Anda di halaman 1dari 15

Askep klien dengan fraktur kompresi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN FRAKTUR KOMPRESI V Th IV Frankle A di BANGSAL


DAHLIA RS. ORTOPEDI Prof. Dr. SOEHARSO SURAKARTA
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Paraplegi adalah kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis
dibawah tingkat cervical (Sidharta, 1999).

Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya dengan
menggunakan latihan-latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau diskontinuitas
dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi fraktur kompresi adalah
diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari
tulang tersebut (Ahmad Ramali, 1987).
Fraktur kompresi adalah suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan
yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat osteoporosis.
Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan ruas tulang belakang akibat tekanan
dari tulang, mendorong ke arah robohan ruas-ruas tulang belakang yang kebanyakan seperti sebuah
spons/bunga karang yang roboh di bawah tekanan tangan seseorang. Biasanya terjadi tanpa rasa sakit
dan menyebabkan seseorang menjadi lebih pendek. Fraktur kompresi vertebra sering dihubungkan
dengan osteoporosis.

B. ETIOLOGI
Penyebab cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua yaitu akibat trauma dan non trauma. Delapan
puluh persen cedera medula spinalis disebabkan oleh trauma (contoh : jatuh, kecelakaan lalu lintas,
tekanan yang terlalu berat pada punggung) dan sisanya merupakan akibat dari patologi atraumatis
seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis (Garrison, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak langsung. Fraktur
pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera
pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula
spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi persarafan pada
otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot
abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum.
Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang
disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi.
Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
D. TANDA DAN GEJALA PARAPLEGI AKIBAT SPINAL CORD INJURY.
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada
medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi
sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami
spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam
minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal
maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak
bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung beberapa jam
bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera pada
medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat
menyebabkan matinya sel sel saraf
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana nyeri tersebut
merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami
gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami anaesthes, karena
terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat kerusakan medula
spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury
selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan
mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia.

Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan
rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara
reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan
rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan
volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar
secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua
semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja.
Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
d. Gangguan fungsi seksual
Gangguan seksual pada pria
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera. Seluruh
bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual
tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.
Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal,
tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi
psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi,
cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder
sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung
seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam
hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan locomotor dan aktivitas otot secara volunter.
Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang
memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley, 1984).
Gangguan seksual pada wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau tidak komplit.
Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus
menstruasinya akan kembali normal.
Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ genitalnya
dan gangguan untuk fungsi seksualnya.
Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan lahir normal
atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi secara normal untuk cidera
diatas level Th6, kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada
Th6 dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet Th6, Th7, Th8
perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai proses kehamilan.
e. Autonomic desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus dari bladder, bowel
atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus tanggap terhadap tanda-tanda
terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2)
naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing atau sakit kepala.
Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari reflek ini jika tidak cepat
ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak, bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh
spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering muncul pada kasus paraplegi adalah antara lain :
a. Chest complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari penurunan seluruh dan
pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan abdominal saat pernafasan supinasi.
Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses
okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas
pernafasan vital dan fungsional. Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio vertilasi /perfusi di
daerah yang kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika
terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris juga terganggu
maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang tergantung, sehingga menimbulkan
atelektasis dan pneumonia hipostatik (Garrison, 1995)
b. Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru
Pasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai dengan adanya
pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering ditemukan oleh fisioterapis
ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau kedua anggota gerak bawah. Jika DVT
positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi stabil
kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka perlu diperhatikan terjadinya emboli yang biasanya terjadi
pada hari ke 10 40 (Bromley, 1991).
c.Pressure sore
Pressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan yang menyebabkan
iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti sacrum, iscium,
trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia, hipoalbuminemia dan kelumpuhan merupakan
faktor-faktor pedukung (Garrison, 1995).
d. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat dari hilangnya
fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya kontraktur merupakan salah satu
kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada hasil akhir fungsional dan rehabilitasi
(Garrison, 1995)
e. Osteoporosis dan fraktur
Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi oleh rangsangan
dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi paraplegi karena adanya
kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga berpotensi timbulnya osteoporisis dan bila
berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang. Osteoporosis dapat menyebabkan fraktur kompresi
pada corpus vertebra dan tulang panjang penumpu berat badan hanya dengan trauma kecil serta
mempermudah pasien untuk mengalami fraktur panggul (Garrison, 1995).
f. Heterotopic ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak, biasanya terjadi pada
sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga empat bulan setelah cedera dan
lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya tidak jelas. (Garrison, 1995).
g. Neuropathic atau spinal cord pain
Kerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan disekitarnya dapat menyebabkan
neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa nyeri tajam teriris dan menjalar sepanjang perjalanan
saraf tepinya bahkan mungkin terjadi pada phantom limb pain (Garrison, 1995).
h. Syringomyelia
Syringomyelia merupakan pembesaran kanalis centralis dari medula spinalis pasca trauma, terjadi pada
satu hingga tiga persen pasien spinal cord injury. Resikonya adalah gangguan fungsi diatas level cedera.
(Bromley,1991).

F. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal cord injuri dan
prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita), segi quo ad sanam
(mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad fungsionam
(ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-
ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah
jelek (dubia ad malam). Secara garis besar prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah
jelek karena medula spinalis merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan
akan terjadi kecacatan yang permanen.(Garrison,1995)

TRAUMA MEDULA SPINALIS


PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya
fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater
bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan
darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan
tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau
dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa ,
pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat
ketinggian dan kecelakaan olah raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh
terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagalginjal,pneumoni/decubitus.
II. PENYEBAB DAN BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah
servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang
belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan
pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia
disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena
tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan
apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan
oleh tekanan, memar, atau oedema.
III. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
whiplash/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal;
pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau
pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama
pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio,
laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena
tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan
dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang
berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak
tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga
tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna
vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan
abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami
jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang
terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis
atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang,
maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler
terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan
miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
IV. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan
meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari
tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang
belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama
1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya
fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah
shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom,
berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung
kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan
disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak
terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera
didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak
dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul
barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban
jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese
parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan
fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
V. PERAWATAN DAN PENGOBATAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi
ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan
tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas
dan sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk dan
tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.perawatn
ditujukan pada pencegahan :
Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri
telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan
ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan
sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya
maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia),
maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh
kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total
dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika
Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada
pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka
kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka
kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian
lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi.
Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa
perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla
spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul cedera medulla spinalis
dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini tentang pengertian cidera medulla spinalis,
etiologi,patofosiologi, tanda dan gejala,penanganan kegawatdaruratan.dan asuhan keperawatan cedera
medulla spinalis.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada cedera medulla spinalis
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengidentifikasi pengertian cedera medulla spinalis
b. Mampu mengerti tentang penyebab dan tanda cedera medulla spinalis
c. Mampu memberikan penanganan awal pada pasien cedera medulla spinalis
d. Mampu memberikan asuhan keperawatan dengan benar.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Pembahasan yang terdiri dari konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan
BAB III : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR
I. ANATOMI FISIOLOGI
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang
berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-
masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
(Gambar 1:Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis)
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang.
Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang
membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk
daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas
kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter
yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat
kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah
torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin
dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas
kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil
menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta
mempertahankan tegak. (lihat gambar A1)
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai
penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan
fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap
goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan
demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul
berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang
kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
(Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 62)
(Gambar 2:ensephalon dan sumsum tulang belakang (Latin: medulla spinalis).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur kearah kaudal
melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula
spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter
yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum
tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura
anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-
plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax
membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang : a. Mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix
pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls
menuju karnu anterior medula spinalis.
4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls
tersebut melalui serabut sarag motorik.
5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan
lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot
abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
2. PENGERTIAN
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan
sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh
kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata
penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,
sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
3. ETIOLOGI
Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan otomobil, industri
b. terjatuh, olah-raga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor.
4. PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai
kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai
transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau
daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-
serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla
spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Kerusakan medula spinalis
Hemoragi
Serabut- serabut membengkak/hancur
Sirkulasi darah terganggu
Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi L1 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
5. MANIFESTASI KLINIS
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas
(Diane C. Baughman, 200 : 87)
6. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan
traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai
adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 340)
7. KOMPLIKASI
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi
8. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan
bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala
dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini
disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala dan
leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi
kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran
sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais
ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin dan
pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam
pertama setelah cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan
diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang
pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau
tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan
pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien
dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak
benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras
padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.
b. Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk
mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan
pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
Tindakan Respiratori
1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila
diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal
yang tinggi.
Reduksi dan Fraksi skeletal
1) Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma
vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik
tong /capiller skeletal atau halo vest.
3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila :
1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3) Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla.
(Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)
9. PENCEGAHAN
Faktor faktor resiko dominan untuk cedera medula spinalis meliputi usia dan jenis kelamin. Frekuensi
dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan cedera medula spinalisbertindak untuk
menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini , langkah-
langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5) Mengajarkan penggunaan air yang aman.
6) Mencegah jatuh.
7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan.
Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya dengan
tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian kedaruratan rumah sakit untuk
menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medula spinalis.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1). Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi
jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat
dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas.
2). Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat,
bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
3). Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna
serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik
4). Disability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
5). Exprosure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple
head injury bila tanpa deficit neurology
a) Dilakukan rawat luka
b) Pemeriksaan radiology
c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera
bawa ke rumah sakit
b. Pengkajian Skunder
1). Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot
(trauma dan adanya kompresi saraf).
2). Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3). Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah
/hematemesis.
4). Integritas Ego
5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
6). Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
7). Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
8). Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam.
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma
spinal.
9). Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
10). Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11). Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
12). Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen
dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi
3. Perencanaan dan Implementasi
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas,
pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa
nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.
4. Intervensi
a. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan napas bersih,
respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 >
80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 7,45
Rencana Tindakan
1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan
batuk.
2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4). Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5). Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6). Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
b. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop,
meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
3). Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang
tertekan.
Rencana Tindakan
1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan
memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
d. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi, keadaan
urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan
1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2). Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3). Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam
pengeluaran urine
4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ..
5). Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
e. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
1). kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2). Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3). Berikan minum 1800 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5). Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7). Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
f. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk
mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
kebutuhan individu.
Rencana tindakan
1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe
nyeri, intensitas pada skala 0 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau kemungkinan
sakit kepala dari alat stabilizer
2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin sesuai
indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan
kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan
koping
4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik;
antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan
meningkatkan istrirahat.
5. Evalusi
a. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
b. Klien dapat memperbaiki mobilitas
c. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
d. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
e. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
f. Klien menyatakan rasa nyaman
(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 93)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu
:kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk, tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau
daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-
serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla
spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher
harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan
diatas papan pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan cedera medula spinalis berbeda
penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan
keperawatan dapat menyebabkan cedera semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian.
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga kesehatannya terutama
pada bagian tulang belakang agar cedera medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi ,
mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
http://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
Smeltzer,Suzanna C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai