Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FRAKTUR TULANG BELAKANG


Diajukan dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan
Manajemen Bencana 1

Disusun Oleh :
Kelompok VI
II B
Aisyah Miftakhur R

(201501049)

Ana Sulis S

(201501051)

Aurina Nur H

(201501053)

Batari Kusuma F

(201501054)

Nur Susi S

(201501081)

Putri Rahma M C

(201501083)

Tri Puji K

(201501089)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO
TAHUN 2016/2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
Rahmat, Taufik serta Hidayah-Nya kami selaku penulis dapat menyelesaikan makalah yang
bertema FRAKTUR TULANG BELAKANG. Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen Bencana 1.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi semakin
baiknya sajian makalah ini.
Semoga makalah ini memberi informasi dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Ponorogo, 30Desember 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1
2
3

Latar Belakang......................................................................................................... 1
Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
Tujuan Penulisan......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
1

Konsep Penyakit.......................................................................................................... 3
Pengertian ..........................................................................................................3
Etiologi............................................................................................................... 3
Patofisiologi........................................................................................................ 4
Manifestasi Klinis............................................................................................... 8
Pemeriksaan Penunjang...................................................................................... 9
Penatalaksanaan................................................................................................ 12
Komplikasi....................................................................................................... 13
2 Konsep Asuhan Keperawatan.................................................................................... 15
1
Pengkajian........................................................................................................ 15
2
Diagnosa Keperawatan..................................................................................... 18
1
2
3
4
5
6
7

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 19


1
2

Kesimpulan................................................................................................................ 19
Saran.......................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 20

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera Medulla Spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan signifikasi besar dalam kehidupan manusia,
yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortilitas, perubahan aktivitas sehari-hari, dan
biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga dan masyarakat (Freidberg SR, 2012).
Tingkat insiden di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun. Tingkat
mortilitas yang tinggi (50%) pada cedera medulla spinalis umumnya terjadi pada saat
kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortilitas bagi pasien yang masih bertahan
hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan cedera medulla spinalis
memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek, antara lain masalah mobilitas yang
terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan ketidakmampuan
untuk bekerja. Selain itu biaya yang dikeluarkan untuk pasien dengan cedera tersebut
diestimasikan mencapai 4 milliar dolar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan
kesehatan (akut dan kronis) dan harga yang harus dibayar oleh pasien dan keluarganya
tidak terhitung karena masalah yang ditimbulkan sifatnya seumur hidup (Freidberg SR,
2012).
Perawatdiharapkan dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien dengan fraktur tulang belakang dengan carapromotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah
yang paling buruk.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan pada Fraktur Tulang Belakang?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari fraktur tulang belakang
2. Untuk mengetahui etiologi dari fraktur tulang belakang
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari fraktur tulang belakang
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari fraktur tulang belakang
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari fraktur tulang belakang
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari fraktur tulang belakang
7. Untuk mengetahui komplikasi dari fraktur tulang belakang
8. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada fraktur tulang belakang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis
danluasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapatdiabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakanputir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah,
jaringan sekitarnyajuga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dansendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan
kerusakan pembuluh darah (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala gejala fraktur tergantung
padasisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada
orang dewasalaki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan
(Marilyn, E.Doengoes, 1999).
Trauma tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang. Chairudin Rasjad (1998) dalam Arif Muttaqin 2008
menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap
suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal pertologan pertama
dan transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara
hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan
lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang, dan sumsum tulang belakang (medula spinalis) (Muttaqin,
2008). Referensi terbaru tentenag definisi SCI
2.1.2

Etiologi
Adapun jenis dari trauma adalah fraktur, menurut Brunner and
Suddart, 2001 penyebab fraktur adalah sebagai berikut :
a. Trauma
langsung
merupakan
utama
yang

sering

menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat


benturan dengan benda keras. Trauma dibagi menjadi dua,
yaitu :
1) Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah
trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan).
2

2) Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan


fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar
mandi pada orangtua.
b. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada
tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
d. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan Body Mekanik
yang salah seperti mengangkat benda berat.
e. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak
bola, penyelam, dll)
f. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah verterbrae
g. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi
patologis

yang

menimbulkan

penyakit

tulang

atau

melemahnya tulang. (Harsono, 2000)


Etiologi SCI
Fraktur verterbrae, khususnya verterbrae servikalis dapat
disebabkan oleh trauma hiperekstensi, hiperfleksi, ekstensi rotasi,
fleksi rotasi, atau kompresi servikalis. Fraktur verterbrae thorakal
bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat
atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit,
maka sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya
bersifat kompresi atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi
fraktur kompresi verterbrae, tampak korpus verterbrae berbentuk
baji pada foto lateral. Pada trauma langsung dapat timbul fraktur
pada elemen posterior verterbrae, korpus verterbrae dan iga di
dekatnya.
2.1.3

Patofisiologi
a. Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal.
Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi
cedera medulla spinalis. Contohnya motor vehicle accident (MVA) atau
kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah servical (akibat
hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung
bagian yang terjatuh manumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
3

menumpu melibatkan daerah toracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst


fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi
leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan
daerah lumbar.

Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat


diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni
(dengan frekuensi relatif 3:1:1), ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui
mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi
(cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera
fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra
servical yang bersangkutan akan mengalami stress maksimum dan batas
anteroinferior dari korpus vertebra yang berada di atas akan terdorong ke
bawah. (kadang terbelahmenjadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra
yang mengalami fraktur akan terdorong ke belakang dan memberikan kompresi
pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan
4

jenis yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah
C5/C6 (terjadi sublukasi/dislokasi). Cedera medulla spinalis terjadi akibat
kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau
vaskular. 13

Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertical dengan posisi


kepala ekstensi (retrofleksi). Stress utama terjadi pada daerah posterior dari
vertebra servicalis bagian tengah (C4-C6), dimana terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan dari ligamen anterior.

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan


mekanisme ini, korpus vertebra mengalami pemendekan dan mungkin terjadi
wedge compression fracture atau brust fracture dengan aspek posterior dari
korpus masuk ke dalam kanal spinalis.

Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik.


Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur
umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese
serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasolidasi
dan vaaokontriksi pada arteriol dan venules). Neurogenik shok merupakan
akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla
6

spinalis. Cedera primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga


ekstrasellular sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks,
dan autonomik di bawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan
karena hilangnya tonnus simpatis yang berakibat munculnaya bardikardia,
hipotensi dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac output.

2.1.4

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang
adalah (National Institutes of Health US):
1. Kepala berada pada posisi yang tidak semestinya
2. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan
3. Kelemahan
4. Ketidakmampuan berjalan
5. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni
lengan dan kaki)
6. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien
cenderung tidak bisa mengontrol BAB maupun BAK
7. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebirubiruan, pusing, sakit kepala, dan setengah tidak sadar)
8. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar
9. Leher kaku, sakit kepala, atau nyeri pada leher
Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala
terjadinya gangguan dikatagorikan sebagai berikut:
A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada
segmen sacrum (S4-S5)
7

B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus


neurologis
C = tidak komplit
D = tidak komplit, fungsi motorik
E = normal, fungsi motorik dans ensoris normal
2.1.5 PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal
dimulai dengan survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus
dilakukan

secara

bersamaan.

Masing-masing

pemeriksaannya

adalah:
a. Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan,
kesimetrisan dada, suara tambahan, ekspansi dada, gerakan
dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah
arteri dan oksimetri.
b. Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada
keadaan paru yang sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru.
Hal-hal yang mungkin terganggu dalam pengaturan SCI:
1) Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2) Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau
contusio paru.
3) Penurunan pengaturan

ventilasi

berhubungan

dengan

cedera kepala atau efek eksogen alkohol dan obat-obatan.


a) CVS nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau
shock neurogenik).
b) Suhu hipotermia shock spinal.
c) Pemeriksaan neurologis.
Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete
atau incomplete.
c. Tes motorik dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan
otor, refleks otot, koordinasi, pemeriksaan refleks tendon
dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada atau
tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral.
Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai
berikut:
Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan
peniti
8

Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)


Kedipan mata (S5)
Retensi urine atau inkontinensia
Priapisme
d. Seks Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1.
e. Umur Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25
tahun. SCIWORA terjadi terutama pada anak-anak.

Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang

C5 Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu

C6 Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis


longus dan brevis)

C7 Ekstensor siku (trisep)

C8 Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari


tengah

T1 Jari kelingking (digiti mini)

L2 Hip fleksor (iliopsoas)

L3 Ekstensor lutut (quadrisep)

L4 Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)

nL5 Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)

S1 Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang

C2 Tonjolan oksipital

C3 Fossa supraklavikula

C4 Atas sendi akromioklavikularis

C5 Sisi lateral lengan

C7 Jari tengah

C8 Jari kelingking
9

T1 Sisi medial lengan

T2 apex dari aksila atau ICS 2

T3 ICS 3

T4 ICS 4 lurus puting susu

T5 ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)

T6 ICS 6 setinggi xiphisternum

T7 ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)

T8 ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)

T9 ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)

T10 ICS 10 atau umbilikus

T11 ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)

T12 Midpoint ligamentum inguinalis

L1 Setengah jarak antara T12 dan L2

L2 Paha mid-anterior

L3 Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis

L4 Maleolus medial

L5 lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada


sendi metatarsophalangeal ketiga

S1 Tumit lateral

S2 Fossa popliteal di garis tengah

S3 tuberositas iskia

S4-S5 Perianal

C6 ibu jari dan lengan lateral

Imaging
a. X-Ray
3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
1.

Antero-posterior

2.

Gambaran lateral

10

3.

Gambaran odontoid-membuka mulut

Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu

Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral


dada serta lumbal

Radiografi leher harus menyertakan C7-T1

b. CT-scan
CT-scan untuk mengetahui adanya kelainan tulang belakang
atau fraktur.
c. MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang
belakang, ligamentum atau kondisi lainnya. MRI dapat
digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang belakang
seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang
belakang, memar, dan/atau edema.
2.1.6 Penatalaksanaan
Tulang belakang yang patah dapat membahayakan sumsum
tulang belakang. Sumsum tulang belakang ialah bagian dari susunan
saraf pusat, yang berisi serabut-serabut saraf. Maka apabila sumsum
tulang belakang rusak, hubungan antara alat-alat tubuh dan otak
terputus. Pada patah tulang belakang mempunyai tanda-tanda nyeri
pada tempat yang patah. Bila disertai kerusakan sumsum tulang
belakang : anggota badan yang berada di bawah ruas yang patah
akan menjadi lumpuh (Kartono,2008).
Tindakan pertolongannya : biarkan penderita dalam keadaan
terbaring. Jangan diubah atau disuruh duduk. Siapkan usungan yang
beralas keras, misanya dengan menggunakan papan. Dengan hatihati

angkat

penderita

ke usungan

tersebut

(Kartono,

2008).

Penatalaksanaan trauma tulang belakang, antara lain dengan:


1. Tanpa gangguan neurologis
a. Istirahat di tempat tidur, terlentang dengan dasar keras
dan posisi miring kekiri dan kekanan untuk mencegah
dekubitus (spillow nursing) selama 2 minggu.
b. Bila sakit berikan analgesik
c. Pada fraktur yang stabil, kalau tidak merasa sakit lagi
setelah 2 minggu, latih otot-otot punggung dalam 1-2
11

minggu. Dilanjutkan dengan mobilisasi, belajar duduk,


jalan, memakai brance dan bila tak ada apa-apa pasien
dapat pulang. Pada fraktur yang tidak stabil ditunggu lebih
lama 3-4 minggu.
2. Dengan gangguan neurologis
Kelainan neurologik dapat

timbul

karena

edema,

hematomieli, kompresi dan karena luksasi tulang belakang.


Kelainan dapat komplit atau inkomplit. Kalau pada observasi
keadaan neurologis memburuk, segera dilakukan operasi
dekompresi,

misalnya

tindakan

laminektomi

dan

piksasi

tulang belakang. Pada fraktur dengan defisit neurologis,


indikasi tindakan operatif adalah untuk stabilisasi fraktur,
untuk rehabilitasi dini (duduk, berdiri, dan berjalan). Pada
fraktur tulang belakang dengan defisit neurologis yang
dilakukan

tindakan

konservatif

(tanpa

operasi),

setelah

6minggu atau fraktur kuat, dilakukan mobilisasi duduk/berdiri


dengan menggunakan external support seperti gipo bohler,
gips korset, jaket minerva, tergantung dari tempat fraktur.
(Kapita Selekta Kedokteran, jilid 2, 2000).
A. Penataklasanaan Medis Umum
1. Tindakan

tindakan
untuk

memobilisasi

dan

memperahankan vertebral dalam posisi lurus


a. Pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV
untuk

mempertahankan

agar

leher

stabil,

dan

menggunakan papan punggung bila memindahkan


pasien.
b. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang
meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong
Gardner-Wellbrace pada tengkorak.
c. Tirah baring total dan pakaiakan brace halo untuk
pasien dengan fraktur servikal stabil ringan.
d. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi
batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada
spinal bila pada pemeriksaan sinar x ditemui spinal
tidak stabil.

12

2. Tindakan tindakan untuk mengurangi pembengkakan


pada medulla spinalis dengan mengunakan glukokortiko
steroid intravena.
2.1.7 Komplikasi
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa
mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya
1. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam
jumlah besar akibat trauma.
2. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi
perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan,
sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan
disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan
secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul
jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau
terjerat.
3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik,
dan refleks setingg dan dibawah cidera korda lenyap.
Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan
dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua
segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya
fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan
terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah.
4. Syok Spinal
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleksrefleks dari dua segme diatas dan dibawah tempat cidera.
Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol
postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya
13

secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah


neuron

asendens

mempertahankan

dari

otak,

fungsi

yang

bekerja

refleks.Syok

spinl

untuk
biasanya

berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama.


Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang
ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan
kandung kemih dan rektum.
5. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf
simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan
tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap
saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik
nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks

yang

melibatkan

pengaktifan

sistem

saraf

simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi


konstriksi

pembuluh-pembuluh

darah

dan

penngkatan

tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya


utuh,tekanan

darahnya

baroreseptor.Sebagai

akan
respon

segera

diketahui

terhadap

oleh

pengaktifan

baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan


stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut
jantung
terhenti

melambat,demikian
dan

parasimpatis

terjadi
dan

respon

dilatasi

simpatis

saraf

pembuluh

bekerja

untuk

simpatis

akan

darah.Respon
secara

cepat

memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang


mengalami

lesi

korda,pengaktifan

parasimpatis

akan

memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi


diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat
melewati lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks
simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.Pada
hiperrefleksia

otonom,tekanan

darah

dapat

meningkat

melebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark


miokardium.Rangsangan

biasanya

menyebabkan

hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau

14

rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk


nyeri.
6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik
volunter.Pada

transeksi

korda

spinal,paralisis

bersifat

permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada


transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia.Paralisis separuh

bawah tubuh terjadi pada

transeksi.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Pengkajian Awal
N

Parameter

Pengkajian dan

Pengkajian

Intervensi

Jalan

napas

tulang belakang

Pertimbangan Kasus

dan 1. Kaji kepatenan jalan 1. Gigi

susu

mungkin

patah

tanyakan

apakah ada gigi yang

kepada

teman

lepas,

Muntahan,

saudara klien apakah

Obstruksi, Perhatikan

ada gigi yang sudah

posisi kepala klien

hilang atau patah untuk

nafas,

Observasi

2. Pertahankan
kelurusan
(allignment)
netral

memastikan tidak ada


vertebra

gigi yang patah saat

yang

kejadian yang dapat

selama

pengkajian
3. Evaluasi

atau

menyumbat

saluran

nafas
terhadap 2. Ingatkan pasien untuk

ukuran

dan

menjawab pertanyaan

penempatan

yang

dengan kata-kata dan

benar

kolar

bukan

dari

servikal,
imobilisasi

dengan

alat

menganggukkan

servikal,

menggelengkan

atau alat imobilisasi

kepalanya

lainnya

vokalisasi pasien)

4. Membuka
servikal
15

atau

(mengkaji

kolar 3. Tunjuk seorang regu


untuk

medis

untuk

menemukan

deviasi

bertanggung

trakea

distensi

atas

tindakan

stabilisasi

servikal

dan

vena jugularis

pada

jawab

pasien

yang

mengalami

cidera

multiple.
4. Kolar

servikal

terpasang dengan pas


jika

dagu

sudah

terletak pada bagian


penahan dagu, bagian
bawah kolar tertahan
pada

sternum,

dan

kolar tidak menutup


2

Pernapasan
(Breathing)

telinga.
suara 1. Kaji suara napas

1. Auskultasi

pernapasan di aksila 2. Inspeksi


untuk

menilai

keberadaan

dan

eksualitas

(ditensi,

DCAP

BLS

contusion,

abrasi, puncture, burn,

2. Pengkajian
untuk

adanya

terhadap

dada

laserasi, swelling).

menemukan

kontusi, luka tembus,


abrasi, atau gerakan
paradoksal
3

Sirkulasi
(Circulation)

1. Pengkajian

denyut 1. Mungkin

apical untuk menilai


frekuensi, irama dan
kualitasnya;
bandingkan
dan

ekualitas

denyut

nadi

dengan perifer
Referensi.
16

kualitas
dari
apical

terdapat

penyakit jantung

b. Pengkajian Dasar
Pengkajian fisik didasarkan pada pemeriksaan pada neurologis (Apendiks J)
kemungkinan didapati deficit motoric dan sensorik dibawah area yang terkena:
a. Syok spinal yang ditandai dengan adanya paralisi flaksid atau arefleksia
(hilangnya semua reflex dibawah area terkena). Sering keadaan ini bersifat
sementara berkisar dari beberapa hari sampai 6 bulan. Namun, dengan
adanya transeksi total, pergerakan otot-otot hiperfleksia atau spastis terjadi
kemungkinan setelah edema berkurang. Semua pergerakan yang tidak
disadari ini sering merupakan indikasi berakhirnya syok spinal. Obatobatan seperti baclofen, valium atau dantrolene dapat mengurangi
spastisitas.
b. Nyeri
c. Perubahan fungsi kandung kemih :
1) Kandung kemih neurogenic ditandai dengan adanya berkemih secara
spontan dalam jumlah yang sedikit dengan interval sering. Pola
berkemih seperti ini mencerminkan adanya lesi motor neuron atas.
2) Arkus reflex tetap baik, tetapi mekanisme menghambatnya hilang.
Stimulasi ringan seperti mengusap daerah perut atau paha atau
genetalia dapat merangsang berkemih.
3) Kandung kemih atonik dikarakteristikkan adanya retensi urin tanpa
indivudi merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih. Kadang kemih
distensi berlebihan, urin menetes terus-menerus. Jenis gangguan fungsi
kandung kemih seperti ini mencerminkan gangguan pada motor neuron
bawah (LMN). Arkus reflex hilang dan rangsangan tidak dapat
mencapai otak.
4) Kerusakan fungsi seksual pada pria, sering terjadi impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Keadaan ini paling sering
terjadi pada kerusakan sumsum tulang di area sacrum. Fungsi seksual
tetap normal pada cedera yang terjadi di atas area sacrum meskipun
kepuasan seksual bias berkurang. Pada wanita, fungsi seksual
umumnya tetap tidak terganggu.
5) Perubahan fungsi defekasi, dapat berupa inkontinensia dan konstipasi.
d. Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya.
e. Pemeriksaan diagnostic.
Sinar x tulang belakang menggambarkan letak dan jenis fraktur.
referensi
2.2.2

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang sering muncul pada pasien trauma antara lain:
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang, dan
deformitas
17

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit


3. Shock hipovolemik berhubungan dengan kehilangan volume cairan, dan
perdarahan
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penekanan pembuluh darah
dan penurunan perfusi jaringan.
5. Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang dan adanya
fraktur.
Durutkan sesuai prioritas masalah B1-B6
NOC & NIC

18

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu
trauma yang hebat sehingga sejak awal pertologan pertama dan
transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hatihati.Fraktur

verterbrae,

khususnya

verterbrae

servikalis

dapat

disebabkan oleh trauma hiperekstensi, hiperfleksi, ekstensi rotasi,


fleksi rotasi, atau kompresi servikalis. Fraktur verterbrae thorakal
bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat atau
ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka
sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya bersifat
kompresi atau trauma langsung.
3.2 Saran
Perawat diharapkan dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien dengan fraktur tulang belakang dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah
yang paling buruk.

19

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin,Arif.

2008.

Buju

Ajar

Asuhan

Keperawatan

Klien

dengan

Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika


Ensiklopedia Keperawatan. 2008. Editor : Chris Brooker. Jakarta : EGC
Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

20

Anda mungkin juga menyukai