BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kondisi perkembangan produksi dan konsumi ikan, baik
provinsi Aceh maupun skala nasional, memiliki kecenderungan terus
meningkat. Produksi perikanan ta ngka p Ace h da r i Ta hun 2009 -
20 14 sebesar 2,34% per tahun dan diindikasikan adanya trend
peningkatan produksi perikanan ta ngka p sebesar 2,34% per
tahun. Kondisi positif yang lain adalah meningkatnya konsumsi ikan
(domestik) sebesar 7,35% per tahun. Hal ini mengindikasikan
ketersediaan ikan di masyarakat mengalami peningkatan.
1
alat produksi, serta informasi mulai dari pengadaan, penyimpanan,
sampai dengan distribusi, sebagai suatu kesatuan dari kebijakan
untuk meningkatkan kapasitas dan stabilisasi sistem produksi
perikanan hulu-hilir, pengendalian disparitas harga, serta untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
2
Sasarannya adalah terinformasikannya pelaksanaan SLIN dan
Metode penyusunan Tatakelola Kelembagaan SLIN di pusat produksi
dan/atau pusat pengumpul serta pusat distribusi di daerah kepada
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan stakeholder terkait.
3
2.1 Dasar Hukum
Regulasi Substansi
Penyelenggaraan kegiatan pemasaran usaha
1. UU No. 45/2009 perikanan baik di dalam negeri maupun
tentang Perikanan ke luar negeri memperhatikan kecukupan
konsumsi domestik (pasal 25);
2. UU No. 18/2012
Definisi pangan termasuk berbasis ikan;
tentang Pangan
3. UU No. 32 tahun Untuk kepentingan distribusi hasil perikanan,
2014 tentang Pemerintah mengatur sistem logistik ikan
Kelautan nasional (pasal 18);
4. Perpres No. 26/ 2012
Pengelolaan konektivitas logistik nasional
tentang Sistem
termasuk logistik komoditas;
Logistik Nasional
Definisi dan tata kelola Sistem Logistik Ikan
5. PerMen KP No. 05/
Nasional;
2014 tentang SLIN
7. DPA SKPA Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2016, Nomor:
2.05.2.05.01.23.04.5.2 Tanggal 26 Februari 2016;
8. Surat Tugas Kadis Kelautan dan Perikanan Aceh, Nomor:
094/0976/ST/2016 Tanggal 26 September 2016.
2.4 Moderator
Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di Kabupaten
Simeulue dimoderatori oleh Ketua Panitia Pelaksana (Staf Bidang
Pengawasan, Pengendalian Mutu dan SDKP) r. Masri Hasyim.
7
Ukuran PPN PPN PPN PPS Nizam-
Kapal Ambo Cirebon Pekalong Zachman
n an
<5 GT 0 0 0 0
5-10 GT 38 0 609 0
10-20 GT 52 3 116 9
20-30 GT 70 52 0 308
30-50 GT 19 16 131 79
50-100 GT 136 11 131 338
100-200 285 1 15 405
GT
200-300 0 0 0 16
GT
200-500 203 0 0 0
GT
>500 GT 25 0 0 0
Jumlah 828 83 1002 1155
armada
Tabel 2. Perkembangan jumlah armada perahu penangkan ikan (2000-2010)
Sedangkan
Sumber: Ditjen jumlah armada perikanan PPS Lampulo hingga
PT, KKP, 2010
tahun 2014 berjumlah 196 unit dengan rincian : 5-10 GT : 75 unit;
10-20 GT : 0 unit; 20-30 GT: 110 unit dan 30-50 GT : 11 unit; 50-100
GT : 0 unit; 100-200 GT : 0 unit, sumber Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh.
TAHUN
KECAMATAN
2009 2010 2011 2012 2013 2014
JUMLAH TOTAL 3,191 2,958 2,958 3,147 3,443 3,446
(unit)
Perahu tanpa Motor (unit) 1,646 1,238 1,238 1,397 1,397 1,397
Motor Tempel (unit) 1,416 1,591 1,591 1,648 1,839 1,841
Kapal Motor 129 129 129 102 102 131
< 5 GT 85 87 87 82 82 101
Ukuran 5 10 44 42 42 20 20 20
Kapal 30 50 GT - - - - 3 3
Motor 50 100 GT - - - - - -
100 200 - - - - - -
GT - - - - - -
< 200 GT
Tabel 3. . Perkembangan armada tangkap Kab. Simeulue (2009 2014)
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Simeulue
8
Gambaran mengenai alat penangkapan ikan yang digunakan
para nelayan di keempat pelabuhan perikanan (PPN Ambon, PPN
Cirebon, PPN Pekalongan dan PPS Nizam-Zachman) 2009/2010 dan
PPS Lampulo 2011/ 2014 (Sumber DKP Aceh) dapat dicermati pada
tabel berikut.
11
Sedangkan pemanfaatan lahan perikanan budidaya daerah
Aceh sampai tahun 2014 seperti ditunjukkan pada table berikut.
Jenis Luas Lahan Potensi tingkat
Budidaya Eksisting (Ha) pemanfaat
(Ha) an
Budidaya Air 50.526,9 n/a n/a
Payau
Budidaya Air 1,1 n/a n/a
Laut
Budidaya Air
Tawar:
- kolam 3.499,8 n/a n/a
- karamba 0,2 n/a n/a
- KJA 5,0 n/a n/a
- sawah 1.699,7 n/a n/a
Ditinjau dari perkembangan prasarana perbenihan yang ada saat
ini, secara nasional jumlahnya tercatat sekitar 29.380 unit. Dari
jumlah keseluruhan balai perbenihan tersebut, yang terbanyak
berupa Unit Perbenihan Rakyat (UPR) mencapai 26.000 unit, disusul
13
Rendahnya utilisasi UPI dikarenakan pasokan bahan baku
yang rendah. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
menyebutkan unit pengolahan skala besar yang sampai saat ini
masih beroperasi mencapai 658 unit, sementara industri
pengolahan ikan skala kecil tercatat 17.616 unit. Sejumlah unit
pengolahan yang tersebar di seluruh Indonesia berkapasitas
18.140,4 ton per tahun. Namun, hingga kini hanya terpakai kurang
dari 50 persen atau hanya sekitar 9.324,16 ton per tahun.
Keberadaan unit pengolahan ikan tersebut menyerap 594.300 orang
tenaga kerja yang dilibatkan di bidang industri pengolahan dan
pemasaran. Saat ini industri pengolahan tidak maksimal
menjalankan pabrik karena tidak adanya bahan baku udang untuk
diolah. Saat produksi udang turun, ia berharap pemerintah
membuka keran impor untuk kebutuhan industri pengolahan yang
berorientasi ekspor saja. Industri hilir perikanan laut Indonesia
masih terkendala pasokan bahan baku. Meski memiliki sumber daya
alam kelautan yang melimpah, Indonesia belum mampu menjamin
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. Akibatnya,
banyak perusahaan perikanan yang tutup.
Industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini membutuhkan
bahan baku 300-350 ribu ton per tahun. Dari kebutuhan itu,
produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 40%, sedangkan
60% masih impor. Industri pengalengan cakalang, misalnya,
membutuhkan bahan baku 300 ribu ton per tahun, sedangkan
pasokan dari dalam negeri hanya 120-140 ribu ton. Kapasitas
terpasang industri pengalengan sarden berkisar 150 ribu ton dan
pasokan bahan baku lokal hanya 70-100 ribu ton per tahun.
14
Jumlah Desa Jumlah Desa yang
Provinsi yang Memiliki Tidak Memiliki
Pasar Tradisional Pasar Tradisional
Nanggroe Aceh Darussalam 546 5937
Sumatera Utara 664 5133
Sumatera Barat 41 344
Riau 568 1087
Jambi 315 1057
Sumatera Selatan 526 2660
Bengkulu 182 1327
Lampung 539 1925
Kepulauan Bangka Belitung 60 301
Kepulauan Riau 71 282
DKI Jakarta 172 95
Jawa Barat 834 5071
Jawa Tengah 1987 6590
DI Yokyakarta 246 192
Jawa Timur 2066 6436
Banten 221 1314
Bali 365 351
Nusa Tenggara Barat 242 842
Nusa Tenggara Timur 398 2568
Kalimantan Barat 209 1758
Kalimantan Tengah 259 1269
Kalimantan Selatan 307 1693
Kalimantan Timur 262 1203
Sulawesi Utara 173 1520
Sulawesi Tengah 400 1415
Sulawesi Selatan 723 2259
Sulawesi Tenggara 395 1726
Gorontalo 130 601
Sulawesi Barat 152 486
Maluku 87 937
Maluku utara 94 985
Papua barat 126 1313
Papua 261 3663
Total 13621 64340
Total Desa seluruh 77.961
Indonesia
Tabel 8. Jumlah Desa yang Memiliki dan Tidak Memiliki Pasar Tradisional
Sumber: Data Potensi Desa, 2010
diperlukan penyediaan infrastruktur perikanan yang memadai
dalam upaya implementasi tata kelola Sistem Logistik Ikan Nasional.
Pada tahun 2014, produksi perikanan tangkap diperkirakan
mencapai 5,6 juta ton dan perikanan budidaya 16,9 juta ton (KKP,
2010). Apabila mengacu pada angka tersebut, maka kebutuhan
peningkatan sarana produksi ikan tangkap berupa armada
penangkapan perikanan ditunjukkan sebagai berikut.
Produsen
(Nelayan
dan Pe Kon
Pedagan
Pembudid dag sum
aya gikan) angPasar lokal
en
Pengum Pasar regional
pul Pedan pasar
ngenasional
Pedag cer
ang
Besar Peru
Peda
(Grosir saha
gang
) an
Besa Pedaga Peng
r ng olah
Loka
Instit Pengec Konsan
l
usio er ume
nal n
GambarMark
2. Saluran Pemasaran Hasil Perikanan dari Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Sumber: Effendi dan Oktariza, 2006
et
19
ekonomi yang bersifat saling membutuhkan. Para nelayan memiliki
keterbatasan modal usaha, baik untuk pengadaan input produksi
maupun untuk modal operasional. Untuk mendapatkan modal dari
lembaga keuangan formal membutuhkan banyak persyaratan dan
waktu yang lama, sehingga pada akhirnya nelayan atau
pembudidaya ikan banyak yang lebih memilih untuk meminjam
modal dari juragan darat atau pedagang pengumpul. Namun ikatan
ini tidak sebatas pinjam meminjam, tetapi disertai dengan
persyaratan untuk menjual hasil tangkapan atau hasil budidaya
kepada peminjam modal. Dalam kondisi ini kemudian penetapan
harga ikan yang dijual nelayan atau pembudidaya lebih dominan
ditetapkan oleh juragan atau pedagang pengumpul. Nelayan atau
pembudidaya tidak mempunyai pilihan untuk menjual produk hasil
tambaknya kepada pedagang lain yang memberikan harga beli lebih
tinggi, karena adanya ikatan dengan juragan atau pedagang
pengumpul. Ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen
seringkali informasi tidak diteruskan kepada nelayan atau
pembudidaya secara sempurna, dengan kata lain kenaikan yang
diterima nelayan atau pembudidaya lebih rendah daripada kenaikan
harga yang dibayar konsumen.
1
21
4 Tenaga kerja 207.479 223.040 249.768 907.685 908.138 70,74
pemasaran
Tabel 10. Jumlah SDM Sub Sektor Perikanan (2006-2010)
Sumber: KKP, 2010
22
SDM merupakan modal utama bagi suatu organisasi,
demikian halnya dengan SLIN yang memerlukan SDM yang
memiliki kompetensi untuk mendukung tercapainya visi dan misi
KKP. Setiap SDM harus memiliki kompetensi yang mampu
menghadapi perubahan atau dinamika pasar, bisnis maupun
teknologi. Untuk itu, diperlukan hard skills dan soft skills yang
keduanya saling bersinergi. Hard skills adalah istilah yang dipakai
untuk menjelaskan kompetensi-kompetensi yang terkait langsung
dengan pekerjaan, misalnya keahlian dalam membuat
perencanaan, penjadwalan. Soft skills adalah keahlian yang
menunjang hard skills tersebut. Soft skills merupakan kompetensi
yang membukus kompetensi inti yang dimiliki, misalnya
interpersonal skills, communication skills, presentation skills,
negotiation skills, dan lain-lain.
Keberhasilan SLIN memerlukan dukungan SDM yang
memiliki pemahaman dan kemampuan (knowledge dan skill) di
bidang logistik. Oleh karena itu, diperlukan SDM logistik profesional
yang diwujudkan dengan pengembangan kompetensi sumber daya
manusia untuk menciptakan profesionalisme di bidang logistik.
Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang
logistik memegang peranan penting untuk mendukung
implementasi SLIN. Untuk mendukung keberhasilan implementasi
SLIN, skill dan knowledge yang dibutuhkan dapat dikelompokkan
ke dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu: (1) bisnis, (2) logistik, dan (3)
manajerial.
23
mencapai 81,88% dari keseluruhan jumlah industri logistik di
Indonesia. Selain itu, beberapa jenis layanan lain yang bergerak
dalam bidang industri logistik adalah Contanier, Courier,
Packaging, Rail Transport, Road Transport, Storage, Tanker, dan
Warehouse. bahwa jumlah perusahaan terbesar melayani jasa
pelayaran yaitu sejumlah 1.669 perusahaan (43,83%), freight
forwarding sebesar 1.449 perusahaan (38,05%). sementara jasa
warehouse (3,83%), courier (3,28%) serta jasa layanan lainnya
yang memiliki prosentase di bawah 3%
3.4.1 Permasalahan
Berdasar uraian yang telah dikemukakan pada bagian latar
belakang maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
pengembangan jasa logistik di bidang perikanan yaitu :
25
3. Belum ada lembaga rujukan untuk proses transportasi dan
distribusi hasil perikanan;
4. Lembaga penanganan dan atau penyedia informasi logistic
perikanan belum mampu menyediakan data yang akurat dan riel
time, baik pasokan maupun permintaan;
5. Kelembagaan tata niaga belum mampu mendorong penyebaran
gain yang proporsional antar pelaku usaha perikanan.
Keragaman kelembagaan di atas, diakibatkan oleh adanya
permasalahan yang cukup mendasar pada aspek kelembagaan
perikanan di Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya dalam
perspektif logistik adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya penguatan kelembagaan pelaku usaha yang
ditujukan untuk penguatan pada posisi transportasi dan
distribusi;
2. Belum ada regulasi tentang tataniaga;
3. Kurangnya usaha membangun trust antar elemen dalam sistem
logistik ikan nasional (produsen, konsumen);
4. Belum adanya usaha pembinaan SDM untuk pengelolaan sistem
logistik perikanan.
26
Permasalahan yang muncul dari peserta dalam Pertemuan
Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN dan gambaran fasilitas
yang tersedia di PPI Lugu adalah :
1. Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam hal ini SKPK terkait dan
Stakeholder/pelaku usaha sangat tertarik dengan Program SLIN
yang diinisiasi oleh Kemeterian Kelautan dan Perikanan RI;
2. Infrastruktur pendukung SLIN di Kabupaten Simeulue sudah
disiapkan walaupu belum selesai 100 % dan akan terus
diupayakan, terutama lokasi PPI Lugu yang akan dijadikan titik
lokus pusat kegiatan SLIN;
3. Masih banyak kendala yang dihadapi oleh nelayan dalam
menangkap ikan, terutama masalah permodalan dan
pemasaran hasil tangkapan;
4. Nilai jual hasil tangkapan tidak sesuai dengan jerih payah
tangkapan dan modal usaha yang dikeluarkan;
5. Pada musim panen harga ikan turun drastis sedangkan musim
paceklik harga ikan mahal dan daya beli masyarakat lemah;
6. Di daerah Kabupaten Simeulue pada musim panen para nelayan
tidak berani menurunkan hasil tangkapan ke TPI karena jumlah
ikan sangat banyak dan harga jual menjadi sangat murah,
sehingga sebagian hasil tangkapan dibuang kembali ke laut;
7. Sistem tata niaga tradisional masih dikuasai oleh para
tengkulak/pemodal sedangkan para nelayan hanya mendapat
keuntungan sedikit;
8. Permasalahan sengketa wilayah tangkapan masih terjadi
disebagiah wilayah Kabupaten Simeulue dengan Kabupaten
tetangga;
9. Sistem rantai dingin belum sepenuhnya terlaksanakan oleh para
pelaku usaha;
10. Di PPI Lugu Pabrik es kapasitas 15 Ton belum mencukupi
untuk kebutuhan hasil tangkapan;
11. Di PPI Lugu cold storage (gudang beku) dengan kapasitas
80 Ton belum berfungsi;
12. Koperasi nelayan tangkap di Kabupaten Simeulue kurang
aktif;
13. Masih sulit menentukan pelaku usaha yang mampu menjadi
operator SLIN karena terkendala modal dan keahlian.
4.1 Kesimpulan
28
Pelaksanaan Sosialisasi Tata Kelola Kelembagaan SLIN di
Kabupaten Simeulue Tahun Anggaran 2016, diharapkan dalam
waktu dekat dapat terwujudnya implementasi tata kelola
kelembagaan SLIN di daerah Aceh khususnya Kabupaten Simeulue
pada akhir tahun 2016 atau di awal 2017 dan adanya jenis produksi
ikan yang dapat diekspor dari pelabuhan perikanan Kabupaten
Simeulue. Terbentuknya Tim Pokja SLIN Kabupaten Simeulue
diharapkan dapat menginisiasi/ mengusulkan dan memberi
pertimbangan kepada Pemerintah daerah Kabupaten Simeulue
terutama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue
sebagai leading sektornya dalam menetapkan operator utama dan
operator pendukung yang dapat menyediakan jasa logistik di
pelabuhan perikanan Kabupaten Simeulue.
4.2 Saran
29
Banda Aceh, Oktober 2016
Kasie Pengawasan dan Pengendalian
Mutu Hasil,
30