Anda di halaman 1dari 18

MAC 302 BLOK TRAKTUS URINARIUS

CBL 2

Kelompok CBL 6, Ruangan L608:

Stefani Luziani (2014-060-143)

Patricia Kristina (2014-060-144)

Shechink Josephine (2014-060-146)

Gianina Mihardjo (2014-060-147)

Michelle Defandi (2014-060-148)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

2017
PERTEMUAN PERTAMA

Skenario

Tn. M, 53 tahun, dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena nyeri kepala hebat dan
penglihatan terasa kabur sejak 6 jam yang lalu. Selama 1 hari ini Tn. M sudah merasakan
nyeri di bagian belakang kepala. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.

Anamnesis

Identitas

Tn. M, laki-laki, usia 53 tahun, bekerja sebagai Direktur Keuangan.

Keluhan utama

Nyeri kepala hebat dan penglihatan kabur sejak 6 jam yang lalu dan semakin berat.
Nyeri kepala sejak 1 hari yang lalu dan menjalar ke pelipis dan dahi, rasanya seperti
di ikat.

Keluhan tambahan

Penglihatan kabur sejak 6 jam lalu, tidak ada mual, buang air kecil normal.

Riwayat penyakit sebelumnya

Tn. M menderita hipertensi yang tidak terkontrol sejak 1 tahun lalu.

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : sakit berat


Kesadaran : somnolen
TTV :
- Suhu tubuh : 36,2oC
- Tekanan darah : 210/130 mmHg
- Laju pernapasan : 25 x/menit
- Denyut nadi : 108 x/menit, regular, teraba kuat
- IMT : 23,5 kg/m2

Pemeriksaan kepala dan leher


- Funduskopi : KWD Grade 4 (flame hemorrhage, cotton wool spot,
papilloedema, hard exudates)

- JVP : 5 + 2 cmH2O
Pemeriksaan paru
- dalam batas normal
Pemeriksaan jantung
- iktus kordis tidak teraba, terletak di mid clavicularis sinistra, batas jantung normal,
auskultasi normal
Pemeriksaan abdomen
- dalam batas normal
Pemeriksaan ekstremitas :
- Refleks fisiologis + / +
- Refleks patologis - / -

Pemeriksaan Penunjang

Hb : 14,2 g/dL Urinalisis : Kreatinin 0,9 mg/dL


Ht : 44% GDS : 142 mg/dL
Leukosit : 11.200 /L Ro Thorax : tidak ada kardiomegali,
Trombosit : 376.000 /L tidak ada edema paru
CBC : 1/2/5/69/20/3
PERTEMUAN KEDUA

A. Tahap penegakkan diagnosis kasus


Untuk menegakkan diagnosis Hipertensi Emergensi dengan Hipertensi Ensefalopati,
diperlukan ruling out dari diagnosis-diagnosis banding. Untuk itu, kami melakukan beberapa
ruling out terhadap beberapa diagnosis yang sebanding dengan retinopati hipertensi dengan
berbagai data anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa poin-poin penjelasan sebagai berikut:

Tn. M, 53 tahun, dibawake Unit GawatDarurat (UGD) karena nyeri kepala hebat dan
penglihatan terasa kabur sejak 6 jam yang lalu.

Penjelasan:
Nyeri kepala adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah kepala dengan batas bawah dagu
sampai belakang kepala. Berdasarkan penyebabnya, nyeri kepala dapat dibagi menjadi nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak
jelas kelainan anatomi atau kelainan stukturnya, sementara nyeri kepala sekunder adalah
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan.
Selama 1 hari ini Tn. M sudah merasakan nyeri di bagian belakang kepala.
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
Dengan data scenario tersebut, kami mengambil beberapa diagnosis banding
yang berhubungan dengan nyeri kepala dan penglihatan kabur, yaitu:
- Idiopathic Intracranial Hypertension
- Aneurysma
- Glaukoma
- Retinopati diabetik
- Migrain
- Retinopati hipertensi (Hypertensive Retinopathy)
Hipertensi Emergensi dengan Ensefalopati Hipertensi
Dari data anamnesis tambahan yang ditanyakan pada pertemuan pertama CBL, maka
dapat disingkirkan berbagai differential diagnosis dengan alasan sebagai berikut:
Diagnosis Banding Alasan Penyingkiran
Idiopathic Intracranial Pada pasien, hipertensi terjadi di seluruh tubuh. Pada Idiopathic
Hypertension Intracranial Hypertension, hipertensi hanya terjadi di intracranial.
Aneurisma Pasien dengan aneurisma akan mengalami gejala yang dapat menjadi
peringatan akan kemungkinan pecahnya aneurisma, antara lain nyeri
kepala disertai mual dan muntah, leher kaku, kelumpuhan sebelah
anggota gerak yang menyerupai gejala stroke, dan nyeri pada
wajah.Sedangkan pada kasus, pasien tidak mengalami mual, muntah,
tidak ada leher kaku, dan tidak merasakan nyeri pada wajah melainkan
pada kepala bagian belakang.
Glaukoma Pasien tidak mengalami tanda glaukoma, seperti melihat lingkaran
cahaya di sekitar lampu, mual, muntah, adanya kemerahan di mata.
Untuk glaukoma, biasanya nyeri dirasakan di daerah sekitar mata
sedangkan pada kasus pasien nyeri pada kepala bagian belakang.
Retinopati diabetik Tidak ada riwayat diabetes pada pasien.
Migrain Nyeri kepala yang dirasakan pasien ada pada bagian belakang kepala
saja. Sedangkan pada migrain, nyeri kepala terasa berdenyut yang
umumnya hanya mengenai sebelah sisi kepala saja.
Anamnesis:
Anamnesis yang memperkuat diagnosis yaitu pasien memiliki riwayat hipertensisejak
1 tahun yang lalu dan memiliki riwayat penyakit keluarga yaitu ayah pasien memiliki
hipertensi. Penglihatan yang kabur sejak 6 jam sebelumnya mengindikasikan bahwa penyakit
ini memiliki onset akut, sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding seperti keganasan
yang memiliki onset lebih lama. Pasien datang dengan keadaan somnolen.

Pemeriksaan Fisik:
Data pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis yaitu tekanan darah mencapai
210/130 mmHg, hal ini menandakan hipertensi telah berada pada stage-2. Data ini penting
mengingat retinopati hipertensi adalah penyakit yang disebabkan oleh kerusakan pada retina
sebagai akibat tekanan darah tinggi. Kerusakan pada retina ini yang pada akhirnya membuat
penglihatan pasien menjadi kabur.

Pemeriksaan Penunjang

Hb : 14,2 g/dL CBC : 1/2/5/69/20/3


Ht : 44% Urinalisis : Kreatinin 0,9 mg/dL
Leukosit : 11.200 /L GDS : 142 mg/dL
Trombosit : 376.000 /L
Interpretasi pemeriksaan:
Semua kadar dalambatas normal, kecuali pada pemeriksaan leukosit tampak sedikit
meningkat. Nilai normal untuk leukosit adalah 4.000-10.000sel/L.

- Rontgen paru - Funduskopi


Tidak ada kardiomegali dan edema paru.

Berikut ini adalah klasifikasi retinopati hipertensi menurut Keith-Wagener-Barker:


Hasil dari funduskopi menggambarkan adanya flame haemorrhages, hard exudates,
cotton wool spots, dan papilloedema. Menurut klasifikasi dari Keith-Wagener-Barker, hal ini
mengindikasikan bahwa retinopati hipertensi telah berada pada grade 4.
Pasien sedang dalam keadaan hipertensi emergensi, karena tekanan darah sangat
tinggi yaitu melebihi 180/120 mmHg yang berhubungan dengan kerusakan pada end-organ,
termasuk sistem saraf, kardiovaskular atau ginjal. Dalam kasus ini terjadi kerusakan end-
organ berupa organ mata. Pasien juga datang dalam keadaan somnolen, serta retinopati
hipertensi grade 4, kenaikan tekanan dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala
yang sangat, dan perubahan kesadaran. Keadaan ini mengindikasikan terjadinya hipertensi
ensefalopati. Sehingga diagnosis kerja kelompok kami adalah Hipertensi Emergensi dengan
Hipertensi Ensefalopati.

Diagnosis Kerja : Hipertensi Emergensi dengan Hipertensi Ensefalopati


Hipertensi
B. Patogenesis
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu :

1. Teori Over Autoregulation


Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi
aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan
menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan
mikro infark.
2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation
Bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark
dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole.
Overautoregulation Odema otak
Spasme Arteriole

CBF
TD naik Hipertensi Petekhias
Mendadak Ensefalopati Hemorhage

CBF Mikro infark

Break Through
Autoregulation Nekrosis Vaskuler

Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila
Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan pada penderita
hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia,
autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan
yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema
otak.

Hipertensi emergensi disebabkan oleh hipertensi yang sudah lama dan tidak
terkontrol, sehingga menyebabkan kerusakan pada end organ seperti jantung, ginjal, saraf,
dan mata. Kerusakan pada end organ saraf dapat menyebabkan keadaan infark serebral
ataupun enselofati. Tekanan darah arteri dipengaruhi oleh cardiac output dan resistensi
perifer, dimana cardiac output sendiri dipengaruhi oleh stroke volume dan denyut jantung.
Resistensi perifer dipengaruhi oleh perubahan diameter lumen pada arteri arteri kecil.

Salah satu ion yang berperan pada kenaikan tekanan darah adalah sodium yang biasa
berada di ekstraseluler namun ketika ginjal tidak adekuat dala mengeksresi sodium dapat
meningkatkan volume intravaskular dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Sodium
juga dapat memicu beberapa reaksi dari neural maupun hormonal untuk meningkatkan
tekanan darah. Peningkatan tekanan darah juga dipengaruhi oleh sistem saraf otonom
terutama pada receptor 1, 1, dan 2. Aktivasi reseptor 1 meningkatkan reabsorpsi sodium di
tubulus ginjal yang dapat meningkatkan tekanan darah. Aktivasi reseptor 1 meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan menignkatkan cardiac output sehingga tekanan darah juga
naik. Sedangkan aktivasi reseptor 2 dapat menurunkan tekanan darah dengan cara
menginduksi vasodilatasi pembuluh darah.

Salah satu sistem yang berpengaruh terhadap tekanan darah adalah sistem renin-
angiontensin-aldosteron (RAAS) yang berperan melalui angiotensin yang menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah dan aldosterone yang menyebabkan peningkatan retensi
sodium dan keduanya dapat meningkatkan tekanan darah. Resistensi perifer yang tinggi
meningkatkan tekanan darah, pada diameter lumen pembuluh darah yang mengecil, resistesi
perifer akan meningkat.

Pada pasien penderita penyakit hipertensi, pembuluh darah mereka mengalami


remodeling menjadi tidak elastis dan lumennya mengecil dan tidak bisa membesar sehingga
resistensi perifer meningkat. Akibat dari tekanan darah yang meningkat, terjadi spasme pada
pembuluh pembuluh kecil di otak yang menyebabkan aliran darah ke otak berkurang dan
dapat menyebabkan enselofati.

C. Tatalaksana
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera
diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :

Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
Anamnesa singkat dan pemeriksaan fisik.
o tentukan penyebab krisis hipertensi
o singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
o tentukan adanya kerusakan organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,
cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia
pasien.
penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama,
kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan
TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi


Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi
tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi
emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan
intensive care unit, (ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

a. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous.


Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg /
menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
b. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan
dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration
of action 3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus IV. Efek samping : sakit
kepala, mual, muntah, hipotensi.
c. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.
Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12
jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit
sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah,
distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.
d. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam,
i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10
40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular. Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
e. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60
menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
f. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama
untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secar i.v
bolus atau i.m. Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.
g. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem
simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1
5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia
urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.
h. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg
secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10
menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,
bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration
of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi
lebih sering dijumpai.
i. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60
menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam,
gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa
takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
j. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan
dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi
dosis. Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau
beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit
pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten


intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai,
injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang
long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan
yang tepat bagi pasien di ICU.

Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara
komersil di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna clonidone
untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika bentuk injeksi
clonidine tidak tersedia.

Van Der Hem menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien yang tidak
respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 1,05 mg dalam 500 ml Dekstrose
dan disis dititrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang minimal.
Penelitian lain di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau
300 mg dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek
samping maksimum dalam 30-60 menit.

Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine
pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam
1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit
dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang
diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan
obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan
penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan.

Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam
dan respons yang baik pada 90,5% kasus.

Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut kering,
mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral ataupun stroke, obat ini
akan memperberat gejala.

*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi :

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
sebaiknya dihindari adalah sbb :

1. Hipertensi ensenpalopati :
- Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
- Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
- Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol
- Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
- Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol,.
- Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
- Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan
loopdiuretuk.
- Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Edem paru akut :
- Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
- Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labeta Lol.
6. Aorta disseksi :
- Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist,
labetalol.
- Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
- Anjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, sodium nitroprusside.
- Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
- Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
- Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
- Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca antagonist.
- Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
- Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
- Hindarkan : B-antagonist.

Dari berbagai sediaan obat antu hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat. Alternatif
obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan bolus
intravena.

Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi tertentu.


Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan secara
intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya
memberikan harapan yang baik.

Obat Oral untuk Hipertensi Emergensi :

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.

Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan dengan
pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa 4
dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat, sedang dengan clonidine
yang diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.

Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek akut obat
oral anti hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60 penderita. Efek akut
nifedipine dalam waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan clonidine dalam waktu 5-35
menit. Dari hasil ini diharapkan kemungkinan penggunaan obat oral anti hipertensi untuk
krisis hipertensi.

Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan
captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah
menit ke 20. Captoprial dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam Menurunkan
TD.

Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual
kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat
tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila penurunan TD
diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila TD diastolik mencapai
<120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan
organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons
bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan
sign dari organ sasaran.

D. Kriteria Rujukan
4. Kapan kasus serupa ini perlu dikaji lebih lanjut dan perlu dirujuk ke dokter spesialis?

Pasien dengan hipertensi diatas 180/120 mmHg darn terbukti terdapat kerusakan
organ target perlu dirawat di rumah sakit.
Pasien dengan akselerasi hipertensi (tekanan darah diatas 180/120 mmHg) dengan
papilledema atau perdarahan retina dapat dirujuk ke dokter spesialis dalam hari yang
sama.
Pada pasien yang tidak turun tekanan darahnya setelah diberikan antihipertensi dapat
dirujuk ke dokter spesialis.
Pasien dengan tanda-tanda hipertensi sekunder dapat dirujuk ke dokter spesialis untuk
di evaluasi lebih lanjut.
Berdasarkan grade hipertensi retinopati oleh Keith-Wagener-Barker: Grade I dan II
dapat ditangani oleh dokter umum untuk mengurangi risiko kardiovaskular termasuk
gaya hidup dan memionitoring tekanan darah. Grade III dan IV dapat dirujuk ke
dokter spesialis mata untuk evaluasi dan terapi hipertensi retinopati sedang dan berat
dan komplikasi vaskular retina.
Pasien dengan komplikasi vascular retina perlu dirujuk. Komplikasi dapat berupa:
oklusi arteri dan vena retinal dan AION (anterior ischaemic optic neuropathy). Oklusi
kurang dari 12 jam pada arteri sentral retina harus dirujuk dalam waktu 24 jam ke
dokter spesialis mata. Oklusi pada vena sentral retinal dengan peningkatan tekanan
intraocular harus dirujuk.
Adanya tanda retinal yang sedang, dokter spesialis mata dapat merujuk untuk evaluasi
jantung dan risiko cerebrovaskular. Tanda retinal berupa perdarahan retina,
mikroaneurisma, cottonwool spot, dan eksudat. Insiden stroke meningkat dengan
adanya tanda retinal.
DAFTAR PUSAKA

1. Hypertension and the Eye. Royal Collage for General Practitioner. Available from:
https://www.rnib.org.uk/sites/default/files/Hypertension%20and%20the%20eye
%20factsheet%20%282%29_1.pdf
2. A Grosso, F Veglio, M Porta, F M Grignolo,T Y Wong. Hypertensive Retinopathy
Revisited: Some Answers, More Questions. 2005. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1772998/
3. Edwards KH. Optometry: Science, Techniques and Clinical Management. Elsevier
Health Sciences. 2009.
4. Ophthalmologic Manifestations of Hypertension: Acute and Chronic Changes to the
Eyes, Assessment, Treatment & Management. 2017 Jan 7 [cited 2017 Jan 25];
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1201779-overview?
pa=Sy8aaIYI6XdpdJvxTmYq8uaxLKvYYZNXPwy7L1DTE9dInMEORzPqCFKbH
M%2FRbR7KXvA3RcIaFn3Kr8h89qgJJCsFovC7sre62KO%2Fim3hebs%3D#a3
5. Hypertension Management of Hypertension in Adults in Primary Care. NICE. 2011.
Avaiable from: https://www.nice.org.uk/guidance/qs28/chapter/quality-statement-6-
referral-to-a-specialist-for-people-with-resistant-hypertension

6. Management of Patients with Hypertensive Crises [Internet]. [cited 2017 Jan 25].
Available from:
http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/magistr/classes_stud/English/Second
%20year/Emergency%20Care/Management%20of%20Patients%20with
%20Hypertensive%20Crises.htm
7. Retinal Physician - Current Concepts In Hypertensive Retinopathy [Internet]. Retinal
Physician. [cited 2017 Jan 25]. Available from:
http://www.retinalphysician.com/issues/2013/nov-dec/current-concepts-in-
hypertensive-retinopathy
8. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digit [Internet]. 2004
[cited 2017 Jan 26]; Available from:
http://www.academia.edu/download/34581305/fisiologi-abdul_majid.pdf
9. Medscape | Pathophysiology of Hypertension [Internet]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1937383-overview
10. Anthony S. Fauci, 2015. Harrisons Internal Medicine, 19th Edition, USA, McGraw
Hill.

Anda mungkin juga menyukai