Anda di halaman 1dari 18

BAB I

LAPORAN KASUS
A.

Anamnesis
Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Suku Bangsa
Agama
Status
Alamat
Masuk RS

: Nn. T
: Perempuan
: 52 tahun
: Jawa
: Islam
: menikah
: Kaliwulu RT 14/01
: 27 Desember 2016

Anamnesis dilakukan tanggal 27 desember 2016, pukul 10.00, secara auto dan
alloanamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas plumbon dengan keluhan demam sejak 6 hari. Demam
dirasakan terutama sore hari, naik perlahan, kadang disertai menggigil. Demam disertai
mual, muntah sebanyak 2 kali, pusing dan nafsu makan berkurang. os juga mengeluh
nyeri pada ulu hati. Demam tidak disertai pilek dan batuk. Pasien juga tidak mengeluh
bab cair. Bab berwarna merah atau kehitaman disangkal. buang air kecil seperti biasa.
Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat warung (namanya tidak diketahui)
Demam dirasakan berkurang, tetapi demam kembali terjadi jika obat dihentikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

B.

Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
Tanda vital

: composmentis
:
1

Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 98 x/menit, regular, isi cukup
RR
: 24 x / menit
Suhu
: 38,6 C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala
: tidak tampak kelainan
Mata
: mata cekung (+), konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT
: faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor,
Leher
Thorax
Paru
Inspeksi

tremor (+)
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
: bentuk normal.
:
: dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak

Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen

ada ketinggalan gerak.


: stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
: sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
: suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
:
: iktus kordis tidak tampak
: iktus kordis tidak teraba
: batas jantung dalam batas normal
: S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
: bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3
detik), bising usus normal tidak meningkat
: datar
: nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas

baik
: timpani
: bising usus normal (3x/menit)
: akral hangat, petekie (-), CR <2 detik

C.

Pemeriksaan penunjang
Hb
:13,5
HT
:41%
Trombo
:223.000
Lekosit
:4.800

D.

Diagnosis
Diagnosis

: Demam Tifoid

E.

Penatalaksanaan
- Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Cefotaxim 2x1gr
- Ranitidin 2x1
-Paracetamol 3 x 500mg

F.

Prognosis
2

Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Lambung


lambung dalam bahasa medisnya yaitu gaster, lambung merupakan salah satu
organ Pencernaan yang terdapat dalam tubuh manusia. untuk lebih jelasnnya apa itu
lambung atau gaster, aku akan membahas anatomi lambung terlebih dahulu. tidak hanya
anatomi lambung, disini aku juga akan membahas fisiologi lambung atau lebih
komplitnya aku akan membahas Anatomi dan Fisiologi Lambung. anatomi dan fisiologi
lambung yang aku bahas di sini meliputi: lapisan lambung, persarafan dan aliran darah
pada lambung, fungsi motorik dari lambung, fungsi pencernaan dari lambung, fungsi
sekresi dari lambung, Proses pencernaan makanan di lambung, serta enzim dan hormon
yang berperan dalam pencernaan di lambung. lanjung aja yah anda baca di bawah ini
mengenai anatomi fisiologi lambung.
Anatomi Lambung (Gaster)

Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis
sinistra sampai regio epigastrica an umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah
costae bagian bawah. Secara kasar gaster berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang,
ostium cardiacum dan ostium pyloricum; dua curvatura, curvatura major dan curvatura
minor; dan dua dinding, paries anterior dan paries posterior.
Secara umum lambung di bagi menjadi 3 bagian:
1. kardia/kelenjar jantung ditemukan di regia mulut jantung. Ini hanya mensekresi mukus
2. fundus/gastric terletak hampir di seluruh corpus, yang mana kelenjar ini memiliki tiga
tipe utama sel, yaitu :

Sel zigmogenik/chief cell, mesekresi pepsinogen. Pepsinogen ini diubah menjadi


pepsin dalam suasana asam. Kelenjar ini mensekresi lipase dan renin lambung
yang kurang penting.

Sel parietal, mensekresi asam hidroklorida dan factor intrinsic. Faktor intrinsic
diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 dalam usus halus.

Sel leher mukosa ditemukan pada bagian leher semua kelenjar lambung. Sel ini
mensekresi barier mukus setebal 1 mm dan melindungi lapisan lambung terhadap
kerusakan oleh HCL atau autodigesti.

3. pilorus terletak pada regia antrum pilorus. Kelenajr ini mensekresi gastrin dan mukus,
suatu hormon peptida yang berpengaruh besar dalam proses sekresi lambung.
4

Lapisan Lapisan Lambung

Lambung terdiri atas empat lapisan :


1. Lapisan peritoneal luar atau lapisan serosa yang merupakan bagian dari peritoneum
viseralis.
Dua lapisan peritoneum visceral menyatu pada kurvatura minor lambung dan
duodenum, memanjang kearah hati membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum
yang kelaur dari organ satu menuju organ lain disebut ligamentum. Pada kurvatura
mayor peritoneum terus kebawah membentuk omentum mayus.
2. Lapisan berotot yang terdiri atas tiga lapis:

serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot esofagus,

serabut sirkuler yang paling tebal dan terletak di pilorus serta membentuk otot
sfingter; dan berada di bawah lapisan pertama, dan

serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambung dan berjalan dari
orifisium kardiak, kemudian membelok ke bawah melalui kurvatura minor
(lengkung kecil).

3. Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan
saluran limfe. Lapisan mukosa yang terletak di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas
5

banyak kerutan atau rugue, yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi
makanan.
4. Membran mukosa dilapisi epitelium silindris dan berisi banyak saluran limfe. Semua
sel-sel itu mengeluarkan sekret mukus. Permukaan mukosa ini dilintasi saluransaluran kecil dari kelenjar-kelenjar lambung. Semua ini berjalan dari kelenjar
lambung tubuler yang bercabang-cabang dan lubang-lubang salurannya dilapisi oleh
epithelium silinder. Epithelium ini bersambung dengan permukaan mukosa dari
lambung. Epithelium dari bagian kelejar yang mengeluarkan sekret berubah-ubah
dan berbeda-beda di beberapa daerah lambung.
Persarafan dan Aliran Darah Pada Lambung
Persarafan pada lambung umumnya bersifat otonom. Suplay saraf parasimpatis
untuk lambung di hantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mencabangkan ramus gastric, pilorik, hepatic dan seliaka.
Persarafan simpatis melalui saraf splangnikus mayor dan ganglia seliakum.
Serabut-serabut afferent simpatis menghambat pergerakan dan sekresi lambung.
Pleksus auerbach dan submukosa ( meissner ) membentuk persarafan intrinsic dinding
lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.
Suplai darah dilambung berasal dari arteri seliaka. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri duodenalis dan pankreas tikoduodenalis
(retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Tukak dinding
posterior duodenum dapat mengerosi arteri itu menyebabkan perdarahan. Darah vena
dari lambung dan duodenum serta berasal dari pankreas, limpa dan bagian lain saluran
cerna berjalan ke hati melalui vena porta.
Fisiologi Lambung
Secara umum gaster memiliki fungsi motorik dan fungsi pencernaan & sekresi, berikut
fungsi Lambung:
1. Fungsi motorik

Fungsi reservoir
Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicernakan
dan bergerak ke saluran pencernaan. Menyesuaikan peningkatan volume tanpa
menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos yang diperantarai oleh
saraf vagus dan dirangsang oelh gastrin.

Fungsi mencampur
6

Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya dengan


getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung.

Fungsi pengosongan lambung


Diatur oleh pembukaan sfingter pylorus yang dipengaruhi oleh viskositas,
volume, keasaman, aktivitas osmotis, keadaan fisisk, emosi, obat-obatan dan
kerja. Pengosongan lambung di atur oleh saraf dan hormonal

2. Fungsi pencernaan dan sekresi

Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL

Sintesis dan pelepasan gastrin. Dipengaruhi oleh protein yang di makan,


peregangan antrum, rangsangan vagus

Sekresi factor intrinsik. Memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus
bagian distal.

Sekresi mucus. Membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi


sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah untuk diangkut.

Proses Pencernaan Makanan Di Lambung


1. Mekanik
Beberapa menit setelah makanan memasuki perut, gerakan peristaltik yang
lembut dan berriak yang disebut gelombang pencampuran (mixing wave) terjadi di
perut setiap 15-25 detik. Gelombang ini merendam makanan dan mencampurnya
dengan hasil sekresi kelenjar lambung dan menguranginya menjadi cairan yang
encer yang disebut chyme. Beberapa mixing wave terjadi di fundus, yang
merupakan tempat penyimpanan utama. Makanan berada di fundus selama satu jam
atau lebih tanpa tercampur dengan getah lambung. Selama ini berlangsung,
pencernaan dengan air liur tetap berlanjut.
Selama pencernaan berlangsung di perut, lebih banyak mixing wave yang
hebat dimulai dari tubuh dan makin intensif saat mencapai pilorus. Pyloric spinchter
hampir selalu ada tetapi tidak seluruhnya tertutup. Saat makanan mencapai pilorus,
setiap mixing wave menekan sejumlah kecil kandungan lambung ke duodenum
melalui pyloric spinchter. Hampir semua makanan ditekan kembali ke perut.
Gelombang berikutnya mendorong terus dan menekan sedikit lagi menuju
duodenum. Pergerakan ke depan atau belakang (maju/mundur) dari kandungan
lambung bertanggung jawab pada hampir semua pencampuran yang terjadi di perut.
2. Kimiawi
7

Prinsip dari aktivitas di perut adalah memulai pencernaan protein. Bagi orang
dewasa, pencernaan terutama dilakukan melalui enzim pepsin. Pepsin memecah
ikatan peptide antara asam amino yang membentuk protein. Rantai protein yang
terdiri dari asam amino dipecah menjadi fragmen yang lebih kecil yang disebut
peptide. Pepsin paling efektif di lingkungan yang sangat asam di perut (pH=2) dan
menjadi inaktif di lingkungan yang basa. Pepsin disekresikan menjadi bentuk inaktif
yang disebut pepsinogen, sehingga tidak dapat mencerna protein di sel-sel
zymogenic yang memproduksinya. Pepsinogen tidak akan diubah menjadi pepsin
aktif sampai ia melakukan kontak dengan asam hidroklorik yang disekresikan oleh
sel parietal. Kedua, sel-sel lambung dilindungi oleh mukus basa, khususnya setelah
pepsin diaktivasi. Mukus menutupi mukosa untuk membentuk hambatan antara
mukus dengan getah lambung.
Enzim lain dari lambung adalah lipase lambung. Lipase lambung memecah
trigliserida rantai pendek menjadi molekul lemak yang ditemukan dalam susu.
Enzim ini beroperasi dengan baik pada pH 5-6 dan memiliki peranan terbatas pada
lambung orang dewasa. Orang dewasa sangat bergantung pada enzim yang
disekresikan oleh pankreas (lipase pankreas) ke dalam usus halus untuk mencerna
lemak. Lambung juga mensekresikan renin yang penting dalam mencerna susu.
Renin dan Ca bereaksi pada susu untuk memproduksi curd. Penggumpalan
mencegah terlalu seringnya lewatnya susu dari lambung menuju ke duodenum
(bagian pertama dari usus halus). Rennin tidak terdapat pada sekresi lambung pada
orang dewasa.

Demam Tifoid
A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C
B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan

sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi


D. Patofisiologi
Masuknya

kuman

Salmonella

Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism
adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari,
bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus
9

ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang
diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid,
melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama
sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

10

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid


E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi.

11

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid


Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
Demam sekitar interminten/remiten
Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
Gambaran gejala saluran nafas atas
Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/

hepatomegali
Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


Demam kontinyu

12

Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8

kali permenit)
Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
Hepatomegali dan splenomegali,
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan

kehilangan nafsu makan


Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.
F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur
feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik.
Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat
pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga
dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan
dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun
tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan falsepositif terjadi.
Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah
untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
13

terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan adanya
2)

infeksi aktif.
Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah

divaksinasi atau pernah terkena infeksi.


3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Pengobatan dini dengan antibiotik


Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
Waktu pengambilan darah
Daerah endemik atau non endemik
Riwayat vaksinasi
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi


7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :

14

1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat
yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi.
Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam
tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut
adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk
antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal,
diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien
dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan
pengawasan .

15

Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid


16

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
-

ekstraintestinal.
Intestinal
Ekstraintestinal

: peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi


: ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.
-

Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan
munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang
terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan
S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko
untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya
umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA

17

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and
Biologicals. WHO.
Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment
of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82
Braunwald. 2008.Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York,
Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article
231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.
Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC
Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,
Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272
Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi IV. Jakarta FKUI

18

Anda mungkin juga menyukai