Anda di halaman 1dari 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CONTINUING
CONTINUING MEDICAL
MEDICAL EDUCATION
EDUCATION

Akreditasi PB IDI3 SKP

Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri


pada Lanjut Usia
Jimmy Barus
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada
kelompok ini. Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, asetaminofen/parasetamol merupakan pilihan
pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Jika perlu, COX 2 inhibitor lebih diutamakan untuk
menghindari efek gastrointestinal, dan pemberian aspirin bersama PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk mengurangi risiko kardiovaskuler.
Penggunaan OAINS (Obat Anti-inflamasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal
dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. OAINS harus dihindari pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman,
tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin,
dan antidepresan golongan SNRI (Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitor).
Kata kunci: Nyeri, lanjut usia, penatalaksanaan farmakologis

ABSTRACT
The increase of elderly population resulted in increasing problem of pain connected to degenerative diseases and disabilities. The use of
analgetics among elderly needs special consideration. Acetaminophen/paracetamol is still the first choice for musculoskeletal pain with
dose and side effect monitoring. COX2 inhibitor is preferred to avoid gastrointestinal effect, and aspirin in combination with PPI is used to
minimize cardiovascular risk. NSAID (Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug) use is limited as much as possible, because it is associated with
gastrointestinal side effects and increased risk of cardiovascular disorders. NSAID should be avoided in renal insufficiency. Opioid is relatively
safe but needs monitoring of side effect. Adjuvant analgesics that can be considered are anticonvulsants: gabapentin and pregabalin, and SNRI
antidepressant. Jimmy Barus. Pharmacological Management of Pain in the Elderly.
Keywords: Pain, elderly, pharmacological management

PENDAHULUAN
Sejalan dengan meningkatnya populasi
lansia, maka meningkat pula jumlah kasus
nyeri terkait disabilitas dan perubahan
degeneratif pada kelompok ini. Dokter
umum sebagai tenaga pelayanan kesehatan
lini pertama mendapat tantangan cukup
signifikan terkait penatalaksanaan nyeri
pada lansia.1 Prevalensi kasus nyeri terutama
nyeri persisten (kronis) pada lansia berkisar
antara 25 80%. Prevalensi nyeri pada lansia
di komunitas adalah 25 50%, sementara
yang berada di sarana perawatan khusus 45
80%.2
Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok
kasus nyeri yang paling sering dialami oleh
kelompok lansia di komunitas. Osteoartritis,
Alamat korespondensi

penyakit degeneratif diskus, osteoporosis


dan fraktur, serta gout merupakan kasus
nyeri muskuloskeletal yang sering terjadi;
kelompok kasus lainnya berupa sindrom
nyeri neuropatik, seperti neuropati diabetika,
neuralgia pasca-herpes, neuralgia trigeminal,
nyeri sentral pasca-stroke, dan nyeri radikuler
akibat penyakit degeneratif tulang belakang.
Selain itu, kasus reumatologik seperti arthritis
rheumatoid, polimialgia reumatika, dan
fibromialgia sering juga dikeluhkan.2
Sebelum menentukan tatalaksana yang
tepat, assessment yang komprehensif harus
dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri,
termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik
adekuat, pemeriksaan penunjang relevan
perlu dilakukan sebelum menentukan pe-

natalaksanaan yang paling tepat. Riwayat


penyakit penyerta, seperti gangguan hati,
ginjal, faktor risiko vaskuler, status fisik dan
mental, penting diperhatikan karena akan
sangat berkaitan dengan pilihan analgetik.
Makalah ini akan menitikberatkan mengenai
pembahasan penatalaksanaan nyeri pada
lansia dari segi farmakologis.
Perubahan Fisiologis pada Lansia yang
Mempengaruhi Pilihan Terapi Obat
Secara fisiologis, fungsi organ tubuh pada
lansia akan mengalami perubahan. Hal ini
penting dipertimbangkan sebelum menentukan pengobatan farmakologis yang
tepat. Perubahan fisiologis pada lansia yang
dapat mempengaruhi pilihan terapi obat
dapat dilihat pada tabel 1.3

email: jimmybarusmd@yahoo.com

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

167

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 1. Perubahan fisiologis pada lansia3
Perubahan Sejalan
dengan Proses Penuaan

Fungsi Fisiologis

Konsekuensi Klinis

Fungsi Absorbsi dan


Traktus Gastrointestinal

Pemanjangan waktu pengosongan Peningkatan efek samping saluran cerna


lambung dan penurunan fungsi
terkait penggunaan obat yang dapat
peristaltik usus
mengurangi gerakan peristaltik, misalnya
Penurunan aliran darah di saluran cerna
opioid

Distribusi

Berkurangnya kandungan air tubuh


Berkurangnya distribusi obat yang larut
Meningkatnya proporsi lemak tubuh
dalam air
yang mengakibatkan obat yang larut Obat yang larut dalam lemak akan
dalam lemak akan terakumulasi
cenderung mengalami penambahan
Konsentrasi protein plasma yang lebih
waktu paruh
rendah dan meningkatnya fraksi bebas Meningkatnya potensi interaksi obat
obat yang akan cenderung berikatan
dengan protein

Metabolisme Hepar

Berkurangnya aliran darah hepatik


Berkurangnya metabolisme obat yang
Berkurangnya massa hepar dan jumlah
efektif
sel hepatosit yang fungsional
Proses oksidasi obat menurun, akibatnya
waktu paruh akan meningkat
Proses konjugasi biasanya tetap, efek
individual sulit diprediksi

Ekskresi Renal

Menurunnya aliran darah renal


Menurunnya filtrasi glomerulus
Menurunnya sekresi tubulus

Menurunnya ekskresi renal pada


obat yang metabolitnya secara alami
diekskresikan melalui renal, berakibat
akumulasi dan efek memanjang

Perubahan
Farmakodinamik

Berkurangnya densitas reseptor


Meningkatnya afinitas reseptor

Peningkatan sensitivitas terhadap obat


dan potensi efek samping

Pertimbangan Pemilihan Analgetik


pada Lansia
Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan mengeliminasi kausa yang
mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll.
Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan
mudah, sehingga pilihan masuk akal yang
biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani
keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi
nyeri. Meskipun nyeri tidak dapat dihilangkan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan
dengan penilaian yang teliti tanpa melupakan evaluasi respons terapi.
Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana
penanganan nyeri pada umumnya, sebaiknya
berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri.
Terapi farmakologis tetap memainkan
peranan penting untuk mengatasi nyeri
pada lansia. Penting untuk diingat bahwa
pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas
terhadap kerja obat. Oleh karena itu, setiap
pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis
kecil dan dinaikkan bertahap sesuai dengan
toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi

Tabel 2. Beers Criteria untuk kelas analgetik7


Obat

Rasional

Rekomendasi

Tinggi

Kekuatan Rekomendasi

Meperidine

Bukan analgetik oral yang efektif; dapat mengakibatkan


neurotoksisitas

OAINS non-selektif (oral)


Aspirin >325 mg
Diklofenak
Diflunisal
Etodolak
Fenoprofen
Ibuprofen
Ketoprofen
Meklofenamat
Asam mefenamat
Meloksikam
Nabumeton
Naproksen
Oksaprozin
Piroksikam
Sulindak
Tolmetin

Meningkatkan risiko perdarahan traktus gastrointestinal dan Hindari


penggunaan Moderat
ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi, yaitu usia >75
kronik, kecuali pilihan
tahun, yang mendapat terapi kortikosteroid, antikoagulan,
obat lain tidak efektif
antiplatelet
Berikan agen proteksi
Penggunaan bersama PPI (proton pump inhibitor) dan
lambung (PPI + /
misoprostol dapat menurunkan, namun tidak menghilangmisoprostol) jika harus
kan risiko
menggunakan obat-obat
Perforasi, perdarahan saluran cerna atas, ulserasi terjadi pada
ini
1% pasien yang menjalani pengobatan kontinu dalam 3-6
bulan dan 2-4% pada pengobatan 1 tahun

Kuat

Indometasin, ketorolak
(termasuk parenteral)

Meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna dan ulkus Hindari


peptikum pada kelompok risiko tinggi (sda)
Dari keseluruhan OAINS, indometasin memiliki efek samping
yang paling berat

Indometasin: moderat
Ketorolak: Tinggi

Kuat

Pentazosin

Analgetik opioid yang menyebabkan konfusi, halusinasi; lebih Hindari


sering dibanding opioid lainnya

Rendah

Kuat

Relaksan otot
Carisoprodol
Siklobenzaprin
Klorzoksazon
Metoksalon
Metokarbamol
Orphenadrin

Kebanyakan relaksan otot tidak ditoleransi baik pada lansia, Hindari


karena efek samping antikolinergik, sedasi, risiko fraktur
Dosis terapeutik efektif, mungkin tidak dapat ditolerir oleh
lansia

Moderat

Kuat

168

Hindari

Kualitas Bukti Ilmiah

Kuat

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


dosis sering tidak mengikuti ketentuan
umum, karena pada umumnya lansia akan
berespons berbeda dibanding populasi
dewasa pada umumnya. Sedapat mungkin,
pilihan analgetik didasari oleh mekanisme
terjadinya nyeri. Sebagai contoh, nyeri
inflamasi sebaiknya diterapi dengan antiinflamasi dan nyeri neuropatik diterapi
dengan menggunakan analgetik adjuvan. Hal
ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran.
Kombinasi analgetik tidak diharamkan selama
perhitungan efektivitas dan efek samping dilakukan dengan seksama. Sebagai contoh,
pasien dapat diterapi dengan analgetik nonopioid, opioid, dan adjuvan selama memang
dibutuhkan. Hindari kombinasi analgetik
yang berasal dari golongan yang sama.4,5,6
Beers Criteria untuk Analgetik
Dengan mempertimbangkan perubahan
fisiologis yang terjadi pada lansia, efektivitas
obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi penyalahgunaannya, maka American Geriatrics
Society menerbitkan Beers criteria. Beers
criteria berisi obat-obatan yang berpotensi
terjadi penyalahgunaan atau penggunaan
tidak sesuai pada lansia, khususnya lansia
di komunitas. Beers Criteria khusus untuk
analgetik dapat dilihat pada tabel 2.
Tambahan Beers Criteria 2012:
Penggunaan tramadol harus secara hatihati, karena dapat menurunkan ambang
batas kejang. Dapat diberikan jika kejang
sudah terkontrol baik. Dapat juga digunakan
sebagai alternatif pada pasien lansia dengan
osteoartritis yang memiliki kontraindikasi terhadap obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).
Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang
adalah kodein, asetaminofen, OAINS jangka
pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS),
khususnya pada osteoartritis.
Alternatif untuk nyeri sedang atau berat
adalah hidrokodon atau oksikodon.
Alternatif untuk nyeri neuropatik
adalah duloksetin, venlafaksin, pregabalin,
gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin,
desipramin, nortriptilin.
Penggunaan OAINS selektif COX-2
sebaiknya dihindari pada pasien gagal
jantung, karena dapat memperberat edema
sehingga memperburuk keadaan.
OAINS berhubungan dengan perburukan derajat gagal ginjal, oleh karena itu
tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan
gagal ginjal.

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

Tabel 3. Terapi adjuvan nyeri persisten pada lansia1,8


Golongan obat

Rekomendasi

Antidepresan

Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk digunakan pada lansia
sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural, sedasi, glaukoma, dan aritmia
Nortriptilin, mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding antidepresan trisiklik lainnya, dapat
dipergunakan dengan pengawasan
Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) tidak efektif dalam penanganan nyeri persisten
meskipun tolerabilitasnya lebih baik dibanding antidepresan trisiklik
Golongan SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor), seperti duloksetin, cukup efektif untuk
nyeri persisten, dengan tingkat tolerabilitas yang lebih baik dibanding antidepresan trisiklik

Antikonvulsan

Antikonvulsan untuk nyeri persisten golongan gabapentin dan pregabalin lebih ditoleransi baik
oleh lansia dibanding karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. Obat ini digunakan pada kasus
nyeri neuropatik (postherpetik neuralgia, neuropati DM, dll). Gabapentin dan pregabalin juga lebih
ditoleransi baik dibanding antidepresan trisiklik
Titrasi dosis diperlukan untuk meminimalisir efek samping

Analgetik topikal

Lidokain : Sediaan lidokain 5% efektif untuk neuralgia postherpetika


OAINS : Efektif mengurangi nyeri dan menghindari efek samping sistemik
Kapsaisin : Dapat dipertimbangkan untuk kasus neuralgia postherpetika

Modifikasi WHO Step Ladder pada Lansia


Dengan mempertimbangkan perubahan
fisiologis pada lansia, maka WHO Step Ladder
juga perlu disesuaikan (gambar 1).
Penggunaan WHO analgesics step ladder
pada awalnya dikhususkan untuk pendekatan
tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini,
pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk
penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker
dengan perhatian khusus. Modifikasi WHO
analgesics step ladder pada lansia menunjukkan bahwa OAINS non-spesifik, termasuk
aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari.
Asetaminofen (parasetamol) merupakan
obat pilihan pertama untuk tatalaksana
nyeri kronik pada lansia, tetapi penting
diingat bahwa penggunaannya sebaiknya
diminimalisir karena efek samping kerusakan
hati. Penggunaan asetaminofen sampai
4000 mg per hari dalam jangka panjang
Level 3 (sever pain):
Strong opioidsmorphine, hydromorphone,
fentanyl, oxycodoneadjuvants

Level 2 (moderate to severe pain):


Acetaminophe, aspirin, nonspecific NSAIDs,
COX-2specific NSAIDsadjuvants

Level 1 (mild to moderate pain):


Acetaminophen plus opioid [hydrocodone, oxycodone,
codeine; tramadoladjuvants, propxyophene
WHO l a dder (ada pted fo r the el derl y)
Gambar 1. Modifikasi WHO Analgesics Step Ladder pada
penatalaksanaan nyeri pada lansia (Argoff, 2005)

berhubungan dengan kerusakan fungsi hati


pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food
and Drugs Administration USA (FDA-USA),
penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri
kronis pada lansia sebaiknya dibatasi sampai
2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS,
maka pilihan utama adalah OAINS yang
selektif bekerja menghambat COX 2 karena
efek gastrointestinal yang minimal (Argoff,
2005).
Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan
pada gambar 1 adalah obat-obat golongan
antikonvulsan dan antidepresan yang dapat
dipergunakan pada nyeri persisten. Secara
umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri persisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 3.
Opioid pada Lansia
Penggunaan opioid untuk kasus nyeri
persisten pada lansia, tidak hanya pada
kasus nyeri kanker, dewasa ini semakin
dapat diterima. Opioid terutama digunakan
pada kasus nyeri sedang atau berat.
Meskipun demikian, sediaan opioid juga
dapat dipertimbangkan jika didapatkan
kontraindikasi terhadap penggunaan obat
lain, terutama OAINS. Adiksi pada lansia
jarang terjadi. Meskipun potensi itu ada, tidak
boleh dijadikan alasan kurang teratasinya
nyeri pada lansia.1
Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan.
Untuk nyeri sedang dan berat dapat
digunakan morfin, hidromorfon, oksikodon,
bahkan fentanil. Morfin terutama dikeluarkan
melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada
pasien lansia dengan gangguan fungsi ginjal.
Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih

169

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


aman pada kondisi ini. Meskipun demikian,
potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko
jatuh, dan gangguan motilitas usus perlu
dipertimbangkan setiap kali memberikan
opioid pada lansia. Efek samping tersebut
akan hilang bersamaan dengan timbulnya
toleransi terhadap opioid, kecuali gangguan
motilitas usus. Pemberian laksansia harus
selalu dipertimbangkan bersamaan dengan
opioid.
Obat golongan opioid yang sebaiknya
dihindari pada lansia adalah:
Propoksifen, karena efek gangguan
susunan saraf pusat
Metadon, karena efek long acting sehingga respons pada lansia sulit diperkirakan
Meperidine, karena efek gangguan
susunan saraf pusat, bahkan banyak
referensi menganggapnya tidak efektif
sebagai analgetik
Penggunaan fentanil patch diutamakan
pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi atau
breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan
pada lansia perlu pemantauan khusus,
karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan
saat dilepaskan dari kulit efek terapeutiknya
tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini
membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk
mencapai efek terapeutik maksimal setelah
ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak
dianjurkan pada pasien yang opioid nave.
Tramadol dapat memicu kejang pada
pasien epilepsi, karena menurunkan ambang
batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang
sudah terkontrol baik.9
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
dan Hubungannya dengan Gangguan
Kardiovaskuler
Obat anti-inflamasi non-steroid konvensional
(non-selektif ) yang menghambat siklooksigenase (COX) 1 dan 2, seperti ibuprofen,
diklofenak, mefenamat, diketahui mempunyai
efek samping gangguan gastrointestinal. Hal
ini terutama dimediasi oleh efek terhadap
COX 1. Untuk itu, dikembangkanlah OAINS
yang selektif menghambat COX 2 dengan
harapan tidak mengakibatkan gangguan
gastrointestinal. Tetapi dalam perjalanannya,
banyak penelitian telah membuktikan bahwa
OAINS non-selektif maupun selektif dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.
Hal ini telah terbukti sejalan dengan penarikan
rofekoksib dari peredaran, karena berkaitan
dengan peningkatan risiko kardiovaskuler.

170

Tabel 4. Risiko gangguan kardiovaskuler terkait penggunaan OAINS11

NSAID

Major Vascular
Events: Rate Ratio
(95% Cl)

P value

Major Coronary
Events: Rate Ratio
(95% Cl)

P value

Coxib

1,37 (1,14 - 1,66)

.0009

1,76 (1,31 - 2,37)

.0001

Diclofenac

1,41 (1,12 - 1,78)

.0036

1,70 (1,19 - 2,41)

.0032

Ibuprofen

1,44 (0,89 - 2,33)

NS

2,22 (1,10 - 4,48)

.0253

High-dose naproxen

0,93 (0,69 - 1,27)

NS

0,84 (0,52 - 1,35)

NS

Inhibitor COX 2 selektif dan OAINS nonselektif menghambat produksi prostasiklin


dalam derajat yang sama. Prostasiklin adalah
zat vaskuloprotektif yang secara fisiologis
menghambat agregasi platelet dan proses
aterogenesis. Aspirin berperan dalam
proteksi terhadap gangguan kardiovaskuler
dengan cara menghambat COX 1 di platelet
secara ireversibel. Meskipun OAINS nonselektif juga menghambat COX 1, tetapi
tampaknya tidak cukup untuk memberikan
efek yang sama bila dibanding dengan
aspirin. Kecuali naproksen, sebagian besar
OAINS non-selektif dianggap berhubungan
dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler. Risiko ini dapat dikurangi
dengan menambahkan aspirin pada pasien
dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskuler
yang mendapat terapi OAINS non-selektif,
tetapi efek gastrointestinalnya akan
meningkat signifikan.10 Tabel 4 menunjukkan potensi risiko gangguan kardiovaskuler

terkait penggunaan beberapa OAINS.


Simpulannya, baik penggunaan OAINS
non-selektif maupun selektif pada pasien
yang mempunyai faktor risiko vaskuler dan
pasien lansia harus dilakukan secara hatihati. Rekomendasi penggunaan analgetik
pada pasien yang diketahui berisiko tinggi
mengalami penyakit kardiovaskuler menurut
American Heart Association (AHA) dapat dilihat pada gambar 2.
SIMPULAN
Penggunaan analgetik pada lansia perlu
pertimbangan khusus. Secara umum,
parasetamol tetap merupakan pilihan
pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal
dengan pemantauan dosis dan efek samping.
Penggunaan OAINS sedapat mungkin
dibatasi, karena berkaitan dengan efek
samping gastrointestinal dan peningkatan
risiko gangguan kardiovaskuler. Jika perlu,
diutamakan pemberian COX 2 inhibitor

Gambar 2. Rekomendasi AHA tentang penggunaan analgetik pada kasus nyeri muskuloskeletal pada pasien risiko tinggi
penyakit kardiovaskuler12

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


untuk menghindari efek gastrointestinal,
dan aspirin bersama PPI untuk mengurangi
risiko kardiovaskuler. OAINS harus dihindari

pada gangguan ginjal. Opioid secara umum


dianggap lebih aman tetapi efek samping
harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan

yang dianjurkan adalah antikonvulsan


golongan gabapentin dan pregabalin, serta
antidepresan golongan SNRI.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Cavalieri TA. Management of pain in older adults. JAOA 2005;105(3):S12-S17.

2.

Bruckenthal P. Assessment of pain in the elderly adult. Clin Geriatr Med. 2008;24:213-36.

3.

Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffin J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.

4.

Katz B. Pharmacological management of pain in older people. J Pharm Pract Res. 2007;37:63-6.

5.

Strassels SA, McNicol E, Suleman R. Pharmacotherapy of pain in older adults. Clin Geriatr Med. 2008;24:275-98.

6.

Gordon DB. Pain management in the elderly. J Perianesthesia Nurs. 1999;14(6):367-72.

7.

The American Geriatrics Society. American geriatrics society updated beers criteria for potentially inappropriate medication use in older adults. J Am Geriatr Soc. 2012.

8.

Argoff CE. Pharmacoterapeutics options in pain management. In: Chronic Pain Management in the Elderly. Supplement for Geriatrics, Advanstar Communication Inc USA; 2005

9.

Ginsburg M, Silver S, Berman H. Prescribing opioids to older adults: A guide to choosing and switching among them. Geriatrics and Aging 2009;12(1):4-52.

10. British Heart Foundation. Non steroidal anti-inflammatory drugs and cardiovascular disease [Internet]. 2007. Available from: http://www/bhf.org.uk/factfiles.
11. Jeffrey S., Risk for CVD events with NSAIDs can be predicted [Internet]. 2013 May 30. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/804976#2
12. Antman EM, Bennet JS, Daugherty A, Furberg C, Roberts H, Taubert KA. Use of nonsteroidal antiinflammatory drugs: An update for clinicians: A scientific statement from the American
Heart Association. Circulation 2007;115:1634-42.

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

171

Anda mungkin juga menyukai