Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN

SOSIALISASI TATA KELOLA KELEMBAGAAN SLIN DI KABUPATEN


SIMEULUE
TAHUN ANGGARAN 2016
Sinabang, 29 September 2016

BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kondisi perkembangan produksi dan konsumi ikan, baik
provinsi Aceh maupun skala nasional, memiliki kecenderungan terus
meningkat. Produksi perikanan ta ngka p Ace h da r i Ta hun 2009 -
20 14 sebesar 2,34% per tahun dan diindikasikan adanya trend
peningkatan produksi perikanan ta ngka p sebesar 2,34% per
tahun. Kondisi positif yang lain adalah meningkatnya konsumsi ikan
(domestik) sebesar 7,35% per tahun. Hal ini mengindikasikan
ketersediaan ikan di masyarakat mengalami peningkatan.

Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2009-2014


Kenaika
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 n rata-
rata (%)
Jumlah
140.408, 142,697 143.680, 146.265 153.692 153.912,
Produksi 2,34
1 ,4 2 ,5 ,3 60
(ton)
Sumber : DKP Aceh

Pada sisi yang lain, produksi ikan khususnya hasil


penangkapan laut, sangat tergantung pada musim dan sistem
produksi yang relatif belum efisien. Selain itu panjangnya rantai
distribusi pada pemasaran hasil perikanan ditambah dengan aspek
lain yang kurang efisien seperti infrastruktur transportasi logistik
yang belum memadai, hal itu menyebabkan konsumen membayar
lebih namun produsen tidak juga menikmati keuntungan yang
proporsional

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


melalui Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen
P2HP) telah menginisiasi satu strategi untuk memperkuat
konektivitas hulu hilir dengan pendekatan sistem dan mekanisme
yang terkoordinasi serta melibatkan seluruh stakeholders terkait
melalui Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN). SLIN adalah sistem
manajemen rantai pasokan ikan dan produk perikanan, bahan dan

1
alat produksi, serta informasi mulai dari pengadaan, penyimpanan,
sampai dengan distribusi, sebagai suatu kesatuan dari kebijakan
untuk meningkatkan kapasitas dan stabilisasi sistem produksi
perikanan hulu-hilir, pengendalian disparitas harga, serta untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Guna mendukung implementasi SLIN secara optimal,


dibutuhkan mekanisme tata kelola dan tata laksana
penyelenggaraan SLIN secara komprehensif, sebagaimana
penetapan kebijakan KKP yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Sistem Logistik
Ikan Nasional. Oleh karena itu Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh
menganggap pentingnya melakukan kegiatan Sosialisasi Tata Kelola
Kelembagaan SLIN di Kabupaten Simeulue, yang merupakan salah
satu titik lokus penerapan SLIN di wilayah Aceh sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada
Tahun 2015.

1.2 Maksud, Tujuan, Sasaran serta Output dan Outcome

Maksud kegiatan Sosialisasi Tatakelola Kelembagaan SLIN di


Kabupaten Simeulue adalah pertemuan yang dilaksanakan untuk
mensosialisasikan Tatakelola Kelembagaan SLIN di pusat produksi
dan/atau pusat pengumpul serta pusat distribusi dan Fasilitasi
Kelompok Kerja SLIN di Kabupaten Simeulue yang meliputi :
Implementasi Pelaksanaan SLIN, metode identifikasi pelaku usaha,
persyaratan pelaku usaha, mekanisme penetapan operator,
pengusulan pelaku usaha sebagai operator pendukung, serta
pelaporan.

Tujuan Sosialisasi Tatakelola Kelembagaan SLIN di pusat


produksi dan/atau pusat pengumpulan serta pusat distribusi di
daerah terdiri atas :
1) Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan Pemerintah Daerah,
pelaku usaha dan stakeholder terkait pelaksanaan SLIN
(komponen, strategi, pelaksanaan, pengelolaan, pembinaan dan
pengawasan);
2) Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan Pemerintah Daerah
terkait metode identifikasi kelembagaan pelaku usaha pada lokasi
pusat produksi dan/atau pusat pengumpul serta pusat distribusi di
daerah;
3) Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pelaku usaha dan
stakeholder terkait untuk berperan serta dalam pelaksanaan SLIN.

2
Sasarannya adalah terinformasikannya pelaksanaan SLIN dan
Metode penyusunan Tatakelola Kelembagaan SLIN di pusat produksi
dan/atau pusat pengumpul serta pusat distribusi di daerah kepada
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan stakeholder terkait.

Keluaran (Out Put)nya adalah meningkatnya pemahaman dan


pengetahuan pemerintah daerah, pelaku usaha dan stakeholder
terkait lainnya tentang pelaksanaan SLIN dan Kelembagaan SLIN di
pusat produksi dan/atau pusat pengumpul serta pusat distribusi di
daerah.

Outcome yang diharapkan adalah terimplementasikan sistem


tata kelola kelembagaan SLIN yang efisien dan komprehensif di
pusat produksi dan pusat pengumpulan di daerah Aceh.

1.3 Judul Kegiatan, Waktu dan Tempat

Judul Kegiatan adalah Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan


SLIN di Kabupaten Simeulue

Waktu Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di Kabupaten


Simeulue yaitu berlangsung selama 1 (satu) hari yaitu direncanakan
pada hari kamis tanggal 29 September 2016.

Tempat/Lokasi Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di


Kabupaten Simeulue bertempat di Wisma HARTI Jalan Perjuangan
Desa Amiria Bahagia Kec. Simeulue Timur Kab. Simeulue.

BAB II PELAKSANAAN PERTEMUAN

3
2.1 Dasar Hukum

Dasar hukum dilaksanakan kegiatan pertemuan dalam


rangka Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SIstem Logistik Ikan
Nasional (SLIN) di Kabupaten Simeulue adalah:

Regulasi Substansi
Penyelenggaraan kegiatan pemasaran usaha
1. UU No. 45/2009 perikanan baik di dalam negeri maupun
tentang Perikanan ke luar negeri memperhatikan kecukupan
konsumsi domestik (pasal 25);
2. UU No. 18/2012
Definisi pangan termasuk berbasis ikan;
tentang Pangan
3. UU No. 32 tahun Untuk kepentingan distribusi hasil perikanan,
2014 tentang Pemerintah mengatur sistem logistik ikan
Kelautan nasional (pasal 18);
4. Perpres No. 26/ 2012
Pengelolaan konektivitas logistik nasional
tentang Sistem
termasuk logistik komoditas;
Logistik Nasional
Definisi dan tata kelola Sistem Logistik Ikan
5. PerMen KP No. 05/
Nasional;
2014 tentang SLIN

6. Juknis Pengembangan Kelembagaan SLIN Daerah;

7. DPA SKPA Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2016, Nomor:
2.05.2.05.01.23.04.5.2 Tanggal 26 Februari 2016;
8. Surat Tugas Kadis Kelautan dan Perikanan Aceh, Nomor:
094/0976/ST/2016 Tanggal 26 September 2016.

2.2 Pelaksana Pertemuan


Pelaksanaan Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di
Kabupaten Simeulue dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Aceh di bawah BIdang Pengawasan, Pengendalian Mutu dan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan dengan struktur pelaksana sebagai
berikut:
1) Koordinator : Nova Zuhra, SP, M.Sc
2) Ketua : Ir. Masri Hasyim;
3) Wakil Ketua : Hurriyati, S.Pi;
4) Anggota : Tamsil Amin, S.Pi;
5) Anggota : Irawan;
4
6) Anggota : Miksalmina.

2.3 Narasumber / Pembicara


Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di Kabupaten
Simeulue disampaikan oleh narasumber antara lain:
1) Tim Pokja SLIN Provinsi : Ir. Yulham; dan
2) Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue yang diwakili
oleh Kabid Perikanan Tangkap : Firdi Yuni Puji, ST.

2.4 Moderator
Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di Kabupaten
Simeulue dimoderatori oleh Ketua Panitia Pelaksana (Staf Bidang
Pengawasan, Pengendalian Mutu dan SDKP) r. Masri Hasyim.

2.5 Peserta Pertemuan


Peserta Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di
Kabupaten Simeulue berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Simeulue, Sekretariat Daerah Kabupaten Simeulue
beserta Instansi terkait lainnya, SMK Perikanan Ganting Simeulue,
BBIP Busong Simeulue, Asosiasi Pedagang Ikan Sinabang, Pelaku
Usaha, Panglima Laot Kabupaten, dan HNSI Kabupaten, yang
berjumlah 30 orang.

2.6 Sumber Dana


Sumber dana pelaksanaan Sosialisasi Tata Kelola
Kelembagaan SLIN di Kabupaten Simeulue, bersumber dari Dana
DPA - SKPA Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun Anggaran
2016, Program Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran
Produksi Perikanan, Kegiatan Peningkatan kapasitas kelembagaan,
pusat jaringan usaha dan investasi (PUSJUI) serta peningkatan upaya
pemasaran hasil perikanan dan kelautan Kode Nomor :
(2.05.2.05.01.23.04)(5.2.2.24.02) dengan jumlah Pagu sebesar Rp.
40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah).

BAB III PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

Permasalahan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) tidak hanya


terkait tata kelola kelembagaan saja, tetapi permasalahan yang muncul
5
dilapangan adalah sangat komplek. Mulai dari infrastruktur, sumber daya
manusianya baik pelaku usaha serta stakeholder terkait lainnya maupun
pengambil kebijakan dari unsur pemerintahan, pengadaan atau produksi,
pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan, penetapan harga ikan, jasa
logistik dan kelembagaan itu sendiri.

3.1 Sektor Infrastruktur


Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan salah
satu faktor kunci penentu keberhasilan SLIN. Kondisi infrastruktur
perikanan tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur
dasar seperti air bersih, listrik, dan jaringan akses/transportasi.
Dalam konteks global infrastruktur, World Economic Forum (2010)
melaporkan daya saing infrastruktur di 139 negara yang dinilai,
termasuk Indonesia, yang menggambarkan posisi atau daya saing
suatu negara ditinjau dari keberadaan infrastruktur seperti jalan,
kereta api, bandara, pelabuhan, listrik, dan telekomunikasi. Secara
umum, posisi Indonesia ditinjau dari keberadaan seluruh
infrastruktur pada kondisi 2010, berada pada peringkat ke-90.

Argenti Indones Philippin Braz Kore Chin Vietna Thaila Malaysi


na ia es il a a m nd a
77 90 113 62 12 40 123 35 27
Tabel 1. Peringkat Daya Saing Nasional Berdasarkan Kondisi Infrastruktur
Sumber: World Economic Forum, 2010

Infrastruktur perikanan yang akan diuraikan dalam bagian ini


meliputi jenis sarana dan prasarana atau fasilitas yang
digunakan/dimanfaatkan dalam proses produksi, distribusi, dan
pemasaran komoditas perikanan. Di bidang perikanan tangkap,
keberadaan pelabuhan perikanan sangat penting untuk mendukung
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, sebagaimana
dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor
08 tahun 2012 tentang Kepelabuhan Perikanan.
Pelabuhan perikanan sebagai tempat kegiatan pemerintahan
dan kegiatan sistem bisnis perikanan merupakan pusat
pertumbuhan perekonomian nasional dan daerah pengembangan
industri perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan di suatu
daerah merupakan embrio pembangunan perekonomian. Urgensi
pelabuhan perikanan dalam kegiatan usaha perikanan tangkap
6
cukup jelas, yakni sebagai tempat berlabuh dan bongkar muat kapal
perikanan, sentra pembinaan nelayan, sebagai pusat pengembangan
usaha pendukung (hulu-hilir). Melalui dampak ganda (multiplier
effect) keberadaan pelabuhan perikanan pada akhirnya akan
memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat
sekitarnya.
Fasilitas yang terdapat pada suatu pelabuhan perikanan
terdiri dari: (1) fasilitas pokok; (2) fasilitas fungsional; dan (3)
fasilitas penunjang. Selain itu, jenis sarana dan prasarana
pelabuhan yang umumnya terdapat di suatu pelabuhan meliputi :
armada kapal perikanan dan peralatan tangkap ikan.
Adapun fasisilitas pokok terdiri dari : areal daratan
pelabuhan, dermaga, jetty, pemecah gelombang, kolam pelabuhan,
alur pelayanan, tempat tambat, dinding penahan tanah, penahan
sedimen, jalan, drainase, drainase terbuka, lahan kawasan Industri,
lahan pelayanan umum dan areal parkir. Fasilitas fungsional terdiri
dari : tempat pelelangan ikan, pasar Ikan, telepon, radio SSB,
internet, rambu-rambu navigasi, menara pengawas, lampu suar,
penampung air, pengolah Air, sumber air, hydrant, pabrik es, genset,
daya listrik, rumah genset, tangki BBM, SPBN, docking, slip way,
bengkel, perbaikan Jaring, gudang peralatan, tempat pengolahan
ikan, laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan,
syahbanda, cold storage, kantor administrasi, kantor pengawas
perikanan, alat berat, kendaraan roda 4, kendaraan roda 2, areal
parkir, instalasi pengolahan limbah, tempat pembuangan sampah,
kapal pengawas. Fasilitas penunjang terdiri dari : rumah karyawan,
mess karyawan, balai pertemuan nelayan, pos Jaga, pos pelayanan
terpadu, tempat peribadatan, klinik kesehatan, waserda/toko, bank
pemerintah, koperasi, guest house, MCK dan kios Iptek.
Beberapa Pelabuhan Perikanan tidak memiliki fasilitas pokok
pelabuhan seperti: jetty, pemecah gelombang, kolam pelabuhan,
tempat tambat kapal, areal parkir, dan lain-lain. Demikian pula
dengan fasilitas fungsional yang cukup penting dalam kegiatan
produksi ikan tangkap, misalnya adalah pasar ikan, sumber air,
pabrik es, cold storage, docking, bengkel, perbaikan jaring, tempat
pengolahan ikan, alat berat, dan kantor pengawas.
Perkembangan sarana armada kapal perikanan hingga saat
ini tercatat mencapai lebih dari 400 ribu unit kapal, baik yang
menggunakan motor ataupun tidak dan khusus pada empat
pelabuhan perikanan (PPN Ambon, PPN Cirebon, PPN Pekalongan dan
PPS Nizam-Zachman), jumlah armada perikanan tahun 2010
ditunjukkan seperti pada tabel berikut.

7
Ukuran PPN PPN PPN PPS Nizam-
Kapal Ambo Cirebon Pekalong Zachman
n an
<5 GT 0 0 0 0
5-10 GT 38 0 609 0
10-20 GT 52 3 116 9
20-30 GT 70 52 0 308
30-50 GT 19 16 131 79
50-100 GT 136 11 131 338
100-200 285 1 15 405
GT
200-300 0 0 0 16
GT
200-500 203 0 0 0
GT
>500 GT 25 0 0 0
Jumlah 828 83 1002 1155
armada
Tabel 2. Perkembangan jumlah armada perahu penangkan ikan (2000-2010)
Sedangkan
Sumber: Ditjen jumlah armada perikanan PPS Lampulo hingga
PT, KKP, 2010
tahun 2014 berjumlah 196 unit dengan rincian : 5-10 GT : 75 unit;
10-20 GT : 0 unit; 20-30 GT: 110 unit dan 30-50 GT : 11 unit; 50-100
GT : 0 unit; 100-200 GT : 0 unit, sumber Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh.

Jumlah Kapal Penangkap Ikan menurut kategori dan ukuran kapal


penangkap ikan untuk Kabupaten Simeulue tahun 2009 2014 seperti
tabel berikut.

TAHUN
KECAMATAN
2009 2010 2011 2012 2013 2014
JUMLAH TOTAL 3,191 2,958 2,958 3,147 3,443 3,446
(unit)
Perahu tanpa Motor (unit) 1,646 1,238 1,238 1,397 1,397 1,397
Motor Tempel (unit) 1,416 1,591 1,591 1,648 1,839 1,841
Kapal Motor 129 129 129 102 102 131
< 5 GT 85 87 87 82 82 101
Ukuran 5 10 44 42 42 20 20 20
Kapal 30 50 GT - - - - 3 3
Motor 50 100 GT - - - - - -
100 200 - - - - - -
GT - - - - - -
< 200 GT
Tabel 3. . Perkembangan armada tangkap Kab. Simeulue (2009 2014)
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Simeulue

8
Gambaran mengenai alat penangkapan ikan yang digunakan
para nelayan di keempat pelabuhan perikanan (PPN Ambon, PPN
Cirebon, PPN Pekalongan dan PPS Nizam-Zachman) 2009/2010 dan
PPS Lampulo 2011/ 2014 (Sumber DKP Aceh) dapat dicermati pada
tabel berikut.

Jumlah Alat Penangkapan Ikan


Jenis alat Ambo Cirebo Pekalong Nizam- PPS
tangkap n n an Zachma Lampulo
n
Pukat Pantai 0 0 0 208 0
pukat udang/ikan 149 0 0 0
pukat cincin 28 0 140 100 115
jaring insang 38 30 0 0 175
hanyut
jaring Insang tetap 0 0 110 0 0
Rawai tuna 0 0 423 0
rawai tetap 19 0 0 0 0
huhate 62 0 0 0 0
pancing ikan 10 0 0 0 0
muroami 2 0 0 0 0
Jaring angkat 0 48 0 239 0
Lainnya
Bubu (termasuk 0 5 0 2 0
bubu ambal)
lainnya 0 0 609 0 0
(jala,tombak,dll)
Pancing yang lain 0 0 0 44 0
Lainnya 0 0 0 7 0
Tabel 4. Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di beberapa Pelabuhan
Perikanan (2009/2010) & PPS Lampulo (2011/2014)
Sumber: Ditjen PT, KKP, 2010 & DKP Aceh 2015

Gambaran alat penangkap ikan di Kabupaten Simeulue


2009/2014 seperti pada tabel berikut.
Satuan : Unit
Tahun
Jenis alat tangkap 2009 2010 201 201 201 2014
1 2 3
JUMLAH TOTAL 6,378 8,208 8,21 8,50 8,50 8,510
3 8 8
Pukat Tarik Pukat tarik udang - - - - - -
ganda - - - - - -
Pukat tarik udang - - - - - -
tunggal - - - - - -
9
Pukat tarik
berbingkai
Pukat tarik Ikan
Payang - - - - - -
Pukat Dogol - - - - - -
Kantong Pukat pantai 14 14 18 15 15 17
Pukat Cincin - - - - - -
Jaring Jaring insang 526 548 497 596 596 596
Insang/Gill hanyut - - - - - -
net Jaring Insang lingkar - - - - - -
Jaring klitik 720 720 795 835 835 835
Jaring insang tetap 518 633 695 715 715 715
Jaring tiga lapis
Jaring Angkat Bagan perahu rakit 5 11 11 15 15 15
(Lift net) Bagan Tancap - - - - - -
Serok dan Sengko - - - - - -
Anco - - - - - -
Jaring Angkat - - - - - -
Lainnya
Rawai Tuna 35 35 50 60 60 60
Rawai hanyut 251 299 249 259 259 259
lainnya 148 148 199 209 209 209
Rawai Tetap - - - - - -
Pancing Rawai Dasar Tetap - - - - - -
Huhate - - - - - -
Pancing Tonda - - - - - -
Pancing Ulur - - - - - -
Pancing Tegak
Pancing Pancing cumi - - - - - -
Pancing Tangan 3,453 3,465 3,237 3,365 4.011 14.380
Perangkap Sero - - - - - -
Jermal - - - - 48 67
Bubu 14 14 18 - - -
Perangkap Lainnya
Alat Alat pengumpul - - - - - -
Pengumpul rumput laut 83 142 65 72 72 72
dan Alat penangkap 27 29 130 135 147 147
Penangkap kerang 21 35 22 32 32 32
Alat penangkap
teripang
Alat penangkap
kepiting
Lain-lain Muroami - - - - - -
Jala tebar 542 1,520 1,758 1,784 931 931
10
Garpu dan Tombak - - - - - -
Lain-lain - 566 440 431 2.199 2.199
Tabel 5. Jumlah Unit Penangkapan Ikan di Laut Menurut Jenis Alat Penangkapan Ikan, (2009/2014)
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Simeulue

Mengacu pada kondisi ketersediaan fasilitas pelabuhan,


ketersediaan armada penangkapan ikan dan peralatan tangkap
ikan, sebagaimana yang telah diuraikan pada tabel-tabel di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas
dan produksi perikanan di daerah diperlukan upaya untuk
penambahan/penyediaan infrastruktur perikanan berupa fasilitas
atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Dalam hal perikanan budidaya, terdapat 6 (enam) jenis
budidaya, yaitu: (1) budidaya laut; (2) budidaya tambak; (3)
budidaya kolam; (4) budidaya karamba; (5) budidaya Jaring Apung;
dan (6) budidaya sawah. Dari enam jenis budidaya tersebut, jumlah
luas lahan yang telah digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan
hingga tahun 2010 tercatat mencapai 1,11 juta Hektar. Selama
sepuluh tahun terakhir, luas lahan yang digunakan mengalami
kenaikan secara rata-rata 6% per tahun, dengan jumlah luas lahan
terbesar adalah untuk jenis budidaya tambak (sekitar 682 ribu
hektar).
Pemanfaatan lahan perikanan budidaya, untuk tiap jenis
budidaya yang telah dilakukan, pada umumnya dapat dikatakan
masih sangat rendah, dan budidaya perikanan sampai tahun 2010
seperti ditunjukkan pada table berikut.

Jenis Luas Lahan Potensi tingkat


Budidaya Eksisting (Ha) pemanfaat
(Ha) an
Budidaya Air 450.333 773.743 36%
Payau
Tabel 6. Tingkat
Budidaya Airpemanfaatan lahan budidaya ikan
760000000 8.360.000 1.10%
Sumber: Ditjen Prasarana dan Sarana, KKP, 2010
Laut
Budidaya Air
Tawar:
- kolam 119.070 26.909,82 22.6%
- karamba 450 n/a n/a
- KJA 1.320 n/a n/a
- sawah 117.310 8.798,25 7.50%

11
Sedangkan pemanfaatan lahan perikanan budidaya daerah
Aceh sampai tahun 2014 seperti ditunjukkan pada table berikut.
Jenis Luas Lahan Potensi tingkat
Budidaya Eksisting (Ha) pemanfaat
(Ha) an
Budidaya Air 50.526,9 n/a n/a
Payau
Budidaya Air 1,1 n/a n/a
Laut
Budidaya Air
Tawar:
- kolam 3.499,8 n/a n/a
- karamba 0,2 n/a n/a
- KJA 5,0 n/a n/a
- sawah 1.699,7 n/a n/a
Ditinjau dari perkembangan prasarana perbenihan yang ada saat
ini, secara nasional jumlahnya tercatat sekitar 29.380 unit. Dari
jumlah keseluruhan balai perbenihan tersebut, yang terbanyak
berupa Unit Perbenihan Rakyat (UPR) mencapai 26.000 unit, disusul

Tabel 7. Tingkat pemanfaatan lahan budidaya ikan


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2015

Ditinjau dari perkembangan prasarana perbenihan yang ada


saat ini, secara nasional jumlahnya tercatat sekitar 29.380 unit. Dari
jumlah keseluruhan balai perbenihan tersebut, yang terbanyak
berupa Unit Perbenihan Rakyat (UPR) mencapai 26.000 unit, disusul
Hatchery 2.854 unit, Balai Benih Induk (BBI) 422 unit, Balai Benih
Ikan Sentral (BBIS) 26 unit, Balai Benih Ikan Payau (BBIP) 24 unit,
dan UPT Pusat 12 unit

3.1.1 Fasilitas Pengolahan


Secara nasional, jumlah UPI yang memiliki sertifikat kelayakan
pengolahan, saat ini sebanyak 505 unit, yang terdiri atas 185 unit
SKP (sertifikat kelayakan pengolahan) A, 253 unit SKP-B, dan 67 unit
12
SKP-C. Ditinjau dari
sebarannya,
mayoritas UPI berada
di Pulau Jawa
sebanyak 43%,
sisanya tersebar di
Pulau Sulawesi
sebanyak 22%, Pulau
Sumatera sebanyak
12%, Pulau Bali dan
Nusa Tenggara
sebanyak 11%,Pulau
Kalimantan dan Pulau
Maluku termasuk Papua masing-masing 6%. Hal ini menunjukkan
bahwa Jawa merupakan wilayah industri perikanan terbesar di
Indonesia.

Gambar 1. Sebaran keberadaan UPI bersertifikasi di Indonesia saat ini


Sumber: KKP, 2011

Sedangkan kondisi eksisting industri perikanan di daerah


Aceh seperti berikut :
Jumlah pengolah hasil perikanan Aceh : 2.493 Unit
Jumlah pemasar hasil perikanan Aceh : 16.526 Unit
Produksi ikan olahan : 1.034,8 Ton
Cakupan bina kelompok nelayan (2013) : 30 kelompok
UPI bersertifikat (2013) : 3 UPI
Jumlah Cols Storage di Aceh : 19 Unit
Jumlah Pabrik Es di Aceh : 66 Unit
Jumlah Unit Usaha Perikanan di Aceh : 185 Unit
Jumlah Pasar Ikan di Aceh : 181 Unit
Angka Konsumsi Ikan Aceh 2014 : 45 Kg/Kap/Thn
Sumber : Dinas kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2015

13
Rendahnya utilisasi UPI dikarenakan pasokan bahan baku
yang rendah. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
menyebutkan unit pengolahan skala besar yang sampai saat ini
masih beroperasi mencapai 658 unit, sementara industri
pengolahan ikan skala kecil tercatat 17.616 unit. Sejumlah unit
pengolahan yang tersebar di seluruh Indonesia berkapasitas
18.140,4 ton per tahun. Namun, hingga kini hanya terpakai kurang
dari 50 persen atau hanya sekitar 9.324,16 ton per tahun.
Keberadaan unit pengolahan ikan tersebut menyerap 594.300 orang
tenaga kerja yang dilibatkan di bidang industri pengolahan dan
pemasaran. Saat ini industri pengolahan tidak maksimal
menjalankan pabrik karena tidak adanya bahan baku udang untuk
diolah. Saat produksi udang turun, ia berharap pemerintah
membuka keran impor untuk kebutuhan industri pengolahan yang
berorientasi ekspor saja. Industri hilir perikanan laut Indonesia
masih terkendala pasokan bahan baku. Meski memiliki sumber daya
alam kelautan yang melimpah, Indonesia belum mampu menjamin
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. Akibatnya,
banyak perusahaan perikanan yang tutup.
Industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini membutuhkan
bahan baku 300-350 ribu ton per tahun. Dari kebutuhan itu,
produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 40%, sedangkan
60% masih impor. Industri pengalengan cakalang, misalnya,
membutuhkan bahan baku 300 ribu ton per tahun, sedangkan
pasokan dari dalam negeri hanya 120-140 ribu ton. Kapasitas
terpasang industri pengalengan sarden berkisar 150 ribu ton dan
pasokan bahan baku lokal hanya 70-100 ribu ton per tahun.

3.1.2 Infrastruktur Pendukung Kegiatan Distribusi/Pemasaran


Fasilitas pemasaran komoditas perikanan yang paling mudah
diakses oleh masyarakat adalah pasar. Keberadaan pasar tradisional
pada suatu wilayah (desa) diharapkan dapat menjadi simpul
kegiatan perdagangan dan sekaligus pemasaran komoditas
perikanan di tingkat masyarakat yang paling bawah. Jika melihat
kondisi saat ini, dapat dikatakan bahwa lebih dari 80% dari total
Desa atau lebih dari 60 ribu desa yang ada di Indonesia belum
memiliki pasar tradisional dengan kualitas permanen atau semi
permanen.

14
Jumlah Desa Jumlah Desa yang
Provinsi yang Memiliki Tidak Memiliki
Pasar Tradisional Pasar Tradisional
Nanggroe Aceh Darussalam 546 5937
Sumatera Utara 664 5133
Sumatera Barat 41 344
Riau 568 1087
Jambi 315 1057
Sumatera Selatan 526 2660
Bengkulu 182 1327
Lampung 539 1925
Kepulauan Bangka Belitung 60 301
Kepulauan Riau 71 282
DKI Jakarta 172 95
Jawa Barat 834 5071
Jawa Tengah 1987 6590
DI Yokyakarta 246 192
Jawa Timur 2066 6436
Banten 221 1314
Bali 365 351
Nusa Tenggara Barat 242 842
Nusa Tenggara Timur 398 2568
Kalimantan Barat 209 1758
Kalimantan Tengah 259 1269
Kalimantan Selatan 307 1693
Kalimantan Timur 262 1203
Sulawesi Utara 173 1520
Sulawesi Tengah 400 1415
Sulawesi Selatan 723 2259
Sulawesi Tenggara 395 1726
Gorontalo 130 601
Sulawesi Barat 152 486
Maluku 87 937
Maluku utara 94 985
Papua barat 126 1313
Papua 261 3663
Total 13621 64340
Total Desa seluruh 77.961
Indonesia

3.1.3 Kebutuhan Armada Penangkapan Ikan


Dalam rangka peningkatan akses terhadap layanan
infrastruktur logistik untuk mendukung keberlanjutan proses
produksi, distribusi, dan pemasaran komoditas ikan, maka
15

Tabel 8. Jumlah Desa yang Memiliki dan Tidak Memiliki Pasar Tradisional
Sumber: Data Potensi Desa, 2010
diperlukan penyediaan infrastruktur perikanan yang memadai
dalam upaya implementasi tata kelola Sistem Logistik Ikan Nasional.
Pada tahun 2014, produksi perikanan tangkap diperkirakan
mencapai 5,6 juta ton dan perikanan budidaya 16,9 juta ton (KKP,
2010). Apabila mengacu pada angka tersebut, maka kebutuhan
peningkatan sarana produksi ikan tangkap berupa armada
penangkapan perikanan ditunjukkan sebagai berikut.

Kondisi Produksi Jumlah armada Tambahan


ikan penangkapan armada
tangkap ikan (unit) (unit)
(ton)
2010 5.384.740 590.420
23.617
2014 5.600.000 614.037
Catatan: tambahan armada mencakup seluruh ukuran kapal
Tabel 9. Estimasi Penambahan Armada Penangkapan Ikan Tangkap pada 2014
Sumber: KKP, 2010

Estimasi penambahan armada penangkapan ikan sejumlah


23.617 unit menggunakan asumsi bahwa penambahan armada
adalah linier dengan jumlah peningkatan produksi ikan tangkap
(prediksi 2014), yaitu sebesar 4% dengan kondisi perahu mirip
seperti kondisi saat ini, yaitu terdiri dari perahu non motor, perahu
motor tempel, dan perahu motor. Perubahan jumlah armada
penangkapan ikan dengan memperbanyak perahun motor dengan
ukuran >200 GT tentunya akan membawa implikasi positif bagi
upaya peningkatan produksi ikan tangkap. Idealnya, makin banyak
jumlah perahu motor berukuran besar, makin memperbesar peluang
produksi ikan tangkap.

3.1.4 Kebutuhan Prasarana Pelabuhan Perikanan


Pengembangan prasarana pelabuhan perikanan dapat
dikaitkan dengan rencana pembangunan Ditjen Perikanan Tangkap
pada tahun-tahun mendatang. Pada 2014-2015, Ditjen Perikanan
Tangkap mentargetkan untuk penambahan infrastruktur pelabuhan
perikanan secara nasional hingga mencapai 988 hingga 1000
pelabuhan yang dibutuhkan. Hal ini perlu didorong guna mendukung
upaya Pemerintah untuk mencapai tujuan peningkatan produksi
perikanan tangkap di masa mendatang.
Disamping itu, pada simpul-simpul distribusi penting di
kawasan sentra komoditas ikan khususnya di kawasan timur
16
Indonesia yang merupakan kawasan produksi ikan, perlu upaya
peningkatan fasilitas dan kehandalan kinerja pelabuhan. Penyediaan
armada kapal pengiriman komoditas dalam kapasitas besar perlu
dilakukan untuk dapat mengangkut ikan secara efisien.

3.1.5 Kebutuhan Penambahan Lahan Untuk Kegiatan Perikanan


Budiaya
Dengan mempertimbangkan potensi lahan untuk kegiatan
pengembangan perikanan budidaya, maka ke depan dibutuhkan
lahan sekitar 529.592 hektar, mencakup kolam, KJA, air payau, dan
laut. Potensi lahan untuk budidaya perikanan yang terbesar berupa
air laut dan air payau.
Peningkatan lahan untuk kegiatan budidaya tentunya
membutuhkan dukungan infrastruktur seperti jaringan sumber daya
air untuk keberlangsungan aktivitas dan produktivitas perikanan
budidaya. Koordinasi dan kerjasama dengan instansi teknis terkait
yaitu Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaaan Umum dalam
implementasinya perlu dilakukan.

3.1.6 Infrastruktur Pendukung Kegiatan Industri Pengolahan


Dalam rangka mengoptimalkan utilisasi UPI secara luas, maka
selain diperlukan dukungan jaminan pasokan bahan baku ikan,
diperlukan juga infrastruktur dasar pendukung pengoperasian UPI
seperti jaringan air bersih dan listrik. Kebutuhan air bersih dan listrik
merupakan syarat vital untuk pengoperasian fasilitas seperti pabrik
es dan cold storage. Untuk sebuah pabrik es, selain diperlukan
lahan sekurang-kurangnya 300 meter persegi, diperlukan
infrastruktur air bersih dan sumber listrik dengan kapasitas yang
cukup.
Kesenjangan industri pengolahan ikan di Indonesia dapat
ditunjukkan dari Gambar 4.4, yang menggambarkan pola
pergerakan komoditas ikan tangkap yang berlaku selama ini. Pola
asal-tujuan komoditas ikan memiliki beberapa variasi berikut:
1. dari pelabuhan perikanan menuju ke lokasi UPI (dalam negeri);
2. dari pelabuhan perikanan menuju ke lokasi Unit Pengalengan
Ikan (dalam negeri);
3. dari pelabuhan perikanan ke pasar internasional (ekspor);
4. dari luar negeri (impor) menuju lokasi Unit Pengalengan Ikan
(dalam negeri);
5. Kebutuhan Fasilitas Distribusi Dan Pemasaran Komoditas;
17
6. Memperhatikan kondisi geografis wilayah dan potensi perikanan
Indonesia, maka dalam rangka meningkatkan akses pasar perlu
kiranya dikembangkan atau dibangun fasilitas atau infrastruktur
yang mampu menjembatani tercapainya sasaran di atas. Untuk
mendukung kegiatan industrialisasi perikanan, ketersediaan
fasilitas seperti: cold storage, distribution center, dan
infrastruktur dasar yang lain seperti jaringan jalan dan
infrastruktur transportasi lainnya (pelabuhan dan bandara),
sangat penting bagi proses distribusi/pemasaran produk;
7. Sejalan dengan hal di atas, KKP merencanakan untuk
mengembangan fasilitas gudang beku (cold storage) di lima
lokasi yang strategis, yaitu: (1) Medan, (2) Jakarta, (3) Surabaya,
(4) Bitung, dan (5) Ambon. Fungsi atau peranan cold storage
dalam hal ini adalah sebagai fungsi konsolidasi dan fungsi
mempertahankan kualitas karena faktor perpindahan lokasi.
Disamping itu, KKP juga merencanakan untuk membangun
fasilitas distribution center dengan tujuan untuk mendukung
fungsi pemasaran seperti sortasi, pengemasan dan lain-lain.
Wujud fisik pusat-pusat distribusi tersebut adalah semacam
pasar-pasar induk yang tersebar dengan dilengkapi sarana dan
prasarana yang mendukung fungsi tersebut, sehingga sistem
dan mekanisme distribusi hasil perikanan dapat berjalan lebih
efisien dan efektif.

3.2 Sektor Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan


Sebagaimana diketahui bahwa armada penangkapan di seluruh
wilayah Indonesia didominasi oleh armada kecil yang sebagian
besar berukuran di bawah 5 GT. Hal ini mengakibatkan rendahnya
produktivitas nelayan Indonesia karena nelayan hanya dapat
melakukan operasi penangkapan dalam waktu yang terbatas (one
day fishing) dan jangkauan daerah penangkapan ikan juga terbatas.
Minimnya ukuran armada penangkapan juga mengakibatkan
skala dan volume produksi relatif sedikit. Sehingga dalam aspek
pemasaran hal ini membutuhkan banyak upaya pengumpulan dari
sentra-sentra pendaratan ikan untuk mendapat volume yang efisien
untuk kegiatan pemasaran ke sentra konsumsi yang umumnya
berada di daerah perkotaan.
Lokasi sentra produksi perikanan yang jaraknya jauh dengan
daerah sentra konsumsi atau sentra pengolahan mengakibatkan
relatif panjangnya saluran pemasaran hasil perikanan. Produk
perikanan sebelum sampai ke konsumen harus melalui beberapa
18
lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul, pedagang besar,
pedagang besar local dan pedagang pengecer. Secara umum saluran
pemasaran hasil perikanan di Indonesia disajikan pada Gambar 2.

Produsen
(Nelayan
dan Pe Kon
Pedagan
Pembudid dag sum
aya gikan) angPasar lokal
en
Pengum Pasar regional
pul Pedan pasar
ngenasional
Pedag cer
ang
Besar Peru
Peda
(Grosir saha
gang
) an
Besa Pedaga Peng
r ng olah
Loka
Instit Pengec Konsan
l
usio er ume
nal n
GambarMark
2. Saluran Pemasaran Hasil Perikanan dari Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Sumber: Effendi dan Oktariza, 2006
et

Saluran pemasaran hasil perikanan di Indonesia umumnya


masih belum efisien karena tidak memberikan nilai tambah yang
sepadan bagi para pelaku pemasaran. Hal ini menyebabkan
pembagian margin yang tidak proporsional diantara para pelaku
pemasaran. Struktur sistim distribusi yang belum baik dan sifat
komoditas perikanan yang mudah membusuk menyebabkan biaya
distribusi yang tinggi. Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa
tingkat keuntungan dalam agribisnis perikanan selama ini lebih
banyak dinikmati oleh para pedagang perantara dan pelaku
agribisnis lainnya di hilir. Panjangnya saluran pemasaran hasil
perikanan akhirnya menyebabkan konsumen harus membayar lebih
mahal dari harga sewajarnya, namun pada sisi lain nelayan atau
pembudidaya ikan hanya menerima sebagian kecil dari harga yang
dibayarkan konsumen.
Pemasaran hasil perikanan di Indonesia juga memiliki masalah
karena adanya pola hubungan patron klien antara nelayan dengan
juragan darat atau antara pembudidaya ikan dengan pedagang
pengumpul. Pola hubungan ini sangat dipengaruhi oleh aspek

19
ekonomi yang bersifat saling membutuhkan. Para nelayan memiliki
keterbatasan modal usaha, baik untuk pengadaan input produksi
maupun untuk modal operasional. Untuk mendapatkan modal dari
lembaga keuangan formal membutuhkan banyak persyaratan dan
waktu yang lama, sehingga pada akhirnya nelayan atau
pembudidaya ikan banyak yang lebih memilih untuk meminjam
modal dari juragan darat atau pedagang pengumpul. Namun ikatan
ini tidak sebatas pinjam meminjam, tetapi disertai dengan
persyaratan untuk menjual hasil tangkapan atau hasil budidaya
kepada peminjam modal. Dalam kondisi ini kemudian penetapan
harga ikan yang dijual nelayan atau pembudidaya lebih dominan
ditetapkan oleh juragan atau pedagang pengumpul. Nelayan atau
pembudidaya tidak mempunyai pilihan untuk menjual produk hasil
tambaknya kepada pedagang lain yang memberikan harga beli lebih
tinggi, karena adanya ikatan dengan juragan atau pedagang
pengumpul. Ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen
seringkali informasi tidak diteruskan kepada nelayan atau
pembudidaya secara sempurna, dengan kata lain kenaikan yang
diterima nelayan atau pembudidaya lebih rendah daripada kenaikan
harga yang dibayar konsumen.

Beberapa permasalahan pengelolaan dan pemasaran hasil


perikanan di Indonesia umumnya dan Daerah Aceh khususnya yaitu :

1. Belum adanya desain atau perencanaan produksi perikanan yang


mencakup pola produksi, waktu produksi dan lokasi produksi
secara spesifik, sehingga daerah sentra produksi tidak mampu
menyediakan informasi produksi per satuan waktu dan lokasi.

2. Belum adanya agregasi data estimasi kebutuhan ikan, baik untuk


kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan industri
pengolahan, sehingga belum tersedia informasi kebutuhan secara
intertemporal pada setiap sentra-sentra permintaan.

3. Ketersediaan pasokan listrik, gudang dan alat transportasi untuk


pengangkutan masih sangat terbatas.

4. Insentif bagi pelaku usaha perikanan masih sangat minim,


sehingga pengembangan investasi perikanan hanya
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu.

3.3 Sektor SDM


20
Industrialisasi perikanan adalah proses perubahan dimana
arah kebijakan pengelolaan mencakup sumber daya manusia di
samping sumber daya perikanan, infrastruktur, sistem investasi, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada intinya diselenggarakan
secara terintegrasi berbasis industri untuk meningkatkan nilai
tambah, efisiensi dan skala produksi yang berdaya saing tinggi.
Perkembangan sumber daya manusia di bidang perikanan
secara global memperlihatkan kecenderungan yang meningkat
meskipun tidak sangat signifikan. Bertolak belakang dengan kondisi
yang terjadi secara umum bahwa di beberapa negara terutama di
Eropa, Amerika Utara dan Jepang, justru mengalami penurunan.
Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya produksi perikanan.
Di Jepang misalnya, jumlah nelayan mengalami penurunan dari
sekitar 549.000 pada 1970 menjadi 370.600 pada 1990, dan akhirnya
turun drastis hingga sekitar 200.000 pada 2008.1
Kajian FAO dengan mengambil kasus di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, para nelayan (termasuk keluarganya) pada
umumnya bekerja di sektor kelautan dan perikanan serta kegiatan-
kegiatan yang relevan dengan aktivitas nelayan. Peran mereka
sangat besar dalam produksi perikanan, peningkatan pendapatan
dan ketahanan pangan.
Ditinjau dari kapasitas sumber daya manusia yang terlibat
dalam kegiatan perikanan tangkap, berdasarkan data KKP dalam
Angka 2010 memperlihatkan adanya kecenderungan yang semakin
menurun di sisi perikanan tangkap di perairan umum (rata-rata
-1,29% per tahun) termasuk tenaga kerja di bidang pengolahan (rata-
rata -4,62% per tahun). Sementara, tenaga kerja di bidang
pemasaran hasil perikanan memperlihatkan kondisi sebaliknya.
Tingkat kenaikan tenaga kerja di bidang pemasaran dapat dikatakan
cukup tinggi (70,74% per tahun).
kenaikan
N Rincian 2006 2007 2008 2009 2010*) rata-rata
o (%)
1 Jumlah SDM 2.203.4 2.231.9 2.240.0 2.169.2 2.231.7 0,34
perikanan tangkap 12 67 67 79 00
di laut
2 Jumlah SDM 489.762 523.827 496.499 472.688 469.830 -1,29
perikanan tangkap
di perairan umum
3 Tenaga kerja 345.799 371.734 399.614 264.296 265.297 -4,62
pengolahan

1
21
4 Tenaga kerja 207.479 223.040 249.768 907.685 908.138 70,74
pemasaran
Tabel 10. Jumlah SDM Sub Sektor Perikanan (2006-2010)
Sumber: KKP, 2010

Di sisi lain, kebutuhan akan SDM KP diproyeksikan meningkat


di tahun-tahun mendatang. Hal ini merupakan akibat langsung dari
berkembangnya kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan.
Data dari Badan SDM KP memproyeksikan kenaikan sebesar sekitar
90% SDM KP dari yang tersedia saat ini yaitu sebanyak 794.563
orang di tahun 2015.
Kondisi SDM di sisi Pemerintah, menurut data Badan
Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, KKP (2012),
menunjukkan masih terdapat gap permasalahan yang perlu dicarikan
solusinya, yaitu:
1. Jumlah SDM Kelautan dan Perikanan (KP) yang belum memiliki
kompetensi sesuai kebutuhan masih besar;
2. Aksesibilitas dan keterlibatan pelaku utama dan pelaku usaha
pada program pengembangan SDM KP masih cukup rendah;
3. Persaingan global SDM profesional belum diimbangi dengan
metode dan materi pengembangan kapasitas SDM yang
memadai;
4. Profesionalime aparatur KP masih belum memadai untuk
memfasilitasi pencapaian target pembangunan KP secara
menyeluruh;
5. Sumber daya pelaku KP belum dimanfaatkan secara optimal;
6. Masih terbatasnya jangkauan informasi dan pengetahuan
masyarakat tentang pemanfaatan dan pemanfaatan sumber daya
KP;
7. Peranan penyuluhan perikanan pada saat ini belum optimal
berdasarkan manfaat bagi pembudidaya ikan dan pengolah
garam rakyat sebagai akibat dari keterbatasan kuantitas dan
kualitas penyuluh, materi penyuluhan, keterbatasan sarana dan
prasarana penyuluhan dan belum efektifitasnya mekanisme kerja
kelembagaan penyuluhan di daerah;
8. Belum adanya pemetaan kebutuhan SDM yang konkrit untuk
mendukung industrialisasi perikanan.

3.3.1 Kebutuhan SDM mendukung


implementasi SLIN

22
SDM merupakan modal utama bagi suatu organisasi,
demikian halnya dengan SLIN yang memerlukan SDM yang
memiliki kompetensi untuk mendukung tercapainya visi dan misi
KKP. Setiap SDM harus memiliki kompetensi yang mampu
menghadapi perubahan atau dinamika pasar, bisnis maupun
teknologi. Untuk itu, diperlukan hard skills dan soft skills yang
keduanya saling bersinergi. Hard skills adalah istilah yang dipakai
untuk menjelaskan kompetensi-kompetensi yang terkait langsung
dengan pekerjaan, misalnya keahlian dalam membuat
perencanaan, penjadwalan. Soft skills adalah keahlian yang
menunjang hard skills tersebut. Soft skills merupakan kompetensi
yang membukus kompetensi inti yang dimiliki, misalnya
interpersonal skills, communication skills, presentation skills,
negotiation skills, dan lain-lain.
Keberhasilan SLIN memerlukan dukungan SDM yang
memiliki pemahaman dan kemampuan (knowledge dan skill) di
bidang logistik. Oleh karena itu, diperlukan SDM logistik profesional
yang diwujudkan dengan pengembangan kompetensi sumber daya
manusia untuk menciptakan profesionalisme di bidang logistik.
Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang
logistik memegang peranan penting untuk mendukung
implementasi SLIN. Untuk mendukung keberhasilan implementasi
SLIN, skill dan knowledge yang dibutuhkan dapat dikelompokkan
ke dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu: (1) bisnis, (2) logistik, dan (3)
manajerial.

3.4 Sektor Jasa Logistik


Penyedia jasa logistik memiliki karakteristik diantaranya
yang pertama adalah adanya layanan yang terintegrasi dalam
mengelola aliran barang, pembelian, persediaan. Kedua,
pelayanan logistik berdasarkan kontrak. Kontrak yang tertulis
mengenai pembagian tanggungjawab yang jelas. Ketiga,
menawarkan pelayanan konsultan seperti sistem pemasaran,
sistem informasi. Secara umum di Indonesia, layanan yang
diberikan oleh penyedia jasa logistik adalah layanan pergudangan,
dokumen, kurir, dan transportasi. Namun layanan ini masih bersifat
parsial, artinya belum terintegrasi dengan pihak perusahaan.
Standard Trade and Industry Directory of Indonesia (2006)
mengidentifikasi beberapa bidang yang memiliki keterkaitan
dengan sektor logistik, diantaranya yang dominan adalah usaha
dalam bidang Shipping dan Freight Forwarding yang totalnya

23
mencapai 81,88% dari keseluruhan jumlah industri logistik di
Indonesia. Selain itu, beberapa jenis layanan lain yang bergerak
dalam bidang industri logistik adalah Contanier, Courier,
Packaging, Rail Transport, Road Transport, Storage, Tanker, dan
Warehouse. bahwa jumlah perusahaan terbesar melayani jasa
pelayaran yaitu sejumlah 1.669 perusahaan (43,83%), freight
forwarding sebesar 1.449 perusahaan (38,05%). sementara jasa
warehouse (3,83%), courier (3,28%) serta jasa layanan lainnya
yang memiliki prosentase di bawah 3%

3.4.1 Permasalahan
Berdasar uraian yang telah dikemukakan pada bagian latar
belakang maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
pengembangan jasa logistik di bidang perikanan yaitu :

1. Masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia


jasa logistik yang menyebabkan mahalnya biaya distribusi
komoditas perikanan;

2. Penyedia jasa logistik secara umum belum menyediakan


layanan yang sesuai dengan karakteristik produk perikanan.

Dari sisi dan penyedia jasa logistik, Indonesia masih


didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional atau
perusahaan-perusahaan nasional yang berafiliasi dengan
perusahaan perusahaan multinasional. Layanan logistik yang
ditangani terfragmentasi dalam sebaran kegiatan transportasi,
pergudangan, freight forwarding, kargo, kurir, shipping,
konsultansi,dan sebagainya, sehingga tidak ada satu perusahaan
nasional yang menguasai pasar secara dominan. Kemampuan
penyedia jasa logistik Indonesia masih terbatas baik dalam
jaringan internasional, maupun permodalan. Selain itu perijinan
Lisensi bagi LSP asing di Indonesia ada yang ditangani oleh
Kementerian Perdagangan, ada yang dari Kementerian
Perhubungan, bahkan ada yang dari Kementerian Komunikasi dan
Informatika.

3.4.2 Kebutuhan pendukung SLIN


Target mewujudkan Indonesia sebagai penghasil Produk
Perikanan terbesar 2015 memerlukan pengelolaan logistik secara
24
optimal. Kinerja logistik yang optimal akan mendukung
peningkatan nilai tambah produk perikanan, sehingga produksi
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
konsumen. Hal ini dapat terwujud apabila adanya suatu sinergi
antara seluruh komponen yang terlibat dalam setiap akitivitas dari
hulu hingga hilir. Saat ini kecenderungan perusahaan untuk
melibatkan pihak ketiga untuk membantu aktivitas supply chain.
Hal ini memicu perkembangan usaha jasa logistik yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan untuk
menggunakan jasa pihak ketiga dalam menjalankan aktivitas
logistiknya. Menurut hasil kajian industri dan perdagangan pada
sektor logistik (KPPU, 2008) diketahui bahwa perusahaan
cenderung untuk berkonsentrasi pada aktivitas inti. Bagi
perusahaan-perusahaan manufaktur seperti industri garmen,
tekstil, sepatu, elektronik, farmasi dan produk lainnya misalnya,
kegiatan pengiriman, pergudangan, dan sejenisnya bukanlah
merupakan kegiatan inti. Untuk mengurangi biaya non produksi
untuk mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah.
Diketahui bahwa biaya logistik dan distribusi bagi perusahaan bisa
mencapai 30-40% dari total biaya operasionalnya, bahkan ada
yang mencapai 70%. Besarnya biaya tersebut tergantung dari jenis
produk dan aktivitas supply chain. Dengan demikian apabila
diasumsikan penurunan biaya logistik 5% saja maka akan cukup
berarti bagi keuangan sebuah supply chain (KPPU, 2008). Hal ini
tentunya merupakan peluang bagi perusahaan jasa logistik untuk
menawarkan aktivitas-aktivitas logistik yang lebih optimal.
Penyedia Jasa Logistik dapat turut mendorong peningkatan kualitas
dan kuantitas industri perikanan yang akan meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pelaksanaan SLIN. Keberhasilan upaya
pengembangan SLIN juga bergantung pada terwujudnya iklim
usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha di bidang jasa logistik.

3.5 Sektor Kelembagaan


Secara umum keragaan kelembagaan perikanan di
Indonesia masih mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Kelembagaan pada tingkat pelaku usaha on-farm belum mampu
mendukung pemasaran;
2. Belum mampu menjembatani kepentingan produsen dan
pembeli secara seimbang;

25
3. Belum ada lembaga rujukan untuk proses transportasi dan
distribusi hasil perikanan;
4. Lembaga penanganan dan atau penyedia informasi logistic
perikanan belum mampu menyediakan data yang akurat dan riel
time, baik pasokan maupun permintaan;
5. Kelembagaan tata niaga belum mampu mendorong penyebaran
gain yang proporsional antar pelaku usaha perikanan.
Keragaman kelembagaan di atas, diakibatkan oleh adanya
permasalahan yang cukup mendasar pada aspek kelembagaan
perikanan di Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya dalam
perspektif logistik adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya penguatan kelembagaan pelaku usaha yang
ditujukan untuk penguatan pada posisi transportasi dan
distribusi;
2. Belum ada regulasi tentang tataniaga;
3. Kurangnya usaha membangun trust antar elemen dalam sistem
logistik ikan nasional (produsen, konsumen);
4. Belum adanya usaha pembinaan SDM untuk pengelolaan sistem
logistik perikanan.

Huntington mengatakan lembaga merupakan pola perilaku


yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat.
Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses
pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana
organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban dan
menurut Uphoff Lembaga merupakan sekumpulan norma dan
perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan
untuk mencapai tujuan bersama.
Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari
sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki
aturan dan norma, serta memiliki struktur. Dalam konteks
kelembagaan ada tiga kata kunci, yaitu: norma, perilaku, kondisi
dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut
dicerminkan dalam perilaku dan tindakan, baik dalam tindakan
tindakan individu, maupun dalam tindakan kolektif.
Pengembangan Kelembagaan Sistem Logistik Ikan Nasional
(SLIN) di Daerah merupakan upaya pembentukan dan penguatan
kelembagaan pengelola SLIN di daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota), kelembagaan pelaksana SLIN (khususnya
pedagang pengumpul di pusat produksi dan/atau pusat pengumpul
serta Distributor di Pusat Distribusi), dan aturan model
pengembangan kelembagaan SLIN di daerah.

26
Permasalahan yang muncul dari peserta dalam Pertemuan
Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN dan gambaran fasilitas
yang tersedia di PPI Lugu adalah :
1. Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam hal ini SKPK terkait dan
Stakeholder/pelaku usaha sangat tertarik dengan Program SLIN
yang diinisiasi oleh Kemeterian Kelautan dan Perikanan RI;
2. Infrastruktur pendukung SLIN di Kabupaten Simeulue sudah
disiapkan walaupu belum selesai 100 % dan akan terus
diupayakan, terutama lokasi PPI Lugu yang akan dijadikan titik
lokus pusat kegiatan SLIN;
3. Masih banyak kendala yang dihadapi oleh nelayan dalam
menangkap ikan, terutama masalah permodalan dan
pemasaran hasil tangkapan;
4. Nilai jual hasil tangkapan tidak sesuai dengan jerih payah
tangkapan dan modal usaha yang dikeluarkan;
5. Pada musim panen harga ikan turun drastis sedangkan musim
paceklik harga ikan mahal dan daya beli masyarakat lemah;
6. Di daerah Kabupaten Simeulue pada musim panen para nelayan
tidak berani menurunkan hasil tangkapan ke TPI karena jumlah
ikan sangat banyak dan harga jual menjadi sangat murah,
sehingga sebagian hasil tangkapan dibuang kembali ke laut;
7. Sistem tata niaga tradisional masih dikuasai oleh para
tengkulak/pemodal sedangkan para nelayan hanya mendapat
keuntungan sedikit;
8. Permasalahan sengketa wilayah tangkapan masih terjadi
disebagiah wilayah Kabupaten Simeulue dengan Kabupaten
tetangga;
9. Sistem rantai dingin belum sepenuhnya terlaksanakan oleh para
pelaku usaha;
10. Di PPI Lugu Pabrik es kapasitas 15 Ton belum mencukupi
untuk kebutuhan hasil tangkapan;
11. Di PPI Lugu cold storage (gudang beku) dengan kapasitas
80 Ton belum berfungsi;
12. Koperasi nelayan tangkap di Kabupaten Simeulue kurang
aktif;
13. Masih sulit menentukan pelaku usaha yang mampu menjadi
operator SLIN karena terkendala modal dan keahlian.

14. Untuk dapat mewujudkan implementasi SLIN di Kabupaten


Simeulue, pemerintah daerah akan melakukan kerja sama
dengan PT MADANI yang berperan sebagai operator dalam
proses tata niaga / pemasaran hasil perikanan di Kabupaten
Simeulue.

Kabupaten Simeulue hendaknya dapat mempersiapkan diri


dengan meningkatkan infrastruktur pelabuhan perikanan dalam
27
rangka penerapan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) seperti
dermaga yang representatif, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), cold
storage (gudang beku) kapasitas minimal 30 Ton untuk pelabuhan
kecil, pabrik es yang memadai dan depo-depo penyimpanan es
serta crusher penghancur es balok, cool box yang cukup, air
bersih kebutuhan tangkap ikan nelayan (sumur bor dengan bak
penampung air), docking kapal, mess karyawan, kantor pelabuhan
perikanan, tempat/gedung pelatihan/magang , SPDN, sarana jalan
dan saluran yang baik, sanitasi (terutama TPI) yang baik,
menghidupkan koperasi nelayan, tempat tambat labuh kapal/boat
nelayan, serta armada dan alat tangkap yang layak dan cukup
untuk menangkap ikan.
Perlunya penyampaian dan penyediaan informasi Sistem
Logistik Ikan Nasional (SLIN) ke Pemerintah Kabupaten Simeulue,
Dinas Kelautan dan perikanan Kabupaten Simeulue dan Instansi
terkait lainnya oleh Tim Pokja SLIN Kabupaten Simeulue agar
setiap jajaran individu di setiap instansi tersebut mengetahui dan
memahami arti pentingnya keberadaan program SLIN di
daerahnya, sehingga memberi motivasi untuk menyiapkan sarana
dan prasarana pendukung SLIN tersebut.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

28
Pelaksanaan Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di
Kabupaten Simeulue Tahun Anggaran 2016, diharapkan dalam
waktu dekat dapat terwujudnya implementasi tata kelola
kelembagaan SLIN di daerah Aceh khususnya Kabupaten Simeulue
pada akhir tahun 2016 atau di awal 2017 dan adanya jenis produksi
ikan yang dapat diekspor dari pelabuhan perikanan Kabupaten
Simeulue. Terbentuknya Tim Pokja SLIN Kabupaten Simeulue
diharapkan dapat menginisiasi/ mengusulkan dan memberi
pertimbangan kepada Pemerintah daerah Kabupaten Simeulue
terutama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue
sebagai leading sektornya dalam menetapkan operator utama dan
operator pendukung yang dapat menyediakan jasa logistik di
pelabuhan perikanan Kabupaten Simeulue.

4.2 Saran

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, sebagai langkah


konkret dari implementasi SLIN, dengan mempertimbangkan dan
memperhatikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam
penyelenggaraan sektor perikanan saat ini, antara lain:
a. Restrukturisasi dan perbaikan sistem pendataan di sektor
perikanan;
b. Penyiapan sumber daya di lingkungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang diperlukan guna mendukung implementasi dan
keberhasilan SLIN ke depan.

Pemerintah Kabupaten Simeulue melalui leading sektornya


Dinas Kelautan dan Perikanan hendaknya mulai mempersiapkan
infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang kegiatan SLIN
dengan memprioritaskan plot anggaran dalam APBK, sehingga
adanya sinergisitas dengan program Pemerintah Pusat khususnya
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui
Direktorat Jenderal Penguatan daya Saing Produk Kelautan dan
Perikanan Direktorat Sistem Logistik.

Demikian laporan hasil pelaksanaan Sosialisasi Tata Kelola


Kelembagaan SLIN di Kabupaten Simeulue Tahun Anggaran 2016 ini
dibuat semoga bermanfaat adanya dan dapat dipergunakan
seperlunya.

29
Banda Aceh, Oktober 2016
Kasie Pengawasan dan Pengendalian
Mutu Hasil,

Nova Zuhra A., SP, M.Sc


Nip. 19771106 200112 2 001

30

Anda mungkin juga menyukai