OLEH :
Kelompok III(Kelas B)
Anggota :
MAKASSAR
2009
Menelusuri Sejarah Perawat Pada Zaman Nabi Muhammad
RUFAIDA Al aslamiya atau dikenal juga dengan Rufaida binti Safad bani
Aslam, adalah Perawat muslim yang pertama kali pada Zaman Nabi
Muhammad SAW sebelum periode keperawatan Florence Nightingale
(perawat era modern).
Etika perawat yang Islami adalah karakter atau sifat perawat terhadap
orang lain termasuk klien/pasien di rumah sakit, dimana seseorang perawat
bertindak seperti halnya perawat yang professional dengan berlandaskan
sifat/sikap yang Islami.
Perawatan dapat dideskripsikan sebagai suatu tindakan, kebajikan
pengaruh, suatu prinsip etis atau suatu cara hidup di dunia. Perawatan
sebagai etik tidak hanya dipandang sebagai suatu revolusi dilemma etik,
tetapi juga sebagai cara bagaimana seseorang saling bertingkah laku. Etik
perawat dihubungkan dengan hubungan antar masyarakat dan dengan
karakter serta sikap perawat terhadap orang lain, dan tidak kalah pentingnya
adalah perlakuan perawat yang harus bisa berlandaskan dengan ajaran dan
syariat islam.
Seorang perawat professional akan memiliki perasaan empati pada
orang lain. Perawat harus bias memahami situasi yang dialami orang lain
dan mencoba sebanyak mungkin memahami kehidupan dan pengalaman
orang lain. Pemberi perawatan professional akan mampu melakukan
perubahan pada diri sendiri dan terutama pada orang lain apalagi bila semua
tindakan perawatan berlandaskan pada kode etik dan ajaran islam.
Masalah yang timbul dalam dunia kesehatan terutama pada perawat
yang melakukan tindakan medis dalam merawat orang lain adalah karena
tidak memiliki landasan akhlak yang diajarkan. Sehingga menimbulkan
kesalan besar pada persepsi mayarakat tentangnya. Tanpa kode etik dan
dasar moral, perawatan dapat dengan mudah terkikis di lingkungan yang
menekankan penyembuhan tehnis dan tidak melihat seseorang dalam
konteks nilai dan kehidupan tertentu.
Terdapat beberapa kode untuk perawat professional yang semuanya
merefleksikan autonomi (penentuan nasib diri oleh klien), kemurahan hati
dengan bertindak baik, nonmaleficiency (penghindaran dari bahaya),
keadilan dimaksudkan dengan memperlakukan semua secara adil, serta
prinsip sekunder dari kejujuran dengan berbicara sejujurnya berdasarkan
kebenaran yang ada, dan kesetiaan memegang janji dan tidak
menyebarluaskan kerahasiaan klien sebagai penghormatan pada klien.
Semua ini pun berkaitan erat dengan ajaran islam yang selalu
memerintahkan setiap manusia untuk hidup saling menghargai dan
menolong dengan yang lainnya dalam keadaan membutuhkan pertolongan.
tolong menolonglah kamu dalam kebajikan, janganlah kamu tolong
menolong dalam kejahatan
Dan ayat yang menyebutkan: Barang siapa menyelamatkan satu nyawa,
maka seolah-olah ia telah menyelamatkan umat manusia seluruhnya QS
Al-Maidah,5:32 ,
ETIKA KEPERAWATAN
A. Latar Belakang
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-
prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan
untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi
termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan
tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982).
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk
yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan
tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak &
Gallo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada
bioetik sebagaimana tercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan
kode etik profesi keperawatan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah
menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang
sebagian besar belum teratasi ( catalano, 1991).
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk
yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan
tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal
tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara
etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional
4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan
masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan
Eutanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos"
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah
dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga
saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak
diperbolehkan
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian
tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh
pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia
otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada
dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September
2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan
eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk
menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah
Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan
orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya
dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania
Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari
sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek
kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British
Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam
bentuk apapun juga
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa menghilangkan nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan
359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku
di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa
pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo
Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan
tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga
saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar
hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP
Eutanasia menuruit pandangan agama
1. Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh
dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah
kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh
dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga
Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan
Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan
sekarat). "Euthanasia itu kan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin
mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan
dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk
meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita tidak
diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf
Amin di Jakarta, Jumat (22/10).
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut
fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau
menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan,
euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia
menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan
karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia
mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat
secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. "Hak untuk mematikan
seseorang ada pada Allah SWT," ujarnya menambahkan.
Ketua komisi fatwa MUI itu mengatakan, MUI akan menjelaskan dan
mengeluarkan fatwa pelarangan euthanasia tersebut, apabila Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat atau institusi lainnya menanyakan kepada MUI. Dia
menjelaskan, kasus permohonan euthanasia memang belum pernah terjadi
di Indonesia, tetapi MUI telah menetapkan fatwa pelarangan tersebut setelah
melakukan diskusi dan pembahasan tentang permasalahan euthanasia yang
terjadi di luar negeri.
2. Kristen
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia
dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan
penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan
hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia
dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan
atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan
menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun
bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut
BAB III
TINJAUAN KASUS
Illustrasi kasus
Seorang wanita berusia 40 tahun menderita tumor dia menolak untuk di
obati di karenakan biaya yang kurang mencukupi, namun dia pernah
mendatangi puskesmas terdekat untuk berobat dan konsultasi untuk
menyelamatkan hidup nya, maka di perlukan suatu operasi dengan segera.
Tetapi dia tetap saja menolak untuk dioperasi dengan alas an tidak adanya
biaya, tidak inggin orang lain (anak-anak nya) susah akan keberadaannya
seperti itu dan membiarkan tumor itu menjadi besar hingga ia meninggal.
Anak-anak nya pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menghargai
keputusan ibunya walaupun dengan berat hati. Begitu pula suaminya dia
bekerja hanya sebagai kuli yang hanya cukup untuk keperluan sehari-hari
saja.
BAB IV
PEMBAHASAN
Syukron Katsiroh