Anda di halaman 1dari 237

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND


ALTERNATIVE COMMUNICATION (AAC)
TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI
DAN DEPRESI PASIEN STROKE DENGAN
AFASIA MOTORIK DI RSUD
GARUT, TASIKMALAYA DAN
BANJAR

TESIS

AMILA
0906505086

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


PASCA SARJANA ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND


ALTERNATIVE COMMUNICATION (AAC)
TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI
DAN DEPRESI PASIEN STROKE DENGAN
AFASIA MOTORIK DI RSUD
GARUT, TASIKMALAYA DAN
BANJAR

TESIS

AMILA
0906505086

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


PASCA SARJANA ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2012
]
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya


sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang

dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Amila

NPM : 0906505086

Tanda Tangan :

Tanggal : 20 Januari 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
tahap akademik pada program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan
Medikal Communication
judul Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative Bedah dengan AC)
(A
gan
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Den
Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan han
Banjar. ima
Dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta ara
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkanang
ter kasih yang tidak terhingga kepada : lam
1. Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc selaku pembimbing utama
y telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan sayaelah
da penyusunan tesis ini; lam
2. Ibu Tuti Herawati, S.Kp., MN selaku pembimbing pendamping yang t
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya da tan
penyusunan tesis ini;
3. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmujana
Keperaw
Universitas Indonesia;
an
4. Ibu Astuti Yuni Nursasi, MN selaku Ketua Program Studi
Pascasar lalu

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;


6. Seluruh sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan
tesis ini.

Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran serta kritik demi


perbaikan tesis ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan
pelayanan keperawatan.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.

Depok, 20 Januari 2012

Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Amila
NPM : 0906505086
Program Studi : Pasca Sarjana Ilmu
keperawatan Peminatan : Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas : Ilmu
Keperawatan
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative Communication (AAC)
Terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar.
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti
Noneklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan


sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 20 Januari 2012
Yang menyatakan

( Amila)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Amila
Program : Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Studi Universitas Indonesia
Judul : Pengaruh Pemberian Augmentative and Augmentative and
Alternative Comunication (AAC) terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke
dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan
Banjar

Afasia motorik adalah kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan


kemauan menjadi simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam bedan
ekspresi verbal dan tulisan. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya pengntuk
pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsionalaruh
komuni dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik. Desainkasi
penelitian y digunakan adalah quasi experiment dengan pendekatan post testang
non equiva control group pada 21 responden yang terbagi menjadi 11lent
orang kelom kontrol dan 10 orang kelompok intervensi. Hasil penelitianpok
menunjukkan t terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kemampuanidak
fungsional komuni antara kelompok kontrol dengan intervensi dengan nilai pkasi
> 0.05 (p = 0.542 p = 0 05 , tetapi terdapat perbedaan yang bermaknaada
. )depresi an kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p< 0.05 (tara
rata-rata
p = 0 022 pada = 0 . .05).
Berdasarkan gambaran hasil penelitian ini, maka pemberian komunikasigan
den ntuk
AAC dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan uroke
memfasilitasi komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien
st dengan afasia motorik.

oca,
Kata kunci : Augmentative and alternative communication, stroke, afasia
Br
afasia motorik, depresi

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


ABSTRACT

Name : Amila
Study Program : Post Graduate Nursing Faculty of Nursing University of
Indonesia
Title : The Influence of Conducting Augmentative and Alternative
Communication (AAC) to the Communication
Functional Ability and Depression for Stroke Patients with
Motor Aphasia in Garut, Tasikmalaya and Banjar Hospital

Motor aphasia is difficulty in coordinating the thoughts, feelings and into


desires meaningful symbols and understand in form of verbal expression and The
writing. purpose of this study was to know the influence of conducting n by
communicatio AAC to the communication functional ability and depressionents
for stroke pati with motor aphasia. The study design used is quasi hing
experiment by approac post test non equivalent control group for 21 e of
respondents consist of 11 peopl control group and 10 people of the t no
intervention group. The results showed tha significant difference in the the
tr l communication
average r i t r functional
ti r ability
it between
l con. o ( g oup. and tn e ven.05),
on g oup w h p va ues > 0 05 p = 0 542 a = 0 but there were significant ntrol
i t r between
differences ti r the it . ( of co. and nt e ven. on). g oup w the
averagel depression
h p va ues < 0 05 p = 0 022 a = 0 05 Based on results of study, the sing
giving of communication by AAC could be one of the nur intervention for the
facilitating communication that will decrease depression to stroke patient
with motor aphasia.
cas
Key words : Augmentative and alternative communication, stroke,
Bro aphasia, motor aphasia, depression
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PERNYATAAN ORISINALITAS .. iii
KATA PENGANTAR .. ivi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS. vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT . viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL ........................ xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SKEMA ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah .. 13
1.3 Tujuan Penelitian .... 14
1.4 Manfaat Penelitian .. 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Stroke ... 16
2.2 Konsep Afasia ... 29
2.3 Komunikasi Pasien Afasia 39
2.4 Konsep AAC . 42
2.5 Konsep Depresi Pada Afasia . 52
2.6 Asuhan Keperawatan Pada Afasia ... 61
2.7 Kerangka Teori .. 70

BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian . 71
3.2 Hipotesis Penelitian ... 73
3.3 Definisi Operasional .. 74

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian ... 77
4.2 Populasi dan Sampel . 78
4.3 Teknik Pengambilan Sampel . 82
4.4 Tempat Penelitian .. 83
4.5 Waktu Penelitian ... 83
4.6 Etika Penelitian . 83
4.7 I nformed consent .. 85
4.8 Alat Pengumpul Data 85
4.9 Prosedur Pengumpulan Data . 92
4.10 Pengolahan dan Analisis Data .. 105

BAB 5 HASIL PENELITIAN


5.1 Hasil Analisis Univariat 110
5.2 Hasil Analisis Bivariat .. 115

BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian .. 122
6.2 Keterbatasan Penelitian . 150
6.3 Implikasi Hasil Penelitian . 151

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan 150
7.2 Saran .. 151

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN - LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Hal

3.1 Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur 74
4.1 Analisis Univariat Variabel Independen, Variabel Dependen dan 108
Karakteristik Responden
4.2 Analisis Homogenitas Kelompok Kontrol, Intervensi dan Variabel 109
Konfounding
4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol 109
4.4 Analisis Bivariat Variabel Perancu dengan Variabel Dependen 109
5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Ketidakmampuan Fisik, 111
Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut
dan Banjar November Desember 2011
5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Frekuensi 114
Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.3 Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik, 116
Dukungan Keluarga Antara kelompok Kontrol dan Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November
Desember 2011 116
5.4 Hasil Analisis Kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Frekuensi Serangan Stroke Antara kelompok Kontrol dan
Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya,
Garut dan Banjar November Desember 2011 117
5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi
Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember 118
2011
5.6 Hasil Analisis Perbedaan Depresi Antara kelompok Kontrol
dan Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, 118
Garut dan Banjar November Desember 2011
5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan
Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 119
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi Pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan 120
Dukungan Keluarga terhadap Depresi pada Kelompok Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November Desember 2011
5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 121
Stroke Terhadap Depresi Pada Kelompok Intervensi pada Pasien
Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember 2011
DAFTAR GAMBAR

Hal
2.1 Anatomi Wicara Bahasa 20
2.2 Anatomi Arteri Otak 26
2.3 Low Technology & High Technology 46
DAFTAR SKEMA

Halaman
2.2 Kerangka Teori Penelitian 70
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 73
4.1 Rancangan Penelitian 77
4.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 106
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadual Kegiatan Penelitian


Lampiran 2 : Penjelasan Peneliti
Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Penelitian
Lampiran 4 : Kuesioner karakteristik
responden Lampiran 5 : Format skrining afasia
(FAST)
Lampiran 6 : Lembar penilaian kemampuan fungsional komunikasi (DFCS)
Lampiran 7 : Lembar observasi penilaian depresi (ADRS)
Lampiran 8 : Lembar penilaian ketidakmampuan fisik (Barthel I ndex)
Lampiran 9 : Kuesioner penelitian dukungan keluarga
Lampiran 10 : Lembar observasi pelaksanaan AAC oleh perawat
Lampiran 11 : Checklist pelaksanaan komunikasi dengan AAC
Lampiran 12 : Lembar oservasi pelaksanaan AAC oleh
keluarga Lampiran 13 : Gambar untuk mendukung skrining
afasia
Lampiran 14 : Gambar augmentative and alternative communication
Lampiran 15 : Keterangan Lolos Kaji Etik
Lampiran 16 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 17 : Surat Keterangan
Penelitian Lampiran 18 : Daftar Riwayat
Hidup
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah

Stroke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan


neurologis yang terjadi akibat gangguan aliran darah pada otak. peru
Peruba
baha
neurologis ini dapat terjadi secara mendadak dan harus ditangani secara cepat
n
tepat (Black & Hawks, 2009). Stroke dibagi dalam dua kategori mayor
han
y stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh
dan
trombus embolus, dengan jumlah pasien stroke iskemik adalah 87%,
aitu
sedangkan st hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
atau
yang menyebab perdarahan intraserebral atau ruang subarachnoid, dengan
roke
jumlah 13% yang te dari 10% perdarahan intraserebral dan 3% perdarahan
kan
subarakhnoid (AHA, 2
rdiri
Black & Hawks, 2009). Data ini menunjukkan insiden stroke iskhemik
010;
l banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik.
ebih

Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama di Amerika Serikat


berbagai negara di dunia. Upaya pencegahan telah membawa penurunan
dan
da angka kejadian selama beberapa tahun terakhir, stroke masih merupakan
lam
penye utama kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut
bab
WHO tahun 2007, sekitar 15 juta orang menderita stroke di seluruh
pada
dunia se tahunnya. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lagi
tiap
mengalami c permanen. Kematian stroke di Eropa rata-rata sekitar
acat
650.000 terjadi se tahunnya (World Health Report, 2007), sedangkan
tiap
ikat
ang
setiap tahun. Total pasien stroke di Amerika Serikat tahun 2008 sekitar 65,5 juta
orang (Bornstein, 2009), dengan peningkatan 700.000 pasien stroke baru setiap
tahunnya (Black & Hawks, 2009).

Stroke tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga terjadi di


negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia prevalensi stroke dari
tahun ke
tahun meningkat tajam. Setiap tahun di Indonesia diperkirakan sekitar 500.000
penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang
meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. (Yastroki, 2011).

Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia, merupakan salah


satu provinsi yang mempunyai prevalensi stroke diatas prevalensi nasional,
selain Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, DKI
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jakarta,
SulawesiNusa
Tengah,
Gorontalo, dan Papua Barat. Prevalensi stroke di Jawa Barat adalah 9,3 per 1000
penduduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tasikmalaya, Banjar dan aten
Kabup Garut merupakan beberapa rumah sakit pemerintah yang terdapat di arat.
Jawa B Kasus stroke di RSUD Kota Tasikmalaya dari tahun ke tahun erus
jumlahnya t meningkat dan menempati urutan pertama dari seluruh kasus afan
sistem persyar yang ada di RSUD Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2010 roke
jumlah penderita st sebanyak 754 orang (Rekam Medis RSUD Kota kan
Tasikmalaya, 2010). Sedang dalam 6 bulan terakhir (Maret Agustus) 425
tahun 2011 di temukan sebanyak orang pasien stroke. Kasus stroke di pati
RSUD kota Banjar pun selalu menem urutan pertama dari seluruh kasus mlah
system persyarafan yang ada dengan ju 533
405 orang. Sedangkan kasus stroke di RSUD Kabupaten Garut
sebanyak orang dalam 6 bulan terakhir.
ada
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung ini
kep luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena.hwa
manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Arteri yang palimg sering terkena adalah arteri serebri media. Bila stroke
mengenai arteri serebri media, maka pasien dapat mengalami afasia.
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang dapat mempengaruhi
distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Diperkirakan sekitar 21% - 38% pasien stroke akut dapat
mengalami afasia (Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell, 2006). Afasia
terjadi akibat cedera otak atau proses patologik stroke, perdarahan otak dan
dapat muncul perlahan seperti pada kasus tumor otak pada lobus frontal,
kemampuan berbahasa yaitu area Broca,
temporalarea
atau Wernicke
parietal yang
danmengatur
jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletakkiri
dihemisfer otak dan pada umumnya bagian hemisfer kiri merupakanuan
tempat kemamp berbahasa (Kirshner, 2009; Price & Wilson, 2006).

Beberapa bentuk afasia mayor menurut Smeltzer & Bare (2008); Lumbantobing
(2011) adalah afasia sensoris (Wernicke) motorik (Broca) dan Global. asia
Af sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan pada girus temporal rior,
supe yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia wab
menja iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Pada orik
afasia mot terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal yang gan
ditandai den kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan jadi
kemauan men simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam dan
bentuk ekspresi verbal tulisan. Sedangkan afasia Global disebabkan oleh usak
lesi yang luas yang mer sebagian besar atau semua daerah bahasa yang lagi
ditandai dengan tidak adanya bahasa spontan dan menjadi beberapa patah itu
kata yang berulang ulang (itu saja) disertai ketidakmampuan memahami
yang diucapkan.
kira
Di Amerika
170.000 Serikat
kasus barulebih
daridari 700.000
afasia stroke
setiap terjadi
tahun setiap tahundengan
berhubungan dan kirastroke.

Diperkirakan sekitar 1 sampai 1,5 juta orang dewasa di Amerika
mengalami afasia. (Kirshner, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Jumlah pasien
afasia akan terus bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang dapat
bertahan hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).
Data tentang afasia akibat stroke di berbagai rumah sakit di Indonesia melalui
rekam medik, jurnal dan situs sangat terbatas. Hal ini dapat disebabkan karena
dalam rekam medik hanya mengklasifikasikan data berdasarkan diagnosa
medis dan adanya keterbatasan dalam mendeteksi/ mengidentifikasi afasia,
sehingga jumlah afasia tidak diketahui dengan pasti. Walaupun data afasia tidak
diketahui dengan pasti, tetapi afasia mempunyai dampak negatif terhadap pasien
dan orang disekitar pasien.

Afasia memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan pasien, ian,


kemandir partisipasi sosial dan kualitas hidup karena komunikasi yang kuat
tidak ade (Kirshner, 2009). Selain itu pasien afasia mempunyai mortalitas nggi
yang lebih ti dan kemampuan fungsional yang lebih rendah dibandingkan asia
pasien tanpa af (Kirshner, 2009). Kondisi ini dapat terjadi karena mpu
pasien tidak ma mengungkapkan apa yang mereka inginkan, tidak aan
mampu menjawab pertany atau berpartisipasi dalam percakapan, sehingga rah,
pasien menjadi frustasi, ma kehilangan harga diri dan emosi pasien nya
menjadi labil. Keadaan ini akhir menyebabkan pasien menjadi depresi itu
(Mulyatsih & Ahmad, 2010). Selain pasien afasia mempunyai mortalitas onal
yang lebih tinggi dan kemampuan fungsi yang rendah daripada pasien tanpa
afasia (Kirshner, 2009).
tiap
Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan mood yang dapat terjadi ada
se waktu pada fase akut atau satu tahun paska stroke dengan puncaknya lam
terjadi p bulan pertama (Dahlin et al, 2008). Sedangkan menurut Sit et al jam
(2007) da penelitiannya terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian 8%.
depresi pada 48 setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan hun
setelahnya sebesarstroke
pertama paska 4 dan puncaknya diperkirakan pada 6 bulan paska
stroke
(Schub & Caple,
2010).

Afasia merupakan masalah fungsional akibat stroke yang dapat


menyebabkan depresi dan sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi
(Thomas & Lincoln,
2008). Afasia dan depresi merupakan dua gejala yang terjadi pada stroke
(Dahlin
et al, 2007). Menurut Amir (2005), frekuensi depresi lebih tinggi pada
pasien afasia motorik daripada afasia global (71%:44%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran pasien
akan ketidakmampuan yang dialami pasien dan selain itu, lesi yang
menimbulkan afasia motorik juga menimbulkan depresi.

Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti


bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Berdasarkan review men
Singh (1998) dan hasil metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan yata
b yang konsisten antara karakteristik lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, kan
Fe Santos & Luis, 2006). Adanya lesi otak yang bertambah karena oleh
stroke y berulang akan melipatgandakan jenis serta beratnya defisit ukti
neurologis (Lee, T Tsoi, Fong & Yu, 2009). Sedangkan menurut Schub & rro,
Caple (2010) peningk keparahan afasia, keparahan stroke, penurunan ang
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian menjadi ang,
faktor penyebab terjadinya dep paska stroke. atan
atau
Lebih lanjut, berdasarkan penelitian epidemiologi, faktor faktor resi
y mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia, tingkat
dukun sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood (Laska, 2007;
Thoma Lincoln, 2008). Gangguan aktivitas sehari hari pada pasien ang
stroke berkorelasi terhadap terjadinya depresi. Hal ini diperkuat oleh gan
penelitian Dahlin et al (2006) menyatakan bahwa ada hubungan yang s &
signifikan an tingkat depresi dengan gangguan aktivitas sehari hari (p juga
: 0.04). Penel Fatoye (2009) juga menyatakan ada hubungan gangguan oleh
fungsi motorik ber tara
itian
upa
juga
merupakan faktor yang mempengaruhi depresi dan pemulihan bicara pada afasia.
Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi
penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke
(Salter, Foley & Teasell, 2010).
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kognitif,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,
Santos & Luis, 2006). Pasien akan menarik diri dari kegiatan sosial,
menjadi rendah diri dan rehabilitasi yang tidak optimal. Selain itu depresi dapat
berdampak pada orang yang merawat pasien dan menghambat komunikasi
diantara perawat dan pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008).

Peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, kan
diharap mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien cara
stroke se komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase agar
pemulihan dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid & 07).
Soertidewi, 20 agai
Henderson (dalam Tomey & Aligood, 2006) mendefinisikan keperawatandan
seb upaya membantu individu untuk mendapatkan kebebasan dalamasar
beraktivitas berkontribusi dalam mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satuntuk
kebutuhan d manusia menurut Henderson adalah berkomunikasi dengan
orang lain u mengekspresikan emosi, kebutuhan rasa takut dan
mengemukakan pendapat. nuhi
ikan
Peranan perawat pada pasien stroke setelah melewati fase akut adalah memeang
kebutuhan sehari hari, mengkaji fungsi bicara dan berbahasa,kan
menyesua teknik berkomunikasi dengan kemampuan pasien : bicara pelanwat
dengan suara y normal, menjadi pendengar yang baik, menjelaskan setiapang
prosedur yang a dilakukan (Mulyatsih, dalam Rasyid & Soertidewi,
2007). Selain itu, pera dapat berperan menjadi role model untuk
berkomunikasi dengan pasien y mengalami afasia (Lewis, Heitkemper,atau
deteksi afasia untuk menegakkan masalah keperawatan dan intervensi
keperawatan pada afasia (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman &
Hafstensdottir,
2010). Deteksi dini dan latihan wicara pada pasien afasia tidak hanya
dapat mempengaruhi pola penyembuhan otak, tetapi juga dapat meningkatkan
keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat mengurangi isolasi pada pasien dan
meningkatkan partisipasi dalam rehabilitasi (Salter, Jutai, Foley, Hellings
&
Teasell, 2006). Sekitar 79% pasien stroke afasia dari ringan berat tidak dapat
terdeteksi, karena tidak adanya deteksi afasia. Deteksi dini afasia
ditemukan relevan dalam mendukung program rehabilitasi pasien stroke
(Enderby et al, 1987 dalam Lightbody et al, 2007). Dua instrumen untuk
mendeteksi afasia yang dapat digunakan oleh perawat adalah Frenchay Aphasia
Screening Test/FAST dan Ullevaal Aphasia Screening/ UAS (Enderby & Crow,
1996).
Menurut Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell (2006) dalam literatur penel
stroke, FAST merupakan instrumen yang lebih sering digunakan kaitian
sederhana, membutuhkan waktu 3 10 menit untuk pasien afasia fase akutrena
paska akut stroke serta memiliki sensitivitas 87% dan spesifitas 80% dan
da mendeteksi afasia. Skrining perawat dan hasil observasi dapat lam
menduk langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa oleh ung
neuropsychologist speech therapy (Clarkson, 2010). Selain itu dengan dan
deteksi dini afasia, lat wicara bahasa dapat dimulai sesegera mungkinihan
(Poslawsky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). Hasil pengkajian ans,
yang ditemukan juga d menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan apat
pada pasien dengan gangg komunikasi (McCloskey & Bulechek, 2000, uan
dalam Powlasky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). ans,

Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif pada fase akut stroke yang
d ditemukan pasien afasia dalam NANDA (2011) adalah gangguan komuniapat
verbal; menurun, tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerkasi
memproses dan menggunakan simbol simbol. Walaupun intervensi afasia ima,
t
sepenuhnya terintegrasi ke dalam aktivitas keperawatan, tetapi hasilidak
tem uan
lam
keperawatan (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman & Hafstensdottir,
2010).

Intervensi keperawatan menurut NIC yang dapat diberikan pada pasien


gangguan komunikasi adalah mengkaji gangguan komunikasi yang ada dan
mengembangkan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, seperti menganjurkan pasien untuk mengulangi suara alfabet
dan
berbicara yang jelas dalam kalimat yang pendek, berikan waktu untuk
memahami pertanyaan, menggunakan papan gambar atau alat bantu bila perlu
(Ackley & Ladwig, 2011; Bulecheck & McCloskey, 2002). Selain itu upaya
untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien afasia dapat dilakukan
dengan latihan komunikasi.

Hasil sistematik review oleh Poslawsky Schuurmans, Lindeman &


(2010), menjelaskan tentang kontribusi perawat dalam lat ihan Hafs
komunikasi/wi secara intensif yang dimulai pada fase akut paska stroke tens
menunjukkan h rehabilitasi yang terbaik terhadap fungsi berbahasa dotti
pasien afasia, sehin perawat mempunyai implikasi klinis untuk melakukan r
latihan ini. Hal ini ka dalam fase akut, afasia sering ditemukan oleh cara
anggota keluarga terdekat perawat. Menurut Burton (2000, dalam Rowat, asil
Lawrencen, Horsburgh, Leg Smith (2009), dalam rehabilitasi stroke, perawat gga
dapat berperan sebagai careg fasilitator dalam penyembuhan pasien dan rena
manajer perawatan. Selain pera keterlibatan keluarga juga merupakan dan
salah satu bentuk dukungan y diperlukan dalam pelaksanaan latihan g &
komunikasi, baik selama di rumah s ataupun di rumah. iver,
wat,
Pemulihan bahasa pasien sangat terbantu, jika keluarga memainkan peranang
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Prins dan Maas (1993 daakit
Kusumoputro, 1992), bahwa faktor faktor yang mempengaruhi pemul
wicara bahasa pada afasia adalah luas cedera, letak cedera, keparahan afa
inteligensi dan pendidikan dan keterlibatan keluarga. Keluarga merupanya
lingkungan yang cocok untuk menstimulasi kemampuan berbahasa afasia, kalam
stimulasi tersebut dapat dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu ihan
y
sia,
kan
rena
ang
tepat, saat pasien dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup tahu
mengenal hal ikhwal keadaan pasien. Selain itu menurut Bullan, Chiki and Stern
(2007), bahwa keterlibatan anggota keluarga dan teman dalam latihan dapat
meningkatkan efektifitas rehabilitasi. Dukungan keluarga yang dapat
diberikan pada pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat
dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.
Fase rehabilitasi dapat dimulai pada hari pertama pasien mengalami stroke,
namun proses ini ditekankan selama fase pemulihan dan memerlukan
upaya dan kerjasama dari berbagai tim kesehatan, termasuk keluarga. Menurut
Lewis, Heitkemper & Dirksen (2000) setelah pasien stroke stabil selama 12
-24 jam perawatan kolaboratif dilakukan untuk mengurangi kecacatan dan
meningkatkan fungsi optimal. Sasaran utama program rehabilitasi adalah
perbaikan mobilitas, menghindari nyeri, pencapaian perawatan diri,
komunikasi dan
pencapaian beberapa
tidak adanya
bentuk komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinke, Cheeve,
201
0)
Latihan komunikasi merupakan tindakan yang diberikan kepada individu
ang
y mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa, bicara dan
uan
gangg menelan (hsdc, 2005). Didalamnya meliputi bagaimana membuat
dan
suara bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
nya
Tujuan secara spesifik adalah meliputi kejelasan dalam ucapan,
ntuk
kemampuan u mengerti kata kata sederhana, kemampuan membuat
uan
pengertian, kemamp mengeluarkan kata- kata yang solid/jelas dan dapat
dimengerti (Aini, 2006).

erta
Berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia
angi
s mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk
ini
mengur frustasi, depresi dan isolasi sosial (Mulyatsih & Ahmad, 2010).
wig,
Pendapat sesuai dengan pendapat Happ, Roesch & Kagan (2005 dalam
idak
Ackley & Lad
apat
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien t
gkat
mampu berkomunikasi secara verbal. Beberapa alat bantu komunikasi yang d
han
dilakukan pada pasien afasia menurut NIC adalah penggunaan peran
erisi
elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash card yang berisi gambar
11);
Ackley & Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare,
Hinkle
& Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan masalah komunikasi
di atas, intervensi tersebut merupakan bagian dari AAC.

Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul &
Jeffs,
2008), AAC merupakan penggunaan perangkat pendukung atau
pengganti
kemampuan komunikasi verbal seseorang. Beberapa kondisi dengan
gangguan komunikasi verbal yang memerlukan AAC adalah cerebral palsy,
gangguan intelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batang otak, amyotropic
lateral sclerosis, penyakit parkinsosn, multiple sclerosis, dimensia, traumatic
brain injury (Wikipedia, 2011).
AAC terdiri dari alat bantu komunikasi low technology, yaitu tanpa
menggunakan elektronik, seperti papan komunikasi yang berisi gambar/
berisi gambar. Sedangkan AAC yang menggunakan simbol dan tulisan
elektronik adalah high
technology, seperti penggunan komputer dengan kemampuan dia,
multime misalnya laptop yang menyatu dengan hasil bicara/ speech output.

Walaupun keduanya efektif digunakan dalam memfasilitasi komunikasi bal,


ver namun pada aplikasinya selama ini di beberapa rumah sakit Indonesia aan
penggun AAC low technology lebih sering digunakan pada pasien alah
dengan mas komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Fried Oken lam
et al (1991 da Finke, Light & Kitko, 2008), bahwa AAC low npa
technology ta perangkat/menggunakan perangkat, seperti papan gambar, tulis
papan alfabet, a lat merupakan AAC yang paling sering digunakan dirumah gan
sakit pada pasien den masalah komunikasi. Hal ini dapat disebabkan karena logy
penggunaan low techno lebih familiar, mudah didapat dan dilakukan ung
untuk memfasilitasi/menduk komunikasi dibandingkan dengan high alah
technology pada pasien dengan mas komunikasi. Penggunaan AAC kan
high technology perlu mempertimbang kemampuan pasien dan idak
perawat. Kondisi masyarakat Indonesia yang t seluruhnya dapat enu
menggunakan komputer, tidak mengenal dengan menu m yang ada ugas
dikomputer sehingga dapat menghambat untuk melakukan tugas t kan
komponen utama efektifnya dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam
Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteinsdottir,
2010).

Berbagai hasil penelitian telah sukses menggunakan AAC dalam berkomunikasi


pada pasien afasia, ketika komunikasi verbal bukan merupakan suatu
pilihan. Karakteristik pasien afasia yang memiliki keterbatasan kognitif,
motivasi dan situasi sosial, sehingga AAC dapat memberikan keuntungan
terhadap kemampuan
bahasa dan kemampuan berkomunikasi (Van de Standt Koenderman,
2004 dalam Clarkson, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian Johston et al (2004
dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan seseorang dengan meningkatkan
kemandirian dan perkembangan hubungan sosial, sehingga akan
mempengaruhi kualitas hidup. Keadaan ini dapat terjadi karena pasien yang
menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan
yang menyenangkan (Wikipedia,
dengan
2011).keluarga,
Selain itu
teman
komunikasi
dan aktivitas
denganhidup
AACjuga
dapat membantu perawat berkomunikasi pada pasien yang mengalami
keterbatasan komunikasi verbal (Finke, Light & Kitko, 2008). Hasil ini
penelitian didukung oleh sistematik review Poslawsky Schuurmans, &
Lindeman Hafstensdottir (2010) yang menjelaskan bahwa AAC merupakan cara
intervensi wi
- bahasa yang dapat digunakan oleh perawat dalam praktis klinis.
sitas
Berbagai hasil penelitian bervariasi menjelaskan tentang durasi dan inten007)
latihan wicara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit et al (2ihan
membandingkan 2 kelompok yang menggunakan media gambar sebagai latdan
wicara (orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan objek, menjelaskan eda
mengenalkan hubungan antara kedua item) dengan durasi yang dini
berb (kelompok intensif = 5 jam dan kelompok standar = 2 jam) yang dap
dimulai se mungkin selama 12 minggu, menunjukkan perbedaan yang .002
signifikan terha kemampuan berbahasa pada kelompok standar dengan
waktu 2 jam (p = 0 dibandingkan dengan kelompok intensif dengan waktu 5
jam (p > 0.05). hley
artu
bergambar) dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari dibandingkan kelompok
standar yang menerima latihan 1 jam selama 4 minggu menunjukkan
kemampuan penamaan dan pemahaman berbahasa yang dievaluasi dengan tes
wicara, seperti Token Test. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rappaport et
al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010)
melakukan penelitian
dengan memberikan latihan wicara menggunakan media gambar yang dilakukan
setiap hari selama 5 tahun dengan lama terapi 3 jam/minggu, sebagian
menunjukkan kemampuan berbahasa, sedangkan sebagian lagi menunjukkan
sedikit atau tidak ada perbaikan.

Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan berbagai variasi


tentang intensitas dan durasi latihan komunikasi, tetapi yang terpenting
latihan
dimulai sedini mungkin setelah melewati fase akut dan dalam harusstabil.
kondisi
Berdasarkan hasil penelitian Robey (1998) dengan melakukan metanalisis a 55
pad artikel tentang latihan wicara, bahwa dengan latihan dapat asil
meningkatkan h positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerima ang
intervensi daripada y tidak menerima intervensi (Clarkson, 2010). oleh
Penelitian ini didukung penelitian Bakheit et al (2007), latihan secaratkan
intensif dapat meningka neuroplastisitas, reorganisasi peta kortikal dan
meningkatkan fungsi motorik.
logi
Studi pendahuluan yang telah dilakukan selama 4 minggu di Ruang sia,
Neuro (Ruang V) RSUD Kota Tasikmalaya ditemukan 9 orang asia
mengalami afa diantaranya 7 orang mengalami afasia motorik dan 2 ang
orang mengalami af sensorik. Ruang Neurologi yang terdapat di RSUD kotaama
Tasikmalaya adalah ru V,VIP dan Batik. Berdasarkan hasil wawancara pada
dengan perawat ruangan, sel ini penanganan pasien stroke yang nya
mengalami afasia hanya berfokus penanganan fisik saja. Pemberian alat idak
bantu komunikasi pada pasien afasia ha diberikan isyarat atau alat tulis dan
tanpa diberikan stimulasi latihan, sehingga t sepenuhnya mendukung idak
pasien untuk memfasilitasi komunikasi meningkatkan komunikasi nya
afasia, selama
pasien sehinggadi latihan komunikasi
rumah sakit. terlambat/tidak
Bahkan perawat dilakukan.
t mengetahui kalauKeadaan
pasien ini
tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti memperlambat pola
penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi karena ketidakmampuan
dalam berkomunikasi.

Melihat berbagai dampak pada pasien afasia akibat stroke dan keuntungan
yang diperoleh dengan penggunaan AAC berdasarkan fenomena dan hasil
penelitian
yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.

1.2 Rumusan Masalah

Stroke merupakan penyebab umum afasia dan diperkirakan sekitar 25% -


pasien stroke berkembang menjadi afasia. Afasia merupakan kehilangan fu40%
kemampuan berbicara, meliputi gangguan dalam menulis, berbicara, membngsi
mendengar dan mengerti bahasa. Dampak negatif yang dapat terjadi akibat afaca,
adalah kesejahteraan klien, kemandirian, partisipasi sosial dan kualitas hiasia
Kondisi ini akhirnya dapat menimbulkan dampak psikologis, seperti depdup.
sehingga akan mempengaruhi masa pemulihan dan hubungan sosial denresi
lingkungan sekitarnya, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.gan

Perawat adalah seseorang yang memberikan pelayanan secara langsung ke


pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Komunikasi merupakan pada
s
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Pada pasien dengan stroke uatu
y mengalami afasia dapat mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan ang
komuni oleh karena proses penyakitnya. Proses deteksi yang akurat dalam kasi
mengkaji af maupun depresi akan menunjukkan pilihan intervensi asia
keperawatan yang t terkait dengan gangguan komunikasi verbal untuk epat
mengurangi frustasi, dep dan isolasi sosial pada afasia. Salah satu resi
intervensi yang bisa dilakukan u mengatasi masalah gangguan komunikasintuk
adalah pemberian komunikasi den AAC yang merupakan salah satu gan
intervensi yang dapat digunakan oleh pera wat
rbal
seseorang pada pasien yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal, seperti
afasia. Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh melalui AAC, seperti
meningkatkan kemampuan bahasa dan kekuatan komunikasi, meningkatkan
kemandirian dan perkembangan hubungan sosial. Berdasarkan fakta
tersebut, perlu diteliti apakah ada pengaruh pemberian AAC terhadap
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia
motorik ?
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dalam penelitian ini adalah diketahuinya pengaruh
pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada
pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Kabupaten Garut, Kota
Tasikmalaya dan Banjar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden yang terdiri dari:
u jenis kelamin, jumlah serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan sia,
dukun keluarga pada pasien stroke dengan afasia motorik antara gan
kelompok ko dan intervensi. ntrol
b. Mengidentifikasi perbedaan rata-rata kemampuan fungsional komuni
sesudah diberikan AAC pada pasien stroke dengan afasia motorik ankasi
kelompok kontrol dan kelompok intervensi. tara
c. Mengidentifikasi perbedaan rata-rata depresi sesudah diberikan AAC
pasien stroke dengan afasia motorik antara kelompok kontrol dan pada
kelom intervensi. pok
d. Mengidentifikasi hubungan variabel perancu umur, jenis kelamin, ju
serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga mlah
terha kemampuan fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan dap
afasia mot pada kelompok intervensi. orik
e. Mengidentifikasi hubungan variabel perancu umur, jenis kelamin, ju
serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga mlah
terha dap
i.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi pelayanan keperawatan


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap intervensi
keperawatan pada pasien afasia, seperti deteksi dini afasia, sehingga dapat
segera diberikan alat bantu komunikasi untuk memfasilitasi
komunikasi pasien afasia, seperti papan gambar/buku komunikasi,
majalah, foto,
musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi.

1.4.2 Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan kaya
memper khasanah keilmuan keperawatan, serta dapat digunakan bagi
sebagai dasar penelitian selanjutnya yang berfokus pada atau
penelitian kualitatif membandingkan pemberian AAC antara (low
metode sederhana technology) dan modern (high technology) onal
terhadap kemampuan fungsi komunikasi pasien stroke dengan afasia
motorik.

1.4.3 Pendidikan dan ilmu keperawatan bagi


Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman ang
pendidikan keperawatan untuk memberikan pembelajaran terutama han
y berkaitan dengan pemberian AAC sebagai penatalaksanaan inya
asu keperawatan pasien stroke dengan afasia dalam mencegah
terjad depresi karena tidak mampu dalam berkomunikasi verbal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stroke

2.1.1 Definisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Seringkali ini alah
ad kulminasi penyakit serebrovaskuler selama bertahun-tahun are,
(Smeltzer, B Hinkle & Cheever, 2008). Menurut Lewis, Heitkemper, n &
Dirksen, OBrie Bucher (2007), stroke adalah gangguan yang otak
mempengaruhi aliran darah ke dan mengakibatkan defisit neurologik. 09),
Sedangkan Black and Hawks (20 mendefinisikan bahwa stroke adalah ntuk
suatu kondisi yang digunakan u menjelaskan perubahan neurologik lam
yang disebabkan oleh gangguan da sirkulasi darah ke bagian otak.

Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu


gangguan pembuluh darah otak yang disebabkan oleh terhentinya suplaih ke
dara bagian otak, sehingga mengakibatkan defisit neurologis.

2.1.2 Jenis Stroke


Jenis stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke iskemik dan hemoragik cius
(Ignatavi
& Workman, 2010). Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
a. Stroke Iskemik
atau
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi arteri serebral oleh
embolus. Trombus menyebabkan stroke trombotik oleh karena aterosklerosis
yang terjadi sebagai proses yang kompleks termasuk merubah fungsi lapisan
dalam pembuluh darah arteri, inflamas i dan peningkatan pertumbuhan sel
otot polos pembuluh darah (Ignatavicius & Workman, 2010).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi karena ruptur pembuluh darah yang
menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak yang disebut stroke
intraserebral atau
perdarahan ke ruang subarakhnoid yang disebut stroke hemoragik
subarakhnoid atau disingkat subarachnoid hemorrhage (SAH). Umumnya
perdarahan terjadi akibat ruptur aneurisma atau arteriovenous
malformation oleh karena hipertensi berat (Hickey, 2003). Kejadian stroke
dapat didahului oleh banyak faktor dan seringkali berhubungan dengan
penyakit kronis seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit
cardiovaskular, stress, serta gaya hidup yang dapat menyebabkan masalah
vaskular.
2.1.3 Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stroke (Black & Hawks, 2009;
P
rice
& Wilson, 2006) adalah :
a. Trombosis
Trombosis merupakan proses pembentukan trombus dimulai dengan
kan
kerusa dinding endotelial pembuluh darah, paling sering karena
osis.
ateroskler Aterosklerosis menyebabkan penumpukan lemak dan
di
membentuk plak dinding pembuluh darah. Pembentukan plak yang
kan
terus menerus a menyebabkan obstruksi yang dapat terbentuk di dalam
arah
suatu pembuluh d otak atau pembuluh organ distal. Pada trombus
apat
vaskular distal, bekuan d terlepas dan dibawa melalui sistem arteri otak
k&
sebagai suatu embolus (Blac Hawks, 2009).
b. Embolisme
Embolus yang terlepas akan ikut dalam sirkulasi dan terjadi sumbatan
ada
p arteri serebral menyebabkan stroke embolik, lebih sering terjadi pada
trial
a fibrilasi kronik (Price & Wilson, 2006). Emboli dapat berasal dari
mor,
tu lemak, bakteri, udara, endokarditis bakterial dan nonbakterial atau
nya
kedua (Black & Hawks, 2009), atrium fibrilasi dan infark miokard yang
jadi
(Ginsberg, 2007).
c. Hemoragik

Sebagian besar hemoragik intraserebral disebabkan oleh ruptur karena


arteriosklerosis. Hemoragik intraserebral lebih sering terjadi pada usia > 50
tahun karena hipertensi. Penyebab lain karena aneurisma. Meskipun
aneurisma biasanya kecil dengan diameter 2-6 mm, tetapi dapat mengalami
ruptur dan
diperkirakan 6% dari seluruh stroke disebabkan oleh ruptur aneurisma (Black
& Hawks, 2009). Kematian karena hemoragik intraserebral dalam 30
hari pertama antara 35-50%, lebih dari setengah kematian terjadi dalam 2
hari pertama setelah serangan dan 6% pasien meninggal sebelum tiba di rumah
sakit (Hickey, 2003).
d. Penyebab lain
Stroke dapat disebabkan oleh hiperkoagulasi termasuk defisiensi protein C
S serta gangguan pembekuan yang menyebabkan trombosis dan stroke iskedan
Penyebab tersering stroke adalah penyakit degeneratif arterial, mik.
aterosklerosis pada pembuluh darah besar (dengan tromboemboli) baik
mau penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis). Penyebab lain pun
yang jar terjadi diantaranya penekanan pembuluh darah serebral karena ang
tumor, bek darah yang besar, edema jaringan otak dan abses otak (Black uan
& Hawks, 2 009;
Ginsberg, 2007).

2.1.4 Anatomi Fisiologi berbahasa


Semua stimulus auditif (pendengaran) dihantar dari perifer melalui sistem ditif
au ke area auditif primer di girus Hisch, pada kedua lobus temporalis. Di isfer
hem dominan, informasi diteruskan dari area auditif primer langsung ke iasi
area asos auditif di bagian posterior lobus temporalis superior. Informasi dari ang
hemisfer y non dominan dihantar melalui korpus kollosum ke area asosiasi isfer
auditif dihem yang dominan. Area asosiasi auditif ini dapat dianggap sebagaikasi
pusat identifi kata dan dikenal sebagai area Wernicke.

Setelah suara identifikasi sebagai simbol bahasa, informasi ini diteruskan area
isfer
yang dominan. Pengenalan simbol bahasa didasarkan atas pengalaman
masa silam. Fungsi area pengenalan bahasa bukan saja mengenali simbol
bahasa, namun mengenai hubungan satu simbol dengan yang lainnya. Bila fungsi
ini telah dilaksanakan, informasi ini disampaikan kembali ke atau melalui area
Wernicke ke area area diotak yang berkaitan dengan enkoding atau berespon
pada bahasa. Memproduksi bahasa mungkin dimediasi melalui area pengenalan
bahasa, diikuti
oleh penyampaian informasi ke area identifikasi kata. Komunikasi
ditegakkan antara area identifikasi kata dengan area enkoding motor melalui
serabut asosiasi yang menghubungkan bagian posterior girus temporal superior
dengan area operkuler pada lobus frontal.

Area enkoding motorik (area Broca) bertanggung jawab untuk


konversi preeliminer simbol bahasa ke aktivitas motor. Informasi dari area
disampaikan ke area motor primer pada hemisfer untukenkoding motor jadi
dikonversi
men gerakan motorik yang dibutuhkan yang memproduksi bicara (speech). aktu
Pada w yang bersamaan, terdapat komunikasi antara area broca dengan orik
area mot suplementer yang terletak dibagian medial girus frontal tnya
superior. Selanju terjadi komunikasi dari area motorik suplementer ke mer.
area motorik pri Lengkung reflek dari area Broca melalui area motorikarea
suplementer ke motorik primer tampaknya bertanggung jawab terhadap ersi
kemulusan konv informasi di area motorik primer menjadi impuls yangcara
memproduksi bi (speech). Simbol bahasa visual diterima sebagai impuls sual
visual dipusat vi primer dilobus oksipital kedua hemisfer. Informasi area
kemudian diteruskan ke asosiasi visual, tempat terjadinya pengenalan dan Dari
identifikasi simbol bahasa. area asosiasi visual yang menangani bahasa, alur
terdapat dua jalur. Pada j pertama, informasi dari area asosiasi visual g ke
yang dominan berjalan langsun area identifikasi kata. Pada jalur kedua, ang
informasi dari area asosiasi visual y non dominan menyilang ke hemisfer um.
yang dominan melalui korpus kolos Informasi yang berhubungan denganarea
penamaan objek datang dari kedua asosiasi visual ke area pengenalan kata ini
hemisfer yang dominan. Pada waktu area pengenalan impuls yang suki
berhubungan dengan penamaan objek mema
Gambar 2.1 Anatomi wicara bahasa
Sumber :
http:// id.w ikipedia .org/w iki/Ota k

2.1.5 Patofisiologi Gangguan Berbicara pada Stroke


ogik
Gangguan pembuluh darah otak (stroke) merupakan suatu gangguan neurol
ding
fokal yang dapat timbul sekunder dari adanya trombosis, embolus, ruptur din
nya
pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan tersebut mengakibatkan
, sel
pecah pembuluh darah, sehingga aliran darah ke daerah distal mengalami
Bila
gangguan mengalami kekurangan oksigen sehingga mengakibatkan
alis,
terjadinya infark. lesi tersebut terjadi pada daerah hemisfer dominan
rang
tepatnya lobus front dimana dilobus ini terdapat area Broca, maka akan
mpu
mengakibatkan seseo tidak mungkin mampu mengucapkan seluruh
ami
kata-kata (hanya ma mengucapkan kata-kata sederhana) atau dengan
ntuk
kata lain mampu memah bahasa, tetapi kemampuannya mengekspresikan
tulisan atau bahasa lisan akan terganggu, hal ini disebut afasia
ekspresif. Bila lesi terjadi di lobus temporalis kiri, dimana terdapat area
Wernicke, maka klien mampu mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi
pemahaman terhadap kata-kata yang diucapkan atau tertulis terganggu hal ini
disebut afasia reseptif. Hal ini bisa terjadi karena didalam girus temporalis
superior di hemisfer dominan yang dinamakan area Wernicke berfungsi untuk
pendengaran dan penglihatan. Informasi dari area Wernicke tersebut akan
disampaikan ke area
Broca melalui fasikulus arkuatus, kemudia diproses menjadi gambaran yang
mendetail dan tersusun untuk bicara, kemudian berproyeksi ke kortek
motorik yang menimbulkan gerakan lidah, bibir dan larinx yang sesuai
untuk menghasilkan suara. Girus angularis dibelakang area Wernicke akan
memproses informasi dari kata-kata yang dibaca sehingga menjadi kata-kata
bentuk auditorik pada area Wernicke (Ganong, 1998 ; Price & Wilson, 2006).

2.1.6 Faktor Risiko


Faktor risiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan
terhadap serangan stroke. Penggolongan faktor risiko stroke didasarkan ada
p dapat atau tidaknya risiko tersebut ditanggulangi atau diubah.
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (AHA/ASA, 2006; Price & son,
Wil
2006) adalah :
1) Umur
gan
Penurunan fungsi sistem pembuluh darah akan meningkat seiring
nggi
den bertambahnya usia, sehingga makin bertambah usia
makin
lipat
ti kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik, faktor ini menjadi 2
t .
kali setelah usia 55 ahun
2) Jenis Kelamin
uali
Stroke diketahui lebih banyak diderita lakilaki dibanding perempuan.
Hal
Kec umur 35 44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita
pan
perempuan. ini diperkirakan karena pemakaian obat kontrasepsi oral
esia
dan usia hara hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding lakilaki.
usia
Perempuan Indon mempunyai usia harapan hidup tiga sampai empat
tahun lebih tinggi dari harapan hidup laki-laki.
3) Ras
Penduduk Afrika Amerika dan Hispanic Amerika berpotensi stroke lebih
tinggi dibanding Eropa Amerika. Pada penelitian penyakit
arterosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan
stroke 38% lebih tinggi dibanding kulit putih. Setiap tahun di Indonesia
diperkirakan sekitar
500.000 penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau
125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat
(Yastroki,
2011). Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga setelah penyakit
jantung dan kanker, tahun 2010 menjadi urutan pertama penyebab kematian
di Indonesia (Pdpersi, 2010).
4) Faktor Keturunan
Adanya riwayat stroke pada orang tua, meningkatkan faktor risiko terjadinya
stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain a)
faktor genetik; b) faktor kultur atau lingkungan dan life style; c)
interaksi
faktor genetik
antaradan lingkungan.

b. Faktor risiko yang dapat diubah


Stroke pada prinsipnya dapat dicegah. Sebuah penelitian menunjukkan
ba
hwa
50% kematian akibat stroke pada pasien yang berusia di bawah 70 tahun
apat
d dicegah dengan menerapkan pengetahuan yang ada (Hudak & Gallo,
96).
19
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain :
1) Hipertensi
baik
Makin tinggi tekanan darah, makin tinggi kemungkinan terjadinya
ensi
stroke, perdarahan maupun iskemik. Faktor risiko stroke terbanyak
arah
adalah hipert dengan 71% dari 3723 kasus (Misbach, 1999).
Pengendalian tekanan d dapat mengurangi 38% insiden stroke (Black
& Hawks, 2005).
gara
2) Merokok
enis
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak ne
ruhi
berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 4000 j
ktor
bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempenga
ang
sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan fa
oral.
Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan
terjadinya trombus, karena terjadinya arterosklerosis. Merokok
berkontribusi
12% - 14% kematian akibat stroke (AHA/ASA, 2006). Menurut WHO dalam
World Health Statistics (2007), total jumlah kematian akibat tembakau
(merokok) diproyeksikan naik dari 5,4 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta
pada tahun 2015 dan 8,3 juta pada tahun 2030.
3) Diabetes Melitus (DM)
DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Faktor risiko stroke akibat DM sebanyak 17,3% (Misbach, 1999). Pasien DM
cenderung menderita arterosklerosis dan meningkatkan terjadinya hipertensi,
kegemukan dan kenaikan kadar kolesterol. Kombinasi hipertensi dan
diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke (AHA/ASA,
4) 2006).
Kelainan Jantung
Kelainan jantung merupakan sumber emboli untuk terjadinya stroke.
Y tersering adalah atrium fibrilasi. Setiap tahun, 4% dari pasien atriumang
fibr mengalami stroke (AHA/ASA, 2006). ilasi
5) Dislipidemia
Meningkatnya kadar kolesterol total dan Low Density Lipoprotein
(L berkaitan erat dengan terjadinya aterosklerosis. Kolesterol LDL DL)
yang ti merupakan risiko terjadinya stroke iskemik. Kejadian stroke nggi
meningkat p pasien dengan kadar kolesterol total di atas 240 mg/dL. ada
Setiap kenaikan k kolesterol total 38,7 mg/dL meningkatkan risiko adar
stroke sebanyak (AHA/ASA, 2006). 25%
6) Latihan fisik
Pasien stroke direkomendasikan melakukan latihan fisik (olah raga)
se teratur 3 7 hari per minggu dengan durasi 20 60 menit cara
per (AHA/ASA, 2006). Ahli bedah umum Amerika hari
merekomendasikan u melakukan latihan fisik secara teratur setiap harintuk
selama 30 menit. Lat fisik secara teratur membantu mengurangi ihan
timbulnya penyakit jantung stroke. Ketidakaktifan, kegemukan atau dan
keduanya berisiko meningka tkan
roke
(AHA/ASA, 2006).
7) Kegemukan

Kegemukan biasanya berhubungan dengan pola makan, DM tipe 2,


peningkatan kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah. Penghitungan
kegemukan berdasarkan BMI (Body Mass I ndex) yaitu underweight <
18,5, normal 18,5 24,9, overweight 25 29,9, obesitas I 30 34,5, obesitas
II 35
39,9 dan extreme obesity > 40. Central obesitas/gemuk perut dihitung jika
lingkar pinggang (waist circumference) pada laki-laki > 102 cm
dan perempuan > 88 cm (National Heart Lung and Blood Institute/NHLBI,
2007).
8) Pola diit
Aspek diit yang dihubungkan dengan risiko terjadinya stroke adalah intake
sodium yang tinggi dan nutrisi tinggi lemak. Efek potensial sodium dan
lemak terhadap kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan
tekanan
(AHA/ASA,
darah
2006).
9) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor utama terjadinya
hipert dan penyakit yang berhubungan dengan hipertensi adalah strokeensi
(AHA/A SA,
2006). Penelitian yang dilakukan di Cina pada 1991 dan dilakukan w up
follo tahun 1999 dan 2000 menunjukkan pemakaian alkohol yang ebih
berlebihan (l dari 1750 mL per minggu) secara signifikan roke
meningkatkan insiden st sebesar 22% dan risiko kematian 30% lebih ohol
tinggi dari non pemakai alk (Bazzano, 2000).
10) Drug Abuse/narkoba
Pemakaian obat-obatan seperti cocain, amphetamine, heroin dan sebagainya
meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tekanan
darah secara tiba-tiba dan menyebabkan terjadinya emboli (AHA/ASA, 2006).
11) Pemakaian obat kontrasepsi oral
Risiko stroke meningkat jika memakai obat kontrasepsi oral denganosis
d tinggi. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasigan
den adanya usia lebih dari 35 tahun, perokok, hipertensi, dan diabeteshey,
(Hers

Gangguan pola tidur ini dikenal dengan istilah sleep disordered


breathing (SDB). Penelitian membuktikan bahwa tidur mendengkur
meningkatkan terjadinya stroke. Pola tidur mendengkur sering disertai apneu
(henti nafas), tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga
gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak. SDB
lebih sering terjadi pada
laki-laki dari pada perempuan dengan perbandingan 2 : 1, dan terjadi
mulai usia pertengahan (AHA/ASA, 2006).
13) Kenaikan lipoprotein (a)/ Lp (a)
Lipid protein kompleks yang meningkat merupakan risiko terjadinya
penyakit jantung dan stroke. Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan
peningkatannya akan meningkatkan terjadinya trombosis dengan
mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Dibanding dengan
faktor risiko penyakit
(hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliserid, stroke yang lain DM)
jantung, (AHA/ASA, 2006).

2.1.7 Manifestasi
Silbernagl & Lang (2007) menyebutkan, manifestasi klinis stroke ditentukanoleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh arah
d tersebut. Arteri yang paling sering mengalami gangguan adalah arteri ebri
ser media. Berikut ini tanda dan gejala stroke berdasarkan arteri yang terkena
:
a. Arteri Serebri Media han
Oklusi pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemairus
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik akibat kerusakan gular
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okcara
akibat kerusakan area motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bian),
motorik dan sensorik (area bicara Broca dan Wernicke dari hemisferbus
domin gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect jika mengenai
lo parietalis (Silbernagl & Lang, 2007).
b. Arteri Serebri Anterior orik
Oklusi arteri akibat
kontralateral serebrikehilangan
anterior menyebabkan hemiparesis
girus presentralis dan defisit
dan postsentralis bagian
medial, kesulitan bicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan
terganggu (Silbernagl & Lang, 2007), gangguan kognitif dan
inkontinensia urine (Hickey, 2003). Penyumbatan bilateral pada arteri serebri
anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik (Silbernagl
& Lang,
2007).
c. Arteri Serebri Posterior
Oklusi arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial
(korteks visual primer). Manifestasi klinis bervariasi tergantung area oklusi.
Oklusi pada area perifer menyebabkan hemianopsia homonimus, defisit
memori dan gangguan penglihatan berat. Oklusi pada area sentral, khususnya
pada talamus menyebabkan kehilangan sensorik, nyeri spontan, tremor
dan hemiparesis ringan. Jika oklusi terjadi di batang otak menyebabkan
nistagmus,
abnormalitas pupil, ataksia dan tremor postural (Hickey,
2003). d. Arteri Karotis atau Basilaris
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di da
yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anteerah
tersumbat menyebabkan hipokinesia, hemiparesis, hemianopsia. Oklusi prior
cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akanada
menyebab defisit sensorik. Oklusi total arteri basilaris menyebabkankan
tetraparese, para otot-otot mata serta koma. Oklusi pada cabang arterilisis
basilaris d menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, ponsapat
dan me oblongata (Silbernagl & Lang, 2007). dula

Gambar 2.2 Anatomi Arteri Otak


(Sumber : Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2008)
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Black & Hawks (2009) manajemen medik pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi stroke secara dini
Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pada pasien stroke
adalah ketepatan dalam mengidentifikasi manifestasi klinis yang
bervariasi berdasarkan lokasi dan ukuran infark. Pengkajian awal dan
riwayat pada
lengkap dari pasien merupakan data penting yang harus di dapatkan yang lien
k untuk memberikan intervensi yang tepat.
b. Mempertahankan oksigenasi serebral
Tindakan utama yang dilakukan adalah mempertahankan kepatenan jalanafas
n dengan cara memiringkan kepala pasien untuk mencegah terjadinyairasi
asp dari air liur pasien yang keluar tanpa bisa dikontrol. Elevasi kepalakan,
dilaku hindari posisi hiperekstensi, dan pertahankan pemberian oksigenuat.
yang adek
c. Memperbaiki aliran darah serebral dan
Pemberian tromboembolik dilakukan untuk rekanalisasi pembuluh darahang
reperfusi jaringan otak yang mengalami iskemik. Agen trombolotik apat
y diberikan biasanya berupa exogenous plasminogen activators yang
d mencegah trombus atau embolus yang menutupi aliran darah.
d. Pencegahan komplikasi bral,
Komplikasi yang mungkin muncul bisa berupa perdarahan, edema sereroke
aspirasi dan komplikasi lainnya. Perdarahan bisa terjadi pada pasien stoleh
setelah pemberian rt-PA (Recombinant Tissue Plasminogen Activator),nya
karena itu pasien harus dimonitor ketat terhadap tanda-tanda lami
ada perdarahan. Edema serebral biasanya terjadi pada pasien yang enar
yaitu
mengadengan elevasi kepala 30 untuk meningkatkan perfusi serebral dan
aliran balik vena. Resiko aspirasi pneumonia merupakan resiko
komplikasi yang cukup tinggi pada pasien stroke. Aspirasi lebih sering
terjadi di awal dan dikaitkan dengan hilangnya sensasi faringeal, hilangnya
kontrol orofaringeal dan penurunan kesadaran. Pada klien stroke untuk
mencegah terjadinya aspirasi
pneumonia, maka pemberian cairan oral ditunda dulu dalam 24-48
jam pertama.

Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin pada pasien yang


mengalami stroke, namun proses ini ditekankan selama fase konvalesen dan
memerlukan upaya tim koordinasi. Menurut Lewis, Heitkemper & Dirksen
(2000) setelah pasien stroke stabil selama 12 -24 jam perawatan kolaboratif
dilakukan
mengurangi kecacatan dan meningkatkan fungsi optimal. Sasaran untuk
utama program
rehabilitasi adalah perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian
perawatan diri, mendapatkan kontrol kandung kemih, perbaikan proses fikir,
pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaikan
fungsi keluarga dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinkle &ver,
Chee han,
2008). Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses penyembupun
rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya. usak
Ada tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang
tidak r mengantikan sel-sel yang telah rusak.
idup
Pentingnya intervensi dini pada stroke akut sangat menentukan kualitas roke
h pasien dan bahkan mencegah kematian, sehingga motto penatalaksanaanoleh
st adalah Time is Brain. Intervensi ini dilakukan secara araf,
komprehensif multidisiplin unit stroke, yang tim strokenya terdiri dari oke,
dokter spesialis sy perawat mahir stroke, dokter spesialis terkait n di
dengan faktor risiko str fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara, pekerja (1-4
sosial, ahli gizi yang dilakuka unit stroke. Komponen utama ewi,
perawatannya adalah penyelamatan jiwa minggu setelah stroke) dan
2.2 Konsep Afasia

2.2.1 Definisi
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang
mempengaruhi distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2011) afasia merupakan
gangguan
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam bicara berbahasa. man,
spontan,
pemaha menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.

2.2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul ibat
ak cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau ietal
par yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke jalur
dan yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya etak
terl dihemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri kan
merupa tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006). rnya
Pada dasa kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh otak
stroke, cedera traumatik, perdarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80% oleh
afasia disebabkan infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya inya
jarang terjadi dan lokas tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi ncul
(Barthier, 2005). Afasia dapat mu perlahan seperti pada kasus tumor otak ftar
(Kirshner, 2009). Afasia juga terda sebagai efek samping yang langka ntuk
dari fentanyl, yiatu suatu opioid u penanganan nyeri kronis ( Aini, 2006).

2.2.3 Klasifikasi dan Gejala Klinik


Menurut Lumbantobing (2011) ada banyak klasifikasi afasia yang dibuat oleh
para peneliti atau pakar yang masing masing membuat untuk keperluan
disiplin ilmu mereka. Dasar untuk mengklasifikasikan afasia beragam,
diantaranya ada yang mendasarkan kepada manifestasi klinis, distribusi anatomi
dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek dan berdasarkan kasifikasi yang
merujuk pada linguistik.
Beberapa bentuk afasia menurut Smeltzer & Bare (2008); Rasyid
(2007), Lumbantobing (2011) adalah :
a. Afasia sensoris (Wernicke/reseptive)
Afasia Wernickes dapat terjadi gangguan yang melibatkan pada girus
temporal superior. Di klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh
ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab iapun tidak
mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Ia tidak mampu memahami
kata yang diucapkannya,
dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau
salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia dan
neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan : bagaimana keadaan ibu
sekarang? Pasien mengkin menjawab : Anal saya lalu sana sakit tak
tanding berabir. Seorang aphasia dewasa akan kesulitan untuk uku
menyebutkan kata b walau di hadapannya ditunjukan benda buku. Klienebut
dengan susah meny busa....bulu......... bubu. (klien nampak susah dan gan
putus asa. Pengulan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) baca
umumnya parafasik. Mem dan menulis juga terganggu berat.

b. Afasia Motorik
Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodman 44 dan
sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya tkan
meliba operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba lam
frontal da (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba ular
paraventrik (tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam atau
mengkoordinasikan menyusun fikiran, perasaan dan kemauan menjadi dan
simbol yang bermakna dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak ring
lancar, terputus-putus dan se dek-
pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata
kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata
bahasa (tanpa grammar). Contoh : Saya sembuh rumah kontrol
ya .. kon
..trol. Periksa lagi makan
banyak.
Seorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan
rangsangan yang diterimanya, hanya untuk mengekspresikannya
mengalami kesulitan. Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan
menjawab, rumah bapak dimana?, maka dengan menunjuk ke arah barat, dan
dengan kesal karena tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini
juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut
dengan disgraphia
(agraphia).
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat kuat sama terganggunya se
perti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dari pemahaman membaca tampak idak
t
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks
sering terganggu (misalnya memahami kalimat. Seandainya andaaya
berup untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini.

c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan olehluas
yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi ang
y paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri ada
media p pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini oleh
ditandai tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan rapa
menjadi bebe patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu itu saja, ya :
berulang), misaln iiya, iiya, iiya, atau : baaah, baaaah, baaah, atau :ang,
amaaang, amaa amaaaang. Komprehensi menghilang atau sangat nya
terbatas, misalnya ha mengenal namanya saja atau satu atau dua patah erat
kata. Repetisi juga sama b gangguannya seperti bicara spontan. ggu
Membaca dan menulis juga tergan berat. Afasia global hampir selalu ang
disertai hemiparese atau hemiplegia y

2.2.4 Pemeriksaan Afasia


Menurut Lezak (1983 dalam Browndyke, 2002), untuk melihat fungsi berbahasa
dan wicara pada pasien afasia dapat dilakukan pemeriksaan aspek perilaku
verbal, seperti bicara spontan, pengulangan kata, frase, kalimat, pemahaman
bicara, penamaan, membaca dan menulis.
2.2.5 Pengkajian/Tes
Afasia

Berbagai macam tes afasia dapat dipergunakan sebagai pengkajian. Penggunaan


macam tes ini tergantung pada kebutuhan. Observasi klinis tanpa penggunaan
alat pengkajian ditemukan tidak adekuat untuk mengidentifikasi afasia selama
fase akut. Penggunaan instrumen skrining dilakukan untuk mengidentifikasi
afasia secara signifikan (Edwards et al, 2006).

Perawat merupakan salah satu profesional kesehatan yang bertanggung jawab


terhadap afasia, karena perawat setiap hari kontak dengan klien. Dalam fase kut,
a afasia sering ditemukan oleh anggota keluarga terdekat dan perawat. lam
Da rehabilitasi keperawatan, observasi, pengkajian dan interpretasi kasi
diidentifi sebagai pusat aktivitas. Menurut Bulechek & McClockey (2000), jian
hasil pengka dan identifikasi yang ditemukan dapat digunakan dalam ensi
klasifikasi interv keperawatan pada defisit komunikasi (Poslawsky, n &
Schuurmans, Lindema Hafsteindottir, 2010). Skrining perawat dan hasil ung
observasi dapat menduk langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa perti
oleh profesional khusus, se neuropsychologist dan speech therapy (Clarkson,
2010).
sell
Berdasarkan hasil review yang dilakukan Salter, Jutai, Foley, Hellings & oleh
Tea (2006), terdapat dua instrumen untuk menskrining afasia yang ning
digunakan perawat adalah Frenchay Aphasia Screening Test/FAST dan dan
Ullevaal Scree Test/ UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebihkan
sering dipakai merupakan instrumen skrining pada afasia. FAST lebihley,
sering diguna dibandingkan dengan instrumen pengkajian afasia lainnya
(Salter, Jutai, Fo Hellings & Teasell, 2006, Enderby & Crowby, 1996).
FAST terdiri 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa (pemahaman, ekspresi
verbal, membaca dan menulis) dengan skor 0 30 (Enderby et al, 1987 dalam
Lightbody et al, 2007). Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada usia diatas 60
tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
Menurut Salter (2006), FAST mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti :
a. Kelebihan
1. FAST dikembangkan dan digunakan oleh non spesialis, seperti
staf medical junior, perawat, terapi okupasi dan lainnya untuk
mengidentifikasi gangguan bahasa.
2. Tes ini sederhana, metodenya singkat dan cepat hanya memerlukan waktu
3 10 menit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi
dalam waktu yang lama dalam mengkaji pasien afasia.
3. Instrumen ini dapat dipakai selama fase akut dan paska akut
stroke. man,
4. FAST mengkaji aspek bahasa ke dalam empat area, seperti
pemaha ekspresi verbal, membaca dan menulis. mah,
5. Instrumen ini dapat dipakai diruangan yang sibuk dan situasi
ru mempunyai validitas yang baik ketika dipakai oleh non spesialis.
iliki
6. FAST menunjukkan validitas yang baik (r <`0.73 0.91), mem
gan
sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80% dibandingkan
AST
den instrumen UAS. UAS dikembangkan berdasarkan FAST.
gan
Validitas F terhadap Functional Communication Profile (FCP)
sien
adalah baik den korelasi koefisien 0.87 (P<0.001), dan
reliabilitas dengan koefi Kendalls adalah 0.97.

b. Kekurangan :
tor,
Penilaian FAST menjadi kurang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa
tian,
fak seperti gangguan lapang pandang, gangguan visual, tidak ada
perha konsentrasi yang menurun atau pasien bingung.

m tes
afasia diklinik, seperti Token Test /TT dengan 21 tugas (20 30 menit), Boston
Diagnostic Aphasia Examination/BDAE dengan 27 sub tes (1 3 jam),
Minnesota Test for Differential Diagnosis of Aphasia/MTTDDA (3 jam),
Functional Communication Profile/FCP dengan 45 fungsi (20 30 menit),
Communicative Abilities in Daily Living/CADL dengan 10 kategori perilaku (2-
3 jam) (Browndyke, 2002; Kusumoputro, 1992). Dari hasil beberapa penelitian
tentang
instrumen tersebut, tidak ada satupun evaluasi pengukuran yang membahas
seperti validitas dan relibilitas sebagai dasar dalam mengkaji afasia (Poslawsky,
Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010). Rata rata tes tersebut
memerlukan waktu paling cepat sekitar 20 menit dan paling lama sekitar 3 jam,
tentunya dapat sulit dilakukan pada pasien yang tidak toleransi dengan
waktu yang lama.

2.2.6 Penatalaksanaan
Afasia
lam
Rehabilitasi afasia saat ini berfokus pada status fungsional pasien afasia da
asia
melaksanakan aktivitas sehari hari (Sundin & Jansson, 2003). Rehabilitasi
ktif
af dapat memperbaiki pasien dengan gangguan berbahasa agar menjadi
utro,
produ atau memperbaiki kualitas hidupnya (Goldstein, 1987, dalam
alah
Kusumop
10).
1992). Penanganan yang paling efektif saat ini untuk mengobati afasia ad
ikan
dengan melakukan latihan wicara (Kirshner, 2009, Media Indonesia,
puti
20
aik.
Menurut Aini (2006), tujuan utama dari latihan wicara adalah
tian
mengembal
lam
kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Dalam hal ini meli
buat
percakapan, membaca atau menulis, mengkoreksi angka/kata lebih b
apat
Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
penger dan pemilihan kata yang digunakan. Tujuan spesifik meliputi :
kejelasan da ucapan, kemampuan dalam mengerti kata kata sederhana,
rti:
kemampuan mem perhatian dan kemampuan mengeluarkan kata kata yang
jika
solid/jelas dan d dimengerti.

b. Efektifitas terapi afasia akan meningkat jika terapi menggunakan


bentuk stimulus audio dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam
bentuk gambar
gambar serta lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara
rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
c. Terapi dengan pendekatan strategi komunikasi. Upaya pendekatan ini adalah
mengembangkan kemampuan komunikasi meskipun pasien masih tetap
mengalami afasia (Holland, 1982 dalam Kusumoputro, 1992).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), pada dasarnya terdapat minimal empat hal
yang harus dilakukan perawat pada klien afasia yaitu : a) meningkatkan
harga diri positif b) meningkatkan kemampuan komunikasi c)
meningkatkand)stimulasi
pendengaran membantu koping keluarga.

Menurut Tarigan (2009), beberapa bentuk terapi afasia yang paling


se digunakan, adalah : ring
a. Terapi kognitif linguistik
Bentuk terapi menekankan pada komponen emosional bahasa. Sebagai
con beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk toh,
menginterpretas karakteristik dari suara dengan nada emosi yang ikan
berbeda beda. Ada yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata juga
seperti kata kata gemb Latihan seperti ini akan membantu pasienira.
mempraktekkan kemamp komprehensif sementara tetap fokus pada uan
pemahaman komponen emosi berbahasa. dari
b. Program Stimulus
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori, Termasuk gamb
gambar dan musik. Program ini diperkenalkan dengan tingkat kesukaranar
y meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit. ang
c. Stimulation Fascilitaion Therapy
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis
(susu kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama nan
alah
stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu peningkatan kemampuan
berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.
d. Terapi kelompok (group
therapy)
Dalam terapi ini pasien disediakan konteks sosiak untuk mempraktekkan
kemampuan komunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.
Selain itu mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis
dan pasien
lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan
sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang
orang tercinta mereka.
e. PACE (Promoting Aphasics Communicative Effectiveness)
Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi
ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi pasien akan
terlibat jenis
dengan terapis. Untuk menstimulasi komunikasi spontan, percakapan ini
terapi menggunakan lukisan lukisan, gambar serta benda benda
visual.
f. Terapi Intonasi Melodi ang
Metode ini terutama dipergunakan untuk pasien dengan curah verbal kan
y sangat kurang yang disebabkan oleh kelainan dihemisfer kiri, ulus
sedang hemisfer kanan masih utuh. Dasar metode ini adalah ahui
menyalurkan stim melodik dari hemisfer kiri ke arah hemisfer kanan. perti
Hemisfer kanan diket mempunyai fungsi untuk membuat interpretasi teks
proses non verbal se musik atau melodi dan diketahui ada hubungan jadi
transkalosal antara kor auditorik asosiasi pada hemisfer kiri dan kanan,
sehingga diharapkan ter curah verbal yang bersifat melodik.

2.2.7 Pemulihan Wicara-Bahasa Pada Afasia ktor


Menurut Prins dan Maas (1993 dalam Kusumoputro, 1992), bahwa faktor
fa yang mempengaruhi pemulihan wicara bahasa pada afasia adalah :
a. Luas cedera inan
Pada hakekatnya luasnya kerusakan berhubungan erat denganbila
kemungk adanya gangguan tambahan. Gangguan visual, gangguanngat
motoris
dan (terutama
gangguan berkaitan
emosional dengan
akibat proses berbicara),
kerusakan otak dapat gangguan auditif
sangat menghambat
pemulihan.
b. Letak cedera
Afasia akibat kerusakan transkortikal mempunyai prognosis yang lebih baik
daripada afasia akibat kerusakan perisilvis. Tersumbatnya arteria cerebri
posterior pada mulanya dapat mengakibatkan afasia, tetapi ini hanya
bersifat
sementara. Sebaliknya afasia thalamis ternyata tidak pulih secepat dan
menyeluruh seperti yang dulu diperkirakan.
c. Keparahan Afasia
Parahnya afasia pada periode awal biasanya bukan merupakan faktor peramal
yang baik mengenai pemulihan karena pembentukan edema dan
berkurangnya persediaan darah dapat membuat afasia tambah lebih parah
daripada yang ternyata kemudian. Semakin parah afasia yang diderita
semakin kurang
kemungkinan terjadinya pemulihan
menyeluruh. d. Umur
Tidak ada petunjuk bahwa umur berkaitan dengan pemulihan. Disisi lain,
t mustahil bahwa umur berperan. Kecepatan proses penyembuhan secara idak
u pada usia dewasa lebih lambat dibanding pada usia anak-anak, mum
khususnya stroke, kecepatan penyembuhan pada orang dewasa memilikipada
prognosis y buruk oleh karena neural plasticity (Mc. Caffrey, 2008). ang
Selain itu den bertambah tuanya seseorang, terdapat kemungkinan lebih gan
besar untuk ter berbagai penyakit dan cacat tubuh (penyakit jantung kena
dan pembuluh da penyakit gula) yang dapat mempengaruhi proses rah,
pemulihan afasia.
e. Intelegensi dan Pendidikan
Ada dugaan bahwa tingkat inteligensi dan pendidikan yang lebih tinggi
merupakan faktor positif bagi pemulihan afasia, tetapi hal ini tidak ung
diduk oleh bukti. Tingkat inteligensi dan pendidikan yang tinggi diiringi gkat
oleh tin aspirasi yang lebih tinggi pula dengan segala frustasinya. Ada inan
kemungk bahwa tingkat inteligensi yang lebih tinggi memacu pemulihan asia
gangguan af yang lebih besar, tetapi hal ini tidak dapat dihubungkan gan
dengan keuntun komunikatif yang lebih besar.

Penanganan terpadu antara terapis dengan anggota keluarga pasien merupakan


faktor yang cukup penting dan kunci keberhasilan dalam proses penanganan
afasia. Menurut Bullan, Chiki and Stern (2007), keterlibatan anggota keluarga
dan teman dalam latihan dapat meningkatkan efektifitas rehabilitasi. Selain itu
lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan yang cocok untuk
menstimulasi kemampuan berbahasa afasia, karena stimulasi tersebut
dapat
dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu yang tepat, saat pasien
dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup tahu mengenal
hal ikhwal keadaan pasien (Prins & Maas, 1993, Kusumoputro, 1992).

Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah bahwa pasien afasia
tetap membutuhkan kesempatan mendengar pembicaraan orang lain secara
normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami afasia,
mendiamkan atau menganggap seolah olah pasien tidakmisalnya
memahami
pembicaraan keluarga, pasien akan merasa frustasi dan sakit hatih &
(Mulyatsi Ahmad, 2008).
Anggota keluarga dapat dianjurkan
:
dan
1. Mengucapkan bahasa yang sederhana dengan kata kata
pendek kalimat yang sederhana.
2. Mengulang isi kata atau menulis kata kunci untuk menjelaskan
arti.
bila
3. Mempertahankan percakapan seperti pada orang
dewasa.
4. Mengurangi distraksi seperti bunyi radio atau televisi yang dan
keras, memungkinkan saat berkomunikasi.
5. Melibatkan pasien afasia dalam percakapan dengan juk,
menanyakan meminta pendapat pasien.
6. Menganjurkan beberapa jenis komunikasi, seperti bicara,
menun gambar.
7. Hindari mengkoreksi ketika pasien kan
bicara.
8. Memberikan waktu untuk memahami
pembicaraan.
Menurut Salter, Foley & Teasell, 2010, peningkatan dukungan keluarga
yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah
tekanan jiwa dan depresi paska stroke. Dukungan keluarga yang dapat
diberikan pada pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat
dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.
Dimensi dukungan keluarga menurut Sarafino (2004), Friedman (2010) adalah :
a. Dimensi informasi
Dukungan ini berupa pemberian saran percakapan atau umpan balik tentang
bagaimana seseorang melakukan sesuatu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dimensi emosional
Dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian terhadap
seseorang, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau kan
didengar saat mengeluarkan perasaanya sehingga membuat pasien aik,
merasa lebih b memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki saat
dan dicintai pada stress. Dimensi ini memperlihatkan adanya dukungannya
dari keluarga, ada pengertian dari anggota yang lain terhadap anggota
keluarga dengan afasia.
c. Dimensi instrumental ung,
Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungan ini berupa bantuan langsatau
seperti bantuan mengerjakan tugas tertentu pada saat mengalami stress suk
penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain,
terma didalamnya selalu memberikan peluang waktu.dan dalam bentuk
uang. gan
d. Dimensi penghargaan ide
Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif gan
den orang orang disekitarnya, dorongan atau pernyataan yang setuju
terhadap
ide atau perasaan individu. Keluarga bertindak sebagai sebuah
bimbin umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah.

Afasia tergolong gangguan komunikasi dan komunikasi merupakan bagian


penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi verbal meliputi kata kata yang
diucapkan maupun yang ditulis (Potter & Perry, 2005). Seseorang yang
berkomunikasi akan menggunakan sederetan fungsi seperti simbolisasi, respirasi,
resonansi, fonasi, artikulasi, lafal, prosodi dan kemampuan komunikasi
(Kusumoputro, 1992). Gangguan wicara bahasa keduanya merupakan
gangguan
komunikasi. Gangguan berbicara secara praktis disebut sebagai disartria
yang terdiri dari gangguan artikulasi, fonasi dan fluensi yang dapat disebabkan
lesi pada sistem neuromuskular untuk wicara, sedangkan afasia merupakan
gangguan berbahasa yang disebabkan oleh lesi pada hemisfer kiri (dominan)
(Kusumoputro,
1992; Prins & Maas, 1993; Lumbantobing,
2011).

Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi manusia dan


dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Dalam berbahasa tercamer
berbagai kemampuan yaitu bicara spontan, pemahaman, menamai, repupa
(mengulang), membaca dan menulis (Lumbantobing, 2011). Bahasa akankan
men efektif hanya jika setiap orang yang berkomunikasi memahamikup
pesan ters dengan jelas (Potter & Perry, 2005). etisi
jadi
Gangguan komunikasi verbal akibat afasia menyebabkan klien mengaebut
hambatan dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari hari,
sehin menyebabkan distres pada pasien. Hal ini terjadi karena komunikasi
merupa proses pertukaran informasi diantara dua orang atau lebih atau lami
terjadi pertuk ide ide atau pemikiran (Berman, Snyder, Kozier & Erb, gga
2008). Sedang menurut Sundin & Jonson (2003), melalui kan
komunikasi seseorang d mengekspresikan perasaan dan integritas diri. aran
Lebih lanjut menurut Arwani (2 komunikasi mempunyai kegunaan 1) kan
membantu perkembangan intelektual sosial 2) identitas diri 3) membantu apat
memahami kenyataan yang ada disekeli kita 4) sarana pembentuk kesehatan003)
mental dan
ling
Pada pasien afasia karena keterbatasan dalam berkomunikasi verbal,
sehin menyebabkan klien merasa diisolasi, tidak utuh, tidak berdaya. Jika
gga
idak
dapat berinteraksi dengan orang lain karena penyakit, keterbatasan fisik,
gangguan karena terapi atau alasan emosi, maka perawat harus mendorong
pasien untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya (Potter & Perry, 2005).
Hal ini karena peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase
pemulihan agar dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid &
Soertidewi, 2007).
Henderson mendefinisikan keperawatan sebagai upaya membantu individu
untuk mendapatkan kebebasan dalam beraktivitas dan berkontribusi dalam
mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satu kebutuhan dasar manusia menurut
Hend erson (dalam Tomey & Aligood, 2006) adalah berkomunikasi dengan
orang lain untuk mengekspresikan emosi, kebutuhan rasa takut dan
mengemukakan pendapat.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada pasien


adalah dengan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Keteramp
afasi
mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitasi. Pasien d a
dibantu dengan menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini bilan
gambar, kata kata, huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasienapat
se dengan kegiatan yang diminta atau diungkapkan. Yang perlu diingaterisi
adalah ba papan komunikasi ini sebagai media komunikasi untuksuai
mengantisipasi keing pasien dan mencegah pasien frustasi. Pasien harushwa
dianjurkan u mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papaninan
tulis bila t mampu mengekspresikan kebutuhan.(Smeltzer & Bare, 2002;ntuk
Mulyatsih Ahmad, 2008; Potter & Perry, 2005). idak
&
2.3.2 Pengkajian Kemampuan Fungsional Komunikasi
Kemampuan fungsional komunikasi dapat dinilai dengan Derby
Functi
Communication Scale. Instrumen ini dikembangkan oleh Derby et al, pada
onal
ta
hun
1997 untuk pengkajian observasi fungsional komunikasi pada pasien
gan
den gangguan komunikasi didapat selama di rumah sakit dan unit
tasi.
rehabili Instrumen ini dapat digunakan oleh non speech and language
ugas
dan pet kesehatan. DFCS menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
uran
urgh
Functional Communication Profile (EFCP). DFCS terdiri dari tiga skala
yaitu Ekspresi (E), Pemahaman (U) dan Interaksi (I). Setiap skala terdiri dari 8
pertanyaan dengan rentang terendah 0 dan tertinggi 8. Nilai 0 berarti pasien tidak
mampu mengekspresikan kebutuhan, tidak ada pemahaman atau tidak ada
interaksi pada skala E, U dan I dan nilai 8 = tidak menunjukkan gangguan pada
skala E, U dan I. Kesimpulan yang diperoleh semakin tinggi nilai yang
diperoleh,
maka akan menunjukkan kemampuan fungsional komunikasi yang lebih baik
pada skala E, U dan I. Skor dari ketiga penilaian ekspresi, pemahaman dan
interaksi adalah 0 24.

2.4 Augmentative & Alternative Communication


(AAC)

2.4.1 Konsep Dasar

Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul & effs,
J
uan
2008), AAC merupakan perangkat pendukung atau pengganti
kan
kemamp komunikasi verbal seseorang. Menurut Garret (2003) intervensi
kasi.
AAC merupa multimodal secara alami, seperti isyarat, tanda dan bantuan
AC
strategi komuni Menurut Poslawsky, Schuurmans, Lindeman &
kat,
Hafsteindottir (2010) A merupakan komunikasi non verbal, seperti isyarat,
ebut
atau menggunakan perang seperti papan alfabet, menu menu bergambar.
kasi
Dari ketiga pernyataan ters dapat disimpulkan bahwa AAC merupakan
alat bantu pengganti komuni verbal, seperti papan alfabet, isyarat dan menu
menu bergambar.
ram
08),
AAC merupakan salah satu media latihan wicara yang efektif sebagai
oleh
prog rehabilitasi pada pasien stroke dengan afasia. Menurut
kasi
Schlosser (20 intervensi AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal
AAC
ini didukung sistematik review Finke, Light & Kitko (2008), tentang
ntuk
efektivitas komuni perawat pada pasien dengan masalah komunikasi
kan
pada pengunaan menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu
ang
perawat dan pasien u berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain,
mengalami keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tidak mampu untuk
berpartisipasi secara verbal dalam interaksi komunikasi pada saat latihan wicara
(Beukelman et al., 2007).
2.4.2 Tujuan AAC
Tujuan utama penggunaan AAC adalah agar pasien dapat terlibat secara efektif
dalam interaksi dengan keluarga, teman, perawat dan petugas kesehatan lainnya
untuk mengatasi gangguan berkomunikasi (Beukelman et al, 2007 dalam Finke,
Light & Kitko (2008).

2.4.3 Kelompok pengguna AAC


AAC digunakan sebagai pendukung dan pelengkap pada pasien gan
den keterbatasan komunikasi verbal. Beberapa kondisi seperti lsy,
cerebral pa gangguan intelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batangopic
otak, amyotr lateral sclerosis, penyakit parkinsosn, multiple skelerosis, atic
dimensia, traum brain injury memerlukan AAC (Wikipedia, 2011). elah
Berbagai hasil penelitian t sukses menggunakan AAC sebagai alat bantu bal,
dalam berkomunikasi non ver ketika komunikasi verbal bukan merupakansien
suatu pilihan. Karakteristik pa afasia yang memiliki keterbatasan kognitif, gga
motivasi dan situasi sosial, sehin AAC memberikan keuntungan pada kasi
kemampuan bahasa dan kekuatan komuni (Van de Standt Koenderman, gan
2004 dalam Clarkson, 2010). Pasien den gangguan komunikasi berat dan nya
kebutuhan komunikasi yang komplek, umum memerlukan perangkat AACkasi
dan strategi untuk memfasilitasi komuni (Beukelman & Mirenda, 2005juga
dalam Finke, Light & Kitko, 2008). AAC efektif diberikan pada pasien lam
dengan afasia berat (Diener & Rosario, 2004, da Poslawsky, Schuurmans,
Lindeman & Hafsteindottir, 2010).
tion
2.4.4 Klasifikasi AAC dan Keterkaitan dengan NIC (Nursing
Interven

AAC diklasifikasikan menjadi tanpa menggunakan perangkat/ unaided atau


menggunakan perangkat/aided (Leonard La Ponte, 2005 dalam Wikipedia,
2011). Metode komunikasi tanpa menggunakan perangkat fokusnya pada
penggunaan tubuh (users body) untuk menyampaikan pesan yang komunikatif.
Strategi ini meliputi komunikasi melalui vokalisasi, tangan, wajah dan/kaki dan
tanda manual (bahasa isyarat Amerika, pantomim, isyarat, ekspresi wajah,
pantomim, sistem
kedipan mata dan kepala yang dianggukkan (Finke, Light & Kitko, 2008;
Wikipedia, 2011). Sedangkan metode komunikasi yang menggunakan perangkat
mencakup penggunaan kertas dan pensil, gambar, papan alfabet, buku
komunikasi sampai menggunakan komputer laptop dengan sintesis wicara.

Sistem komunikasi yang menggunakan alat diklasifikasikan menjadi


AAC teknologi sederhana/low technology yaitu tanpa menggunakan elektronik
mulai oleh
dari kartu bergambar, buku komunikasi dengan kata kata yang ditampilkan
gambar dan simbol yang dapat ditunjukkan oleh pasien, papan komunikasi ang
y sederhana, papan alfabet, alat tulis, majalah/surat kabar. .

Sedangkan AAC yang berteknologi tinggi/high technology menggunakan tem


sis komputer/elektronik dengan kemampuan multimedia. Teknologinggi
ti mengandung mikrokomputer yang dapat menyimpan dan memperoleh bali
kem informasi pesan/hasil wicara serta dapat dicetak. Software komputer apat
ini d menampilkan kata atau gambar, mengucapkan kata dengan ikan
menamp kecepatan bicara, mencatat bicara pasien dan mengulang ang
kembali apa y diucapkan pasien, sehingga cocok pada kondisi hemiplegi AC
atau paraplegi. A dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pasien 008;
(Finke, Light & Kitko, 2 er et
La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian asa.
Salt al (2005), terapi komputer dapat meningkatkan kemampuan wicara ada
bah Hasil penelitian oleh Pederson et al (2001), dengan melakukan kan
percobaan p tiga pasien dengan anomia, seperti afasia ringan, gangguan atan
dalam menemu kata setelah menggunakan terapi komputer, ditemukan
terjadi peningk kemampuan bahasa.
Sedangkan menurut NIC, intervensi keperawatan pada pasien gangguan
komunikasi verbal bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada
pasien afasia. Menurut Dochterman & Bulecheck (2004) peningkatan
komunikasi merupakan bantuan dalam menerima dan mempelajari metode
alternatif pada pasien dengan masalah komunikasi.
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat diberikan pada pasien afasia
menurut NIC dalam (Ackley & Ladwig, 2011; Ackley & Swan, 2008;
Dochterman & Bulecheck, 2004; Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010),
adalah penggunaan papan alfabet, papan gambar atau flash card yang berisi
gambar, isyarat/gerak tangan, stimulus visual, objek, alat tulis, menggunakan
kata kata yang sederhana, bahan bahan yang berisi tulisan yang dapat
ditunjuk oleh pasien.

Bila dilihat intervensi keperawatan di atas, intervensi tersebut merupakan bagian


dari AAC. Hanya pada AAC, alat bantu komunikasinya mempunyai yak
ban variasi dibandingkan dengan jenis AAC yang terdapat dalam NIC,erti
sep pantomim, tanda bahasa, komputer dengan kemampuan multimedia. kan
Berdasar klasifikasi AAC, intervensi keperawatan tersebut merupakan low
jenis AAC technology yang dapat menggunakan alat /tanpa alat. Menurut et al
Fried Oken (1991 dalam Finke, Light & Kitko, 2008), metode npa
komunikasi ta menggunakan perangkat dan menggunakan perangkat pan
sederhana (gambar, pa alfabet, kertas dan pensil merupakan AAC yang mah
paling sering digunakan diru sakit pada pasien dengan masalah komunikasi. kan
Hal ini mungkin dapat disebab karena penggunaan AAC yang sederhana dan
lebih familiar, mudah diakses dilakukan untuk memfasilitasi/mendukung
komunikasi pada pasien.
apat
Penggunaan komputer yang merupakan AAC modern (high technology) ds &
diberikan pada pasien afasia sebagai alat bantu komunikasi afasia (Ignatavickan
iu Workman, 2010). Tetapi penggunaan komputer ini perlu mempertimbangruh
kemampuan pasien dan perawat. Hal ini dapat disebabkan karena tidak seluapat
pasien stroke familiar dengan menu menu yang ada dikomputer sehingga uter.
d
Kemampuan dan kondisi pasien merupakan komponen utama efektifnya
dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam Powlasky, Schuurmans,
Lindeman & Hafsteinsdottir, 2010).

Pada umumnya berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini dapat
menggabungkan metode komunikasi yang menggunakan alat atau
tidak
menggunakan perangkat (Leonard La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011).
Metode akses spesifik yang dipilih tergantung pada kemampuan dan
keahlian pengguna (Wikipedia, 2011). Selain itu penggunaan AAC juga perlu
mempertimbangkan faktor faktor, seperti kemampuan pemahaman pasien,
karakteristik yang berhubungan dengan aspek sosial, kekuatan dan
kelemahan pembelajaran dan kemampuan intelektual.

Gambar 2.3 Low Technology dan High


Technology
(Sumber : www. wikipedia.org/wiki, 2011)

2.4.5 Durasi dan intensitas latihan wicara


sitas
Berbagai hasil penelitian bervariasi menjelaskan tentang durasi dan
inten latihan berkomunikasi, yaitu :
edia
a. Bakheit et al (2007) membandingkan 2 kelompok yang menggunakan
gambar sebagai latihan wicara (orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan
objek, menjelaskan dan mengenalkan hubungan antara kedua item) dengan
durasi yang berbeda (kelompok intensif = 5 jam dan kelompok standar = 2
jam) yang dimulai sedini mungkin selama 12 minggu,
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa
pada kelompok standar dengan waktu 2 jam (p = 0.002 dibandingkan
dengan kelompok intensif dengan waktu 5 jam (p > 0.05).
b. Rappaport et al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman &
Hafsteindottir, 2010) melakukan penelitian dengan menggunakan media
gambar sebagai latihaan wicara yang diberikan setiap hari selama 5
tahun dengan lama latihan 3 jam/minggu, sebagian menunjukkan kemampuan
berbahasa, sedangkan sebagian lagi menunjukkan sedikit atau tidak ada
perbaikan.
c. Bhogal, Teasell, Foley & Speechley (2003) yang menggunakan
induced therapi ( menggunakan kartu berisi gambar) sebagai latihan con
wic membandingkan kelompok yang menerima terapi 3 jam selama 10 str
hari kelompok standar yang menerima 1 jam selama 4 minggu, aint
menunjuk perbedaan signifikan pada kelompok terapi yang menerima 3 ara,
jam selam hari dibandingan dengan kelompok standar yang menerima dan
1 jam selam minggu menunjukkan kemampuan penamaan dan kan
pemahaman bahasa y dinilai dengan tes wicara (Token Test). a 10
a 4
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan variasi tentang intenang
dan durasi dalam latihan wicara, tetapi yang terpenting latihan harus
dim sedini mungkin setelah fase akut dan pasien stabil. Latihan secara
intensif d meningkatkan neural plasticity, reorganisasi peta kortikal dansitas
meningka fungsi motorik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan ulai
oleh Xerry, (1998), setelah melakukan percobaan pada binatang dengan apat
lesi otak fokal dengan memberikan latihan perilaku secara intensif tkan
(Bakheit et al., 20 et al
Penelitian itu didukung oleh hasil penelitian akut
Robey (1998) dengan
melaku metanalisis pada 55 artikel tentang terapi afasia, bahwa terapi dapat07).
meningka hasil positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerimakan
tkan
ada

Penelitian tentang penyembuhan spontan kemampuan bicara menunjukkan


pemulihan tercepat selama 2 atau 3 bulan dan puncaknya terjadi setelah 1 tahun
(Bathier, 2005). Didukung oleh penelitian Laska (2007) bahwa penyembuhan
bicara tercepat terjadi dalam bulan pertama setelah paska stroke. Menurut Darley
(1977 dalam Kusumoputro, 1992), bahwa terapi yang intensif akan
memberikan
suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila diberikan pada waktu terjadi
pemulihan spontan dan hasil maksimal akan didapatkan apabila terapi
dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa bulan.

2.4.6 Hasil/outcome AAC


Hasil yang dicapai pada pemberian AAC adalah kualitas hidup. Hal ini
dapat terjadi karena pasien yang menggunakan AAC pada umumnya memiliki
dalam hubungan dengan keluarga, teman dan aktivitas hidup yang kepuasan kan.
menyenang Masalah yang berhubungan dengan ketidakpuasan adalah dan
pelayanan dukungan AAC yang menyebabkan hambatan dalam mm
penggunaan AAC (Ha et al
& Mirenda, 2000, dalam Wikipedia, 2011). Didukung oleh penelitian Johstonuan
(2004 dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat meningkatkan tkan
kemamp komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan seseorang dengan
meningka kemandirian dan perkembangan hubungan sosial.

2.4.7 Prosedur Pemberian Latihan Komunikasi dengan AAC Vos


Menurut Bourgeois, Dijkstra, Burgio & Burge (2001); Johnson, Hough, asi,
King,
& Jeffs (2008); Costello, Patak & Pritchard (2010) yang telah
dimodifik prosedur pemberian AAC adalah :
dap
a. Pra Kegiatan
ngsi
1. Sebelum memulai pelaksanaan perawat harus melakukan pengkajian
sien
terha tanda tanda vital, kesadaran pasien komposmentis dan stabil, fu
apat
pendengaran, fungsi penglihatan/visual, status emosi pasien, apakah
oses
pa buta huruf atau tidak untuk memberikan alat bantu komunikasi.
Pasien d menggunakan alat bantu dengar, gigi palsu dan kaca mata
2. Pastikan lingkungan sekitar pasien kondusif, seperti menghindari
kebisingan dengan membawa pasien ke ruangan khusus, untuk memudahkan
pasien berkonsentrasi dalam pelaksanaan kegiatan.
3. Perawat dapat melibatkan keluarga untuk mendampingi pasien,
mengobservasi pelaksanaan dan membantu dalam berkomunikasi dengan
pasien afasia.
4. Sebelum memulai kegiatan, perawat dapat melakukan pengkajian
terhadap kemampuan wicara bahasa, seperti kemampuan ekspresi verbal,
membaca, pemahaman, menulis menggunakan format FAST. Dari
pemeriksaan FAST dapat diketahui apakah pasien termasuk afasia motorik,
sensorik atau afasia global.
5. Dalam berkomunikasi, perawat tetap memperhatikan pedoman dalam
berkomunikasi dengan pasien afasia.
6. Pasien dapat diberikan berbagai alat bantu komunikasi, tergantung dan
kondisi kemampuan pasien.

b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberian AAC pada pasien afasia motorik adalah :
1. Perawat duduk berhadapan dengan pasien/di samping tempat dan
tidur pertahankan kontak mata.
2. Perawat memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada pasien dan arga
kelu
dan
maksud dan tujuan dilakukan latihan komunikasi dengan suara yang
jelas dapat dipahami oleh pasien.
saat
3. Hindarkan berbicara dengan suara yang keras/berteriak pada
ebih
berkomunikasi dengan pasien karena dapat membuat pasien merasa
l frustasi dengan keterbatasannya.
ang
4. Perawat dapat mulai berkomunikasi dengan memberikan AAC sederhana
y menggunakan bantuan dan tanpa bantuan, seperti :
a) Papan komunikasi/buku komunikasi
pan
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan. Pa
ang
komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan bagi pasien y
ang
tidak dapat membaca (buta huruf). Posisikan papan komunikasi
nyaman bagi pasien dan dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi
simbol simbol/gambar dapat berhubungan dengan nyeri/rasa
nyaman, emosi, posisi, kebutuhan aktivitas rutin sehari hari yang
familiar dengan pasien, seperti mandi, makan dan minum, BAB/BAK
dan istirahat. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan alat komunikasi
tersebut. Pasien dan keluarga dapat diperkenalkan penggunaan papan
komunikasi yang
berisi tampilan gambar. Ajarkan setiap simbol/ gambar yang ada
pada papan komunikasi. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap
bagian, misalnya bila pasien sedang marah/sedih, pasien dapat
menunjukkan bagian gambar emosi sedih/marah, bagian tubuh yang
menunjukkan pasien merasa tidak nyaman. Berikan waktu pada
pasien untuk memahami informasi yang diberikan. Jika pasien tidak
mampu mengidentifikasi simbol simbol gambar tersebut, ganti simbol
familiar, jelaskan hubungan antara simbol
gambar
dengan
menjadi
artinya
yang
dalam
lebih ntuk
be kalimat dan instruksikan pasien untuk mengulangnya dalam mbol
bentuk si lain. Misalnya simbol piring + sendok yang ngin
mengidentifikasi saya i makan. Bila pasien tidak dapat antu
mengidentifikasi, perawat dapat memb dengan menunjukkan mbar
gambar, kemudian perawat menanyakan ga apakah ini?

Tunjukkan buku komunikasi yang berisi gambar secara berulang ulang


dan anjurkan pasien untuk mengucapkan kata- kata dalam suara eras
k sehingga dapat melatih diotot otot wicara dan vokalisasi. lien
Minta k untuk menyebutkan nama nama benda yang ditunjukkan dan
oleh pasien jelaskan nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu kata
menyebutkan tersebut, bantu pasien menyebutkan suku pertama atau
kata tersebut dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : apat
pensil. Kita d membantu dengan suku kata pen atau dengan ulis
kalimat : kita men dengan. Instruksikan pasien untuk mengulangJika
kata kata tersebut. memungkinkan gunakan ekspresi wajah, uara
gerakan tubuh dan irama s sehingga pasien dapat memahami
pembicaraan.
Papan alfabet dapat digunakan pada pasien yang tidak buta huruf. Akses
ini dapat memungkinkan pasien untuk mengatakan apa yang mereka
inginkan. Lakukan pengkajian abjad ABC dan vokal yang diucapkan
sebelum menggunakan papan alfabet. Minta pasien untuk mengeja abjad
ABC dan bantu pasien untuk mengulang kembali mengeja abjad
tersebut dengan suara yang keras.
c) Alat tulis
Pasien dapat diinformasikan dan dibantu untuk menggunakan pulpen dan
kertas untuk menyatakan keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas, seperti mau makan, minum, kemudian katakan
pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan perintahkan pada
pasien untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Minta juga
pasien untuk
d) mengeja
Strategi berkomunikasi
kata atau dengan
bagian mengajak
yang pasien bercakap ca
ditulisnya.
misalnya acara televisi, apa yang dimakan pasien pada sarapan pagi,
kap,
ba di koran, dll. Upaya pendekatan ini adalah mengembangkan
caan
kemamp komunikasi.
uan
e) Mendengarkan musik/lagu lagu. Dengarkan sebuah lagu yang
disen pasien, kemudian pasien diajarkan untuk mengambil lagu
angi
lagu terse kemudian diajarkan menyanyikan kalimat kalimat
ut,
pada melodi pasien diminta meniru menyanyi.
dan
f) Foto foto keluarga. Menunjukkan foto foto anggota keluarga pas
kemudian pasien diminta menunjukkan dan menyebutkan nama
ien,
ang keluarganya, meminta mengulanginya kembali.
gota
5. Berikan pujian atas setiap keberhasilan yang dilakukan, bila pasien
be menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan keluarga
lum
u tetap melanjutkan latihan.
ntuk
6. Gunakan perangkat lain, seperti rekaman recorder untuk menilai kema
wicara bahasa/komunikasi pasien. Perawat dapat memutar kembali
juan
h rekaman tentang perkembangan wicara-bahasa dan tunjukkan kepada
asil
pasie Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk menilai
n.
kemajuan pa
sien

7. Jika terlihat pasien merasa tidak mood atau mengalami kelelahan,


latihan dapat dihentikan sementara dan perawat dapat kontrak waktu kembali
kepada pasien dan keluarga untuk melanjutkan latihan.
2.5 Depresi pada Pasien Stroke dengan
Afasia

2.5.1 Konsep Dasar


Afasia dan depresi merupakan dua gejala sequalae yang terjadi pada
stroke (Dahlin et al, 2008). Menurut Kneebone & Dunmore (2000); Thomas &
Lincoln (2006) diperkirakan prevalensi depresi paska stroke berkisar sekitar
25-79%. Pasien afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka
inginkan,
mampu berbicara melalui telepon, tidak mampu menjawab tidak atau
pertanyaan,
berpartisipasi dalam percakapan, sehingga membuat pasien menjadi tasi,
frus marah, kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ada
ini p akhirnya menyebabkan pasien menjadi depresi (Mulyatsih & 010;
Ahmad, 2
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
asil
Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, tetapi berdasarkan DPS
h penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa faktor risiko dan
terjadi pada pasien afasia adalah 1) faktor biologi, frekuensi serangan itian
stroke keparahan gangguan berbahasa 2) faktor psikososial, seperti kan
kesepian. Penel lain yang dilakukan oleh Schub & Caple (2010), bahwa nya
DPS dapat disebab oleh meningkatnya derajat afasia, meningkatnya .
keparahan stroke, menurun intelektual, riwayat pribadi atau keluarga dengan
depresi atau tingga l sendirian (c)
saan
DPS dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) sedang ong
dan berat. Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa tuh,
pera ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga gan
orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan pasien stroke membatasi
diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat
mendorong penderita kedalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan
rasa percaya dirinya (Hill, Payne, & Ward, 2000).
2.5.2 Prevalensi Depresi Paska
Stroke

Gangguan mood dan ciri depresi biasa ditemukan, tapi seringkali tidak
mudah dikenali pada pasien paska stroke. Penelitian yang dilakukan Robinson
pada tahun
1997 melaporkan bahwa prevalensi DPS sangat bervariasi 20% -
65%. (Suwantara, 2004). Sebagian besar sekitar 40% pasien akan mengalami
depresi dalam 1 2 bulan pertama setelah stroke dan sekitar 10% - 20%
pasien baru mengalami depresi beberapa waktu antara 2 bulan sampai dengan 2
tahun setelah
stroke (Suwantara, 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan ole Sitet al
(2007) terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar8%.
4 aka,
Sementara menurut Meifi & Agus (2009), dalam sejumlah besar 53%
pust prevalensi DPS dapat terjadi sekitar 6 22% pada 2 minggu pertama,
22 setelah 3 4 bulan, 16- 47% pada tahun pertama.
obal
Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia r et
gl (71%:44%) (Amir, 2005). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian ebih
Signe al, (1989 dalam Amir, 2005) bahwa depresi pada pasien afasia asia
motorik l tinggi daripada global (63%:16%). Tingginya frekuensi depresi atan
pada pasien af motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran merekajuga
akan kecac fisit
/ketidakmampuan pasien. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motoriklaku
menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan atau
de pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan aitu
peri yang dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah,
agitasi, retardasi dan adanya pemeriksaan Dexamethason Serum Test (DST)
2.5.3 Etiologi
Depresi

Menurut Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009),
penyebab pasti DPS belum diketahui pasti, namun terdapat beberapa
teori yang menjelaskan faktor penyebab DPS, yaitu :
a. Faktor biologi
Walaupun penyebab depresi paska stroke tidak diketahui, namun
beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas otak memegang peranan otak.
Beberapa peneliti menyokong teori hubungan lateralisasi dengan DPS, tetapi
berdasarkan review yang dilakukan oleh Singh (1998) dan hasil
metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan bukti yang konsisten
antara lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, Ferro, Santos & Luisa, 2006).
Gejala
sebagai akibat lesi pada susunan saraf pusat DPS
otak dandapat
bisa ditimbulkan
juga akibat dari
gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif paska oke
str (Hawari, 2006; Storor & Byrne, 2006).

Depresi timbul sebagai akibat lesi pada daerah otak yang kan
menyebab terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga terjadi onin
penurunan serot yang merupakan neurotransmitter untuk mempertahankanetap
keadaan emosi t stabil. Penurunan serotonin menyebabkan gangguan dan
suasana hati, tidur nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan ikan
suasana hati dimanifestas dengan marah, frustasi, putus asa dan sering tian
menyebabkan depresi. Peneli melaporkan sebuah hasil yang signifikan otak
tergantung pada lokasi lesi dengan kejadian depresi paska stroke dilesiebut
hemisfer kiri. Penelitian ters juga menunjukkan adanya tingkat atas
keparahan depresi dengan jauhnya b anterior lobus frontalis walaupun kiri
demikian tidak semua lesi pada hemisfer menyebabkan depresi paska disi
stroke (Andri & Susanto, 2008). Pada kon depresi dapat terjadi dan
disregulasi biogenik-amin, seperti serotonin norepinephrin dan mik-
disregulasi neuroendokrin seperti aksis hipotala pituitary-adrenal.

c. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang terdapat pada pasien akibat dampak serangan stroke
memiliki hubungan dengan terjadinya DPS. Stroke dapat berdampak pada
berbagai fungsi tubuh, seperti gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa,
penglihatan, afek dan gangguan kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini
dianggap disability bagi pasien, sehingga menimbulkan perasaan tidak
berguna,
tidak ada gairah hidup dan keputusasaan. Keadaan ini selanjutnya
akhirnya dapat mendorong penderita kedalam gejala depresi yang berdampak
pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Pada pasien afasia mengalami
depresi akibat ketidakmampuan bercakap cakap dengan orang lain. Klien
juga tidak dapat berbicara melalui telepon, menjawab pertanyaan atau
terlibat melalui percakapan, sehingga menyebabkan klien marah, frustasi,
takut tentang masa depan dan perasaan hilangnya harapan (Smeltzer & Bare,
2002).
2.5.4 Faktor faktor yang Berhubungan dengan Depresi
Secara umum, faktor faktor yang berhubungan dengan depresi paska
st adalah : roke

a. Lokasi lesi di otak.


Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti
menyata bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Dalamkan
dua dek terakhir ini, para peneliti mencoba menemukan korelasi ade
antara lokasi anatomis dan depresi paska stroke. lesi
Beberapa lesi pada otak yang dianggap dapat menyebabkan DPS adalah:
1. Lesi Korteks dan Subkorteks
Penelitian yang dilakukan terhadap DPS didapatkan sekitar 44%
pa dengan lesi di korteks kiri mengalami depresi, sedangkan lesi disien
subkor kiri 39%. Depresi pada lesi korteks kanan 11% dan subkorteksteks
kanan 1 4%.
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai kejadian depresitara
an lesi korteks dan sub korteks. Perbedaan yang signifikan yaitu lesi
terdapat di hemisfer kiri dengan lesi hemisfer kanan, prevalensinggi
DPS lebih ti pada lesi di hemisfer kiri. Bila dilihat lebih jauh, pasienteks
frontal kiri anterior mengalami depresi lebih sering bila dibandingkan
dengan lesi di korteks kiri posterior. Lesi pada korteks frontal dorsal
lateral dan lesi basal ganglia kiri menimbulkan depresi mayor lebih berat
(Amir,2005)
2. Lesi sirkulasi serebri media dan
posterior
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi
sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien dengan
lesi sirkulasi
serebri media. Mekanisme depresi akibat lesi di arteri serebri media
berbeda dengan lesi di batang otak atau serebellum. Hal ini disebabkan
karena lesi batang otak biasanya ukurannya dan tidak begitu merusak jaras
biogenik amin. Jaras biogenik amin berperan penting dalam memodulasi
emosi (Amir, 2005).
3. Lesi hemisfer kiri
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 54 pasien stroke
bahwa 66% dengan depresi mayor, 63% dengan depresi minor mel
mempu lobus parietalis. Lesi pada massa putih (white matter)apor
di par menyebabkan terjadinya depresi lebih tinggi dibandingkan kan
tempat (Amir, 2005). nyai
ietal
Meskipun demikian terdapat pendapat beberapa ahli yang menen
lain
adanya korelasi dan tingkat depresi pada pasien stroke. Pendapat ters
dingkapkan oleh Berg, dkk (dalam Suwantara, 2004) yang
menyata bahwa pasien lesi hemisfer kiri yang memperlihatkan tang
gejala dep jumlahnya tidak bermakna lebih besar dibandingkan ebut
dengan pasien lain DPS tidak dipengaruhi oleh lokasi dari lesi. kan
Berdasarkan hal ini Berg, menganjurkan supaya berhati hati dalam resi
melihat hubungan tersebut. nya.
dkk
b. Afasia
Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa yang didapat
dim sebelumnya pasien normal. Afasia merupakan salah satu akibat
stroke y sering terjadi, dialami sekitar 1/3 pasien pada fase akut. ana
Meskipun secara j gangguan kemampuan berkomunikasi sangat ang
berperan terhadap berat berkepanjangannya depresi, evaluasi psikiatrik elas
terhadap dampak afasia p dan
ada
asia
sering mengalami kriteria eklusi (Meifi & Agus, 2009).

c. Umur
Menurut Amir (2005), depresi lebih sering terjadi pada usia muda dengan
umur rata rata awitan antara 20 40 tahun. Walaupun demikian, depresi
juga dapat terjadi pada anak anak dan lanjut usia. Sedangkan menurut
Glemcevski et al
(2002) menyatakan bahwa usia lanjut sebagai faktor risiko terjadinya depresi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya terhadap 80 pasien stroke dengan
umur rata rata 58 (SD 12.5) tahun. Depresi paska stroke di usia lanjut
mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Peneliti lain, Farrel
(2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang
lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa muda. Sedangkan
berdasarkan
penelitian depresi
hasil paska stroke oleh Darussalam di rumah sakit Blitar
(20 faktor faktor seperti usia dan tingkat pendidikan bukan 11),
merupakan fa yang berpengaruh secara signifikan terhadap depresi ktor
paska stroke. H penelitian oleh Ardi (2011) menjelaskan bahwa usia, asil
jenis kelamin dan tin pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan gkat
terhadap keputusaan. Men Teori Depresi Beck (1967 dalam Dunn, 2005), urut
keputusasaan merupakan ge dari depresi. jala

d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko u
ntuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih ti
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan nggi
l
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yebih
mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki. ang
Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-
laki
5%-
12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walau
pun
depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada
aki-
l laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua (Amir, 2005). Sedangkan
urut
men Storor & Byrne (2006) tidak ada hubungan yang signifikan yang
kan
diantara skor dimensi depresi dan karakteristik usia, jenis kelamin. Sedangkan
menurut penelitian Laska (2007); Thomas & Lincoln, 2008) bahwa faktor
faktor yang mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia,
tingkat dukungan sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood. Hal ini
kemungkinan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan
dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan
pria.
Selain itu ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya
prevalensi depresi pada wanita, misalnya depresi premenstruasi, postpartum,
postmenopouse (Amir, 2005).

e. Frekuensi serangan stroke


Faktor bio-anatomi merupakan faktor diluar kendali kita dan merupakan
hasil dari struktur biologis termasuk stroke hemisfer kiri atau kanan, area
kortikal
atau subkortikal dan lesi sistem arteri serebral. Lesi pada hemisfer kiri lebih
sering menyebabkan depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika
lesi mendekati lobus frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
stroke berulang akan melipatgandakan jenis serta beratnya defisit (Lee, Tang,
Tsoi, Fong & Yu, 2009).

f. Kemampuan fungsional
Kerusakan kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang palingelas
j terlihat. Defisit motorik, meliputi kerusakan mobilitas, fungsirasi,
respi menelan dan berbicara, reflek gag dan kemampuan melakukanhari
aktivitas se tuan
hari (Lewis, 2007). Lebih dari 30% pasien stroke membutuhkanlitas
ban dalam aktivitas sehari hari dan sekitar 15% membutuhkan bantuan10).
di fasi pelayanan seperti rumah sakit dan pusat rehabilitasiiliki
(Swierzewski, 20 ang
Ketidakmampuan fisik menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimnya
pasien, sehingga dapat menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri06),
y bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupgan
(Suwantara, 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dahlin et al (20
009)
ada hubungan
menyatakan bahwa yang antara
ada hubungan signifikan antara
gangguan tingkat
fungsi depresi
motorik berupa
paresis dengan depresi paska stroke ( p: 0.002). Penelitian Darussalam (2011)
juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan fungsional
dengan depresi responden (p: 0.014). Sedangkan menurut hasil penelitian Ardi
(2011), terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik
dengan keputusasaan pada pasien stroke (p : 0.007).
g. Dukungan
keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa
dukungan keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari
orang lain atau kelompok sekitar yang membuat penerima merasa
nyaman, dicintai dan dihargai serta dapat menimbulkan efek positif
bagi dirinya. Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat
menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa
dan menangkal
(Salter, Foley & Teasell, 2010). Berdasarkan hasil depresi paska
penelitian olehstroke
Mantet al
(2000) menyatakan bahwa ada hubungan keluarga dengan peningkatan
aktivitas sosial dan kualitas hidup pasien stroke. Selain itu dukungan keluarga
dapat membantu perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke,
pendidikan pasien, keefektifan dan efisiensi penggunaan sumber aya
d perawatan kesehatan (Huang et al, 2010). Sedangkan berdasarkan asil
h penelitian yang dilakukan oleh Darussalam (2011), didapatkan ada
tidak perbedaan yang signifikan (p = 0.681) rata rata dukungan tara
keluarga an tidak depresi dengan depresi.

2.5.5 Mekanisme terjadinya depresi


Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh ngsi
disfu biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di otak
batang dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke ntal.
korteks fro Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalisusak
dapat mer serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh dan
deplesi serotonin norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis. lesi
Respons biokimia terhadap iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri enik
menyebabkan penurunan biog jala
depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian
regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi) yang bersifat
protektif terhadap depresi (Amir, 2005).
2.5.6 Gejala Depresi
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV
merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis depresi Menurut Diagnostic and Statistik Manual of Mental
Disorders (DSM-IV), gejala depresi utama termasuk mood depresi hampir
sepanjang hari, tidak tertarik d alam beraktivitas, perubahan berat badan,
nafsu makan menurun, tingkat energi menurun, gangguan pola tidur,
berkonsentrasi, perasaan negatifgangguan fungsilekas
tentang dirinya, psikomotorik, kesulitan ntak
marah, menghindari
ko mata dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, ; Li,
2010
Wang, & Lin, 2003).

2.5.7 Dampak Depresi ang


Hal yang penting bahwa depresi dapat menyebabkan kemampuan fungsional ma,
y jelek (Pohjasvaara et al, 2001 dalam Lightbody, 2007), lama rawat yang dan
la kualitas hidup yang rendah (Meifi, & Agus, 2009), penyembuhan ang
fisik kognitif yang jelek (Moris, et al, 1992 dalam Dahlin, et al, 2007), sien
rehabilitasi y lama dan meningkatkan kematian yang lebih tinggi (Salter, etsial
al, 2005). Pa afasia dan depresi juga akan mengalami keterbatasan erat
dalam aktivitas so (Dahlin, et al, 2008). Selain itu, beratnya depresi 05).
paska stroke sangat hubungannya dengan tingkat gangguan aktivitas hidup kan
sehari-hari (Amir, 20 mun
Ketidakmampuan fisik bersama-sama dengan gejala depresi dapat erta
menyebab aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun eran
pertama, na dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari nsep
ketidakmampuan fisik s depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang nya
(Suwantara, 2004).

2.5.8 Pengkajian Depresi


Pada umumnya diagnosis depresi didasarkan pada observasi informal
perilaku seperti bangun awal, penolakan, menangis, makan atau terlibat dalam
kegiatan, yang dianggap mencerminkan adanya perasaan depresi. Tetapi hal ini
sulit pada
seseorang yang mengalami afasia yang tidak mampu untuk memahami atau
mengekspresikan kata atau ide, sehingga dikembangkan beberapa instrumen
untuk menilai depresi pada pasien stroke afasia.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti depresi pada pasien


stroke dengan afasia dan masalah komunikasi dengan berbagai macam alat ukur,
seperti Sign of Depression Scale (SODS), Stroke Aphasic Depression
Questionnaire
Hospital (SADQH), Aphasic Depression Rating Scale (ADRS), dan sual
Vi
Analog Mood Scale (VAMS) (Bennet & Lincoln, 2006).

kan
Instrumen penelitian Aphasic Depression Rating Scale (ADRS)
dan
dikembang oleh Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier pada tahun 2004 untuk
DRS
mendeteksi mengkaji depresi berdasarkan observasi perilaku pada pasien
item
afasia. A digunakan pada pasien yang memiliki afasia karena strokedan
y &
terdiri dari 9 yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale
ting
(HDRS), Montgomer Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
eda
Salpetriere Ratardation Ra Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
iliki
menambahkan setiap item yang berb pada setiap item, dengan jumlah total
sien
skor yang diperoleh 32. ADRS mem titik potong 9/32 yang dipakai untuk
akin
menentukan adanya depresi pada pa dengan afasia, dengan kesimpulan
semakin tinggi skor yang diperoleh sem menunjukkan gejala depresi.

2.6 Asuhan Keperawatan pada Pasien Stroke dengan Afasia


2.6.1 Pengkajian
kan
Menurut Smeltzer & Bare (2008), setelah fase akut, perawat dapat
melaku pengkajian pada fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. Status mental (memori, lapang perhatian, persepsi, orientasi,

afek,
bahasa/bicara)
b. Sensasi/persepsi (biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran
terhadap nyeri dan suhu)
c. Kontrol motorik (gerakan ekstremitas atas dan
bawah)
d. Fungsi kandung
kemih
Sebelum memberikan latihan wicara pada pasien, penting dalam melakukan
pengkajian dan menentukan jenis/macam gangguan wicara. Dalam proses
pengkajian ini peran perawat sangatlah penting, walaupun dalam
pelaksanaan terapi wicara merupakan tindakan kolaborasi, perawat tetap dituntut
dapat melakukan pengkajian yang tepat, cepat dan cermat, sehingga dapat
didentifikasi jenis gangguan wicara dengan tepat. Identifikasi yang cepat dan
tepat memungkinkan pasien untuk dilakukan latihan wicara bahasa segera
intensif
secara oleh tim rehabilitasi secara
multidisiplin.

Pengkajian keperawatan terhadap bahasa wicara dan kemampuan komuni


kasi
pada pasien stroke menurut Bronstein (1991); Hoeman (1996); Bulechek &
Mc
Closkey (1999) adalah :
a. Kaji riwayat kesehatan klien terutama yang berhubungan dengan
osisi
predisp dan presipitasi terjadinya gangguan wicara.
b. Kaji tingkat perkembangan klien terhadap kemampuan kognitif,
uan
kemamp
berkomunikasi.
asa,
c. Evaluasi secara komprehensif fungsi dari komunikasi, seperti
bah kesadaran, pragmatis dan berbicara.
aca,
d. Kaji kemampuan berbahasa, seperti berbicara spontan, pemahaman,
memb menulis, mengulang dan menamai
1. Kemampuan mengucapkan (bicara spontan)
lien
Untuk menilai kemampuan mengucapkan, berikan pertanyaan pada
visi,
k atau bercakap cakap dengan klien. Tanyakan tentang program
lien.
tele apa yang dimakan pasien pada sarapan pagi, apakah warna
atau
mata k Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti
aan
objek (anomia) atau ketidakmampuan untuk menamakan atau
ketidakmampuan untuk memberi nama suatu objek tapi mampu
untuk menjelaskannya (circumlocation). Evaluasi irama bicara, berhenti
atau kalimat monoton. Anjurkan pasien untuk mengulang kata, frase dan
kemudian kalimat. Catat bila respon klien tidak tepat, lambat, adanya
kesulitan dalam menemukan kata kata. Nilai kuantitas verbal
yang
dihasilkan, penurunan produksi bicara (penurunan menjawab pertanyaan
dengan satu atau dua kata). Dengarkan adanya paraphrasia verbal
(mengganti bunyi pisau dengan sendok). Dengarkan adanya neologisme
atau membuat kalimat baru atau kata- kata tidak sesuai.
2. Kaji kemampuan pemahaman
Pemahaman suara harus dinilai dalam beberapa tingkatan.
Pertama cobalah perintah sederhana yang memerlukan respon motorik
verbal, seperti keluarkan lidahmu atau tekan jarimu, duduk, daripada
berdiri, inta
m klien untuk menunjuk sesuatu dengan tangan sesuai perintah, ntoh
co tunjuk pintu, jendela, lantai, dan lain lain. Setelah itu coba ang
perintah y lebih komplek, seperti ambil sisir dan sisirlah kan
rambutmu. Tanya pertanyaan Ya atau tidak, seperti apakah anda it?
berada di rumah sak dan apakah anda berada digereja? Hindarkan bila
menggunakan isyarat mungkin, karena pasien akan memberikan bila
respon non verbal. Catat adanya pasien tidak mampu mengikuti plek
perintah sederhana atau kom atau adanya ketidak konsistenan suai
dalam memberikan respon se pertanyaan.
3. Kaji kemampuan membaca
Kemampuan membaca klien perlu dinilai sebelum melakukan aan
pemeriks pemahaman menulis. Perintahkan klien untuk artu,
membaca k kalimat/paragraf yang pendek di koran dan kemudian ntuk
anjurkan klien u membaca kembali apa yang dibaca klien dengan
suara yang keras.
4. Kaji kemampuan menulis kan,
Karena kemampuan menulis sama dengan kemampuan mengungkapesi),
sehingga bila pasien mengalami gangguan mengungkapkan (eksprulis
(bukan hemiplegi) anjurkan pasien untuk menulis nama dan alamatnya,
apakah pasien sudah sarapan pagi, dan lain lain. Catat kesalahan
pengejaan, tidak dapat membaca, ketidakmampuan menulis atau menulis
tidak sesuai. Contoh sederhana lain adalah dengan menganjurkan
klien untuk menulis nama- nama objek yang ada diruangan pada
selembar kertas. Minta klien untuk menulis sesuai dengan perintah.
5. Kaji kemampuan mengulang dengan cara meminta pasien
mengulang, mula mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian
ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi kita ucapkan kata
atau angka dan kemudian pasien diminta mengulangnya.
6. Kaji kemampuan menamai dan menemukan kata dengan cara :
a) Minta pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna dan bila perlu gambar geometrik, simbol
nama suatu tindakan. matematik atau
b) Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu
den memberikan suku kata pertama atau dengan menggunakan gan
kal penuntun, misalnya : pisau. Kita dapat membantu dengan imat
suku pi atau dengan kalimat kita memotong daging dengan kata
.. Y penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang ang
dibutuh kemampuannya memberi nama objek. kan,

Semua pengkajian itu akan lebih baik jika kita tambahkan dari hasil
obser pada klien dalam situasi komunikasi perawat klien sehari hari, vasi
tanpa k merasa sedang dikaji. Pengkajian ini penting dilakukan secara lien
mendetail u mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta ntuk
penyebab dari gangg tersebut, sehingga dapat diberikan intervensi yang uan
tepat. Selama pengka observasi kelemahan, nyeri dan frustasi (Hoeman, jian
1996). Oleh karena pa afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang sien
mereka inginkan, sehin seringkali pasien menjadi frustasi, marah, gga
kehilangan harga diri dan emosi pa menjadi labil. Keadaan ini pada sien
akhirnya menyebabkan pasien menjadi dep (Mulyatsih & Ahmad, 2010). resi
Berdasarkan kondisi diatas, maka perawat p erlu
melakukan pengkajian psikososial pada pasien afasia untuk memberikan
intervensi yang tepat.

Pengkajian terkait gangguan psikososial pasien stroke berdasarkan NOC dan


NIC (Ackley & Ladwig, 2011; Ignatavacius & Workman, 2010; Wilkinson,
2007) yaitu :
a. Reaksi pasien terhadap penyakit, seperti perubahan gambaran diri, konsep
diri dan kemampuan melakukan ADL, identifikasi beberapa masalah yang
berhubungan dengan koping atau perubahan kepribadian
b. Mekanisme koping meliputi pantau perilaku agresif, nilai dampak dari
situasi kehidupan pasien terhadap peran dan hubungannya dengan orang
lain, kaji kemampuan pasien dalam membuat keputusan, kaji eksplorasi
metode yang digunakan pasien pada masa sebelumnya dalam
mengatasi masalah
kehidupannya, dan kaji kemungkinan terjadinya risiko menyakiti
diri.
c. Keputusasaan meliputi kaji afek dan kemampuan membuat keputusan,
kaji
nutrisi dan berat badan, kaji kebutuhan spiritual, dan kaji keadeku
atan
hubungan dan dukungan sosial lain.
d. Isolasi sosial meliputi kaji pola interaksi antara pasien dan orang lain.
e. Kecemasan meliputi kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien,
kaji
dukungan yang disediakan oleh orang yang penting bagi pasien,
kan
tentu sumber ansietas.
f. Harga diri rendah meliputi kaji pernyataan pasien tentang penghargaan
diri,
kaji rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri, dan kaji
ensi
frekw pengungkapan diri yang negatif.
g. Tanyakan tentang status finansial dan pekerjaan, karena
ini
aspek berhubungan dengan sisa defisit neurologis akibat stroke.
h. Kaji emosional pasien yang labil, khususnya jika lobus frontal
ena.
terk Dalam beberapa kasus pasien tertawa dan kemudian menangis
asan
dengan al yang tidak tepat.

2.6.2 Diagnosa keperawatan

009)
mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien stroke terkait
dengan gangguan fungsi komunikasi dan bahasa adalah gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi dalam otak.
Diagnosa gangguan komunikasi verbal didefinisikan oleh Johnson et al
(2001); Wilkinson (2005) sebagai suatu pengalaman individu yang
menurun atau tidak ada dalam
kemampuan menerima, memproses, mentransfer dan menggunakan simbol
simbol (Potter & Perry, 2005; Berman, Snyder, Kozier & Erb,
2008).

Masalah gangguan komunikasi verbal oleh karena adanya kesulitan


dalam mengekspresikan diri atau perubahan pola komunikasi ini dapat
berkontribusi pada diagnosa keperawatan lainnya : seperti risiko
injuri, perubahan persepsi/sensori, defisit perawatan diri, kecemasan,
perubahan
tidak efektifnya koping, koping keluarga tidak efektif, proses keluarga, dan
ketidakberdayaan gangguan interaksi sosial (Potter & Perry, 2005; Berman, Erb,
Snyder, Kozier &
2008).

2.6.3 Rencana keperawatan oses


Rencana keperawatan memiliki dampak yang signifikan dalam prntuk
penyembuhan pasien. Pasien dan keluarga dapat ikut disertakan uang
menentukan tujuan rencana keperawatan bersama dengan perawat. Tujuan urut
y ingin dicapai berdasarkan NOC pada klien dengan gangguan komunikasi wks
men Ignatavicius & Workman (2010); Gulanick & Myers (2009); Black
& Ha (2009) adalah :
a. Pasien dapat mengkomunikasi kebutuhan dasarnya
b. Pasien dapat meningkatkan kemampuan
komunikasinya c. Dapat berkomunikasi tanpa frustasi kasi
dan marah uan
d. Pasien dan keluarga dapat mengungkapkan pemahaman gangguan komuni
e. Pasien dan keluarga terlibat dalam upaya untuk meningkatkan
kemamp
2.6.4 Intervensi
Keperawatan
Intervensi keperawatan berdasarkan gangguan komunikasi pada pasien stroke
menurut NIC (Ignatavicius & Workman, 2010; Gulanick/Myers, 2009; Black &
Hawks, 2009) adalah :
a. Peningkatan Komunikasi
Definisi peningkatan komunikasi menurut Bulecheck & McCloskey
(1999) adalah bantuan dalam menerima dan mempelajari metode alternatif
dengan gangguan bicara.

Tujuan intervensi peningkatan komunikasi menurut Bulecheck &


McCloskey (1999) adalah membantu klien mencapai komunikasi optimal,
membantu klien dalam mencapai arti fungsional dalam berkomunikasi,
membantu
lingkungan yang mendukung komunikasi, mencegah mencapai
cedera, membantu
meningkatkan harga diri klien, meningkatkan interaksi sosial, membantu lien
k dalam mengembalikan peran sosial, memberikan kesempatan lam
da berkomunikasi, menginformasikan kepada klien dan keluarga tang
ten gangguan dalam berkomunikasi dan membantu klien dan lam
keluarga da mencapai dukungan yang efektif (Boss & Lewis Abney,
1996).
asa,
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah : kaji fungsi bicara ang
bah seperti bicara spontan, pemahaman dalam mendengar, pemahaman an
bahasa y ditulis, kemampuan menulis, kemampuan membaca, hindarkanring
pertanya ya dan tidak untuk pasien dengan afasia ekspressif karena arga
pasien se memberikan respon otomatis yang tidak tepat, berikan kan
dukungan kelu dalam memahami bicara pasien, dengarkan dengan penuhiak,
perhatian, guna kata kata sederhana dan kalimat pendek dengan ikan
tepat, hindari berter berkomunikasi dengan pasien harus pelan, pat,
kalimat sederhana dan ber waktu untuk memahami informasi, gunakanntuk
papan komunikasi dengan te tunjukkan nama nama objek yang erta,
ditulis dan anjurkan pasien u mengulang nama objek tersebut, buat ang
jadual yang jangan
berkaitan), konsistenmemaksakan
dan rutin s terus berkomunikasi jika pasien lelah
instruksikan pasien dan keluarga untuk menggunakan bantuan wicara, seperti
tracheal esophageal prosthesis dan artificial larynx, lakukan percakapan
satu arah (one way conversation) dengan tepat, lakukan follow up dengan
patologis bicara setelah pulang (Ignatavicius & Workman (2010); Brunner
& Suddarth
(2008); Barker (2002) (Bulecheck & McCloskey, 1999) Gulanick & Myers,
2009 ; Hickey, 2003).

b. Mendengarkan secara aktif (active


listening)
Mendengarkan secara aktif memiliki arti dengan penuh perhatian terhadap apa
yang disampaikan oleh pasien secara verbal dan non verbal. Tindakan ini
dapat memfasilitasi komunikasi klien (Potter & Perry, 2005).

Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah berbicara kepada pasien kan


bu kepada pengunjung, berhadapan dengan pasien, pertahankan ata,
kontak m berbicara pelan dan jelas, jangan menghentikan ketika pasien ara,
sedang berbic jangan menyelesaikan kata kata pasien, berikan waktu ntuk
pada pasien u menjawab, berikan musik atau stimulus visual yang dan
bermakna pada pasien membantu pasien untuk beradaptasi pada oleh
keterbatasan yang disebabkan masalah komunikasi (Ignatavicius &
Workman, 2010).

2.7 Kerangka Teori bus


Stroke hemorhagik dan non hemorhagik dapat menyebabkan lesi pada Lesi
lo frontal, parietal dan temporal yang diperdarahi oleh arteri serebri jalur
media. tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada area Broca, ang
Wernicke dan keduanya sehingga menyebabkan gangguan berbahasa. ami
Gangguan berbahasa y dapat dialami pasien stroke adalah afasia yang lami
merupakan gangguan memah kata yang diucapkan, berbicara, membaca raan
dan menulis. Afasia yang dia pasien stroke memiliki dampak negatif resi
yang signifikan terhadap kesejahte klien, kemandirian, partisipasi sosial wab
pertanyaan atau berpartisipasi dalam percakapan, dan merasa tidak ada
seorangpun yang dapat berkomunikasi dengannya, sehingga pasien marah,
frustasi, takut dan tidak berdaya.

Oleh karena itu untuk mengurangi terjadinya depresi dan masalah


psikososial tersebut adalah dengan memfasilitasi komunikasi pasien pasien
afasia motorik
dengan AAC sebagai alat bantu komunikasi verbal. Kerangka teori penelitian
ini dapat dilihat pada skema 2.1 berikut ini :
2.1 Kerangka Teori Penelitian

Stroke

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik

Penurunan suplai darah


ke otak

Lesi pada lobus frontal,


parietal dan temporal

Kerusakan pada area Broca,


Wernicke dan jalur
keduanya

Ekspresi kata kata bermakna


dan pemahaman secara lisan
atau tulisan terganggu

Gangguan komunikasi verbal

Tidak mampu
mengungkapkan apa yang
diinginkan
Tidak dapat menjawab g Outcome
pertanyan dan iteria :
berpartisipasi en dapat
dalam percakapan Nursingkomunika
F Crn
1. tuhan
Pasi
2. Depresi men rnya
3. aktor berpengaruh : sika en dapat
Umur kebuingkatkan
Nursing Intervention Clasification: dasaampuan
4. Jenis kelamin Peningkatan kemampuan komunikasiny
Pasi
Frekuensi serangan komunikasi
fisik
stroke men
Pasien`dapat
5. Dukungan keluarga Rehabilitasi Nursing berkomunikasi
Augmentative and tanpa frustasi
alternative communication dan marah
therapy/AAC

(Sumber: Ignatavicius & Workman, 2010; Lumbantobing, 2011; Silbernagl & Lang, 2007; Black
& Hawks, 2009; Potter & Perry, 2005; Gulanick/Myers, 2009)
BAB 3
KERANGKA KONSEP,
HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan penelusuran kepustakaan, variabel yang diukur dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
3.1.1 Variabel terikat (Dependent variable).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
3.1.2 Variabel bebas (I ndependent variable).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian AAC yang dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberikan terapi standar
rumah sakit, yaitu isyarat/alat tulis dan kelompok intervensi yangikan
diber terapi standar ditambah pemberian AAC yang dirancang olehi di
penelit RSUD Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar.
3.1.3 Variabel Perancu (Confounding variable)
Variabel perancu yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, enis
j
kelamin, frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan fisik dangan
dukun keluarga.
a. Umur
Umur berhubungan dengan terjadinya depresi. DPS pada umurnjut
la mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Selain itu
kecepatan pemulihan wicara-bahasa terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan penyembuhan secara umum pada orang dewasa
memiliki prognosis yang buruk oleh karena neuroplastisitas
otak/reorganisasi.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin berkorelasi dengan terjadinya depresi. Laki laki
lebih mudah berisiko terjadinya stroke dibandingkan dengan perempuan,
sehingga laki laki lebih mudah terjadi depresi akibat disability
yang
dimilikinya yang menyebabkan gangguan harga diri terkait
dengan perannya sebagai kepala keluarga.
c. Frekuensi serangan stroke
Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak
lebih luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa.
d. Ketidakmampuan fisik
Gangguan motorik akibat stroke dapat menyebabkan
fisik pada pasien, sehingga mempengaruhi kemampuan fungsional ketid
da melakukan aktivitas hidup sehari - hari. akma
Ketidakmampuan menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimilikimpu
pasien, sehingga d menyebabkan gangguan persepsi akan konsep an
diri yang bersangk yang dapat mempengaruhi harga diri. Harga lam
diri rendah dapat me terjadinya keputusasaan dan akhirnya menjadifisik
depresi. apat
e. Dukungan keluarga utan
micu
Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi terjad
depresi. Selain itu lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan
y cocok untuk menstimulasi kemampuan berbahasa afasia
y mempengaruhi pemulihan wicara pada pasien afasia. Dukungan inya
kelu yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam ang
mengurangi mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke. ang
arga
Hubungan kedua variabel ini bersifat hubungan satu arah, dimana atau
vari independen memberi kontribusi pada variabel dependen. Kemampuan
fungsi komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik
ditentukan pemberian AAC. Hubungan antara kedua variabel tersebut abel
onal
oleh
ada
Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat


Pemberian komunikasi Kemampuan
dengan
KKom augmentative fungsional komunikasi
& alternative Depresi
communication/AAC

Perancu :
Umur
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga

3.2 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan tujuan dan rumusan masalah penelitian, maka hipotesis ini
penelitian adalah :
3.2.1 Hipotesis mayor
Ada pengaruh pemberian AAC terhadap kemampuan onal
fungsi komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia
motorik.

3.2.2 Hipotesis minor oke


a. Ada perbedaan kemampuan fungsional komunikasi pada pasien
str dengan afasia motorik antara kelompok kontrol dan intervensi. tara
b. Ada perbedaan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik

c. an kelompok
Ada kontrol dan
hubungan intervensi.perancu
variabel terhadap kemampuan
fungsional komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik pada
kelompok intervensi.
d. Ada hubungan variabel perancu terhadap depresi pasien stroke dengan
afasia motorik pada kelompok intervensi.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup suatu variabel yang
diamati atau diukur. Definisi operasional juga berguna untuk mengarahkan
kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel -variabel yang
bersangkutan serta pengembangan instrumen. Definisi operasional variabel-
variabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.1

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel


Penelitian
Skala
Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur

Ko Independent Nominal
de munikasi Pemberian alat bantu Menggunakan 1 : kelompok
aungan komunikasi non verbal yang lembar kontrol yang
altgmentative and diberikan oleh peneliti dengan observasi diberikan
co ernative menggunakan media perawat yang
komunikasi
(Ammunication/
prosedur
komunikasi seperti buku berisi
non
AC) komunikasi yang berisikan pelaksanaan
verbal
kebutuhan aktivitas sehari latihan sesuai standar
hari, foto, majalah, musik/lagu rumah sakit
dan alat tulis untuk 2 = kelompok
memfasilitasi komunikasi intervensi
pasien disertai dengan latihan yang
diberikan komunikasi sederhana
komunikasi berorientasi pada kemampuan
dengan AAC menunjukkan gambar,
sesuai menyebutkan/penamaan,
pedoman yang pengulangan, membaca,
disusun oleh mengeja dan menulis yang
peneliti dilakukan sebanyak 3 kali
dalam sehari dengan frekuensi
waktu 30 menit setiap kali
pemberian selama 10 hari dan
pemberian komunikasi oleh
keluarga menggunakan
pedoman kebutuhan aktivitas
sehari hari yang disusun oleh
menyebutkan/penamaan,
pengulangan, membaca,
mengeja dan menulis dan
dilakukan selama 90 menit
Dependent
Depresi pada Gangguan emosional yang Menggunakan Dinyatakan Interval
pasien afasia terjadi setelah serangan stroke lembar dalam rentang
pada pasien afasia dengan tanda observasi 0 32
dan gejala, antara lain Aphasic
insomnia, kecemasan, gejala Depression
somatik fisik/gastrointestinal, Rating Scale
kesedihan, agitasi, (ADRS)
hipokondriasis kelelahan
atau
kehilangan energi dan diukur
pada hari ke 11 sesudah
Kemampuan pemberian AAC
Kemampuan dalam Menggunakan Dinyatakan Interval
fungsional mengekspresikan, memahami lembar dalam rentang
komunikasi dan berinteraksi dengan orang observasi Derby 0 24
lain, keluarga atau perawat Functional
untuk mencapai aktivitas sehari Communication
hari dan diukur pada hari ke Scale
11 sesudah pemberian AAC
Confounding
mur Jumlah tahun sejak lahir hingga Menggunakan Umur
U Interval
dalam ulang tahun terakhir kuesioner dan tahun
status pasien
nis kelamin Gender yang dibawa sejak lahir Menggunakan 1 = Laki-
Je laki pada pasien stroke yang kuesioner dan 2= Nominal
Prempuan dibedakan antara jenis kelamin status pasien
laki laki dan perempuan
ekuensi Jumlah kejadian stroke yang Menggunakan 1: 1 kali
Fr angan stroke pernah dialami oleh pasien kuesioner dan 2: > 1 Nominal
ser kali
status pasien
Ketidakmampuan Kemampuan pasien`untuk Menggunakan Dinyatakan Interval
fisik melakukan aktivitas sehari- hari kuesioner dan dalam rentang
yang meliputi makan, mandi, status pasien 0 100
merawat diri, berpakaian,
buang air besar, buang air kecil,
menggunakan toilet, berpindah,
mobilitas dan menggunakan
tangga dengan menggunakan
kuesioner Barthel Index yang
dapat dinilai pada hari ke 11
sesudah melakukan intervensi
pada kelompok kontrol dan
intervensi
Du kungan Bantuan yang diterima individu Menggunakan Jumlah Interval
kel
skor uarga dari anggota keluarga dalam kuesioner
merawat pasien stroke dengan yang terdiri atas jawaban
15 item respon tentang
afasia motorik yang meliputi
pertanyaan dukungan
empat dimensi dan diukur pada dengan alternatif keluarga
hari ke 11 yaitu : jawaban dibagi total
a. Dimensi emosional menggunakan item
Dukungan yang diberikan skala Likert pertanyaan
keluarga kepada pasien untuk yang
pertanyaan dinyatakan
afasia yang melibatkan
positif, yaitu : dalam rentang
ekspresi, empati dan 1 : tidak pernah 15 60

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


perhatian 2 : jarang
3 : sering
b. Dimensi penghargaan 4 : selalu
Dukungan melalui ekspresi
berupa sambutan yang Pernyataan
positif dari keluarga, negatif, yaitu :
4: tidak pernah,
dorongan atau pernyataan
3 : jarang
setuju terhadap perawatan 2 : sering
pasien stroke dengan afasia 1 : selalu.
motorik

c. Dimensi instrumental
Dukungan keluarga dalam
bantuan langsung
mengerjakan tugas tertentu
atau penyediaan sarana
terkait perawatan pasien
stroke dengan afasia
motorik

d. Dimensi informasi
Dukungan keluarga dalam
pemberian saran atau umpan
balik terkait perawatan
pasien stroke dengan afasia
mtorik

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yang tujuannya untuk


menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis penelitian (Beck &
Hungler,
2001). Desain penelitian yang peneliti gunakan adalah desain quasiPolit,
experiment
dengan pendekatan post test non equivalent control group, dimana kan
dilaku pengukuran sebanyak 1 kali, yaitu sesudah eksperimen. Desain ini ntuk
bertujuan u meneliti hubungan sebab akibat dengan cara memberikan uan
intervensi (perlak kepada salah satu kelompok eksperimen, kemudian hasilensi
(akibat) dari interv tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol. itian
Kesimpulan hasil penel didapat dengan cara membandingkan data post uan
test antara kelompok perlak dengan kelompok kontrol (Dharma, 2011). ini
Adapun skema penelitian digambarkan dalam skema sebagai berikut :

Skema 4.1
Rancangan Penelitian

Komunikasi dengan AAC Pengaruh


Intervensi
(O1)

Dibandingkan

O1 O2 = X1

Perlakuan dari rumah sakit Pengaruh


Kontrol
(O2)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Keterangan :

O1 = Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi sesudah


diberikan komunikasi dengan AAC
O2= Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi sesudah
diberikan komunikasi standar rumah sakit pada kelompok kontrol
O3 = Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi antara kelompok
kontrol dan intervensi sesudah dilakukan intervensi.

4.2 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu
(Sastroasmoro & Ismael, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah ruh
selu pasien stroke yang dirawat di RSUD Kabupaten Garut, Kota dan
Tasikmalaya Banjar.

4.2.2 Sampel
Sampel adalah subjek yaitu sebagian dari populasi yang dinilai nya
karakteristik diukur oleh peneliti dan nantinya dipakai untuk menduga dari
karakteristik populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sesuai dengan desain ilan
penelitian, pengamb sampel dilakukan secara terpilih sesuai dengan kriterialusi
inklusi. Kriteria ink adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh lam
subyek agar dapat ikut da penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Kriteriaalah
inklusi sampel tersebut ad sebagai berikut :
a. Pasien yang didiagnosa stroke hemoragik dan non hemoragik yang mengalami
afasia motorik. Penentuan afasia motorik dibuat berdasarkan format hay
Frenc sien
untuk mengkoordinasikan atau menyusun fikiran, perasaan dan kemauan
menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain, tetapi pasien
masih mempunyai pemahaman yang baik. Bicara lisan tidak lancar,
terputus- putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain.
Apabila bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Kemampuan
berbicara pasien afasia setara dengan kemampuan menulis.
c. Kesadaran komposmentis yang dapat dinilai secara kualitas pada saat
berinteraksi dengan pasien, seperti mampu mengikuti perintah dan ada
kontak mata dengan peneliti.
d. Pasien yang ditunggu oleh keluarganya dan terlibat dalam latihan komunikasi
e. Pasien dan keluarga bersedia menjadi responden

Kriteria ekslusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek memenuhi


inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria ekslusi krit
p
eria
penelitian ini adalah :
ada
a. Pasien dengan disartria.
b. Pasien yang mempunyai riwayat depresi sebelum
stroke c. Pasien yang mendapat terapi antidepresan
d. Mengalami peningkatan tekanan intrakranial (adanya muntah
proye pusing, tekanan darah tidak stabil, penurunan kesadaran).
ktil,

Untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen


dengan hipotesis, diperlukan 4 informasi penting yaitu :
uji
a. Simpang baku kedua kelompok, s (dari pustaka)
b. Perbedaan klinis yang diinginkan, x 1 x2 (clinical judgement)
c. Kesa ahan pe d e apkan
d. Kesa ahan pe ditetapkan)
l ti I, ( it t )
l ti II, (
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan estimasi (perkir
untuk menguji hipotesis beda rata-rata 2 kelompok tidak berpasangan
aan)
den rumus sebagai berikut (Sastroasmoro & Ismael, 2010):
gan
Z +Z

n1 = n 2 : Besar sampel
Keterangan :

Z : Kesalahan Tipe I = 5 %, hipotesis dua arah, Z = 1.96


Z : Kesalahan Tipe II = 20 %, maka Z = 0.842
S : Simpang baku gabungan = 6.9
X1 X2 : Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti
Parameter yang berasal dari kepustakaan, adalah simpang baku (S), dan simpang
baku yang didapatkan dari peneliti sebelumnya yaitu berdasarkan hasil penelitian
tentang depression in acute stroke yang dilakukan oleh Caiero, Ferro, Santos &
Luisa (2006) memiliki rata-rata depresi pada pasien stroke 13.7, sedangkan
standar deviasi 6.9. Nilai rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti,
yaitu 5,7.

Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Dengan demikian, aka
m besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan simpang baku diatas, dan nilai yang ditetapkan oleh eliti

pen
sebesar 5.7 maka didapatkan jumlah sampel :

(1.96 + 0.842) 6.9


n =n =2

13.7

5.7
2.802
6.9
n =n =2

8
19.3
3
n=n =2

n = n = 2 ( 2.416) esar
maka
n = n = 2 5.838
didapatkan jumlah sampel 13.3 (dibulatkan 13), sehingga jumlah sampel untuk
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi masing-masing adalah 13
responden.

Selama penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kabupaten


Garut peneliti mendapatkan jumlah sampel 21 orang yaitu 11 orang kelompok
kontrol
dan 10 orang kelompok intervensi. Pada saat penelitian, didapatkan 1 orang
responden pada kelompok kontrol drop out karena pindah ke rumah sakit
swasta di Bandung, 2 orang responden pada kelompok intervensi drop out
dengan rincian
1 orang responden pindah ke rumah sakit swasta di Bandung dan 1 orang
responden pulang paksa dan menolak dilanjutkan pemberian komunikasi dengan
AAC (hari ke 2) karena ingin pindah ke Rumah Sakit Cipto Dr.
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta .

Dahlan (2006) menyatakan power penelitian perlu dihitung kembali karena besar
sampel yang diperoleh tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dari asil
h pengolahan data dari depresi, diperoleh rata-rata depresi pada kelompok trol
kon (n1)=11 l ada ah
. 9( 64 1) dengan SD1 1.29. Sedangkan rata-rata pada
depresi kelompok intervensi) (n2=10
l .ada(ah 8 30 2) dengan SD2 1.16.

Menurut Dahlan (2006) untuk menghitung power menggunakan rumus agai


seb berikut:

(1 - 2) n/ 2
Z = ------------------ - Z
S

Keterangan :
Z = Kesalahan tipe II
Z = Kesalahan tipe I 5% ( dua arah = 1,96)
1 = rata - rata yang diamati satu
2 = rata - rata yang diamati dua
n = jumlah sampel per kelompok
S = standar deviasi gabungan masing-masing kelompok.

Menurut Dahlan (2006) untuk menghitung standar deviasi


gabungan menggunakan rumus sebagai berikut:
2 2
S1 (n1 1) + S2 (n2 1)
2
S = --------------------------------
n1 + n2 -2

Setelah nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula diatas diperoleh


pada nilai Z (kesalahan tipe II) pada depresi adalah 1.57 yang apabila
dikonversi menjadi nilai power 90% - 95% (Dahlan, 2006). Hal ini
walaupun dalam penelitian ini jumlah responden menunjukkan
tidak sesuai bahwa
denganana
renc namun memiliki nilai power penelitian yang tinggi.

Selain itu menurut Roscoe (1982) dalam Sugiyono (2009), penentuan besar
sampel penelitian ekspremen sederhana adalah sebesar 10-20 sampel untuktiap
se kelompok, sehingga berdasarkan pertimbangan diatas, jumlah sampelgap
diang memenuhi untuk jenis penelitian eksperimen sederhana ini.

4.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan tekniknon
probability sampling jenis consecutive sampling, dimana subjek yang tang
da untuk dilakukan rawat inap dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan lam
ke da penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael,
2010).

4.4 Tempat Penelitian njar


Penelitian ini dilakukan di RSUD Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya danakit
Ba dengan pertimbangan ketiga rumah sakit tersebut merupakan rumah ssien
pemerintah (tipe B) yang dilengkapi dengan fasilitas ruang perawatanlum
pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian komunikasi dengan
AAC terhadap kermampuan fungsional komunikasi dan depresi pada pasien
stroke dengan afasia motorik. Ruangan yang digunakan di RSUD
Kabupaten Garut adalah Cempaka Atas dan Cempaka Bawah. Ruangan yang
digunakan di RSUD Kota Tasikmalaya adalah ruangan V, Batik, VIP dan
ruangan di RSUD Banjar adalah Flamboyan, Mawar, Anggrek dan Dahlia.
4.5 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan selama empat minggu mulai tanggal 15
November sampai dengan 15 Desember 2011, setelah peneliti mendapatkan surat
ijin penelitian dari ketiga rumah sakit.

4.6 Etika Penelitian


Selama penelitian, responden dilindungi dengan memperhatikan aspek
self determination, privacy and anonymity, benefience, maleficience, justice aspe
(
k
& Beck, 2004). Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan
Polit
den menekankan masalah etika sebagai berikut :
gan
4.6.1 Self determination
Prinsip self determination diterapkan dengan cara responden d
kebebasan oleh peneliti untuk menentukan keputusan sendiri,
iberi
apa bersedia ikut dalam penelitian atau tidak tanpa paksaan
kah
(sukarela). Set responden bersedia, selanjutnya peneliti menjelaskan
elah
maksud dan tu serta manfaat penelitian, kemudian peneliti
juan
menanyakan kesed responden, setelah setuju, responden diminta
iaan
untuk menandatangani le persetujuan menjadi subyek penelitian
mbar
atau informed consent y disediakan.
ang
4.6.2 Privacy and anonymity
Prinsip etik privacy dan anonymity yaitu prinsip menjaga
kerahas informasi responden dengan tidak mencantumkan nama,
iaan
tetapi ha menuliskan kode inisial dan hanya digunakan untuk
nya
kepentingan peneli Informasi yang dikumpulkan dijamin oleh peneliti
tian.
kerahasiaannya den memusnahkan data ketika datanya sudah selesai
gan
diambil dan diana lisa.

Beneficience merupakan prinsip etik yang mementingkan keuntungan,


baik bagi peneliti maupun responden sendiri. Dalam penelitian ini,
peneliti melakukan intervensi berupa pemberian AAC yang telah
melalui penelaahan terkait manfaat pemberian AAC dari berbagai hasil
penelitian sebelumnya dan konsep konsep terkait. Intervensi dalam
penelitian ini
memberikan efek terapeutik untuk memfasilitasi komunikasi, sehingga
mencegah terjadinya depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
4.6.4 Maleficience
Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk menyampaikan
ketidaknyamanan dan tidak melanjutkan kegiatan penelitian bila
responden mengalami ketidaknyamanan atau penurunan kesehatan. Selain
itu responden diberi hak untuk menolak melanjutkan kembali
kegiatan jika dianggap membahayakan responden.
penelitian
4.6.5 Justice
Justice merupakan prinsip etik yang memandang keadilan
den memberikan keadilan bagi responden. Responden pada gan
kelompok ko diberikan alat tulis/isyarat pada hari 1 10 dan pada ntrol
hari ke 11 diber AAC menggunakan buku komunikasi yang berisi ikan
gambar, sedangkan p kelompok intervensi diberikan AAC berupa ada
buku komunikasi, pa alfabet, musik, majalah/ surat kabar, objek pan
disekitar ruangan dan alat berdasarkan format yang dirancang oleh tulis
peneliti.

4.7. Informed Consent


Infomed consent merupakan persetujuan atau izin yang diberikan oleh
responden untuk memperbolehkan dilakukannya suatu tindakan atau
perlakuan.

4.8 Alat Pengumpul Data


Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian adalah :
4.8.1 Kuesioner karakteristik responden
den
yang meliputi antara lain umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke,
ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga.

4.8.2 Lembar observasi skrining afasia dengan menggunakan FAST untuk


menilai apakah pasien mengalami afasia/tidak terhadap kemampuan
berbahasa, seperti pemahaman, mengungkapkan, membaca dan
menulis. Instrumen
FAST dikembangkan oleh Enderby pada tahun 1987. FAST
dapat digunakan oleh non spesialis, seperti staf medical junior, perawat,
terapi okupasi dan lainnya untuk mengidentifikasi gangguan bahasa.
FAST terdiri
18 item dengan skor 0 30. Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada
usia diatas 60 tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
Pada pengujian validitas construct, berdasarkan hasil penelitian Al-
Khawaja, Wade & Collin (1995) pada 50 pasien yang mengalami
memiliki korelasi adekuat dengan Barthel Index (r =afasia,
0.59) FAST
dan FAST
memiliki korelasi yang sangat baik pada aspek kemampuan pemahaman
dengan Sheffield Screening Test for Acquired Language DisorderT) (r
(SS (r =
= 0.74) dan pada aspek ekspresi memiliki korelasi yang sangat CP)
baik
iliki
0.92). Validitas FAST terhadap Functional Communication Profile (F
an r
dan Minnesota Test untuk membedakan diagnosa afasia, FAST mem
lity,
korelasi yang sangat baik diantara kedua instrumen tersebut (r =`0.73
AST
d
kan
= 0.91). Pengujian reliabilitas test-retest dan inter-rater
ine-
reliabi ditemukan FAST memiliki koefisien Kendall yang tinggi yaitu
0.97. F memiliki sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80%
dibanding dengan instrumen UAS.
klist
(www.medic ine.mc.gill.ca/stroke eng asses/module_fast_psycho-
pok
en.html.
RS).
aim,
4.8.3 Lembar observasi perawat tentang depresi berisi daftar penilaian atau
dan
ce untuk menilai depresi/mood pasien pada kelompok kontrol dan
DRS
kelom intervensi dengan menggunakan Aphasic Depression Rating
digunakan pada pasien yang memiliki afasia dengan stroke dan terdiri
dari
9 item yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS),
Montgomery & Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
Salpetriere Ratardation Rating Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
menambahkan setiap item yang berbeda pada setiap item, dengan jumlah
total skor yang diperoleh 32. ADRS memiliki titik potong 9/32 yang
dipakai untuk
menentukan adanya depresi pada pasien dengan afasia, dengan
kesimpulan semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin
menunjukkan gejala depresi.

ADRS telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Pengujian validitas


secara
concurrent dengan menggunakan nilai Wi lks, maka didapatkan nilai
untuk
7 item = 0.121 dan 0.116 untuk 8 item. Sedangkan pengujian
validity (construct) ditemukan korelasi ADRS dengan HDRS sangat con
ba
verg
= 0.60 dan 0.77) dan validitas kriteria (predictive validity)
ent
mem sensitivitas 0.89 dan spesifisitasnya adalah 0.71 Pada pengujian
ik (r
reliabi dengan test retest, diantara item item dengan uji Kappa,
iliki
ditemukan 9 memiliki Kappa yang cukup (0.58) (rentang Kappa 0.33
litas
1.00). Kore item item ADRS umumnya sangat baik (r =
item
0.89). Pada pengu interrater reliability dengan uji statistik Kappa
lasi
menunjukkan 9 item sa baik (r = 0.69), skor ADRS secara umum
jian
memiliki (r = 0.89).
ngat

4.8.4 Lembar kuesioner kemampuan fungsional komunikasi dengan


mengguna Derby Functional Communication Scale. Instrumen ini
kan
dikembangkan Derby et al, pada tahun 1997 untuk pengkajian
oleh
observasi fungsi komunikasi pada pasien dengan gangguan
onal
komunikasi didapat selam rumah sakit dan unit rehabilitasi.
a di
Instrumen ini dapat digunakan oleh speech and language dan
non
petugas kesehatan. DFCS menunjuk hubungan yang signifikan
kan
dengan pengukuran komunikasi lain, se FAST, Speech
perti
Questionnaire (SQ) dan Edinburgh Functi Communication
onal
dari
kala
terdiri dari 8 pertanyaan dengan rentang terendah 0 dan tertinggi 8. Nilai 0
berarti pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan, tidak ada
pemahaman atau tidak ada interaksi pada skala E, U dan I dan nilai 8
= tidak menunjukkan gangguan pada skala E, U dan I. Kesimpulan
yang diperoleh semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka akan
menunjukkan
kemampuan fungsional komunikasi yang lebih baik pada skala E, U dan
I. Skor dari ketiga penilaian ekspresi, pemahaman dan interaksi adalah 0 -
24

4.8.5 Lembar kuesioner ketidakmampuan fisik dengan menggunakan


Barthel Index. Instrumen ini diperkenalkan oleh Mahoney FI dan Bathel
DW pada tahun 1965 untuk memeriksa status fungsional pada pasien
dewasa yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama
dan rehabilitasi.
Instrumen ini didesain untuk memonitor perkembangan mobilitas dan
perawatan diri serta mengkaji kebutuhan perawatan yang terdiri dari 10
item, meliputi makan, berpindah dari tempat tidur, perawatan diri,
penggunaan toilet, mandi, berjalan, naik/turun tangga, ian,
berpaka kemampuan untuk mengontrol eliminasi buang air besar air
dan buang kecil. Nilai Barthel Index berada pada rentang 0 100.
Barthel I ndex sering digunakan di bagian neurologi, psikiatri dan
rehabilitasi pasien dengan gangguan neuromuskuler atau letal
muskuloske dengan reliabilitas dan validitas yang sangat baik dan nya
penggunaan membutuhkan waktu 1 5 menit (Loretz, 2005). roke
Pada pasien st memiliki nilai test-retest reliabilitas 0.989 dan gan
interreliabilitas 0.994 den Cronbach alpha 0.935 (Oveisgharan, ade,
Shirani, Ghorbani, Soltanz Baghaei & Hossini, 2006). Sedangkan oper
menurut Shah, Vanclay & Co (1989 dalam Sit, 2007), barthel itas
index sudah teruji secara valid konstruksi dimana alpha cronbach
sebesar 0.96.
nilai
4.8.5 Lembar kuesioner dukungan keluarga yang diisi oleh keluarga untuk gan
me dukungan keluarga terhadap pasien afasia motorik. Kuesioner dan
modifikasi instrumen dari kuesioner Yenni (2011) tentang hubungan
dukungan keluarga dan karakteristik lansia dengan kejadian stroke
pada lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas perkotaan Bukittinggi.
Dukungan keluarga dinilai pada empat dimensi, yaitu dimensi informasi,
emosi, instrumental dan penghargaan. Dukungan keluarga dinilai pada
hari ke 11 sesudah pemberian komunikasi dengan AAC. Dukungan
keluarga
mencakup dimensi emosional terdiri dari 3 item (pertanyaan nomor
9,10,11), penghargaan 4 item (pertanyaan nomor 12,13,14,15), instrumental
5 item (pertanyaan nomor 4,5,6,7,8) dan informasi 3 item
(pertanyaan nomor 1,2,3). Dukungan keluarga menggunakan skala
Likert untuk pertanyaan positif, yaitu : 1 : tidak pernah 2 : jarang 3 :
sering 4 : selalu. Sedangkan untuk pernyataan negatif, yaitu : 4: tidak
pernah, 3 : jarang : 2 : sering, 1: selalu. Pertanyaan positif 13
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13,15 dan pertanyaan item
negatifyaitu nomoryaitu
2 item
pertanyaan 11,14. Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu semakin tinggi
nilai dukungan, maka semakin baik dukungan keluarga.

4.8.5 Validitas dan


Reliabilitas a. Validitas
Validitas berarti sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukuruatu
s data (Hastono, 2007). Validitas menunjukkan ketepatan pengukuran suatu
instrumen, artinya instumen dikatakan valid bila instrumen tersebut apa
mengukur yang seharusnya diukur (Darma, 2011).

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner, seperti gan


dukun keluarga yang dibuat oleh peneliti dengan memodifikasi teori arga
dukungan kelu dan modifikasi dari Yenni (2011). Sedangkan lembar sia,
observasi penilaian afa kemampuan fungsional komunikasi dan depresi hasa
diadopsi dari jurnal berba Inggris. Kesemua instrumen itu dilakukan uji 10
validitas dan reliabilitas kepada orang responden. Validitas (kesahihan) ukur
yaitu seberapa mampu alat menyatakan apa yang seharusnya diukur. kan
Terdapat 2 tipe validitas yang diguna

1. Content Validity (validitas isi)


Validitas isi menunjukkan kemampuan item pertanyaan dalam instrumen
mewakili semua unsur dimensi konsep yang sedang diteliti. Untuk
menentukan validitas isi suatu isntrumen dilakukan dengan meminta
pendapat pakar dibidang yang diteliti. Pakar diminta menelaah
instrumen dan
menentukan apakah seluruh item pertanyaan telah mencakup isi dari suatu
konsep yang diteliti. Konsep yang diukur dari instrumen adalah isi yang
tepat, komprehensif, logis, konsisten dan dimengerti oleh responden
(Dharma,
2011).

Instrumen ini sudah melalui hasil konsultasi dan persetujuan


dosen pembimbing dan penguji pada sidang proposal tesis. Lembar
penilaian afasia, depresi, kemampuan fungsional komunikasi observasi kan
merupa
aka
instrumen yang diadopsi dari bahasa Inggris kebahasa Indonesia,
ntuk
m peneliti telah melakukan validitas isi dengan meminta pakar
apat
bahasa u menterjemahkan instrumen tersebut kedalam bahasa
kan
Indonesia yang d dimengerti oleh responden, setelah itu meminta pakar
suai
keperawatan melaku validasi lagi apakah kesemua instrumen yang
men
diterjemahkan tadi sudah se dengan lingkup keperawatan yang ingin
arga
diteliti. Sedangkan untuk instru dukungan keluarga, peneliti juga
but,
menanyakan langsung kepada kelu tentang pemahaman keluarga
asan
terhadap pertanyaan dalam instrumen terse meliputi kejelasan dalam
pencetakan, ketepatan bahasa atau kalimat, kejel petunjuk dan kecukupan
waktu pengisian.

iliki
2. Construct Validity ( validitas konstruk)
ini
Merupakan validitas yang menggambarkan seberapa jauh instrumen
kan
mem item item pertanyaan yang dilandasi oleh konstruk tertentu.
ini
Validitas menunjukkan bahwa instrumen disusun berdasarkan aspek
mpel
aspek yang a diukur dengan berlandaskan teori tertentu,
truk
selanjutnya instrumen dikonsulkan kepada ahli. Setelah itu dilakukan uji
mampu membedakan nilai/hasil pengukuran antara satu individu dengan
lainnya (Darma, 2011)

Prosedur yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur instrumen


dukungan keluarga adalah dengan teknik homogenitas item (internal
consistency) dengan menggunakan formulasi korelasi Pearson Product
Moment. Metode ini menghubungkan setiap skor item pertanyaan dengan
skor
totalnya. Menurut Nunnaly (1994 dalam Dharma, 2011), nilai korelasi antara
skor item dan skor total yang baik adalah r 0.3, sehingga dapat diharapkan
koefisien alpha menjadi lebih tinggi dan dikatakan valid. Pertanyaan
yang tidak valid akan dibuang atau dikeluarkan dari alat ukur.

Instrumen dukungan keluarga telah dilakukan uji validitas terhadap 10


orang responden yang ada di RSUD Tasikmalaya dan Banjar. Uji validitas
dukungan kan
keluarga tidak dilakukan lagi di RSUD Garut oleh karena peneliti
melaku
eliti
penelitian di RSUD Garut mulai minggu ketiga, sehingga pen
s di
menggunakan hasil uji validitas yang telah memenuhi kriteria
validita RSUD Tasikmalaya dan Banjar saja.

abel
Hasil uji validitas dan reabilitas dengan degree of freedom 10-2 =8 (r
idak
t
ebut
0.632). Pada kuesioner dukungan keluarga terdapat pertanyaan yang
item
t valid yaitu pertanyaan nomor 8, 9,10 dan 13, sehingga pertanyaan
arga
ters dikeluarkan dari instrumen. Selanjutnya pertanyaan yang valid
gan
adalah 15 dengan nilai validitas (r 0.724 0.863. Jumlah pertanyaan
aitu
dukungan kelu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15
pertanyaan den pertimbangan ke 15 pertanyaan tersebut telah
memenuhi 4 dimensi, y dimensi informasi, instrumental, emosional dan
ran.
penghargaan.
sten
kan
b. Reliabilitas (kehandalan) yaitu tingkat konsistensi dari suatu penguku
oleh
Reliabilitas menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data
. , ji il i ri t r t . , i tr men
konsi jika instrumen digunakan kembali secara berulang. Prosedur yang
tersebut reliable (Dharma,
2011).

Uji reabilitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hasil (nilai


alpha) dengan r tabel dengan ketentuan bila r alpha > r tabel, maka
pernyataan tersebut realiabel. Pada penelitiani ini ditemukan nilai alpha
cronbach yang ditemukan pada instrumen dukungan keluarga adalah nilai
reliabelnya > 0.90 (alpha cronbach 0.939).
Untuk tetap menjaga reliabilitas, reliab ilitas ini menggunakan
metode ekuivalen yang menunjukkan kesepakatan antar pengukur tentang
hasil suatu pengukuran. Penentuan ekuivalensi suatu alat ukur dilakukan
dengan metode interrater reliability yaitu uji reliabilitas untuk menyamakan
persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti. Dalam melakukan penelitian
dengan metode observasi atau quasi eksperimen, sering kali antara
peneliti dan numerator (pengumpul data) terjadi perbedaan persepsi terhadap
kejadian yang diamati.
Uji interrater dilakukan terhadap instrumen observasi/pengamatan. Alat
y digunakan untuk uji interrater adalah uji statistik Kappa. Cohens ang
Kapp dilakukan dengan menilai kesepakatan antara dua orang atau a ini
lebih obse terhadap suatu pengukuran yang dilakukan (Dharma, 2011; rver
Hastono, 2007) .

Instrumen afasia, depresi dan ketidakmampuan fisik kesemuanya kan


merupa instrumen observasi dan pedoman pemberian AAC, maka uji
dilakukan interrater diantara peneliti dan 5 orang as isten peneliti rang
terhadap 13 o responden di RSUD Tasikmalaya, Banjar dan Garut. ang
Asisten peneliti y diambil dalam penelitian ini merupakan perawat gkat
ruangan dengan tin pendidikan SI Keperawatan dengan masa kerja ang
dan pengalaman di ru neurologi minimal 5 tahun. Peneliti dan aan
asisten peneliti secara bersam melakukan penilaian skrining afasia, kasi,
kemampuan fungsional komuni depresi dan ketidakmampuan fisik pada ik.
pasien stroke dengan afasia motor
sing
Hasil uji interrater diperoleh dengan nilai koefesien Kappa masing-maepsi
dan
ketidakmampuan fisik. Uji interrater juga dilakukan terhadap SOP
pemberian komunikasi dengan AAC antara peneliti dengan 5 orang asisten
secara manual dengan menggunakan list pemberian AAC. Hasil 85% - 100%
yang dipakai sebagai asisten peneliti. Kelima asisten peneliti tersebut
memenuhi kriteria tersebut.
4.9 Prosedur Pengumpulan
Data
Langkah-langkah dalam pengumpulan data sebagai
berikut:
Sebagai langkah awal, peneliti melakukan prosedur administrasi yang terkait
dengan kegiatan sebelum penelitian dengan membina hubungan dengan instansi
rumah sakit yang dijadikan tempat penelitian. Adapun prosedur tersebut adalah :
4.9.1 Tahap
Administratif
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan setelah mendapat izin penelitian tertulis
komite etik FIK UI, persetujuan dari pembimbing, Kepala bidang diklat RSdari
Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar. Peneliti kemudian melakuUD
koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait untuk pelaksanaan penelitiankan
yaitu dengan penanggung jawab ruangan rawat inap neurologi RSUD Kabup ini
Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar untuk menjelaskan tujuan penelitian. aten

4.9.2 Tahap
Teknis
Adapun prosedur pengumpulan data sebagai berikut
:
sten
Data penelitian dikumpulkan oleh peneliti dan dibantu oleh 5 orang asi
aten
peneliti yang terdiri dari 1 orang asisten peneliti berasal dari RSUD Kabup
rang
Garut, 2 orang asisten peneliti dari RS UD Kota Tasikmalaya dan dan 2
ikan
o asisten peneliti berasal dari RSUD Kota Banjar dengan latar belakang
.
pendid S1 keperawatan dan memiliki pengalaman di ruang neurologi
minimal 5 tahun
tara
kasi
Sebelum melakukan penelitian, maka dilakukan persamaan persepsi an
resi,
peneliti dan asisten peneliti dengan memberikan penjelasan terkait dan apli
ang
pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi, penilaian dep

a. Pelatihan ini diberikan kepada 5 orang perawat yang telah dipilih sebelumnya.
b. Materi pelatihan ini (1) pengkajian/skrining FAST berdasarkan
aspek
kemampuan pemahaman, pengucapan, menulis dan membaca dan
memberikan skor penilaian (2) cara menilai kemampuan fungsional
komunikasi (3) penilaian depresi (4) penilaian ketidakmampuan fisik (5)
cara pemberian
komunikasi dengan AAC yang berorientasi pada tugas menunjuk
gambar, penamaan, mengulang, menulis, membaca dan mengeja huruf. .
c. Metode pelatihan berupa ceramah, tanya jawab, demonstrasi dan
pengisian instrumen pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi,
depresi dan ketidakmampuan fisik. Evaluasi yang diharapkan dalam
pelatihan ini adalah
dengan cara tanya jawab, kemudian asisten peneliti diminta untuk
medemonstrasikan kembali cara melakukan penilaian afasia, kemampuan
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan pengisian man
pedo pemberian komunikasi dengan AAC. Setelah itu peneliti sten
meminta asi mencoba menggunakan instrumen penelitian erta
kepada pasien s mengumpulkan data tentang skor FAST, DFCS, dan
ADRS, Barthel I ndex dukungan keluarga. Selanjutnya kelima inta
asisten juga dim mendemonstrasikan pemberian komunikasi sien
dengan AAC terhadap pa stroke dengan afasia motorik.

4.9.3 Tahap Pemilihan Sampel


Pemilihan sampel dimulai dengan peneliti mencari responden yang t di
dirawa ruang neurologi RSUD kota Tasikmalaya, Banjar dan Kabupaten dan
Garut menentukan responden penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi elah
yang t ditetapkan peneliti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi san
diberi penjela tentang prosedur penelitian, seperti tujuan, keuntungan serta ian.
kerugian penelit Jika responden bersedia, selanjutnya responden diberijuan
lembar persetu (informed concent) untuk ditandatangani.

4.9.4 Tahap Pelaksanan


Setelah proses perijinan penelitian dilakukan, peneliti datang dan ikan
maksud untuk melakukan penelitian ke RSUD Kota Tasikmalaya dan Banjar dan
Kabupaten Garut. Selanjutnya menentukan responden yang mengikuti penelitian
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada
saat pengumpulan data, kelompok yang peneliti ambil, yaitu kelompok kontrol,
setelah kelompok kontrol terpenuhi, maka peneliti melanjutkan mengambil data
pada kelompok intervensi.
Adapun tahap pelaksanaan pada kedua kelompok adalah :
a. Kelompok kontrol
1. Menentukan responden diruangan neurologi yang memenui kriteria
inklusi sesuai dengan teknik pengambilan sampel.
2. Pada hari ke I, peneliti dan asisten peneliti meminta kesediaan responden
untuk menjadi sampel dengan terlebih dahulu menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian, meminta dengan sukarela kepada responden untuk
menandatangani lembar informed consent, mencatat data responden sesuai
dengan tujuan penelitian, melakukan skrining afasia untuk menilai
afasia/tidak, selanjutnya ditentukan afasia motorik menggunakan format
FAST.
3. Pada hari ke I- X, kelompok kontrol diberikan alat tulis/ isyarat ntuk
u memfasilitasi komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik.
4. Pada hari ke XI peneliti melakukan pengukuran kemampuan onal
fungsi komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan dukungan
keluarga.

b. Kelompok intervensi lusi


1. Menentukan responden diruangan neurologi yang memenui kriteria
ink sesuai dengan teknik pengambilan sampel. den
2. Pada hari ke I, peneliti dan asisten peneliti meminta kesediaan dan
respon untuk menjadi sampel dengan terlebih dahulu menjelaskan ntuk
maksud tujuan penelitian, meminta dengan sukarela kepada suai
responden u menandatangani lembar informed consent, mencatat nilai
data responden se dengan tujuan penelitian, melakukan skrining mat
afasia untuk me afasia/tidak, selanjutnya ditentukan afasia
3. Pada hari ke I-X, kelompok intervensi diberikan AAC. Objek yang
digunakan dalam pelaksanaan komunikasi ini adalah buku
komunikasi yang berisi kegiatan sehari hari, koran/majalah, foto
keluarga, kartu bergambar, alat tulis, papan alfabet dan lagu/musik.
4. Pada kelompok intervensi, peneliti melibatkan peran serta keluarga
untuk mendampingi pasien, mengobservasi pelaksanaan dan melakukan
latihan
komunikasi dengan pasien afasia motorik. Latihan komunikasi
dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh keluarga dengan tugas, yaitu :
a) Peneliti mengajarkan penggunaan AAC kepada pasien dan keluarga
menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi, terkait
penggunaan gambar yang ada dibuku komunikasi untuk memfasilitasi
komunikasi pasien dan meminta keluarga
mencoba
b) mendemonstrasikan
Peneliti memberikanseperti
AAC yang
yang diajarkan
dilakukanoleh
3x peneliti.
setiap hari dengan
w pagi hari jam 09.00, siang hari jam 13.00 dan sore hari padaaktu
jam 1 selama 10 hari dengan frekuensi waktu pelaksanaan setiap6.00
30 m berorientasi pada tugas menunjuk gambar, penamaan,enit
pengulan membaca, mengeja dan menulis. gan,
c) Prosedur pemberian AAC dilakukan selama 10 hari berturut-t
Sebelum dan sesudah pelaksanaan latihan komunikasi, penurut.
mengukur tanda-tanda vital dan menilai keadaan umum pasien ueliti
memastikan bahwa pasien dalam keadaan stabil. ntuk
d) Untuk memastikan bahwa program latihan dilaksanakan oleh pen
dengan baik dan teratur, dikontrol menggunakan lembar cheeliti
pemberian komunikasi. clist

e) Latihan komunikasi yang dilakukan oleh keluarga kepada


pa adalah kegiatan pasien sehari hari yang selalu dilakukan,sien
se setiap pasien mau makan, minum, mandi, menggosok gigi, perti
men rambut, berpakaian, BAB, BAK, penggunaan toilet, istirahatyisir
dan ti miring kanan/kiri, duduk bersandar, minum obat, dur,
mobilisasi dan la in -
nit x
20 kegiatan sehari-hari (total latihan setiap hari = 100
menit).

f) Keluarga dapat berperan secara mandiri melakukan latihan


komunikasi dengan tugas menunjuk gambar, menyebutkan,
penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan menulis, tetapi
kegiatan ini tetap dievaluasi oleh peneliti setiap hari untuk
memonitor perkembangan dan pelaksanaan latihan.
c) Untuk memastikan bahwa program latihan mandiri dilaksanakan
keluarga dengan baik dan teratur, dikontrol menggunakan lembar
observasi dalam bentuk rapport.

5. Pada hari ke XI, peneliti melakukan penilaian kemampuan fungsional


komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga,
selanjutnya didokumentasikan pada lembar hasil pengukuran.

Tahapan hari I X yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan ihan


lat komunikasi dijabarkan kedalam pertemuan sebagai berikut :
Pertemuan 1 : (Tugas pengenalan dan menyebutkan gambar)
a) Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukan AAC.
b) Peneliti memperkenalkan penggunaan gambar untuk memfasilitasi kasi
komuni pasien afasia kepada pasien dan keluarga.
c) Peneliti mengajarkan gambar gambar yang ada dibuku komunikasi
Mengajarkan setiap simbol/ gambar yang ada pada buku komunikasi ada
kep pasien dan keluarga. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap bel,
bagian/ la misalnya bila pasien mau mandi. Berikan waktu pada pasien ami
untuk memah informasi yang diberikan. Jelaskan hubungan antara inya
simbol dengan art dalam bentuk kalimat dan instruksikan pasien lam
untuk mengulangnya da bentuk gambar lain. Misalnya simbol piring + kasi
sendok yang mengidentifi saya ingin makan, seperti saya mau sikat ntuk
gigi, perintahkan pasien u menunjukkan pada gambar sikat gigi
sebagai simbol ingin sikat gigi.
d) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti oleh
e) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi yang
f) Keluarga mempraktekkan langsung gambar gambar kepada pasien.
g) Mencatat adanya kesulitan dalam penamaan objek (anomia)
atau ketidakmampuan untuk memberi nama suatu objek. .
Pertemuan 2 :
a) Evaluasi kemampuan pasien dalam penggunaan gambar dengan meminta
pasien menunjukkan buku komunikasi yang berisi gambar dan
anjurkan pasien untuk mengucapkan kata- kata dalam suara keras. Minta
pasien untuk menyebutkan nama nama benda yang ditunjukkan oleh
pasien dan jelaskan
nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu menyebutkan kata tersebut,
bantu pasien menyebutkan suku pertama kata tersebut atau dengan
menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : pensil. Kita dapat membantu
keluarga.
dengan suku kata pen Atau dengan kalimat : kita menulis dengan.
Instruksikan pasien untuk mengulang kata kata tersebut. Jikakan
memungkin gunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama suaraapat
sehingga pasien d memahami pembicaraan.
b) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi hal
pada
gigi
- hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
vitas
atau makan, dengan menanyakan hal hal yang berhubungan dengan
akti tersebut.

Pertemuan 3 : ien.
a) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/ keluarga
pas
erti
Catat irama bicara, berhenti atau kalimat monoton, produksi
suara.
b) Peneliti meminta pasien menunjukkan objek disekitar ruangan,
sep jendela, pintu, lampu, meja, kursi yang disebutkan oleh peneliti.

6. Hari II ( Tugas mengeja, pengulangan dan dan


(1) Peneliti mengajarkan penggunaan papan alfabet. Peneliti melakukan
pengkajian terhadap abjad ABC dan vokal yang diucapkan, sebelum
menggunakan papan alfabet. Instruksikan kepada pasien untuk
mengeja abjad ABC dan bantu pasien untuk mengulang kembali
mengeja abjad tersebut dengan suara yang keras.
(2) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
(3) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi
yang dilakukan oleh keluarga
(4) Keluarga mempraktekkan langsung terhadap kepada pasien.

b) Mencatat adanya kemampuan penggunaan papan alfabet, kesulitan dalam


menyebutkan huruf dan jumlah huruf yang diucapkan.

Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan
den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu
s benda yang ada didekat pasien, misalnya piring, gelasuruf
(menyebutkan h p, g).

Pertemuan 3 :
a) Minta pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang pendek dioran
k dan kemudian minta pasien untuk membaca kembali apa yangbaca
di pasien dengan suara yang keras.
b) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
c) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu yang ukai
dis
pasien.

Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.
b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan memerintahkan untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan
den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu
s benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu (menyebutkanuruf
h m, p).
c) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali.

Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumahakit,
s atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau hobinya.
Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila pasien mengalami
kesulitan atau menyelesaikan percakapannya.
b) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan sien
pa (mengingatkan memori pasien tentang kata kata dalam dan
lagu mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).

Hari IV (mengekspresikan, menulis dan membaca)


: Pertemuan 1:
a) Pasien diinformasikan dan dibantu menggunakan alat tulis untuk
menyatakan keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau apa yang difikirkan, seperti nama dan
alamatnya, nama anak/keluarga, mau makan, minum. Jika pasien
tidak
bisa bantu pasien dengan memberikan tuntunan, seperti tulislah
kalimat yang berhubungan dengan makan pagi hari ini.
b) Katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Instruksikan
juga kepada pasien untuk mengeja kata atau bagian yang ditulisnya.
c) Mencatat kesalahan pengejaan, tidak dapat membaca,
ketidakmampuan menulis atau menulis tidak sesuai.

Pertemuan 2 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman pasien
yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yangkan
dima pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunciatau
jam dan tanyakan nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan lam
da penamaan objek (anomia).
c) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi ada
p hal - hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau num
mi obat, buang air besar atau pada saat akan istirahat, dengan hal
menanyakan
hal yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.

Pertemuan 3 : ugas
a) Keluarga memberikan komunikasi dengan AAC pada tugas t ulis
pengucapan, penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan mbar
men yang berhubungan dengan kegiatan sehari hari, rga/
menunjukkan ga yang ada dibuku komunikasi atau yang ada

8. Hari V (Tugas menunjukkan dan menyebutkan gambar)


: Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.
b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan meminta pasien untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan
den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu
s benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu (menyebutkanuruf
h m, p).
c) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali kata yang diucapkannya.

Pertemuan 3 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, seperti apa yang dimakan pasienada
p sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti dan
pulpen meminta pasien untuk menyebutkannya.

9. Hari VI : (Tugas menyebutkan, menulis, mengeja huruf pertama, gian


seba kata/kata lengkap)
Pertemuan 1 :
a) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan
keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap keinginannya dikertas
atau apa yang difikirkan dalam bentuk kalimat, seperti pasien mau
minum.
b) Katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Minta kepada
pasien untuk mengeja kata atau bagian yang ditulisnya.
Pertemuan 2 :
a) Meminta pasien untuk menceritakan tentang team olahraga
favoritnya, acara favorit ditelevisi, pekerjaannya.
b) Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, sebagian kata, minta
pasien untuk menuliskannya dikertas.

Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menunjukkan pada buku komunikasi apa yangtkan
disebu peneliti, seperti saya memerlukan sepatu, saya lapar danan,
ingin mak saya capek , saya ingin tidur, diluar gelap, tolong
hidupkan lampu. mari,
b) Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti le nda
meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk menyebutkan
be yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya kembali.

10. Hari VII :


Pertemuan 1 : ien,
a) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan dan
pas kemudian pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu anyi
lagu menyanyikan kalimat pada melodi, mula mula dengan turut
meny bersama asisten peneliti/keluarga lalu meniru menyanyi kitar
b) Meminta pasien untuk menunjukkan benda benda yang ada ng.
dise pasien, seperti tutup pintu, sisir, gelas, sendok, selimut,
bantal, guli
kan
Pertemuan 2 : bun,

shampoo.

b) Minta pasien untuk mengulang apa yang ditunjukkannya


dengan menyebutkan suku pertama, sebagian kata.
Pertemuan 3:
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama hewan, nama teman
- temannya, nama perawat/istri yang merawatnya
b) Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf
pertama/sebagian kata

11. Hari VIII :


Pertemuan 1 :
a) Menunjukkan majalah kepada pasien. Minta pasien untuk membaca isan
tul yang terdapat di majalah tersebut
b) Minta pasien untuk menulis dikertas tulisan yang dibacanya, minta sien
pa mengejanya

Pertemuan 2 :
a) Minta pasien untuk mencari kata yang diucapkan oleh peneliti, kemudian
mencari kata tersebut dalam buku komunikasi tersebut, seperti saya mau
menelepon, saya mau wudhu, cuaca diluar dingin, saya mau air
buang kecil, buang air besar, saya memerlukan kacamata, saya duk
ingin du bersandar, saya ingin miring ke kanan.

Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama teman - temannya, nama sien
pa disampingnya/anaknya
b) Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf gian
pertama/seba kata.

12. Hari IX :
Pertemuan 1 :
a) Meminta pasien untuk menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
di hp atau foto, teman atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
b) Kemudian minta pasien untuk menuliskannya di kertas atau papan yang
disediakan.

Pertemuan 2 :
a) Bercakap cakap dengan pasien dalam melakukan kegiatan sehari hari,
seperti mandi, mengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat bercerita
tentang tempat tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan kepada
pasien keluarganya atau bidang minatnya.
tentang

Pertemuan 3 :
a) Membacakan sesuatu (dari koran, misalnya), atau bersama s
mendengarkan lagu yang disukai pasien. Minta pasien uama
menyebutkan yang disebutkan peneliti/keluarga dan mengulangntuk
kembali. nya

13. Hari X :
Pertemuan 1 :
a) Tunjukkan buku komunikasi dan minta pasien untuk menyebu
gambar gambar yang ada dibuku komunikasi, seperti kebututkan
makan, minum, istirahat dan tidur. han
b) Minta pasien menyebutkan benda benda yang ada disekitar
pas seperti bantal, selimut, lemari. ien,

Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lagu yang disenangi pasien, peneliti bersama pa
bernyanyi bersama, minta pasien menyanyikan kata/kalimat padasien
l agu,
dan meminta mencoba mengulangi
menyanyi.

Pertemuan 3:
a) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya.
Langkah langkah pada penelitian ini dapat dilihat pada skema 4.2 berikut ini :

Skema 4.2
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Memastikan diagnosa pasien adalah
stroke hemoragik dan non hemoragik (melalui
status)

Sampel : Pasien stroke hemoragik dan non


hemoragik dengan afasia motorik yang dirawat di
RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar

Sampling : Consecutive sampling

Sampel yang memenuhi kriteria inklusi

Pengumpulan data karakteristik pasien ( umur, jenis kelamin,


frekuensi serangan stroke, keluarga yang merawat)

Kelompok kontrol n = 11 orang Kelompok intervensi n = 10 orang

Hari I-X : Pemberian isyarat/alat tulis Hari I-X: Pemberian bukui,


komunikas
selama 10 hari (Hari I X) papan alfabet, majalah/suratik
kabar, mus alat tulis berdasarkan format yang
dirancang oleh peneliti dengan n
melibatka keluarga

Hari XI : Hari XI :
Penilaian kemampuan fungsional Penilaian kemampuan
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan komunikasi, depresi,
fisik dan dukungan keluarga ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga
4.10 Pengolahan dan Analisis Data
4.10.1 Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, maka data dianalisis melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Pengecekan data (Editing)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan, kejelasan dan kesesuaian
data, mulai dari karakteristik responden, skrining afasia, penilaian
kemampuan fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik
dan
keluarga.
dukungan
b. Pemberian kode (Coding)
Koding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka/bilangan. Kode ini meliputi : kelompok (kelompok data
kontr ol =
1 dan intervensi = 2), kode jenis kelamin (laki laki 1 dan 2),
perempuan kode frekuensi serangan stroke =1 kali =1 dan > 1 kali = 2).
c. Pemrosesan data (Entry)
Pada tahap ini dilakukan kegiatan memasukan data ke paket program
komputer sesuai dengan variabel masing-masing secara teliti untuk
meminimalkan kesalahan.
d. Pembersihan data (Cleaning)
Merupakan upaya untuk memastikan data yang dimasukkan saat data
entry telah seluruhnya dan tidak ada kesalahan.

4.10.2 Analisis Data


a. Analisis Univariat
Dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik masing masing variabel ang
y diteliti. Variabel yang dianalisis adalah karakteristik responden, ebas
min,
frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan fisik, dukungan keluarga,
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Hasil dari analisis ini berupa
variabel kategorik dengan distribusi frekuensi dan prosentase dari
masing- masing variabel sedangkan variabel numerik dengan mean,
median, standar deviasi, serta nilai minimal dan maksimal pada 95%
confidence interval (CI). Analisis univariat masing masing variabel dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Analisis Univariat Variabel Dependen
dan Karakteristik Responden (Variabel
Perancu)

No Variabel Jenis Data/ Skala Data Deskripsi

Variabel Dependen
1 Kemampuan Fungsional Numerik/Interval Mean, Median, SD,
Komunikasi Min- Mak, 95% CI
2. Depresi Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
3 Umur Variabel
Numerik/ Interval Mean, Median, SD, Min-
Confounding Mak, 95% CI
4 Jenis Kelamin Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
5 Frekuensi serangan stroke Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
6 Ketidakmampuan fisik Numerik/ Interval Mean, Median, D, Min-
S Mak, 95% CI
7 Dukungan keluarga Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan tara
an dua variabel. Untuk menentukan jenis uji yang digunakan terlebih aka
dahulu, m dilakukan uji homogenitas dan normalitas. Uji homogenitas tiap
dilakukan pada se data antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. iuji
Untuk data kategorik d dengan uji Chi-Square dan untuk data numerik test.
digunakan uji Independent t- Apabila nilai p > 0.05, maka data disebut mua
homogen. Hasil yang didapatkan se data yang didapat homogen, artinya abel
semua data memiliki kesetaraan pada vari perancu, seperti umur, jenis dan
kelamin, frekuensi stroke, ketidakmampuan fisik dukungan keluarga. abel
Sedangkan untuk uji normalitas data dilakukan pada vari numerik dengan uji
membagi nilai skewness dengan standar error. Hasil normalitas untukisik,
variabel umur, dukungan keluarga, ketidakmampuan f data
terdistribusi dengan normal, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
parametrik dengan tingkat kemaknaan 95% (alpha 0,05). Artinya jika p value
<
0.05, maka hasilnya bermakna yang berarti Ho ditolak atau ada pengaruh. Tetapi
jika p value > 0.05, maka hasilnya tidak bermakna yang berarti Ho diterima atau
tidak ada pengaruh. Analisis bivariat yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 4.2 Uji Statistik Ana lisis B ivariat Analisis
Homogenitas Kelompok Kontrol, lntervensi dan
Variabel Perancu

No Jenis Uji Statisitik


Variabel Kelompok

1 Umur (Numerik) Kontrol Intervensi T test independent


2 Jenis kelamin (Kategorik) Kontrol Intervensi Chi-Square
3 Frekuensi serangan stroke Chi-Square
Kontrol Intervensi
(Kategorik)
]4 Ketidakmampuan fisik T test et
independ Kontrol - Intervensi
(Numerik)
5 Dukungan keluarga (Numerik) Kontrol - intervensi T test
independet

Tabel 4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok


Kontrol
Dan Kelompok Intervensi

No. Variabel Penelitian Uji Statistik


nt
1. Perbedaan rata-rata kemampuan komunikasi verbal
sesudah diberikan komunikasi dengan AAC antara T test
independe
nt
kelompok kontrol dan kelompok intervensi

2. Perbedaan rata rata depresi sesudah diberikan


komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan T test
independe n
kelompok intervensi

tik

Tabel 4.4 Analisis Bivariat Variabel Confounding Dengan Variabel n


Depende dent
dent
No
Variabel Kelompok Jenis Uji n
5 Dukungan keluarga (Numerik) Intervensi Korelasi Person
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan disajikan data tentang pengaruh pemberian komunikasi
dengan ugmentative and alternative communication terhadap kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi berupa analisis univariat dan bivariat.
Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas data dan uji
kesetaraan
perancu. Pada analisa univariat akan disajikan hasil distribusipada variabel abel
frekuensi
vari
resi.
konfounding, dan variabel kemampuan fungsional komunikasi dan
dep rata

Sedangkan pada analisa bivariat akan disajikan analisis kesetaraan, dan


perbedaan onal
rata kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada kelompok
kontrol intervensi beserta hubungan variabel perancu terhadap
kemampuan fungsi komunikasi dan depresi sesudah diberikan komunikasi
dengan AAC.
ang
oke,
5.1 Analisis univariat karakteristik responden
erik
Karakteristik responden yaitu pasien stroke dengan afasia motorik Data
y diidentifikasi berdasarkan umur, jenis kelamin, frekuensi serangan sing
str ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga. Data yang bersifat
num dianalisis sehingga didapatkan nilai rata rata, median dan standar
deviasi. kategorik dianalisis dan didapatkan hasil berupa persentase. Hasil
analisis ma
masing variabel ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Ketidakmampuan
Fisik, Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi Pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya & Banjar
November - Desember 2011

Variabel n Mean SD Min. Mak. 95% CI


Umur
Kontrol 11 61.55 5.98 53 -70 57.52 65.57
Intervensi 10 62.70 11.89 42 76 54.19 71.21
Gabungan 21 62.10 9.055 42-76 57.97 66.22
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol 11 25.00 8.062 10 - 40 19.58 30.42
Intervensi 10 26.00 6.58 15 - 40 21.29 30.71
Gabungan 21 25.48 7.229 10 - 40 22.19 28.77
Dukungan keluarga
Kontrol 11 45.73 3.524 39 - 53 43.36 48.09
Intervensi 10 47.30 2.31 44 - 50 45.65 48.9
Gabungan 21 46.48 3.043 39 - 53 45.09 7.86
4
Kemampuan fungsional
komunikasi 1.81
Kontrol 11 10.64 1.74 8 - 14 9.46 12.29
Intervensi 10 11.10 1.66 8 - 13 9.91 1 1.62
Gabungan 21 10.86 1.682 8 - 14 10.09 1
Depresi 0.50
Kontrol 11 9.64 1.28 8 - 13 8.77 1 .13
Intervensi 10 8.30 1.16 7 - 10 7.47 9.63
Gabungan 21 9.00 1.378 7 - 13 8.37 9

5.1.1 Umur
ntrol
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata umur pada kelompok
usia
ko adalah 61.55 tahun (SD = 5.98) dengan umur termuda adalah 53 tahun
95%
dan tertua 70 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa diyakini bahwa umur rata-rata antara 57.52 tahun sampai dengan
65.57 tahun. D=
11.89) dengan umur termuda 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa umur rata-
rata antara 54.19 tahun sampai dengan 71.21 tahun.

Rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 62.10 tahun (95%
CI : 57.97 66.22) dengan standar deviasi 9.055 tahun. Umur termuda 42 tahun
dan umur tertua 76 tahun, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95%
diyakini rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
diantara
57.97 tahun sampai dengan 66.22
tahun.

5.1.2 Ketidakmampuan fisik

Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata ketidakmampuan fisik


pada kelompok kontrol adalah 25.00 (SD = 8.062) dengan
ketidakmampuan fisik terendah adalah 10 dan tertinggi 40. Dari hasil estimasi
interval
bahwa 95% diyakini bahwa ketidakmampuan fisik dapat
rata-rata disimpulkan
antara 19.58 sampai
dengan 30.42.

Sedangkan rata-rata ketidakmampuan fisik pada kelompok intervensi adalah6.00


2 (SD = 6.58) dengan ketidakmampuan fisik terendah adalah 15 dan 40.
tertinggi Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakinihwa
ba ketidakmampuan fisik rata-rata antara 21.29 sampai dengan 30.71.

Rata rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol dan intervensialah


ad
uan
25.48 (95% CI : 22.19 28.77) dengan standar deviasi 7.229. Ketidakmamp
hwa
fisik terendah 10 dan tertinggi 40, hasil estimasi interval dapat disimpulkan
dan
ba
95% diyakini rata rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol
intervensi adalah diantara 22.19 sampai dengan 28.77.

5.1.3 Dukungan keluarga ada


dah
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata dukungan keluarga
hwa
p kelompok kontrol adalah 45.73 (SD = 3.52) dengan dukungan keluarga
95% diyakini bahwa dukungan keluarga rata-rata antara 43.36 sampai
dengan
48.09.

Sedangkan rata-rata dukungan keluarga pada kelompok intervensi adalah 47.30


(SD = 2.31) dengan dukungan keluarga terendah adalah 44 dan tertinggi 50. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa dukungan
keluarga rata-rata antara 45.65 sampai dengan 48.95.
Rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
46.48 (95% CI : 45.09 47.86) dengan standar deviasi 3.043. Dukungan
keluarga terendah 39 dan tertinggi 53, hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol
dan intervensi adalah diantara 45.09 sampai dengan 47.86.

5.1.4 Kemampuan fungsional


komunikasi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata kemampuan fungsional komuni
kasi
pada kelompok kontrol adalah 10.64 (SD = 1.74) dengan kemampuan
kasi
komuni verbal terendah adalah 8 dan tertinggi 14. Dari hasil estimasi
apat
interval d disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa kemampuan fungsional
ata-
komunikasi r rata antara 9.46 sampai dengan 11.81.

Sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok


ensi
interv adalah 11.10 (SD = 1.66) dengan kemampuan fungsional komunikasi
dah
teren adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil estimasi interval dapat
hwa
disimpulkan ba
9.91
95% diyakini bahwa kemampuan fungsional komunikasi rata-rata
antara sampai dengan 12.29.

dan
Rata rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok kontrol
682.
intervensi adalah 10.86 (95% CI : 10.09 11.62) dengan standar deviasi
masi
1. Kemampuan fungsional komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14, hasil
onal
esti interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata kemampuan
mpai
fungsi komunikasi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara
10.09 sa dengan 11.62.

5.1.5 Depresi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata depresi pada kelompok kontrol
adalah
9.64 (SD = 1.28) dengan depresi terendah adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata
antara 8.77 sampai dengan 10.50.
Sedangkan rata-rata depresi pada kelompok intervensi adalah 8.30 (SD = 1.16).
Depresi terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 10. Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata antara 7.47
sampai dengan 9.13.

Rata rata depresi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 9.00 (95% CI
:
8.37 9.63) dengan standar deviasi 1.378. Depresi terendah 7 dan tertinggi 13,
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata
pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara 8.37 sampai dengan
depresi
9.63
.
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
dan
Frekuensi Serangan Stroke Pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011

Kontrol Intervensi Total


Variabel (n=11) (n=10)
% % %
Jenis ke lamin
Laki laki 7 63.6 6 60.00 13 61.90
Perempuan 4 36.4 4 40.00 8 38.10
Total 11 100 10 100 21 100
Frekuensi serangan stroke
1 kali 6 54.5 5 50.00 11 52.38
> 1 kali 5 45.5 5 50.00 10 47.62
Total 11 100 10 100 21 100

5.1.6 Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil analisa tabel 5.2 didapatkan sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin laki laki yaitu 13 orang (61.90%). Pada kelompok kontrol
sebagian besar memiliki jenis kelamin laki laki, yakni 7 orang (63.6%). Pada
kelompok intervensi jen is kelamin responden sebagian besar respondeniliki
jenis kelamin laki laki, yaitu 6 orang
(60%).

5.1.7 Frekuensi stroke


Distribusi karakteristik responden berdasarkan banyaknya jumlah serangan
stroke menunjukkan bahwa dari 21 orang responden, lebih banyak responden
memiliki jumlah serangan stroke 1 kali sebanyak 11 orang (52.38%). Pada
kelompok kontrol memiliki hampir merata memiliki jumlah serangan stroke 1
kali yaitu 6
orang (54.5%). Pada kelompok intervensi responden memiliki hasil yang sama
antara responden memiliki jumlah serangan stroke 1 kali dan > 1 kali yaitu
5 orang (50.0%).

5.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat diantaranya digunakan untuk mengetahui kesetaraan
variabel perancu antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
melalui uji onal
homogenitas dan uji untuk membuktikan perbedaan kemampuan
fungsi komunikasi dan depresi pada kelompok kontrol dan intervensi.

5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas


Pada bagian ini diuraikan tentang analisis kesetaraan variabel perancu, aitu
y umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan dan
fisik dukungan keluarga. Adapun tujuan analisis ini adalah untuk hwa
meyakinkan ba perbedaan kemampuan fungsional komunikasi dan depresiada
yang didapat p pengukuran akhir perlakuaan adalah merupakan efek ibat
perlakuan dan bukan ak karakteristik responden. Uji yang digunakan ntuk
adalah independent t test u mengetahui kesetaraan umur, dan
ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga uji chi- square untuk gan
mengetahui kesetaraan jenis kelamin dan frekuensi seran stroke pada ntuk
kelompok kontrol dan intervensi. Uji normalitas dilakukan u variabel rga,
numerik, seperti umur, ketidakmampuan fisik, dukungan kelua data
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Jika didapatkan distribusiitian
yang normal maka, syarat untuk dilakukan uji t terpenuhi. Hasil penelang
didapatkan semua data terdistribusi dengan normal, maka analisis bivariat
y digunakan dalam penelitian ini adalah uji t independen.
Tabel 5.3 Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik
dan
Dukungan Keluarga antara Kelompok Kontrol dan
Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar
November Desember 2011

Variabel n Mean SD SE t p value

Umur
Kontrol 11 61.55 5.98 1.81 - 0.277 0.786
Intervensi 10 62.70 11.89 3.76
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol 11 25.00 8.06 2.43 -0.309 0.760
Intervensi 10 26.00 6.58 2.08
Dukungan Keluarga
Kontrol 11 45.73 3.52 1.06 -1.195 0.247
Intervensi 10 47.30 2.31 0.73

Berdasarkan hasil analisis tabel 5.3, didapatkan kesetaraan berdasarkan umur


antara kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p > 0.05. Ketidakmampuan
fisik responden didapatkan kesetaraan pada kelompok kontrol dan intervensi
dengan nilai p > 0.05. Sedangkan dukungan keluarga responden didapatkan
kesetaraan pada kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p > 0.05.

Tabel 5.4 Hasil Analisis kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin


dan Frekuensi Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di
RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember
2011

Variabel Kontrol Intervensi Total OR p value


2
(n = 11) (n = 10) X
% % % 95% CI
Jenis Kelamin
Laki laki 7 53.85 6 46.15 13 100 1.167 1.00
Perempuan 4 50.00 4 50.00 8 100 0.2101 0.200 6.805
Total 11 52.38 10 47.62 21 100
Frekuensi Serangan Stroke
1>1kali
kali 56 50.00
54.54 5 45.45
50.00 11
10 100 0.1727 1.200
0.216 6.676 1.00
Total 11 52.38 10 47.62 21 100

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.4 didapatkan kesetaraan karakteristik


responden berdasarkan jenis kelamin antara kelompok kontrol dan intervensi
dengan p > 0.05. Sedangkan hasil analisis kesetaraan karakteristik
responden berdasarkan frekuensi serangan stroke antara kelompok kontrol
dan intervensi didapatkan kesetaraan atau homogen dengan p > 0.05.
5.2.2 Analisis Perbedaan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi
sesudah diberikan komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi

Berikut ini akan disajikan perbedaan kemampuan fungsional komunikasi pada


pasien afasia motorik sesudah diberikan komunikasi dengan augmentative and
alternative communication antara kelompok kontrol dan intervensi

Tabel 5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional


Komunikasi antara Kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien
Afasia Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
p value
Mean Diff
Variabel n Mean SD SE T
95%
Kemampuan Fungsional Komunikasi
Kontrol 11 10.64 1.748 0.527 -0.464 0.542
-0.621 -2.026 1.099
Intervensi 10 11.10 1.663 0.526

onal
Berdasarkan hasil analisis tabel 5.5 didapatkan rata-rata kemampuan
viasi
fungsi komunikasi responden kelompok kontrol adalah 10.64 dengan
den
standar de
lisis
1.748, sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi
lrespon
i l j t j il i . ( . . ). rti tidak

kelompok intervensi adalah 11.10 dengan standar deviasi 1.663. Hasil kasi

ana eb h an u menun ukkan n a p > 0 05 p = 0 542 pada = 0 05 A


nya terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kemampuan fungsional
komuni antara kelompok kontrol dengan intervensi.
ara
kelompok kontrol dan kelompok intervensi
Berikut ini akan disajikan perbedaan depresi pada pasien afasia motorik
setelah diberikan komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan
intervensi.

Tabel 5.6 Hasil Analisis Perbedaan Depresi antara Kelompok Kontrol


dan V
Kelompok intervensi Pada Pasien Afasia
Motorik a
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan ri
Banjar a
November Desember b
2011
el
Mean Diff
n Mean SD SE t
95%

p value
Depresi 1.336
Kontrol 11 9.64 1.1
0.388

Intervensi 10 8.30 1.160 0.367 2.491 0.213 2.459 *0.022


* Bermakna pada 0.05

Berdasarkan hasil analisis tabel tabel 5.6 didapatkan rata-rata depresi pada
mpok
kelo kontrol adalah 9,64, sedangkan rata rata depresi kelompok intervensi adalah
Hasil
8.30. uji statistik didapatkan p = 0 022 pada = 0 05 A nya e dapa pe
. . . rti t r t r yang
bedaan bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi.

5.2.3 Analisis Variabel Perancu terhadap Kemampuan Fungsi


Komunikasi dan Depresi pada Kelompok Intervensi onal

Berikut ini akan disajikan pengaruh variabel perancu terhadap


ua
kemamp fungsional komunikasi dan depresi pada pasien afasia motorik
n
setelah diber komunikasi dengan AAC pada kelompok intervensi.
ika

Tabel 5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan n


Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011

Variabel r p value
Umur -0.144 0.691

Ketidakmampuan fisik -0.264 0.461


Dukungan Keluarga -0.124 0.732

Dari tabel 5.7 di atas diperoleh nilai r = - 0,144 dan nilai p = 0,691. Artinya
hubungan antara umur responden dengan kemampuan fungsional komunikasi
menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif. Semakin
bertambah umur responden, semakin berkurang kemampuan fungsional
komunikasinya .
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur dengan kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,691).

Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = -0,264


dan nilai p = 0,461. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden
dengan kemampuan fungsional komunikasi menunjukkan hubungan yang
sedang dan berpola negatif. Artinya semakin bertambah ketidakmampuan
fisikHasil
semakin menurun kemampuan fungsional komunikas inya. responden,
uji istik
stat diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan gan
fisk den kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,461).

Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,124 dan nilai p = 0,732.


Artinya hubungan antara dukungan keluarga responden dengan uan
kemamp fungsional komunikasi menunjukkan hubungan yang lemah dan gatif
berpola ne Dukungan keluarga berbanding terbalik dengan onal
kemampuan fungsi komunikasi. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada ikan
hubungan yang signif antara dukungan keluarga dengan kemampuan 32).
fungsional komunikasi (p = 0,7

Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada Kelompok
Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011

p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Frekuensi
Laki laki serangan stroke 6 11.00 2.098 0.856
1 kali 5 12.00 1.225 0.548
>1 kali 5 10.20 1.643 0.735 0.085

Sesuai tabel 5.8 di atas menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p >
0.05 (p =
0.831). Sedangkan pada frekuensi serangan stroke menunjukkan tidak ada
hubungan bermakna dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p
>
0.05 (p = 0.085).

Tabel 5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik


dan Dukungan Keluarga Terhadap Depresi Pada Pasien Afasia
Motorik Pada Kelompok Intervensi di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan Banjar November Desember 2011

Variabel r p value
Umur -0.395 0.258
Ketidakmampuan fisik 0.539 0.108
Dukungan Keluarga -0.493 0.147

Dari tabel 5.9 di atas diperoleh nilai r = - 0,395 dan nilai p = 0,258. Artinya
hubungan antara umur responden dengan depresi menunjukkan hubungan ang
y sedang dan berpola negatif. Semakin bertambah umur responden, akin
sem menurun depresinya. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada ang
hubungan y signifikan antara umur dengan kemampuan fungsional .
komunikasi (p = 0,258)

nilai
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = 0,539 dangan
p = 0,108. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden akin
den depresi menunjukkan hubungan yang kuat dan berpola positif. nya.
Sem bertambah ketidakmampuan fisik responden, semakin bertambah tara
depresi Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan an ketidakmampuan fisk dengan depresi (p = 0,108).
inya
Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,493 dan nilai p = 0,147. kan
Art hubungan
hubungan antara
yang dukungan
sedang keluarganegatif.
dan berpola responden dengan
Artinya depresibertambah
semakin
dukungan keluarga responden, semakin menurun depresinya. Hasil uji
statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga
dengan depresinya (p = 0,147).
Tabel 5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Depresi pada Pasien Afasia Motorik pada Kelompok Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember 2011

p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Laki laki 6 8.00 1.265 0.516
Perempuan 4 8.75 0.957 0.479 0.346
Frekuensi serangan stroke
1 kali 5 9.00 1.000 0.447 0.048*
>1 kali 5 7.60 0.894 0.400
* Bermakna pada 0. 05

Sesuai tabel 5.10 di atas, menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan depresi dengan nilai p > 0.05 ( p = 0,346). Sedangkanada
p frekuensi serangan stroke menunjukkan hubungan bermakna dengan depresi
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.048).
BAB 6
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan dan dijelaskan makna hasil penelitian yang meliputi :
interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan pada
bab lima, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan serta bagaimana implikasi
hasil
penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan dan pengembangan
penel berikutnya guna peningkatan kualitas asuhan keperawatan. itian

6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi umur, jenis kelamin,
freku serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga ensi
respon kelompok kontrol dan intervensi adalah homogen (p>0.05). Hal ini den
menunjuk bahwa sebelum perlakuan kedua kelompok adalah kondisi yang kan
setara, sehin kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada kelompok gga
intervensi ad efek dari pemberian komunikasi dengan AAC. alah

6.1.1 Karakteristik Pasien

Stroke a. Umur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden kontrol


da skala umur rata rata 61.55 tahun dan responden intervensi rata lam
rata 6 tahun. Umur termuda adalah 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. 2.70

Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak
apat
diubah, menurut AHA/ASA (2006) menyatakan bahwa seseorang yang
sudah berumur diatas 55 tahun akan berisiko menderita stroke dua kali lipat
dibanding usia dibawah 55 tahun. Stroke pada usia ini diprediksi berkaitan
dengan masalah aterosklerosis yang banyak dialami oleh pasien-pasien usia
lanjut. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, semua responden
memiliki faktor resiko hipertensi. Pada klien-klien dengan hipertensi, tekanan
darah yang tinggi secara
perlahan akan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan
mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisma, inilah yang memicu
terjadinya stroke pada klien dengan hipertensi.Hal ini juga diperkuat oleh Feigin
(2004) bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun, setelah
mencapai umur 50 tahun dan setiap penambahan umur tiga tahun meningkatkan
risiko stroke sebesar 11 20%.

Umur termuda responden pada kelompok intervensi adalah 42 tahun, ini tergolong
sebagai stroke umur muda. Menurut Pinzon (2009), definisi umum ang
y digunakan pada berbagai penelitian epidemiologi untuk stroke umur muda alah
ad stroke yang terjadi pada umur kurang dari 45 tahun. Menurut hasil itian
penel Lipska, et al (2007) menunjukkan bahwa stroke usia muda yak
paling ban disebabkan oleh sindrom metabolik. Komponen sindrom apat
metabolik yang d teramati dalam penelitiannya adalah : peningkatan /dl),
trigliserida (> 150 mg penurunan kolesterol HDL (dibawah 40 mg/ dl),arah
peningkatan tekanan d (diatas 130 mmHg untuk sistolik atau diatas 85 dan
mmHg untuk diastolik), peningkatan kadar gula puasa diatas 100 mg/ dl.pula
Pasien akan dinyatakan mengalami salah satu dari komponen sindroma dah
metabolik tersebut, bila su terkonfirmasi menderita penyakit yang termasukatau
dalam sindroma metabolik, sedang mendapat terapi (misalnya mendapat
terapi statin untuk dislipidemia).
nen
Selain itu, hasil penelitian Lipska, et al (2007) juga menemukan bahwa alah
kompo sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke umur us).
muda ad kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darahroke
(50% kas Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden dua
kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya adalah
tingginya kadar kolesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi. Hipertensi
dan hiperlipidemia merupakan dua faktor resiko terjadinya stroke.
Hiperlipidemia terutama kolesterol dan trigliserida, peningkatannya akan
memicu terjadinya aterosklerosis yang bisa mencetuskan terjadinya stroke.
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terjadi penebalan dan hilangnya
elastisitas arteri. Umumnya
proses arteroskeloris ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteri
besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis berserabut, sedangkan sel-sel
ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga
lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Kondisi
inilah yang memicu terjadinya penurunan sirkulasi darah ke otak yang
menyebabkan terjadinya stroke.

b. Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki jenis min


kela laki laki sebanyak 13 orang (61.90%) dan 8 orang responden (38.10%)iliki
mem jenis kelamin perempuan. Proporsi jenis kelamin dalam penelitianebih
ini l banyak laki laki. Menurut Iskandar (2003), bahwa laki-laki lebih ung
cender lebih berisiko dibandingkan wanita dengan perbandingan 1.3 : 1, ada
kecuali p umur lanjut risiko stroke pada laki-laki dan wanita hampir sama. apat
Kondisi ini d dipengaruhi oleh faktor gaya hidup laki-laki antara lain sepertinum
: merokok, mi minuman beralkohol dan stress (baik dalam pekerjaan, urut
keuangan, sosial). Men Feigin (2004) stres dalam jangka panjang dapat ang
memicu faktor-faktor y berhubungan dengan penyebab stroke.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, sebagian besar den


respon laki laki mengatakan mempunyai kebiasaan merokok dan jarangraga
berolah bahkan ada satu responden yang merokok 20 batang dalam sehari. igin
Menurut Fe (2004), mereka yang menghisap 20 atau lebih batang rokok siko
sehari memiliki ri stroke dua kali lipat dibanding yang merokok lebih ama
sedikit. Semakin l seseorang merokok, semakin besar risiko mengalami
stroke.
Walaupun wanita jumlahnya sedikit dibandingkan responden laki laki dalam
penelitian ini, faktor risiko seperti wanita berumur lebih dari 35 tahun, merokok
dan hipertensi serta menggunakan kontrasepsi oral sangat besar
kemungkinan terkena stroke (AHA/ASA, 2006; Price & Wilson, 2006). Pendapat
ini sesuai dengan yang ditemukan oleh peneliti selama wawancara dengan
responden bahwa sebagian besar wanita menggunakan kontrasepsi oral (pil)
dan terdapat 1 orang
responden wanita yang merokok sejak dari mudanya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Feigin (2004), bahwa sebagian besar kontrasepsi oral
mengandung estrogen dan progesteron. Pil ini dapat meningkatkan tekanan darah
serta menyebabkan darah menjadi kental dan lebih mudah membentuk bekuan.
Kontrasepsi oral kombinasi meningkatkan risiko stroke iskemik, terutama pada
wanita perokok yang berusia lebih dari 30 tahun.

c. Frekuensi Serangan Stroke

mlah
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden memiliki ju
serangan 1`kali sebanyak 11 orang (52.38%). Selain stroke yang 1 kali,kan
ditemu
10 orang responden (47.62%) mengalami stroke >1
kali. oke
kan
Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari
onal
str akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka a
sien
mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut Nati
tu 5
Stroke Association (2009), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hr, 5-14%
pa stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam
wak tahun. gan
u 5
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
aktu
seran stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%-43%
24-
dalam wakt tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami
dan
stroke dalam w
) roke
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam
nggi
waktu
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga
akan berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)

Pengendalian faktor risiko yang tidak baik merupakan penyebab utama


munculnya serangan stroke ulang. Serangan stroke ulang pada umumnya
dijumpai pada individu dengan hipertensi yang tidak terkendali dan
merokok. Black &
Hawk (2009) juga menyatakan bahwa pengurangan berbagai faktor risiko,
seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok,
dan obesitas saat serangan stroke pertama dapat mencegah serangan stroke
berulang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden


merupakan kasus dengan serangan pertama. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Almborg, Ulander, Thulin dan Berg (2009),
melaporkan
responden mengalami stroke pertama kali. Hal serupa dilaporkan Yea,79%
Suh,Sien
dan Mien (2008) yang melaporkan 55.1% responden merupakan stroke ang
y pertama kali. Data tersebut menunjukkan bahwa pasien yang mengalami ke 1
stro kali lebih tinggi dibandingkan dengan stroke berulang.

d. Ketidakmampuan Fisik

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa ketidakmampuan fisik respondenang


y diukur berdasarkan Barthel Indeks, sebagian besar mempunyai 25.48.kan
Kerusa kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang paling jelasoke
terlihat. Str merupakan penyakit motor neuron atas yang mengakibatkantrol
kehilangan kon volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan motorikkan
meliputi kerusa mobilitas, fungsi respirasi, menelan dan berbicara, reflek gaguan
dan kemamp melakukan aktivitas sehari hari (Lewis, 2007).

Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini hampir sebagian esar


b responden mengalami hemiplegi karena gangguan pusat bicara kiri
dihemisfer dominan, sehingga untuk melakukan kegiatan yang bersifat lami
motorik menga gangguan, seperti Ketidakmampuan fisik dalam memenuhiri
kebutuhan seha air
kecil, menggunakan toilet, berpindah, nobilitas dan menggunakan tangga.makan.
Menurut Saxena, Ng, Yong, Fong & Koh (2006), ketergantungan melakukan
aktivitas hidup sehari hari didefinisikan dengan nilai Barthel Index 50.
Pasien dengan paska stroke afasia mempunyai mortalitas yang lebih tinggi dan
kemampuan fungsional yang rendah daripada pasien tanpa afasia
(Kirshner,
2009).
e. Dukungan Keluarga

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah
46.48. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak banyak perbedaan
yang didapatkan rata rata dukungan keluarga antara kelompok kontrol
(45.73) dan intervensi (47.30). Berdasarkan penilaian dukungan keluarga yang
dimodifikasi dari teori dukungan keluarga dan kuesioner dukungan keluarga
Yenni (2011), dukungan keluarga dalam penelitian ini memiliki rentang 15
yang dapat diperoleh adalah semakin tinggi nilai dukungan60.maka
Kesimpulan baik
semakin dukungan keluarga.

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dap


terha penderita yang sakit (Friedman, 2010). Dukungan keluarga lalu
memang se diberikan keluarga pada pasien stroke. Gangguan pada pasien ikan
stroke member efek sosial pada pasien dan keluarganya. Aktivitas sehari sial
hari dan kontak so dengan lingkungan sekitarnya menurun drastis, ggu
sehingga akan menggan keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006). Hal ini 000)
sesuai dengan Mant et al (2 bahwa ada hubungan dukungan keluarga dan
dengan peningkatan aktivitas sosial kualitas hidup pasien stroke.

Berdasarkan hasil pengamatan penelitian didapatkan bahwa keluarga selalu


menunggu pasien dan memberikan perawatan selama pasien dirawat dimah
ru sakit, sehingga pasien merasa nyaman dan diperhatikan oleh keluarganya.
Menurut peneliti rasa nayaman yang timbul pada diri pasien afasia motorik akan
muncul karena adanya dukungan baik emosional, penghargaan, instrumentaldan
informasi dari keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Taylor,
(2006), bahwa dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat gah
mence
berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan
dukungan keluarga yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan
mengatasi masalahnya dibandingkan dengan yang tidak memiliki dukungan.
Kondisi ini akan mencegah munculnya depresi pada pasien stroke dengan
afasia motorik. Depresi akan mempengaruhi pasien dalam rehabilitasi,
sehingga akan
memperlambat penyembuhan wicara pasien, keterbatasan dalam aktivitas sosial
dan meningkatkan lama hari rawat.

Keluarga merupakan sistem pendukung yang memberikan perawatan langsung,


terutama bantuan terhadap keterbatasan fisiknya pada setiap keadaan sehat sakit
anggota keluarganya. Selain itu dukungan keluarga dapat membantu
perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke, pendidikan pasien,
keefektifan
dan efisiensi penggunaan sumber daya perawatan kesehatan (Huang, et al,
201
0).

6.1.2 Pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap


uan
kemamp fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasia
motorik
tkan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang mendapa
dan
intervensi isyarat/alat tulis, kemampuan fungsional komunikasi tertinggi 14
AAC
terendah 8, sedangkan pada kelompok intervensi yang mendapatkan
bet,
menggunakan buku komunikasi berisi gambar, musik, papan
nya
alfa majalah/surat kabar dan alat tulisertinggi 13 dan terendah 8. Bila dilihat
aian
kedua memiliki kemampuan fungsional komunikasi yang sangat jauh
nggi
dari penil Derby Functional Communication Scale (DFCS) yaitu memiliki
ini
rentang terti
onal
24 dan terendah 0. Lebih lanjut hasil yang diperoleh pada
penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
ntal
kemampuan fungsi komunikasi setelah diberikan komunikasi dengan AAC
dan
selama sepuluh hari. Secara konsep afasia motorik terjadi akibat lesi pada
ntuk
area Broca pada lobus fro yang ditandai dengan kesulitan dalam
efek
langsung pada penyembuhan penyakit, jika klien tidak memahami instruksi.
Kondisi ini menyebabkan pasien terisolasi dari keluarga, teman komunitas yang
lebih luas. Pasien tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka inginkan,
tidak mampu berbicara melalui telepon, menjawab pertanyaan atau berpartisipasi
dalam percakapan, sehingga seringkali pasien menjadi frustasi, marah,
kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ini pada
akhirnya menyebabkan
pasien menjadi depresi (Mulyatsih & Ahmad, 2010; Smeltzer, Bare, Hinke
& Cheever, 2010).

Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat dilakukan pada pasien afasia
menurut NIC adalah penggunaan perangkat elektronik, papan alfabet, papan
gambar/ flash card yang berisi gambar kebutuhan dasar, stimulus visual, alat
tulis, menggunakan kata kata yang sederhana, memberikan bahan bahan
yang
gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley & berisi(2011);
Ladwig tulisan atau y &
Ackle Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, &
Hinkle Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan komunikasi ensi
diatas, interv tersebut merupakan bagian dari AAC.

Beberapa penelitian terdahulu telah memberikan gambaran mengenai pengaruh


pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi pada pasien oke
str yang mengalami afasia. Menurut hasil penelitian Bhogal, Teasell, &
Foley Speechley (2003) yang menggunakan constraint induced therapy kan
(mengguna kartu bergambar dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang tara
signifikan an kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari pok
dibandingkan kelom standar yang menerima latihan 1 jam selama 4 uan
minggu terhadap kemamp penamaan dan pemahaman yang dievaluasi Test.
dengan tes wicara, seperti Token Selanjutnya penelitian case control yang man
dilakukan oleh Garret & Beukel (1995) pada pasien dengan trauma ang
pembuluh darah cerebral kiri y menggunakan AAC dengan metode lowsan)
technology (gambar yang berisi tuli selama 1.5 bulan terbukti dapat lam
meningkatkan pemahaman dan kemampuan da komunikasi (Ackley, Ladwig,
Swan & Tucker, 2008)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit et al (2007) membandingkan
2 kelompok dengan durasi yang berbeda dengan menggunakan media gambar
pada pasien afasia motorik sebagai latihan wicara (orientasi tugas menyeleksi
gambar, penamaan objek, menjelaskan dan mengenalkan hubungan antara
kedua item) pada kelompok intensif menerima latihan wicara selama 5 jam
dan kelompok standar yang menerima latihan wicara selama 2 jam
selama 12 minggu,
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa
pada kelompok standar dengan waktu 2 jam (p = 0.002 dibandingkan dengan
kelompok intensif dengan waktu 5 jam (p > 0.05). Sementara hasil penelitian
Rappaport et al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman &
Hafsteindottir, 2010) melakukan penelitian dengan memberikan latihan
wicara menggunakan media gambar pada afasia motorik yang dilakukan
setiap hari selama 5 tahun dengan lama latihan wicara selama 3
menunjukkan kemampuan berbahasa,
jam/minggu,
sedangkan
didapatkan
sebagian
sebagian
lagi pasien kan
menunjuk sedikit atau tidak ada perbaikan.

Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan berbagai variasi tentang


intensitas dan lamanya latihan. Latihan intensif, dimulai secara dini dan
dilanjutkan beberapa bulan dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi ien.
pas Menurut pendapat Darley (1977 dalam Kusumoputro, 1992), terapi yangnsif
inte akan memberikan suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila ikan
diber pada waktu terjadi pemulihan spontan dan hasil maksimal akan bila
didapatkan apa terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa ihan
bulan. Lamanya lat dapat dihubungkan dengan lamanya pemulihan bicara hier
pasien. Menurut Bat (2005), penyembuhan spontan menunjukkan a 2
pemulihan bicara tercepat selam atau 3 bulan dan puncaknya terjadi setelah ung
1 tahun. Hasil penelitian ini diduk oleh penelitian Laska (2007) ulan
penyembuhan bicara tercepat terjadi dalam b pertama setelah paska stroke.atik
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil sistem review Poslawsky, hwa
Schuurmans, Lindeman & Hafsteinsdottir (2010), ba sekitar 40% m 1
penyembuhan komplit afasia atau hampir komplit terjadi dala tahun kap
setelah stroke tetapi sekitar 60% penyembuhan yang terjadi tidak leng

Faktor faktor yang mempengaruhi pemulihan wicara bahasa terhadap


kemampuan fungsional komunikasi pada afasia adalah luas cedera yang
berhubungan erat dengan kemungkinan adanya gangguan tambahan, seperti
gangguan visual, motoris (terutama bila berkaitan dengan proses berbicara),
gangguan auditif, gangguan daya ingat dan gangguan emosional akibat
kerusakan
otak dapat menghambat pemulihan. Keparahan afasia, umur dan lateralisasi
juga menjadi faktor faktor prognosis dalam pemulihan wicara afasia
(Kusumoputro,
1992).

Selain itu latihan secara intensif juga dapat meningkatkan neural


plasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik (Bakheit
et al (2007). Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivasi
jaringan otak yang ini
merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya
kemampuan kemampuan-kemampuan motorik klien yang mengalami rena
kemunduran ka stroke dapat dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otakoses
terjadi melalui pr substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal dan
melalui terapi latihan proses kompensasi yang dapat tercapai melalui uatu
latihan berulang untuk s fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau atau
ortosis, perubahan perilaku perubahan lingkungan (Wirawan, 2009).
Pada saat pelaksanaan latihan komunikasi dengan AAC, media yang kan
diguna pemberian latihan komunikasi lebih memfokuskan bagaimana itasi
memfasil komunikasi tanpa melihat keparahan afasia dalam memberikan saja
latihan. Tentu hal ini bisa memberikan kondisi yang berbeda-beda den
antara setiap respon dengan lamanya pemulihan bicara terhadap kemampuani.
fungsional komunikas
lam
Selama melakukan penelitian, latihan komunikasi melibatkan ke luarga gkat
da pelaksanaannya. Menurut Kusumoputro (1992), efektifitas terapi akan oleh
menin bila melibatkan keluarga, teman dalam rehabilitasi afasia. Hal ini 010)
didukung Kelley et al (2010 dalam dalam Salter, Teasell, Bhogal, hasil
Zettler, Foley, 2 bahwa latihan wicara dapat dilakukan oleh volunteer dan rang
terdekat
dapat dengan pasien. Keluarga dapat berperan membantu latihan komunikasi
memberikan
tentang kegiatan pasien sehari hari yang selalu dilakukan, seperti setiap pasien
mau makan, minum, mandi, menggosok gigi, menyisir rambut, berpakaian,
BAB, BAK, penggunaan toilet, istirahat dan tidur, miring kanan/kiri, duduk
bersandar, minum obat, mobilisasi dan lain - lain merupakan suatu latihan dan
komunikasi dengan waktu 5 menit x 20 kegiatan sehari - hari ( total latihan
setiap hari = 100
menit). Keluarga dapat berperan secara mandiri melakukan latihan komunikasi
dengan tugas menunjuk gambar, menyebutkan, penamaan, pengulangan,
membaca, mengeja dan menulis.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Johnson, Hough, King, Vos
& Jeffs (2008) yang melakukan penelitian penggunaan komunikasi dengan
AAC terhadap 3 orang pasien afasia berat kronik menggunakan high technology
dengan
melibatkan keluarga dalam waktu 1 jam, 3 4 hari/minggu selama 3 bulan
didapatkan hasil 1 orang menunjukkan pemahaman dan penamaan jek,
ob sedangkan 2 orang pasien terdapat peningkatan dalam pemahaman ran,
pendenga sedangkan ke 3 orang pasien terdapat penurunan dalam kan
pengulangan. Sedang hasil penelitian yang dilakukan oleh David et al sell,
(1989 dalam Salter, Tea Bhogal, Zettler, Foley, 2010) terhadap latihan ntuk
wicara yang dirandom u mendapat latihan wicara oleh terapi wicara dan tkan
volunter tidak terlatih didapa tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua cara
kelompok terhadap skor tes wi menggunakan Functional Profile
Communication (FCP).
idak
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menjadi nya
t signifikan dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu singkat aiki
ha erat
10 hari. Waktu 10 hari ini mungkin tidak maksimal untuk memperbapat
kemampuan fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena b ini
stroke dan derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan terdpok
variasi pada setiap individu dalam hal waktu pemulihan. Pada penelitiankah
intervensi yang diberikan oleh peneliti diberikan sama kepada kedua kelomruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia. Faktor lain seperti
kemampuan kognitif, umur tua dan kehadiran beberapa anggota keluarga yang
mendampingi pasien berganti-ganti yang ditemukan pada hari ke 8 dan 9
(terdapat 2 keluarga) yang bergantian menunggu pasien, sehingga peneliti
harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang ulang kepada
keluarga. Semua faktor ini tentunya dapat mempengaruhi kemampuan fungsional
komunikasi pasien.
Meskipun demikian, walaupun tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan fungsional komunikasi setelah pemberian komunikasi dengan AAC,
tetapi terdapat perbedaan ratarata antara kelompok kontrol (10.64) dengan
kelompok intervensi (11.10) setelah diberikan komunikasi dengan AAC.
Perkembangan yang ditemukan dalam penelitian ini terlihat 2 orang
responden
pada kelompok intervensi terjadi peningkatan produksi suara, walaupun
tidak
terdapat peningkatan kemampuan berkomunikasi, responden tersebut
menggunakan komunikasi non verbal dengan isyarat dan menunjuk yangada
dibuku komunikasi atau benda yang ada disekitarnya untuk ikan
mengkomunikas kebutuhan dasarnya. Kedua pasien tersebut dapat ang
merespon salam y disampaikan melalui ekspresi wajah dan dapat alau
berinteraksi dengan peneliti w sebentar.

Secara keseluruhan pasien mampu menunjukkan gambar yang ada uku


dib komunikasi dan benda benda yang ada diruangan untuk ikan
mengkomunikas kebutuhannya. Terdapat 3 orang pasien yang berada pada aian
nilai 3 pada penil ekspresi yang ditunjukkan dengan kemampuan dan
memberikan respon ya/tidak mengekspresikan katakata sederhana, tapi
seperti makan, minum,tidur te mengalami kesulitan ketika berbicara kata
dalam kalimat panjang, hanya kata benda, makan, mandi. Aspek sien
penilaian pemahaman sebagian besar pa mengalami kesulitan dalam
memahami kalimat yang rumit.

ada
6.1.2 Pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap depresi
p pasien stroke dengan afasia motorik
ang
dapat terjadi setiap saat setelah stroke tapi biasanya dalam beberapa bulan
pertama. Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20-50% pasien stroke
dalam tahun pertama setelah stroke, dan kejadian puncaknya diperkirakan pada 6
bulan poststroke. Sit et al (2004) dalam penelitiannya terhadap 95 pasien stroke
menemukan kejadian depresi pada 48 jam setelah masuk rumah sakit sebesar
69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Menurut Amir (2005) frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik
daripada afasia global (71%:44%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Signer et al, (1989 dalam Amir, 2005), menjelaskan bahwa depresi pada pasien
afasia motorik lebih tinggi daripada global (63% :16%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran
mereka akan kecacatan/ketidakmampuan pasien (Amir, 2005).

Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau apat
d
oleh
terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan
perti
stroke. Berbagai dampak stroke terjadi pada berbagai fungsi tubuh, se
uan
gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa, penglihatan, afek dan
gga
gangg kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini dianggap disability bagi
aan.
pasien, sehin menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak ada gairah hidup
ang
dan keputusas Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita kedalam
hasil
gejala depresi y berdampak pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Hal
perti
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa
sial,
faktor biologi se frekuensi serangan stroke, keparahan gangguan berbahasa
pada
dan faktor psikoso seperti kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan
sia,
terjadinya depresi afasia. Selain itu menurut Schub & Caple (2010),
atau
meningkatnya derajat afa peningkatan keparahan stroke, penurunan
aruh
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian
merupakan faktor yang berpeng terjadinya depresi.

itif,
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kogn
rro,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Fe
jadi
Santos & Luis, 2006). Pasien juga akan menarik diri dari kegiatan sosial,
pada
men rendah diri setelah stroke, hasil rehabilitasi yang jelek, serta
dan
berdampak
pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008). Kondisi ini
menyebabkan pasien akan merasa frustasi dengan keadaannya. Hal ini akan
memiliki dampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya. (Ginkel et al, 2010).

Pemulihan stroke membutuhkan waktu yang lama dan proses yang sulit.
Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak
memberikan
efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program rehabilitasi sebelum
mereka meninggalkan rumah sakit mengakibatkan mereka mulai
berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Akhirnya mereka merasa
hopelessness dan tak berdaya. Kondisi ini menambah semakin parah
depresinya (Sarafino,
2006).

Selama penelitian, beberapa alat bantu komunikasi non verbal digunakan


memfasilitasi pasien afasia, seperti foto, musik, gambar, buku komunikasi, untu
pa
k
alfabet dan alat tulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyatsih & Ah
pan
(2010), bahwa berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi
mad,
p pasien afasia serta mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil
ada
sekal untuk mengurangi frustasi, depresi dan isolasi sosial. Pasien dapat
ipun
dibantu den menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi
gan
gambar, kata k huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai
ata,
dengan kegiatan y diminta atau diungkapkan. Pasien dianjurkan untuk
ang
mengungkapkan kebutu pribadi dan menggunakan papan tulis bila
han
tidak mampu mengekspres kebutuhan
ikan

Penggunaan alat bantu visual seperti gambar, tulisan dengan beberapa kata
ku alat tulis dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi pasien afasia
nci,
(Clark
son,
2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa efekti
fitas
terapi afasia akan meningkat jika latihan menggunakan bentuk stimulus
udio
a dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar
erta
gambar s lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
sesi
mengikuti terapi afasia. Sedangkan mengajak pasien bercakap cakap
rapi
uan
komunikasi (Holland, 1982 dalam Kusumoputro,
1992).

Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien afasia dengan kemampuan
ekspresi verbal minim (Kusumoputro, 1992; Prins & Maas, 1993;
Wirawan,
2009). Pemberian stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan
lagu sebelum pasien sakit akan lebih bermanfaat dengan memfungsikan
hemisfer kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami kerusakan. Selain
itu terapi
musik juga dapat digunakan pasien depresi untuk mengekspresikan
emosinya, sehingga dapat mengurangi depresi paska stroke (American Music
Association,
2005). Penggunaan media, seperti musik bermanfaat untuk
meningkatkan relaksasi dan memberikan rasa nyaman sehingga dapat
menghambat sensasi kecemasan, ketakutan, ketegangan serta mengalihkan
perhatian dari pikiran- pikiran yang tidak menyenangkan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Kemper & Danheur (2005) bahwa musik dapat memberikan efek bagi
peningkatan stres
mengurangi kesehatan,
dan mengurangi nyeri.

Musik yang sesuai dengan selera pasien mempengaruhi sistem limbik dan
s otonom, menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan araf
sehin merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid gga
(GABA), enkef dan beta endorphin yang akan mengeliminasi alin
neurotransmitter rasa nyeri mau kecemasan sehingga menciptakan pun
ketenangan dan memperbaiki suasana pasien (Greer, 2004). hati

Hasil penelitian ini setelah diberikan komunikasi dengan AAC pada


kelom intervensi ditemukan penurunan nilai depresi. Berdasarkan hasil pok
pengam pasien mampu mengkomunikasikan kebutuhannya melalui atan
pemberian b komunikasi dan objek yang ada disekitar ruangan dengan uku
menunjukkan gam sehingga pasien dapat berinteraksi dengan keluarga bar,
dan petugas keseha Menurut hasil penelitian Finke, Light & Kitko, (2008),tan.
komunikasi dengan A dapat membantu perawat berkomunikasi pada AC
pasien yang menga keterbatasan komunikasi verbal. Penelitian ini lami
diperkuat oleh hasil penel Johston et al (2004 dalam Clarkson, 2010), itian
bahwa AAC dapat meningka tkan
gan
meningkatkan kemandirian dan perkembangan hubungan sosial, sehingga
akan mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini dapat terjadi karena pasien yang
menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan dengan
keluarga, teman dan aktivitas hidup yang menyenangkan (Wikipedia, 2011).
Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap depresi sesudah diberikan komunikasi dengan AAC
selama
sepuluh hari. Nilai depresi pada kelompok kontrol adalah 9.64 dan nilai depresi
pada kelompok intervensi adalah 8.30. Menurut instrumen observasi depresi
(ADRS), dikatakan depresi bila skor pasien 9. Kesimpulan yang
diperoleh adalah semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin menunjukkan
pasien depresi (Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier, 2004) .

6.1.3 Hubungan variabel perancu dengan kemampuan fungsional


komunikasi

a. Umur

Afasia tergolong gangguan komunikasi. Komunikasi merupakan bagian penting


dalam kehidupan manusia. Menurut Berman, Snyder, Kozier & Erb, (2008),
komunikasi merupakan proses pertukaran informasi diantara dua orang atau ebih
l
atau terjadi pertukaran ide ide atau pemikiran. Sedangkan menurut Sundin &
Jonson (2003), melalui komunikasi seseorang dapat mengekspresikanaan
peras dan integritas diri.

Beberapa hasil penelitian dan literatur menjelaskan bahwa faktor umur apat
d mempengaruhi efektifitas rehabilitasi afasia, antara lain kecepatan ihan
pemul wicara pasien, kemampuan fungsional dan munculnya penyakit ktor
penyerta/ fa risiko, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan kasi.
fungsional komuni Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian dan
Chefez, Dickstein, Laufer Marcovitz (2001) menyimpulkan bahwa roke
proses pemulihan pada pasien st tergantung dari umur pasien, faktor sial.
serangan, stroke berulang dan status so Pendapat ini didukung oleh hasil atan
penelitian Mc. Caffrey (2008), bahwa kecep pada
usia anak-anak, khususnya pada stroke. Menurutnya kecepatan
penyembuhan pada orang dewasa memiliki prognosis yang buruk oleh karena
neural plasticity. Pendapat ini didukung oleh Kusumoputro (1992) dari hasil
observasinya dijumpai bahwa proses pemulihan afasia dewasa dapat
terjadi dalam waktu lama. Menurutnya banyak pasien yang masih
mengalami derajat afasia berat dalam 3 bulan dan dapat mengalami
perbaikan bermakna setelah 3 atau 12 bulan
kemudian. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Culton (1971) dan Sarno (1981)
yang menjelaskan bahwa faktor umur tidak mempengaruhi
penyembuhan berbicara (Kusumoputro, 1992).

Selanjutnya faktor bertambahnya umur, seperti umur tua


memungkinkan seseorang untuk terkena berbagai faktor risiko, seperti
penyakit jantung dan pembuluh darah, DM, sehingga dapat mempengaruhi
proses
Faktor umur diketahui memiliki hubungan yang pemulihan
cukup afasia. gan
signifikan
den perbaikan fungsi neurologis klien. Umur tua diketahui memiliki uan
kemamp memori jangka panjang kurang baik dibandingkan dengan usia gga
muda, sehin hal ini berdampak pada pemulihan kemampuan bahasa ini
pasca stroke. Hal didukung oleh hasil penelitian Smith (2001), menjelaskan ada
bahwa pemulihan p pasien stroke umur lanjut sangat terbatas, hal ini daan
berhubungan dengan kea mental dan adaptasi. Biasanya pemulihan pada ebih
pasien stroke umur muda l cepat karena umur muda lebih cepat beradaptasi.

Selain itu faktor umur juga mempengaruhi kemampuan fungsional paska roke
st terhadap pelaksanan rehabilitasi. Pendapat ini didukung oleh ang
penelitian y dilakukan oleh Bagg, Pombo & Hopman (2002) tentang dap
efek umur terha kemampuan fungsional pasca stroke didapatkan hasil kan
bahwa umur merupa faktor yang menentukan kemampuan fungsional dap
pasca stroke terha pelaksanaan program rehabilitasi. Menurut Petrina usia
(2007) pasien lanjut seringkali tidak dapat mengikuti program rehabilitasi kan
sebagaimana yang dilaku pada pasien stroke dengan umur yang lebih muda lami
karena intoleransi yang dia oleh mereka dalam melakukan aktivitas latihan.

Penlitian ini sejalan dengan penelitian oleh Paolucci et al (2003), bahwa umur
tua memiliki risiko 10 kali lipat untuk mendapatkan respon yang buruk dalam
rehabilitasi dibandingkan umur lebih muda.

Hasil penelitian ini sesuai yang didapatkan pada waktu penelitian yaitu
sebagian besar responden berumur tua, sehingga kadang-kadang responden
tampak kurang
konsentrasi dengan pelaksanaan latihan sehingga mempengaruhi outcome
penelitian. Tetapi umur ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kemampuan bicara pasien stroke, faktor selain luar umur ikut
juga mempengaruhinya seperti tingkat keparahan stroke dan status fungsional
sebelum stroke.

Walaupun secara konsep umur responden memiliki hubungan dengan


bicara/perbaikan neurologis, akan tetapi hasil penelitian secara statistik pem
t terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kemampuan uliha
fungsi komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik. Hal ini n
ditunjukkan den hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada idak
hubungan signifikan an umur dengan kemampuan fungsional komunikasional
(p : 0.691) dan mem kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatifgan
(r = -0.144). Artinya d disimpulkan bahwa semakin bertambah umur tara
maka semakin men kemampuan fungsional komunikasinya. Hal ini iliki
dapat dihubungkan ba sebagian besar responden berumur lanjut yang apat
dapat mempunyai faktor ri seperti hipertensi, jantung, DM untuk menjadi urun
stroke, dimana 1/3 pasien str akan berkembang menjadi afasia (Bakheit, ethwa
al, 2007, Van der Gaag, 20 siko
Adanya faktor selain umur, seperti keparahan afasia, luas/letak cedera oke
frekuensi serangan stroke, sehingga pada akhir penelitian kemampuan 05).
fungsi komunikasi tidak banyak mengalami peningkatan. dan
onal
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca
stroke. ini sesuai dengan penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam
Hal
gkat
lkan
bahwa wanita stroke memiliki harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan
dengan laki-laki, tetapi memiliki status fungsional pasca stroke yang lebih buruk
dibandingkan dengan laki-laki (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009). Dijelaskan bahwa
buruknya status fungsional pada pasien pasca stroke disebabkan karena wanita
lebih sering mengalami kardioemboli akibat fibrilasi atrium, memiliki umur
yang
lebih tua, saat serangan datang ke rumah sakit lebih lambat dan memiliki tingkat
keparahan stroke yang lebih berat (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009).
Walaupun menurut jumlah ada perbedaan antara responden laki-laki
dengan responden perempuan dalam kemampuan fungsional komunikasi,
akan tetapi dalam hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi
pasien stroke dengan afasia motorik.(p : 0.831). Hal ini dapat dilihat dengan
tidak adanya
kemampuan fungsional pada laki-laki dan perempuan perbedaan
antara kedua nilai pok,
kelom sehingga dapat disimpulkan terdapat faktor lain yang mempengaruhi uan
kemamp fungsional komunikasi, seperti kapan pasien mendapat penanganan gan
sejak seran stroke muncul. Waktu 3-6 jam (golden period) merupakan ting
waktu yang pen untuk penanganan stroke, karena dalam waktu ini lam
terbukti efektif da pemulihan fungsi otak dan memperkecil kerusakan gan
neuron setelah seran stroke.

Hasil penelitian Martini (2002) tentang pengaruh admision time dap


terha gangguan kognitif pasien stroke, menyimpulkan bahwa terdapat ang
hubungan y signifikan antara admision time dengan gangguan kognitif sien
yang dialami pa stroke. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tang
pasien-pasien yang da dalam window period (12 jam setelah onset ang
serangan) hanya 38 % y mengalami gangguan kognitif sedangkan dow
pasien yang datang diluar win period (setelah 12 jam) 75% mengalami ini
gangguan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan penderitakan
stroke datang ke rumah sakit merupa faktor yang penting dalam memberikanoke,
outcome yang baik bagi penderita str termasuk kemampuan fungsional
komunikasi
c. Frekuensi serangan
stroke

Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata rata kemampuan fungsional


komunikasasi dengan frekuensi serangan 1 kali lebih tinggi daripada frekuensi
serangan stroke > 1 kali. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
yang dapat meningkatkan risiko stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus serta
coronary arteri disease yang diperberat oleh kurangnya kesadaran
untuk
melakukan pola hidup sehat serta pemeriksaan kesehatan secara teratur.
Seseorang yang pernah mengalami stroke sebelumnya akan meningkatkan risiko
mengalami stroke sebesar 10 20% (Pinto & Caple, 2010).

Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung


kepada luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena.
Hal ini sejalan dengan pendapat Silbernagl & Lang (2007) yang
menyebutkan bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat
perfusi yang
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, terganggu,
seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Bila stroke mengenai arteri serebri media, kemungkinan pasien akan mengalami
afasia.

Namun berbeda yang peneliti dapatkan, hasil analisis statistik biv


ariat
menunjukkan bahwa frekuensi serangan stroke tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p :Hal
0,085. ini kemungkinan disebabkan dalam penelitian ini jumlahpok
responden kelom intervensi yang sedikit (n = 10), sehingga tidak didapatkanensi
pengaruh freku serangan stroke terhadap kemampuan fungsional komunikasirik.
pada afasia moto

d. Ketidakmampuan fisik
gik.
Ketidakmampuan fisik dapat terjadi pada stroke hemoragik dan non hemorakan
Stroke menyebabkan penurunan perfusi serebral sehingga dapat terjadiuan
kerusa pada korteks motorik. Kerusakan pada area ini menyebabkanang,
terjadinya gangg transmisi impuls yang ditandai adanya paresis ataugian
paralisis (Silbernagl
besar responden &L
mengalami hemiplegi dan ditunjukkan dengan nilai barthel
indek pada kelompok intervensi sebesar 26.00, sehingga dapat
mempengaruhi hasil rehabilitasi.

Namun demikian berdasarkan hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik dengan kemampuan
fungsional komunikasi responden (p : 0.461) dan menunjukkan hubungan
yang
lemah dan berpola negatif (r = -0.264). Hal ini kemungkinan disebabkan karena
dalam penelitian ini jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n =
10), sehingga tidak didapatkan perbedaan dalam kemampuan fungsional
komunikasi pada afasia motorik. Selain itu waktu penelitian yang relatif
singkat (10 hari) kemungkinan dapat mempengaruhi hasil terhadap kemampuan
fungsional komunikasi.

e. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi pemulihan cara


wi pada afasia. Sikap keluarga merupakan faktor penting dalam sien
menolong pa afasia untuk mengatasi ketidakmampuannya. Menurut tern
Bullian, Chiki & S (2007), keterlibatan anggota keluarga dan apat
teman dalam latihan d meningkatkan efektifitas rehabilitasi. Selain juga
itu lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang cocok untuk hasa
menstimulasi kemampuan berba afasia, karena stimulasi tersebut dapat apat
dilakukan secara tidak formal, d memilih waktu yang tepat, saat pasien gota
dalam keadaan bermotivasi dan ang keluarga cukup mengenal hal 92).
ikhwal keadaan pasien (Kusumoputro, 19 ebih
Dengan adanya pendampingan keluarga pasien merasa nyaman, tenang dan pak
l kuat menerima keadaan fisiknya, sehingga diharapkan akan memberi ikan
dam yang baik terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Dukungan yangmasi,
diber dalam penelitian ini dapat mencakup empat dimensi, yaitu dukungan oke
infor emosional, penghargaan dan instrumental terkait dengan perawatan
pasien str dan pemberian komunikasi pada pasien afasia motorik.
ada
Namun berbeda dengan hasil penelitian, hasil uji statistik menunjukkan tidakuan
fungsional yang
hubungan komunikasi (p : antara
bermakna 0,732).dukungan
Hubungankeluarga
tersebutterhadap
lemah dan berpola
negatif
(r = -0.124). Hal ini kemungkinan dapat disebabkan berdasarkan variabel
dukungan keluarga, tidak adanya variasi nilai dukungan keluarga pada
kelompok intervensi, sehingga dukungan keluarga tidak memberikan
kontribusi terhadap kemampuan fungsional komunikasi. Dukungan keluarga
yang diberikan kepada pasien kemungkinan belum maksimal, hal ini terlihat
pada hari ke 8 dan 9
kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien berganti-ganti,
sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang
ulang kepada keluarga. Kondisi ini kemungkinan dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia motorik.

6.1.4 Hubungan variabel perancu dengan


depresi

a. Umur

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa depresi paska stroke dapat terjadi ada
p umur tua. Menurut Glemcevski, et al (2002) bahwa umur lanjut sebagai ktor
fa risiko terjadinya depresi (p:0.034). Hasil penelitian ini didukung olehrrel
Fa (2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang tua
lebih dibandingkan dengan orang dewasa muda. Periode depresi pada ebih
lansia l panjang dan kemungkinan kambuh meningkat dengan umur. Depresiroke
paska st di umur lanjut mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan nya
berkurang neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi.
Berbeda dengan hasil penelitian Amir (2005), bahwa depresi lebih sering terjadi
pada umur muda dengan umur rata rata awitan antara 20 40 tahun.tnya
Selanju menurut Gum, Snyder & Duncan (2006) bahwa pasien stroketua
yang lebih cenderung melaporkan gejala depresi lebih sedikit dibandingkansien
dengan pa yang lebih muda (p: 0.12).

Namun berbeda dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada
hubungan signifikan antara umur dengan depresi (p : 0.258) dan iliki
mem kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatif (r = -0.395). akin
Artinya sem oleh
faktor selain umur, seperti pengalaman/informasi yang didapatkan sehingga
mempengaruhi mekanisme koping pasien untuk meningkatkan adaptasinya.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatoye (2009)
yang menyatakan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian depresi
paska stroke (p= 0.82). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Arslan,
Celebioglu dan
Tezel (2009) yang melaporkan tidak adanya hubungan umur dengan depresi dan
keputusasaan.

b. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, pada beberapa penelitian didapatkan bahwa


depresi paska stroke sedikit lebih banyak diantara wanita dibandingkan pria.
Menurut Amir (2005) pada umumnya wanita dapat terjadi depresi karena
wanita
sering terpajan dengan stressor lingkungan dan ambang terhadap lebih ebih
stressornya
l rendah dibandingkan laki laki. Ketidakseimbangan hormon pada nita
wa menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita, misalnya resi
dep premenstruasi, postpartum dan postmenopouse (Amir, 2005). Hal alan
ini sej dengan peneltian Paradiso & Robinson, 1998 didapatkan bahwa aska
depresi p stroke terjadi dua kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria gus,
(Meifi & A hwa
2009). Sedangkan menurut penelitian Ghoge dkk (dalam Suwantara, 2004), n 5-
ba angka prevalensi depresi paska stroke adalah 10-25% untuk i di
perempuan da pria
12% untuk laki-laki. Pada wanita beratnya depresi berkaitan dengan pan
les
hemisfer kiri, gangguan fungsi psikiatrik sebelumnya. Sementara pada
beratnya depresi berkaitan dengan gangguan kemampuan melakukan
yak
kehidu sehari hari dan gangguan fungsi sosial (Amir, 2005).
enis
ariat
Meskipun depresi secara konsep dan beberapa hasil penelitian lebih
(p :
ban terjadi pada perempuan dibandingkan laki laki, namun dalam
lami
penelitian ini j kelamin tidak memiliki hubungan dengan depresi. Hasil
pasien stroke yaitu kelemahan fisik memiliki dampak yang sama terhadap
ketidakmampuan dalam memenuhi aktivitas sehari hari, seperti makan, mandi,
merawat diri, berpindah dan lain lain. Ketidakmampuan fisik yang dialami
dapat menimbulkan berbagai respon psikologis seperti takut, sedih, marah,
depresi, kehilangan kontrol dan keputusasaan. Respon yang ditimbulkan dapat
berbeda beda tergantung kepribadian, pengalaman masa lalu dan mekanisme
koping (Gorman & Sultan, 2008). Hasil analisis bivariat ini juga sejalan dengan
penelitian
yang dilakukan oleh Arslan, Celebioglu dan Tezel (2009) yang melaporkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan keputusasaan pada perempuan dan
laki laki. Lebih lanjut menurut Storor & Byrne (2006) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan yang ditemukan diantara skor dimensi depresi dan
karakteristik usia dan jenis kelamin.

c. Frekuensi serangan
Stroke
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata- rata depresi pada frekuensi
gan
seran stroke 1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata rata depresi pada
si >
frekuen
ebih
1 kali. Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak l
apat
luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pend
rkan
Silbernagl & Lang (2007) bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasa
kali,
area serebri yang terkena. Walaupun frekuensi serangan stroke terjadi 1
nan,
namun bila stroke mengenai lobus frontalis pada hemisfer kiri domi
urut
kemungkinan pasien akan mengalami afasia dan gangguan mood.
asa,
Men pendapat Price & Wilson (2002), lobus frontalis mengatur fungsi
soi,
berbah kemampuan motorik dan kepribadian. Menurut hasil penelitian Lee,
kan
Tang, T Fong & Yu, (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri lebih sering
bus
menyebab depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi
kan
mendekati lo frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
oleh
stroke berulang a melipatgandakan jenis serta beratnya defisit. Hasil
apat
penelitian ini didukung Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi &
ogik
Agus (2009), bahwa terd beberapa teori yang menjelaskan faktor
ada
penyebab DPS, yaitu faktor biol seperti lesi otak dan faktor psikososial.
gga
Depresi timbul sebagai akibat lesi p daerah otak yang menyebabkan
terjadi penurunan serotonin yang merupakan neurotransmitter untuk
mempertahankan keadaan emosi tetap stabil. Penurunan serotonin menyebabkan
gangguan suasana hati, tidur dan nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
suasana hati dimanifestasikan dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
menyebabkan depresi.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka luasnya kerusakan otak pada
serangan stroke yang memperberat gangguan dapat dinilai dari hasil pemeriksaan
CT-Scan. CT-Scan merupakan salah satu prosedur diagnostik penting untuk
menentukan klasifikasi stroke (iskemik, perdarahan intraserebral dan
subarakhnoid), letak lesi, jumlah perdarahan dan deteksi proses patologik diotak
secara langsung (Rasyid & Soertidewi, 2007; Iskandar,2003). Menurut Iskandar
(2003) semakin cepat waktu waktu antara timbulnya perdarahan subaraknoid
maka tingkat keberhasilan diagnosa lebih(PSA)
tinggi,
dengan
umumnya
saat pemeriksaan,
sebelum 24 jam
pertama. Pendapat ini berbeda dengan hasil penelitian pada 6 orang den
respon kelompok intervensi yang dilakukan CT-Scan, didapatkan lesi pada kiri
hemisfer pada lobus frontalis. Walaupun prosedur ini sangat penting kan,
untuk dilaku namun tidak seluruh pasien dilakukan pemeriksaan diagnostik. ang
Faktor biaya y harus dikeluarkan secara pribadi bagi pasien yang memilih gga
jalur umum, sehin sering menolak pelaksanaan prosedur ini. Selain itu CT-
belum adanya fasilitas Scan dirumah sakit, seperti RSUD Kabupaten ujuk
Garut, sehingga harus mer pasien ke Rumah Sakit Hasan Sadikin ngin
(RSHS) Bandung bila pasien i melakukan CT-Scan dan membayar
sendiri.
oke
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil analisis statistik frekuensi serangan ang
str terhadap depresi pada pasien afasia motorik menunjukkan kali
hubungan y signifikan dengan nilai p : 0.048 dengan frekuensi ensi
serangan stroke 1 mempunyai rata - rata depresi yang lebih tinggi ada
dibandingkan dengan freku serangan stroke > 1 kali. Frekuensi serangan
stroke 1 kali juga didapatkan p sebagian besar responden pada kelompok
kontrol.

Ketidakmamampuan fisik yang dialami pasien stroke menyebabkan sebagian


pasien berfikiran negatif dan percaya bahwa sedikit perubahan terhadap penyakit
yang dialami dan hal ini meningkatkan risiko keputusasaan (Dunn, 2005).
Menurut Dunn (2005) depresi dan hopelessness merupakan respon dari
kerusakan fisik. Hal ini sesuai dengan penelitian Swierzewski ( 2010) bahwa
lebih dari 30% pasien stroke membutuhkan bantuan dalam aktivitas sehari hari
dan sekitar 15%
membutuhkan bantuan di fasilitas pelayanan seperti rumah sakit dan pusat
rehabilitasi. Kombinasi antara mekanisme fisik dan psikologis menyebabkan
gangguan suasana hati pada pasien stroke.

Status fungsional pasien stroke dapat dinilai dengan menggunakan


penilaian barthel I ndex yang sering digunakan dalam mengevaluasi
ketidakmampuan saat pasien masuk rumah sakit dan selama dirawat (Rasyid,
2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang dilakukan oleh
menyatakan ada hubungan antara depresi dengan Dahlin et aktivitas
gangguan al (2006)sehari
yanghari
(p : 0.04). Hal ini diperkuat oleh penelitian Sit et al (2007) bahwa uan
gangg aktivitas sehari hari mempunyai hubungan dengan korelasi gan
sedang den depresi, dimana pada 48 jam setelah masuk rumah sakit r:-0.473001.
dengan p:0. Penelitian Fatoye (2009) juga menyatakan ada hubungan antarangsi
gangguan fu motorik berupa paresis dengan depresi paska stroke bisa
(p:0.002). Hal ini diakibatkan karena perubahan besar pada fungsi ada
fisiknya yang berakibat p segala aspek kehidupan pasien stroke. ama
Ketidakmampuan fisik bersama s dengan gejala depresi dapat jadi
menyebabkan aktivitas penderita stroke men sangat terbatas pada tahun angi
pertama, namun dukungan sosial dapat mengur dampak dari fisik
ketidakmampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan yang apat
menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita d gan
menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri yang bersangkutan dan
den sendiri mengurangi kualitas hidupnya (Suwantara, 2004).
resi
Namun demikian, hasil analisis statistik ketidakmampuan fisik terhadap l ini
dep ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan p: idak
0.108. Ha dapat aktivitas
mempengaruhi terjadi karena
bekerja sebagian besar pensiun.
karena sudah merupakan umur tua akan
Permasalahan
timbul ketika responden masih berumur produktif yang menjadi tujuan proses
penyembuhan bukan hanya melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi mampu
bekerja kembali secara normal. Ketidakmampuan responden bekerja kembali
menjadikan stressor yang tinggi untuk terjadinya depresi apalagi jika responden
merupakan pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga dan masih
mempunyai anak yang membutuhkan biaya sekolah. Selain itu tidak adanya
variasi nilai Barthel Index
pada kelompok intervensi, sehingga ketidakmampuan fisik tidak memberikan
kontribusi yang bermakna terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan
depresi secara statistik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Cassidy, Connor & OKeane (2004) yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara kemampuan fungsional dengan depresi paska stroke. Hal ini
disebabkan karena jumlah sampel yang sedikit yaitu 50 responden, sehingga
besar kemungkinan hasilnya menjadi bias.

e. Dukungan keluarga

Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa gan
dukun keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari atau
orang lain kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman, rgai
dicintai dan diha serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya. gan
Peningkatan dukun keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi pentingatau
dalam mengurangi mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke (Salter, 0).
Foley & Teasell, 201
ngat
Lebih lanjut Bosworth (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga saang
berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota keluarganya. Kondisi fisik idak
y dialami oleh pasien yang menderita stroke akan mengakibatkan pasienrga.
t percaya pada dirinya, merasa tidak mampu, tidak berarti dan tidak lam
berha Selain itu proses penyembuhan dan rehabilitasi pada stroke dapat ikan
terjadi da waktu yang lama, sehingga membutuhkan bantuan keluarga
dalam member perencanaan dan memberikan aspek perencanaan (Smeltzer &gan
Bare, 2002). lalu
Hal yang terlihat
mendampingi selama penelitian
responden, merawat dansemua responden alat
memberikan mendapatkan
bantu komunikasi.
Namun demikian hasil analisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga
terhadap depresi (p : 0.147). Hal ini kemungkinan disebabkan dalam
penelitian ini, jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n = 10),
sehingga tidak didapatkan pengaruh dukungan keluarga terhadap depresi pada
afasia motorik.
6.2 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya :


a. Sampel Penelitian
Subjek penelitian yang didapatkan tidak sesuai dengan target
penelitian karena beberapa responden mengalami drop out dalam
penelitian. Jumlah responden yang tidak sesuai dengan target penelitian
tidak dapat memberi gambaran sesuai dengan tujuan penelitian terutama
yang motorik
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia berkaitandan
dengan
pengaruh
variabel perancu terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan depresi
pada pasien afasia motorik secara keseluruhan.

b. Waktu Penelitian
Waktu latihan komunikasi pada penelitian ini tergolong singkat yaituama
sel
uan
10 hari. Hal ini mungkin tidak maksimal untuk memperbaiki
dan
kemamp fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena
ada
berat stroke derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan
kan
terdapat variasi p setiap individu dalam hal waktu pemulihan.
Hal
Sebaiknya latihan ini dilaku satu sampai dengan tiga bulan untuk
6
mengevaluasi kemajuan komunikasi. ini disesuaikan dengan lama
pemulihan pasien afasia yang berkisar 3 bulan.

c. Instrumen penelitian
ang
Keterbatasan yang dirasakan selama penelitian adalah instrumen y
resi
digunakan untuk menilai kemampuan fungsional komunikasi dan dep
uran
dalam rentang nilai ini melibatkan asisten peneliti serta menggunakan uk
acuan kurang terstruktur/terarah. Walaupun sudah dilakukan uji
interrater, tetapi pada instrumen kemampuan fungsional komunikasi
masih membutuhkan acuan/alat yang membuat penilaian menjadi lebih
objektif diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk instrumen penilaian
depresi, tidak semuanya dilakukan observasi dan ada beberapa item
observasi yang perlu dikembangkan agar penilaian observasi lebih objektif.
d. Proses pelaksanaan
penelitian
Selama proses penelitian, terdapat beberapa kendala yang kurang memenuhi
sasaran pemberian komunikasi dengan AAC (rehabilitasi), yaitu
kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien berganti-
ganti, sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang
berulang ulang kepada keluarga. Selain itu pelaksanaan AAC diberikan
sama kepada semua afasia motorik tanpa mempertimbangkan keparahan
afasia, sehingga kondisi
ini kemungkinan dapat mempengaruhi outcome.

6.3 Implikasi dalam Pelayanan


Keperawatan

Pemberian komunikasi dengan AAC pada pasien stroke dengan afasia mot
orik
mempunyai dampak positif mampu mengkomunikasikan kebutuhannya me
lalui
pemberian buku komunikasi, majalah, foto, musik/lagu dan alat tulis, sehin
gga
dapat menurunkan depresi pada pasien afasia motorik. Komunikasi merupa
kan
salah satu kebutuhan dasar menurut Henderson untuk mengekspresikan piki
ran,
pendapat dan perasaan.

Meskipun dalam meningkatkan kemampuan komunikasi selama 10 hari


ada
tidak hubungan yang bermakna, tetapi adanya pemberian AAC pada
ama
hari pert sampai hari ke sepuluh dapat meningkatkan neuroplastisitas,
peta
reorganisasi kortikal dan meningkatkan fungsi motorik pada hari selanjutnya
a 3-
sehingga pad
eksi
6 bulan selanjutnya pemulihan wicara bahasa menjadi optimal. Proses det
ejak
yang dini dan memberikan intervensi keperawatan yang tepat dan dimulai s
aska
dini terkait dengan afasia dan depresi dapat meningkatkan proses pemulihan

Faktor faktor yang dapat mempengaruhi penelitian terhadap kemampuan


fungsional komunikasi menjadi kurang signifikan adalah waktu yang relatif
singkat untuk memperbaiki kemampuan fungsional komunikasi pasien
afasia. Selain itu pemberian media dilakukan kepada seluruh pasien
afasia tanpa
mempertimbangkan keparahan afasia. Keadaan ini tentunya dapat
mempengaruhi efek terapi yang diharapkan, seperti kemampuan fungsional
komunikasi.

Selain berdampak positif terhadap kemampuan fungsional komunikasi,


pemberian AAC juga berdampak positif terhadap kejadian depresi. Disisi
lain akan mengurangi jumlah biaya yang harus dikeluarkan dan lamanya
pengobatan di rumah sakit. Hal tersebut dikarenakan AAC dapat
memfasilitasi
pasien afasia karena keterbatasannya dalam berkomunikasi komunikasi
verbal, meningkatkan
interaksi antara pasien dengan keluarga, petugas kesehatan dan membantu
perkembangan hubungan sosial sehingga akan mempengaruhi kualitas idup
h
pasien afasia. Pemberian AAC juga meningkatkan waktu sentuhan perawat
kepada pasien, sehingga perawat dapat menjadi teman dalam mengekspresikan
emosi. Sikap caring yang ditunjukkan perawat kepada pasien akan menimbulkan
efek positif untuk mengurangi kejadian depresi.

Penanganan pasien stroke yang mengalami afasia pada saat ini hanya kus
berfo pada penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu komunikasi pada asia
pasien af hanya diberikan isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi gga
latihan, sehin tidak sepenuhnya mendukung pasien untuk memfasilitasi dan
komunikasi meningkatkan komunikasi pasien selama di rumah sakit.idak
Perawat t mengetahui kalau pasien mengalami afasia, karena tidak nya
mendeteksi ada afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak ini
dilakukan. Keadaan tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif pola
seperti memperlambat penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi lam
karena ketidakmampuan da berkomunikasi.

Sesuai dengan peran perawat dalam rehabilitasi stroke, perawat dapat eran
berp
sebagai caregiver, educator dengan memberikan informasi tentang
pentingnya keterlibatan keluarga dalam pelaksanaan latihan komunikasi dan
fasilitator dalam penyembuhan pasien dan manajer perawatan. Perawat juga
sebaiknya menerapkan caring dalam memberikan asuhan keperawatan,
memberikan motivasi agar tidak mengalami depresi. Selain perawat,
keterlibatan keluarga juga merupakan salah
satu bentuk dukungan yang diperlukan dalam pelaksanaan latihan
komunikasi, baik selama di rumah sakit ataupun di rumah.
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Karakteristik pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Garut, Banjar
dan Tasikmalaya adalah sebagian besar berumur 62.10 tahun, sebagian
besar ke 1
berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar memiliki frekuensi serangan
stro kali, sebagian besar memiliki nilai ketidakmampuan fisik 25.48 dangian
seba besar memiliki nilai dukungan keluarga 46.48.
b. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan fungsional komunikasi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan
AAC dengan yang tidak diberikan AAC.
c. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai depresi pada pasien strokegan
den afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan AAC denganidak
yang t diberikan AAC.
d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna variabel perancu terhadapuan
kemamp fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasiaang
motorik y diberikan AAC.
e. Terdapat hubungan bermakna frekuensi serangan stroke 1kali terhadapesi
depr pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan AAC.

7.2 Saran
Berkaitan dengan beberapa kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang an
disarank pada penelitian ini yaitu :
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
1. Mensosialisasikan penggunaan AAC untuk memfasilitasi komunikasi
pasien afasia motorik, seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah,
foto, musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi pada pasien
afasia motorik.
2. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pemberian AAC
pada pasien stroke dengan afasia motorik.
3. Menjadikan AAC sebagai intervensi keperawatan untuk memfasilitasi
komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien stroke
dengan afasia motorik mengingat tugas perawat saat ini hanyak
berfokus pada penanganan penanganan fisik saja. Perawat juga tidak
mengetahui pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi adanya
afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak dilakukan. Keadaan
ini tentunya akan memperlambat pola penyembuhan dan pasien akan
mengalami
karena ketidakmampuan
depresi dalam berkomunikasi.
4. Mengadakan pelatihan AAC pada pasien stroke dengan afasia, se
melakukan pengkajian afasia, depresi dan pelaksanaan perti
pembe komunikasi dengan AAC. rian

b. Bagi Peneliti Keperawatan


Membuat penelitian sejenis yang menilai kemampuan fungsional
komuni dengan memperhatikan tingkat keparahan afasia, luas dan lokasi kasi
lesi serta l waktu pemberian latihan. Mengembangkan alat ukur ama
untuk penil kemampuan fungsional komunikasi serta mengembangkan aian
instrumen obser depresi pada afasia. Selain itu perlu dilakukan vasi
penelitian selanjutnya den membandingkan metode sederhana (low gan
technologi), seperti alat tulis, gam musik, papan alfabet dan metode bar,
modern (high technology), seperti komp atau penelitian dengan metode uter,
kualitatif seperti pengalaman pasien afasia y sudah mendapatkan ang
rehabilitasi wicara dan mengalami penyembuhan wic bahasa dalam ara-
berkomunikasi dengan orang lain/ pengalaman keluarga da merawat lam
pasien afasia.

Perlu memperkenalkan terapi modalitas, seperti augmentative and alternative


communication dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
stroke dengan gangguan komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abramson, L.Y., Metalsky, G. I., & Alloy, L.B. (1989). Hopelessness Depression
: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358
-372.

Ackley, B. J. & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook: An


evidence based guide to planning care (9th ed.). USA: Mosby Elseiver.

Ackley, B.J., Swan, B.A., Ladwig, G.B & Tucker, S.J. (2008). Evidence ased
b sby
nursing care guidelines medical surgical interventions. USA :
Mo
Elseiver. oke.
987
AHA/ASA. (2006). Primary prevention of ischemic str
http://stroke.ahajournals.org/cgi/ content/full/37/6/ 1583#FIG 1173
diperoleh tanggal 14 Juni 2011. apy.

American Music Association (2005). Music Ther


http://www.mu sictherapy.org diperoleh tanggal 14 Desember 2011. aka.
17
Andri., Susanto, M. (2008). Tatalaksana depresi pasca stroke. Tinjauan pust
Majalah Kedokteran Indonesia, 58(3):81-85, diperoleh pada tanggal
Oktober 2011. oke.
f
Aini, F. (2006). Speech therapy pada klien str
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/maka lah -speech-
therapy.pd diperoleh pada tanggal 20 April 2011. ana.
Amir, N. (2005). Depresi : Aspek Neurobiologi Diagnosis dan
Tatalaks ta:
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. gan
Jakar asca
FKM UI.

Ardi,
Arslan,M.S.,(2011). Analisis
Celebioglu, A., hubungan ketidakmampuan
& Tezel, A. fisik and
(2009).`Depression dan Hopelessness
kognitif den in
Turkish Patients with Cancer Undergoing Chemotherapy. Japan Journal of
Nursing Science,6, 105-110.

Arwani. (2003). Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta : EGC.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2008). Laporan nasional


riskesda 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan, Republik Indonesia. Diakses dari
http://www.litbang.depkes.go.id. Diperoleh pada tanggal 20 Juli 2011.
Bakheit., Shaw, S., Barret, L., Wood,J., Carrington, S., Griffith, S., Searle, K. ,
& Koutsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group, controlled
study of the effect of intensity of speech and language therapy on early
recovery from post stroke aphasia. Clinical rehabilitation . 21: 885894.
Barker, E. (2002). Neuroscience nursing : A spectrum of care (2nd ed.).
Philadelphia: Mosby Incorporation.
Bazzano, L. (2000). High alcohol consumption increase stroke risk.
http://www.eureka lert.org/pub_releases/2007-08/tu-hac081707.php diperoleh
tanggal 5 Juni 2011.

Beery, A.T. (2007). Diseases & disorders : A Nursing therapeutic manual(3rd


ed.). Philadelphia : F.A Davis Company.

Beck, A.T., Weissman., Lester, D., & Trexler, L. (1974). The measurement of
pessimism : The hopelessness scale. Journal of Consulting andical
Clin Psychology, 42 (6), 861-865.

Benneth, H.E., Thomas, S.A., Austeen, R., Moris, A.M.S., & Lincoln, N.B.
(2006). Validation of screening measures for assessing mood in roke
st patients. British Journal of Clinical Psychology, 45 (Part 3), 367 376.
September 2006.

Benneth, H.E., & Lincoln, N.B. (2006). Potential screening measures for
depressions and anxiety after stroke. I nternational Journal of and
Therapy Rehabilitation. Vol.13(9). diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.
pts,
Berman., Snyder., Kozier., & Erb. (2008). Fundamentals of Nursing : .
Conce
Process and Practice (8th ed.). New Jersey : Pearson International
Edition
uda.
Berthier, M.L. (2005). Post Stroke. Review Article.

Bethesda Stroke Centre. (2007). Faktor resiko stroke usia rk :


m 008
http://www.strokebethesda.com. Diperoleh pada tanggal 20 Juni 2011.

Bhogal, S.K., Teasel., Foley., & Speechley. (2004). Lesion location and
poststroke depression: systematic review of the methodological limitations
in the literature. U.S. National Library of Medicine. Stroke. 2004
Mar;35(3):794-
802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2005). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes (7th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.

------------- (2009). Medical surgical nursing clinical management for


positive outcomes (8th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
Bosworth, H. (2009). Friends & Family Support Improve Heart Health.
Diperoleh dari http://www.se lfhe lpmagazine.com/art ic le/ support-and-heart-
health pada tanggal 10 2011.

Bourgeois, M.S., Dijkstra, K., Burgio, L., & Burge, R.A. (2001). Memory aid
as an augmentative and alternative communication strategy for nursing home
residents with dimentia. AAC Augmentative and Alternative
Communication, Volume 17: 196-210.

Browndyke, J.N. (2002). Aphasia assesment.


http://www.neuropsychologycentral.com diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.

Bulecheck, G.M., & McCloskey, J.C. (1999). Nursing interventions : tive


Effec nursing treatment (3rd ed.). Philadelphia : W.B. Saunders
Company.
nce
Bullain, S.S., Chiki, L.S & Stern, T.A. (2007). Aphasia : Associatedage
disturba in affect. Behaviour and cognition in the setting of speech
and langu difficulties. Psychomatics, 48: 259-264. May June 2007.
cute
Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F. (2006). Depression in
a stroke. Journal of Psychiatry Neuroscience, 31(6): 377- 383. Nov 2006.
able
Castello,J.M., Patak, L.,& Pritchard, J. (2010). Communication and
vulner patients in the pediatric ICU: Enhancing care through tion
augmentative alternative communication therapy. Journal of
Pediatric Rehabilita Medicine : An I nterdiciplinary Approach 3, 289
301. .In
.
Cherney, L.R., Small, S.L., Stein, J., (2009). Aphasia, alexia and oral
reading l 15
Stroke Recovery and Rehabilitation. Demos Medical Publishing. 155
181
eech
Cigna. (2010). Speech therapy. http://www.cigna.com diperoleh pada 27
tangga
April 2010.
Coffman, M.J. (2008). Effects of tangible social support and depression on
diabetes self-efficacy. Journal of Gerontological Nursing, 34 (40, 32 39.

Dahlan, M. S. (2008). Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.


Jakarta : PT. Arkans.

Dahlin, F., Billing, E., Nasman, P., Martenson, B., Wreding, R., & Murray, V.
(2006). Post-stroke depression effect on the life situation of the significant
other. Scandinavian Journal of Caring Sciences , 20(4): 412-6 (34 ref).
Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling., Billing, E., & Murray, F.
(2007).
Predictors of life situation among significant others of depresses or
aphasia stroke patients. Journal of Clinical Nursing, 17: 1574 1580.
September
2007.

Darussalam, M. (2011). Analisis faktor faktor yang berhubungan dengan


depresi dan Hopelessness pada pasien stroke di Blitar. Depok : Program
Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan.

Darma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Panduan


dan menerapkan hasil penelitian. Edisi I. Jakarta : TIM.

Dunn, S. L. (2005). Hopelessness as a Response to Physical Illness. mel


Journa
Nursing Scholarship, 37:2, 148-154.
aks
Dochterman & Bulecheck. (2004). Nursing Intervention Classification (4th
St. Louis : Mosby Incorporation.
ana
Enderby, P., Crow, F. (1996). Frenchay aphasia screening test: validity
comparability. Disability & Rehabilitation. 18,
238 http://www.amazon.com/Frenchay -Aphasia-Screen ing-Pame la- kan
Enderby/dp/1861564422 diperoleh pada tanggal 23 Mei 2011.

Farrell, C. (2004). Poststroke Depression in Elderly Patients. Journal of l Of


Di
Critical Care Nursing, 23(O5):264-269.
ed.).
Fatoye, F. O. (2009). Depressive symptoms and associated factors
follo cerebrovascular accident among Nigerians. Journal of Mental
Health, and
2009; 18(3): 224232. 240.
Feigin, V. (2007). Stroke : Panduan bergambar tentang
pencegahan pemulihan stroke. Jakarta ; PT. Bhuana Ilmu Populer.

Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A systematic review of mens
effectiveness of nurse communication with patients with com
communication needs with a focus on the use of augmentative and
alterna communication. Journal of Clinical Nursing. 2008 Aug; 17 (16)wing
:
June

dan

the
plex
tive
115.

atan
Ganong. (1998). Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC.
Gaag, A. (2005). Therapy and support services for people with long-term
stroke and aphasia and their relatives: a six - month follow-up clinical
rehabilitation,
19: 372 - 380.

Garret, K.L. (2003). Strategy use in context: AAC, supported conversation


and group therapy intervention for people with severe aphasia, 1-21.
Ginkel, D. M., Gooskens, F., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., &
Hafsteinsdottir, T.B. (2010). A systematic review of therapeutic interventions
for poststroke depression and the role of nurses. Journal of Clinical
Nursing, 19(23/24):
3274-90 (76 ref).

Ginsberg, L. (2007). Lecture notes : Neurologi (Indah Retno Wardhani,


Penerjemah.). Edisi 8. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Glamcevski, M. T., Mihaljo., Pierson., & Jane. (2002). Factors associated
with post-stroke depression, a Malaysian study. Neurol J Southeast Asia, 7
:9
12.
Groom, M.J., Lincoln, N.B., Francis, F.M., & Stephan, T.F. (2003). Assessing
mood in patients with multiple sclerosis. Clinical Rehabilitation (17) :47 -
8
857.
tient
Gordon, C, et al. (2008). The use of Conversational Analysis : Nurse Panced
Interaction in Communication Disability After Stroke . Journal of
Adva Nursing.
and
Gulanick., & Myers. (2009). Nursing care plan. Nursing
diagnosis intervention. (6th ed.). Mosby. Inc
onal
Gupta. A, Pansari. K, & Shetty, H. (2002). Post-stroke depression.
Internati
Journal of Clinical Practice, 56(7): 531-7 (89 ref). arta

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokeran. Edisi 3.
Jak tion
: EGC. ical

Hammond, M.F., OKeeffe, S.T., Barer, D.H.(2000). Development and


valida of a brief observer-rated screening scale for depression in elderlyaga
med patients. Age and Ageing (29) : 511-515. hun

Hasnita, E. & Sanusi, R. (2006). Ciri-ciri, iklim organisasi, dan kinerja ten
perawat di instalasi rawat inap RS dr. Achmad Moechtar Bukittinggilisis
ta
2005. Yogyakarta: KMPK UGM.
rbit
Hastono, S.P.
FKUI. (2007). Basic data analysis for health research training :

Hickey, J.V. (2003). The clinical practice of neurological and


neurosurgical nursing. (5th ed.). Philadelphia : J.B. Lippincott Company.
Hill, E., Payne, S., & Ward, C. (2000). Self-body split: issues of identity
in physical recovery following a stroke. Disability Rehabilitation, 22: 725-33.

Hemsley, B. (2001). Nursing the patient with severe communication impairment.


Journal Advance Nursing, 35 (6), 827 835.
Hoeman., & Shirley, P. (1996). Rehabilitation nursing : Process and
application
(2nd ed.). A Times Mirror Company : St. Louis.

Hsdc. (2011). Speech disorder post stroke. http://www.hsdc.org. diperoleh


pada tanggal 15 April 2011.

Huang, C. Y. Hsu, M.C., Hsu, S.P., Cheng, P.C., Lin, S.F., & Chuang,
C.H. (2010). Mediating roles of social support on poststroke depression and
quality of life in patients with ischemic stroke. J Clin Nurs.Volume 19, Issue
19-20 pages 26712956.
Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (1996). Keperawatan kritis pendekatan
holi stik.
Edisi 6. Editor Yasmin Asih. Jakarta : EGC.

Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2010). Medical surgical nursingnt


patie centered collaborative care. (6th ed.). Volume 2 . St. Louis :
Elsevier Inc.
08).
Johnson, R.K., Hough, M.S., King, K.A., Vos Paul., & Jeffs, T.A. sing
(20
Functional communication in individual with chronic severe aphasia
u
augmentative communication. Informa Healthcare.Vol. 24(4) : 269
rbit
280. Kirshner. (2009). Post stroke aphasia.
Kusumoputro, S. (1992). Afasia : Gangguan berbahasa. Jakarta : Balai nces
Pene den.
FKUI. oleh

Laska, A.C. (2007). Aphasia in acute stroke. Department of Clinical Scie


Danderyd Hospital. Karolinska Institutet. Stocholm, Swe09).
http://publicat ions.ki.se/jspui/bitstream/10616/39894/ 1/thesis.pdf dipernced
pada tanggal 15 juni 2011.
Lee, A.C.K., Tang, S.W., Tsoi, T.H., Fong, D.Y.K., & Yu, G.K.K. ical
(20 l. 2
Predictors of poststroke of life in older chinese adults. Journal of
Adva
ical
nursing. (7th ed.). St.Louis : Missouri. Mosby-Year Book,
Incorporation.

Li, S. C, Wang, K. Y., & Lin, J. C. (2003). Depression and related factors
in elderly patients with occlusion stroke. Journal of Nursing Research .Vol
II. No. I.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juli 2011.
Loretz, L.(2005). Primary care tools for clinician a compendium of forms,
questionnaires and rating scales for everyday practice. St.Louis, Missouri:
Mosby, Inc.
Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan
mental.
Cetakan 14. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Lund, S.K., & Light, J. (2003). The effectiveness of grammar instruction
for individuals who use augmentative and alternative system : A
preliminary study. Journal of Speech Language and Hearing Research,
46 (5), 1110
Lund1123.
, S.K., & Light,
Oktober J. (2007). Long term outcomes for individuals who
2003.
augmentative and alternative communication : Part III contributing
fact Augmentative and alternative communication , vol 23 (4),323 335. use
ors.
Martini,S. (2002). Gangguan kognitif pasca stroke dan faktor resikonya.
B Kedokteran Masyarakat XVIII (4) 2002 hal.195.
erita
Mc Dowell, J., & Nowell, D.K. (2001). Dimension of the event that
influ psychological distress. An evaluation and synthesis of the
literature. In Kaplan (Ed). Psychosocial stress. Trends in theory and ence
research, h. 33 Newyork : Academic Press. H.B.
103.
Meifi., & Agus, D. (2009). Stroke dan depresi paska stroke. Majalah
kedokt
Damianus. Vol.8 No.1. Januari 2009. Diperoleh pada tanggal 20 Mei eran
2011.

Misbach, J. (1999). Stroke aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. rta :


Jaka
Balai Penerbit FKUI.
ktif.
Misbach, J., & Kalim, H. (2007). Stroke mengancam usia
produ
http://www.medicastore. com/stroke/ diperoleh tanggal 14 Mei ment
2011. orks

Mudie, M. H., & Matyas, T. A. (2000). Can simultaneous bilateral move


involve the undamaged hemisphere in reconstruction of neural asca

NANDA International. (2009). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi


2009-2011. Penerjemah Sumarwati dkk. Jakarta: EGC.

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu


keperawatan pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan.
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Nys, G., Zandvoort, M. J. E., Worp, V. D., Haan, D., Kort, D., & Kappelle, L. J.
(2005). Early depressive symptoms after stroke: neuropsychological
correlates
and lesion characteristics. Journal of the Neurological Sciences.Volume 228,
Issue 1.

Oh, M., Yu, K., Roh, J., & Lee, B. (2009). Gender Differences in the
Mortality and Outcome of Stroke Patients in Korea. Cerebrovascular
Diseases, 28(5),
427.

Pdpersi (2010). Stroke peringkat pertama penyebab Kematian di


Indonesia. http://www.pdpersi.co.id/?
show=detailnews&kode=5621&tbl=c akrawa la diperoleh tanggal 20 Mei
2011. Petrina, B. (2007). Motot recovery in stroke.
http://emedicine.medscape.c
Diakes 12 Juli 2010. om.

Pinzon, R. (2009). Stroke usia muda. http://artike l Indonesia.com. Diakses


tan ggal
14 Juli 2011.

Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2001). Essentials of nursing arch
rese methods, appraisal, and utilization (5th ed.). Philadelphia :
Lippincott.
and
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2004). Nursing research,
principles methods, 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
and
Potter, P.P., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing concept :
Theory practice. (6th ed.). Philadelphia : Mosby Year Book.
10).
Powlawsky, I.E., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., & Hafsteinsdottir, T.B. asia.
(20
A systematic review of nursing rehabilitation of stroke patients with
aph oses
Journal of Clinical Nursing. 2010 Jan; 19 (1-2) : 17-32. ease

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-pr
penyakit. Edisi 6. (Terj.dari Pathophysiologi Clinical Concepts ofwith
Dis Process, Brahm U. Penditetal.). Jakarta : EGC.

Purdy, M., & Diez, A. (2010). Factors influencing AAC usage by cara
individuals aphasia. Speech Language Pathologi/ Audiology, 19 (3) : 8 itas

Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya. (2011). Data Rekam Medis RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2009-2010.

Rice, D.A. (2001). Life events and depressions. The plot thickens. American
Journal of Community Psychology.20 (2)`: 179 193.

Rowat, A., Lawrence, M., Horsburgh, D., Legg, L., & Smith L. (2009).
Stroke research questions : A nursing perspective. British Journal of
Nursing, 18(2),
99-105. Januari 2009.
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik kesehatan. Edisi revisi. Jakarta:
FKM UI.

Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification
of aphasia poststroke : A review screening assesment tools. Brain injury,
20(6) :
559- 568. June 2006.

Sarafino, E. P. (2006). Health psychology : biopsychosocial interaction. (5th ed.).


Unites States of America : John willey & Sons, Inc.

Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2010). Dasar dasar metodologi penelitian klinis.


(Ed.2). Jakarta : Sagung Seto.

Schlosser, R.W., & Wendt, O. (2008). Effect of augmentative andtive


alterna communication intervention on speech production in children with : A
autism systematic review. American Journal of Speech Language.17 ;
Pathology. Vol
212 230.
ion.
Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke complication : post stroke
depress
California: cinahl information system. W.J.
Arch
Schulz, R., Beach, S.R., Ives, D.G., Martire, L.M., Ariyo, A.A., & Kop,
(2000). Association between depression and mortality in older adults.
Intern Med 2000; 160: 1761-8. Alih

Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas berwarna patofisiologi.
Bahasa Iwan Setiawan & Iqbal Mochtar . Cetakan I. Jakarta : EGC. e in
mily
Sit, J.W.,Wong, T.K.S., Clinton.,Li,L.S.W., & Fong, Y.M. (2004). Stroke
car the home : The impact of social support on the general health
of fa caregivers. Journal of Clinical Nursing, 13: 816-824. ong
rch;
-------------. (2007). Associated factors of post-stroke depression among
H Kong Chinese: A longitudinal study. Psychology, Health &
Medicine,Ma dah
12(2): 117 125. e 3.

Smeltzer , S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarths textbook of medical surgical nursing (11th ed.). Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins.

--------------. (2010). Brunner & Suddarths textbook of medical surgical nursing


(12th ed.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Storor, D.L., & Byrne, G.J.A. (2006). Premorbid personality and depression
following stroke. Australia.
Sundin, K., & Jansson, L. (2003). Understanding and being understood as
a creative caring phenomenon in care of patient with stroke and aphasia.
Journal of Clinical Nursing. Vol.12 : 107 116.

Sundin, K., Jansson, L., & Norberg, A. (2000). Communicating with people with
stroke and aphasia : understanding throught sensation without words.
Journal of Clinical Nursing. Vol.9 : 481 488.

Suwantara, J. R. (2004). Depresi pasca-stroke : epidemiologi, rehabilitasi


dan psikoterapi. Jurnal kedokteran Trisakti. Oktober-Desember 2004, Vol.
4. 23 No.

Swierzewski, S.J. (2010). Stroke Treatment. January 30, 2


http://www.neurologychannel.com/stroke/treatment.shtml. 011.

Tarigan, I. (2009). Terapi afasia perbaiki gangguan bah


http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/0 asa.
4 /28/
1109/13/Terapi-Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa diperoleh pada l 20
tangga
Juli 2011.
Hill
th
Taylor, S.E. (2006). Health psychology. 6 edition. New York:
McGraw- Companies, Inc.
fter
Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors of emotional distress Feb
a stroke. Journal of the American Heart Association, Vol.39, 1240
1245.
vaal
21 2008. Diperoleh pada tanggal 24 Juni 2011.
21,
Thommessen. (1999). Screening by nurses for aphasia in stroke the ulle
aphasia screening (UAS) test. Disability and Rehabilitation Journal. Vol.
apy.
No. 3, 110 115.
n
Wikipedia. (2011). Augmentative and alternative communication ther
http://en.wikipedia.org/w iki/Augmentative_and_alternative_communicat i
o diperoleh pada tanggal 15 April 2011. oleh

Wikipedia. (2011). Anatomi otak. http://id.w ikipedia.org/w iki/Otak diper


pada tanggal 15 Oktober 2011. NIC

Wirawan, R.P. (2009). Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer.


Majalah Kedokteran Indonesia. Vol (59), nomor 2 : 61 73.

World Health Report (2007). Stroke statistics.


http://www.strokecenter.org/patients/stat.htm , diperoleh tanggal 14 Mei
2011.

Yastroki (2011). Stroke penyebab kematian urutan pertama di Rumah Sakit di


Indonesia. http://www.yastroki.or.id/read.php?id=276 diperoleh tanggal 15
Agustus 2011.
Jadual Kegiatan TESIS Lampiran 1
Semester Gasal 2011/2012
Program Pascasarjana Ilmu Keperawatan
Kekhususan Medikal Bedah Fakultas limn Keperawatan
Universitas Indonesia

No Kegiatan'

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


PENJELASAN PENELITIAN

Saya menyatakan bahwa di bawah ini

: Peneliti : Amila
NPM : 0906505086

Peneliti adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatanitas


Univers
aruh
Indonesia, bermaksud mengadakan penelitian untuk mengetahui peng
kasi
pemberian alat bantu komunikasi terhadap kemampuan fungsional
angi
komuni dan depresi pasien stroke dengan afasia motorik. Penelitian ini
nyai
dilatarbelak oleh meningkatnya jumlah pasien stroke di Indonesia. Pasien
uan
stroke mempu risiko terjadinya berbagai komplikasi diantaranya adalah
pasi
mengalami gangg komunikasi dan depresi. Gangguan komunikasi dapat
onal
menurunkan partisi sosial, meningkatkan angka kematian dan menurunkan
sien
kemampuan fungsi pasien stroke. Depresi meningkatkan angka kematian
dan kesakitan pada pa stroke dan menghambat rehabilitasi pasien stroke.

kasi
Peneliti akan memberikan alat bantu komunikasi untuk memfasilitasi
kan
komuni pasien dengan gangguan komunikasi. Adapun hasil penelitian ini
kasi
nanti a direkomendasikan sebagai masukan dalam pencegahan terjadinya
kompli pada stroke.

edia
Penelitian ini tidak bersifat memaksa, apabila Bapak/Ibu/Saudara/I
dan
bers menjadi peserta penelitian, silahkan menandatangani kolom di
aya
bawah ini mengisi kuesioner yang tersedia. Dengan persetujuan yang
atau
diberikan s mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk
jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Peneliti akan menjamin
kerahasiaan identitas peserta penelitian dengan hanya akan mencantumkan
nomor sebagai
kode peserta penelitian.
Hormat Saya,

Amila

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


LEMBAR PERSETUJUAN BERSEDIA
MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Setelah membaca penjelasan mengenai penelitian ini dan mendapatkan


jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan kepada peneliti, saya mengerti dan
memahami
tujuan, manfaat dan tindakan yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
Saya meyakini bahwa peneliti menghargai dan menjunjung tinggi -hak
hak
idak
saya/anak/suami/istri/ayah/ibu sebagai responden dan penelitian ini
aya
t berdampak buruk terhadap kesehatan saya/anak/suami/istri//ayah/ibu.
ngat
S mengerti keikutsertaan saya/anak/suami/istri/ayah/ibu dalam penelitian ini
sa besar manfaatnya bagi kemajuan dunia keperawatan.

ihak
Selanjutnya, saya bersedia secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
p manapun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

,...............................2011

Responden Peneliti

(......................................) (Amila)
KUISIONER PENELITIAN

Petunjuk Pengisian
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan mengisi titik-titik dan memberi
tanda ceklis ( ) pada kolom yang disediakan

Identitas responden
No. responden :
Alamat : .................................................................................
.
.........................................................................
. No Telp/HP : ...............................................
......................... Keterangan : kelompok kontrol/kelompok
intervensi

Karakteristik pasien

Umur : tahun

Jenis kelamin

Perempuan
Laki-laki

Frekuensi serangan stroke


1 kali
>1 kali

Keluarga yang selama ini merawat :

Yang lain sebutkan .


Kode Responden

FORMAT PENGKAJIAN AFASIA


Frenchay Aphasia Screening Test (FAST)
Petunjuk Pengisian :
Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar pengkajian
afasia sesuai dengan kondisi sebenarnya.FAST mengkaji kemampuan bahasa
dalam area utama, seperti pemahaman, ungkapan verbal, membaca dan
empat
menuli
s.

Persiapan Tes :
Pastikan pasien dapat mendengar kita dengan baik, suara harus jelas
Alat : kertas bergambar (kartu bergambar), pensil, kertas, stopwatch
No Aspek Item Penilaian Skorin
g
Komunikasi
1. Pemahaman Perhatikan gambar pemandangan dan
gambar bentuk ini, dengarkan apa yang
saya katakan dan tunjukkan gambar yang
dimaksud. Jika meminta pengulangan
instruksi berarti nilainya error. Berikan
skor 1 untuk setiap jawaban yang benar.
Skor 0 10.
1. Skema pemandangan
alam a. Sawah
b. Gunung
c. Pohon
d. Orang ditengah sawah
e. Rumah dipinggir sawah
2. Gambar bentuk :
a. Persegi panjang
b. Persegi empat

c. Kerucut dan lingkaran


d. Kerucut
e. Segilima (Piramida)
2. Pengucapan a. Tunjukkan pasien gambar pemandangan
alam dan katkan Sebutkan sebanyak
mungkin gambar yang dapat kamu lihat
atau namai segala sesuatu yang kamu
lihat pada gambar ini. Range skor 0 5
1. Tidak mampu menyebutkan nama
objek satu pun
2. Dapat menamai 1 2 objek
3. Dapat menamai 3 4 objek
4. Dapat menamai 5 7 objek
5. Dapat menamai 8 9 objek
6. Dapat menamai 10 objek

b. Pindahkan kartu bergambar dari


hadapan pasien dan informasikan bahwa
sekarang kamu mencoba kondisi yang
sedikit berbeda, kemudian katakan
padanya menyebutkan nama nama
binatang yang dia mampu/yang ada
dalam pikirannya selama 1 menit. Skor
05

1. Tidak mampu menyebutkan


satupun binatang
2. Dapat menyebutkan 1
2
3. Dapat menyebutkan 3
5
4. Dapat menyebutkan 6
9
5. Dapat menyebutkan 10-
14
6. Dapat menyebutkan 15 atau
lebih
3. Membaca Tunjukkan pasien skema pemandangan
alam dan kartu membaca, katakan pada
pasien agar membaca di dalam hati saja,
tidak dengan suara keras dan lakukan
instruksi yang dia baca. Berikan skor 1
untuk setiap jawaban yang benar. Skor 0
5
1. Tidak dapat melakukan instruksi
2. Tunjuk gambar pohon
3. Ambil kertas bergambar
4. Ambil pensil
mungkin yang kamu bisa tentang apa yang
terjadi di dalam gambar. Jika tangan
dominan yang terkena, maka gunakan
tangan tidak dominan selama 5 menit. Skor
05
1. Tidak mampu menuliskan
satupun
2. Dapat menuliskan 1- 2
3. Dapat menuliskan 2 3
4. Dapat menuliskan 4

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


5. Dapat menuliskan 5 (tetapi ada yang
tidak sesuai dengan gambar)
6. Dapat menuliskan 5 dengan tepat
Total Skor :

Kesimpulan hasil tes :


Afasia : Jika skor >
Jenis Afasia : Afasia motorik Afasia sensorik
Afasia global

Hasil penilaian, dikatakan afasia jika :


Usia sampai 60 tahun mempunyai nilai dibawah 27
Usia diatas 60 mempunyai nilai dibawah 25

Keterangan :
c. Afasia sensorik, yaitu jika pasien sering menyebutkan kata/kalimat yangidak
t sesuai dan tidak bermakna. Pasien kesulitan dalam pemahaman
(komprehensif). Hal ini ditandai dengan bahasa yang lancar tapi tidak sesuai
(nyambung) dengan pertanyaan, panjang kalimat normal, artikulasi baik.
d. Afasia motorik jika pasien dapat mengerti instruksi, tapi sulit
mengungkapkannya dalam kata atau membentuk kalimat secara lengkap.Hal
ini dapat ditandai dengan bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan ring
se ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya dek-
pen pendek dan monoton.
e. Afasia global jika pasien mengalami afasia sensorik ataupun motorik. l ini
Ha

Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang
sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu
itu saja, berulang), pemahaman menghilang atau sangat terbatas.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Kode Responden

SKALA KOMUNIKASI FUNGSIONAL DERBY

Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi tingkat
kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi kemampuan
3. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Menanya
kepada teman/keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi, tekan
observasi langsung juga penting. tapi
Ekspresi (E) Pemahaman (P) Inter
aksi (I)
0 Tidak mampu Kurang atau tidak Sedikit atau
t mengekspresikan kebutuhan menunjukkan pemahaman. interaksi.idak ada
(Ti dan tidak berusaha menarik (Tidak menunjukkandak
merespon sal perhatian. ekspresi muka apapun, tidakam, bisa
tertawa atau tersenyum
ada respon atau memberikan dalam yang tidak
situasi respon yang tidak sesuai)
pantas.) danya
1 Tidak mampu Menunjukkan tanda-tanda Menyadari aang lain,
mengekspresikan kebutuhan, pemahaman bahwa orang kehadiran orak mata dan
tetapi menunjukkan usaha lain sedang berusaha untuk melalui, tetapi tidak
kont pasien untuk berkomunikasi. mengkomunikasikan posturteraksi secara
tubuh sesuatu, tetapi tidak dapat mampu berinalnya melalui
memahami bahkan pilihan spesifik (mis
sederhana ya/tidak. salam).
lam dan
2 Menggunakan komunikasi Memahami beberapa pilihan Merespon sayang
non-verbal (misalnya isyarat, sederhana dengan dukungan signal sosialmelalui
menunjuk dengan jari, non-verbal (misalnyah (misalnya
suara untuk mengekpresikan cangkir, menunjuk tersenyum dan cemberut).
kebutuhan dasar (misalnya teh/kopi), tetapi tidak dapat Dapat berinteraksi dengan
untuk pergi ke toilet). memahami kata-kata atau satu orang, tetapi hanya
Respon ya/tidak tidak dapat simbol-simbol. untuk waktu sebentar.
diharapkan.
3 Respon ya/tidak dapat Memahami ekspresi Dapat berinteraksi dengan
diharapkan. sederhana ya/tidak dan satu orang secara
Dapat mengekspresikan dapat memahami beberapa konsisten dengan
konsep sebuah tindakan atau benda (misalnya makan, kursi).
buku, 4 Mengekspresikan
ide-ide sederhana secara kata-kata atau simbol- menggunakan kata-kata
verbal atau dengan berbicara simbol konkret yang dan/atau komunikasi non-
singkat (misalnya dapat sederhana. verbal.
meminta supaya buku Memahami ide-ide Dapat berinteraksi dengan
diletakkan di atas kursi). sederhana yang dua orang secara
disampaikan melalui kata- konsisten dan
kata yang diucapkan satu berpartisipasi
persatu atau secara non sebagaimana mestinya.
verbal.
raksi dengan
5 Mengekspresikan ide-ide Memahami ide-ide yang Dapat
ng tetapi
berinte yang lebih rumit tetapi harus hanya bisa diekspresikan
n dukungan
beberapa ora didukung oleh komunikasi secara lengkap melalui kata-
tisipasi secara
membutuhka non-verbal (misalnya dapat kata.
untuk berpar meminta supaya diberikan
efektif. minum nanti).
6 Mengekspresikan ide-ide Memahami beberapa Berinteraksi secara
abstrak yang memerlukan percakapan yang rumit mandiri an berapapun
deng kata-kata (misalnya ayah (rangkaian kalimat),tetapi mlah orang,
banyaknya ju saya kecewa). sering kehilangan arah bertahan
tetapi hanya Dapat kehilangan kelancaran pembicaraan. dapat
sebentar dan bicara saat gelisah, lelah dll. eberapa
mengalami b salnya giliran
kesulitan (mi
berbicara). ertahankan
7 Dapat mengekspresikan ide Benar-benar memahami Dapat mempgan
ide dalam bentuk komunikasi komunikasi kompleks, interaksinyaknya
den yang kompleks, tetapi tetapi kadang-kadangdengan
berapapun ba kelancaran berbicaranya mengalami kesulitan.anya sedikit
jumlah orang berkurang.
mengalami h asalah dalam
kesulitan. al.
8 Tidak ada masalah yang Tidak ada masalah yang Tidak ada m
terdeteksi. terdeteksi. interaksi gka dari
di atas yang
di atas yang menggambarkan
sosi daftar di atas yang
menggambarkan tingkat
tingkat ekspresi paling menggambarkan tingkat
pemahaman paling akurat
akurat pasien dalam kondisi interaksi paling akurat
pasien dalam kondisi
sekarang: E= pasien dalam kondisi
sekarang:
sekarang:
P=
I=
Kode
Responden FORMAT OBSERVASI
DEPRESI
Aphasic Depression Rating Scale
(ADRS)
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi terjadinya
melalui penilaian adanya insomnia, kecemasan, gejala somatik, de
ada kesedihan, hipokondriasis, agitasi, ekspresi (mimik) dan kelelahan. pr
3. Penilaian adanya depresi pada pasien ditentukan berdasarkan bukti yang es
Menanyakan kepada keluarga yang selalu mendampingi pasien dan i
pera dapat memberikan informasi atau kepada pasien dengan n
memberikan pil bila ya = mengangguk, tidak = menggelengkan ya
kepala, tetapi obser langsung juga penting.
N BAGIAN NILAI ad
O
1. Insomnia Sedang 0= Tidak ada kesulitan a.
Pasien gelisah dan terganggu sepanjang 1= Pasien menunjukkan wa
kegelisah malam, bangun dimalam hari pada waktu malam
/observasi t
tidur
iha
2= Sering bangun pada waktu ma
dari tempat tidur (kecuali pergi n
2. Kecemasan Fisik 0 = Tidak ada kesulitan Tegang
dan mudah marah 1 = Tegang dan mudah marah va
Mengkhawatirkan hal yang kecil/ 2 = Mengkhawatirkan hal yang si
kec sederhana 3 = Sikap cemas tampak pada
wajah Menunjukkan sikap khawatir dan pasien
gelisah 4= Ketakutan yang ditunjukkan (ek
Takut verbal) secara jelas
3. Kecemasan Somatik 0 = Tidak
ada Gastrointestinal : Gangguan pencernaan 1 =
Ringan Kardiovaskuler : Palpitasi, nyeri kepala 2 = an dan gangguan
Sedang Respirasi, gangguan perkemihan dan 3 = gangguan pola

lam hari; bangun


kekamar mandi)

il/sederhana
atau cara bicara

spresi verbal/non

lain-lain 4= Tidak dapat ditangani


4. Gejala Somatik Gastrointestinal 0 = Tidak ada
Hilang nafsu makan, perasaan 1 = Hilang nafsu makan tetapi tetap makan,
penuh/berat diabdomen, konstipasi perasaan penuh pada abdomen
2= Kesulitan makan (bukan karena paresis lengan)
memerlukan pengobatan untuk gangguan
pencernaan, misal karena konstipasi
5. Hipokondriasis 0 = Tidak ada
Keyakinan seseorang memiliki penyakit 1 = Khawatirkan pada penampilan diri (pada tubuh)
medis yang serius, meski tidak ada 2 = Mengkhawatirkan kesehatan
dasar untuk keluhan yang dapat 3 = Banyak keluhan, permintaan bantuan & lain
ditemukan lain
4 = Delusi hipokondria (khayalan adanya
penyakit yang serius)
6. Agitasi 0 = Tidak ada gejala
Gelisah berhubungan dengan 1 = Gejala sedikit atau meragukan
kecemasan 2 = Gejala tampak nyata
7. Kesedihan yang tampak 0 = Tidak sedih
1 = Antara 0 dan 2
2 = Tampak tidak bersemangat, tetapi mudah menjadi
riang kembali
3 = Antara 2 dan 4
4= Sering tampak sedih dan tidakbahagia
5 = Antara 4 dan 6
6 = Tampak menderita sepanjang waktu, sangat
murung
8. Mimik- Pergerakan Ekspresi Wajah 0= Kepala bergerak dengan bebas,fleksibilitas pada
tubuh dengan pandangan menatap ruangan atau
pandangan tetap pada pemeriksa atau minat
pada objek yang lain dengan ap yang sesuai
sik rakan, tidak bisa
1 = Mungkin terjadi pengurangan
ge ringan, menatap
dipastikan dengan mudah monoton, masih
2 = Berkurangnya gerakan
tetapi ruangan, mimik, iasanya menatap
walaupun sa; pasien lambat
ekspresif ah
3 = Tidak menggerakkan kepala, bgerak dan sulit
lantai, jarang menatap pemerik
tersenyum; ekspresi tidak berubjukkan secara
4 = Muka benar-benar tidak sung
ber berekspresi secara spontan,
9. Kelelahan 0 = Kelelahan tidak idapatkan saat
ditun spontan/setelah
pertanyaan lang kelelahan dalam
1 = Kelelahan tidak ditunjukkankan, berpakaian,
tetapi bukti kelelahan dbiasanya dapat
wawancara berlangsung ipun mengalami
2 = Pasien mengalami distres karena
kehidupansangat
3 = Kelelahan seharitampak,
- harinyasehingga
(ma pasien harus
mengendalikan beberapa aktivitas (lesu)
4 = Pengurangan pada hampir semua aktivitas yang
disebabkan oleh kelelahan yang berlebihan
(lemas)
Total nila i

Kesimpulan : Dikatakan depresi bila skor pasien 9. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh, semakin menunjukkan pasien depresi
Kode Responden

INSTRUMEN STATUS FUNGSIONAL


(The Barthel Index)

Instrumen status fungsional digunakan untuk menilai ketidakmampuan


fisik. Ketidakmampuan fisik merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi
aktivitas
sehari-hari berupa makan, mandi, merawat diri, berpakaian, buang airsar,
be buang air kecil, menggunakan toilet, berpindah, mobilitas dan menggunakan
tangga.

Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara gan
den responden.
2. Barthel I ndex digunakan untuk melaporkan apa yang pasien lakukan,kan
bu
melaporkan apa yang pasien mampu lakukan.
kan
3. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan pasien a
ecil
bantuan dalam beraktivitas, baik berupa bantuan fisik maupun verbal, sek
apapun itu.
sien
4. Jika dalam melakukan pasien masih membutuhkan pengawasan, berarti
pa belum mandiri.
kan
5. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada.
asi,
Menanya kepada pasien, teman/keluarga, dan perawat dapat
idak
memberikan inform tetapi observasi langsung juga penting. Meskipun
pemeriksaan langsung t dibutuhkan.
tapi
6. Pengamatan sebenarnya cukup dilakukan selama 24-48 jam, akan
kadang-kadang periode waktu yang lebih lama akan lebih relevan.
7. Skala menengah berarti pasien mampu melakukan 50% atau lebih dari aktivitas.
8. Pasien dianggap mandiri jika mampu melakukan sendiri
meskipun menggunakan alat bantu.
Aktivitas Skor
Makan
0 = Tidak dapat makan
5 = Memerlukan bantuan, seperti memotong makanan, mengoleskan
mentega, atau memerlukan diet khusus
10 = Mandiri
Mandi
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Mandiri
erawat diri
0 = Memerlukan bantuan dalam perawatan diri
5 = Mandiri untuk gosok gigi, membasuh wajah, menyisir rambut dan bercukur
Berpakaian
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh bantuan tapi dapat melakukan sebagian
10 = Mandiri (mampu mengancing baju, menutup resliting, merapikan pakaian)
Buang air besar
0 = Tidak dapat mengontrol (butuh enema)
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air besar
Buang air kecil
0 = Tidak dapat mengontrol, dikateter dan tidak bisa mengurus sendiri
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air kecil
Penggunaan toilet
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh beberapa bantuan, tapi tidak tergantung penuh
10 = Mandiri
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya)
0 = Tidak mampu, tidak dapat duduk seimbang
5 = Butuh banyak bantuan (1 atau 2 orang) untuk bisa duduk
10 = Butuh bantuan minimal (hanya diarahkan)
15 = Mandiri
Mobilitas (berjalan pada permukaan yang rata)
0 = Tidak mampu atau berjalan < 50 meter
5 = Mandiri dengan kursi roda
10 = Berjalan > 50 meter dengan bantuan 1 orang
15 = Mandiri (tapi menggunakan alat bantu seperti tongkat)
Menggunakan tangga
0 = Tidak dapat menggunakan tangga
5 = Butuh bantuan (verbal, fisik, menggunakan alat bantu)
10 = Mandiri
TOTAL 0 100

Sumber : Loretz (2005)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Kode Responden

INSTRUMEN DUKUNGAN KELUARGA

Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama
sebelum bapak/ibu/saudara menentukan jawaban .
disi
2. Berilah tanda ceklist (V) pada kolom yang sesuai dengan pilihan atau
kon sesungguhnya yang bapak /ibu saudara/ketahui atau alami.
3. Tidak ada jawaban yang benar atau salah.

No Pertanyaan Tidak Jarang Sering Setiap saat


pernah
Dimensi Informasi
1. Keluarga memberikan informasi yang
pasien yang dibutuhkan terkait dengan masalah
stroke dan perawatannya
2. Keluarga mengingatkan pasien
pentingnya meminum obat secara teratur
3. Keluarga memberikan informasi Amila,
kepada
Pengaruh pemberian..., FIK UI, 2012
pasien tentang penggunaan alat bantu bila pasien
kesulitan berkomunikasi
Dimensi Instrumental
4. Keluarga membantu ketika pasien cemas
dengan gangguan bicara
5. Keluarga menggunakan kata kata
sederhana dan kalimat pendek ketika bicara
6 dengan pasien
. Keluarga mengajak pasien bercakap
cakap seperti menanyakan apa yang dimakan
7 pasien pada sarapan pagi, bagaimana tidurnya
. Keluarga memberikan waktu pada pasien
8 untuk menjawab pertanyaan atau memahami
informasi
. bicaranya
Keluarga membantu pasien membiayai
Dimensi Emosional
9. Keluarga menjaga dan merawat pasien
dengan penuh kasih sayang
10. Keluarga memberikan semangat ketika pasien
merasa frustasi dengan gangguan bicara dan
keterbatasannya
11. Keluarga menghentikan pembicaraan pasien
apabila pasien mengalami kesulitan atau
menyelesaikan percakapannya
Dimensi Penghargaan
12. Keluarga mengikutsertakan pasien dalam setiap
musyawarah keluarga
13. Keluarga menerima pasien apa adanya dengan
segala keterbatasannya
14. Keluarga mengkoreksi langsung kesalahan
bicara pasien ketika pasien sedang berbicara
15. Keluarga mendengarkan dengan penuh perhatian
jika pasien berusaha berbicara

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


KISI KISI KUISIONER
DUKUNGAN KELUARGA DALAM PEMBERIAN KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION

Variabel Penelitian Dimensi Jumlah pertanyaan


Dukungan keluarga
Informasi 3 pernyataan
Instrumental 5 pernyataan
Dukungan Keluarga Emosional 3 pernyataan
Penghargaan 4 pernyataan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION
No :
No. RM :
Nama pasien :
Jenis Kelamin :
Diagnosa : Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Tanggal Mulai :
Pelaksanan
No Dilakukan pada hari ke -
Kegiatan Orientasi
Tugas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Sebelum pelaksanaan, lak ukan pengkajian terhadap : TTV,
pasien, fungsi pendengara kesadaran n dan penglihatan, pasien buta
untuk memberikan alternat huruf atau tidak if komunikasi. Anjurkan
alat bantu dengar, gigi pals pasien menggunakan
2. Pastikan lingkungan se u dan kaca mata selama proses pelaksanaan
kebisingan dengan me kitar pasien kondusif, seperti menghindari
memudahkan pasien berko mbawa pasien ke ruangan khusus, untuk
3. Perawat dapat melibatkansentrasi.
membantu dalam berkomun keluarga untuk mendampingi pasien dan
4. Perawat duduk berhadapanikasi dengan pasien afasia.
pertahankan kontak mata n dengan pasien/di samping tempat tidur
dan
5. Perawat memperkenalkan
maksud dan tujuan dilaku
diri dan jelaskan kepada pasien/
keluarga kan latihan berkomunikasi dengan
jelas dan dipahami oleh pasien
6. Hindarkan berbicara de ngan suara yang keras/berteriak pada
berkomunikasi dengan pas saat
lebih frustasi dengan keter ien afasia karena dapat membuat pasien
7. Instruksikan pasien bagaim merasa batasannya
8. Hari I : ana menggunakan alat komunikasi tersebut
Pertemuan 1 : Pengenalan
h) Peneliti menjelaskan t Menyebutkan
i) Peneliti memperkena ujuan dan manfaat dilakukan AAC. gambar
komunikasi pasien af lkan penggunaan gambar untuk
j) Peneliti mengajarkamemfasilitasi asia kepada pasien dan keluarga.
komunikasi. n gambar gambar yang ada
dibuku
Mengajarkan setiap si
kepada pasien dan kel
mbol/ gambar yang ada pada buku komunikasi
bagian/ label, misaln
uarga. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap
Berikan waktu pad
ya menunjukkan pasien merasa tidak nyaman.
diberikan. Jika pasi
a pasien untuk memahami informasi yang
simbol gambar terse
en tidak mampu mengidentifikasi simbol
familiar, jelaskan hu
but, ganti simbol gambar menjadi yang lebih
bentuk kalimat dan i
bungan antara simbol dengan artinya dalam
bentuk simbol lain.
nstruksikan pasien untuk mengulangnya
mengidentifikasi say
dalam Misalnya simbol piring + sendok
mengidentifikasi, pe
yang
gambar, kemudian pe
a ingin makan. Bila pasien tidak dapat
stimulus lain, seperti
neliti dapat membantu dengan menunjukkan
menunjukkan pada g
neliti menanyakan gambar apakah ini?
Berikan saya mau sikat gigi perintahkan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


gigi.

k) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti


l) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi
dilakukan oleh keluar yang
m) Keluarga mempraktekga
n) Mencatat adanya ke kan langsung gambar gambar kepada
penamaan objek (an pasien. mampuan penggunaan gambar,
nama suatu objek, ju kesulitan dalam omia) atau ketidakmampuan
Pertemuan 2 : untuk memberi
c) Evaluasi kemampuan mlah kata yang diucapkan
meminta pasien menu
dan anjurkan pasien pasien dalam penggunaan gambar dengan
keras sehingga dapatnjukkan buku komunikasi yang berisi gambar
Minta klien untuk untuk mengucapkan kata- kata dalam suara
ditunjukkan oleh pa melatih diotot otot wicara dan vokalisasi.
pasien tidak mamp menyebutkan nama nama benda yang
menyebutkan suku pe sien dan jelaskan nama objek tersebut. Bila
kalimat penuntun. Mi u menyebutkan kata tersebut, bantu
suku kata pen Ata pasien rtama kata tersebut atau dengan
Instruksikan pasien menggunakan salnya : pensil. Kita dapat
memungkinkan guna membantu dengan
suara sehingga pasienu dengan kalimat : kita menulis
d) Keluarga dianjurkan dengan.
pada hal - hal rutin diuntuk mengulang kata kata tersebut. Jika
mandi, sikat gigi atakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama
berhubungan dengan dapat memahami pembicaraan.
untuk selalu terlibat dalam aktivitas
komunikasi

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


. Pertemuan 3 :
c) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/
pasien. Catat irama bikeluarga
suara. cara, berhenti atau kalimat monoton,
d) Peneliti meminta pasieproduksi
jendela, pintu, lampu,
n menunjukkan objek disekitar ruangan,
9. Hari II :
seperti meja, kursi yang disebutkan oleh
Pertemuan 1 :
peneliti.
c) Peneliti memperkenal
dan keluarga. Mengeja
d) Peneliti mengajarkan Pengulangan
pengkajian terhadap akan penggunaan papan alfabet kepada pasien Membaca
menggunakan papan
mengeja abjad ABC penggunaan papan alfabet. Peneliti melakukan
mengeja abjad tersebutbjad ABC dan vokal yang diucapkan, sebelum
e) Keluarga mendemonstalfabet. Instruksikan kepada pasien untuk
f) Peneliti memberikan dan bantu pasien untuk mengulang kembali
dilakukan oleh keluargdengan suara yang keras.
g) Keluarga mempraktek rasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
h) Mencatat adanya kem masukan terkait dengan demonstrasi
dalam menyebutkan hu yang
Pertemuan 2 : a
kan langsung terhadap kepada
c) Peneliti mengevaluas
pasien.
dengan meminta pasampuan penggunaan papan alfabet,
menyebutkannya secakesulitan
d) Peneliti meminta pa ruf dan jumlah huruf yang
suatu benda yang diucapkan.

i penggunaan papan alfabet kepada pasien

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


(menyebutkan huruf p, g).
Pertemuan 3 :
d) Instruksikan pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang
pendek di koran dan kemudian anjurkan klien untuk membaca
kembali apa yang dibaca klien dengan suara yang keras.
e) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
f) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu
disukai pasien. yang
10. Hari III :
Pertemuan 1 : Menunjukkan
c) Pasien diminta untuk Menyebutkan
yang disebutkan oleh menunjukkan gambar pada buku komunikasi
gambar yang ditunjuk. keluarga dan meminta untuk menyebutkan
d) Keluarga diminta untu
hal rutin dilakukan pk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal
sikat gigi atau makan. - asien, misalnya pada saat pasien mau
e) Peneliti dapat menanymandi,
seperti tunjukkan lam
untuk mengulangi kataakan benda benda yang ada disekitar pasien,
Pertemuan 2 : pu, jendela, pintu, meja dan
d) Peneliti mengevaluasimemerintahkan
dengan meminta pasi kata tersebut.
menyebutkannya secar
e) Peneliti meminta pasie penggunaan papan alfabet kepada pasien
benda yang ada dideken untuk menunjukkan huruf dan meminta
huruf m, p). a berulang ulang.
n untuk menyebutkan huruf pertama dari suatu
at pasien, misalnya meja, pintu

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


f) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali.
Pertemuan 3 :
c) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumah
sakit, atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau
hobinya. Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila
mengalami kesulitan pasien atau menyelesaikan percakapannya.
d) Meminta keluarga m endengarkan musik/ lagu kesenangan pasien
(mengingatkan memo ri pasien tentang kata kata dalam lagu dan
mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).
11. Hari IV : Mengekspresikan
Pertemuan 1 : Mengeja
d) Pasien diinformasikan dan dibantu menggunakan alat tulis untuk Menulis
menyatakan keinginan nya. Instruksikan pasien untuk menulis
keinginannya dikertas setiap atau secara spontan apa yang difikirkan
bentuk kalimat, seper dalam ti nama dan alamatnya, nama
mau makan, minum. anak/keluarga, Jika klien tidak bisa bantu
memberikan tuntunan,pasien dengan seperti tulislah kalimat yang
dengan makan pagi har berhubungan
e) Katakan pada pasien i ini.
perintahkan untuk untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
Instruksikan juga kepamengulang kembali apa yang
ditulisnya. dibacanya. da pasien untuk mengeja kata atau
f) Mencatat kesalahanbagian yang
ketidakmampuan men
pengejaan, tidak dapat membaca,
ulis atau menulis tidak sesuai.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Pertemuan 2 :
d) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui
pasien yang ada dibukpengalaman
dimakan pasien pada s u komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
e) Tunjukkan benda bearapan pagi, bacaan di koran, dll.
atau jam dan tanyakannda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci
dalam penamaan objek nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan
f) Keluarga dianjurkan u(anomia).
pada hal - hal rutin dilntuk selalu terlibat dalam aktivitas
minum obat, buang ai komunikasi
menanyakan hal hal akukan pasien, misalnya pada saat pasien mau
Pertemuan 3 : r besar atau pada saat akan istirahat, dengan
yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.
a) Keluarga dapat me
tugas tugas m
membaca, mengejamberikan komunikasi dengan AAC pada
kegiatan sehari haengungkapkan, penamaan, pengulangan,
komunikasi atau yadan menulis yang berhubungan dengan
Mencatat perkembanri, menunjukkan gambar yang ada dibuku
Hari V ng ada disekitar pasien, keluarga/ hobi.
Pertemuan 1 : gan komunikasi setiap hari.
Menunjukkan
d) Pasien diminta untuk
Menyebutkan
yang disebutkan ole
menunjukkan gambar pada buku komunikasi gambar
gambar yang ditunjuk
h keluarga dan meminta untuk
e) Keluarga diminta unt
menyebutkan
- hal rutin dilakukan
.
sikat gigi atau makan.
uk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada
f) Peneliti dapat menan
hal pasien, misalnya pada saat pasien mau
seperti tunjukkan la
mandi,

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


untuk mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
d) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasien
dengan meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan meminta
menyebutkannya secara berulang ulang.
e) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dari
suatu benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu
(menyebutkan huruf m, p).
f) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkandan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali kata yang diucapkannya.

Pertemuan 3 :
c) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman
pasien yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
dimakan pasien padasarapan pagi, bacaan di koran, dll. Tunjukkan
benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci atau jam
dan tanyakan nama pasien.
12. Hari VI Menyebutkan
Pertemuan 1 : Mengeja
c) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan Menulis
keinginannya. Instruksikan pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau secara spontan apa yang difikirkan
bentuk kalimat, seper dalam
bantu pasien dengan ti pasien mau minum. Jika pasien tidak bisa
yang berhubungan dememberikan tuntunan, seperti tulislah kalimat
d) Katakan pada pasienngan makan pagi hari ini.
untuk membaca tulisan yang ditulisnya
dan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya.
Instruksikan juga kepada pasien untuk mengeja kata atau bagian
yang ditulisnya.
Pertemuan 2 :
c) Meminta pasien ntuk u menceritakan tentang team
favoritnya, acara favoolahraga rit ditelevisi, pekerjaannya.
Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, minta pasien
menuliskannya dikertuntuk as.
Pertemuan 3 :
c) Meminta klien menunjukkan pada buku komunikasi
menggunakan isyardan at Bagaimana anda mengatakan
memerlukan sepatu,saya saya lapar dan ingin makan, saya
saya ingin tidur, dilcapek , uar gelap, tolong hidupkan lampu.
Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti
lemari, meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk
menyebutkan benda yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya
kembali.
13. Hari VII Menunjukkan
Pertemuan 1 : Pengulangan
c) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan pasien Mengeja
dan mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut.
d) Meminta klien untuk menunjukkan benda benda yang ada
pasien, seperti tutup disekitar pintu, sisir, gelas, sendok,
guling. selimut, bantal,
Pertemuan 2 :
c) Minta pasien untuk
kata/kalimat yang dimencari dibuku komunikasi dan
menunjukkan sebutkan peneliti, seperti :

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


cuaca, sabun, shampoo.
d) Minta pasien untuk mengulang apa yang ditunjukkannya
menyebutkan suku pedengan
Pertemuan 3 : rtama, sebagian kata
c) Meminta pasien untu
temannya, nama pera k menyebutkan nama hewan, nama teman
d) Minta pasien untuk m- wat/istri yang merawatnya
14. Hari VIII engulangnya, mengeja huruf
pertama
Pertemuan 1 :
Menyebutkan
c) Menunjukkan majala
Membaca
tulisan yang terdapat
h kepada pasien. Minta pasien untuk membaca Menulis
d) Minta pasien untuk
di majalah tersebut
pasien mengejanya
menulis dikertas tulisan yang dibacanya,
Pertemuan 2 :
minta
Minta pasien untuk menc
mencari kata tersebut da
mau menelepon, saya m
ari kata yang diucapkan oleh peneliti,
air kecil, buang air besar,
kemudian lam buku komunikasi tersebut,
bersandar, saya ingin miri
seperti saya au wudhu, cuaca diluar dingin,
Pertemuan 3 : saya mau buang saya memerlukan kacamata,
a) Minta pasien untuk
saya ingin duduk ng ke kanan.
lemari, meja, roti, s
menyebutkan benda y
menunjukkan benda disekitar pasien,
kembali.
seperti andal, obat. Kemudian minta
b) Kemudian minta pasi pasien untuk ang ditunjukkan tersebut dan
yang disediakan.
mengulangnya

en untuk menuliskannya di kertas atau

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


15. Hari IX Menunjukkan
Pertemuan 1 : Pengulangan
menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
a) Meminta pasien untukPenamaan/menye
di hp atau foto, temanbutkan atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya Membaca
b) Kemudian minta p
Menulis
papan yang disediakasien untuk menuliskannya di kertas
Pertemuan 2 : atau
b) Bercakap cakap den an.
hari, seperti mandi,
bercerita tentang tempgan pasien dalam melakukan kegiatan sehari
kepada pasien tentangmengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat
Pertemuan 3 : at tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan
b) Membacakan sesuatu keluarganya atau bidang minatnya.
mendengarkan lagu
menyebutkan yang dis (dari koran, misalnya), atau bersama sama
16. Hari X yang disukai pasien. Minta pasien untuk
Pertemuan 1 : ebutkan peneliti dan mengulangnya kembali.
c) Tunjukkan buku kom Isyarat
gambar gambar ya
Meniru
makan, minum, istirahunikasi dan minta pasien untuk menyebutkan
d) Minta pasien menyebuPengulangan ng ada dibuku komunikasi, seperti kebutuhan
seperti bantal, selimut, at dan tidur.
Pertemuan 2 : tkan benda benda yang ada disekitar
a) Dengarkan sebuah lapasien,
diajarkan untuk mengalemari.
menyanyikan kalimat
diminta meniru menyagu yang disenangi pasien, kemudian pasien
mbil lagu lagu tersebut, kemudian
diajarkan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Pertemuan 3 :
b) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya
17. Berikan pujian atas setiap keberhasilan yang dilakukan, bila pasien
belum menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap melanjutkan latihan.
18. Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk menilai kemajuan
pasien dan jelaskan kepada pasien setiap perubahan
Pengaruh yang
pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
pasien. dihasilkan
19. Jika terlihat pasien mera
dihentikan sementara dansa tidak mood atau kelelahan, latihan dapat
pasien dan keluarga untuk perawat dapat kontrak waktu kembali kepada
melanjutkan latihan.
CHECKLIST PEMBERIAN
AUGMENTATIVE KOMUNIKASI
AND ALTERNATIVE DENGAN
COMMUNICATION

: .............................................................................
Nama
: ............................................................................
Tanggal mulai latihan
: ..............................................................................
Tanggal selesai latihan

H3 H4 H5 H6 H7
Waktu H1 H2 H8 H9 H10
Pagi
Siang
Sore

Peneliti,

...)
(...........................................

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Kode responden

FORMAT OBSERVASI PELAKSANAAN PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN


AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION OLEH KELUARGA

Petunjuk Pengisian :
1. Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar observasi pelaksanaan pemberian komunikasiesuai pedoman observasi
2. Berikan tandatangan dan s tanggal setiap kegiatan pemberian komunikasi dengan pasien pada kolom yangisediakan
3. Tulislah setiap perkembangd an yang didapatkan pasien dalam setiap pelaksanaan komunikasi.

Dilakukan pada hari ke -


No K egiatan Keluarga Orientasi
Tugas 4 5 6 7 8 9 10
1. Membantu memfasilitasi g 1 2 3
ambar yang ada dibuku komunikasi
2. Berbicara/ Bercakap cMenunjukkan
kegiatan sehari hari : Menyebutkan
a. Makan akap dengan pasien berhubungan dengan
b. Piring Menunjukkan
c. Minum Menyebutkan
d. Gelas Pengulangan
e. Sendok Membaca
f. Garpu Mengeja
g. Sabun Menulis
h. Mandi
i. Handuk
j. Sikat gigi
k. shampo
l. Celana
m. Baju
n. Sisir
o. Pispot
p. Toilet
q. Tidur
r. Miring kanan/kiri
s. Bantal
t. Duduk
u. Selimut
v Buku
w. Pena
x. Lain lain, Sebutkan dan tuliskan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks.7864124
Email: humasfik.uLedu Web Site: www.fikuLac.id

KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK

Komite Etik Penelitian, Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya
melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan, telah mengkaji
dengan teliti proposal berjudul :

Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan Augmentative and Alternative Communication


terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke

::::::::I::::.::Si::I:rik di RSUD

KolaTasikmadlaaynBa~
Nama institusi : Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia


Dan telah menyetujui proposal tersebut.

Jakarta, 15 Nopember 2011


Dekan, Ketua,

l~
Dewi Irawaty, MA, PhD Yeni Rustina, PHD
NIP. 19520601197411 2 001 NIP .19550207 198003 2 001

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 F?ks.7864124
Email: humasfik.ui.eduWebSite:w.vvw.fikui.ac.id

Nomor : ?flIt; IH2.F12.D/PDP.04.00/2011 2 November 2011


Lampiran
Perihal : Permohonan Ijin Penelitian

Yth. Direktur
RSUD Kota Tasikmalaya
Jawa Barat

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis rnahasiswa Program Pendidikan


Magister Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) dengan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah atas nama:

Sdri. Amila
0906505086

akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengarun Pemberian Komunikasi


dengan .Augmentative and Alternative Communicatien terhadap Depresi
pada Pasien Streke dengan Afasia Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan
Kota 8anjar".

Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.

Atas perhatian Saudara dan kerjasarna yang baik, disampaikan terima


kasih

Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Tasikmalaya
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Tasikmalaya
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks. 7864124
Email: humasfik.uLeduVVebSite:wvVW.fikui.ac.id

Nomor :381S-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011 2 November 201i


Lampiran
Perihal : Permohonan Ijin Penelitian

Yth. Direktur
RSUD Kota Banjar
Jawa Barat

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program Pendidikan


Magister Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) dengan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah atas nama:

Sdri. Amila
0906505086

akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh Pernberian Komunikasi


dengan ,Augmentative and. Alternative Communication terhadap Depresi
pada Pasien Stroke dengan Afasia Motorik di RSUD Kofa Tasikmalaya dan
Kota Bar.jar".

Sehubungan dengan hal tersebut, bersarna ini karni mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.

Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Banjar
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Banjar
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
I

UNIVERSITAS INDONESIA .
FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
Kampus UI Oepok Telp. (021)78849120, 78849121
F~ks. 7864124
Email: humasfik.ui.edu Web Site:
www.fikuLac.id

Nomor : 4'"1ca-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011 25 November 2011


Lampir
an : Permohonan Ijin Penelitian
Perihal

Yth
.
Dir
ekt
ur
RS
UD
.
Kot
a
Ga
rut
Ja
wa
Bar
at

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program


Pendidikan Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK-UI) dengan Peminatan Keperawatan Medikal
Bedah atas nama:

S
d
r
i
.
A
m
i
l
a
NP
M
09
06
50
50
86

akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh


Pemberian Komunikasi Dengan. AugmeRtative and
Alternative Cemmunication terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada pasien Stroke
dengan Afasia Motorik"

Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon


dengan hormat kesediaan Saudara mengijinkan yang
bersangkutan untuk mengadakan penelitian di RSUD. Kota
Garut.

Atas perhatian Saudara dan kerjasama yang baik,


disampaikan terima kasih

T
e
m
b
u
s
a
n
Y
th
.
:
1. Dekan (sebagai laporan)
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Diklit RSUD Kota Garut
4. Kepala Ruang Neurologi RSUD Kota Garut
5. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
6. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
PEMERINTAHKOTA TASIKMALAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
JJn. Rumab Sakit No.33 Tasikmalaya Telp.(026S) 331683. Fax.(0265)331747

Nomor 420/~r;IRSUDIX1I2011 Tasikmalaya, November 2011


Lampiran
Perihal Ijia Penelitian Kepada Yth :
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK-UI)
di
Depok

Menindaklanjuti surat Saudara Nomor : 39141H2.FI2.DIPDP.04.0012011


tanggal 2 November 2011 perihal Permohonan Ijin Penelitian Mahasiswa Program
Pendidikan Magistet;, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI)
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah, dengan ini kami mengijinkan kepada :

Nama AMILA
NIM 0906505086
"Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan
Augmentative and Alternative Communication
terhadap Depresi pada Pasien Stroke dengan A/asia
Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar"

tIntuk melakukan penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, sepanjang tidak


mengganggu pelayanan.
Demikian, atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima
kasih.
PEMERINTAH KOTA
B4NJAR
RUMAH SAKIT UMUM BANJAR
Jl. Rumah Sakit No.5 Telp.(0265) 741032 Fax. 744730 Banjar 46322

. ftlinJar, 9 November 2011


Nomor : OfO.~ 13;3QIRSU
Lampiran
Perihal : ljin Penelitian

Kepada Yth,
Ketua Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia

Di
Tempat

Menindaklanjuti surat Saudara Nomor, 39151H2.F.12,DIPDP.04.0012011


tanggal 2 November 2011, perihal Permohonan Ijin Penelitian mahasiswa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, xang akan dilaksanakan
oleh:

Nama : AMILA
NIM : 0906505086
Jurusan : S-2 Keperawatan Peminatan Medikal Bedah
Institusi : Universitas Indonesia Fakultas Tlmu Keperawatan
Judul :" PENGARUH PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE
COM~fMUNICATION TERHADAP DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
TASIKlYlALAYA DAN RUll'lAH SAKlT UfflUlVI
DAERAH KOTA BANJAR "
Tanggal 11 November s.d IJ Desember 2011

Pada prinsipnya kami tidak keberatan sepanjang mengikuti peraturan yang


berlaku di Rumah Sakit Umum Daefah Kota Banjar,

Demikian agar maklum untuk menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut, atas
perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih,

ag Sekertariat
urn Daefah Kota Banjar

PURKON S.'hte .Ners.M.M.Kes


Nip. 19660201 198512 1 001

Tembusan:
1. Wadir Pelayanan
2. Ka Bag Sekertariat
3. Instalasi Rawat Inap
4. eM
!ili.3'''----------.'~.. 5. PPL

~ 100
200
K_ 201
nIJ;1!Qt! IXm!!lim
23S _

~ Boo_
210
Din:ktur
217
m
222
Md,,11 216 WijayaKmm

- --
_ Sco
213 K
Dohlla 21<
~

203 1DI.1_ 247 OpoIoI:R".iln


Umwn : 202 ApoId<
XA:oanIl" 204 ..... gDokta' 20' WadirPdayuan 206 WadirUmum 107 Kciek_ 208

r.rawallln 211 ztz SupcrviII


PoIayaJoaD 209

IPSRS ill KJRS 226 Gizi 227 Tulip m ............ 22' .........1 230 T..-U
m

Anggr<l: 218 219 ICU 220 221


... Waroh 223 Rmh. T8nB88 ,, 9
2 3 1

RBdioiogi 232 '-;WU 2J3 !PAL 234 236 ASKES 237 PoIlkIinik 238 PM!
CM l" PI'!. 2.. 100 242 _IGD 243 Kcoaoao K.MoyM 24$
PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH dr. SLAMET Alamat : Jt.
Rumah Sakit No. 12 Telp. ( 0262 ) 232720 Garut 44151
Rekening : Bank Jabar Garut, Kelas : B Non Penelidikan, Status: Unit Swadana

Garut, 2 Desember 2011


Nomor : 800/~ / RSUIXIII2011
Lampiran : 1 (satu) lembar Kepada :
Perihal : Izin Penelitlan Yth. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
UNTVERSIT AS INDONESIA
di
Tempat

Menindak lanj uti surat dari Kepala Kesbang, Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kab. Garut tanggal 29 November 2011 nomor : 072/503-Kesbangpol
Linmas/2011perihal : Rckomendasi Research/Survey, pada prinsipnya kami tidak
keberatan dan mengizinkan mahasiswa saudara, atas :
Nama : AmBa

NPM : 0906505086

Untuk melaksanakan Penelitian eli RSU Dr. Slamet Garut dengan


catatan harus mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku, izin ini berlaku
sesuai dengan permintaan yaitu dari tanggal29 November s/d 29 Desember 2011.
Demikian agar menjadi maklum dan atas kepercayaan dan perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.

..
Tembusan Disampaikan Kepada Yth:
1. Direktur RSU dr. Slamet Garut ( Sebegai laporan )
2. Wadir Pelayanan
3. Wadir Keuangan
4. Ka. Bidang Keperawatan
r

PEMERINTAH KABUPATEN
GARUT

KANTOR KESATUAN BANGS~ POLITIK DAN


PERLINDUNGAN MASYAfW<AT
Jalan Patriot No. 10 A Telp. (0262)
2246916 Garut 44151

REKOMENDASI RESEARCH / SURVEY


Nomor: 072 / 5D3- Kesbangpollinmas I 2011

Menindak lanjuti surat dari PLH Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia Nomor
: 41461H2.FI2.DIPDP.04.00/2011 Tanggal 25 November 2011 Perihal
Permohonan Izin Penelitian dengan ini kami memberikan Rekomendasi untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan
Tesis dengan Judul :

" PENGARUH PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN


AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION TERHADAP
KEMAMPUAN FUNGSIONAL KOMUNIKASI DAN DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK"

Dengan mengambil Lokasi di :


RSUD Kabupaten Garut
Waktu dari tanggal : 29 November sid
29 Desember 2011

Kepada nama sebagaimana tersebut di bawah ini

No Nama Ke
NPM ter
an
1. AWlILA ga
0906505086 n

Mahasiswi Universitas Indonesia


Fakultas Ilmu Keperawatan

Pada prinsipnya kami tidak keberatan yang bersangkutan tersebut di atas untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Mentaati segala ketentuan yang berlaku;
2. Menghormati ketentuan Dinas I Badan I Lembaga I Kantor yang
bersangkutan serta adat istiadat masyarakat setempat;
3. Turnt menjagajangan sampai menimbulkan kerawanan di kalangan
masyarakat;
4. Melaporkan lebih dulu kepada pejabat setempat untuk mendapatkan petunjuk
pengamanannya;
5. Mengirimkan hasil kegiatan penelitaian, rangkap 1 (satuj.kepada kami.

Surat Rekomendasi ini dianggap batal apabila tidak mentaati ketentuan tersebut
di atas.

Garut, 29 November
2011

Tembusan, disampaikan kepada Yth :


1. Kepala BAPPEDA Kabupaten Garut;
2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut;
3. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia ,
4. Kepala RSUD Kabupaten GaruPte; ngaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Amila
Tempat/Tanggal Lahir : NAD, 21 Januari 1976
Alamat Rumah : Perum BKP BKP Blok P No. 53 RT/RW 004/004
Kelurahan Kemiling Permai Kecamatan Kemiling
Bandarlampung 35153
Alamat Kantor : Universitas Malahayati
Jl.Pramuka No. 27 Kemiling Bandarlampung
Email : mila_difa@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan : 1. S2 Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI arta,
Jak angkatan 2009
2. S1 Keperawatan FIK-UNPAD, lulus tahun
2000 997
3. DIII Keperawatan Poltekkes NAD, lulus tahun 1
1 hun
4. Akta Mengajar III UT Bandung, lulus tahun
200
5. SMA YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus hun
ta
1994
6. SMP Negeri Rantau (NAD), lulus tahun 1991 03
7. SD YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus
ta
1988
Riwayat Pekerjaan : 1. RSU Zaenal Abidin (NAD) tahun 1997 1998
2. Akper Bhakti Kencana Bandung, tahun 2001-
20
3. Universitas Malahayati, tahun 2003- 2010

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai