FOSFORESENSI
Fosfor ialah zat yang dapat berpendar karena mengalami fosforesens (pendaran yang
terjadi walaupun sumber pengeksitasinya telah disingkirkan). Fosfor berupa berbagai jenis
senyawa logam transisi atau senyawa tanah langka seperti zink sulfida (ZnS) yang ditambah
tembaga atau perak, dan zink silikat (Zn2SiO4)yang dicampur dengan mangan. Kegunaan
fosfor yang paling umum ialah pada ragaan tabung sinar katoda (CRT) dan lampu pendar,
sementara fosfor dapat ditemukan pula pada berbagai jenis mainan yang dapat berpendar
dalam gelap (glow in the dark). Fosfor pada tabung sinar katoda mulai dibakukan pada
sekitar Perang Dunia II dan diberi lambang huruf "P" yang diikuti dengan sebuah angka.
Sebenarnya zat fosfor / fluoresens itu berpendar sepanjang terkena terhadap
gelombang cahaya (misalnya: cahaya matahari). Namun, cahaya yang dihasikan dari hasil
eksitasi elektron dari zat fosfor kalah terang dari cahaya (matahari), sehingga zat tersebut
tidak terlihat sedang berpendar/memancarkan cahaya. Hal inilah yang menyebabkan fosfor
terlihat berpendar pada ruang gelap atau pada malam hari.
Phosphorescent pigments - comparison ZnS vs. aluminate
Ditinjau dari ilmu kimia, suatu zat bisa menyala dalam gelap diawali dari akibat
adanya eksitasi elektron yang terjadi di dalam zat tersebut karena menerima energi dari luar
(seperti terkena gelombang cahaya), kemudian saat elektronnya kembali ke orbital dasarnya,
terjadi pelepasan energinya kembali (emisi) dalam bentuk gelombang yang tampak berupa
cahaya/pendar.
Proses yang terjadi pada zat yang dapat menyala dalam gelap dimulai eksitasi elektron
yang melibatkan dua orbital dengan tingkat energi berbeda. Pada saat elektron tereksitasi,
elektron berpindah dari orbital berenergi lebih rendah ke orbital yang berenergi lebih tinggi,
yang merupakan reaksi yang non-spontan (dibutuhkan sejumlah energi aktivasi untuk
menyebabkan sebuah elektron tereksitasi, misalnya terkenanya gelombang
cahaya/elektromagnetik dengan energi sejumlah x kJ). Tereksitasinya elektron ini
menyebabkan keadaan tidak stabil, sehingga menyebabkan elektron cenderung kembali ke
keadaan orbital dasar elektron tersebut. Pada saat elektron yang tereksitasi kembali ke orbital
asalnya (yang memiliki energi lebih rendah), energi sejumlah x kJ dilepaskan kembali. Energi
yang dilepaskan ini berada dalam bentuk gelombang, yang panjang gelombangnya berada di
range visible/tampak (10 nm 103 nm), sehingga terlihat menyala di dalam gelap.
Fosforesensi (P) adalah proses suatu molekul melangsungkan suatu transisi
(emisi) dari tingkat triplet ke tingkat dasar.
Pada peristiwa fosforesensi, pancaran cahayanya berakhir beberapa saat setelah proses
eksitasi pada bahan berakhir. Bahan yang mampu memperlihatkan gejala ini disebut fosfor.
Ada kalanya proses fosforesensi baru terjadi jika suatu bahan mendapatkan pemanasan dari
luar. Peristiwa luminesensi dengan bantuan panas dari luar ini
disebuttermoluminesensi. Pancaran cahaya termoluminesensi (TL) didefinisikan sebagai
pancaran cahaya dari benda padat dengan struktur kristal sebagai akibat proses eksitasi yang
disebabkan oleh radiasi pengion. Fenomena TL dapat terjadi karena adanya kerusakan kisi-
kisi pada kristal. Zat padat dengan struktur kristal memiliki berbagai macam kerusakan kisi-
kisi di dalamnya. Beberapa kerusakan kisi-kisi itu disebabkan antara lain oleh hilangnya
atom-atom atau ion-ion dari bahan, struktur bidang kristal yang terputus atau adanya bahan-
bahan asing (pengotor) yang terdapat dalam kristal [5]. Pada pita di sekitar terjadinya
kerusakan kisi-kisi tersebut sering kali terbentuk pusat-pusat muatan listrik yang dapat
menarik muatan listrik tak sejenis lainnya. Oleh sebab itu, jika elektron bergerak memasuki
daerah kerusakan dimana terdapat pusat muatan positif, maka elektron akan tertarik oleh
pusat muatan tersebut. Sebaliknya, ion positif dapat tertarik memasuki daerah kerusakan kisi-
kisi dimana terdapat pusat muatan negatif. Jika pusat-pusat muatan yang terbentuk cukup
kuat, maka pusat muatan itu mampu mengikat ion yang tertarik padanya [5]. Pusat-pusat
muatan yang cukup kuat ini disebut sebagai perangkap, sedang kemampuan perangkap dalam
mengikat ion disebut kedalaman perangkap. Tingkat kedalaman perangkap tersebut
bergantung pada jenis kerusakan kisi-kisi yang terjadi. Setiap jenis zat padat dapat memiliki
berbagai macam perangkap, masing-masing dengan kedalaman yang berbeda. Jika suatu
kristal dicangkoki (doping) dengan bahan pengotor yang sesuai, maka dapat diperoleh kristal
dengan satu jenis perangkap.
Fenomena termoluminesensi saat ini banyak diterapkan dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, antara lain untuk mendapatkan informasi mengenai dosis radiasi yang
sebelumnya diterima oleh bahan. Dalam hal ini bahan itu berperan sebagai dosimeter radiasi.
Prinsip dasar dalam pemanfaatan fenomena TL untuk dosimeter radiasi ini adalah bahwa
akumulasi dosis radiasi yang diterima bahan akan sebanding dengan intensitas pancaran TL
dari bahan tersebut.
Bahan yang mampu memperlihatkan fenomena TL mencapai lebih dari 2000 jenis
mineral alam, mulai dari bahan Kristal dan gelas anorganik, barang tembikar dan batu api
yang digunakan untuk penanggalan arkheologi, sampai dengan bahan-bahan organik yang
berpendar pada temperatur rendah. Namun hanya ada delapan senyawa organik yang
umumnya dimanfaatkan fenomena TL -nya karena memiliki karakteristik sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam dosimetri radiasi.
Selain digunakan sebagai dosimeter radiasi, fenomena fosforesensi digunakan pada
lampu pendar. Lampu pendar adalah salah satu jenis lampu lucutan gas yang menggunakan
daya listrik untuk mengeksitasi uap raksa. Uap raksa yang tereksitasi itu menghasilkan
gelombang cahaya ultraungu yang pada gilirannya menyebabkan lapisan fosfor berpendar
dan menghasilkan cahaya kasatmata. Lampu pendar mampu menghasilkan cahaya secara
lebih efisien daripada lampu pijar.
Lampu pendar dikenal dalam dua bentuk utama. Yang pertama berbentuk tabung
panjang atau yang umum dikenal dengan lampu TL (tubular lamp) atau lampu neon dan yang
kedua berukuran lebih kecil dengan tabung ditekuk menyerupai spiral, umum disebut dengan
sebutan lampu hemat energi (LHE).
Metode fluoresensi dan fosforesensi melibatkan penyerapan radiasi dan pengemisian
radiasi yang umumnya lebih panjang gelombangnya atau lebih rendah energinya. Energi
radiasi yang tidak teremisikan dalam bentuk radiasi kemudian diubah menjadi energi termal.
Fluorosensi maupun fosforesensi berkaitan dengan perubahan energi vibrasi. Perbedaan
antara kedua fenomena tersebut ialah dalam selang waktu antara penyerapan dan emisi. Pada
fosforesensi, emisi terjadi pada waktu sekitar 10-3 detik setelah penyerapan sementara
fluorosensi lebih cepat terjadi yaitu dalam waktu 10-6 10-9 detik setelah penyerapan.
FLUORESENSI
Fluor adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang F dan
nomor atom 9. Namanya berasal dari bahasa Latin fluere, berarti "mengalir". Dia merupakan
gas halogen univalen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif secara kimia dan
elektronegatif dari seluruh unsur. Dalam bentuk murninya, dia sangat berbahaya, dapat
menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit.
Fluoresensi adalah pendaran sinar pada saat suatu zat dikenai cahaya. Hal ini karena
sifat butir Kristal suatu zat jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung
memancarkan cahayanya sendiri dan berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan.
Contoh rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi.
Fluorensensi berarti juga kelihatan bersinar bila kena sinar. Definisi fluoresensi adalah
pendaran sinar pada saat suatu zat dikenai cahaya. Hal ini karena sifat butir Kristal suatu zat
jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung memancarkan cahayanya sendiri dan
berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan. Contoh rambu-rambu lalu lintas,
beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Fluorensensi berarti juga kelihatan
bersinar bila kena sinar.
Fluoresensi dapat juga dikatakan sebagai emisi cahaya oleh suatuzat yang telah
menyerap cahaya atau radiasi elektromagnetik denganperbedaan panjang gelombang.
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah
tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi
cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang
tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-
eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom
tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi
berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama,
sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik.
Fluoresensi dapat juga dikatakan sebagai emisi cahaya oleh suatu zat yang telah
menyerap cahaya atau radiasielektromagnetik lain dari panjang gelombang yang berbeda.
Dalam beberapa kasus, emisicahaya memiliki panjang gelombang yang lebih panjang, oleh
karena itu energinya lebihrendah, dibandingkan dengan radiasi yang diserap. Namun, ketika
radiasi elektromagnetik yang diserap sangat ketat, sangat mungkin bagi satu electron untuk
menyerap dua foton, penyerapan dua foton ini dapat mengakibatkan emisi radiasi memiliki
panjang gelombangyang lebih pendek daripada serapan radiasi. Contoh yang paling
mengesankan darifluoresensi muncul ketika radiasi diserap di wilayah spektrum ultraviolet,
dan ini tidak tampak, dan emisi cahaya ada di wilayah tampak (visibel). Fluoresensi memiliki
aplikasi praktis, termasuk dalam mineralogi, gemologi, sensor kimia(Fluoresensi
spektroskopi), pelabelan neon, pewarna, detektor biologis, dan yang paling umum lampu
neon.
Prinsip Fluoresensi
1. Proses Absorpsi
Proses absorbs yang mengarah ke fluoresensi biasanya mencakup suatu transisi elektronik
-* dalam suatu molekul organik. Proses tersebut ditunjukkan dalam diagram tingkat
enenrgi. Tingkat tingkat rotasi ditiadakan dari dalam diagram ini; dalam fase-fase mampat
seperti larutan yang biasa kita gunakan, tingkat-tingkat ini teroles-habis oleh molekul-
molekul di sekitarnya dan bagaimanapun mereka tidak akan dipisah-pisahkan oleh
kebanyakan instrument dalam kasus tertentu. Radiasi yang diserap oleh molekul ditandai
dengan hvex; dalam proses ini, yang agaknya berlangsung tak lebih lama dari 10 -15 detik,
sebuah elektronik dinaikkan dari keadaan elektronik dasar ke suatu keadaan tereksitasi. Pada
temperatur kamar, molekul yang tak-terperturbasi (tak-terganggu) akan berada dalam keadaan
elektronik dasar semua, dandi sini tingkat vibrasi terendah sejauh itu akan paling banyak
dihuni. Meskipun demikian, transisi dapat terjadi ke berbagai tingkat vibrasi dari keadaan
elektronik tereksitasi, tergantung pada energi yang eksak dari foton-foton yang diserap.
Eksitasi juga dapat menaruh molekul dalam keadaan elektronik yang lebih tinggi lagi.
Kadang-kadang tingkat vibrasi terendah dari keadaan elektronik tereksitasi tertinggi dan
tingkat vibrasi tertinggi dari keadaan elektronik tereksitasi-pertamaenerginya sepadan.
Molekul-molekul dalam keadaan elektronik yang lebih tinggi, setelah pengenduran ke tingkat
vibrasi terendah, kemudian dapat pindah ketingkat vibrasi berenergi sama dari keadaan
elktronik tereksitasi-pertama, suatu proses yang disebut konversi dalam, kemudian
mengendur ketingkat vibrasi terendah dari keadaan elektronik tereksitasi pertama sebelum
pancaran berpendar.
3. Pengaruh Saringan-Dalam
Konsentrasi berbanding terbalik dengan fluoresensi. Pada konsentrasi tinggi, distribusi
radiasi pengeksitasi tidak terserap secara merata. Pada lapisan pertama larutan dapat
menyerap cukup banyak sehingga lapisan-lapisan yang lebih dalam tak dapat dieksitasi
secara penuh, artinya daya sinar pengeksitasi P0, akan berkurang cukup banyak melintasi
lebar sel tersebut. Hal ini disebabkan oleh efek saringan dalam yang kemungkinan hanya
menyerap sinar radiasi lebih dari 5 atau 10%.
4. Pemadaman
Ada sejumlah molekul yang merupakan pemadam yang sangat efektif yang dapat
mempengaruhi analisis fluorometri. Secara singkat dapat ditulis sebagai berikut:
5. Kepekaan
Suatu sifat yang menonjol dari analisis fluoresensi adalah tingginya kepekaan
dibandingkan dengan teknik lazim lainnya misalnya pada spektrofotometri. Misalnya, sebuah
spektrofotometri dapat mendeteksi suatu sampel dengan nilai absorbansinya adalah 0,0001,
maka untuk senyawa dengan nilai sebesar 10-5 dalam sel 1 cm. Tentukan batas deteksinya!
Namun, sinar yang dihasilkan kurang baik karena batas deteksi dari spektrofotometri
adalah 10-6 M. Sedangkan batas deteksi fluoresensi biasanya berorde 10-9 M, dengan teknik
deteksi pada tingkat tinggi yang hamper mendekati 10-12 M. Sehingga dapat dikatakan bahwa
fluoresensi seribu kali lebih peka daripada spektrofotometri, tergantung dari senyawa apa
yang digunakan dan instrument mana yang digunakan.
Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S 1 dalam waktu
yang sangat singkat sekitar 10-1ns, kemudian atom tersebut akan melepaskan sejumlah energi
sebesar hf yang berupa cahaya. Karenanya energy atom semakin lama semakin berkurang
dan akan kembali menuju ke tingkat energi dasar S0 untuk mencapai keadaan suhu yang
setimbang (thermally equilibrium). Emisi fluoresensi dalam bentuk spektrum yang lebar
terjadi akibat perpindahan tingkat energi S1 menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda-
beda yang menunjukan tingkat keadaan energi dasar vibrasi atom 0, 1, dan 2 berdasarkan
prinsip Frank-Condon. Apabila intersystem crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke
S0 yaitu saat di S1 terjadi konversi spin ke triplet state yang pertama (T1), maka transisi dari
T1 ke S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan energi emisi cahaya sebesar hP dalam
selang waktu kurang lebih 1s sampai dengan 1s. Proses ini menghasilkan energi emisi
cahaya yang relatif lebih rendah dengan panjang gelombang yang lebih panjang
dibandingkan dengan fluoresensi (Gambar 2.2.ab).
Beberapa kondisi fisis yang mempengaruhi fluoresensi pada molekul antara lain
polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis ikatan
hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Kondisi-kondisi fisis tersebut
mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya eksitasi. Hal ini berpengaruh pada proses de-
eksitasi molekul sehingga menghasilkan karakteristik intensitas dan spektrum emisi
fluoresensi yang berbeda-beda.
Intensitas fluoresensi adalah jumlah foton yang diemisikan per unit waktu (s) per unit
volume larutan (l) dalam mol atau ekivalensinya dalam Einstein, dimana 1 Einstein = 1 foton
mol. Intensitas fluoresensi dalam unit volume larutan (medium) yang tereksitasi terjadi dalam
selang waktu transisi (lifetime). Intensitas fluoresensi tersebut merupakan hasil emisi de-
eksitasi sehingga lifetime pada S1 akan berpengaruh terhadap besarnya intensitas fluoresensi.
Pada gambar 2.3, kSr adalah konstanta kecepatan radiasi S1 S0(transisi dari S1 ke
S0) , kTnr adalah konstanta kecepatan non radiasi T1 S0 (transisi dari T1 ke S0) yang terjadi
setelah proses internal crossing system S1 T1, kSic adalah konstanta kecepatan
proses internal conversion (bersifat non radiatif) dari S1 S0 yang terjadi setelah transisi
S2 S1, dan kTr adalah konstanta kecepatan radiatif transisi T1 S0 yang terjadi setelah
proses internal crossing system S1 T1.
Proses fluoresensi dapat terjadi pada partikel dalam suatu medium. Hal tersebut
terjadi akibat respon terhadap cahaya eksitasi dari elemen-elemen penyusunnya (kumpulan-
kumpulan molekul atau atom yang relatif homogen) dengan mengasumsikan bahwa dimensi
partikel sangat tipis sehingga proses absorbsi terhadap cahaya eksitasi tidak mengalami
hambatan atau gangguan [14- 16]. Pada saat cahaya eksitasi I0 datang menuju medium
(dimensi lxl) yang berisi partikel-partikel, cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh partikel-
partikel sebesar IA dan sebagian diteruskan (tanpa absorbsi) sebesar IT (persamaan 2.13).
Cahaya yang diabsorbsi selanjutnya dikonversi menjadi emisi cahaya fluoresensi (IF) oleh
faktor efisiensi kuantum F (persamaan 2.12).
Hubungan antara intensitas fluoresensi dan absorbansi suatu partikel akibat eksitasi
dari suatu sumber cahaya dinyatakan dengan menggunakan hukum Beer-Lambert. Intensitas
cahaya eksitasi yang ditransmisikan oleh sejumlah konsentrasi partikel Nsebesar IT(E) pada
luasan medium a dan sepanjang arah rambat cahaya eksitasi ldituliskan sebagai berikut:
Pemakaian Fluorometer
Tehnik ini mempunyai berbagai aplikasi dalam ilmu kesehatan, cabang forensik dan ilme
lingkungan, selain pada analisis anorganik dan organik. Obat-obat seperti quinin, misalnya
dapat dianalisis sampai sejumlah nanogram. LSD yaitu asam lysergik dietil amida dapat
dianalisis dari sampel darah atau urin secara fluorometer. Panjang gelombang eksitasinya dan
pendar fluornya masing-masing 335 dan 435 nm. Metabolit tidak menggangu pengukuran.
Demikian juga polusi udara dari bahan-bahan karsinogen berupa berupa hidrocarbon
aromatik bercincin aromatik ganda seperti 3-4 benzopirena yang berasal dari pembakaran
tidak sempurna bahan bakar minyak, kendaraan serta pada peristiwa merokok dapat dianalisis
secara fluorometer. Analisis dilakukan pada panjang gelombang 545-548 nm dalam medium
asam sulfat dengan panjang gelombang eksitasi 520 nm dan panjang gelombang pendar-fluor
pada 545 nm. Hasil yang reprodusibel diperoleh pada -190OC. Satu batang rokok
mengandung 10 mg benzopirena dan dapat ditentukan dengan akurasi sampai konsentrasi
sekitar nanogram.
Demikian juga analisis anorganik logam seperti Al, Be, Ca, Cd, Cu, Ga, Ge, Hg, Mg, Nb,
Sb, Se, Sn, Ta, Th, W, Zn dan Zr, dapat dilakukan secara fluorometer. Reagen-reagen seperti
8-hidroksi kuinolin; 2,2-dihidroksi azobenzen, dibenzoil metana, flavonol, bezoin, dan
alizarin dapat digunakan sebaai ligan pengompleks.
Penentuan sejumlah besar zat-zat spesifik seperti riboflavin, thiamin hidroclorida dan
vitamin-vitamin yang tepat dan cepat adalah pengukuran intensitas pendar-fluor. Berbagai
materi anorganik juga menimbulkan pendar-fluor dalam larutan air atau dengan reagen
organik, misalkan urananium terkompleks dengan NaF menimbulkan pendar-fluor, sehingga
dapat ditentukan secara fluorometer. Demikian juga Zn, U, W, Mo menimbulkan pendar-fluor
pada kompleksi. Al, Ga, Zn, Mg juga menunjukkan fenomena ini jika dikomplekskan dengan
8-hidroksikuinolin pada tingkat runut. Kompleks Al, Be dengan morin menunjukkan pendar-
fluor juga. Kompleks kuinalizarin dengan logam-logam seperti Th ternyata menimbulkan
pendar-fluor. Intensitas pendar-fluornya dapat dengan mudah diukur dengan unsur tersebut
dapat ditentukan secara kuantitatif.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan selama analisis dengan cara ini. Materi-materi
dari tumbuhan dan hewan karena juga menunjukkan pendar-fluor, hars disingkirkan sebelum
pengukuran. Untuk mengoreksi pendar-fluor tersebut, biasanya intensitas total pendar-fluor
didestruksi, setelah itu pendar-fluor larutan sekali lagi diukur dan perbedaan antara kedua
pembacaan merupakan pendar-fluor akibat kompleks bahan ligan. Pendar-fluor juga
dipengaruhi oleh pH, dan ini dimanfaatkan untuk indikator pH, seperti erythrosin B (pH 2,5 -
4,0), fluoresen (pH 4,6), asam kromatropik (pH 3 4,5), asam o-komarik (pH 7,2 - 9,0),
napthol AS (pH 8,2 10,3). Temperatur berpengaruh juga terhadap pendar-fluor.