rinci tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman bagi satuan kerja dan aparat yang terkait di
bidang pengelolaan keuangan pada satuan kerja.
2. Agar sistem dan prosedur pengelolaan keuangan pada satuan kerja
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3. Agar implementasi pengelolaan keuangan pada satuan kerja dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
C. Ruang Lingkup
Dalam rangka untuk meningkatkan kualitas penatausahaan pengelolaan keuangan negara,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah menyusun modul pengelolaan keuangan negara
pada
kementerian negara/lembaga.
Sebagai salah satu dari paket modul pengelolaan keuangan negara, modul pengelolaan
keuangan
satuan kerja ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman bagi satuan kerja di bidang
pengelolaan keuangan khususnya mengenai penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran
negara,
dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dengan demikian, modul ini tidak mengatur halhal
yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Hal-hal yang akan dijelaskan dalam modul ini yaitu:
1. Tata cara penyusunan anggaran.
2. Tata cara pelaksanaan anggaran.
3. Tata cara pelaporan dan pertanggungjawaban
D. Sistematika
Guna memberikan kemudahan dalam memahami maksud dari penyusunan modul ini, maka
Modul Pengelolaan Keuangan pada Satuan Kerja diuraikan dalam 4 (empat) bab sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Memberikan gambaran latar belakang, maksud dan tujuan, pembatasan masalah, sistematika
penyusunan modul, dan terminologi.
BAB II PENYUSUNAN ANGGARAN
Memberikan gambaran proses/tahap-tahap penyusunan anggaran.
BAB III PELAKSANAAN ANGGARAN
Memberikan gambaran tentang dokumen terkait pelaksanaan anggaran, pejabat terkait

pengelolaan keuangan pada satuan kerja, prosedur pelaksanaan belanja, serta pelaksanaan
pendapatan negara
BAB IV PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
ANGGARAN
Menguraikan tata cara pembukuan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran oleh
satuan kerja.

MPKS : BAB II : PENYUSUNAN ANGGARAN


BAB II
PENYUSUNAN ANGGARAN
A. Gambaran Umum Penyusunan Anggaran
1. Sekilas Tentang Penganggaran
Dalam setiap organisasi, penyusunan anggaran merupakan bagian penting
dari proses pencapaian tujuan. Besar kecil ukuran organisasi sangat menentukan
tingkat kompleksitas proses penyusunan anggaran. Pada tingkatan paling kecil
adalah rumah tangga perorangan dan pada tingkatan besarnya adalah organisasi
negara (pemerintahan) atau bahkan ditinjau dari kompleksitasnya, adalah pada saat
kita mengelola organisasi yang berdimensi multinasional.
Memang di masa manusia masih hidup pada tingkat kesederhanaan yang luar
biasa; atau pada saat sumber daya organisasi berlimpah, boleh jadi penyusunan
anggaran tidaklah mendesak diperlukan. Adakalanya organisasi bahkan tidak
memikirkan persoalan penganggaran yang demikian itu. Demikianlah yang tersirat
dari sejarah perkembangan sistem penganggaran hingga tahun 1215; saat
ditandatanganinya Magna Charta oleh Raja Inggris (King John).
Kala itu, King John meminta partisipasi Rakyat melalui pembayaran pajak
untuk membiayai kegiatan pemerintahannya setelah dirasakannya bahwa sumber
daya yang dimiliki kerajaannya kian terbatas akibat pembiayaan perang yang terus
berlangsung. Rakyat pada prinsipnya menolak untuk membayar pajak sepanjang
tidak ada kejelasan mengenai peruntukan penggunaan dana yang dikumpulkan dari
pembayaran pajak tersebut. Semboyan no tax without representation (tak ada pajak
tanpa keterwakilan rakyat) menjadi sangat populer di masa itu. Semboyan tersebut
sesungguhnya menggambarkan tuntutan rakyat untuk melakukan pengawasan atas
penggunaan dana (anggaran) pemerintahan King John.
Sejak itulah penganggaran menjadi bagian dari alat pertanggungjawaban. Bagi
organisasi pemerintahan yang demokratis seperti pemerintahan Republik Indonesia,
penganggaran menjadi alat pertanggungjawaban kepada rakyat, tentang sejauh mana
anggaran dikelola; apakah untuk kegiatan meningkatkan kemakmuran rakyat atau
justru hanya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan semata. Rakyat
yang kelak akan menilainya.
2. Praktik Penyusunan Anggaran di Indonesia
Apabila kita perhatikan, praktik penganggaran di Indonesia menunjukkan
fenomena seperti disebutkan di atas. Pada lebih dari 15 tahun pertama usia
pemerintahan Republik Indonesia, kendati Undang-Undang Dasar 1945 telah memuat
amanat untuk membentuk Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, tapi dalam kenyataannya hampir tidak dapat ditemukan adanya
praktek penyusunan anggaran secara komprehensif.
Dalam situasi politik dan keamanan yang diwarnai chaostic itu pemerintahan
berjalan nyaris tanpa kejelasan sistem anggaran. Benar bahwa Undang-Undang

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU-APBN) memang ditetapkan,


tetapi itu tak lebih dari formalitas saja bagi sebuah negara seperti Indonesia yang
harus dapat menjamin kemakmuran rakyat di seluruh wilayahnya yang terbentang
dari Sabang hingga Merauke. Hal tersebut didukung oleh ketiadaan dokumentasi
anggaran, walau kita maklum akan terjadinya dispute antara Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat terkait penetapan UU-APBN pada Tahun 19601. Lebih jauh,
sebagai alat pertanggungjawaban, UU-APBN bahkan tak menunjukkan praktiknya
hingga Tahun 1966, karena PAN (Perhitungan Anggaran Negara) sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik UU-APBN ternyata baru dibuat pada Tahun 1967.
Dengan demikian, praktik penganggaran di Indonesia yang secara nyata dapat
ditemukan baru dimulai di masa Orde Baru (masa lebih dari setelah 20 tahun
Indonesia Merdeka). Di masa ini, sosok pola penyusunan anggaran pun mulai
menampakkan kejelasannya. Paling kurang, prosedur penyusunan anggaran yang
mengakomodir kepentingan hilir (bottom-up) juga dijalankan.
Melalui pola penganggaran yang lebih jelas, pencapaian (kinerja) pemerintah
pun secara fisik dapat dilihat. Bahkan, terlepas dari berbagai persepsi yang
berkembang, di sektor pertanian, kontribusi pola penganggaran ini sempat
menghasilkan swasembada pangan. Akan tetapi semua capaian kemudian seakan
sirna akibat kegagalan di banyak lini yang lainnya, terutama ketimpangan akibat
keberpihakan lebih kepada pemilik modal akibat asumsi pembangunan yang yakin
betul terhadap prinsip trickle-down effect.
3. Penerapan Pola Baru Penyusunan Anggaran di Indonesia
Lahirnya pola baru penyusunan anggaran berdasarkan Undang-Undang
Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) didasarkan atas pelajaran dari praktik
penyusunan anggaran yang pernah berlaku di Indonesia sebelumnya. Praktik tersebut
diyakini tidak dapat mendorong sikap bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
Keuangan Negara (APBN). Lebih dari itu, pola tersebut dipandang tidak bertumpu
pada kesadaran menjadikan anggaran sebagai alat pertanggungjawaban. Oleh
karena itu keberhasilan pembangunan saat itu bagi rakyat pada umumnya-dirasakan semu belaka (tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya).
Metode tradisional dalam penyusunan anggaran atau line item budgeting yang
selama ini digunakan tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus
dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan. Bila kita cermati, sejak masa Orde
Baru hingga masa awal Orde Reformasi (pasca Reformasi 1998), Indonesia
menerapkan pola penganggaran berbasis Input. Dalam pola ini, pertimbangan
penyusunan anggaran lebih didasarkan pada kebutuhan dana untuk membiayai
kegiatan pemerintahan. Dana sebagai Input pokok menentukan besaran jumlah
anggaran yang akan dibelanjakan.
Di sisi lain, kesinambungan program pun tidak terukur dengan jelas. Beruntung
pada saat itu rejim pemerintahan berlangsung terus-menerus hingga sekitar 32 tahun
masa pemerintahan sehingga program kerjanya masih bersumber dari pemerintahan
yang sama. Sementara itu, represif-nya pemerintahan saat itu cukup untuk membuat
tuntutan rakyat menjadi sesuatu yang langka. Bahkan lembaga legislatif pun hampir
tak mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ini. Dengan
demikian fungsi penganggaran (budget function) lembaga ini pun nyaris terabaikan.
Dewasa ini, kita berada di era global yang jauh lebih transparan. Akses rakyat
terhadap informasi mengenai hal kepemerintahan pun demikian luas dan terbuka.
Dengan demikian tuntutan rakyat pun menjadi jauh lebih tajam dan terasakan. Oleh
karena itu, pola penganggaran yang berbasis hasil (outputs, results) menjadi penting
untuk mampu mengakomodir tuntutan rakyat tersebut.

Sebagai pelayan rakyat, pemerintah atau dalam hal ini satuan kerja, dituntut
dapat menyediakan layanan publik yang jauh lebih baik dan efisien. Demikian pula
dengan ketersediaan infrastruktur dan berbagai layanan penggerak perekonomian
rakyat yang terus diminta untuk disediakan. Dengan demikian, pola penganggaran
berbasis kinerja (performance based budgeting) memperoleh momentum tepat untuk
menjadi pilihan alternatif pola penyusunan anggaran.
Sebagai Undang-Undang yang hadir dalam semangat dan amanat reformasi,
Undang-Undang bidang Keuangan Negara memantapkan pilihan pada bagaimana
memenuhi tuntutan rakyat secara memadai. Oleh karena itu, pola penganggaran
berbasis kinerja yang menghendaki penyusunan anggaran berdasarkan capaian
kegiatan yang diinginkan dirasakan tepat untuk diadopsi sebagai model dalam
memenuhi tuntutan rakyat. Dalam pola penganggaran ini, pertimbangan penyusunan
anggaran lebih didasarkan pada apa yang ingin dihasilkan dari kegiatan yang
dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan riil di masyarakat atau dalam
menunjang kualitas pemenuhan kebutuhan dimaksud.
Dana yang diperlukan lebih merupakan konsekuensi dari proses kalkulasi
antara harga faktor produksi dengan volume kegiatan atau hasil yang diinginkan.
Dengan demikian, besaran jumlah anggaran yang akan dibelanjakan merupakan hasil
pemikiran mendalam mengenai kebutuhan yang diinginkan (need), kemampuan yang
dimiliki (buying power) dan prioritas yang perlu dipenuhi segera (want). Pemikiran
tersebut diharapkan benar-benar merupakan upaya pemenuhan kebutuhan (demand)
riil yang dapat membantu masyarakat meningkatkan taraf kemakmurannya.
Oleh karena itu, misi organisasi akan menjadi faktor penting yang akan
menentukan kegiatan tiap satuan kerja pemerintah. Ia menjadi titik pusat (core
competence) yang mewarnai hasil kerja dan bentuk kegiatan satuan kerja dimaksud.
Setiap kali satuan kerja menyiapkan penyusunan anggaran, misi akan menjadi titik
tolak dalam mempertimbangkan hasil apa yang ingin dicapainya.
Pola baru penyusunan anggaran yang kini diberlakukan oleh pemerintah
Republik Indonesia juga menghendaki pertimbangan kesinambungan antar kegiatan
dan/atau hasil antara tahun lalu, tahun ini, dan tahun mendatang. Untuk itu kerangka
penyusunan anggarannya setidaknya mempertimbangkan kerangka pengeluaran
jangka menengah (medium term expenditure framework, MTEF). Dalam kerangka
MTEF ini, penyusunan anggaran mempertimbangkan jangka pengeluaran, minimum,
dalam tiga tahunan, yaitu tahun X-1, tahun X, dan tahun X+1. Dengan pertimbangan
tersebut diharapkan suatu kegiatan atau hasil yang diinginkan dari penyediaan dana
anggaran akan dapat secara tuntas terakomodasi dan pada akhirnya dapat langsung
memberi manfaat kepada masyarakat, begitu hasil (produk) itu selesai diproduksi.
Sebagai contoh, jika penyusunan anggaran menghendaki pembuatan gedung
sekolah, maka dalam kerangka pengeluaran tersebut harus sudah diakomodasikan
seluruh kebutuhannya dari mulai tanah, bangunan, isi bangunan, dan siapa yang
akan memanfaatkan bangunan tersebut (ketersediaan guru, murid, dan fasilitas lain
terkait operasionalisasi gedung sekolah dimaksud).
Melalui pola tersebut diharapkan tidak ada hasil (produk) anggaran pemerintah
yang selanjutnya menjadi barang tak bertuan dan tidak memberikan manfaat kepada
masyarakat secara riil. Hal tersebut karena produksi barang didasarkan atas realitas
kebutuhan dan keberadaan barang dikaitkan dengan pemanfaatannya.
B. Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, metode penyusunan anggaran disempurnakan dengan menggunakan
metode Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting). Penganggaran

Berbasis Kinerja (PBK) merupakan penyusunan anggaran yang memperhatikan keterkaitan


antara pendanaan dan keluaran dan hasil yang diharapkan. Metode penyusunan anggaran
ini berfokus pada pengukuran pencapaian program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
satuan kerja. Berbeda dengan penganggaran tradisional yang menekankan pada besarnya
alokasi anggaran sebelum menyusun kegiatan, PBK menyusun kegiatan dan indikator
keluaran dalam rangka penetapan alokasi yang efisien yang sesuai dengan kebutuhan yang
selanjutnya akan disandingkan dengan keluaran yang akan dicapai. Hal yang sangat penting
dalam upaya menuju PBK adalah sinkronisasi program dan kegiatan. Sinkronisasi ini
merupakan upaya untuk menyusun alur keterkaitan antara kegiatan dan program terhadap
kebijakan yang melandasinya. Dengan demikian kegiatan yang dilaksanakan akan
menghasilkan keluaran yang mendukung sasaran kinerja program dan pencapaian tujuan
kebijakan
Penganggaran dengan pendekatan kinerja fokus pada efisiensi penyelenggaraan
suatu aktivitas. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu
aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang
sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Secara
matematis efisiensi dapat digambarkan dalam formula produktifitas di bawah ini:
Gambar 1. Tingkat Produktivitas
OUTPUT
= PRODUKTIVITAS
INPUT
Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang
terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu
yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup
dan penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif. Tolok ukur keberhasilan sistem
anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan
menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang
dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya
keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan.
PBK dimulai dengan menetapkan rencana strategis (renstra) yang menjelaskan visi,
misi dan tujuan dari unit kerja, serta pendefinisian program yang hendak dilaksanakan
beserta kegiatan-kegiatan yang mendukung program tersebut. Selanjutnya ditetapkan
rencana kinerja tahunan yang mencakup tujuan/sasaran, program, kegiatan, indikator dan
target yang ingin dicapai dalam waktu satu tahun. Penetapan target kinerja pada program
terlihat dari indikator outcome, sedangkan penetapan target kinerja kegiatan terlihat dari
indikator keluarannya. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup kegiatan tugas pokok dan
fungsi (pelayanan, pemeliharaan, administrasi umum) dan kegiatan dalam rangka belanja
investasi.
1. Prinsip dan Tujuan PBK
Prinsip-prinsip dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi:
a. Alokasi anggaran berorientasi pada kinerja
Alokasi anggaran yang disusun dalam dokumen rencana kerja dan anggaran
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang efisien. Program dan kegiatan harus diarahkan
untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan dalam rencana.
b. Fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga
prinsip akuntabilitas
Prinsip ini menggambarkan keleluasaan manajer dalam melaksanakan kegiatan
untuk mencapai keluaran sesuai rencana. Keleluasaan tersebut meliputi penentuan
cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasilnya pada saat

pelaksanaan kegiatan, yang memungkinkan berbeda dengan rencana kegiatan.


Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan
merupakan dasar pelaksanaan kegiatan.
c. Money follow function, function followed by structure
Money follow function merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa
pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan
fungsi unit kerja sesuai dengan maksud pendiriannya. Function followed by structure
adalah prinsip yang menggambarkan bahwa struktur organisasi yang dibentuk
sesuai dengan fungsi yang diemban.
Penerapan prinsip ini berkaitan dengan pertimbangan bahwa:
Efisiensi alokasi anggaran dapat dicapai, karena dapat dihindari overlapping
tugas/fungsi/kegiatan.
Pencapaian output dan outcomes dapat dilakukan secara optimal, karena
kegiatan yang diusulkan masing-masing unit kerja benar-benar merupakan
pelaksanaan tugas dan fungsinya.
2. Komponen PBK
Sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,
penyusunan anggaran berbasis kinerja memerlukan komponen-komponen sebagai
berikut:
a. Indikator Kinerja
Indikator Kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan suatu
program atau kegiatan.
b. Standar Biaya
Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal tahap
perencanaan anggaran berbasis kinerja dan nantinya menjadi standar biaya
keluaran. Pada umumnya, standar biaya tidak digunakan oleh negara-negara yang
telah terlebih dahulu menerapkan PBK. Penggunaan standar biaya pada penerapan
PBK di Indonesia adalah sebagai alat untuk menilai efisiensi pada masa transisi dari
sistem penganggaran yang berbasis input menjadi sistem penganggaran yang
berbasis output. Standar biaya merupakan alat bantu untuk penyusunan anggaran
dan merupakan standar kebutuhan yang paling efisien untuk menghasilkan keluaran.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, biaya yang dikeluarkan dapat berbeda
dengan standar biaya sepanjang keluaran kegiatan tetap dapat dicapai.
c. Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah
implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas
kinerja, baik dari sisi efisiensi maupun efektivitas suatu program atau kegiatan. Cara
pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap
target (dari sisi efektivitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya
(dilihat dari sisi efisiensi).
3. Penerapan PBK
PBK memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan serta
dampak/hasilnya bagi masyarakat luas. Informasi kinerja yang dicantumkan tidak hanya
keluaran dan hasil pada tingkatan program/kegiatan tetapi juga menjelaskan hubungan
erat antar tingkatan tersebut. Keterkaitan dimaksud terlihat sejak dari perumusan visi dan
misi yang selanjutnya diterjemahkan dalam program beserta alokasi anggarannya.
Penentuan indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran
berdasarkan kinerja akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam
pemanfaatan sumber daya.

Anggaran disusun dengan mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja


(output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil
kerjanya harus sebanding atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan.
Untuk dapat menyusun anggaran berbasis kinerja dengan baik maka perlu diperhatikan
prinsip-prinsip dalam penyusunan anggaran, yaitu:
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran,
hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang
dianggarkan. Oleh karena itu, anggota masyarakat berhak mengetahui proses
anggaran dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Selain itu,
masyarakat juga berhak menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun
pelaksanaan anggaran tersebut.
b. Disiplin Anggaran
Pendapatan yang direncanakan harus dapat terukur secara rasional dan dapat
dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan
merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja dan didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan
melaksanakan kegiatan/ proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya.
c. Keadilan Anggaran
Pemerintah berkewajiban mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil
tanpa diskriminasi sehingga dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat.
d. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Setiap kegiatan yang direncanakan harus efektif dalam pencapaian kinerjanya dan
efisien dalam pengalokasian dananya.
Langkah-langkah dalam penerapan PBK adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman tujuan dan kerangka logis PBK sehingga perencana mampu
merumuskan kinerja yang akan dicapai melalui perumusan keluaran/output.
b. Penyediaan dokumen sumber yang meliputi: dokumen perencanaan sebagai acuan
alokasi anggaran, dokumen laporan akuntabilitas kinerja yang berisi pencapaian
kinerja tahun sebelumnya, dan dokumen peraturan mengenai tugas fungsi
organisasi.
c. Pengalokasian anggaran dengan memperhatikan identifikasi proritas
program/kegiatan, target yang hendak dicapai pada tahun yang dianggarkan,
ketersediaan anggaran yang ada, dan penuangan anggaran dalam rincian
pendanaan.
d. Pengukuran dan evaluasi kinerja berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja
kegiatan yang telah ditetapkan.
C. Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) yang disusun
oleh kementerian negara/lembaga pada dasarnya merupakan kumpulan dari usulan rencana
kerja dan anggaran satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rencana kerja dan anggaran disusun mulai dari
tingkat satuan kerja yang selanjutnya melalui proses secara internal akan menjadi RKA-KL.
Adapun proses penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja dapat dijelaskan
secara sekilas sebagai berikut:
1. Perumusan Capaian Satuan Kerja Sesuai Misi Dan Visi
Sebagaimana dijelaskan dalam gambaran umum penyusunan anggaran, hal
penting dalam menyusun rencana kerja dan anggaran dalam pola baru penyusunan
anggaran ini adalah melakukan reorientasi terhadap misi organisasi (d.h.i. satuan kerja).
Misi organisasi akan menentukan langkah satuan kerja dalam merencanakan program

kerja dan kebutuhan anggarannya untuk tiap tahun bahkan dalam rentang waktu (tahun)
tertentu seperti jangka menengah atau jangka panjang.
Pada dasarnya, misi organisasi akan menjadi patokan dalam penyusunan produk
apa yang seyogianya dihasilkan oleh organisasi tersebut. Membaca tuntutan rakyat
secara riil dan up-to-date adalah hal penting dalam mengakomodasi tuntutan rakyat
sehingga keberadan satuan kerja dengan layanan yang diberikannya dapat memenuhi
tuntutan riil rakyat dalam rangka meningkatkan kadar kesejahteraannya.
Produk layanan utama satuan kerja akan terus dilengkapi dan ditingkatkan guna
penyempurnaan layanan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, produk layanan satuan
kerja bersifat terus-menerus dan bukan merupakan produk final, oleh karena itu
komprehensitas perencanaan baik dari segi substansi, time-line, maupun keterkaitanya
dengan kewajiban dan langkah-langkah di masa mendatang sangat diperlukan. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut, performance (capaian) organisasi akan dapat
terencana dengan baik.
Sementara itu, sebagai bagian dari sistem perencanaan, setiap instansi
pemerintah diwajibkan menyusun Rencana Strategis. Perencanaan strategis merupakan
suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1
(satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan
kendala yang ada atau mungkin timbul. Selanjutnya, Sesuai Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan
Rancangan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada Rancangan Awal
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan menetapkan
Renstra-KL setelah disesuaikan dengan RPJMN.
Rencana strategis mengandung visi, misi, tujuan/sasaran, dan program yang
realistis dan mengantisipasi masa depan yang diinginkan dan dapat dicapai. Dengan
demikian, perumusan capaian pada satuan kerja dapat dilihat pada rencana strategis
yang telah disusun. Sesungguhnya rencana strategis inilah yang harus menjadi
perwujudan dari perumusan capaian satuan kerja terhadap misinya.
2. Penyusunan Dan Penyampaian Rencana Kerja Dan Anggaran
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) terdiri dari rencana kerja dan alokasi
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Alokasi
anggaran tersebut diuraikan dalam program dan kegiatan yang dirinci menurut jenis
belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya serta sumber dan sasaran pendapatan.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran pada satuan kerja diawali dengan
penyusunan rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana strategisnya. Hal
terpenting bagi satuan kerja dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran adalah
menentukan alokasi anggaran untuk kegiatan dasar karena kegiatan ini merupakan
harus terus menerus dilaksanakan oleh satuan kerja dalam rangka melayani
masyarakat. Kegiatan dasar adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar satuan kerja yang merupakan syarat minimal berjalannya suatu
organisasi atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pemenuhan
pelayanan publik/birokrasi sesuai tugas dan fungsi yang diemban. Contoh kegiatan
dasar antara lain: belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai, belanja untuk
pemeliharaan peralatan dan gedung kantor, dan belanja pengadaan alat tulis kantor.
Pertimbangan selanjutnya dalam penyusunan anggaran adalah kegiatan
penunjang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan. Kegiatan
penunjang dapat berupa belanja untuk sosialisasi dan koordinasi, pengadaan peralatan

dan mesin, pembangunan/rehabilitasi/renovasi gedung, pembangunan sarana


penunjang lainnya.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran berdasarkan jenis belanja dan
peruntukannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Belanja Pegawai
Belanja Pegawai adalah kompensasi atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam
bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah (pejabat
negara, PNS dan Pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus
PNS) yang bertugas di dalam maupun luar negeri, kecuali pekerjaan yang berkaitan
dengan pembentukan modal. Belanja Pegawai terdiri dari:
1) Gaji
2) Gaji Dokter PTT dan Bidan PTT
3) Honorarium, uang lembur, dan vakasi
4) Lain lain
Yang termasuk dalam belanja pegawai lain-lain adalah:
1) Belanja pegawai untuk dharma siswa/mahasiswa asing;
2) Belanja pegawai untuk tunjangan ikatan dinas (TID);
3) Tunjangan selisih penghasilan (BPPT);
4) Honorarium yang bersumber dari PNBP;
5) Tunjangan lainnya yang besarannya telah mendapatkan persetujuan Menteri
Keuangan.
6) Uang Lauk Pauk TNI/Polri, Uang Lauk Pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung
perhari per anggota.
7) Uang Makan PNS
Khusus belanja pegawai TNI/Polri. Besarnya uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri
dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perhitungan untuk gaji dan tunjangan dibuat berdasarkan masing - masing mata
anggaran dan dibulatkan dalam ribuan rupiah.
b. Belanja Barang.
Belanja barang yaitu pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan.
Pengalokasian anggaran untuk belanja barang mengacu pada standar biaya yang
telah ditetapkan. Sedangkan pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang belum
ditetapkan standar biayanya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Belanja (RAB)
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga
pasar yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai jenis serta spesifikasi
yang diperlukan. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa,
Belanja Pemeliharaan, Belanja Perjalanan Dinas, dan Belanja Honorarium yang
terkait Output Kegiatan.
1) Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan
untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis
pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor,
langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang
bersifat non fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi
syarat nilai kapitalisasi (nilai satuan barang kurang dari Rp 300.000,00).
2) Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk
mempertahankan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal. Belanja pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan gedung
dan bangunan kantor, taman, jalan lingkungan kantor, rumah dinas, kendaraan

bermotor dinas dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan


pemerintahan.
3) Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk
membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan
jabatan.
4) Belanja Honorarium yang terkait dengan Output Kegiatan adalah belanja dalam
rangka mendukung kegiatan yang bersifat temporer dapat disediakan untuk
kegiatan sepanjang:
a) Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja;
b) Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;
c) Sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi lain;
d) Sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau di luar
jam kerja;
e) Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS disamping
tugas pokoknya sehari-hari;
f) Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.
Contoh:
1. Honorarium yang disediakan untuk PNS yang ditunjuk sebagai pengelola
keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang. Honorarium ini diberikan karena
perangkapan jabatan/penugasan dan tanggungjawab.
2. Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan Draft
Peraturan Perundang-undangan yang mengikutsertakan satker/instansi
lain yang terkait. Honorarium ini diberikan dalam rangka mencapai
keluaran berupa peraturan;
3. Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan Standar
Biaya Khusus Kementerian/Lembaga yang anggotanya terdiri dari unsur
kementerian/lembaga, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik.
Honorarium ini disediakan dalam rangka mencapai keluaran berupa
standar biaya kegiatan tertentu.
c. Belanja Modal
Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal
yang sifatnya menambah aset kementerian negara/lembaga dengan kewajiban untuk
menyediakan biaya pemeliharaan. Dengan demikian, Belanja Modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu perode akuntansi.
1) Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut: berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
nilainya relatif material (di atas Rp 300.000,00 per unit). Sedangkan batasan
minimal kapitalisasi untuk Gedung dan Bangunan dan Jalan, Irigasi dan Jaringan
adalah sebesar Rp 10.000.000,00.
2) Aset Lainnya mempunyai ciri-ciri/karakteristik yaitu: tidak berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1 (satu)
tahun, nilainya tidak material.
Berdasarkan hal di atas, aset akan dikategorikan dalam Belanja Modal apabila
memenuhi kriteria:
1) Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya;
2) Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap;
3) Aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;

4) Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.


Belanja modal terdiri dari:
1) Belanja Modal Tanah
Pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, balik nama
dan sewa tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan
sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat adminstratif
sehubungan dengan pembentukan modal, perolehan hak dan kewajiban atas
tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.
2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Pengeluaran untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan
dalam kegiatan pembentukan modal/aset tetap, termasuk biaya untuk
penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin berat
yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa manfaat maupun meningkatkan
efisiensinya.
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Pengeluaran untuk perencanaan, pembangunan, pengawasan dan pengelolaan
pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan bangunan negara yang
perhitungannya mengikuti Standar Pembangunan Gedung Negara, termasuk di
dalamnya pengadaan berbagai kebutuhan pembangunan gedung dan bangunan.
Termasuk kelompok belanja modal ini adalah:
a) pengadaan/pembangunan berbagai gedung dan bangunan yang berfungsi
untuk perkantoran, hunian dan pelayanan;
b) belanja untuk kelengkapan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar
(sepanjang beranda di dalam komplek) gedung dan bangunan tersebut.
Misalnya instalasi listrik, air, telepon, jalan komplek, pagar, gorong-gorong
lingkungan, pertamanan, lapangan parkir dll;
c) biaya-biaya untuk kegiatan rehabilitasi, renovasi dan restorasi gedung dan
bangunan yang diharapkan dapat memperpanjang masa manfaat dari aktiva
maupun meningkatkan efisiensinya.
4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
pengeluaran yang diperlukan untuk pembangunan, peningkatan/penambahan,
penggantian, pembuatan serta perawatan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai jaringan atau merupakan bagian dari jaringan, misalnya: jalan, jembatan,
dam, embung, jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan
instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang
berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi, akan tetapi tidak
termasuk instalasi yang terdapat di dalam gedung dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Belanja Modal Gedung dan Bangunan. Dalam
kriteria ini termasuk biaya yang berhubungan dengan perencanaan, pengawasan,
dan pengelolaan pembangunan prasarana dan sarana tersebut di atas.
5) Belanja Modal Fisik Lainnya
Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk
pengadaan pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan
dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, jaringan, jalan, irigasi, dll.
Termasuk dalam belanja ini: kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian
barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barangbarang
untuk museum, serta hewan ternak, ternak peliharaan, buku-buku dan
jurnal ilmiah.
Perhitungan dan penilaian belanja modal dilakukan berdasarkan standar biaya

sepanjang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian atas pekerjaan yang belum


ditetapkan dalam standar biaya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Biaya
(RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga
pasar yang berlaku dan jenis serta spesifikasi yang diperlukan.
6) Bunga
Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang
(principal outstanding), baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang dihitung
berdasarkan posisi pinjaman.
7) Subsidi
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga
yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya
dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk
penyaluran subsidi kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta.
8) Bantuan Sosial
Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat
langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan atau lembaga
kemasyarakatan termasuk di dalamnya untuk lembaga non pemerintah bidang
pendidikan dan keagamaan. Yang termasuk kedalam bantuan sosial adalah:
a) Bantuan kompensasi sosial. Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa
yang diberikan kepada masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan
harga BBM.
b) Bantuan kepada lembaga pendidikan dan peribadatan. Transfer dalam bentuk
uang, barang atau jasa yang diberikan kepada lembaga pendidikan dan
peribadatan.
Dalam pelaksanaan penyusunan anggaran, perlu pula diperhatikan adanya
kegiatan/subkegiatan yang dibatasi maupun yang tidak diperkenankan untuk
dilaksanakan. Adapun kegiatan/subkegiatan yang dibatasi dalam RKA adalah sebagai
berikut:
1) Penyelenggaraan rapat, rapat dinas, seminar, pertemuan, lokakarya, peresmian
kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi pada hal-hal yang sangat penting dan
dilakukan sesederhana mungkin.
2) Pemasangan telepon baru, kecuali untuk satuan kerja yang belum ada sama sekali.
3) Pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi satuan kerja (antara lain: mess, wisma, rumah dinas/rumah
jabatan, gedung pertemuan), kecuali untuk gedung yang bersifat pelayanan umum
(seperti rumah sakit, rumah tahanan, pos penjagaan) dan gedung/bangunan khusus
(antara lain: laboratorium dan gudang).
4) Pengadaan kendaraan bermotor, kecuali:
a) Kendaraan fungsional seperti:
1. ambulan untuk rumah sakit;
2. cell wagon untuk rumah tahanan;
3. kendaraan roda dua untuk petugas lapangan.
b) Pengadaan kendaraan bermotor untuk satuan kerja baru yang sudah ada
ketetapannya dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg
PAN) dan dilakukan secara bertahap sesuai dana yang tersedia.
c) Penggantian kendaraan operasional yang benar-benar rusak berat sehingga
secara teknis tidak dapat dimanfaatkan lagi.
d) Penggantian kendaraan yang rusak berat yang secara ekonomis memerlukan

biaya yang besar untuk selanjutnya harus dihapuskan dari daftar inventaris dan
tidak diperbolehkan dialokasikan biaya pemeliharaannya (didukung oleh berita
acara penghapusan/pelelangan).
5) Kendaraan roda 4 dan atau roda 6 untuk keperluan antar jemput pegawai dapat
dialokasikan secara sangat selektif. Usulan pengadaan kendaraan bermotor
memperhatikan azas efisiensi dan kepatutan.
Kegiatan/subkegiatan yang tidak dapat ditampung dalam RKA yaitu:
1) Perayaan atau peringatan hari besar, hari raya dan hari ulang tahun Kementerian
Negara/Lembaga (K/L).
2) Pemberian ucapan selamat, hadiah/tanda mata, karangan bunga, dan sebagainya
untuk berbagai peristiwa.
3) Pesta untuk berbagai peristiwa dan POR (Pekan Olah Raga) pada K/L.
4) Pengeluaran lainnya ntuk kegiatan sejenis/serupa dengan tersebut di atas.
5) Kegiatan yang memerlukan dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) /
Peraturan Presiden (Perpres), namun pada saat penelaahan RKA belum ditetapkan
dengan PP/Perpres.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga menyebutkan bahwa RKAKL
meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga
termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan hal
tersebut, maka rencana kerja dan anggaran pada satuan kerja selanjutnya diusulkan
secara berjenjang yang nantinya akan dikompilasi pada tingkat kementerian
negara/lembaga sebagai RKA-KL untuk disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran sebagaimana telah berjalan selama ini
menggunakan program aplikasi RKA-KL yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Anggaran Kementerian Keuangan. Aplikasi ini memungkinkan satuan kerja untuk
menyusun rencana kerja dan anggaran berdasarkan program/kegiatan/subkegiatan,
jenis belanja, indikator kinerja, akun dan rencana penarikan dana.
3. Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara /Lembaga
Pada dasarnya, penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-K/L) telah dilaksanakan secara internal pada kementerian
negara/lembaga masing-masing sebelum disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan rencana kerja dan rencana strategis
kementerian negara/lembaga secara keseluruhan dengan alokasi anggaran yang
tersedia. Pada tahap ini, kementerian negara/lembaga mulai menentukan apa saja
kegiatan dan belanja yang merupakan prioritas yang harus dialokasikan anggarannya
ataupun kegiatan dan belanja yang tidak prioritas dan dapat ditunda pelaksanaannnya.
RKA disusun mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif
yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pagu indikatif merupakan perkiraan
pagu anggaran yang diberikan kepada kementerian negara/lembaga untuk setiap
program. Selanjutnya, RKA tersebut ditelaah oleh Bappenas dan Kementerian
Keuangan. Penelaahan tersebut meliputi penelaahan atas kesesuaian program dalam
rangka menentukan program prioritas nasional maupuan prioritas departemen.
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Edaran pagu sementara bagi masingmasing
program yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan. Atas dasar surat
edaran tersebut, kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL yang selanjutya
disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk dikompilasi dalam suatu Rencana
Kerja dan Anggaran Pemerintah (RKAP).
Berdasarkan RKAP tersebut selanjutnya disusun suatu Rancangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dalam bentuk Rancangan Undang-Undang


(RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). RUU APBN ini
selanjutnya dilengkapi dengan catatan mengenai berbagai dasar pemikiran/
pertimbangan yang dipergunakan dalam penyusunan anggaran yang sejak lama dikenal
sebagai Nota Keuangan. RUU APBN bersama Nota Keuangan yang dipersiapkan
Kementerian Keuangan tersebut selanjutnya dibawa ke Sidang Kabinet yang dipimpin
langsung oleh Presiden.
RUU APBN dan Nota Keuangan tersebut, setelah disetujui dalam Sidang Kabinet
selanjutnya akan disampaikan kepada DPR pada tanggal 16 Agustus (sebagai bagian
dari konvensi kegiatan kenegaraan Presiden di DPR). Penyampaian tersebut merupakan
sikap resmi pemerintah mengenai rencana kerja dan anggaran yang dipersiapkannya
dalam menyiapkan layanan kepada rakyat sesuai janjinya dalam kampanye pemilihan
presiden yang mendasari terbentuknya pemerintahannya.
Menindaklanjuti penyampaian tersebut, DPR sebagai representasi rakyat akan
menguji dan membahas rencana kerja dan anggaran dimaksud, apakah telah sesuai
dengan tuntutan rakyat atau belum. Pengujian dan pembahasan yang dilakukan DPR
pada akhirnya akan melahirkan UU-APBN yang merupakan otorisasi anggaran kepada
pemerintah secara definitif. Dengan demikian, kini RKA itu sudah memperoleh status
sebagai rencana yang secara definitif siap dilaksanakan.
4. Rencana Kerja Dan Anggaran Definitif
Berdasarkan persetujuan DPR terhadap RUU-APBN, tiap-tiap kementerian
negara/lembaga dapat segera melakukan konsolidasi dengan satuan-satuan kerja pada
lingkup kementerian negara/lembaganya. Konsolidasi dimaksudkan untuk melihat
kembali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi antara RKA yang pernah dibuatnya dan
RKA yang telah memperoleh persetujuan DPR secara definitif. Konsolidasi ini sekaligus
juga memungkinkan kementerian negara segera mempersiapkan transformasi dokumen
dari RKA menjadi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Sementara itu, pasca persetujuan DPR, Kementerian Keuangan juga melakukan
konsolidasi guna menyiapkan peraturan presiden mengenai rincian anggaran. Di sisi
lain, Kementerian Keuangan juga menyiapkan edaran untuk meminta kementerian
negara/lembaga segera menyampaikan DIPA untuk ditelaah dan diberi tanda bahwa
atas DIPA tersebut, Kementerian Keuangan telah maklum dan siap untuk menyiapkan
rencana pencairan dananya.
Pada prinsipnya, rencana kerja dan anggaran definitif yang sudah seharusnya
memperoleh persetujuan DPR paling lambat tanggal 31 Oktober, selanjutnya sudah siap
dilaksanakan sambil dipersiapkannya proses administratif atas dokumentasinya.
5. Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Sebagaimana dijelaskan pada bagian di atas, penyusunan DIPA lebih merupakan
proses administratif pada tingkat dokumentasi untuk keperluan manajerial dan alat uji
akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, sinergi antara kementerian
negara/lembaga (d.h.i. satuan-satuan kerja) dengan Bendahara Umum Negara sangat
penting bagi keberhasilan pelaksanaan anggaran secara keseluruhan.
Dalam pasal 4 ayat 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
berwenang menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan anggaran (APBN), maka Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab
atas penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran Kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya. Kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut dilimpahkan kepada
kepala satker pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal

tertentu/satker sementara.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga pasal 12 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) mengenai Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) selambatlambatnya
akhir bulan November. Perpres tentang rincian APBN tersebut menjadi dasar
bagi masing-masing kementerian negara/lembaga untuk menyusun konsep dokumen
pelaksanaan anggaran. Atas dasar Perpres tersebut satuan kerja menyusun konsep
DIPA yang selanjutnya disampaikan ke Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk
ditelaah dan disahkan.
DIPA berlaku untuk satu tahun anggaran dan memuat informasi satuan-satuan
terukur yang berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran.
Disamping itu DIPA dapat dimanfaatkan sebagai alat pengendali, pelaksanaan,
pelaporan, pengawasan, dan sekaligus merupakan perangkat akuntansi pemerintah.
Pagu dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui
dan pelaksanaanya harus dapat dipertanggungjawabkan.
DIPA terdiri dari dua bagian yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat
dipisahkan, yaitu surat pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan/Kepala Kanwil DJPBN atas nama Menteri Keuangan dan dokumen
pelaksanaan anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga bersangkutan. DIPA
yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling sedikit memuat :
1) Pagu Anggaran yang dialokasikan;
2) Sasaran yang hendak dicapai;
3) Fungsi, program, dan kegiatan yang akan dilaksanakan;
4) Rencana penarikan dana yang akan dilakukan; dan
5) Pendapatan yang diperkirakan dapat dipungut.
DIPA tersebut selanjutnya disusun berdasarkan klasifikasi :
1) Fungsional dirinci sampai sub kegiatan;
2) Organisasi dirinci sampai dengan satuan kerja; dan
3) Ekonomi dirinci sampai dengan jenis belanja.
Kementerian negara/lembaga dalam menyusun DIPA harus mengacu kepada
APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai dengan peraturan
presiden tentang rincian APBN, maka struktur penganggaran dalam DIPA harus terinci
sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja
dan lokasi.
Unit organisasi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi
anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing kementerian negara/lembaga atau
bagian anggaran yang dibagi menurut organisasi tingkat eselon/satker, sehingga
kementerian negara/lembaga selaku pengguna anggaran dan satker selaku kuasa
pengguna anggaran bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kegiatan pendukung
program sesuai dengan bagian anggarannya masing-masing.
Satuan kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian
negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
Kepala satuan kerja baik organisasi tingkat eselon I maupun tingkat eselon II, eselon III
atau eselon IV yang berdiri sendiri sebagai kuasa pengguna anggaran yang dibantu
dengan pejabat pengelola keuangan. Satuan kerja yang pimpinannya ditetapkan sebagai
kuasa pengguna anggaran dapat dikelompokkan menjadi satuan kerja pusat, satuan
kerja/unit pelaksana teknis, satuan kerja khusus, satuan kerja perangkat daerah, satuan
kerja non vertikal tertentu, dan atau satuan kerja sementara (bukan UPT).
Fungsi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi

anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan untuk masing-masing kementerian


negara/lembaga. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu
yang dilaksanakan kementerian negara/lembaga yang dirinci ke dalam 11 fungsi utama,
yaitu pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan
hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan dan perlindungan sosial. Kesebelas fungsi utama tersebut dirinci ke dalam 79
subfungsi. Penggunaan fungsi dan subfungsi dalam DIPA disesuaikan dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing kementerian negara/lembaga.
Program adalah penjabaran kebijaksanaan kementerian negara/lembaga dalam
bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber
daya yang disediakan untuk mencapai hasil terukur sesuai dengan misi kementerian
negara/lembaga.
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu
atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu
program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik berupa
personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana,
atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan
(input) dalam bentuk barang/jasa.
Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian
sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Adanya subkegiatan adalah sebagai konsekuensi
adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran antar subkegiatan dalam kegiatan tersebut.
Dengan demikian, subkegiatan yang satu dipisahkan dengan subkegiatan lainnya
berdasarkan perbedaan keluaran. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan dan pelatihan
aparatur negara dengan sub kegiatan penyelenggaraan diklat penjenjangan dengan
keluaran antara lain jumlah peserta didik, subkegiatan penyelenggaraan diklat fungsional
dengan keluaran antara lain jumlah lulusan, sub kegiatan pengembangan kurikulum
diklat dengan keluaran antara lain jumlah modul.
Pengertian hasil (outcome) adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Pengertian keluaran (output)
adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk
mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijaksanaan.
Mengenai indikator hasil adalah segala sesuatu yang akan dicapai dari suatu
program pada jangka menengah sesuai dengan tujuan dan sasaran program.
Sedangkan indikator keluaran adalah sesuatu yang akan dicapai secara langsung dari
pelaksanaan suatu kegiatan, yang terdiri dari: biaya harga yaitu jumlah biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat keluaran tertentu; kuantitas yaitu jumlah
unit barang atau jasa yang akan dihasilkan; kualitas yaitu mutu barang dan atau jasa
yang dihasilkan berdasarkan kepuasan penerima manfaat dan ketepatan waktu.
Kegiatan pada prinsipnya disusun dengan mengacu kepada rencana
pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, rencana strategis
kementerian negara/lembaga dan program prioritas pendukung kementerian
negara/lembaga. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan rumusan
kegiatan, antara lain:
a. Penentuan suatu kegiatan berdasarkan atas program dalam satu lingkungan unit
eselon I. Instansi pusat pada dasarnya melakukan kegiatan yang bersifat pembinaan,
koordinasi, integrasi, sinkronisasi pada setiap tahapan manajemen atau melakukan
kegiatan rintisan dalam rangka pengembangan sistem tertentu dengan lingkup
nasional.
b. Untuk kegiatan-kegiatan non fisik yang karena sifat dan permasalahannya
memerlukan keterpaduan sistem pada tingkat nasional dapat dipertimbangkan untuk

dijadikan sebagai kegiatan pusat.


c. Untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pembangunan, perluasan, perawatan atau
pemeliharaan sarana fisik/gedung dan atau pengadaan barang/jasa yang kegiatannya
secara nyata berada di daerah propinsi/kabupaten/kota agar dialokasikan ke daerah
yang bersangkutan dengan cara mengintegrasikan kegiatan dimaksud kedalam
kegiatan di daerah yang sejenis pada program yang sama menjadi kegiatan atau
unsur kegiatan. Apabila tidak ada kegiatan yang sejenis yang menampungnya dapat
diciptakan kegiatan baru yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi pengalokasian
dana ke daerah propinsi/kabupaten/kota, maka pengadaan barang/jasa tersebut tidak
diperkenankan dilaksanakan oleh unit eselon I di pusat.
d. Kegiatan operasional yang merupakan kegiatan lanjutan, pada waktu menyusun
anggaran yang direncanakan perlu dicantumkan prakiraan maju untuk tahun
berikutnya. Kegiatan lanjutan adalah kegiatan terusan dari kegiatan tahun
sebelumnya yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari satu tahun anggaran,
termasuk kegiatan-kegiatan yang merupakan bagian dari suatu rencana induk (master
plan) dan kegiatan-kegiatan yang penyelesaiannya memerlukan waktu lebih dari satu
tahun (multi years).
Dokumen yang digunakan sebagai dasar penyusunan rincian kegiatan dan
anggaran dalam DIPA yaitu:
a. Undang-Undang mengenai APBN,
Alokasi anggaran dalam APBN merupakan pagu suatu Kemeterian Negara/Lembaga
yang dapat dialokasikan pada DIPA satuan kerja pada Kemeterian Negara/Lembaga
berkenaan.
b. Peraturan Presiden mengenai Rincian Angggaran Belanja Pemerintah Pusat
(RABPP) sebagai dasar alokasi.
Perpres mengenai RABPP merupakan dasar penyusunan DIPA untuk masingmasing
satuan kerja yang dirinci sampai dengan jenis belanja.
c. RKA-KL yang telah disetujui DPR dan telah ditelaah oleh Direktorat Jenderal
Anggaran.
RKA-KL hasil penelaahan dengan DJA menjadi dasar penyusunan konsep DIPA
untuk memastikan bahwa satuan anggaran dalam konsep DIPA telah sesuai dengan
formulasi anggaran yang telah disepakati.
d. Bagan Akun Standar (BAS)
Penyusunan DIPA harus memperhatikan standar dalam BAS untuk memastikan
rencana kerja telah dituangkan sesuai dengan standar kode dan uraian yang diatur
dalam ketentuan tentang akuntansi pemerintah.
e. Surat Rincian Alokasi Anggaran (SRAA) yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan untuk satuan kerja yang DIPA-nya ditelaah di daerah.
Suatu dokumen pelaksanaan anggaran dapat disebut DIPA (lengkap) apabila
telah terdiri dari:
a. Surat pengesahan DIPA (SP DIPA), berisi informasi mengenai hal-hal yang disahkan
dari DIPA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan.
b. DIPA halaman I (Umum), terdiri dari halaman IA dan halaman IB. Halaman IA
memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satker. Halaman IB memuat
informasi umum tentang rincian fungsi, program dan sasarannya, serta indikator
keluaran untuk masing-masing kegiatan.
c. DIPA halaman II, berisi informasi setiap satker, uraian kegiatan/sub kegiatan beserta
volume keluaran yang hendak dicapai serta alokasi dana pada masing-masing
belanja yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran. Rincian halaman II untuk

masing-masing DIPA adalah sebagai berikut:


1) hibah, meliputi belanja bunga utang dalam negeri, belanja bunga utang luar
negeri, penerusan pinjaman dan belanja hibah. DIPA kementerian
negara/lembaga, meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.
2) DIPA perimbangan keuangan negara, meliputi belanja daerah dana alokasi
umum, belanja daerah dana alokasi khusus, belanja daerah dana bagi hasil,
belanja daerah dana penyesuaian, dan belanja daerah dana otonomi khusus.
3) DIPA pembayaran bunga utang
4) DIPA subsidi dan transfer berisi belanja subsidi.
5) DIPA pembiayaan, meliputi pembiayaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri,
penerusan pinjaman dan penyertaan modal pemerintah.
d. DIPA halaman III, berisi informasi tentang rencana penarikan dana dan penerimaan
negara bukan pajak yang menjadi tanggungjawab setiap satker. Dalam hal
pencantuman angka rencana penarikan pengeluaran pada halaman III DIPA
berdasarkan rencana kerja, satker perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Untuk belanja pegawai, rencana penarikan pengeluaran per bulan adalah
seperdua belas dari pagu gaji satu tahun (agar diperhatkan/disesuaikan pula jika
terdapat perencanaan untuk membayar Gaji ke-13 yang dalam praktek seringkali
dibayarkan);
2) Untuk belanja barang dan modal, agar memperhatikan kebutuhan berdasarkan
rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang
meliputi rencana penarikan uang persediaan dan rencana penarikan langsung
untuk setiap bulan.
e. DIPA halaman IV, berisi catatan-catatan yaitu hal-hal yang perlu menjadi perhatian
oleh pelaksana kegiatan.
Dalam hal DIPA memerlukan perubahan, pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran dapat melakukan revisi DIPA untuk selanjutnya diajukan pengesahannya
kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan.
Berdasarkan pembagian anggaran dalam APBN, jenis DIPA dapat
dikelompokkan atas DIPA Kemeterian Negara/Lembaga dan DIPA Bendahara Umum
Negara
a. DIPA Kementerian Negara/Lembaga
DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran dari Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang dikategorikan
menjadi:
1) DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat
DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh
satker yang merupakan satker pusat atau satker Kantor Pusat suatu kementerian
negara/lembaga, termasuk di dalamnya untuk DIPA Badan Layanan Umum
(BLU), dan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).
Satuan Kerja Pusat dapat terdiri dari satkersatker yang dibentuk oleh
kementerian negara/lembaga secara fungsional dan bukan merupakan instansi
vertikal. Sedangkan Satuan Kerja Kantor Pusat adalah satker dalam lingkup
Kantor Pusat suatu kementerian negara/lembaga. Konsep DIPA Satker
Pusat/kantor Pusat disusun dan ditetapkan oleh satker masing-masing
kementerian negara/lembaga.
2) DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah

DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah adalah DIPA yang memuat rincian


penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Kantor/Instansi Vertikal Kementerian Negara/Lembaga di daerah.
Konsep DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah disusun dan ditetapkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Vertikal yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri/ Ketua Lembaga.
3) DIPA Dana Dekonsentrasi
DIPA Dana dekonsentrasi adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan dana
dekonsentrasi, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur.
Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala SKPD
yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pendelegasian wewenang dari
Menteri/Ketua Lembaga.
4) DIPA Tugas Pembantuan
DIPA Tugas Pembantuan adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan Tugas
Pembantuan, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Propinsi/Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur/
Bupati/Walikota.
Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala Satker
Pusat yang ditunjuk oleh Menteri/Ketua Lembaga.
b. DIPA Bendahara Umum Negara (DIPA-BUN)
DIPA BUN atau yang sebelumnya dikenal dengan DIPA Anggaran Pembiayaan dan
Perhitungan adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran yang
bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) yang dikelola
oleh Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran. BA-BUN terdiri dari:
1) Pengelolaan Utang Pemerintah (999.01)
2) Pengelolaan Hibah (999.02)
3) Pengelolaan Investasi Pemerintah (999.03)
4) Pengelolaan Penerusan Pinjaman (999.04)
5) Pengelolaan Transfer ke Daerah (999.05)
6) Pengelolaan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (999.06)
7) Pengelolaan Transaksi Khusus (999.99)
Dalam menyusun DIPA, PA/Kuasa PA bertanggungjawab sepenuhnya terhadap
kegiatan dan perhitungan biaya yang dalam penyusunannya berpedoman pada
Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya Umum dan Standar Biaya
Khusus.
b. Pencantuman PHLN dalam DIPA
Pencantuman pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dalam DIPA harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam loan agreement berkenaan,
karena kesalahan dalam pencantuman dana PHLN dapat berakibat terjadinya kesalahan
pembayaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencantuman PHLN dalam DIPA,
yaitu:
a. Status loan.
Dana PHLN harus memilki status loan yang jelas, dalam arti naskah perjanjian
pinjaman/hibah luar negeri (NPHLN) berkenaan sudah ditandatangani dan dinyatakan
efektif serta telah diberi kode registrasi PHLN.
b. Jenis cara pembayaran.
Pencantuman cara penarikan pinjaman luar negeri (PLN) seperti Rekening Khusus

(RK), Pembayaran Langsung (PL), Pembukaan Letter of Credit (L/C) dan Penarikan
Langsung Hibah berpedoman pada SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor: 185/ KMK.03/1995 Kep.031/KET/5/1995 yang telah diubah dengan SKB Menteri Keuangan dan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor
459/KMK.03/1999 - Kep.264/KET/09/1999 serta ketentuan lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
c. Alokasi dana.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengalokasikan dana PHLN dalam DIPA, yaitu:
1) Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam uraian kategori
dalam PHLN;
2) Dana PHLN untuk setiap kategori pengeluaran masih cukup tersedia. Hal ini
penting untuk menghindarkan terjadinya overdrawn atau kelebihan penarikan suatu
kategori;
3) Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam NPPHLN;
4) Khusus PHLN yang penarikannya melalui tatacara L/C, perlu diperhatikan nilai
kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan pembukaan
rekening L/C di Bank Indonesia oleh KPPN Jakarta VI dan KPPN Khusus Banda
Aceh.
5) Dalam hal NPPHLN mensyaratkan adanya dana pendamping (porsi dan non
porsi), maka kementerian/lembaga wajib menyediakan dana pendamping dalam
RKA-KL
d. Standar biaya.
Pembiayaan kegiatan/subkegiatan yang bersumber dari PHLN mengacu kepada
Standar Biaya Umum (SBU), Standar Biaya Khusus (SBK) dan Billing rate. Dalam hal
belum tersedia standar biaya, maka dapat digunakan Rincian Anggaran Biaya.
e. Kartu Pengawasan Alokasi Pagu PHLN
Kartu pengawasan tersebut memuat antara lain :
1) nama, tanggal, nomor NPPHLN;
2) nama pemberi pinjaman;
3) executing agency/implementing agency;
4) nomor register PHLN;
5) tanggal efektif PHLN;
6) closing date;
7) besaran pinjaman yang tercantum dalam NPPHLN;
8) kategori dan porsi PHLN;
9) tata cara dan rencana penarikan yang dituangkan dalam RKA-KL;
10) sisa yang belum dialokasikan.
f. Memahami NPPHLN.
Untuk menghindarkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang ineligible, maka isi dari loan
agreement (NPPHLN) dan staff appraisal report (SAP) harus dipahami, terutama
mengenai: (i) porsi beban loan untuk masing-masing kegiatan/kategori, (ii) kegiatankegiatan
yang dapat dibiayai loan, (iii) closing date, (iv) lokasi sasaran/cakupan
kegiatan, dan (vi) ketentuan loan lainnya jika ada (cara pembayarannya, dan
sebagainya).
6. Penyusunan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK)
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam DIPA, setelah DIPA
disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menerbitkan Petunjuk
Operasional Kegiatan (POK) yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari DIPA. POK

berfungsi sebagai:
a. Pedoman dalam melaksanakan kegiatan/aktivitas ;
b. Alat monitoring kemajuan pelaksanaan kegiatan/aktivitas ;
c. Alat perencanaan kas untuk kebutuhan dana ; dan
d. Sarana untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efeklivitas pelaksanaan
anggaran.
POK disusun berdasarkan DIPA dan RKA-KL yang telah disetujui DPR dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan APBN. POK paling sedikit memuat
uraian tentang :
a. Kode dan nama departemen/unit organisasi/satua kerja dan program;
b. Kode dan nama kegiatan/subkegiatan/akun;
c. Rincian kegiatan/subkegiatan/akun;
d. Rincian volume, harga satuan dan jumlah biaya;
e. Sumber dana dan kode kewenangan;
f. Pelaksana Aktivitas;
g. Tata cara pengadaan/pekerjaan (kontraktual dan non kontraktual);
h. Rencana pelaksanaan kegiatan (time schedule) yang dilengkapi dengan perkiraan
penarikan dana per aktivitas per bulan.
Dalam hal terdapat perubahan POK sebagai akibat dari revisi DIPA, penyesuaian
atas realisasi, perubahan jadwal pelaksanaan aktivitas dan lainnya, maka POK harus
disesuaikan/direvisi. Revisi terhadap POK sepanjang tidak mengubah DIPA dilakukan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila perubahan POK mengakibatkan perubahan rencana penarikan dana per
bulan, maka penyesuaian/revisi POK tersebut digunakan untuk merevisi halaman III DIPA.
Revisi halaman III DIPA disampaikan kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (apabila DIPA daerah) atau kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan
(apabila DIPA Pusat) untuk disahkan. Revisi sebagaimana tersebut di atas disampaikan
setiap awal triwulan berikutnya.

MPKS : BAB III : PELAKSANAAN ANGGARAN


BAB III
PELAKSANAAN ANGGARAN
A. Prinsip Pelaksanaan Anggaran
Pelaksanaan anggaran merupakan bagian dari siklus anggaran yang terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Dengan berlakunya
ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pelaksanaan
anggaran di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut di atas.
Berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan
negara. Sebagai tindak lanjut hal tersebut maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. Sesuai dengan

kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang


Perbendaharaan Negara menganut asas-asas sebagai berikut:
1. Asas kesatuan, menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara/daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara
utuh dalam dokumen anggaran.
3. Asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu.
4. Asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya.
Selanjutnya, peraturan yang melingkupi mekanisme dalam pelaksanaan anggaran
diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan lain di bawahnya
yang antara lain terdiri dari:
1. Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 72 tahun 2004.
2. Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2006.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman
Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar.
5. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor.192/PMK.05/2009 Tentang Perencanaan Kas
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2009 Tentang Petunjuk Penyusunan
dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran Tahun Anggaran 2010
8. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-03/PB/2010 Tentang
Perkiraan Penarikan Dana Harian Satuan Kerja dan Perkiraan Pencairan Dana Harian
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Tahapan pelaksanaan anggaran oleh satker dimulai ketika UU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disahkan oleh DPR. Setelah APBN ditetapkan
dengan undang-undang, rincian pelaksanaaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Berdasarkan Peraturan Presiden tentang
rincian APBN, Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga
agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran
yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Wujud dari dokumen
pelaksanaan anggaran masing-masing kementerian negara/lembaga tersebut adalah
disusunnya DIPA (Daftar Isian Pelaksanaaan Anggaran) bagi masing-masing satker
lingkup kementerian negara/lembaga bersangkutan. DIPA memuat pelaksanaan kegiatan
satker dalam satu tahun anggaran yang berimplikasi pada adanya penerimaan maupun

pengeluaran anggaran pada satker tersebut. Jadi secara garis besar pelaksanaan
anggaran pada satker terdiri dari kegiatan penerimaan dan pengeluaran anggaran.
B. Pejabat Perbendaharaan Negara pada Satuan Kerja
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
menjelaskan bahwa Pejabat Perbendaharaan Negara terdiri dari:
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
2. Bendahara Umum Negara/Daerah
3. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran
Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran terdapat pada
setiap kementerian negara/lembaga. Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum
Negara, sedangkan Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah Bendahara
Umum Daerah.
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
menyebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang. Dalam rangka penetapan pejabat yang terkait pelaksanaan
anggaran pada satuan kerja (satker) di lingkungan kementerian negara/lembaganya,
menteri/pimpinan lembaga berwenang antara lain untuk:
a. Menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Barang
b. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara
c. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang
d. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran
e. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara
Pada setiap awal tahun anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Anggaran (PA) menunjuk Pejabat Kuasa PA untuk satker/ SKS di lingkungan instansi PA
bersangkutan dengan surat keputusan. Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa PA untuk menunjuk:
a. Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/ pembuat komitmen;
b. Pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan
menandatangani SPM;
c. Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja.
Untuk pelaksanaan anggaran dekonsentrasi, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat Kuasa PA, PPK, PP-SPM dan
Bendahara Pengeluaran kepada Gubernur. Sedangkan untuk pelaksanaan anggaran
dalam rangka tugas perbantuan, Menteri/Ketua Lembaga mendelegasikan kewenangan
untuk menunjuk pejabat KPA, PPK, PP-SPM dan Bendahara Pengeluaran kepada
Gubernur/Walikota/Bupati Kepala Desa.
Dalam menunjuk para pejabat tersebut harus diperhatikan larangan perangkapan
jabatan, sebagai berikut:
a. PA/Kuasa PA tidak boleh merangkap sebagai Bendahara Penerimaan/Pengeluaran,
b. Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat penerbit SPM, dan Bendahara Pengeluaran

tidak boleh saling merangkap.


c. Dalam hal pejabat/pegawai pada satuan kerja tidak memungkinkan pemisahan fungsi
karena jumlah pegawai yang sangat terbatas, maka pejabat Kuasa PA dapat
merangkap sebagai Pejabat Penerbit SPM.
Terkait dengan pendelegasian wewenang dari Pengguna Anggaran, Kuasa PA
mendelegasikan wewenang kepada:
a. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang diberi kewenangan untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. Pejabat ini
mempunyai kewenangan untuk mengadakan perikatan-perikatan terkait dengan
pengadaan barang dan jasa, serta mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
kepada Pejabat Penerbit SPM.
b. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PP SPM)
Sesuai Pasal 18 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, PA/Kuasa PA berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran
/akun yang telah disediakan dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas
beban APBN. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Pejabat Penerbit SPM yang telah ditunjuk oleh PA/Kuasa PA dengan Surat
Keputusan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut PP-SPM berwenang untuk:
1) Menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih,
2) Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan
dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa,
3) Meneliti tersedianya dana yang bersangkutan,
4) Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran (akun) yang
bersangkutan,
5) Memerintahkan kepada Kuasa BUN untuk melakukan pembayaran atas beban
APBN.
c. Petugas Pengelola Administrasi Belanja Pegawai (PPABP)
Berdasarkan pada Surat Dirjen Perbendaharaan No. S-4331/PB/2009 tanggal 30 Juli
2009 hal penunjukan PPABP, PPABP adalah pembantu Kuasa PA yang diberi tugas
dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi belanja pegawai
yang meliputi penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban belanja pegawai
pada satuan kerja.
Penunjukan PPABP pada satker ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 133/PMK.05/2008 tentang Pengalihan Pengelolaan Administrasi Belanja
Pegawai Negeri Sipil Pusat/Anggota Tentara Nasional Indonesia/Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia kepada Kementerian Negara/Lembaga bahwa dalam
rangka pengalihan pengelolaan administrasi belanja pegawai, maka setiap satker
diwajibkan untuk segera menunjuk PPABP untuk melaksanakan pengelolaan
adminitrasi belanja pegawai. Dalam hal pengelolaan administrasi belanja pegawai
telah dialihkan, Kuasa PA/Kepala satker bertanggung jawab terhadap:
1) pengujian, pembebanan pada mata anggaran yang disediakan, dan perintah
pembayaran tagihan-tagihan atas beban belanja pegawai dalam rangka
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

2) penyelenggaraan pengelolaan administrasi belanja pegawai;


3) pengawasan pengelolaan administrasi belanja pegawai; dan
4) kerugian negara yang timbul sebagai akibat kesalahan dan/atau kelalaian dalam
pengelolaan dan administrasi belanja pegawai.
d. Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa
Pejabat pengadaan barang dan jasa adalah personil yang diangkat oleh pengguna
barang atau jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang dan jasa dengan
nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00. Tugas dari pejabat pengadaan barang dan
jasa antara lain:
1) Menyusun jadwal dan menetapkan pelaksanaan pengadaan
2) Menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS)
3) Menyiapkan dokumen pengadaan
4) Melakukan penilaian kualifikasi penyedia barang dan jasa
5) Melaksanakan proses penunjukan langsung
6) Mengawasi pelaksanaan pengadaan oleh penyedia barang dan jasa
7) Memeriksa hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa
8) Mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan apabila pekerjaan telah selesai
100%
e. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
Panitia pengadaan barang dan jasa adalah tim yang diangkat oleh pengguna
barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa, dan berasal dari
pegawai negeri baik dari instansi sendiri maupun instansi teknis lainnya. Panitia
pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
oleh panitia pengadaan adalah sebagai berikut:
1) Memiliki integritas moral, disiplin, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
2) Memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;
3) Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia pengadaan yang
bersangkutan;
4) Memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan
berdasarkan Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5) Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan
menetapkannya sebagai panitia pengadaan;
6) Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.
2. Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran
Dalam pasal 1 angka 14 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara disebutkan bahwa Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi
tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan
membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
negara/daerah. Sehubungan dengan pelaksanaan anggaran pada satuan kerja,
bendahara terdiri:
a. Bendahara Penerimaan
Bendahara penerimaan pada satker setiap tahun diangkat oleh menteri/pimpinan

lembaga dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan dalam pelaksanaan


anggaran pendapatan pada satker di lingkungan kementerian negara/lembaga.
Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima, menyimpan,
menyetor, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan penerimaan negara
bukan pajak yang berada dalam pengelolaannya. Untuk melaksanakan tugas
tersebut menteri/pimpinan lembaga dapat membuka Rekening Penerimaan pada
Bank Umum/Kantor Pos setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Keuangan selaku BUN dan dikuasakan kepada Kuasa BUN di daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bendahara Penerima dapat dibantu oleh
sekretariat/anggota yang jumlahnya maksimum 5 orang dan sesuai pasal 10 ayat
4 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 jabatan Bendahara Penerimaan ini tidak
boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa BUN. Sesuai pasal
4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 tahun 2006 dinyatakan bahwa
kementerian negara/lembaga mencantumkan seluruh estimasi pendapatan ke
dalam DIPA satuan kerja kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. DIPA
tersebut atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan
dengan DIPA merupakan dokumen sumber untuk mencatat estimasi
pendapatan.
b. Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan
uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada
kantor/satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran diangkat oleh menteri/pimpinan lembaga
Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan
kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan jabatan Bendahara
Pengeluaran antara lain:
1) Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa
Pengguna Anggaran/Kuasa Bendahara Umum Negara.
2) Bendahara Pengeluaran dilarang melakukan kegiatan perdagangan,
pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai
penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut
3) Bendahara Pengeluaran mengelola uang persediaan untuk keperluan
operasional sehari-hari kantor dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas
satuan kerja.
4) Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan
yang dikelolanya setelah:
a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran;
c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

5) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Kuasa PA


apabila persyaratan tidak dipenuhi.
6) Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
uang negara yang berada di bawah pengelolaannya.
Struktur ideal organisasi pengelola keuangan pada satuan kerja:
++++++++++++++++++++++
BAGAN Gambar 1 : Struktur Organisasi Pengelola Keuangan pada Satuan Kerja
++++++++++++++++++++++
C. Pelaksanaan Pengeluaran pada Satuan Kerja
1. Gambaran Umum Pengeluaran Negara
Pengertian belanja negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Sedangkan pengeluaran negara adalah
uang yang keluar dari kas negara
++++++++++++++++++++++++
Gambar 2 : Belanja Negara
++++++++++++++++++++++++
Belanja pemerintah pusat dikelompokkan atas belanja pemerintah pusat
menurut organisasi/bagian anggaran, fungsi, dan jenis belanja. Belanja pemerintah
pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan
kepada kementerian negara/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan
dijalankan. Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah semua pengeluaran
Negara yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi
pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan
hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata
dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikkan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja pemerintah menurut jenis belanja adalah semua pengeluaran negara yang
digunakan untuk mebiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lainlain.
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih. Pengeluaran daerah adalah semua uang yang
keluar dari kas daerah. Pengeluaran tersebut untuk membiayai dana perimbangan
serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dana perimbangan adalah semua
pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas
dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
134/PMK.06/ 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN,
peran Menteri Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara selaku BUN adalah
mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
anggaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa KPPN adalah Kuasa BUN di daerah yang
dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN melaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara secara giral. Penerimaan negara secara giral adalah proses
penerimaan negara dari sumber-sumber penerimaan ke dalam rekening Kas

Umum Negara (KUN) yang dilakukan dengan memindahbukukan dana tersebut


antar rekening bank sedangkan yang dimaksud dengan pengeluaran negara
secara giral adalah proses pembiayaan suatu kegiatan dengan sumber dana dari
APBN yang dilakukan dengan memindahbukukan dana antar rekening bank.
Pengecualian diberikan untuk pengadaan barang/jasa kepada satu rekanan yang
nilainya setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- dapat dibayarkan melalui uang
persediaan (uang kas) yang dikelola Bendahara Pengeluaran.
Pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang
dipersyaratkan.
2) Efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan,
serta fungsi setiap departemen/lembaga/pemerintah daerah.
3) Mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.
4) Belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak
dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Dengan demikian,
pembayaran atas beban rekening kas negara baru dapat dilaksanakan jika
pekerjaan yang diperjanjikan sudah selesai dikerjakan dan diserahterimakan.
5) Jumlah dana yang dimuat dalam anggaran belanja merupakan batas tertinggi
untuk tiap-tiap pengeluaran. Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga
tidak diperkenankan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
atas beban APBN jika dana untuk membiayai tindakan tersebut tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia dalam anggaran belanja negara atau tindakan
tersebut tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam anggaran
belanja negara.
Pengeluaran yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai belanja negara
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, terkait dengan prinsip-prinsip dalam belanja
negara maka terdapat pengeluaran-pengeluaran yang tidak dapat dibebankan
kepada anggaran belanja negara yaitu: (i) perayaan atau peringatan hari besar,
hari raya, hari ulang tahun, pesta untuk berbagai peristiwa, dan pekan olahraga
pada departemen/ lembaga/pemerintah daerah, (ii) pemberian ucapan selamat,
hadiah, tanda mata, karangan bunga, dan sebagainya untuk berbagai peristiwa,
dan (iii) pengeluaran lain-lain untuk kegiatan/keperluan yang sejenis. Untuk
penyelenggaraan rapat, rapat dinas, seminar, pertemuan, lokakarya, peresmian
kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi pada hal-hal yang sangat penting dan
dilakukan sesederhana mungkin.
2. Pembayaran Atas Beban APBN
Pembayaran atas beban APBN dapat dilaksanakan melalui dua cara, yaitu:
a. Cara Pembayaran Uang Persediaan (UP)
b. Cara Pembayaran Langsung (LS)
a. Cara Pembayaran Uang Persediaan (UP)
Cara pembayaran UP adalah melalui uang yang dikelola oleh bendahara
pengeluaran untuk jenis belanja dan jumlah pembayaran tertentu yang tidak dapat

dilakukan dengan pembayaran langsung. Pembayaran dengan UP selanjutnya dapat


dijabarkan sebagai berikut:
1) Uang Persediaan (UP)
2) Tambahan Uang Persediaan (TUP)
3) Penggantian Uang Persediaan (GUP)
+++++++++++++++++++++++++
Gambar 3 : Model Pembayaran Uang Persediaan (UP)
+++++++++++++++++++++++++
1) Uang Persediaan (UP)
Sesuai dengan terminologi yang telah disebutkan sebelumnya, UP adalah
uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan
kepada bendahara pengeluaran satker hanya untuk membiayai kegiatan operasional
kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Penggunaan uang persediaan ini menjadi tanggungjawab bendahara pengeluaran
pada masing-masing satker.
Pengisian kembali (revolving) uang persediaan dilakukan setelah uang
persediaan digunakan sekurang-kurangnya 75% sepanjang masih tersedia pagu dana
dalam DIPA. Sisa uang persediaan yang ada di bendahara pengeluaran pada akhir
tahun anggaran harus disetorkan kembali ke rekening kas negara selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa uang persediaan
dimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian uang persediaan sesuai akun
yang ditetapkan.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-73/PMK.05/2008 tentang
Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja dan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Nomor PER-47/PB/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja untuk membantu pengelolaan
uang persediaan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian/lembaga,
apabila diperlukan Kuasa PA dapat mengangkat satu atau lebih Bendahara
Pengeluaran Pembantu (BPP).
Dalam rangka untuk mempercepat pencairan dana bagi satker, Ditjen
Perbendaharaan menerbitkan Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor S3205/PB/2009 tanggal 8 Juni 2009 tentang Pencairan Dana Kelompok Akun 5242
(Belanja Perjalanan Luar Negeri) dan Belanja Modal Melalui Mekanisme Uang
Persediaan sebagai berikut :
a) Belanja Perjalanan Luar Negeri (kelompok Akun 5242) dengan jumlah melebihi Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dapat dibayarkan melalui mekanisme Uang
Persediaan (UP) tanpa diperlukan persetujuan dari Direktur Jenderal
Perbendaharaan;
b) Uang Persediaan juga dapat diberikan untuk Belanja Modal Kelompok Akun 5311,
5321, 5331, 5341, dan 5361 (sepanjang untuk pengeluaran honor tim, ATK,
perjalanan dinas, biaya pengumuman lelang, pengurusan surat perijinan dan
pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung dalam

rangka perolehan aset).


Adapun besaran UP bagi satker-satker kementerian negara/lembaga dapat
diberikan setinggi-tingginya:
1) 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan
untuk diberikan UP, maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk
pagu sampai dengan Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah).
2) 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut kualifikasi belanja yang
diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
untuk pagu di atas Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah).
3) 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang
diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
untuk pagu diatas Rp 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah).
Perubahan besaran UP di luar ketentuan di atas, ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Sesuai dengan pasal 7 (angka 1) Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan atas Beban APBN, Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas
permintaan bendahara pengeluaran yang dibebankan pada akun transito. Kode
kegiatan untuk akun transito tersebut yaitu:
a) untuk rupiah murni 0000.0000.825111
b) pinjaman luar negeri 9999.9999.825112
c) PNBP 0000.0000.825113
Pembayaran UP yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
satu rekanan tidak boleh melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kecuali
untuk pembayaran honor.
2) Tambahan Uang Persediaan (TUP)
Dalam hal terdapat kebutuhan yang mendesak, sementara Uang Persediaan
(UP) tidak mencukupi untuk membiayai keperluan tersebut, maka dapat diberikan
Tambahan Uang Persediaan (TUP), dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) untuk klasifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi
instansi dalam wilayah pembayaran KPPN bersangkutan.
b) Permintaan TUP diatas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk klasifikasi
belanja yang diperbolehkan diberi UP harus mendapat dispensasi dari Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh bendahara pengeluaran satker
untuk mengajukan TUP yaitu:
a) Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
b) Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
c) Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada
bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
d) Apabila ketentuan pada butir c) tersebut di atas tidak dipenuhi kepada satker
yang bersangkutan tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran

berkenaan.
e) Pengecualian terhadap butir d) diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
3) Penggantian Uang Persediaan (GUP)
Surat permintaan pembayaran UP pada prinsipnya hanya diajukan satu kali
dalam satu tahun anggaran, yaitu pada awal tahun. Pada tahap berikutnya, bukan lagi
UP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran, tetapi GUP adalah merupakan
revolving dana UP yang telah dipergunakan dengan persyaratan dana UP tersebut
telah terealisasi minimal 75%.
Penggantian Uang Persediaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) GUP Isi
Setelah rekening bendahara pengeluaran terisi uang persediaan, penggunaan UP
menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran. Bentuk pertanggungjawaban
penggunaan UP oleh bendahara pengeluaran dituangkan dalam bentuk GUP Isi.
Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaa UP yang dikelola
oleh bendahara pengeluaran, GUP Isi sekaligus berfungsi sebagai pengisian
kembali UP.
b) GUP Nihil
Setelah rekening bendahara pengeluaran terisi tambahan uang persediaan,
penggunaan TUP menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran. Bendahara
wajib mempertanggungjawabkan TUP yang dikelolanya paling lambat satu bulan
setelah dikeluarkannya SP2D TUP oleh KPPN. Bentuk pertanggungjawaban atas
penggunaan TUP yang dikelolanya yaitu dengan pengajuan GUP Nihil.
Apabila dalam cara pembayaran UP dan TUP permintaan pembayarannya
masih menggunakan akun transito (belum membebani angaran), maka dalam model
GU ini kode akun yang digunakan telah disesuaikan dengan pembebanan tagihannya.
4) Cara pembayaran langsung (LS)
Cara pembayaran langsung (LS) yaitu perintah pembayaran langsung kepada
pihak ketiga yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atas
dasar perjanjian kontrak atau surat perintah kerja lainnya. Perintah pembayaran ini
dilakukan terhadap pengadaan barang dan/atau jasa, dimana sesuai ketentuan,
mekanisme pembayarannya dilakukan secara langsung oleh Kuasa Bendahara Umum
Negara yang berarti terhadap belanja tersebut telah membebani akun yang berkenaan.
+++++++++++++++++++++
Gambar 4 : Cara Pembayaran Langsung
+++++++++++++++++++++
Untuk pembayaran atas kegiatan yang telah dilaksanakan, dimana penerimanya
lebih dari satu, dapat diajukan dengan SPP-LS akan tetapi pembayarannya dilakukan
melalui bendahara pengeluaran untuk selanjutnya disampaikan kepada pihak-pihak yang
berhak menerima. Surat permintaan pembayaran tersebut disebut dengan SPP-LS
bendahara yang digunakan untuk pencairan belanja, antara lain belanja pegawai seperti
gaji, lembur, honor/vakasi, dan belanja perjalanan dinas.
Pembayaran dengan menggunakan cara pembayaran LS antara lain dapat
dilakukan untuk:

1) Pengadaan tanah
2) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
3) LS non Belanja Pegawai, yaitu:
a) Pembayaran pengadaan barang dan jasa:
b) Pembayaran biaya langganan daya dan jasa (listrik, telepon dan air)
c) Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pencairan
anggaran belanja negara adalah serangkaian proses penarikan dana APBN dari rekening
kas negara ke rekening penerima, dengan syarat dan prosedur sebagai berikut:
1) Adanya komitmen/perikatan pengadaan barang/jasa terlebih dahulu.
2) Setelah barang/jasa diserahterimakan, muncul hak tagih dari pelaksana kegiatan.
3) Berdasarkan hak tagih/bukti pengeluaran, dilakukan pemberkasan dalam bentuk
SPP.
4) Proses pengujian dilakukan atas SPP yang diajukan sebelum diterbitkan SPM
5) Berdasarkan SPM yang diajukan satuan kerja, KPPN menerbitkan SP2D, yaitu
perintah pemegang rekening kas negara kepada bank dimana rekening kas negara
ditempatkan untuk mentransfer dana ke rekening tertentu sesuai perintah
pembayaran.
3. Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
a. Pembukaan Rekening Bank/Pos oleh Satuan Kerja
Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran atas beban belanja negara, sebelum
mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), kepala satuan kerja wajib
memiliki rekening bank/pos. Pembukaan rekening tersebut harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari KPPN selaku kuasa BUN (bagi satuan kerja baru)
sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 57/PMK.05/2007
tentang Pengelolaan Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan
Kerja. Satker mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening kepada
KPPN dengan menggunakan surat permohonan persetujuan pembukaan rekening,
dengan dilampiri: (i) fotokopi dokumen pelaksanaan anggaran, dan (ii) surat
pernyataan tentang penggunaan rekening. Setelah KPPN menyetujui permohonan
tersebut, satker dapat melakukan pembukaan rekening atas nama bendahara
pengeluaran satker yang bersangkutan untuk dilaporkan ke KPPN melalui surat
laporan pembukaan rekening.
++++++++++++++++++++++++
Gambar 5 : Mekanisme Pembukaan Rekening Satuan Kerja
++++++++++++++++++++++++
Keterangan:
1. Satker mengajukan Surat Permohonan persetujuan pembukaan rekening ke KPPN
2. KPPN menerbitkan Surat Persetujuan Pembukaan Rekening
3. Satker Membuka Rekening pada Bank/Pos
4. Bank/Pos menerbitkan nomor rekening bagi satker
5. Satker Melaporkan Pembukaan nomor Rekening tersebut kepada KPPN
Selanjutnya proses pencairan dana APBN yang dilakukan Kuasa PA
menggunakan formulir sebagaimana ditentukan dalam lampiran Peraturan Dirjen

Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang


Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN. Adapun formulir tersebut
adalah:
a. Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
Formulir SPP berisi jumlah permintaan pembayaran yang diajukan oleh satuan kerja .
Satu formulir SPP menampung pengeluaran atas beban mata anggaran/akun yang
berada dalam satu satu klasifikasi belanja dan satu kegiatan yang sama.
b. Daftar Rincian Permintaan Pembayaran
Daftar ini merupakan lampiran SPP sebagai penjelasan atas penggunaan dana
sesuai mata anggaran/akun per klasifikasi belanja dalam satu subkegiatan. Daftar
Rincian Permintaan Pembayaran tersebut harus dilampiri dengan dokumen
pendukung yang terdiri dari:
1) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
Merangkum bukti-bukti pengeluaran (kuitansi) atas beban mata anggaran/akun
yang berada di dalam satu klasifikasi belanja dalam satu sub kegiatan.
2) Surat Bukti Setoran (SBS)
Dapat berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea Cukai (SSBC),
Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), SSPB (Surat Setoran Pengembalian
Belanja), dan lain-lain.
b. Dokumen Kelengkapan pada Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
1) SPP-UP (Uang Persediaan)
Dalam pengajuan SPP-UP harus dilampiri dokumen kelengkapan SPP-UP yaitu:
a) Formulir SPP;
b) SK pengelola keuangan satker (Kuasa PA, PPK, PP SPM, Bendahara
Pengeluaran) beserta specimen tanda tangan;
c) Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk, yang menyatakan
bahwa uang persediaan tersebut tidak untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
yang menurut ketentuan harus dibayar dengan LS.
2) SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan)
Dokumen kelengkapan SPP-TUP adalah sebagai berikut:
a) Formulir SPP;
b) Rincian rencana penggunaan dana Tambahan UP dari Kuasa Pengguna
Anggaran atau pejabat yang ditunjuk;
c) Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
(1) Dana tambahan UP tersebut akan digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal diterbitkannya SP2D;
(2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke rekening kas negara;
(3) Tidak untuk membiayai pengeluran-pengeluaran yang menurut ketentuan
harus dibayar dengan LS.
d) Rekening Koran Terakhir;
e) Besaran TUP diatur sebagai berikut :
(1) Sampai dengan jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus
mendapat persetujuan Kepala Kantor Perbendaharaan setempat (dalam
wilayah kerjanya);

(2) Diatas jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus mendapat
persetujuan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan(dalam wilayah
kerjanya).
SPP-TUP diterbitkan dengan menggunakan kode kegiatan/subkegiatan/mata
anggaran/akun:
a) untuk rupiah murni 0000.0000.825111
b) pinjaman/hibah luar negeri 9999.9999.825112
c) PNBP 0000.0000.825113
3) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan), terdiri:
a) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan) Isi
Dalam pengajuan SPP-GUP Isi (yang berasal dari pertanggungjawaban UP)
ini, dokumen kelengkapan adalah sebagai berikut:
(1) Formulir SPP;
(2) Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
(3) SPTB;
(4) Fotokopi faktur pajak;
(5) Fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh Kuasa PA
atau pejabat yang ditunjuk.
b) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan) Nihil
SPP-GUP Nihil terdiri dari:
1. SPP-GUP Nihil, pertanggungjawaban yang berasal dari permintaan UP
2. SPP-GUP Nihil, pertanggungjawaban yang berasal dari permintaan TUP
Dokumen yang dilampirkan dalam pengajuan SPP-GU Nihil adalah sebagai
berikut:
a) Formulir SPP;
b) Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
c) SPTB;
d) Fotokopi faktur pajak;
e) Fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh kuasa
Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk;
f) Surat tanda setoran (formulir SSBP), jika terdapat sisa uang persediaan yang
dimintakan untuk disetorkan kembali ke rekening kas negara. Mata anggaran
/akun yang digunakan dalam penyetoran sisa UP adalah:
(1) untuk rupiah murni : 815111
(2) untuk pinjaman luar negeri : 815112
(3) untuk PNBP : 815113
4) SPP UP/LS untuk Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui
mekanisme pembayaran langsung (LS). Apabila tidak mungkin dilaksanakan
melalui mekanisme LS, dapat dilakukan melalui mekanisme Uang Persediaan
(UP). Dokumen yang dilampirkan dalam pengajuan SPP UP/LS untuk Pengadaan
Tanah adalah sebagai berikut:
a) SPP-LS
(1) Surat Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya

lebih dari satu hektar di kabupaten/kota;


(2) Fotokopi bukti kepemilikan tanah yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
(3) Kuitansi;
(4) SPPT PBB tahun transaksi;
(5) Surat persetujuan harga;
(6) Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan
tidak sedang dalam agunan;
(7) Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan PPAT;
(8) SSP PPh final atas pelepasan hak;
(9) Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan).
b) SPP UP/TUP
(1) Pengadaan tanah yang luasnya kurang dari satu hektar dilengkapi
persyaratan daftar nominatif pemilik tanah yang ditandatangani oleh Kuasa
PA.
(2) Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari satu hektar dilakukan dengan
bantuan panitia pengadaan tanah di kabupaten/kota setempat dan
dilengkapi dengan daftar nominatif pemilik tanah dan besaran harga tanah
yang ditandatangani oleh Kuasa PA dan diketahui oleh Panitia Pengadaan
Tanah (PPT).
(3) Pengadaan tanah yang pembayarannya dilaksanakan melalui UP/TUP
harus terlebih dahulu mendapat ijin dispensasi dari Kantor Pusat Ditjen
Perbendaharaan/Kanwil Ditjen Perbendaharaan sedangkan besaran
uangnya harus mendapat dispensasi UP/TUP sesuai ketentuan yang
berlaku.
5) SPP-LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
a) Pembayaran Gaji Induk/ gaji susulan/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas dilengkapi dengan:
(1) Daftar Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas;
(2) SK CPNS;
(3) SK PNS;
(4) SK kenaikan pangkat;
(5) SK jabatan;
(6) Surat Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala;
(7) Surat Pernyataan Pelantikan;
(8) Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan;
(9) Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;
(10) Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga;
(11) Surat Nikah/Cerai/Kematian;
(12) Akta Kelahiran/Putusan Pengesahan/Pengangkatan Anak dari
Pengadilan;
(13) Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP);
(14) Daftar potongan Sewa Rumah Dinas,

(15) Surat Keterangan Masih Sekolah/Kuliah/ Kursus


(16) Surat Keputusan Mutasi Pindah,
(17) Surat Keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji,
(18) SK Pemberian Uang Tunggu,
(19) SSP PPh pasal 21,
(20) Arsip Data Komputer (ADK) aplikasi GPP.
Kelengkapan tersebut harus sesuai peruntukannya.
b) Pembayaran lembur dilengkapi dengan:
(1) Surat Perintah Kerja (SPK) Lembur;
(2) Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur termasuk Rekapitulasi
Perhitungan Lembur yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara
Pengeluaran, dan Kuasa PA/PPK;
(3) Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;
(4) Daftar Hadir Kerja Lembur;
(5) SSP PPh pasal 21; dan
(6) SPTJM dari Kuasa PA/PPK.
c) Pembayaran honor/vakasi dilengkapi dengan
(1) SK tentang pemberian honorarium/vakasi;
(2) Daftar pembayaran honorarium yang ditandatangani oleh PPABP,
Bendahara Pengeluaran, dan Kuasa PA/PPK;
(3) SSP PPh pasal 21;
(4) SPTJM dari Kuasa PA/PPK
6) SPP-LS non Belanja Pegawai:
a) Dokumen Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
(1) Kontrak/SPK yang mencantumkan nomor rekening rekanan;
(2) Surat pernyataan Kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
(3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
(4) Berita acara serah terima pekerjaan;
(5) Berita acara pembayaran;
(6) Kuitansi yang telah disetujui oleh Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
(7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak;
(8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau
Lembaga Keuangan non bank untuk pembayaran uang muka.
(9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri;
(10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN.
Berita acara penyelesaian pekerjaan, berita acara serah terima pekerjaan, dan
berita acara pembayaran dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 dan
disampaikan:
(1) Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
(2) Masing-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak;
(3) Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan.
b) Dokumen Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon
Gas, dan Air):

(1) Bukti tagihan daya dan jasa;


(2) No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom, PDAM,dll).
Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan secara
langsung, satker yang bersangkutan dapat melakukan pembayaran dengan UP.
Tunggakan langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat
dibayarkan oleh satker setelah mendapat dispensasi/persetujuan terlebih dahulu
dari Kanwil Ditjen. Perbendaharaan sepanjang dananya tersedia dalam DIPA
berkenaan.
7) SPP Belanja Perjalanan Dinas
a) Biaya Perjalanan Dinas Luar Negeri
Ketentuan mengenai biaya perjalanan dinas luar negeri diatur dalam PMK
No. 97/PMK.05/2010 tentang Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Pelaksanaan perjalanan
dinas luar negeri dilaksanakan dengan sangat selektif, yaitu hanya untuk
kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan. Perjalanan dinas luar negeri dilaksanakan
dengan memperhatikan ketersediaan dana dan kesesuian dengan pencapaian
kinerja Kementerian Negara/Lembaga. Perjalanan dinas luar negeri terdiri
dari:
1. Perjalanan dinas jabatan
Perjalanan dinas jabatan pada dasarnya berupa:
a. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di dalam negeri ke satu atau
lebih tempat tujuan di luar negeri dan kembali ke tempat kedudukan di
dalam negeri;
b. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke satu atau
lebih tempat tujuan di luar negeri dan kembali ke tempat kedudukan di
luar negeri;
c. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke tempat
tujuan di dalam negeri dan kembali ke tempat kedudukan di luar
negeri;
d. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke tempat
tujuan di dalam negeri dilanjutkan ke satu atau lebih tempat tujuan di
luar negeri lainnya dan kembali ke tempat kedudukan di luar negeri.
Termasuk dalam lingkup perjalanan dinas luar negeri tersebut di atas
adalah mengikuti tugas belajar, mendapatkan pengobatan di luar
negeri, menjemput/mengantar jenazah, detasering, kegiatan magang,
mengikuti konferensi/sidang internasional, mengikuti pameran/promosi,
dan mengikuti kegiatan training/diklat/kursus singkat.
2. Perjalanan dinas pindah
Perjalanan dinas pindah merupakan perjalanan dinas yang dilakukan
berdasarkan surat keputusan pindah dari Kementerian Luar Negeri dalam
rangka:
a. Penempatan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang
sah dari Indonesia untuk tugas tetap pada tempat tujuan pindah ke

Perwakilan;
b. Penempatan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang
sah untuk tugas tetap dari Perwakilan ke tempat tujuan pindah ke
Perwakilan lainnya;
c. Penarikan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang sah
untuk tugas tetap dari Perwakilan ke tempat tujuan pindah di dalam
negeri;
d. Pemulangan keluarga yang sah dari dari pejabat negara/pegawai
negeri yang meninggal dunia dari tempat tugas terakhirnya di luar
negeri ke tempat tujuan pindah di dalam negeri.
Pembayaran biaya perjalanan dinas luar negeri dapat dilaksanakan melalui
mekanisme uang persedian maupun pembayaran langsung, yaitu:
A. Mekanisme Uang Persediaan (UP)
Pembayaran melalui mekanisme UP dilakukan dengan memberikan uang
muka kepada pejabat/pegawai yang akan melaksanakan perjalanan dinas
oleh bendahara pengeluaran dari UP/TUP yang dikelolanya dengan
melampirkan dokumen:
1. Surat tugas dan surat persetujuan pemerintah, atau surat keputusan
pindah;
2. SPPD;
3. Kuitansi perjalanan dinas;
4. Rincian biaya perjalanan dinas.
B. Mekanisme Pembayaran Langsung (LS)
Pembayaran biaya perjalanan dinas luar negeri melalui mekanisme LS
melalui rekening bendahara pengeluaran atau pejabat/pegawai/pegawai
tidak tetap/pihak lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Biaya perjalanan dinas telah dipastikan jumlahnya sebelum
perjalanan dinas dilaksanakan, dengan ketentuan:
a) Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada yang
bersangkutan melebihi biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan,
kelebihan tersebut harus disetor ke kas negara;
b) Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada yang
bersangkutan kurang dari biaya perjalanan dinas yang
dikeluarkan, kekurangan tersebut tidak memperoleh
penggantian.
2. Perjalanan dinas telah dilakukan sebelum biaya perjalanan dinas
dibayarkan.
b) Biaya Perjalanan Dinas Dalam Negeri
Merupakan biaya perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat yang dituju
dan kembali ke tempat kedudukan semula dalam rangka dinas (sesuai
Perdirjen Perbendaharaan nomor PER-21/PB/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap), terdiri dari:
(1) Uang harian (sesuai wilayah/propinsi yang ditetapkan oleh Peraturan

Menteri Keuangan);
(2) Biaya transport pegawai (biaya yang diperlukan untuk perjalanan dari
tempat kedudukan ke terminal bus/stasiun/bandar/pelabuhan
keberangkatan sampai tempat tujuan pergi pulang, termasuk di dalamnya
retribusi yang dipungut di terminal/stasiun/bandara/pelabuhan sesuai
peraturan daerah setempat);
(3) Biaya transportasi dalam kota (sesuai dengan ketentuan yang berlaku);
(4) Biaya penginapan (biaya untuk menginap di hotel atau tempat lainnya
dalam hal tidak terdapat hotel);
(5) Uang representatif (bagi eselon II keatas);
(6) Sewa kendaraan dalam kota (diberikan kepada pejabat negara secara at
cost maksimum Rp 500.000,00/hari sudah termasuk biaya untuk
pengemudi, BBM, dan pajak dalam rangka keperluan pelaksanan tugas di
tempat tujuan.
c) Ketentuan khusus biaya perjalanan dinas dapat diberlakukan untuk keperluan
menjemput/mengantarkan jenazah Pejabat Negara/Pegawai Negeri/Pegawai
Tidak Tetap ke tempat pemakaman yang:
(1) Meninggal dunia dalam melakukan perjalanan dinas; atau
(2) Meninggal dunia dari tempat kedudukan yang terakhir ke kota tempat
pemakaman.
Selain biaya menjemput/mengantar jenazah tersebut di atas juga diberikan
biaya pemetian dan biaya angkutan jenazah.
Pada dasarnya perjalanan dinas menganut prinsip at cost (biaya riil). Dalam
hal biaya perjalanan dinas untuk mengikuti seminar, rapat, dan lain-lain yang
biaya perjalanan dinasnya dibebankan pada DIPA satker penyelenggara kegiatan,
biaya transportasi keberangkatan dibayarkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan
sesuai bukti pengeluaran. Sedangkan biaya transportasi kepulangan dibayarkan
sesuai tarif yang berlaku dengan mengacu bukti biaya transportasi yang
disampaikan pada saat kedatangan. Apabila biaya tiket kepulangan lebih besar
dari kedatangan, selisih biaya dapat dimintakan dengan melampirkan asli kuitansi
pembelian tiket dan foto copy tiket kepulangan.
Pembayaran biaya perjalanan dinas dapat dilakukan dengan mekanisme Uang
Persediaan (UP) dan/atau Pembayaran Langsung (LS):
a) Mekanisme Uang Persediaan (UP)
Pembayaran biaya perjalanan dinas melalui mekanisme UP dilakukan dengan
memberikan uang muka kepada pejabat negara/pegawai negeri/pegawai tidak
tetap yang melaksanakan perjalanan dinas oleh Bendahara Pengeluaran. Jumlah
uang muka perjalanan dinas dapat melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap pejabat negara/pegawai negeri/pegawai tidak tetap yang
melaksanakan perjalanan dinas.
Pemberian uang muka ini berdasarkan atas perintah dari Kuasa PA/Pejabat
Pembuat Komitmen kepada Bendahara Pengeluaran dengan dilampiri:
(1) surat tugas untuk melaksanakan perjalanan dinas yang ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang;

(2) SPPD;
(3) kuitansi perjalanan dinas;
(4) rincian biaya perjalanan dinas.
Biaya perjalanan dinas dipertanggungjawabkan oleh pegawai yang melakukan
perjalanan dinas paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah perjalanan dinas
dilaksanakan dengan menyampaikan seluruh bukti pengeluaran asli kepada
Pejabat Pembuat Komitmen. Pejabat Pembuat Komitmen melakukan perhitungan
rampung terhadap seluruh bukti pengeluaran biaya perjalanan dinas pegawai yang
bersangkutan dan disampaikan kepada bendahara pengeluaran.
Apabila terdapat kelebihan pembayaran, pegawai yang melakukan perjalanan
dinas mengembalikan kelebihan tersebut kepada bendahara pengeluaran. Namun,
jika terdapat kekurangan pembayaran, atas perintah Kuasa PA/Pejabat Pembuat
Komitmen, bendahara pengeluaran membayar kekurangan tersebut kepada
pegawai yang telah melakukan perjalanan dinas.
Berdasarkan pertanggungjawaban perjalanan dinas yang telah dilakukan
perhitungan rampung, Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPP-GUP
dilampiri SPTB dan bukti-bukti pengeluaran kepada PPSPM.
b) Mekanisme Pembayaran Langsung (LS)
Pembayaran biaya perjalanan dinas melalui mekanisme LS kepada pihak
ketiga dapat berupa: event organizer, biro jasa perjalanan, maskapai
penerbangan, dan perusahaan jasa perhotelan/penginapan. Penetapan pihak
ketiga dilakukan melalui pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pembayaran biaya perjalanan dinas kepada pihak ketiga didasarkan atas prestasi
kerja yang telah diselesaikan sebagaimana diatur dalam kontrak/perjanjian.
Kontrak perjanjian ini dapat dilakukan untuk 1 (satu) paket kegiatan atau untuk
kebutuhan periode tertentu. Atas dasar prestasi kerja yang telah diselesaikan,
pihak ketiga mengajukan tagihan kepada Pejabat Pembuat Komitmen.
Berdasarkan tagihan dari pihak ketiga, Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan
SPP kepada PP SPM dengan dilampiri:
(1) Kontrak/perjanjian yang mencantumkan nomor rekening;
(2) Surat pernyataan Kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
(3) Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;
(4) Berita Acara Pembayaran;
(5) Kuitansi;
(6) SPTB;
(7) Resume Kontrak/SPK;
(8) Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak (SSP) sesuai ketentuan;
(9) Daftar pelaksanaan/prestasi kerja yang memuat antara lain: informasi data
Pejabat Negara/Pegawai Negeri/Pegawai Tidak Tetap (nama,
pangkat/golongan), tujuan, tanggal keberangkatan, tempat menginap, lama
menginap, dan jumlah biaya masing-masing pegawai.
(10) Fotokopi NPWP
Pembayaran biaya perjalanan dinas dapat dilakukan dengan mekanisme LS

melalui rekening bendahara pengeluaran atau rekening pejabat negara/pegawai


negeri/pegawai tidak tetap apabila:
(1) Biaya perjalanan dinas telah dipastikan jumlahnya sebelum perjalanan dinas
dilaksanakan;
(2) Perjalanan dinas telah dilakukan sebelum biaya perjalanan dinas dibayarkan.
Dalam hal biaya perjalanan dinas dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran
Langsung (LS) kepada bendahara pengeluaran, terdapat ketentuan sebagai
berikut:
1. Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada pegawai melebihi
biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan, kelebihan tersebut harus disetor ke
kas negara;
2. Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada pegawai kurang dari
biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan, kekurangan tersebut tidak
memperoleh penggantian.
8) SPP untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
SPP-UP/TUP untuk PNBP diajukan terpisah dari SPP-UP/TUP lainnya. UP dapat
diberikan kepada satker pengguna setinggi-tingginya 20% dari pagu dana PNBP
pada DIPA maksimal sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan
melampirkan daftar realisasi pendapatan dan penggunaan dana DIPA (PNBP) tahun
anggaran sebelumnya.
Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu
bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP).
Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula sebagai
berikut : MP = (PPP x JS) - JPS
MP = Maksimum Pencairan Dana;
PPP = Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap Pendapatan;
JS = Jumlah setoran;
JPS = Jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM
terakhir yang diterbitkan.
Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, satker pengguna harus
melampirkan daftar perhitungan jumlah maksimum pencairan dana;
Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana
diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen Perbendaharaan tanpa
melampirkan SSBP;
Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat),
pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi oleh
KPPN. Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat
keputusan Menteri Keuangan. Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan
tidak boleh melampaui pagu PNBP satker yang bersangkutan dalam DIPA.
Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh Kuasa PA, dilakukan
dengan mengajukan SPM ke KPPN setempat dengan melampirkan SPTB.
Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non Badan Hukum Milik
Negara/non Badan Layanan Umum), sisa dana PNBP yang disetor ke rekening kas
negara pada akhir tahun anggaran dapat dicairkan kembali, maksimal sebesar jumlah

yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan
merupakan bagian dari target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran
berikutnya.
Sisa dana PNBP dari satker pengguna selain perguruan tinggi negeri selaku
pengguna PNBP (non BHMN/non BLU), yang disetor ke rekening kas negara pada
akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun anggaran
berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah
diterimanya DIPA.
Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetor ke
rekening kas negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP
tahun anggaran berikutnya.
Untuk keseragaman dalam pembukuan sistem akuntansi, maka penyetoran PNBP
menggunakan formulir SSBP.
4. Surat Perintah Membayar (SPM)
Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/Kuasa
PA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA
atau dokumen lain yang dipersamakan. Dalam alur dokumen pembayaran belanja negara,
SPP yang telah ditandatangani oleh PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk beserta
dokumen kelengkapannya dikirimkan kepada Pejabat Penandatangan SPM untuk
dilakukan verifikasi.
A. Mekanisme Penerbitan SPM
Tahapan penerimaan dan verifikasi SPM adalah sebagai berikut:
1) Penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi check list
kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP
dan membuat/menandatangani tanda terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas
penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada Pejabat Penandatangan SPM.
2) Pejabat Penandatangan SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
a) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh
keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
c) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan /atau kelayakan hasil kerja yang dicapai
dengan indikator keluaran
d) Memeriksa kesesuaian kontrak kerja dengan hasil kerja yang dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan Barang/Jasa dan Berita Acara Serah Terima
Barang/Jasa.
e) Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
(1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan,
alamat, nomor rekening dan nama bank);
(2) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan
prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam
kontrak);
(3) Jadwal waktu pembayaran.

f) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator


keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan/atau spesifikasi teknis yang
sudah ditetapkan dalam kontrak.
Apabila proses verifikasi terhadap SPP telah dilaksanakan, Pejabat Penandatangan
SPM menerbitkan dan menandatangani SPM dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
1) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN.
2) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada satker yang bersangkutan.
Dalam hal terdapat pengembalian penerimaan negara bukan pajak yang terlanjur
disetor ke Rekening Kas Negara, maka akan diterbitkan SPM pengembalian dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Bagi Kementerian Negara/Lembaga atau satker yang mempunyai DIPA, SPM
Pengembalian diterbitkan oleh satker yang bersangkutan.
2) Bagi instansi/badan/pihak ketiga yang tidak mempunyai DIPA, SPM Pengembalian
diterbitkan oleh KPPN c.q. Subbagian Umum sesuai ketentuan yang berlaku.
3) Untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2), SPM yang
diterbitkan harus dilampiri surat keterangan dari KPPN yang menyatakan bahwa
penerimaan negara yang akan dikembalikan kepada yang berhak telah dibukukan
oleh KPPN.
4) Khusus untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka 1) SPM
dimaksud harus dilampiri pula Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM)
dari Kuasa PA.
Dalam hal pengembalian pengeluaran anggaran yang telah disetor ke Rekening Kas
Negara, maka harus dilakukan dengan SPM Pengembalian yang diterbitkan oleh
satker bersangkutan dilampiri surat keterangan pembukuan oleh KPPN dan Surat
Setoran Pengembalian Belanja (SSPB).
SPM yang telah diterbitkan SP2D-nya oleh KPPN dan telah dicairkan (telah
dilakukan pendebetan rekening kas negara) tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini
terdapat pada pasal 5 angka 8 Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-66/PB/2005
tentang Mekanisme Pelaksanaan atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yaitu:
1) Perbaikan hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan administrasi sebagai berikut:
a) Kesalahan pembebanan pada MAK;
b) Kesalahan pencantuman kode fungsi, sub fungsi, kegiatan dan sub kegiatan;
c) Uraian pengeluaran yang tidak berakibat jumlah uang pada SPM.
2) Perbaikan SPM sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan oleh Kuasa
PA/penerbit SPM. Selanjutnya SPM perbaikan dimaksud dilampiri dengan SKTJM
disampaikan kepada Kepala KPPN. Mekanisme perbaikan ini melalui penerbitan surat
permohonan perbaikan SPM oleh PA/Kuasa PA yang ditujukan kepada Kepala KPPN.
Berdasarkan surat permohonan ini, KPPN memproses perubahan SPM dimaksud.
B. Kelengkapan Dokumen Dalam Penerbitan SPM
Beberapa kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam proses pengajuan
SPP menjadi SPM, beberapa dokumen yang dipersyaratkan tersebut antara lain:
1) Penerbitan SPM Uang Persediaan (UP):
a. SPP UP.

b. Surat Pernyataan bahwa dana tidak akan digunakan untuk tagihan yang harus
dibayar dengan Langsung (LS).
c. SK pengangkatan bendahara dan atasan langsung bendahara disertai spesimen
tanda tangan dan cap dinas.
2) Penerbitan SPM Ganti Uang Persediaan (GUP):
a. SPP GU
b. Rincian permintaan pembayaran
c. SPTB
d. Kuitansi pembayaran
e. Surat Setoran Pajak (SSP) dan faktur pajak
3) Penerbitan SPM Tambahan Uang Persediaan (TUP)
a. SPP TUP
b. Rincian rencana penggunaan dana.
c. Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa tambahan
dana akan digunakan untuk membiayai kegiatan yang mendesak, akan
digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkan SP2D, dan tidak
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayar melalui SPMLS
d. Rekening koran yang menunjukan saldo terakhir
e. Besaran TUP diatur sebagai berikut :
(1) Sampai dengan jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus
mendapat persetujuan Kepala Kantor Perbendaharaan setempat (dalam
wilayah kerjanya);
(2) Diatas jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus mendapat
persetujuan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan(dalam wilayah
kerjanya).
4) Penerbitan SPM Langsung (LS) Non Belanja Pegawai
a. Dokumen untuk Pembayaran pengadaan barang dan jasa:
1. SPP
2. Kontrak/SPK pengadaan barang dan jasa sekurang-kurangnya memuat:
a) Para pihak yang menandatangani kontrak
b) Pokok pekerjaan dan uraian jenis/jumlah barang
c) Hak dan kewajiban para pihak
d) Nilai dan harga kontrak serta syarat-syarat pembayaran
e) Persyaratan dan spesifikasi teknis
f) Tempat dan waktu penyelesaian serta syarat penyerahan
g) Jaminan teknis hasil pekerjaan
h) Sanksi dan cidera janji
i) Keadaan force majeur
j) Penyelesaian perselisihan
k) Nomor rekening rekanan
3. Surat peryataan kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk
mengenai penetapan rekanan pemenang
4. Berita acara penyelesaian pekerjaan , berita acara serah terima pekerjaan dan
berita acara pembayaran.

5. Ringkasan kontrak
6. Kuitansi:
a) Ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen
b) Tidak ada coretan
c) Bermaterai cukup
d) Jumlah uang dalam angka dan huruf harus sama
7. Faktur pajak beserta SSP-nya yang telah ditandatangani oleh wajib pajak
8. Jaminan bank (jaminan pemeliharaan, jaminan pelaksanaan dan jaminan
uang muka untuk nilai kontrak di atas Rp 50.000.000,00)
9. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
10. Dokumen lain yang dipersyaratkan dalam kontrak.
b. Dokumen untuk Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon,
Gas dan Air):
1. Bukti tagihan daya dan jasa
2. Nomor rekening pihak ketiga (PLN,Telkom,PDAM, dll)
3. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
c. Dokumen untuk Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas (LS melalui Bendahara
Pengeluaran) :
1. SPTB
2. Daftar nominatif yang ditandatangani Kuasa PA (memuat nama pegawai, NIP,
pangkat/golongan, kota tujuan perjalanan dinas, tanggal keberangkatan, lama
perjalanan dinas, jumlah uang, dan nomor rekening bendahara pengeluaran/
pegawai yang melakukan perjalanan dinas)
Untuk dokumen pembayaran biaya perjalanan dinas yang dilakukan melalui
mekanisme LS kepada pihak ketiga mengacu pada pembayaran pengadaan
barang dan jasa.
5) Penerbitan SPM LS Belanja Pegawai
a. Dokumen untuk Gaji Induk/gaji susulan/kekurangan gaji/gaji terusan/ uang duka
wafat/tewas
1. SPP LS Gaji Induk
2. Daftar gaji induk
3. Surat setoran pajak (SSP) PPh pasal 21
Apabila terdapat perubahan keterangan pada pegawai bersangkutan, maka
dilampirkan juga:
1. Daftar Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas;
2. SK CPNS;
3. SK PNS;
4. SK kenaikan pangkat;
5. SK jabatan;
6. Surat Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala ;
7. Surat Pernyataan Pelantikan;
8. Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan;
9. Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;

10. Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga;


11. Surat Nikah/Cerai/Kematian;
12. Akta Kelahiran/Putusan Pengesahan/Pengangkatan Anak dari Pengadilan;
13. Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP);
14. Daftar potongan Sewa Rumah Dinas,
15. Surat Keterangan Anak Masih Sekolah/Kuliah/ Kursus
16. Surat Keputusan Mutasi Pindah,
17. Surat Keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji,
18. SK Pemberian Uang Tunggu,
19. SSP PPh pasal 21,
20. Arsip Data Komputer (ADK) aplikasi GPP.
Kelengkapan tersebut harus sesuai peruntukannya.
SPP LS Gaji Induk diterima paling lambat tanggal 10 bulan sebelumnya dan SPM
gaji induk diterbitkan paling lambat tanggal 15 bulan sebelumnya
b. Dokumen untuk Lembur:
1. SPP LS lembur
2. Surat Perintah Kerja (SPK) Lembur;
3. Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur termasuk Rekapitulasi Perhitungan
Lembur yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan
Kuasa PA/PPK;
4. Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;
5. Daftar Hadir Kerja Lembur;
6. SSP PPh pasal 21, dan
c. Dokumen untuk Honor / Vakasi:
1. SPP LS honor / vakasi
2. Daftar Perhitungan Honor / vakasi yang telah ditandatangani oleh Kuasa PA/
Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran yang bersangkutan.
3. SK tentang pemberian honor vakasi
4. SSP PPh pasal 21
C. Pengujian Dokumen dalam Penerbitan SPM
1) SPP-Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan (SPP-UP/TUP)
Dokumen-dokumen yang dilakukan pengujian atas kebenarannya yaitu:
a. SPP, SK KPA tentang penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
Pejabat Penandatangan (PP) SPM, bendahara pengeluaran, spesimen
tandatangan pejabat pengelola keuangan dan cap satker, serta DIPA satker.
1. Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kesesuaian SPP
dibandingkan dengan DIPA antara lain unsur:
a) nama satker, kode satker, nama Kuasa Pengguna Anggaran dan
nomor DIPA.
b) kegiatan, subkegiatan, MAK/akun, dan ketersediaan pagu dana DIPA.
2. Dalam hal terdapat kesesuaian atas pengujian di atas, terhadap DIPA
dimaksud dibuatkan kartu pengawasan kredit (kartu pengawasan DIPA)
untuk DIPA bersangkutan.
3. Menguji SPP dengan SK pengangkatan/penunjukan pejabat yang

berwenang menandatangani SPP(KPA/PPK), serta spesimen tanda


tangan/cap satker.
b. Adanya surat pernyataan KPA bahwa UP tersebut tidak untuk membiayai
pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
c. Pengujian besaran UP yang diminta dihitung berdasarkan pagu DIPA
menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP.
d. Khusus untuk SPP-TUP dilakukan pengujian atas:
1. Rincian rencana penggunaan dana TUP yang digunakan dalam waktu
satu bulan;
2. Rekening koran yang menunjukkan saldo terakhir;
3. Saldo pagu DIPA yang menurut klasifikasi belanja diijinkan untuk
diberikan UP,
4. Adanya surat pernyataan KPA tentang dana TUP dimaksud tidak untuk
membiayai pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
b) SPP-Penggantian Uang Persediaan (SPP-GUP)
Pengujian kebenaran SPP-GUP dan dokumen persyaratannya meliputi:
1. SPP dan kartu pengawasan kredit:
a. Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kebenaran SPP
dibandingkan dengan kartu induk pengawasan kredit (kartu pengawasan
DIPA) antara lain unsur:
1) Nama satker, kode satker, pejabat pembuat komitmen, dan nomor
DIPA
2) Spesimen tandatangan PPK dan cap satker
3) Kegiatan, sub kegiatan, MAK, dan kesesuaian saldo dana DIPA
4) Pengujian atas jumlah dana dalam SPP-GUP dibandingkan dengan
saldo dana UP yang ada pada bendahara dengan syarat SPP-GUP
dapat diterima dalam hal dana UP telah dipergunakan sekurangkurangnya
75%.
b. Menguji kesesuaian SPP dengan jumlah pengeluaran yang tercantum
dalam daftar rincian permintaan pembayaran.
c. Berdasarkan rincian pengeluaran yang tercantum dalam daftar rincian
permintaan pembayaran dan SPTB dilakukan pengujian untuk masingmasing
pengeluaran (SPK, kuitansi, Berita Acara Serah Terima
Barang/Jasa, SSP).
2. Pengujian kuitansi dilakukan untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Nama wajib bayar yang tertulis dalam kuitansi harus atas nama jabatan.
Contoh : Sudah terima dari Kuasa Pengguna Anggaran
b. Nama yang berhak menerima yang tertulis dalam kuitansi adalah nama
dan jabatan orang yang menerima pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan kegiatan/pekerjaan dan ditanda
gani oleh yang
bersangkutan. Untuk Badan Usaha (perusahaan) dibubuhi stempel

perusahaan. Apabila yang menerima adalah kuasa penerima, maka harus


didukung dengan Surat Kuasa dari orang yang berhak kepada yang

dikuasakan di atas kertas bermaterai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)


c. Setuju dibayar yang ditandatangani oleh KPA atau PPK dan Keterangan
lunas dibayar yang ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran.
d. Uraian pembayaran harus memuat lingkup kegiatan/pekerjaan yang
dilaksanakan (jumlah dan macam barang/jasa)
e. Jumlah yang dibayarkan harus sama antara yang tertulis dengan angka
dan huruf.
f. Tahun anggaran dan mata anggaran/akun yang tertulis dalam kuitansi
adalah tahun anggaran berjalan dan mata anggaran/akun sesuai dengan
pembebanan anggaran.
g. Bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah) untuk SPK/Kontrak. Untuk
kuitansi dengan nilai Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d.
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,- (tiga
ribu rupiah). Untuk kuitansi bernilai di atas Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah) dikenakan bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).
h. Dalam redaksi penulisan pada kuitansi tidak dibenarkan adanya coretan/
hapusan/tindisan khususnya penulisan jumlah uang dengan angka dan
huruf.
i. Jumlah uang yang tertera dalam kuitansi harus sama dengan jumlah uang
yang tertera dalam Berita Acara Pembayaran sesuai dengan kemajuan
pekerjaan yang tertuang dalam kontrak/SPK.
j. Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
satu rekanan tidak boleh melebihi Rp.10.000.000,00 kecuali untuk
pembayaran honorarium dan perjalanan dinas.
k. Untuk pengadaan sampai dengan Rp.5.000.000,00 pembayarannya
dapat dilakukan dengan kuitansi pembayaran bermaterai sesuai aturan
(esensi Pasal 31 Keppres 80/2003)
3. Pengujian Daftar Nominatif
Dilakukan atas unsur antara lain:
a. Kesesuaian jumlah orang dan biaya dalam daftar nominatif dengan bukti
pengeluaran
b. Kebenaran perhitungan pada daftar nominatif
c. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
4. Pengujian Surat Perintah Kerja (SPK)
a. Untuk kegiatan/pekerjaan yang ditentukan dalam SPK, dilakukan
pemeriksaan apakah dananya masih tersedia dalam DIPA dan sesuai
dengan POK-nya.
b. Kesesuaian nama jabatan pembuat komitmen pada satker bersangkutan
dengan penandatangan SPK.
c. Hak dan kewajiban yang tertuang dalam SPK tidak boleh merugikan kedua
belah pihak.
d. Spesifikasi teknis barang/pekerjaan yang diperjanjikan diuraikan dengan
jelas dan pasti dalam SPK yang akan dijadikan rujukan dalam pengujian
Berita Acara Penyerahan Pekerjaan (BAPP).
e. Nilai/harga SPK dan syarat-syarat pembayaran:
1) Nilai/harga SPK sudah termasuk pajak;
2) Pembayaran oleh satker harus mempersyaratkan telah diterimanya
terlebih dahulu prestasi kerja dari rekanan yang dibuktikan dengan
Berita Acara Penyerahan Pekerjaan (BAPP);
3) Pembubuhan materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)

f. Mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) rekanan


5. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Prestasi fisik pekerjaan yang akan diserahkan sudah harus 100%.
6. Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Pernyataan penyerahan pekerjaan dari penerima kerja kepada pemberi
kerja.
7. SPTB
SPTB memuat sejumlah pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja
dan pengujiannya dilakukan dengan membandingkan dengan bukti-bukti
pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja.
8. Surat Setoran Pajak (SSP) dan faktur pajak
Pengujian dokumen SSP dan faktur pajak antara lain dilakukan atas unsur:
a. Kebenaran NPWP, nama, dan alamat wajib pajak
b. Kebenaran kode mata anggaran (akun), bulan, dan tahun anggaran
c. Ketepatan perhitungan pajak yang dikenakan
d. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
e. Adanya tanda tangan dan stempel rekanan
f. Adanya validasi bank/pos (tercantum NTPN)
c) SPP-LS Belanja Non Pegawai
Pengujian kebenaran SPP-LS dan dokumen persyaratannya meliputi:
1. SPP
Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kebenaran SPP dengan
membandingkan:
a. SPP dengan DIPA, antara lain untuk elemen:
1) Nama satker, kode satker, pejabat pembuat komitmen, nomor dan
tanggal DIPA.
2) Nama Kementerian/Lembaga, Unit Organisasi, Lokasi, Tempat dan
alamat
3) Kode fungsi, subfungsi, program, kegiatan, subkegiatan
b. SPP dengan kartu pengawasan kredit (kartu pengawasan DIPA), antara
lain untuk elemen: kesesuaian saldo dana DIPA.
c. SPP dengan kartu pengawasan kontrak, antara lain untuk elemen:
kesesuaian saldo dana kontrak.
d. SPP dengan kuitansi, berita acara pembayaran, dan kontrak untuk:
1) jumlah pembayaran,
2) nama rekanan, alamat rekanan, nomor rekening rekanan, dan
3) nomor-tanggal-nilai kontrak.
Khusus untuk pembayaran dengan sistem termin kiranya memperhatikan
pemotongan/pengembalian uang muka agar tidak terjadi kelebihan
pembayaran kepada rekanan.
2. Surat Perintah Kerja (SPK)/kontrak
Pengujian terhadap SPK/kontrak dilakukan dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:
a. Kesesuaian nama pejabat pembuat komitmen pada satker bersangkutan
dengan penandatangan kotrak dan kesesuaian nama rekanan dengan
surat pernyataan KPA mengenai penetapan rekanan.
b. Hak dan kewajiban yang tertuang dalam SPK tidak boleh merugikan kedua
belah pihak.
c. Spesifikasi teknis barang/kerjaan yang diperjanjikan diuraikan dengan jelas
dan pasti dalam kontrak yang akan dijadikan rujukan dalam pengujian
BAPP.
d. Nilai/harga kontrak dan syarat-syarat pembayaran:
1) Nilai/harga kontrak sudah termasuk pajak.
2) Uang muka dapat diberikan setinggi-tingginya 30% dari nilai kontrak
kepada usaha kecil dan setinggi-tingginya 20% dari nilai kontrak
kepada usaha selain usaha kecil, dengan mensyaratkan adanya
jaminan bank minimal sebesar uang muka yang dibayarkan.
3) Pembayaran oleh satker harus mempersyaratkan telah diterimanya
terlebih dahulu prestasi kerja dari rekanan yang dibuktikan dengan
Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan dan/atau BAST Pekerjaan.
4) Pengembalian uang muka harus diperhitungkan pembayaran prestasi
pekerjaan (termin) dan paling lambat harus lunas pada saat
pembayaran pekerjaan mencapai prestasi 100%.
5) Dalam hal kontrak dipersyaratkan adanya masa pemeliharaan, maka
pembayaran 100% kepada rekanan dapat dilakukan setelah
selesainya masa pemeliharaan (BAST Pekerjaan tahap kedua) yang
masa pemeliharaannya ditetapkan dalam kontrak atau dilakukan
setelah penyedia jasa menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar
5% dari nilai kontrak (setelah BAST Pekerjaan tahap pertama).
6) Pembayaran yang mensyaratkan hal tertentu (misalnya: uji coba
terlebih dahulu atas barang yang diperjanjikan) maka pengaturan hal
tersebut perlu dituangkan dalam kontrak yang pelaksanaannya
dibuktikan dengan berita acara uji coba atau persyaratan lainnya.
e. Tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan pekerjaan dengan
disertai jadwal waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti dengan syaratsyarat
penyerahannya/penyelesaiannya tidak melampaui tahun anggaran.
f. Denda adalah sanksi finansial yang dikenakan kepada penyedia dan/atau
pengguna barang/jasa karena terjadi cidera janji. Sanksi ini harus
tercantum di dalam kontrak sebagai berikut:
1) Bila terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari kelalaian
penyedia barang/jasa, maka penyedia barang/jasa yang bersangkutan
dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1 (satu per
seribu) per hari dari nilai kontrak.
2) Bila terjadi keterlambatan pekerjaan/pembayaran karena semata-mata
kesalahan/kelalaian pengguna barang/jasa, maka pengguna barang/jasa
membayar kerugian yang ditanggung penyedia barang/jasa akibat
keterlambatan dimaksud, yang besarnya ditetapkan dalam kontrak
sesuai peraturan perundang-undangan.
g. Hal-hal lain yang harus diatur dalam kontrak adalah:
1) Pemutusan kontrak secara sepihak.
2) Keadaan memaksa (force majeur).
3) Kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksaaan

pekerjaan.
4) Penyelesaian perselisihan.
5) Penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri secara tegas dan
terperinci dalam lampiran kontrak.
h. Membubuhkan materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
i. Memperhatikan jenis kontrak pekerjaan tertentu (untuk kontrak
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang terpisah): untuk kontrak
perencanaan tidak dapat dibayarkan jika kontrak pekerjaan fisiknya belum
dibuatkan SPK/kontraknya. Demikian pula halnya dengan kontrak
pekerjaan pengawasan, pembayarannya tidak dapat dilakukan hingga
100% dalam hal pekerjaan fisiknya belum dilakukan penyerahan kedua.
j. Untuk kontrak pekerjaan kontruksi, sertifikat rekanan sebagai perusahaan
jasa kontruksi harus dilampirkan dalam kontrak yang juga digunakan
sebagai dasar perhitungan pajak penghasilan.
k. Kontrak tahun jamak harus dilampiri persetujuan Menteri Keuangan.
l. Nomor rekening rekanan, NPWP harus dicantumkan dalam kontrak.
m. Dokumen perubahan kontrak harus dilampirkan bila terjadi perubahan
kontrak.
Perubahan kontrak dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa
dan penyedia barang/jasa apabila terjadi perubahan :
1) Lingkup pekerjaan
2) Metode kerja
3) Waktu pelaksanaan
n. Kontrak yang sebagian atau seluruh sumber dananya berasal dari
pinjaman/hibah luar negeri yang mempersyaratkan NOL (No Objection
Letter) atas kontrak, approval, NRC (Notice Regarding Contract) harus
melampirkan NOL, approval, dan NRC dimaksud.
3. Kuitansi
a. Nama wajib bayar yang tertulis dalam kuitansi harus atas nama jabatan.
Contoh : Sudah terima dari Kuasa Pengguna Anggaran
b. Nama yang berhak menerima yang tertulis dalam kuitansi adalah nama
dan jabatan orang yang menerima pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan kegiatan/pekerjaan dan ditandatangani oleh yang
bersangkutan. Untuk Badan Usaha (perusahaan) dibubuhi stempel
perusahaan. Apabila yang menerima adalah kuasa penerima, maka harus
didukung dengan Surat Kuasa dari orang yang berhak kepada yang
dikuasakan bermaterai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
c. Tanda tangan setuju dibayar oleh Kuasa PA/PPK untuk kuitansi LS.
d. Uraian pembayaran meliputi lingkup pekerjaan yang diperjanjikan, tanggal
nomor kontrak/SPK dan berita acara yang dipersyaratkan diuji
kesesuaiannya dengan kontrak/SPK dan berita acara.
e. Jumlah yang dibayarkan harus sama antara yang tertulis dengan angka
dan huruf.
f. Tahun anggaran dan mata anggaran/akun yang tertulis dalam kuitansi
adalah tahun anggaran berjalan dan mata anggaran/akun sesuai dengan
pembebanan anggaran.
g. Bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah) untuk SPK/Kontrak. Untuk
kuitansi dengan nilai Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d.
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,- (tiga
ribu rupiah). Untuk kuitansi bernilai di atas Rp 1.000.000,- (satu juta

rupiah) dikenakan bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).


h. Dalam redaksi penulisan pada kuitansi tidak dibenarkan adanya coretan/
hapusan/tindisan khususnya penulisan jumlah uang dengan angka dan
huruf.
i. Jumlah uang yang tertera dalam kuitansi harus sama dengan jumlah uang
yang tertera dalam Berita Acara Pembayaran dan/atau kontrak/SPK.
4. Berita Acara Pembayaran (BAP)
Berita acara pembayaran, sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
b. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
c. Dasar pembuatan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan.
d. Harga kontrak.
e. Perhitungan pembayaran meliputi:
f. Jumlah yang telah dibayarkan sampai dengan angsuran yang lalu.
g. Jumlah angsuran dalam berita acara pembayaran.
h. Perhitungan uang muka dan potongan lainnya.
i. Jumlah yang berhak diterima.
j. BAP dibuat berdasarkan pada BAPP. Untuk itu dilakukan pengujian pada
BAPP berkaitan dengan persentase penyelesaian pekerjaan yang telah
digunakan sebagai dasar perhitungan BAP.
k. Pembayaran prestasi hasil pekerjaan yang jenis pekerjaannya berupa
pemasangan/konstruksi hanya dapat dilakukan senilai pekerjaan yang
telah terpasang, tidak termasuk bahan-bahan, alat-alat di lapangan.
l. Bila terjadi ketidaksesuaian dalam perhitungan prestasi hasik pekerjaan,
tidak akan menjadi alasan untuk menunda pekerjaan. Pengguna jasa
dapat meminta penyedia jasa untuk menyampaikan perhitungan prestasi
sementara dengan mengesampingkan hal-hal yang sedang menjadi
perselisihan dan besarnya tagihan yang dapat disetujui untuk dibayar
setinggi-tingginya sebesar 80% dari jumlah nilai tagihan.
5. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.
Sekurang-kurangnya memuat:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Prestasi fisik pekerjaan yang telah diselesaikan.
6. Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Pernyataan penyerahan pekerjaan dari penerima kerja kepada pemberi
kerja.
7. Berita Acara Status Pekerjaan/Mutual Check
Adalah dokumen yang dibuat oleh pengawas lapangan berisi persentase
tingkat penyelesaian pekerjaan pengadaan. Berita acara ini digunakan untuk
pekerjaan yang memang membutuhkan pengawas lapangan. Berita acara ini
digunakan sebagai dasar pembuatan BAPP.
8. Jaminan Uang Muka
Bentuk surat jaminan ini harus sesuai dengan ketentuan dokumen kontrak
dan harus diterbitkan oleh bank umum atau perusahaan asuransi yang

mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) yang harus


direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Nilai surat
jaminan bank tersebut sekurang-kurangnya sama dengan uang muka/yang
diberikan.
9. Surat Pernyataan Penetapan Rekanan
Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Kuasa PA mengenai penetapan
rekanan.
10. SSP dan faktur pajak
Menguji kebenaran perhitungan pajak yang dituangkan dalam SSP dan
faktur pajak.
Pengujian dokumen SSP dan faktur pajak antara lain dilakukan atas unsur:
a. Kebenaran NPWP, nama, dan alamat wajib pajak
b. Kebenaran kode mata anggaran (akun), bulan, dan tahun anggaran
c. Ketepatan perhitungan pajak yang dikenakan
d. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
e. Adanya tanda tangan dan stempel rekanan
11. Resume Kontrak
Merupakan ringkasan dari kontrak yang akan diajukan sebagai lampiran
SPM ke KPPN. Resume kontrak ini diuji kesesuaiannya dengan kontrak
berkenaan.
12. SPTB
SPTB memuat sejumlah pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja
dan pengujiannya dilakukan dengan membandingkan dengan bukti-bukti
pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja.
5. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh
KPPN selaku Kuasa BUN di daerah untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN
berdasarkan SPM. Proses penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan sebagai berikut:
a. Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan SPM
beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) berupa
soft copy (disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor
Pos.
b. SPM Gaji Induk harus sudah diterima KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan
pembayaran.
c. Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM memeriksa kelengkapan SPM, mengisi
check list kelengkapan berkas SPM, mencatat dalam Daftar Pengawasan
Penyelesaian SPM, dan meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke Seksi
Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut.
Apabila pengajuan SPM oleh satker dinyatakan lengkap dan benar berdasarkan
pengujian dan pemeriksaan kelengkapan berkas oleh petugas loket KPPN, selanjutnya
oleh KPPN diterbitkan SP2D dengan ketentuan sebagai berikut:
1) SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D.
2) SPM dimaksud dilampiri bukti pengeluaran sebagai berikut:
a) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai:
1. Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan Vakasi yang
ditanda tangani oleh Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk dan Bendahara
Pengeluaran;
2. Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi perubahan pada daftar
gaji;
3. Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;

4. Surat Setoran Pajak (SSP).


b) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai:
1. Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
2. SPTB;
3. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
c) Untuk keperluan pembayaran TUP:
1. Rincian rencana penggunaan dana;
2. Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen. Perbendaharaan untuk TUP
diatas RP 200.000.000 (dua ratus juta rupiah);
3. Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk
yang menyatakan bahwa:
a. Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak
dan akan habis digunakan dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal
diterbitkan SP2D;
b. Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke Rekening Kas
Negara;
c. Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara
langsung.
d) Untuk keperluan pembayaran GUP:
1. SPTB;
2. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
3) Bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang disimpan oleh PA/KPA.
4) Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat
substansif dan formal.
a) Pengujian substantif dilakukan untuk:
1. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
2. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang
ditunjuk dalam SPM tersebut;
3. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat
Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
4. menguji SPTB dari kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk
mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
5. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
b) Pengujian formal dilakukan untuk:
1. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen
tandatangan;
2. memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
3. memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat
dalam penulisan.
5) Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D jika SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan, tetapi apabila SPM yang diajukan tidak
memenuhi syarat maka SPM dimaksud dikembalikan kepada penerbit SPM.
6) Pengembalian SPM diatur sebagai berikut:
a. SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk dikembalikan paling lambat tiga hari kerja
setelah SPM diterima;
b. SPM UP/TUP/GUP dan LS dikembalikan paling lambat satu hari kerja setelah
SPM diterima.
7) Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu sebagai berikut:
a. SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja sebelum awal bulan
pembayaran gaji.

b. SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja setelah diterima
SPM secara lengkap.
c. SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu hari kerja setelah diterima SPM
secara lengkap.
+++++++++++++++++++++++
Gambar 6 : Proses Penerbitan SP2D pada KPPN
+++++++++++++++++++++++
D. Pelaksanaan Penerimaan pada Satuan Kerja
1. Prinsip Penerimaan Negara
Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa
pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, salah satu hak pemerintah pusat adalah
menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja
negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai
penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah
uang yang masuk ke kas negara. Dikatakan masuk ke kas negara mengandung makna
tercatat dalam akuntansi/pembukuan kas negara atau kas umum negara. Dengan
demikian pendapatan negara adalah semua penerimaan kas negara/kas umum negara
(uang pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana
dalam periode satu tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat.
Dalam sistem APBN, pendapatan negara mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan negara sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler)
dalam arti bahwa pendapatan negara sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, setiap pemungutan pendapatan negara oleh pemerintah pusat
maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan dari masyarakat, maka setiap
pungutan pendapatan negara harus memenuhi beberapa syarat:
1) pemungutan pendapatan negara berdasarkan keadilan yaitu sesuai dengan tujuan
hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pemungutan secara umum dan merata serta pelaksanaan pemungutan
pendapatan negara tidak membeda-bedakan.
2) pemungutan pendapatan negara harus berdasarkan undang-undang.
3) pemungutan pendapatan negara tidak menggangu perekonomian.
4) pemungutan pendapatan negara tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
5) pemungutan pendapatan negara harus efisien yaitu sesuai fungsi budgetair, biaya
pemungutan pendapatan negara harus dapat ditekan lebih rendah dari hasil
pemungutannya.
6) Sistem pemungutan pendapatan negara harus sederhana yaitu akan memudahkan
dan mendorong masyarakat (perorangan atau badan) dalam memenuhi kewajiban
tersebut.
Menurut Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 72
tahun 2004 di pasal 2 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendapatan negara yaitu semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan,

penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar
negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pada ayat (2) pasal yang sama
disebutkan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening kas negara pada bank sentral dan atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
2. Jenis-Jenis Pendapatan Negara
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19
Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari
Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah,
Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan
Perhitungan Fihak Ketiga.
a) Penerimaan Perpajakan.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari
penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Yang dimaksud
pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai
dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional adalah semua
penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.
Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak
negara wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening kas
negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Orang atau badan yang melakukan pemungutan pajak atau penerimaan uang negara
wajib menyetorkan seluruh penerimaan dalam batas waktu satu hari kerja setelah
penerimaannya ke rekening kas negara.
Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi
pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dan
badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/anggaran
BUMN/BUMD, ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, setiap bendahara, instansi
pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan badan-badan lain sebagai wajib
pungut pajak, wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu hari kerja setelah uang pajak diterimanya. Jenisjenis
pajak yang dipungut oleh bendahara pemerintah antara lain:
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
Secara umum objek dari PPh 21 adalah penghasilan, antara lain gaji, upah, uang
pensiun bulanan, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris,
atau anggota dewan pengawas), uang lembur, tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan jabatan, tunjangan kemahalan, tunjangan khusus, tunjangan transport,
upah harian, upah mingguan, penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan
lainnya dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh bukan (yang
dikecualikan sebagai) Wajib Pajak.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Menteri Keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut
pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badanbadan
tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Pajak Penghasilan pasal 23
Setiap Bendahara wajib memungut PPh pasal 23 untuk jasa-jasa sebagaimana
diatur dalam UU perpajakan, dengan tarif sesuai ketentuan untuk transaksi di

atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang dikecualikan


dari pajak. Jika suatu transaksi yang dibayarkan bendahara sudah dikenakan
PPh pasal 22 maka tidak dikenakan PPh pasal 23 dan juga sebaliknya.
4. Pajak Pertambahan Nilai
Untuk semua penyerahan barang/jasa kepada instansi pemerintah dipungut PPN
sebesar 10% dari Harga Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi diatas Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang dikecualikan dari pajak.
5. Bea materai
Untuk transaksi Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d. Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,00 (tiga ribu
rupiah) dan jika di atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai
Rp 6000,00 (enam ribu rupiah).
b) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat
yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, antara lain sumber daya alam, bagian
pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Setiap anggaran satker pada dasarnya mempunyai: (i) PNBP yang bersifat umum
yaitu penerimaan yang tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, antara
lain seperti penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan
lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara
pada bank pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan,
dan (ii) PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil
pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan
tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada kementerian negara/lembaga, tergantung
kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.
c) Penerimaan Hibah
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar
negeri yang menjadi hak pemerintah.
Penerimaan hibah dapat berupa uang, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli
atau pelatihan. Sumbangan mengandung arti bahwa hibah tidak perlu dibayar kembali
kepada pemberi hibah. Penerimaan hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah,
devisa atau surat berharga. Penerimaan hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang
bergerak seperti perlatan dan mesin dan barang tidak bergerak seperti gedung dan
bangunan. Penerimaan hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis,
pendidikan, pelatihan dan jasa lainnya.
Penarikan hibah luar negeri antara yang satu dengan hibah luar negeri lainnya
tidak sama, karena setiap penarikan sangat tergantung dari naskah perjanjian hibah luar
negeri yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan negara/badan pemberi hibah.
Dalam naskah perjanjian hibah luar negeri biasanya diatur antara lain mengenai
jumlah hibah yang diberikan, prosedur pengadaan barang/jasa memakai local competitive
bidding atau international competitive bidding, tata cara penarikan hibah dan
persyaratannya, tanggal efektif hibah, batas waktu closing date dan lainnya.
d) Penerimaan Pengembalian Belanja.
Penerimaan Pengembalian Belanja adalah seluruh penerimaan negara yang berasal
dari pengembalian belanja tahun anggaran berjalan. Penerimaan pengembalian belanja
ini dapat terjadi karena kelebihan pembayaran atas belanja yang dibebankan kepada
negara yang diakibatkan kesalahan/kelalaian bendahara pengeluaran dalam melakukan
pembayaran maupun dalam melakukan pembebanan akun sehingga atas kelebihan

pembayaran tersebut harus disetor ke kas negara. Penerimaan pengembalian belanja


dapat berupa:
a. Penerimaan pengembalian belanja pegawai, seperti :
1. pengembalian belanja gaji pokok PNS,
2. pengembalian belanja tunjangan anak,
3. pengembalian belanja tunjangan beras,
4. pengembalian belanja honorarium,
5. pengembalian lembur dll.
b. Penerimaan pengembalian belanja barang, seperti :
1. pengembalian belanja perjalanan dinas,
2. pengembalian belanja barang inventaris,
3. pengembalian belanja sewa,
4. pengembalian belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, dll.
c. Penerimaan pengembalian belanja modal, misalnya :
1. pengembalian belanja modal tanah,
2. pengembalian belanja modal peralatan dan mesin,
3. pengembalian belanja modal gedung,
4. pengembalian belanja modal jalan/jembatan, dll
d. Penerimaan pengembalian belanja tahun yang lalu, misalnya :
1. pengembalian belanja pegawai Pusat tahun yang lalu,
2. pengembalian belanja lainnya tahun yang lalu (RM),
3. pengembalian belanja pensiun tahun yang lalu, dll.
e) Penerimaan Pembiayaan.
Penerimaan Pembiayaan adalah semua penerimaan negara yang digunakan
untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN, antara lain berasal dari
penerimaan pinjaman dan hasil devestasi. Contoh penerimaan pembiayaan antara
lain:
1. Penerimaan Pinjaman/Kredit Jangka Pendek dan Uang Muka dari Sektor
Perbankan,
2. Penerimaan Sisa Anggaran Lebih (SAL),
3. Penerimaan Hasil Privatisasi,
4. Penerimaan Hasil Penjualan Aset Program Restrukturisasi,
5. Penerimaan Surat Utang Negara/Obligasi dalam/luar negeri.
f) Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga
Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga adalah semua penerimaan negara yang
berasal dari potongan penghasilan pegawai negeri sipil serta setoran subsidi dan
iuran pemerintah daerah dalam rangka penyelengaraan asuransi kesehatan, contoh:
1. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji PNS Pusat/Daerah,
2. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji Polri/TNI dan PNS Polri/TNI,
3. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 2% Pembayaran Gaji Terusan PNS
Pusat/Daerah,
4. Penerimaan Setoran/Potongan PFK Bulog PNS Pusat/Daerah,
5. Penerimaan Setoran PFK 2 % Iuran Asuransi Kesehatan Propinsi/Kab/ Kota,
6. Penerimaan Setoran Potongan PFK Tabungan Wajib Perumahan PNS
Pusat/Daerah.
3. Penatausahaan Pendapatan Negara
Bendahara Penerimaan wajib menyetor penerimaan negara setiap akhir hari
kerja ke kas negara dan wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan Realisasi
Penerimaan ke KPPN. Dalam hal penerimaan negara diterima pada hari libur dan/atau di
daerah tersebut tidak terdapat Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi, maka

Bendahara Penerimaan menyetor penerimaan tersebut selambat-lambatnya pada hari


kerja berikutnya. Yang dimaksud dengan Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk penerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka
impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak.
Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor. Sedangkan Pos
Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran
penerimaan negara.
Khusus untuk PNBP dikenal adanya pengecualian dalam pengelolaannya. Suatu instansi
yang mempunyai PNBP fungsional dapat menggunakan sebagian PNBP tersebut untuk
membiayai operasional Satker tersebut setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan.
Kegiatan tertentu yang dapat dibiayai dari PNBP, meliputi kegiatan:
a. Penelitian dan pengembangan teknologi, antara lain meliputi kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang pertanian dan pertambangan;
b. Pelayanan kesehatan, antara lain meliputi kegiatan pelayanan rumah sakit dan balai
pengobatan;
c. Pendidikan dan pelatihan, antara lain meliputi kegiatan perguruan tinggi dan balai
latihan keja;
d. Penegakan hukum, antara lain kegiatan dalam rangka pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan ketentuan hukum, serta pemberian hak atas kekayaan
intelektual;
e. Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, antara lain kegiatan
pemberian jasa konsultasi, jasa analisis, uji mutu dan pemantauan lingkungan,
pembuatan hujan buatan, uji pencemaran radiasi pada makanan;
f. Pelestarian sumber daya alam, antara lain meliputi kegiatan usaha pelestarian sumber
daya kehutanan dan perikanan.
Sistem pemungutan PNBP mempunyai ciri tersendiri dan dapat dibagi dalam dua
kelompok sehubungan dengan penentuan jumlah PNBP yang terhutang, yaitu ditetapkan
oleh instansi pemerintah atau dihitung sendiri oleh wajib bayar. Untuk jenis PNBP yang
menjadi terhutang sebelum wajib bayar menerima manfaat atas kegiatan pemerintah,
seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, maka penentuan jumlah PNBP yang
terhutang dalam hal ini ditetapkan oleh instansi pemerintah. Namun, dalam hal wajib
bayar menjadi terhutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya
alam, maka penentuan jumlah PNBP yang terhutang dapat dipercayakan kepada wajib
bayar yang bersangkutan untuk menghitung sendiri dalam rangka membayar dan
melaporkan sendiri (self assessment).
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/
Bendahara Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal
pembayaran. Tata cara pembayaran/penyetoran dilakukan sebagai berikut:
a. Pembayaran melalui loket/teller Bank/Pos
1) Mengisi formulir bukti setoran dengan data yang lengkap, benar, dan jelas dalam
rangkap 4 (empat);
2) Menyerahkan formulir bukti setoran kepada petugas Bank/Pos dengan
menyertakan uang setoran sebesar nilai yang tersebut dalam formulir yang
bersangkutan;
3) Menerima kembali formulir bukti setoran lembar ke-1 dan lembar ke-3, yang telah
diberi NTPN dan NTB/NTP serta dibubuhi tanda tangan/paraf, nama pejabat
Bank/Pos, cap Bank/Pos, tanggal, dan waktu/jam setor sebagai bukti setor;
4) Menyampaikan bukti setoran kepada unit terkait.
b. Pembayaran melalui electronic banking (e-banking)

1) Melakukan pendaftaran pada sistem registrasi pembayaran via internet di


www.djpbn.depkeu.go.id;
2) Mengisi data setoran dengan lengkap dan benar untuk mendapatkan Nomor
Register Pembayaran (NRP). Masa berlaku NRP sampai dengan jangka waktu
yang ditetapkan;
3) Untuk tagihan yang ditetapkan instansi pemerintah, pendaftaran dilakukan oleh
instansi terkait dan NRP tercantum pada surat tagihan dimaksud;
4) Melakukan pembayaran dengan menggunakan NRP;
5) Menerima NTPN sebagai bukti pengesahan setelah pembayaran dilakukan;
6) mencetak BPN melalui sistem registrasi pembayaran atau di Bank dengan
menunjukkan NTPN/NTB;
7) menyampaikan BPN kepada unit terkait.
Dokumen yang harus ditatausahakan oleh Bendahara Penerima pada
penatausahaan pendapatan negara pada satker di lingkungan kementerian/lembaga
adalah dokumen sumber penerimaan. Seluruh dokumen sumber penerimaan negara
dinyatakan sah setelah mendapat Nomor transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan
Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan
(NPP). NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan
melalui MPN.
NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan
oleh Bank. NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang
diterbitkan oleh Kantor Pos. NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang
berasal dari potongan SPM yang diterbitkan oleh KPPN. KPPN mengesahkan data
penerimaan yang berasal dari potongan SPM yang sudah diterbitkan SP2D untuk
mendapatkan NTPN paling lambat setiap akhir hari kerja.
Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat Bank/Pos
dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih dari 1 (satu) hari, maka
Bank/Pos wajib menerima setoran penerimaan negara dan mengadministrasikan
penerimaan negara secara off-line dan memberikan NTB/NTP pada dokumen sumber.
Dokumen sumber tersebut antara lain:
1. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat setoran atas pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang;
2. Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (SSPBB) adalah surat setoran atas
pembayaran atau penyetoran PBB dari tempat pembayaran ke Bank Persepsi PBB;
3. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) adalah surat
setoran atas pembayaran atau penyetoran BPHTB dari tempat pembayaran ke Bank
Persepsi BPHTB;
4. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) adalah surat
setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, bea masuk
berasal dari SPM Hibah, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai,
penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga, dan PPh Pasal 22 Impor, PPN
Impor, serta PPnBM Impor;
5. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP) adalah surat setoran atas penerimaan
negara atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri berupa cukai hasil tembakau,
cukai etil alkohol, cukai minuman mengandung etil alkohol, denda administrasi
penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam
Negeri;
6. Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) adalah surat setoran atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) selain yang dimaksud pada angka 1, 2, 3, 4,dan 5 di atas;

7. Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) adalah surat setoran atas penerimaan
pengembalian belanja tahun anggaran berjalan;
8. Surat Tanda Bukti Setor (STBS) adalah surat setoran atas pembayaran pungutan
ekspor, kekurangan pungutan ekspor, dan/atau denda administrasi atas transaksi
pungutan ekspor;
9. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos atas
transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/ NTP dan dokumen yang
diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan
SPM dengan teraan NTPN dan NPP.

MPKS : BAB IV : PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN


PELAKSANAAN ANGGARAN
BAB IV
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PELAKSANAAN ANGGARAN
A. Gambaran Umum
Sesuai dengan asas akuntabilitas yang berorientasi pada hasil dalam pengelolaan
keuangan negara, setiap satker wajib menyusun laporan pertanggungjawaban realisasi
anggaran belanja masing-masing. Tujuan pertanggungjawaban realisasi anggaran belanja
ini adalah untuk memberikan informasi yang berguna dalam memprediksi sumber daya
ekonomi yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah dalam periode
mendatang dengan cara menyajikan informasi kepada para pengguna laporan tentang
indikasi perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi:
1. telah dilaksanakan secara efisien, efektif, dan hemat.
2. telah dilaksanakan sesuai dengan APBN.
3. telah dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.
Dalam rangka memenuhi prinsip akuntabilitas tersebut perlu diselenggarakan
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang merupakan serangkaian prosedur
manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan,
pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan
Pemerintah Pusat. Berdasarkan PMK Nomor. 171/PMK 05/2007 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat, SAPP memiliki 2 (dua) subsistem,
yaitu Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) dan Sistem Akuntansi
Instansi (SAI).
SA-BUN dilaksanakan oleh Departemen Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara (Chief Financial Officer) sedangkan SAI dilaksanakan oleh Menteri/Ketua
Lembaga Teknis/Satker selaku Chief Operational Officer (COO).
SAI memiliki 2 (dua) subsistem, yaitu Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan
Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
KERANGKA UMUM SAI
1. Sistem Akuntansi Keuangan
(SAK)
2. Sistem Informasi Manajemen dan
Akuntansi Barang Milik Negara
(SIMAK-BMN)
Gambar 7 : Kerangka Umum SAI
Penjabaran secara rinci diatur pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan

Nomor PER-51/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian


Negara/Lembaga. Peraturan tersebut menyatakan bahwa untuk melaksanakan SAI,
Kementerian Negara/Lembaga wajib membentuk unit akuntansi yang terdiri dari :
1. Unit Akuntansi Pengguna Anggaran/Barang (UAPA/B) pada tingkat Kementerian
Negara/Lembaga;
2. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang pada tingkat Eselon I
(UAPPA/B-E1);
3. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang pada tingkat wilayah
(UAPPA/B-W);
4. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran/Barang (UAKPA/B) pada tingkat satuan
kerja.
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh setiap
satker ini juga diiringi dengan kewajiban pertanggungjawaban setiap Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran. Prosedur pertanggungjawaban Bendahara ini
telah diatur tersendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008
tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara Kementerian Negara/ Lembaga/ Kantor/ Satuan Kerja dan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-47/PB/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian
Negara/ Lembaga/ Kantor/ Satuan Kerja.
B. Sistem Akuntansi Keuangan (SAK)
Sistem Akuntansi Keuangan merupakan bagian SAI yang digunakan oleh
Kementerian Negara/Lembaga untuk memproses transaksi anggaran dan realisasinya,
sehingga menghasilkan Laporan Keuangan. Selanjutnya SAK yang akan dibahas adalah
SAK pada UAKPA. Pelaksanaan akuntansi Keuangan dibantu dengan perangkat lunak
(software) SAK yang memungkinkan penyederhanaan dalam proses manual dan
mengurangi tingkat kesalahan manusia (human error) dalam pelaksanaannya
UAKPA melaksanakan fungsi akuntansi dan pelaporan keuangan atas
pelaksanaan anggaran sesuai dengan tingkat organisasinya. Satuan kerja selaku UAKPA
berkewajiban membentuk struktur organisasi Unit Akuntansi sebagaimana gambar berikut:
Gambar 8: Struktur Organisasi UAKPA
Tugas pokok penanggung jawab UAKPA adalah menyelenggarakan akuntansi
keuangan di lingkungan satuan kerja, dengan fungsi sebagaimana berikut :
1. Menyelenggarakan akuntansi keuangan,
2. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan secara berkala,
3. Memantau pelaksanaan akuntansi keuangan.
Laporan keuangan yang dihasilkan merupakan bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran oleh UAKPA sebagai entitas akuntansi terdiri dari:
1. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran menyajikan informasi realisasi pendapatan dan belanja,
yang masing-masing dibandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
2. Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas akuntansi dan entitas
pelaporan mengenai aset, kewajiban, ekuitas dana per tanggal tertentu.
3. Catatan atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan, daftar rinci, dan analisis atas
nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.
UAKPA yang menggunakan Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain,

disamping wajib menyusun laporan keuangan atas bagian anggarannya sendiri, juga wajib
menyusun Laporan Keuangan Bagian Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain
secara terpisah.
SKPD yang menerima Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dari
pemerintah pusat wajib menyampaikan laporan keuangan yang merupakan satu
kesatuan/tidak terpisah dari laporan keuangan kementerian negara/lembaga terkait.
Selanjutnya laporan keuangan yang dihasilkan oleh UAKPA disampaikan kepada
UAPPA-W/UAPPA-E1.
1. Proses Penyusunan Laporan Keuangan
Dokumen sumber yang digunakan di tingkat satuan kerja guna penyusunan
laporan keuangan adalah sebagai berikut:
a. Dokumen penerimaan yang terdiri dari:
1) Estimasi Pendapatan yang dialokasikan: Pajak, PNBP dan Hibah pada DIPA dan
dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA;
2) Realisasi Pendapatan: Bukti Penerimaan Negara yang didukung oleh dokumen
penerimaan seperti SSBP, SSPB, SSP, SSBC, dan dokumen lain yang
dipersamakan.
b. Dokumen pengeluaran yang terdiri dari:
1) Alokasi Anggaran DIPA, Revisi DIPA, SKPA, dan dokumen lain yang
dipersamakan;
2) Realisasi Pengeluaran: SPM beserta SP2D, Surat Perintah Pengesahan dan
Pembukuan (SP3), dan dokumen lain yang dipersamakan.
c. Dokumen Piutang antara lain: kartu piutang, daftar rekapitulasi piutang, dan daftar
umur piutang.
d. Dokumen Persediaan antara lain: kartu persediaan, buku persediaan, dan laporan
persediaan.
e. Dokumen Konstruksi dalam Pengerjaan (KDP) antara lain: kartu KDP, laporan KDP,
dan lembar analisis SPM/SP2D.
f. Memo Penyesuaian (MP) yang digunakan dalam rangka pembuatan jurnal koreksi dan
jurnal aset.
g. Dokumen lainnya dalam rangka penyusunan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga seperti Berita Acara Serah Terima (BAST) Barang/Jasa, SK
Penghapusan, dan lain sebagainya.
Setiap bulan UAKPA melakukan pengiriman ADK, LRA, dan Neraca ke tingkat
UAPPA-W dan UAPPA-W Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan berikut Berita Acara
Rekonsiliasi (BAR). Sedangkan untuk UAKPA kantor pusat hanya melakukan pengiriman
ke UAPPA-E1.
Selanjutnya setiap semester UAKPA menyusun laporan keuangan lengkap terdiri
LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) disertai dengan Pernyataan
Tanggung Jawab yang ditandatangani oleh KPA/kepala satker.
Dalam rangka penerapan prinsip check and balance, terdapat prosedur rekonsiliasi
(proses pencocokan informasi berupa laporan keuangan yang dihasilkan dari dokumen
yang sama namun diproses oleh dua unit pemroses data yang berbeda) yang harus
dilakukan berupa:
a. Rekonsiliasi antara Laporan Keuangan UAKPA dengan Laporan Barang Milik Negara
yang dihasilkan oleh UAKPB
b. Rekonsiliasi antara data keuangan UAKPA dengan data keuangan pada KPPN
c. Rekonsiliasi antara data Barang Milik Negara UAKPB dengan data Barang Milik
Negara pada KPKNL
Pada proses rekonsiliasi antara data keuangan pada UAKPA dengan data

keuangan pada KPPN, hasil rekonsiliasinya dituangkan dalam BAR beserta lampiran hasil
rekonsiliasi. Terhadap UAKPA yang tidak melakukan rekonsiliasi dengan KPPN
selambatlambatnya
tujuh hari kerja setelah bulan bersangkutan berakhir diberikan sanksi berupa
Surat Peringatan Penyampaian Laporan Keuangan (SP2LK). Jika sampai dengan lima
hari kerja sejak diterbitkannya SP2LK KPA tidak menyampaikan laporan keuangan
bulanan dikenakan sanksi berupa penundaan penerbitan SP2D atas SPM yang diajukan
(SPM-UP/TUP/GUP maupun SPM-LS kepada bendahara pengeluaran).
Hal dimaksud sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
PER-19/PB/2008 tentang Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Penyampaian Laporan
Keuangan sesuai dengan PMK Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
2. Jadwal Pengiriman Laporan Keuangan
Jadwal penyampaian laporan keuangan UAKPA kepada UAPPA-W selambatlambatnya
pada tanggal :
a. Triwulan I : 12 April 2XX0
b. Semester I : 10 Juli 2XX0
c. Triwulan III : 12 Oktober 2XX0
d. Tahunan : 20 Januari 2XX1
C. Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN)
SIMAK-BMN adalah sistem terpadu yang merupakan gabungan prosedur manual dan
komputerisasi dalam rangka menghasilkan data transaksi untuk mendukung penyusunan
neraca. Di samping itu, SIMAK-BMN juga menghasilkan Daftar Barang, Laporan Barang,
dan
berbagai kartu kontrol yang berguna untuk menunjang fungsi pengelolaan BMN. Selanjutnya
SIMAK-BMN yang akan dibahas adalah SIMAK-BMN pada UAKPB.
Pelaksanaan akuntansi BMN dibantu dengan perangkat lunak (software) SIMAK-BMN
yang memungkinkan penyederhanaan dalam proses manual dan mengurangi tingkat
kesalahan manusia (human error) dalam pelaksanaannya.
Laporan BMN yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Laporan Barang Kuasa Pengguna Intrakomtabel
2. Laporan Barang Kuasa Pengguna Ekstrakomtabel
3. Laporan Kuasa Pengguna Kontruksi Dalam Pengerjaan
4. Laporan Kuasa Pengguna Persediaan
5. Laporan Kuasa Pengguna Aset Tak Berwujud
6. Catatan atas Laporan BMN (CalBMN)
Selanjutnya laporan BMN yang dihasilkan oleh UAKPB disampaikan kepada UAPPBW)/
UAPPB-E1.
1. Klasifikasi BMN
Untuk memudahkan identifikasi, maka setiap BMN diklasifikasikan dengan cara tertentu
sehingga memberikan kemudahan dalam pengelolaannya. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara
sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18/KMK.018/1999 tentang
Klasifikasi dan Kodefikasi Barang Inventaris Milik/Kekayaan Negara membagi BMN dalam
klasifikasi Golongan, Bidang, Kelompok, Sub Kelompok, dan Sub-sub kelompok.
Gambar 9 : Klasifikasi BMN
Golongan BMN meliputi: Barang Tidak Bergerak; Barang Bergerak; Hewan, Ikan
dan Tanaman, Barang Persediaan, Konstruksi Dalam Pengerjaan, Aset Tak Berwujud dan

Golongan Lain-lain. Dari masing-masing Golongan tersebut selanjutnya dirinci lagi ke


dalam klasifikasi bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. Dengan
demikian, klasifikasi paling rinci (detil) ada di level Sub-sub kelompok.
2. Pengkodean BMN
Untuk memudahkan pencatatan dan pengendalian, BMN selain diberikan
identifikasi berupa nama, juga diberikan identifikasi dalam bentuk kode. Pemberian kode
BMN sepenuhnya mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara. Untuk
memberikan identitas, BMN diberikan nomor kode barang (ditambah nomor urut
pendaftarannya) dan kode lokasi (ditambah tahun perolehannya).
Skema kode identifikasi barang adalah sebagai berikut:
+++++++++++++++++++++++++
+++++++++++++++++++++++++
3. Tabel Kode Barang
Setiap BMN dibukukan dengan mengacu pada kode BMN yang telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor: 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan
dan Kodefikasi Barang Milik Negara. Berikut adalah contoh kode BMN pada PMK
tersebut:
++++++++++++++
+++++++++++++++
4. Kondisi BMN
Kondisi BMN dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: baik, rusak ringan,
dan rusak berat. Tabel berikut ini menyajikan indikasi yang menentukan 3 kondisi BMN
tersebut:
++++++++++++++++
++++++++++++++
5. Proses Penyusunan Laporan BMN
a. Petugas akuntansi memproses dokumen sumber transaksi BMN untuk
menghasilkan data transaksi BMN, Laporan Barang Kuasa Pengguna, Laporan
Barang Kuasa Pengguna Barang Bersejarah, Laporan Barang Kuasa Pengguna
Barang Persediaan, Laporan Barang Kuasa Pengguna Konstruksi Dalam
Pengerjaan, Laporan Kondisi Barang, Kartu Identitas Barang, Daftar Barang
Ruangan, dan Daftar Barang Lainnya. Register Transaksi Harian diverifikasi dengan
dokumen sumber, untuk memastikan bahwa seluruh transaksi sudah diproses
sesuai dengan dokumen sumber yang ada. Laporan Barang Kuasa Pengguna
beserta ADK setiap semester dan tahunan dikirim ke tingkat UAPPB-W/UAPPB-E1
untuk dilakukan penggabungan data.
b. Laporan Barang Kuasa Pengguna Semester I dan II disusun berdasarkan proses
perekaman transaksi barang semester I dan II termasuk saldo awal.
c. Laporan Barang Kuasa Pengguna Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Semester I
dan II disusun berdasarkan proses perekaman transaksi barang semester I dan II
termasuk saldo awal yang dananya bersumber dari dana Dekonsentrasi/Tugas
Pembantuan.

d. UAKPB yang memiliki Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang


(UAPKPB) menggabungkan Laporan Barang Kuasa
Untuk menjaga keandalan Laporan Barang dan Laporan Keuangan, UAKPB
bersama UAKPA melakukan rekonsiliasi internal.
6. Rekonsiliasi Data BMN
Rekonsiliasi dilakukan antara UAKPB dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang (KPKNL). UAKPB setiap semester melakukan rekonsiliasi dan
pemutakhiran data BMN dengan KPKNL selaku kuasa Pengelola Barang. KPKNL
harus memonitor perkembangan BMN dan menjaga saldo awal BMN yang telah
ditetapkan tidak mengalami perubahan dan laporan BMN yang disampaikan oleh
satuan kerja sudah sesuai dengan nilai BMN pada laporan Neraca.
7. Jadwal Pengiriman Laporan BMN
Jadwal penyampaian laporan keuangan UAKPB kepada UAPPB-W selambatlambatnya
pada tanggal :
a. Semester I : 05 Juli 2XX0
b. Semester II : 10 Januari 2XX1
D. Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 73/PMK.05/2008 tentang
Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/ Kantor/ Satuan Kerja, Bendahara Penerimaan dan
Pengeluaran wajib menyusun LPJ secara bulanan atas pengelolaan uang dan surat
berharga dalam rangka pelaksanaan APBN.
Bendahara penerimaan menerima bukti setor maupun uang atas penerimaan
bukan pajak (PNBP) dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja. Atas
penerimaan yang dikelolanya, Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan
pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran/penyetoran atas penerimaan.
Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran atas belanja negara selama
satu tahun anggaran dengan menggunakan Uang Persediaan. Bukti-bukti pengeluaran
oleh Bendahara Pengeluaran harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan, di mana
bukti-bukti belanja tersebut merupakan transaksi yang juga dilaporkan oleh Sistem
Akuntansi Instansi. Pembayaran belanja yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
merupakan kegiatan realisasi anggaran yang akan dilaporkan dalam Laporan Realisasi
Anggaran. Pencatatan atas transaksi dilakukan dengan menggunakan basis kas, yaitu
basis yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara
kas diterima atau dibayar. Pencatatan dilakukan pada saat terjadinya penerimaan kas
atau pada saat terjadinya pengeluaran kas sehingga suatu transaksi belum dicatat apabila
tidak diikuti dengan terjadinya penerimaan atau pengeluaran kas.
Pembukuan Bendahara Pengeluaran dilaksanakan dengan azas bruto yaitu suatu
prinsip yang tidak memperkenankan pencatatan secara neto penerimaan setelah
dikurangi pengeluaran pada suatu unit organisasi atau tidak memperkenankan pencatatan
pengeluaran setelah dilakukan kompensasi antara penerimaan dengan pengeluaran. Asas
ini menekankan apabila terdapat satu transaksi yang mengakibatkan penerimaan
sekaligus pengeluaran maka pencatatan atas transaksi tersebut dilakukan secara terpisah
yaitu mencatat penerimaan sebesar jumlah penerimaan dan mencatat pengeluaran
sebesar jumlah pengeluaran dan tidak hanya mencatat selisih lebih besar antara
penerimaan dengan pengeluaran meskipun kas riil yang diterima atau yang dikeluarkan
hanya sebesar selisihnya, sehingga transaksi masing-masing dicatat sebesar nilai
brutonya.
1. Dokumen Sumber
Dokumen sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan

yang digunakan sebagai sumber atau bukti pencatatan untuk menghasilkan data
pelaporan. Dokumen sumber yang menjadi dasar dalam pembukuan Bendahara
penerimaan adalah:
a. Surat Bukti Setor (SBS) sebagai bukti pembukuan penerimaan bendahara;
b. SSBP yang dinyatakan sah, yang diterima dari orang/badan hukum sebagai bukti
pembukuan penerimaan sekaligus pengeluaran bendahara;
c. SSBP yang dinyatakan sah sebagai bukti pembukuan pengeluaran bendahara atas
setoran ke Kas Negara.
Dokumen sumber yang menjadi dasar pembukuan atas penerimaan kas atau pengeluaran
kas oleh Bendahara Pengeluaran, adalah sebagai berikut:
a. SPM-UP/TUP yang telah terbit SP2D-nya, sebagai bukti atas penerimaan kas;
b. SPM-GUP yang telah terbit SP2D-nya, sebagai bukti penerimaan kas dan bukti
pengesahan;
c. SPM-LS Bendahara atas Belanja Pegawai, Belanja Perjalanan Dinas yang kasnya
diterima melalui Bendahara Pengeluaran, sebagai bukti penerimaan kas dan bukti
pengurangan anggaran;
d. Faktur Pajak dan/atau bukti potongan pajak yang dipungut/dipotong oleh Bendahara
Pengeluaran, sebagai bukti penerimaan kas;
e. Kwitansi/bukti pembayaran dengan menggunakan Uang Persediaan/Tambahan Uang
Persediaan, sebagai bukti pengeluaran kas dan bukti pengurangan anggaran;
f. Bukti pembayaran kas yang dananya berasal dari SPM-LS Belanja Pegawai atau
SPM-LS Belanja Perjalanan, sebagai bukti pengeluaran kas;
g. SSP, SSBP dan SSPB, sebagai bukti pengeluaran kas;
h. Dokumen-dokumen transaksi lainnya yang dipersamakan dengan dokumen di atas.
Sedangkan dokumen bukti transaksi yang tidak mempengaruhi jumlah kas, namun
harus dicatat oleh Bendahara Pengeluaran karena terkait dengan transaksi sebelumnya
atau mempengaruhi anggaran, yaitu:
a. SPM-LS kepada pihak ketiga yang telah diterbitkan SP2D-nya, sebagai bukti
pengurangan anggaran;
b. SPM-GUP Nihil yang merupakan pengesahan oleh KPPN atas belanja dengan
Tambahan Uang Persediaan atau Uang Persediaan yang tidak akan diberikan
penggantian, sebagai bukti pengesahan;
c. Bukti penarikan kas dari bank (misal Cek), bukti setor kas ke bank, bukti terima
persekot oleh Pemegang Uang Muka/BPP, bukti pengembalian persekot, sebagai
bukti perpindahan kas;
d. Dokumen/Bukti lain yang dipersamakan dengan dokumen di atas.
2. Jenis dan Fungsi Buku
Setiap Bendahara pada satuan kerja wajib menyelenggarakan pembukuan yang
dapat dilakukan dengan tulis tangan atau komputer. Pembukuan tersebut dicatat
dalam Buku Kas Umum, Buku Pengawasan Anggaran dan buku-buku pembantu
sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pertanggungjawaban manajerial.
1) Buku Kas Umum (BKU).
BKU merupakan buku yang digunakan untuk mencatat semua transaksi
penerimaan dan pengeluaran.
Bendahara harus mengetahui posisi kas baik dalam jumlah maupun peruntukannya
masing-masing. Untuk itu, dibutuhkan bentuk BKU yang dapat memberikan
informasi mengenai saldo kas setiap saat
2) Buku Pembantu
Sementara itu untuk penatausahaan terhadap masing-masing sumber kas sesuai
dengan peruntukannya dapat digunakan buku pembantu, terdiri dari:

a. Buku Pembantu Kas (Tunai dan Bank);


Bagi Bendahara Penerimaan Buku Pembantu Kas (tunai dan bank) merupakan
buku yang digunakan untuk mencatat transaksi yang berkaitan atas
penerimaan setoran tunai dari orang/badan hukum dan transaksi penyetoran
ke Kas Negara, sedangkan bagi Bendahara Pengeluaran Buku Pembantu Kas
ini digunakan untuk mencatat transaksi arus kas yang bersumber dari SPM
yang ditujukan kepada Bendahara dan telah terbit SP2D-nya.
b. Buku Pembantu Uang Muka Perjalanan dinas;
Buku ini mencatat dana uang muka yang bersumber dari Uang Persediaan
yang diberikan kepada pejabat/pegawai negeri yang melaksanakan perjalanan
dinas dalam negeri.
c. Buku Pembantu BPP/PUM;
Dalam melakukan pembayaran atas belanja, Bendahara Pengeluaran dapat
dibantu oleh satu atau lebih Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP)/PUM.
Untuk itu, Bendahara Pengeluaran menyerahkan Uang UP/Uang yang
bersumber dari LS Bendahara dimana pelaksanaan pembayarannya
dilaksanakan oleh BPP/PUM. Uang yang diserahkan kepada BPP merupakan
tanggungjawab BPP, sedangkan uang UP/LS Bendahara yang diserahkan
kepada PUM tetap merupakan tanggung jawab Bendahara Pengeluaran (PUM
hanya sebagai juru bayar). Atas penyerahan UP/LS Bendahara yang
pelaksanaan pembayarannya dilaksanakan BPP/PUM dibutuhkan Buku
Pembantu BPP/PUM ini.
d. Buku Pembantu Uang Persediaan;
Dalam pengelolaan Uang Persediaan, Bendahara Pengeluaran dapat
mencatatnya dalam Buku Pembantu Uang Persediaan sehingga jumlah Uang
Persediaan dapat diketahui saldonya guna perencanaan penggunaan
selanjutnya maupun untuk kepentingan penggantian.
Pada saat melakukan pembayaran belanja dengan menggunakan Uang
Persediaan maka jumlah Uang Persediaan akan berkurang dan hal ini harus
dicatat di Buku Pembantu Uang Persediaan. Sementara itu pada saat
memperoleh penggantian UP dari pengajuan SPM-GUP maka UP akan
bertambah sebesar pengeluaran yang telah dipertanggungjawabkan dan
disahkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara/KPPN sehingga pengisian
kembali UP (Revolving) harus dicatat dalam Buku Pembantu Uang
Persediaan.
e. Buku Pembantu LS Bendahara;
Bendahara Pengeluaran selain membayar pengeluaran belanja dengan
menggunakan Uang Persediaan juga melakukan pembayaran atas belanja
yang proses pencairannya melalui mekanisme LS akan tetapi Kuasa
Bendahara Umum Negara mentransfer ke rekening Bendahara Pengeluaran
untuk diteruskan kepada pihak yang akan menerima. Penerimaan kas yang
demikian disebut dengan LS Bendahara sehingga diperlukan penatausahaan
dan pertanggungjawaban oleh Bendahara Pengeluaran. Atas penerimaan dan
pembayaran kas dari LS ini Bendahara Pengeluaran mencatatnya pada Buku
Pembantu LS Bendahara.
f. Buku Pembantu Pajak,
Atas pembayaran belanja dengan menggunakan Uang Persediaan, Bendahara
Pengeluaran selaku wajib memungut/memotong pajak apabila dalam transaksi
tersebut ditetapkan terutang pajak. Pajak yang telah dipungut/dipotong wajib
disetor ke kas negara. Untuk menatausahakan dan mempertanggungjawabkan

kas atas kewajiban memungut/memotong pajak dan penyetorannya,


Bendahara Pengeluaran mencatat pada Buku Pembantu Pajak.
g. Buku Pembantu lain-lain;
Buku Pembantu Lain-lain ini digunakan untuk menampung kemungkinan
terdapat transaksi keuangan atau penerimaan kas yang dilakukan oleh
Bendahara di luar aktivitas atau transaksi yang dicatat dalam buku-buku
pembantu di atas
3) Buku Pengawasan Anggaran
Sesuai fungsinya, Bendahara Pengeluaran melakukan pembayaran atas belanja
dengan menggunakan Uang Persediaan. Pembayaran belanja ini mengakibatkan
terjadinya pengurangan anggaran. Oleh karena itu, Bendahara Pengeluaran harus
mengetahui posisi anggaran sebelum melakukan pembayaran belanja dan
mencatat terjadinya pengurangan anggaran pada saat membayar belanja. Untuk
kegiatan pengendalian dan pengurangan terhadap anggaran ini dibutuhkan buku
yaitu Buku Pengawasan Anggaran. Buku ini berisi pagu anggaran belanja atau
yang disebut allotment belanja (penjatahan belanja), realisasi belanja dan saldo
anggaran belanja. Allotment belanja dicatat di Buku Pengawasan Anggaran
berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang diterima pada awal
tahun anggaran untuk satuan kerja yang bersangkutan.
3. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran wajib menyusun laporan
pertanggungjawaban secara bulanan atas uang yang dikelolanya. Bendahara
Pengeluaran Pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya
kepada Bendahara Pengeluaran pada setiap awal bulan. Laporan
pertanggungjawaban bendahara tersebut harus menyajikan informasi tentang:
a. Keadaan pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo awal, penambahan,
penggunaan, dan saldo akhir dari buku-buku pembantu;
b. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai di brankas dan
saldo di rekening bank/pos;
c. Hasil rekonsiliasi internal (antara pembukuan bendahara dengan UAKPA); dan
d. Penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo kas.
A. Tata Cara Penyusunan LPJ Bendahara
LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disusun berdasarkan
buku kas umum, buku-buku pembantu dan buku pengawasan anggaran yang telah
direkonsiliasi dengan UAKPA. Disamping itu juga perlu ditambahkan bahwa LPJ
Bendahara Pengeluaran merupakan gabungan dari satu atau lebih LPJ-BPP
dengan LPJ Bendahara Pengeluaran itu sendiri.
LPJ BPP juga disusun berdasarkan buku kas umum, buku-buku pembantu dan
buku pengawasan anggaran.
B. Penyampaian LPJ Bendahara
LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disampaikan kepada:
a. Kepala KPPN yang ditunjuk dalam DIPA satuan kerjanya;
b. Menteri/Pimpinan Lembaga masing-masing;
c. Badan Pemeriksa Keuangan.
Penyampaian LPJ tersebut dilakukan secara bulanan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja bulan berikutnya, disertai dengan salinan rekening koran dari bank/pos.
LPJ BPP dikirimkan kepada Bendahara Pengeluaran induknya paling lambat 5
(lima) hari kerja bulan berikutnya disertai dengan salinan rekening koran dari
bank/pos bulan berkenaan.

MPKS : DAFTAR ISTILAH

DAFTAR ISTILAH
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang masa
berlakunya dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan.
2. Arsip Data Komputer, yang selanjutnya disingkat ADK, adalah arsip data berupa disket
atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar,
dan/atau data lainnya.
3. Bagan Akun Standar (BAS) adalah daftar perkiraan buku besar yang ditetapkan dan
disusun secara sistematis untuk memudahkan perencanaan dan pelaksanaan anggaran,
serta pembukuan dan pelaporan keuangan pemerintah.
4. Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
5. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan
belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/ satker Kementerian
Negara/ Lembaga.
6. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi
tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
7. Catatan atas Laporan Keuangan adalah laporan yang menyajikan informasi tentang
penjelasan atau daftar terinci atau analisis atau nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA,
Neraca, dan LAK dalam rangka pengungkapan yang memadai.
8. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen lain yang dipersamakan
dengan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga atau Satuan Kerja (satker) serta disahkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas
nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen
pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
9. Daftar Nominatif adalah daftar rincian yang memuat nama-nama penerima uang, jumlah
uang, dan rincian lainnya atas perjalanan dinas dan sebagainya secara kolektif.
10. Data transaksi BMN adalah data berbentuk jurnal transaksi perolehan, perubahan, dan
penghapusan BMN, yang dikirimkan melalui media ADK setiap bulan oleh petugas Unit
Akuntansi Kuasa Pengguna Barang kepada petugas Unit Akuntansi Kuasa Pengguna
Anggaran di tingkat satuan kerja.
11. Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan
oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan
untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
12. Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas
akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
13. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut KPPN adalah
instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan.
14. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat
Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur

Jenderal Perbendaharaan.
15. Kementerian negara adalah organisasi dalam Pemerintahan Republik Indonesia yang
dipimpin oleh menteri untuk melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang tertentu.
16. Kuitansi adalah selembar surat bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi penyerahan
sejumlah uang dari yang disebut sebagai pemberi atau yang menyerahkan uang kepada
yang disebut sebagai penerima dan yang harus menandatangani telah menerima
penyerahan uang itu sebesar yang disebutkan dalam surat itu, lengkap dengan tanggal
penyerahan,tempat serta alasan penyerahan uang itu. Untuk memperkuat tanda bukti
tersebut ditempel kan meterai sebesar yang ditentukan oleh undang-undang per pajakan.
17. Laporan Arus Kas (LAK) adalah laporan yang menyajikan informasi arus masuk dan
keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi,
investasi aset non-keuangan, pembiayaan, dan non anggaran.
18. Laporan BMN adalah laporan yang menyajikan posisi BMN pada awal dan akhir suatu
periode serta mutasi BMN yang terjadi selama periode tersebut.
19. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan
APBN berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas
Laporan Keuangan.
20. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi
pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang
pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam
satu periode.
21. Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
22. Letter of Credit (L/C) adalah surat kredit berdokumen janji tertulis yang diterbitkan oleh
issuingbank atas dasar permohonan tertulis aplicant atau dirinya sendiri kepada
beneficiary untuk membayar atau mengaksep draft, mengizinkan bank lain untuk
membayar atau mengaksep atau mengambil alih draft, apabila dokumen yang diserahkan
oleh beneficiary sesuai dengan syarat dan kondisi janji tertulis yang diterbitkan oleh
issuing bank (letter of kredit).
23. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset,
utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
24. No Objection Letter (NOL) adalah surat persetujuan dari pemberi hibah atau donor atas
suatu kontrak dengan jumlah batasan tertentu atau tanpa batasan nilai berdasarkan jenis
pekerjaan yang ditetapkan.
25. Pemegang Uang Muka (PUM) adalah pejabat pembantu bendahara pengeluaran.
26. Pengguna anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
Kementerian Negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
27. Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA/ Kuasa PA
adalah Menteri/ Pimpinan Lembaga atau kuasanya yang bertanggung jawab atas
pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan.
28. Pihak lain adalah instansi/unit organisasi di luar Kementerian Negara/Lembaga dan
berbadan hukum yang menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN, dan
karenanya wajib menyelenggarakan SAI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
29. Rekening Kas Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau pejabat yang ditunjuk
untuk menampung seluruh penerimaan negara dan atau membayar seluruh pengeluaran
negara pada Bank/ Sentral Giro yang ditunjuk.
30. Rekening Kas Umum Negara (Rekening KUN) adalah rekening tempat penyimpanan
uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara

untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran


Negara pada Bank Sentral.
31. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut
RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan
kegiatan suatu kementerian negara/lembaga yang merupakan penjabaran dari rencana
kerja pemerintah dan rencana strategis kementerian negara/lembaga yang bersangkutan
dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
32. Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan
beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
33. Satuan kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian negara/ lembaga
yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
34. Satuan Kerja adalah kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang yang merupakan
bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan
satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
35. Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) adalah surat keterangan tentang
terhitung mulai bulan dihentikan pembayaran yang dibuat/ dikeluarkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan oleh
Kementerian Negara/Lembaga atau satker dan disahkan oleh KPPN setempat.
36. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa segala akibat dari tindakan pejabat/seseorang yang dapat
mengakibatkan kerugian negara menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari
pejabat/seseorang yang mengambil tindakan dimaksud.
37. Surat Pernyataan Tanggung jawab Belanja (SPTB) adalah pernyataan tanggung jawab
belanja yang dibuat oleh PA/Kuasa PA atas transaksi belanja sampai dengan jumlah
tertentu.
38. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti penyetoran / pembayaran pajak yg telah
dilakukan dengan menggunakan formulir.
39. Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) adalah surat setoran yang digunakan atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak (selain PPh,PPN, PBB, BPHTB dan Cukai) dan penerimaan non
anggaran (misal: Penerimaan Pengembalian Uang Persediaan)
40. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan disampaikan kepada
Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk selaku
pemberi kerja untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat penerbit SPM berkenaan.
41. Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan
dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
42. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah surat perintah membayar
yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk pekerjaan
yang akan dilaksanakan dan membebani MAK transito.
43. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) adalah surat perintah
membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran karena
kebutuhan dananya melebihi pagu uang persediaan dan membebani MAK transito.
44. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GUP) adalah surat
perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran /Kuasa Pengguna
Anggaran dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan
uang persediaan yang telah dipakai.
45. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil (SPM-GUP Nihil) adalah
surat perintah membayar penggantian uang persediaan nihil yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk selanjutnya disahkan oleh KPPN.

46. Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) adalah surat perintah membayar langsung
kepada pihak ketiga yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah kerja lainnya.
47. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN
selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban
APBN berdasarkan SPM.
48. Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) adalah surat setoran atas penerimaan
pengembalian belanja tahun anggaran berjalan (yang bersifat telah membebani anggaran)
49. Standar Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.
50. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah serangkaian prosedur manual maupun
yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai
dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat.
51. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) adalah serangkaian prosedur
manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan,
pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan yang
dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan pengguna Anggaran BAPP.
52. Sistem Akuntansi Instansi (SAI) adalah serangkaian prosedur manual maupun yang
terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan
pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga.
53. Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN)
adalah subsistem dari SAI yang merupakan serangkaian prosedur yang saling
berhubungan untuk mengolah dokumen sumber dalam rangka menghasilkan informasi
untuk penyusunan neraca dan laporan BMN serta laporan manajerial lainnya sesuai
ketentuan yang berlaku.
54. Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah uang yang diberikan kepada satker untuk
kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan melebihi pagu UP yang ditetapkan.
55. Transfer Lainnya adalah pengeluaran yang berasal dari anggaran perhitungan dan
pembiayaan atas belanja bantuan sosial yang dilakukan oleh Kementerian
Negara/Lembaga.
56. Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur
ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai
kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran
langsung.
57. 57. Unit Akuntansi Instansi (UAI) adalah unit organisasi Kementerian Negara/Lembaga
yang bersifat fungsional yang melaksanakan fungsi akuntansi dan pelaporan keuangan
instansi yang terdiri dari Unit Akuntansi Keuangan dan Unit Akuntansi Barang.
58. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) adalah UAI yang melakukan
kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja.
59. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB) adalah Satuan Kerja/Kuasa Pengguna
Barang yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
60. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W) adalah UAI yang
melakukan kegiatan penggabungan laporan, baik keuangan maupun barang seluruh
UAKPA yang berada dalam wilayah kerjanya.
61. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah (UAPPB-W) adalah unit akuntansi
BMN pada tingkat wilayah atau unit kerja lain yang ditetapkan sebagai UAPPB-W dan
melakukan kegiatan penggabungan laporan BMN dari UAKPB, penanggung jawabnya
adalah Kepala Kanwil atau Kepala unit kerja yang ditetapkan sebagai UAPPB-W.
62. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon I (UAPPA-E1) adalah UAI yang
melakukan kegiatan penggabungan laporan, baik keuangan maupun barang seluruh

UAPPA-W yang berada di wilayah kerjanya serta UAKPA yang langsung berada di
bawahnya.
63. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Eselon I (UAPPB-E1) adalah unit akuntansi
BMN pada tingkat Eselon I yang melakukan kegiatan penggabungan laporan BMN dari
UAPPB-W, dan UAKPB yang langsung berada dibawahnya yang penanggungjawabnya
adalah pejabat Eselon I.
64. Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA) adalah UAI pada tingkat Kementerian
Negara/Lembaga (Pengguna Anggaran) yang melakukan kegiatan penggabungan laporan,
baik keuangan maupun barang seluruh UAPPA-E1 yang berada di bawahnya.
65. Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB) adalah unit akuntansi BMN pada tingkat
Kementerian Negara/Lembaga yang melakukan kegiatan penggabungan laporan BMN
dari UAPPB-E1, yang penanggung jawabnya adalah Menteri/Pimpinan Lembaga.

Anda mungkin juga menyukai