BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Secara umum, hidrosefalus dapat didefinisikan sebagai gangguan
pembentukan, aliran, atau absorpsi dari CSF yang dapat menyebabkan
peningkatan volume yang ditempati oleh cairan tersebut pada susunan saraf
pusat. Kondisi ini juga dapat disebut sebagai suatu Gangguan Hidrodinamik
dari CSF. 1
Menurut onsetnya, terdapat tiga jenis hidrosefalus yaitu: 1
yang klasik dari gejala-gejala NPH ialah apraksia lenggang, inkontinensia dan
demensia. Nyeri kepala bukanlah gejala tipikal NPH. 1
1. Hidrosefalus komunikans
2. Hidrosefalus non-komunikans
Terjadi jika aliran CSF terhambat baik dalam sistem ventrikular maupun
pada jalan keluar menuju ruang subaraknoid, yang berakibat terjadinya
gangguan CSF dari ventrikel ke ruang subaraknoid. Bentuk yang paling
sering dari Hidrosefalus non-komunikans ialah obstruksi dan disebabkan
6
Penyebab NPH:
Kebanyakan idiopatik
Trauma kapitis, terutama SAH
Meningitis
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis hidrosefalus dipengaruhi oleh usia pasien, penyebab, lokasi
obstruksi dan onset penyakit. Berikut ini ialah gambaran klinis yang dapat
dijumpai pada bayi, anak dan dewasa. 1
1. Bayi
- Pembesaran kepala, di mana lingkar kepala di atas persentil ke-98 sesuai
umur.
- Dysjunction dari sutura atau sutura yang melebar, yang dapat dilihat atau
dipalpasi.
- Vena-vena kepala yang dilatasi.
- Fontanela yang tegang dan prominen
- Setting-sun sign (sunset phenomenon), yang merupakan tanda khas
peningkatan TIK pada bayi. Bola mata berdeviasi ke bawah, adanya
retraksi kelopak mata atas, dan sklera putih terlihat di atas iris.
- Cracked pott sign (Macewen sign) pada perkusi kepala.
- Kesulitan makan
- Iritabilitas
13
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hidrosefalus dapat dilakukan secara medikamentosa maupun
tindakan bedah. Mengatasi penyebab mendasar biasanya juga dapat mengatasi
hidrosefalus. 1
1. Medikamentosa
Medikamentosa pada hidrosefalus diberikan untuk menunda intervensi
bedah. Selain itu medikamentosa juga tidak efektif pada penatalaksanaan
jangka panjang hidrosefalus kronis karena dapat memicu konsekuensi
metabolik, sehingga hanya digunakan sementara. Obat-obatan dapat
mempengaruhi dinamika CSS melalui mekanisme sebagai berikut:
- Menurunkan sekresi CSS oleh pleksus koroidalis (Asetazolamid dan
Fursemide)
- Meningkatkan reabsorpsi CSS (Isosorbide, di mana efektivitasnya masih
belum pasti)
Pasien yang mendapat Acetazolamide ataupun Furosemide harus dipantau
untuk kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis
metabolik. Tanda-tanda klinis yang penting untuk diperhatikan ialah letargi,
takipnoe dan diare. 1
16
2. Intervensi Bedah
Pemasangan pintasan dilakukan untuk mengalirkan CSS dari ventrikel otak
ke rongga peritonium (ventriculoperitoneal shunting) atau atrium kanan
jantung (ventriculoartrial shunting). Pintasan terbuat dari bahan silikon
khusus yang tidak menimbulkan reaksi radang atau penolakan sehingga
dapat ditinggalkan dalam tubuh untuk selamanya.4
Pintasan biasanya dilakukan pada kebanyakan pasien. Hanya sekitar
25% pasien dengan hidrosefalus yang ditangani dengan sukses tanpa
pemasangan pintasan. Prinsip pintasan ialah untuk membuat suatu
hubungan antara CSS di ventrikel dan rongga untuk drainase (peritonium,
atrium kanan, pleura). Beberapa jenis pintasan yang dapat dipasang ialah: 1
- Ventriculoperiotneal shunt (VP shunt) merupakan yang paling banyak
digunakan. Lokasi proksimal pintasan biasanya di ventrikel lateral.
Keuntungan dari jenis pintasan ini ialah bahwa perlunya pemanjangan
kateter seiring pertumbuhan anak dapat dikurangi dengan menggunakan
kateter peritoneal yang panjang.
- Ventriculoatrial shunt (VA shunt) disebut juga vascular shunt, yang
menghubungakn ventrikel otal melalui vena jugular dan vena cava
superior menuju atrium kanan jantung. Pintasan ini biasanya dipasang
jika terdapat kelainan abdomen (misalnya peritonitis, obesitas, atau post-
operasi abdomen ekstensif).
- Pintasan Torkildsen yang jarang digunakan, di mana pintasan ini
menghubungkan ventrikel ke rongga sisterna dan efektif hanya pada
hidrosefalus obstruktif didapat.
- Ventriculopleural shunting, yang digunakan jika terdapat kontraindiksi
terhadap pintasan lain.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berkaitan dengan hidrosefalus itu sendiri,
pemberian obat-obatan atau komplikasi dari tindakan bedah: 1
1. Akibat progresivitas hidrosefalus:
a. Kelainan penglihatan:
- Oklusi dari arteri serebri posterior akibat herniasi transtentorial
downward.
- Edema papil yang kronis dapat mencederai diskus optikum
- Dilatasi ventrikel ketiga dengan kompresi chiasma optikum.
b. Disfungsi kognitif
c. Inkontinensia
d. Kelainan cara berjalan
Komplikasi tersebut bisa menetap walaupun telah diterapi.
2. Akibat medikamentosa: ketidkseimbangan elektrolit dan asidosis
metabolik.
3. Akibat intervensi bedah:
a. Infeksi pada pintasan
b. Obstruksi atau diskoneksi pintasan.
c. Nyeri kepala dan tanda-tanda defisit neurologis fokal, seperti kejang.
18
d. Hematoma subdural
e. Komplikasi VP shunt antara lain nyeri perut, peritonitis, hernia inguinal,
perforasi organ abdominal, obstruksi intestinal, volvulus dan asites CSS.
f. Komplikasi VA shunt antara lain septikemia, emboli, endokarditis dan
hipertensi pulmonal.
H. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang berhubungan langsung dengan penyebab
hidrosefalus. Lebih dari 50% pasien dengan perdarahan intraventrikular yang
besar akan berkembang menjadi hidrosefalus permanen yang membutuhkan
pintasan. Setelah dilakukan pengangkatan tumor fossa posterior pada anak-
anak, 20% akan berkembang menjadi hidrosefalus permanen yang
membutuhkan pintasan. Prognosis keseluruhan berkaitan degan jenis, lokasi
dan luas daerah reseksi tumor. Adanya kepuasan dilaporkan pada 50% pasien
yang diterapi secara medikamentosa, yang berumur di bawah 1 tahun dengan
tanda vital yang stabil, fungsi ginjal yang normal dan tidak mengalami gejala
peningkatan TIK. Pada kasus hidrosefalus yang tidak tertangani, kematian
dapat terjadi akibat herniasi tonsilar oleh karena peningkatan TIK dengan
kompresi batang otak dan henti napas. Ketergantungan akan pintasan terjadi
pada 75% dari semua kasus hidrosefalus yang ditangani dan pada 50% anak
dengan hidrosefalus komunikans. 1
2. Penatalaksanaan Intra-operatif
Premedikasi
20
Anestesi
Metode induksi ditentukan oleh kondisi kasus tersebut dan pilihan
pasien dan ahli anestesi. Induksi secara intravena dapat memberi
kontrol yang cepat dari jalan napas pada situasi emergensi jika pasien
tidak puasa dan jika tidak terdapat kesulitan pada jalan napas yang telah
diantisipasi. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan zat induksi
yang sesuai dengan dosis hipnotik yang dititrasi secara waspada
(misalnya Propofol 2 4 mg/kg, Thiopentone 3 5 mg/kg). Hipotensi
harus dihindari karena berisiko penurunan TPO jika terdapat
peningkatan TIK. Ketamin tidak digunakan karena dapat meningkatan
TIK. 6
Preoksigenasi diikuti oleh induksi IV dengan sedatif-hipnotik
(contoh: Barbiturat, Propofol) dan pelumpuh otot non-depolarisasi kerja
cepat (contoh: Rokuronium) untuk intubasi.7 Relaksan otot dapat
dicapai dengan penggunaan zat penghambat neuromuskular (NMB/
Neuromuscular Blocking Agent). Suxamethonium dapat digunakan jika
risiko aspirasi lebih besar daripada masalah peningkatan TIK yang
21
Maintenance
Anestesi dapat dipertahankan dengan zat volatil dan campuran oksigen
dan udara. Tujuannya ialah agar dapat mempertahankan Tekanan
Perfusi Otak sampai peningkatan TIK dapat diatasi dengan mengatur
posisi VP shunt. Untuk melakukannya, hipotensi harus dicegah dan
minute ventilation harus dikontrol untuk mempertahankan normokarbia
(End Tidal CO2: 4 4,5 kPa) untuk mengoptimalisasi TPO dan
mencegah peningkatan TIK. Positive end-expiratory pressure (PEEP)
22
3. Penatalaksanaan Post-operatif
Pada akhir prosedur, hambatan neuromuskular dapat diantagoniskan
menggunakan Neostigmin (50 mcg/kg) yang dikombinasikan dengan
Antikolinergik (seperti Atropin 25 mcg/kg). Kebanyakan pasien dapat
diekstubasi setelah sadar, mencegah hiperkarbia, dan dengan teknik yang
meminimalisasi risiko aspirasi (lateral atau duduk). Efek analgesia dapat
dicapai dengan kombinasi Parasetamol dan NSAIDs jika tidak ada
kontraindikasi dengan Opioid oral tambahan untuk mengatasi nyeri. Pasien
harus dimonitor dalam lingkungan yang sesuai oleh ahli bedah neurologis
pediatrik dan mampu melakukan observasi neurologis rutin.6 Adanya
perburukan tingkat kesadaran pasien merupakan suatu indikasi CT scan
kepala untuk mengeksklusi malfungsi pirau atau adanya hematoma
subdural. 7