Anda di halaman 1dari 8

http://ruhdiyatayyubiahmad.blogspot.

com/2012/10/makna
-sidratul-muntaha-tajalli-ilahi.html

Makna "Sidratul Muntaha" & "Tajalli Ilahi" Paling


Sempurna

‫الر ِح ۡی ِم‬
َّ ‫الر ۡحمٰ ِن‬ ‫ِب ۡس ِم ہ‬
َّ ِ‫ّٰللا‬

SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 106

Makna “Sidratul Muntaha” &


“Tajalli Ilahi” Paling Sempurna
Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam bagian Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna Sidratul


Muntaha, firman-Nya:
ؕ﴿ ‫ع ٰلی َما َی ٰری ﴿ ﴾ َو لَقَ ۡد َر ٰاہُ ن َۡزلَۃ ا ُ ۡخ ٰری ﴿ۙ ﴾ ِع ۡن َد ِس ۡد َرۃِ ۡال ُم ۡنتَہٰ ی ﴿ ﴾ ِع ۡن َدہَا َجنَّ ُۃ ۡال َم ۡا ٰوی‬
َ ‫اَفَتُمٰ ُر ۡونَہ‬

Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia
lihat? Dansungguhnya dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, dekat pohon
Sidrah terting-gi, yang di dekatnya ada surga, tempat tinggal. (Al-
Najm [53]:13-16).

Makna “Sidratul Muthaha” &


Syariat Islam (Al-Quran)
Kasyaf yang dialami Nabi Besar Muhammad saw. dalam mikraj itu
suatupengalaman ruhani berganda. Pada waktu mikraj, Nabi Besar
Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah
Swt.) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia
untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu
terbentang di hadapan beliau saw. samudera luas tanpa tepi – yakni
samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
Sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti, bahwa makrifat
Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti
halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada
paramusafir ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih
karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses
pembusukan.
Jadi, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran yang diwahyukan kepada Nabi
Besar Muhammad saw. (Agama Islam/Al-Quran) tidak
hanya kebalterhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), melainkan juga baik sekali
gunamenolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan akhlak dan
ruhani.
Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada
sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw. mengikat janji setia (baiat) kepada beliau saw. pada
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah (QS.48:19).
Dari makna-makna mengenai sidrah dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya yang dimaksud dengan Sidratul Muntaha adalah ajaran
Islamatau Al-Quran, yang merupakan syariat
terakhir dan tersempurna (QS.5:4) yang terhadapnya Allah Swt.
telah menjelmakan -- yakni “menyelubunyinya” -- dengan Sifat-sifat-Nya yang
paling lengkap dan paling sempurna. Mengenai hal tersebut selanjutnya Nabi
Swt. berfirman:
ُ ‫ت َربِ ِہ ۡال‬
﴾ ﴿ ‫ک ۡب ٰری‬ ِ ‫ط ٰغی ﴿ ﴾ لَقَ ۡد َر ٰای ِم ۡن ٰا ٰی‬ َ َ‫غ ۡالب‬
َ ‫ص ُر َو َما‬ ِ ‫ا ِۡذ یَ ۡغشَی‬
َ ‫الس ۡد َرۃ َ َما یَ ۡغ ٰشی ﴿ۙ ﴾ َما زَ ا‬
Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang
menyelubungi. Penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula
melantur. Sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-
tanda Tuhan-Nya. (Al-Najm [53]:18-19).

Nabi Musa a.s. & “Tajalli Ilahi”

Dengan demikian jelaslah bahwa kalimat “Ketika pohon Sidrah


diselubungi oleh sesuatu yang menyelubung “ maknanya ialah penjelmaan
Ilahi (tajalli Ilahi), yang Nabi Musa a.s. pun tidak mampu untuk “melihat-Nya”
ketika beliau berkhalwat di gunung Thur untuk “bertemu” dengan Allah Swt.,
firman-Nya:
‫کؕ قَا َل لَ ۡن ت َٰرىنِ ۡی َو‬ َ ‫ظ ۡر اِلَ ۡی‬ ُ ‫ب ا َ ِرنِ ۡی ا َ ۡن‬ِ ‫َو لَ َّما َجا َء ُم ۡوسٰ ی ِل ِم ۡیقَاتِنَا َو کَلَّ َمہ َربُّہ ۙ قَا َل َر‬
ۡ
‫ف ت َٰرىنِ ۡی ۚ فَلَ َّما ت َ َجلہی َربُّہ ِلل َج َب ِل َج َعلَہ َد ًّکا َّو خ ََّر ُم ۡوسٰ ی‬ َ ‫س ۡو‬ ۡ ‫ظ ۡر اِلَی ۡال َج َب ِل فَا ِِن‬
َ َ‫استَقَ َّر َمکَانَہ ف‬ ُ ‫ٰل ِک ِن ۡان‬
﴾ ﴿ َ‫ک َو اَنَا ا َ َّو ُل ۡال ُم ۡؤ ِمنِ ۡین‬ َ ‫ک ت ُ ۡبتُ اِلَ ۡی‬ ُ ‫ص ِعقا ۚ فَلَ َّما اَفَاقَ قَا َل‬
َ َ‫س ۡبحٰ ن‬ َ
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya
bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah
kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau
tidak akan pernah dapat me-lihat-Ku tetapi pandanglah gunung itu, lalu jikaia
tetap ada pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.”
Maka tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada gunung itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkalaia
sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang
berimankepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan
yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan Allah
Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung
pendapat bahwa Allah Swt. dapat disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104).
Jangankan melihat Allah Swt. dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak
dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat
melihat penjelmaan mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah yang
dapat manusia saksikan, tetapi Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak
dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa
a.s. dengan segala makrifat mengenai Sifat-sifat Allah Swt. akan mempunyai
keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat
menyaksikan Tajalli(penampakkan kekuasaan) Allah Swt. , dan bukan Wujud-
Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah
Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (QS.
28:30). Jadi apa gerangan maksud Nabi Musa a.s. dengan perkataan: “Ya
Tuhan-ku, tampak-kanlah kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”

Nabi Musa a.s. Menyatakan Beriman


kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurnaAllah


Swt. yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad
saw.beberapa masa kemudian. Karena kaumnya (Bani Israil) berulang kali
melakukan kedurhakaan kepada Allah Swt. dan para nabi Allah yang
dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89; QS.61:6-7), maka Nabi Musa
a.s. diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil – yaitu Bani
Ismail -- akan muncul seorang nabi Allah yang di mulutnya Tuhan akan
meletakan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22).
Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli yang lebih besar daripada
yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s. , karena itu beliau dengan
sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan
Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu. Beliau
berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan
kepada beliau.
Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar
bataskemampuan beliau untuk menanggungnya, tajalli itu tidak akan dapat
terjelma pada hati beliau, tetapi Allah Swt. memilih gunung untuk tajalli.
Gunung itu berguncang dengan hebat serta nampak seakan-akan ambruk,
dan Nabi Musa a.s. karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu rebah tidak
sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar (mengerti) bahwa
beliau tidak mencapai tingkata yang demikian tingginya dalam martabat
keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri
tempat Allah Swt. bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa
yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak
lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi Muhammad
saw., Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41).
Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s. itu karena didesak para
pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir
(QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu
memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak.
Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan
aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau
telahsadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-
sempurnaKeagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi
Yang dijanjikan itu, dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang
pertama-tama beriman di masa itu kepada keluhuran kedudukan ruhani yang
telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar itu. Keimanan Nabi Musa
a.s. kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu telah disinggung juga dalam
QS.46:11.

Beratnya Memikul “Amanat” Terakhir dan Tersempurna


(Syariat Islam/Al-Quran)
Gunung itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah
dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa
bumi itu akibat tajjali Ilahi tersebut. Lihat Keluaran 24:18. Dan mengisyaratkan
kepada ketidak-mampuan hati Nabi Musa a.s. untuk menerima tajalli Ilahi itu
pulalah yang diisyaratkan oleh firman-Nya berikut ini tentang
penawaran untuk memikul amanat (syariat Islam/Al-Quran):
ُ ‫س‬
ؕ‫ان‬ ِ ۡ ‫ض َو ۡال ِج َبا ِل فَا َ َب ۡینَ ا َ ۡن ی َّۡح ِم ۡلنَ َہا َو ا َ ۡشفَ ۡقنَ ِم ۡن َہا َو َح َملَ َہا‬
َ ‫اۡل ۡن‬ ِ ‫ت َو ۡاۡلَ ۡر‬ِ ‫علَی السَّمٰ ٰو‬َ ‫ضنَا ۡاۡلَ َمانَ َۃ‬ َ ‫اِنَّا‬
ۡ ‫ع َر‬
﴾ ۙ﴿ ‫ظلُ ۡوما َج ُہ ۡوۡل‬َ َ‫اِنَّہ کَان‬
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh
langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan
memikulnya danmereka takut terhadapnya, akan
sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. (Al-Ahzab [33]:73).
Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima
amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan
darizhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia
meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani
diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau
kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang
berarti lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitribesar
sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat
Ilahi untuk menyerap dan menjelmakan citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31).
Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia saja dariseluruh isi jagat
raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; sedangkan makhluk-
makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-
planit), bumi, gunung-gunung -- sama sekali tidak dapat menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang
dapatmelaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya
sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri), dalam pengertian bahwa ia
dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapatmenanggung
kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demiKhāliq-nya, dan ia
mampu mengabaikan diri atau alpa, dalam arti bahwa dalam mengkhidmati
amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapatmengabaikan kepentingan
pribadinya dan hasratnya untuk memperolehkesenangan dan kenikmatan
hidup (QS.6:162-164).
(2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan
kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw.,
maka ayat ini akan berarti, bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan
bumi – termamsuk para rasul Allah -- hanyalah Nabi Besar Muhammad
saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat
yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4), sebab
tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang
mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya
dan sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak
jujurterhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat
Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di
bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia —
menolakmengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan
setiamenjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka
harustunduk.
Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan
para malaikat jugamelaksanakan tugas mereka
dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanyamanusia saja yang disebabkan
telah dikaruniai kebebasan bertindak danberkemauan mau
juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt.,sebab
ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dankewajibannya.
Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

“Nabi yang Seperti Musa” & “Roh Kebenaran”

Kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) yang diwahyukan kepada Nabi


Besar Muhammad saw. tersebut disebutkan pula dalam Bible ketika Nabi Musa
a.s. menceritakan pengutusan “Nabi yang seperti dirinya” dari kalangan “Bani
Isma’il”, yang akan menceritakan “segala yang diperintahkan Allah
kepadanya” yakni:
Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama
seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan Allahmu; dialah yang harus
kamu dengarkan. Tepat seperti yang kamu minta dahulu kepada Tuhan
Allahmu di gunung Horeb, pada hari perkumpulan, dengan berkata: “Tidak
mau aku mendengar lagi suara Tuhan Allahku, dan api yang besar ini tidak
mau aku melihatnya lagi, supaya jangan aku mati.” Lalu berkatalah
Tuhan kepadaku: “Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan
Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini;
Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan
kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak
mendengarkan segala firmanKu yang akan diucapkan nabi itu demi namaKu,
daripadanya akan Kutuntut pertanggungjawaban. Tetapiseorang nabi yang
terlalu berani untuk mengucapkan demi namaKuperkataan yang tidak
Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah
lain, nabi itu harus mati.” (Ulangan 18:15-20).
Demikian juga Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) atau Mesiah,
ketika menceritakan kedatangan “Roh Kebenaran” -- yakni Nabi Besar
Muhammad saw. atau “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-
39) -- telah menyatakan bahwa beliau saw. akan “memimpin ke
dalamseluruh kebenaran”, sebab sampai zaman Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Allah Swt. belum menurunkan “seluruh kebenaran” yakni agama Islam (Al-
Quran) -- yang merupakan syariat tersempurna dan terakhir (QS.5:4) –
karena umat manusia belum sanggup untuk menanggungnya, termasuk Bani
Israil:
“Masih banyak hal yang harus kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu
belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila ia datang, yaitu Roh
Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab ia
tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengarnya itulah yang akan dikatakannya dan ia akan menceritakan
kepadamu hal-hal yang akan datang.” (Yohanes 16:12-13).
Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. di awal Bab ini mengenai
kesempurnaan martabat ruhani Nabi Besar Muhammad saw.:
َ‫ق ۡاۡلَ ۡع ٰلیؕ﴿ ﴾ ث ُ َّم َدنَا فَت َ َدلہی ۙ﴿ ﴾ فَکَان‬ ۡ َ‫شد ِۡی ُد ۡالقُ ٰوی ۙۙ﴿ ﴾ ذُ ۡو ِم َّرۃٍؕ ف‬
ِ ُ‫است َٰوی ۙۙ﴿ ﴾ َو ہ َُو بِ ۡاۡلُف‬ َ ‫علَّ َمہ‬ َ
ٰ
﴾ ﴿ ‫ب الفُ َؤا ُد َما َرای‬ ۡ َ ‫ع ۡبدِہ َما ا َ ۡوحٰ ی ؕ﴿ ﴾ َما َک َذ‬ ٰ ٰ
َ ‫س ۡی ِن ا َ ۡو ا َ ۡدنی ۚۙ﴿ ﴾ فَا َ ۡوحٰ ی اِلی‬
َ ‫اب قَ ۡو‬
َ َ‫ق‬
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya
ketika ia,Rasulullah, berada di ufuk
tertinggi. Kemudian ia, Rasulullāh, mendekatiAllāh, lalu Dia semakin
dekat kepadanya, maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dari dua buah
busur, atau lebih dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-
Nya apa yang telah Dia wahyukan. (Al-Najm[53]:6-11).
Jadi, karena dari seluruh rasul Allah hanya Nabi Besar Muhammad
saw. sajalah yang mampu “memikul” (mengemban) “amanat” syariat terakhir
dan tersempurna – Islam (Al-Quran – QS.5:4) -- yang merupakan
penjelmaan tajalli Ilahi yang paling sempurna pula (QS.7:144; QS.33:73) maka
Allah Swt. telah mengabadikan hal tersebut dalam dua Kalimah
Syahadat yaitu:
“Kami bersaksi bahwa tidak Ada Tuhan kecuali Allah dan kami bersaksi
bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
Dengan adanya dua Kalimah Syahadat tersebut akan menjaga umat Islam
dari mempertuhankan Nabi Besar Muhammad saw., walaua pun martabat
akhlak dan ruhani beliau saw. jauh lebih sempurna dari para rasul
Allah sebelumnya, yang kemudian “dipertuhankan” oleh para pemeluknya,
seperti contohnya Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.9:30-33).

(Bersambung).

Rujukan: The Holy Quran


Editor: Malik Ghulam Farid

Anda mungkin juga menyukai