Abstract
Post Dural Puncture Headache is one of the most common complications associated with
epidural and spinal anesthesia. Despite advances in equipment and regional anesthetic
techniques, post dural puncture headache remains a persistent problem. In many cases,
the headache is mild in intensity and brief in duration, without significant sequelae.
However, this is not always the case. Post dural puncture headache is occasionally
severe enough to leave patient bedridden and often delay hospital discharge.1
Abstrak
Post dural puncture headache adalah salah satu komplikasi yang paling umum terjadi
pada anestesi spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan dalam peralatan
dan teknik regional anestesi, post dural puncture headache masih menjadi masalah yang
menetap. Pada berbagai kasus, sakit kepala ini memiliki intensitas yang sedang dengan
durasi yang singkat. Namun yang terjadi tidak selalu seperti itu. Sakit kepala yang
dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien harus beristirahat di tempat tidur dan
memperpanjang masa rawat di rumah sakit.1
1
PENDAHULUAN
Post dural puncture headache (PDPH) adalah sakit kepala yang terjadi akibat adanya
kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat tembusan jarum
anestesi. Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural.1
Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama menyebutkan
bahwa kebocoran yang kontinyu dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya
cairan dari kompartmen intrakranial. Karena cairan serebrospinal berfungsi sebagai
"bantalan" dari otak, maka pengurangan cairan ini menyebabkan posisi dari otak jatuh
sehingga menyebabkan tarikan pada meningen yang sensitif terhadap nyeri. Nyeri ini
menjalar sepanjang nervus trigeminus ke daerah frontal. Juga melalui nervus vagus dan
glossopharyngeal ke daerah occipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi
tegak.
Naulty et al membagi PDPH menjadi dua fase. Yang pertama adalah PDPH yang relatif
ringan. Biasanya timbul 36-48 jam setelah anestesi. Fase kedua, atau yang disebut juga
sebagai PDPH klasik, timbul 3-4 hari setelah anestesi, dengan nyeri kepala berat yang
tidak bisa hilang dengan analgesik. Sedangkan Lybecker et al membagi PDPH menjadi
ringan, moderat dan berat.3
2
2. Moderat PDPH
Sakit kepala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dengan signifikan. Pasien
menghabiskan sebagian besar waktu di tempat tidur.
Dapat ditemukan gejala yang berhubungan dengan PDPH
3. Severe PDPH
Sakit kepala yang sangat berat. Pasien tidak dapat beraktivitas.
Ada gejala yang berhubungan dengan PDPH.
Gejala yang berhubungan dengan PDPH
Gejala vestibular : mual, muntah, vertigo
Gejala cochlear : hilang pendengaran, hiperakusis, tinitus
Gejala okular : fotofobia, diplopia, kesulitan akomodasi
Gejala muskuloskeletal : kaku di area leher, nyeri skapular
Dilaporkan berbagai faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PDPH. Diantara
faktor resiko tersebut, ditemukan adanya hubungan antara onset dari sakit kepala dengan
ukuran jarum, usia, gender, kehamilan serta bentuk dari ujung jarum.1,2
Duramater terdiri dari kolagen dan fibrosit. Serat-seratnya berjalan longitudinal. Saat
jarum menembus dura, ukuran dari defek yang dihasilkan tergantung dari jumlah serat
elastin yang terpotong, juga kemampuan dari serat tersebut untuk bergerak ke arah
berlawanan, membentuk lubang berbentuk bulan sabit (flap). Semakin besar ukuran
jarum yang digunakan, makin banyak serat-serat dari duramater yang terpotong. Pada
usia lanjut, duramater memiliki viskoelastisitas yang lebih rendah dengan lebih banyak
jaringan ikat. Pasien dengan usia muda memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena PDPH
karena duramaternya yang masih elastis maka lebih mudah terjadi robekan yang lebih
besar dibandingkan pada duramater yang elastisitasnya rendah.
Biasanya PDPH bersifat self-limiting. Apabila tidak diterapi, PDPH akan hilang dalam
seminggu sampai enam minggu setelah gejala muncul. Penatalaksanaan yang dilakukan
bertujuan untuk meringankan gejala yang dirasakan, sampai robekan di duramater
3
sembuh. Atau setidaknya, sampai robekannya menutup sehingga gejala yang dirasakan
pasien dapat ditoleransi.
Sedangkan terapi agresif yang digunakan adalah epidural blood patch. Yaitu
menyuntikan 15 – 20 mL darah ke dalam ruang epidural. Diharapkan volume darah akan
menyebar di dalam ruang epidural sehingga mampu menutup lubang yang disebabkan
oleh tusukan jarum epidural di duramater sehingga dapat mencegah terjadinya kebocoran
lebih lanjut dari cairan serebrospinal.2,3
KASUS
Identitas Pasien
4
Anamnesa
Sejak 1 minggu yang lalu keluar darah dari jalan lahir dan 2 hari yang lalu keluar darah
bergumpal. Kemudian pasien datang ke RSUD Semarang untuk memeriksakan diri ke
poli kebidanan dan disarankan untuk melakukan kuretase.
Dua tahun yang lalu pasien pernah melakukan operasi kuretase dengan anestesi spinal.
Dua hari setelah menjalani operasi, pasien merasakan nyeri kepala yang teramat sangat.
Pasien menggambarkan nyeri terasa seperti kepalanya dipukul dan disertai dengan mual
serta nyeri di daerah leher. Pasien merasa nyeri kepala bertambah bila pasien dalam
posisi tegak. Selama nyeri dirasakan, pasien hanya melakukan tirah baring dan minum
obat analgesi, yang tidak banyak membantu. Nyeri kepala yang dirasakan mengganggu
kegiatan sehari-hari dan berlangsung selama kurang lebih satu minggu.
Karena sakit kepala yang pernah dirasakan, maka untuk operasi ini pasien menolak untuk
kembali dilakukan anestesi spinal. Sehingga anestesi general yang dijadikan pilihan.
Pemeriksaan Preoperasi
5
Nadi : 72 x/ menit
Laju nafas : 18 x/ menit
Suhu tubuh : 36,50C
Subjektif : Keluar darah dari jalan lahir.
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-)
Sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret (-), Deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Gigi-geligi goyang (-)
Ukuran dan pergerakan lidah normal
Leher : Kelenjar tiroid tidak tampak membesar,
Kelenjar getah bening leher tidak teraba
Trakea di tengah
Faring : Tonsil tidak membesar, tidak hiperemis
Perkiraan jalan nafas: Mallampati I
Paru-paru : dalam batas normal
Batuk (-), Sesak (-)
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : Bising usus (+) normal, perkusi : timpani
Punggung : deformitas (-)
memar/ infeksi (-)
Ekstremitas : edema (-)
clubbing (-)
sianosis (-)
Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan darah rutin:
Hb : 15,2 g% (N: 12-15 g/dl)
Ht : 49,3 % (N: 35-47 %)
Leukosit : 8050 /mm3 (N: 4-11 ribu /mm3)
Trombosit : 181.000 /mm3 (N: 150-400 ribu/mm3)
6
CT : 1 menit 15 detik
BT : 8 menit 10 detik
Status Anestesia
18 Juli 2010
Preoperasi
7
- Intubasi, respirasi kontrol dengan ventilator
- Maintanance dengan O2 , N2O , Sevoflurane
Durante Operasi
Operasi dimulai : pk. 11.10
Keadaan umum : baik
Monitoring Tanda vital (/15 menit)
Tekanan darah : 100/70 mmHg – 130/85 mmHg
Nadi : 80-110x /menit
Saturasi O2 : 98%-100%
Maintenance dengan O2 sebanyak 3 L/menit
N2O sebanyak 3 L/menit
Sevoflurane 0,8 L/menit
Pemberian cairan perioperatif pada jam I untuk pasien dengan berat badan 50 kg = 660cc
Cairan yang masuk : RL 500 cc
Cairan yang keluar : perdarahan 30 ml, urine (-)
Operasi selesai : pk. 11.25
Lama operasi : 15 menit
Anestesi selesai : pk. 11.40
Lama anestesi : 30 menit
Postoperasi
- Pasien dirawat di Recovery Room sebelum dipindahkan kembali ke bangsal
- Selama berada di Recovery Room tekanan darah, jumlah denyut nadi, dan saturasi
O2 harus selalu dimonitor. Pasien juga diberi O2 3 liter per menit lewat nasal kanul
untuk mempertahankan saturasi O2 tetap berkisar antara 99-100%
- Bila Alderete Score ≥ 8 tanpa nilai 0, pasien boleh dipindahkan ke ruangan
- Bila pasien sadar penuh, tidak mual dan muntah, serta telah terdengar bising usus
maka pasien boleh makan dan minum sedikit-sedikit
- Tensi, nadi, dan pernafasan harus tetap diawasi setiap setengah jam
8
- Bila pasien merasa mual dan atau muntah, dapat diberi antiemetik
Metoklopramide 5 mg i.v.
- Bila pasien merasa kesakitan, dapat diberi analgetik Ketorolac 30 mg IV tiap 8
jam
- Program cairan: berikan infus Ringer Laktat 20 tetes per menit
PEMBAHASAN
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 1
minggu yang lalu dan 2 hari yang lalu keluar darah bergumpal.
Pada premedikasi diberikan Ondansentron 4 mg sebagai antiemetik, midazolam
(dormicum) sebagai anti anxietas karena mempunyai efek sedasi dan induksi tidur,
amnesia retrogade, antikonvulsan. Sulfas Atropin sebagai antikolinergik yang
mempunyai efek mengurangi hipersekresi, antiemetik, mencegah bradikardi.
Obat induksi yang digunakan adalah Propofol 130 mg karena propofol relatif
aman dan bekerja cepat, efek yang didapat dalam waktu 30 detik. Selain itu digunakan
pelumpuh otot non-depolarisai Ecron (Vecuronium Bromide) 5 mg. Ecron bekerja dalam
waktu 3-5 menit dan durasi kerja obat selama 20-45 menit. Sehingga apabila operasinya
lama, maka Ecron dapat diberikan ulang dengan dosis rumatan 25% dosis awal.
Untuk maintenance diberikan O2 dan N2O dengan perbandingan 50% : 50% vol.
dan ditambah dengan Sevoflurane 8 vol %. Pemberian N2O ditujukan untuk mendapatkan
efek analgesik. Sedangkan pemberian sevoflurane untuk mendapatkan efek anestetiknya.
Selama operasi, monitoring terhadap tanda-tanda vital sangat penting. Apabila
didapat hipotensi, bradikardi, bisa dikarenakan konsentrasi gas anestetik terlalu besar.
Konsentrasinya dapat dikurangi untuk mendapatkan tensi yang normal. Begitu juga
apabila terjadi lonjakan tensi, dan takikardi, dapat dikarenakan kurangnya konsentrasi gas
anestesi. Konsentrasinya dapat dibesarkan agar tensi bisa turun ke batas normal.
Dalam operasi kuretase ini diperlukan pemberian cairan. Kebutuhan cairan untuk
pasien dengan berat badan 55 kg:
- Maintenance : 2cc/kgBB/jam
2cc/kgBB/jam X 55kg = 110cc/jam
9
- Defisit Puasa : lama puasa (jam) x Maintanance
6 x 110 cc = 660cc
( 330cc diberikan pada jam I,
165 ml masing-masing pada jam II dan III)
- Stress operasi : 4 ml/kgBB/jam (operasi kecil)
: 4 x 55 x 1 = 220 ml /jam
Postoperasi
KESIMPULAN
Postdural puncture headache merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada
anestesi spinal maupun epidural. Hal disebabkan karena adanya robekan pada duramater
yang dapat menyebabkan kebocoran dari cairan serebrospinal. Berbagai faktor dapat
10
mempengaruhi terjadinya PDPH, tetapi ukuran jarum dan bentuk dari ujung jarum
memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya PDPH.
Penting untuk mengetahui mengenai patofisiologi, pencegahan dan penatalaksanaan dari
PDPH karena sakit kepala yang dirasakan oleh pasien post anestesi epidural sangat
mengganggu, sehingga dapat menyebabkan trauma.
Daftar Pustaka
1. Bready LL, Dilman D, Noorily SH. Decision Making in Anesthesiology: an
Algorithmic Approach. India. Elsevier Publisher. 2007. 602-05
2. Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. Springer Science. Canada.
2007. 177-80
3. Dureja. Regional Anaesthesia And Pain Management: Current Perspectives.
Elsevier. India. 2007. 163-64.
11