Afasia Motorik
Afasia Motorik
TESIS
AMILA
0906505086
TESIS
AMILA
0906505086
Nama : Amila
NPM : 0906505086
Tanda Tangan :
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
tahap akademik pada program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan
Medikal Communication
judul Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative Bedah dengan AC)
(A
gan
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Den
Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan han
Banjar. ima
Dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta ara
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkanang
ter kasih yang tidak terhingga kepada : lam
1. Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc selaku pembimbing utama
y telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan sayaelah
da penyusunan tesis ini; lam
2. Ibu Tuti Herawati, S.Kp., MN selaku pembimbing pendamping yang t
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya da tan
penyusunan tesis ini;
3. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmujana
Keperaw
Universitas Indonesia;
an
4. Ibu Astuti Yuni Nursasi, MN selaku Ketua Program Studi
Pascasar lalu
Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Amila
NPM : 0906505086
Program Studi : Pasca Sarjana Ilmu
keperawatan Peminatan : Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas : Ilmu
Keperawatan
Jenis Karya : Tesis
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 20 Januari 2012
Yang menyatakan
( Amila)
Nama : Amila
Program : Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Studi Universitas Indonesia
Judul : Pengaruh Pemberian Augmentative and Augmentative and
Alternative Comunication (AAC) terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke
dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan
Banjar
oca,
Kata kunci : Augmentative and alternative communication, stroke, afasia
Br
afasia motorik, depresi
Name : Amila
Study Program : Post Graduate Nursing Faculty of Nursing University of
Indonesia
Title : The Influence of Conducting Augmentative and Alternative
Communication (AAC) to the Communication
Functional Ability and Depression for Stroke Patients with
Motor Aphasia in Garut, Tasikmalaya and Banjar Hospital
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PERNYATAAN ORISINALITAS .. iii
KATA PENGANTAR .. ivi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS. vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT . viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL ........................ xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SKEMA ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah .. 13
1.3 Tujuan Penelitian .... 14
1.4 Manfaat Penelitian .. 14
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian .. 122
6.2 Keterbatasan Penelitian . 150
6.3 Implikasi Hasil Penelitian . 151
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Hal
3.1 Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur 74
4.1 Analisis Univariat Variabel Independen, Variabel Dependen dan 108
Karakteristik Responden
4.2 Analisis Homogenitas Kelompok Kontrol, Intervensi dan Variabel 109
Konfounding
4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol 109
4.4 Analisis Bivariat Variabel Perancu dengan Variabel Dependen 109
5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Ketidakmampuan Fisik, 111
Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut
dan Banjar November Desember 2011
5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Frekuensi 114
Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.3 Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik, 116
Dukungan Keluarga Antara kelompok Kontrol dan Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November
Desember 2011 116
5.4 Hasil Analisis Kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Frekuensi Serangan Stroke Antara kelompok Kontrol dan
Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya,
Garut dan Banjar November Desember 2011 117
5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi
Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember 118
2011
5.6 Hasil Analisis Perbedaan Depresi Antara kelompok Kontrol
dan Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, 118
Garut dan Banjar November Desember 2011
5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan
Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 119
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi Pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan 120
Dukungan Keluarga terhadap Depresi pada Kelompok Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November Desember 2011
5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 121
Stroke Terhadap Depresi Pada Kelompok Intervensi pada Pasien
Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember 2011
DAFTAR GAMBAR
Hal
2.1 Anatomi Wicara Bahasa 20
2.2 Anatomi Arteri Otak 26
2.3 Low Technology & High Technology 46
DAFTAR SKEMA
Halaman
2.2 Kerangka Teori Penelitian 70
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 73
4.1 Rancangan Penelitian 77
4.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 106
DAFTAR LAMPIRAN
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tasikmalaya, Banjar dan aten
Kabup Garut merupakan beberapa rumah sakit pemerintah yang terdapat di arat.
Jawa B Kasus stroke di RSUD Kota Tasikmalaya dari tahun ke tahun erus
jumlahnya t meningkat dan menempati urutan pertama dari seluruh kasus afan
sistem persyar yang ada di RSUD Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2010 roke
jumlah penderita st sebanyak 754 orang (Rekam Medis RSUD Kota kan
Tasikmalaya, 2010). Sedang dalam 6 bulan terakhir (Maret Agustus) 425
tahun 2011 di temukan sebanyak orang pasien stroke. Kasus stroke di pati
RSUD kota Banjar pun selalu menem urutan pertama dari seluruh kasus mlah
system persyarafan yang ada dengan ju 533
405 orang. Sedangkan kasus stroke di RSUD Kabupaten Garut
sebanyak orang dalam 6 bulan terakhir.
ada
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung ini
kep luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena.hwa
manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Arteri yang palimg sering terkena adalah arteri serebri media. Bila stroke
mengenai arteri serebri media, maka pasien dapat mengalami afasia.
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang dapat mempengaruhi
distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Diperkirakan sekitar 21% - 38% pasien stroke akut dapat
mengalami afasia (Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell, 2006). Afasia
terjadi akibat cedera otak atau proses patologik stroke, perdarahan otak dan
dapat muncul perlahan seperti pada kasus tumor otak pada lobus frontal,
kemampuan berbahasa yaitu area Broca,
temporalarea
atau Wernicke
parietal yang
danmengatur
jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletakkiri
dihemisfer otak dan pada umumnya bagian hemisfer kiri merupakanuan
tempat kemamp berbahasa (Kirshner, 2009; Price & Wilson, 2006).
Beberapa bentuk afasia mayor menurut Smeltzer & Bare (2008); Lumbantobing
(2011) adalah afasia sensoris (Wernicke) motorik (Broca) dan Global. asia
Af sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan pada girus temporal rior,
supe yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia wab
menja iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Pada orik
afasia mot terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal yang gan
ditandai den kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan jadi
kemauan men simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam dan
bentuk ekspresi verbal tulisan. Sedangkan afasia Global disebabkan oleh usak
lesi yang luas yang mer sebagian besar atau semua daerah bahasa yang lagi
ditandai dengan tidak adanya bahasa spontan dan menjadi beberapa patah itu
kata yang berulang ulang (itu saja) disertai ketidakmampuan memahami
yang diucapkan.
kira
Di Amerika
170.000 Serikat
kasus barulebih
daridari 700.000
afasia stroke
setiap terjadi
tahun setiap tahundengan
berhubungan dan kirastroke.
Diperkirakan sekitar 1 sampai 1,5 juta orang dewasa di Amerika
mengalami afasia. (Kirshner, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Jumlah pasien
afasia akan terus bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang dapat
bertahan hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).
Data tentang afasia akibat stroke di berbagai rumah sakit di Indonesia melalui
rekam medik, jurnal dan situs sangat terbatas. Hal ini dapat disebabkan karena
dalam rekam medik hanya mengklasifikasikan data berdasarkan diagnosa
medis dan adanya keterbatasan dalam mendeteksi/ mengidentifikasi afasia,
sehingga jumlah afasia tidak diketahui dengan pasti. Walaupun data afasia tidak
diketahui dengan pasti, tetapi afasia mempunyai dampak negatif terhadap pasien
dan orang disekitar pasien.
Peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, kan
diharap mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien cara
stroke se komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase agar
pemulihan dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid & 07).
Soertidewi, 20 agai
Henderson (dalam Tomey & Aligood, 2006) mendefinisikan keperawatandan
seb upaya membantu individu untuk mendapatkan kebebasan dalamasar
beraktivitas berkontribusi dalam mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satuntuk
kebutuhan d manusia menurut Henderson adalah berkomunikasi dengan
orang lain u mengekspresikan emosi, kebutuhan rasa takut dan
mengemukakan pendapat. nuhi
ikan
Peranan perawat pada pasien stroke setelah melewati fase akut adalah memeang
kebutuhan sehari hari, mengkaji fungsi bicara dan berbahasa,kan
menyesua teknik berkomunikasi dengan kemampuan pasien : bicara pelanwat
dengan suara y normal, menjadi pendengar yang baik, menjelaskan setiapang
prosedur yang a dilakukan (Mulyatsih, dalam Rasyid & Soertidewi,
2007). Selain itu, pera dapat berperan menjadi role model untuk
berkomunikasi dengan pasien y mengalami afasia (Lewis, Heitkemper,atau
deteksi afasia untuk menegakkan masalah keperawatan dan intervensi
keperawatan pada afasia (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman &
Hafstensdottir,
2010). Deteksi dini dan latihan wicara pada pasien afasia tidak hanya
dapat mempengaruhi pola penyembuhan otak, tetapi juga dapat meningkatkan
keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat mengurangi isolasi pada pasien dan
meningkatkan partisipasi dalam rehabilitasi (Salter, Jutai, Foley, Hellings
&
Teasell, 2006). Sekitar 79% pasien stroke afasia dari ringan berat tidak dapat
terdeteksi, karena tidak adanya deteksi afasia. Deteksi dini afasia
ditemukan relevan dalam mendukung program rehabilitasi pasien stroke
(Enderby et al, 1987 dalam Lightbody et al, 2007). Dua instrumen untuk
mendeteksi afasia yang dapat digunakan oleh perawat adalah Frenchay Aphasia
Screening Test/FAST dan Ullevaal Aphasia Screening/ UAS (Enderby & Crow,
1996).
Menurut Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell (2006) dalam literatur penel
stroke, FAST merupakan instrumen yang lebih sering digunakan kaitian
sederhana, membutuhkan waktu 3 10 menit untuk pasien afasia fase akutrena
paska akut stroke serta memiliki sensitivitas 87% dan spesifitas 80% dan
da mendeteksi afasia. Skrining perawat dan hasil observasi dapat lam
menduk langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa oleh ung
neuropsychologist speech therapy (Clarkson, 2010). Selain itu dengan dan
deteksi dini afasia, lat wicara bahasa dapat dimulai sesegera mungkinihan
(Poslawsky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). Hasil pengkajian ans,
yang ditemukan juga d menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan apat
pada pasien dengan gangg komunikasi (McCloskey & Bulechek, 2000, uan
dalam Powlasky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). ans,
Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif pada fase akut stroke yang
d ditemukan pasien afasia dalam NANDA (2011) adalah gangguan komuniapat
verbal; menurun, tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerkasi
memproses dan menggunakan simbol simbol. Walaupun intervensi afasia ima,
t
sepenuhnya terintegrasi ke dalam aktivitas keperawatan, tetapi hasilidak
tem uan
lam
keperawatan (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman & Hafstensdottir,
2010).
erta
Berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia
angi
s mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk
ini
mengur frustasi, depresi dan isolasi sosial (Mulyatsih & Ahmad, 2010).
wig,
Pendapat sesuai dengan pendapat Happ, Roesch & Kagan (2005 dalam
idak
Ackley & Lad
apat
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien t
gkat
mampu berkomunikasi secara verbal. Beberapa alat bantu komunikasi yang d
han
dilakukan pada pasien afasia menurut NIC adalah penggunaan peran
erisi
elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash card yang berisi gambar
11);
Ackley & Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare,
Hinkle
& Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan masalah komunikasi
di atas, intervensi tersebut merupakan bagian dari AAC.
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul &
Jeffs,
2008), AAC merupakan penggunaan perangkat pendukung atau
pengganti
kemampuan komunikasi verbal seseorang. Beberapa kondisi dengan
gangguan komunikasi verbal yang memerlukan AAC adalah cerebral palsy,
gangguan intelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batang otak, amyotropic
lateral sclerosis, penyakit parkinsosn, multiple sclerosis, dimensia, traumatic
brain injury (Wikipedia, 2011).
AAC terdiri dari alat bantu komunikasi low technology, yaitu tanpa
menggunakan elektronik, seperti papan komunikasi yang berisi gambar/
berisi gambar. Sedangkan AAC yang menggunakan simbol dan tulisan
elektronik adalah high
technology, seperti penggunan komputer dengan kemampuan dia,
multime misalnya laptop yang menyatu dengan hasil bicara/ speech output.
Melihat berbagai dampak pada pasien afasia akibat stroke dan keuntungan
yang diperoleh dengan penggunaan AAC berdasarkan fenomena dan hasil
penelitian
yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
1.4.2 Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan kaya
memper khasanah keilmuan keperawatan, serta dapat digunakan bagi
sebagai dasar penelitian selanjutnya yang berfokus pada atau
penelitian kualitatif membandingkan pemberian AAC antara (low
metode sederhana technology) dan modern (high technology) onal
terhadap kemampuan fungsi komunikasi pasien stroke dengan afasia
motorik.
2.1.1 Definisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Seringkali ini alah
ad kulminasi penyakit serebrovaskuler selama bertahun-tahun are,
(Smeltzer, B Hinkle & Cheever, 2008). Menurut Lewis, Heitkemper, n &
Dirksen, OBrie Bucher (2007), stroke adalah gangguan yang otak
mempengaruhi aliran darah ke dan mengakibatkan defisit neurologik. 09),
Sedangkan Black and Hawks (20 mendefinisikan bahwa stroke adalah ntuk
suatu kondisi yang digunakan u menjelaskan perubahan neurologik lam
yang disebabkan oleh gangguan da sirkulasi darah ke bagian otak.
Setelah suara identifikasi sebagai simbol bahasa, informasi ini diteruskan area
isfer
yang dominan. Pengenalan simbol bahasa didasarkan atas pengalaman
masa silam. Fungsi area pengenalan bahasa bukan saja mengenali simbol
bahasa, namun mengenai hubungan satu simbol dengan yang lainnya. Bila fungsi
ini telah dilaksanakan, informasi ini disampaikan kembali ke atau melalui area
Wernicke ke area area diotak yang berkaitan dengan enkoding atau berespon
pada bahasa. Memproduksi bahasa mungkin dimediasi melalui area pengenalan
bahasa, diikuti
oleh penyampaian informasi ke area identifikasi kata. Komunikasi
ditegakkan antara area identifikasi kata dengan area enkoding motor melalui
serabut asosiasi yang menghubungkan bagian posterior girus temporal superior
dengan area operkuler pada lobus frontal.
2.1.7 Manifestasi
Silbernagl & Lang (2007) menyebutkan, manifestasi klinis stroke ditentukanoleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh arah
d tersebut. Arteri yang paling sering mengalami gangguan adalah arteri ebri
ser media. Berikut ini tanda dan gejala stroke berdasarkan arteri yang terkena
:
a. Arteri Serebri Media han
Oklusi pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemairus
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik akibat kerusakan gular
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okcara
akibat kerusakan area motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bian),
motorik dan sensorik (area bicara Broca dan Wernicke dari hemisferbus
domin gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect jika mengenai
lo parietalis (Silbernagl & Lang, 2007).
b. Arteri Serebri Anterior orik
Oklusi arteri akibat
kontralateral serebrikehilangan
anterior menyebabkan hemiparesis
girus presentralis dan defisit
dan postsentralis bagian
medial, kesulitan bicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan
terganggu (Silbernagl & Lang, 2007), gangguan kognitif dan
inkontinensia urine (Hickey, 2003). Penyumbatan bilateral pada arteri serebri
anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik (Silbernagl
& Lang,
2007).
c. Arteri Serebri Posterior
Oklusi arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial
(korteks visual primer). Manifestasi klinis bervariasi tergantung area oklusi.
Oklusi pada area perifer menyebabkan hemianopsia homonimus, defisit
memori dan gangguan penglihatan berat. Oklusi pada area sentral, khususnya
pada talamus menyebabkan kehilangan sensorik, nyeri spontan, tremor
dan hemiparesis ringan. Jika oklusi terjadi di batang otak menyebabkan
nistagmus,
abnormalitas pupil, ataksia dan tremor postural (Hickey,
2003). d. Arteri Karotis atau Basilaris
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di da
yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anteerah
tersumbat menyebabkan hipokinesia, hemiparesis, hemianopsia. Oklusi prior
cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akanada
menyebab defisit sensorik. Oklusi total arteri basilaris menyebabkankan
tetraparese, para otot-otot mata serta koma. Oklusi pada cabang arterilisis
basilaris d menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, ponsapat
dan me oblongata (Silbernagl & Lang, 2007). dula
2.2.1 Definisi
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang
mempengaruhi distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2011) afasia merupakan
gangguan
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam bicara berbahasa. man,
spontan,
pemaha menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.
2.2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul ibat
ak cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau ietal
par yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke jalur
dan yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya etak
terl dihemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri kan
merupa tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006). rnya
Pada dasa kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh otak
stroke, cedera traumatik, perdarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80% oleh
afasia disebabkan infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya inya
jarang terjadi dan lokas tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi ncul
(Barthier, 2005). Afasia dapat mu perlahan seperti pada kasus tumor otak ftar
(Kirshner, 2009). Afasia juga terda sebagai efek samping yang langka ntuk
dari fentanyl, yiatu suatu opioid u penanganan nyeri kronis ( Aini, 2006).
b. Afasia Motorik
Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodman 44 dan
sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya tkan
meliba operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba lam
frontal da (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba ular
paraventrik (tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam atau
mengkoordinasikan menyusun fikiran, perasaan dan kemauan menjadi dan
simbol yang bermakna dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak ring
lancar, terputus-putus dan se dek-
pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata
kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata
bahasa (tanpa grammar). Contoh : Saya sembuh rumah kontrol
ya .. kon
..trol. Periksa lagi makan
banyak.
Seorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan
rangsangan yang diterimanya, hanya untuk mengekspresikannya
mengalami kesulitan. Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan
menjawab, rumah bapak dimana?, maka dengan menunjuk ke arah barat, dan
dengan kesal karena tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini
juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut
dengan disgraphia
(agraphia).
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat kuat sama terganggunya se
perti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dari pemahaman membaca tampak idak
t
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks
sering terganggu (misalnya memahami kalimat. Seandainya andaaya
berup untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini.
c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan olehluas
yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi ang
y paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri ada
media p pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini oleh
ditandai tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan rapa
menjadi bebe patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu itu saja, ya :
berulang), misaln iiya, iiya, iiya, atau : baaah, baaaah, baaah, atau :ang,
amaaang, amaa amaaaang. Komprehensi menghilang atau sangat nya
terbatas, misalnya ha mengenal namanya saja atau satu atau dua patah erat
kata. Repetisi juga sama b gangguannya seperti bicara spontan. ggu
Membaca dan menulis juga tergan berat. Afasia global hampir selalu ang
disertai hemiparese atau hemiplegia y
b. Kekurangan :
tor,
Penilaian FAST menjadi kurang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa
tian,
fak seperti gangguan lapang pandang, gangguan visual, tidak ada
perha konsentrasi yang menurun atau pasien bingung.
m tes
afasia diklinik, seperti Token Test /TT dengan 21 tugas (20 30 menit), Boston
Diagnostic Aphasia Examination/BDAE dengan 27 sub tes (1 3 jam),
Minnesota Test for Differential Diagnosis of Aphasia/MTTDDA (3 jam),
Functional Communication Profile/FCP dengan 45 fungsi (20 30 menit),
Communicative Abilities in Daily Living/CADL dengan 10 kategori perilaku (2-
3 jam) (Browndyke, 2002; Kusumoputro, 1992). Dari hasil beberapa penelitian
tentang
instrumen tersebut, tidak ada satupun evaluasi pengukuran yang membahas
seperti validitas dan relibilitas sebagai dasar dalam mengkaji afasia (Poslawsky,
Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010). Rata rata tes tersebut
memerlukan waktu paling cepat sekitar 20 menit dan paling lama sekitar 3 jam,
tentunya dapat sulit dilakukan pada pasien yang tidak toleransi dengan
waktu yang lama.
2.2.6 Penatalaksanaan
Afasia
lam
Rehabilitasi afasia saat ini berfokus pada status fungsional pasien afasia da
asia
melaksanakan aktivitas sehari hari (Sundin & Jansson, 2003). Rehabilitasi
ktif
af dapat memperbaiki pasien dengan gangguan berbahasa agar menjadi
utro,
produ atau memperbaiki kualitas hidupnya (Goldstein, 1987, dalam
alah
Kusumop
10).
1992). Penanganan yang paling efektif saat ini untuk mengobati afasia ad
ikan
dengan melakukan latihan wicara (Kirshner, 2009, Media Indonesia,
puti
20
aik.
Menurut Aini (2006), tujuan utama dari latihan wicara adalah
tian
mengembal
lam
kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Dalam hal ini meli
buat
percakapan, membaca atau menulis, mengkoreksi angka/kata lebih b
apat
Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
penger dan pemilihan kata yang digunakan. Tujuan spesifik meliputi :
kejelasan da ucapan, kemampuan dalam mengerti kata kata sederhana,
rti:
kemampuan mem perhatian dan kemampuan mengeluarkan kata kata yang
jika
solid/jelas dan d dimengerti.
Menurut Smeltzer & Bare (2002), pada dasarnya terdapat minimal empat hal
yang harus dilakukan perawat pada klien afasia yaitu : a) meningkatkan
harga diri positif b) meningkatkan kemampuan komunikasi c)
meningkatkand)stimulasi
pendengaran membantu koping keluarga.
Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah bahwa pasien afasia
tetap membutuhkan kesempatan mendengar pembicaraan orang lain secara
normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami afasia,
mendiamkan atau menganggap seolah olah pasien tidakmisalnya
memahami
pembicaraan keluarga, pasien akan merasa frustasi dan sakit hatih &
(Mulyatsi Ahmad, 2008).
Anggota keluarga dapat dianjurkan
:
dan
1. Mengucapkan bahasa yang sederhana dengan kata kata
pendek kalimat yang sederhana.
2. Mengulang isi kata atau menulis kata kunci untuk menjelaskan
arti.
bila
3. Mempertahankan percakapan seperti pada orang
dewasa.
4. Mengurangi distraksi seperti bunyi radio atau televisi yang dan
keras, memungkinkan saat berkomunikasi.
5. Melibatkan pasien afasia dalam percakapan dengan juk,
menanyakan meminta pendapat pasien.
6. Menganjurkan beberapa jenis komunikasi, seperti bicara,
menun gambar.
7. Hindari mengkoreksi ketika pasien kan
bicara.
8. Memberikan waktu untuk memahami
pembicaraan.
Menurut Salter, Foley & Teasell, 2010, peningkatan dukungan keluarga
yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah
tekanan jiwa dan depresi paska stroke. Dukungan keluarga yang dapat
diberikan pada pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat
dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.
Dimensi dukungan keluarga menurut Sarafino (2004), Friedman (2010) adalah :
a. Dimensi informasi
Dukungan ini berupa pemberian saran percakapan atau umpan balik tentang
bagaimana seseorang melakukan sesuatu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dimensi emosional
Dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian terhadap
seseorang, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau kan
didengar saat mengeluarkan perasaanya sehingga membuat pasien aik,
merasa lebih b memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki saat
dan dicintai pada stress. Dimensi ini memperlihatkan adanya dukungannya
dari keluarga, ada pengertian dari anggota yang lain terhadap anggota
keluarga dengan afasia.
c. Dimensi instrumental ung,
Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungan ini berupa bantuan langsatau
seperti bantuan mengerjakan tugas tertentu pada saat mengalami stress suk
penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain,
terma didalamnya selalu memberikan peluang waktu.dan dalam bentuk
uang. gan
d. Dimensi penghargaan ide
Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif gan
den orang orang disekitarnya, dorongan atau pernyataan yang setuju
terhadap
ide atau perasaan individu. Keluarga bertindak sebagai sebuah
bimbin umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah.
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul & effs,
J
uan
2008), AAC merupakan perangkat pendukung atau pengganti
kan
kemamp komunikasi verbal seseorang. Menurut Garret (2003) intervensi
kasi.
AAC merupa multimodal secara alami, seperti isyarat, tanda dan bantuan
AC
strategi komuni Menurut Poslawsky, Schuurmans, Lindeman &
kat,
Hafsteindottir (2010) A merupakan komunikasi non verbal, seperti isyarat,
ebut
atau menggunakan perang seperti papan alfabet, menu menu bergambar.
kasi
Dari ketiga pernyataan ters dapat disimpulkan bahwa AAC merupakan
alat bantu pengganti komuni verbal, seperti papan alfabet, isyarat dan menu
menu bergambar.
ram
08),
AAC merupakan salah satu media latihan wicara yang efektif sebagai
oleh
prog rehabilitasi pada pasien stroke dengan afasia. Menurut
kasi
Schlosser (20 intervensi AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal
AAC
ini didukung sistematik review Finke, Light & Kitko (2008), tentang
ntuk
efektivitas komuni perawat pada pasien dengan masalah komunikasi
kan
pada pengunaan menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu
ang
perawat dan pasien u berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain,
mengalami keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tidak mampu untuk
berpartisipasi secara verbal dalam interaksi komunikasi pada saat latihan wicara
(Beukelman et al., 2007).
2.4.2 Tujuan AAC
Tujuan utama penggunaan AAC adalah agar pasien dapat terlibat secara efektif
dalam interaksi dengan keluarga, teman, perawat dan petugas kesehatan lainnya
untuk mengatasi gangguan berkomunikasi (Beukelman et al, 2007 dalam Finke,
Light & Kitko (2008).
Pada umumnya berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini dapat
menggabungkan metode komunikasi yang menggunakan alat atau
tidak
menggunakan perangkat (Leonard La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011).
Metode akses spesifik yang dipilih tergantung pada kemampuan dan
keahlian pengguna (Wikipedia, 2011). Selain itu penggunaan AAC juga perlu
mempertimbangkan faktor faktor, seperti kemampuan pemahaman pasien,
karakteristik yang berhubungan dengan aspek sosial, kekuatan dan
kelemahan pembelajaran dan kemampuan intelektual.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberian AAC pada pasien afasia motorik adalah :
1. Perawat duduk berhadapan dengan pasien/di samping tempat dan
tidur pertahankan kontak mata.
2. Perawat memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada pasien dan arga
kelu
dan
maksud dan tujuan dilakukan latihan komunikasi dengan suara yang
jelas dapat dipahami oleh pasien.
saat
3. Hindarkan berbicara dengan suara yang keras/berteriak pada
ebih
berkomunikasi dengan pasien karena dapat membuat pasien merasa
l frustasi dengan keterbatasannya.
ang
4. Perawat dapat mulai berkomunikasi dengan memberikan AAC sederhana
y menggunakan bantuan dan tanpa bantuan, seperti :
a) Papan komunikasi/buku komunikasi
pan
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan. Pa
ang
komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan bagi pasien y
ang
tidak dapat membaca (buta huruf). Posisikan papan komunikasi
nyaman bagi pasien dan dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi
simbol simbol/gambar dapat berhubungan dengan nyeri/rasa
nyaman, emosi, posisi, kebutuhan aktivitas rutin sehari hari yang
familiar dengan pasien, seperti mandi, makan dan minum, BAB/BAK
dan istirahat. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan alat komunikasi
tersebut. Pasien dan keluarga dapat diperkenalkan penggunaan papan
komunikasi yang
berisi tampilan gambar. Ajarkan setiap simbol/ gambar yang ada
pada papan komunikasi. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap
bagian, misalnya bila pasien sedang marah/sedih, pasien dapat
menunjukkan bagian gambar emosi sedih/marah, bagian tubuh yang
menunjukkan pasien merasa tidak nyaman. Berikan waktu pada
pasien untuk memahami informasi yang diberikan. Jika pasien tidak
mampu mengidentifikasi simbol simbol gambar tersebut, ganti simbol
familiar, jelaskan hubungan antara simbol
gambar
dengan
menjadi
artinya
yang
dalam
lebih ntuk
be kalimat dan instruksikan pasien untuk mengulangnya dalam mbol
bentuk si lain. Misalnya simbol piring + sendok yang ngin
mengidentifikasi saya i makan. Bila pasien tidak dapat antu
mengidentifikasi, perawat dapat memb dengan menunjukkan mbar
gambar, kemudian perawat menanyakan ga apakah ini?
Gangguan mood dan ciri depresi biasa ditemukan, tapi seringkali tidak
mudah dikenali pada pasien paska stroke. Penelitian yang dilakukan Robinson
pada tahun
1997 melaporkan bahwa prevalensi DPS sangat bervariasi 20% -
65%. (Suwantara, 2004). Sebagian besar sekitar 40% pasien akan mengalami
depresi dalam 1 2 bulan pertama setelah stroke dan sekitar 10% - 20%
pasien baru mengalami depresi beberapa waktu antara 2 bulan sampai dengan 2
tahun setelah
stroke (Suwantara, 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan ole Sitet al
(2007) terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar8%.
4 aka,
Sementara menurut Meifi & Agus (2009), dalam sejumlah besar 53%
pust prevalensi DPS dapat terjadi sekitar 6 22% pada 2 minggu pertama,
22 setelah 3 4 bulan, 16- 47% pada tahun pertama.
obal
Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia r et
gl (71%:44%) (Amir, 2005). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian ebih
Signe al, (1989 dalam Amir, 2005) bahwa depresi pada pasien afasia asia
motorik l tinggi daripada global (63%:16%). Tingginya frekuensi depresi atan
pada pasien af motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran merekajuga
akan kecac fisit
/ketidakmampuan pasien. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motoriklaku
menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan atau
de pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan aitu
peri yang dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah,
agitasi, retardasi dan adanya pemeriksaan Dexamethason Serum Test (DST)
2.5.3 Etiologi
Depresi
Menurut Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009),
penyebab pasti DPS belum diketahui pasti, namun terdapat beberapa
teori yang menjelaskan faktor penyebab DPS, yaitu :
a. Faktor biologi
Walaupun penyebab depresi paska stroke tidak diketahui, namun
beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas otak memegang peranan otak.
Beberapa peneliti menyokong teori hubungan lateralisasi dengan DPS, tetapi
berdasarkan review yang dilakukan oleh Singh (1998) dan hasil
metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan bukti yang konsisten
antara lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, Ferro, Santos & Luisa, 2006).
Gejala
sebagai akibat lesi pada susunan saraf pusat DPS
otak dandapat
bisa ditimbulkan
juga akibat dari
gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif paska oke
str (Hawari, 2006; Storor & Byrne, 2006).
Depresi timbul sebagai akibat lesi pada daerah otak yang kan
menyebab terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga terjadi onin
penurunan serot yang merupakan neurotransmitter untuk mempertahankanetap
keadaan emosi t stabil. Penurunan serotonin menyebabkan gangguan dan
suasana hati, tidur nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan ikan
suasana hati dimanifestas dengan marah, frustasi, putus asa dan sering tian
menyebabkan depresi. Peneli melaporkan sebuah hasil yang signifikan otak
tergantung pada lokasi lesi dengan kejadian depresi paska stroke dilesiebut
hemisfer kiri. Penelitian ters juga menunjukkan adanya tingkat atas
keparahan depresi dengan jauhnya b anterior lobus frontalis walaupun kiri
demikian tidak semua lesi pada hemisfer menyebabkan depresi paska disi
stroke (Andri & Susanto, 2008). Pada kon depresi dapat terjadi dan
disregulasi biogenik-amin, seperti serotonin norepinephrin dan mik-
disregulasi neuroendokrin seperti aksis hipotala pituitary-adrenal.
c. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang terdapat pada pasien akibat dampak serangan stroke
memiliki hubungan dengan terjadinya DPS. Stroke dapat berdampak pada
berbagai fungsi tubuh, seperti gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa,
penglihatan, afek dan gangguan kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini
dianggap disability bagi pasien, sehingga menimbulkan perasaan tidak
berguna,
tidak ada gairah hidup dan keputusasaan. Keadaan ini selanjutnya
akhirnya dapat mendorong penderita kedalam gejala depresi yang berdampak
pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Pada pasien afasia mengalami
depresi akibat ketidakmampuan bercakap cakap dengan orang lain. Klien
juga tidak dapat berbicara melalui telepon, menjawab pertanyaan atau
terlibat melalui percakapan, sehingga menyebabkan klien marah, frustasi,
takut tentang masa depan dan perasaan hilangnya harapan (Smeltzer & Bare,
2002).
2.5.4 Faktor faktor yang Berhubungan dengan Depresi
Secara umum, faktor faktor yang berhubungan dengan depresi paska
st adalah : roke
c. Umur
Menurut Amir (2005), depresi lebih sering terjadi pada usia muda dengan
umur rata rata awitan antara 20 40 tahun. Walaupun demikian, depresi
juga dapat terjadi pada anak anak dan lanjut usia. Sedangkan menurut
Glemcevski et al
(2002) menyatakan bahwa usia lanjut sebagai faktor risiko terjadinya depresi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya terhadap 80 pasien stroke dengan
umur rata rata 58 (SD 12.5) tahun. Depresi paska stroke di usia lanjut
mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Peneliti lain, Farrel
(2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang
lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa muda. Sedangkan
berdasarkan
penelitian depresi
hasil paska stroke oleh Darussalam di rumah sakit Blitar
(20 faktor faktor seperti usia dan tingkat pendidikan bukan 11),
merupakan fa yang berpengaruh secara signifikan terhadap depresi ktor
paska stroke. H penelitian oleh Ardi (2011) menjelaskan bahwa usia, asil
jenis kelamin dan tin pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan gkat
terhadap keputusaan. Men Teori Depresi Beck (1967 dalam Dunn, 2005), urut
keputusasaan merupakan ge dari depresi. jala
d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko u
ntuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih ti
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan nggi
l
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yebih
mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki. ang
Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-
laki
5%-
12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walau
pun
depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada
aki-
l laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua (Amir, 2005). Sedangkan
urut
men Storor & Byrne (2006) tidak ada hubungan yang signifikan yang
kan
diantara skor dimensi depresi dan karakteristik usia, jenis kelamin. Sedangkan
menurut penelitian Laska (2007); Thomas & Lincoln, 2008) bahwa faktor
faktor yang mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia,
tingkat dukungan sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood. Hal ini
kemungkinan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan
dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan
pria.
Selain itu ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya
prevalensi depresi pada wanita, misalnya depresi premenstruasi, postpartum,
postmenopouse (Amir, 2005).
f. Kemampuan fungsional
Kerusakan kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang palingelas
j terlihat. Defisit motorik, meliputi kerusakan mobilitas, fungsirasi,
respi menelan dan berbicara, reflek gag dan kemampuan melakukanhari
aktivitas se tuan
hari (Lewis, 2007). Lebih dari 30% pasien stroke membutuhkanlitas
ban dalam aktivitas sehari hari dan sekitar 15% membutuhkan bantuan10).
di fasi pelayanan seperti rumah sakit dan pusat rehabilitasiiliki
(Swierzewski, 20 ang
Ketidakmampuan fisik menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimnya
pasien, sehingga dapat menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri06),
y bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupgan
(Suwantara, 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dahlin et al (20
009)
ada hubungan
menyatakan bahwa yang antara
ada hubungan signifikan antara
gangguan tingkat
fungsi depresi
motorik berupa
paresis dengan depresi paska stroke ( p: 0.002). Penelitian Darussalam (2011)
juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan fungsional
dengan depresi responden (p: 0.014). Sedangkan menurut hasil penelitian Ardi
(2011), terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik
dengan keputusasaan pada pasien stroke (p : 0.007).
g. Dukungan
keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa
dukungan keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari
orang lain atau kelompok sekitar yang membuat penerima merasa
nyaman, dicintai dan dihargai serta dapat menimbulkan efek positif
bagi dirinya. Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat
menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa
dan menangkal
(Salter, Foley & Teasell, 2010). Berdasarkan hasil depresi paska
penelitian olehstroke
Mantet al
(2000) menyatakan bahwa ada hubungan keluarga dengan peningkatan
aktivitas sosial dan kualitas hidup pasien stroke. Selain itu dukungan keluarga
dapat membantu perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke,
pendidikan pasien, keefektifan dan efisiensi penggunaan sumber aya
d perawatan kesehatan (Huang et al, 2010). Sedangkan berdasarkan asil
h penelitian yang dilakukan oleh Darussalam (2011), didapatkan ada
tidak perbedaan yang signifikan (p = 0.681) rata rata dukungan tara
keluarga an tidak depresi dengan depresi.
kan
Instrumen penelitian Aphasic Depression Rating Scale (ADRS)
dan
dikembang oleh Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier pada tahun 2004 untuk
DRS
mendeteksi mengkaji depresi berdasarkan observasi perilaku pada pasien
item
afasia. A digunakan pada pasien yang memiliki afasia karena strokedan
y &
terdiri dari 9 yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale
ting
(HDRS), Montgomer Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
eda
Salpetriere Ratardation Ra Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
iliki
menambahkan setiap item yang berb pada setiap item, dengan jumlah total
sien
skor yang diperoleh 32. ADRS mem titik potong 9/32 yang dipakai untuk
akin
menentukan adanya depresi pada pa dengan afasia, dengan kesimpulan
semakin tinggi skor yang diperoleh sem menunjukkan gejala depresi.
afek,
bahasa/bicara)
b. Sensasi/persepsi (biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran
terhadap nyeri dan suhu)
c. Kontrol motorik (gerakan ekstremitas atas dan
bawah)
d. Fungsi kandung
kemih
Sebelum memberikan latihan wicara pada pasien, penting dalam melakukan
pengkajian dan menentukan jenis/macam gangguan wicara. Dalam proses
pengkajian ini peran perawat sangatlah penting, walaupun dalam
pelaksanaan terapi wicara merupakan tindakan kolaborasi, perawat tetap dituntut
dapat melakukan pengkajian yang tepat, cepat dan cermat, sehingga dapat
didentifikasi jenis gangguan wicara dengan tepat. Identifikasi yang cepat dan
tepat memungkinkan pasien untuk dilakukan latihan wicara bahasa segera
intensif
secara oleh tim rehabilitasi secara
multidisiplin.
Semua pengkajian itu akan lebih baik jika kita tambahkan dari hasil
obser pada klien dalam situasi komunikasi perawat klien sehari hari, vasi
tanpa k merasa sedang dikaji. Pengkajian ini penting dilakukan secara lien
mendetail u mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta ntuk
penyebab dari gangg tersebut, sehingga dapat diberikan intervensi yang uan
tepat. Selama pengka observasi kelemahan, nyeri dan frustasi (Hoeman, jian
1996). Oleh karena pa afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang sien
mereka inginkan, sehin seringkali pasien menjadi frustasi, marah, gga
kehilangan harga diri dan emosi pa menjadi labil. Keadaan ini pada sien
akhirnya menyebabkan pasien menjadi dep (Mulyatsih & Ahmad, 2010). resi
Berdasarkan kondisi diatas, maka perawat p erlu
melakukan pengkajian psikososial pada pasien afasia untuk memberikan
intervensi yang tepat.
009)
mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien stroke terkait
dengan gangguan fungsi komunikasi dan bahasa adalah gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi dalam otak.
Diagnosa gangguan komunikasi verbal didefinisikan oleh Johnson et al
(2001); Wilkinson (2005) sebagai suatu pengalaman individu yang
menurun atau tidak ada dalam
kemampuan menerima, memproses, mentransfer dan menggunakan simbol
simbol (Potter & Perry, 2005; Berman, Snyder, Kozier & Erb,
2008).
Stroke
Tidak mampu
mengungkapkan apa yang
diinginkan
Tidak dapat menjawab g Outcome
pertanyan dan iteria :
berpartisipasi en dapat
dalam percakapan Nursingkomunika
F Crn
1. tuhan
Pasi
2. Depresi men rnya
3. aktor berpengaruh : sika en dapat
Umur kebuingkatkan
Nursing Intervention Clasification: dasaampuan
4. Jenis kelamin Peningkatan kemampuan komunikasiny
Pasi
Frekuensi serangan komunikasi
fisik
stroke men
Pasien`dapat
5. Dukungan keluarga Rehabilitasi Nursing berkomunikasi
Augmentative and tanpa frustasi
alternative communication dan marah
therapy/AAC
(Sumber: Ignatavicius & Workman, 2010; Lumbantobing, 2011; Silbernagl & Lang, 2007; Black
& Hawks, 2009; Potter & Perry, 2005; Gulanick/Myers, 2009)
BAB 3
KERANGKA KONSEP,
HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL
Perancu :
Umur
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga
c. an kelompok
Ada kontrol dan
hubungan intervensi.perancu
variabel terhadap kemampuan
fungsional komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik pada
kelompok intervensi.
d. Ada hubungan variabel perancu terhadap depresi pasien stroke dengan
afasia motorik pada kelompok intervensi.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup suatu variabel yang
diamati atau diukur. Definisi operasional juga berguna untuk mengarahkan
kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel -variabel yang
bersangkutan serta pengembangan instrumen. Definisi operasional variabel-
variabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.1
Ko Independent Nominal
de munikasi Pemberian alat bantu Menggunakan 1 : kelompok
aungan komunikasi non verbal yang lembar kontrol yang
altgmentative and diberikan oleh peneliti dengan observasi diberikan
co ernative menggunakan media perawat yang
komunikasi
(Ammunication/
prosedur
komunikasi seperti buku berisi
non
AC) komunikasi yang berisikan pelaksanaan
verbal
kebutuhan aktivitas sehari latihan sesuai standar
hari, foto, majalah, musik/lagu rumah sakit
dan alat tulis untuk 2 = kelompok
memfasilitasi komunikasi intervensi
pasien disertai dengan latihan yang
diberikan komunikasi sederhana
komunikasi berorientasi pada kemampuan
dengan AAC menunjukkan gambar,
sesuai menyebutkan/penamaan,
pedoman yang pengulangan, membaca,
disusun oleh mengeja dan menulis yang
peneliti dilakukan sebanyak 3 kali
dalam sehari dengan frekuensi
waktu 30 menit setiap kali
pemberian selama 10 hari dan
pemberian komunikasi oleh
keluarga menggunakan
pedoman kebutuhan aktivitas
sehari hari yang disusun oleh
menyebutkan/penamaan,
pengulangan, membaca,
mengeja dan menulis dan
dilakukan selama 90 menit
Dependent
Depresi pada Gangguan emosional yang Menggunakan Dinyatakan Interval
pasien afasia terjadi setelah serangan stroke lembar dalam rentang
pada pasien afasia dengan tanda observasi 0 32
dan gejala, antara lain Aphasic
insomnia, kecemasan, gejala Depression
somatik fisik/gastrointestinal, Rating Scale
kesedihan, agitasi, (ADRS)
hipokondriasis kelelahan
atau
kehilangan energi dan diukur
pada hari ke 11 sesudah
Kemampuan pemberian AAC
Kemampuan dalam Menggunakan Dinyatakan Interval
fungsional mengekspresikan, memahami lembar dalam rentang
komunikasi dan berinteraksi dengan orang observasi Derby 0 24
lain, keluarga atau perawat Functional
untuk mencapai aktivitas sehari Communication
hari dan diukur pada hari ke Scale
11 sesudah pemberian AAC
Confounding
mur Jumlah tahun sejak lahir hingga Menggunakan Umur
U Interval
dalam ulang tahun terakhir kuesioner dan tahun
status pasien
nis kelamin Gender yang dibawa sejak lahir Menggunakan 1 = Laki-
Je laki pada pasien stroke yang kuesioner dan 2= Nominal
Prempuan dibedakan antara jenis kelamin status pasien
laki laki dan perempuan
ekuensi Jumlah kejadian stroke yang Menggunakan 1: 1 kali
Fr angan stroke pernah dialami oleh pasien kuesioner dan 2: > 1 Nominal
ser kali
status pasien
Ketidakmampuan Kemampuan pasien`untuk Menggunakan Dinyatakan Interval
fisik melakukan aktivitas sehari- hari kuesioner dan dalam rentang
yang meliputi makan, mandi, status pasien 0 100
merawat diri, berpakaian,
buang air besar, buang air kecil,
menggunakan toilet, berpindah,
mobilitas dan menggunakan
tangga dengan menggunakan
kuesioner Barthel Index yang
dapat dinilai pada hari ke 11
sesudah melakukan intervensi
pada kelompok kontrol dan
intervensi
Du kungan Bantuan yang diterima individu Menggunakan Jumlah Interval
kel
skor uarga dari anggota keluarga dalam kuesioner
merawat pasien stroke dengan yang terdiri atas jawaban
15 item respon tentang
afasia motorik yang meliputi
pertanyaan dukungan
empat dimensi dan diukur pada dengan alternatif keluarga
hari ke 11 yaitu : jawaban dibagi total
a. Dimensi emosional menggunakan item
Dukungan yang diberikan skala Likert pertanyaan
keluarga kepada pasien untuk yang
pertanyaan dinyatakan
afasia yang melibatkan
positif, yaitu : dalam rentang
ekspresi, empati dan 1 : tidak pernah 15 60
c. Dimensi instrumental
Dukungan keluarga dalam
bantuan langsung
mengerjakan tugas tertentu
atau penyediaan sarana
terkait perawatan pasien
stroke dengan afasia
motorik
d. Dimensi informasi
Dukungan keluarga dalam
pemberian saran atau umpan
balik terkait perawatan
pasien stroke dengan afasia
mtorik
Skema 4.1
Rancangan Penelitian
Dibandingkan
O1 O2 = X1
4.2.2 Sampel
Sampel adalah subjek yaitu sebagian dari populasi yang dinilai nya
karakteristik diukur oleh peneliti dan nantinya dipakai untuk menduga dari
karakteristik populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sesuai dengan desain ilan
penelitian, pengamb sampel dilakukan secara terpilih sesuai dengan kriterialusi
inklusi. Kriteria ink adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh lam
subyek agar dapat ikut da penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Kriteriaalah
inklusi sampel tersebut ad sebagai berikut :
a. Pasien yang didiagnosa stroke hemoragik dan non hemoragik yang mengalami
afasia motorik. Penentuan afasia motorik dibuat berdasarkan format hay
Frenc sien
untuk mengkoordinasikan atau menyusun fikiran, perasaan dan kemauan
menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain, tetapi pasien
masih mempunyai pemahaman yang baik. Bicara lisan tidak lancar,
terputus- putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain.
Apabila bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Kemampuan
berbicara pasien afasia setara dengan kemampuan menulis.
c. Kesadaran komposmentis yang dapat dinilai secara kualitas pada saat
berinteraksi dengan pasien, seperti mampu mengikuti perintah dan ada
kontak mata dengan peneliti.
d. Pasien yang ditunggu oleh keluarganya dan terlibat dalam latihan komunikasi
e. Pasien dan keluarga bersedia menjadi responden
n1 = n 2 : Besar sampel
Keterangan :
Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Dengan demikian, aka
m besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan simpang baku diatas, dan nilai yang ditetapkan oleh eliti
pen
sebesar 5.7 maka didapatkan jumlah sampel :
13.7
5.7
2.802
6.9
n =n =2
8
19.3
3
n=n =2
n = n = 2 ( 2.416) esar
maka
n = n = 2 5.838
didapatkan jumlah sampel 13.3 (dibulatkan 13), sehingga jumlah sampel untuk
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi masing-masing adalah 13
responden.
Dahlan (2006) menyatakan power penelitian perlu dihitung kembali karena besar
sampel yang diperoleh tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dari asil
h pengolahan data dari depresi, diperoleh rata-rata depresi pada kelompok trol
kon (n1)=11 l ada ah
. 9( 64 1) dengan SD1 1.29. Sedangkan rata-rata pada
depresi kelompok intervensi) (n2=10
l .ada(ah 8 30 2) dengan SD2 1.16.
(1 - 2) n/ 2
Z = ------------------ - Z
S
Keterangan :
Z = Kesalahan tipe II
Z = Kesalahan tipe I 5% ( dua arah = 1,96)
1 = rata - rata yang diamati satu
2 = rata - rata yang diamati dua
n = jumlah sampel per kelompok
S = standar deviasi gabungan masing-masing kelompok.
Selain itu menurut Roscoe (1982) dalam Sugiyono (2009), penentuan besar
sampel penelitian ekspremen sederhana adalah sebesar 10-20 sampel untuktiap
se kelompok, sehingga berdasarkan pertimbangan diatas, jumlah sampelgap
diang memenuhi untuk jenis penelitian eksperimen sederhana ini.
iliki
2. Construct Validity ( validitas konstruk)
ini
Merupakan validitas yang menggambarkan seberapa jauh instrumen
kan
mem item item pertanyaan yang dilandasi oleh konstruk tertentu.
ini
Validitas menunjukkan bahwa instrumen disusun berdasarkan aspek
mpel
aspek yang a diukur dengan berlandaskan teori tertentu,
truk
selanjutnya instrumen dikonsulkan kepada ahli. Setelah itu dilakukan uji
mampu membedakan nilai/hasil pengukuran antara satu individu dengan
lainnya (Darma, 2011)
abel
Hasil uji validitas dan reabilitas dengan degree of freedom 10-2 =8 (r
idak
t
ebut
0.632). Pada kuesioner dukungan keluarga terdapat pertanyaan yang
item
t valid yaitu pertanyaan nomor 8, 9,10 dan 13, sehingga pertanyaan
arga
ters dikeluarkan dari instrumen. Selanjutnya pertanyaan yang valid
gan
adalah 15 dengan nilai validitas (r 0.724 0.863. Jumlah pertanyaan
aitu
dukungan kelu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15
pertanyaan den pertimbangan ke 15 pertanyaan tersebut telah
memenuhi 4 dimensi, y dimensi informasi, instrumental, emosional dan
ran.
penghargaan.
sten
kan
b. Reliabilitas (kehandalan) yaitu tingkat konsistensi dari suatu penguku
oleh
Reliabilitas menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data
. , ji il i ri t r t . , i tr men
konsi jika instrumen digunakan kembali secara berulang. Prosedur yang
tersebut reliable (Dharma,
2011).
4.9.2 Tahap
Teknis
Adapun prosedur pengumpulan data sebagai berikut
:
sten
Data penelitian dikumpulkan oleh peneliti dan dibantu oleh 5 orang asi
aten
peneliti yang terdiri dari 1 orang asisten peneliti berasal dari RSUD Kabup
rang
Garut, 2 orang asisten peneliti dari RS UD Kota Tasikmalaya dan dan 2
ikan
o asisten peneliti berasal dari RSUD Kota Banjar dengan latar belakang
.
pendid S1 keperawatan dan memiliki pengalaman di ruang neurologi
minimal 5 tahun
tara
kasi
Sebelum melakukan penelitian, maka dilakukan persamaan persepsi an
resi,
peneliti dan asisten peneliti dengan memberikan penjelasan terkait dan apli
ang
pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi, penilaian dep
a. Pelatihan ini diberikan kepada 5 orang perawat yang telah dipilih sebelumnya.
b. Materi pelatihan ini (1) pengkajian/skrining FAST berdasarkan
aspek
kemampuan pemahaman, pengucapan, menulis dan membaca dan
memberikan skor penilaian (2) cara menilai kemampuan fungsional
komunikasi (3) penilaian depresi (4) penilaian ketidakmampuan fisik (5)
cara pemberian
komunikasi dengan AAC yang berorientasi pada tugas menunjuk
gambar, penamaan, mengulang, menulis, membaca dan mengeja huruf. .
c. Metode pelatihan berupa ceramah, tanya jawab, demonstrasi dan
pengisian instrumen pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi,
depresi dan ketidakmampuan fisik. Evaluasi yang diharapkan dalam
pelatihan ini adalah
dengan cara tanya jawab, kemudian asisten peneliti diminta untuk
medemonstrasikan kembali cara melakukan penilaian afasia, kemampuan
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan pengisian man
pedo pemberian komunikasi dengan AAC. Setelah itu peneliti sten
meminta asi mencoba menggunakan instrumen penelitian erta
kepada pasien s mengumpulkan data tentang skor FAST, DFCS, dan
ADRS, Barthel I ndex dukungan keluarga. Selanjutnya kelima inta
asisten juga dim mendemonstrasikan pemberian komunikasi sien
dengan AAC terhadap pa stroke dengan afasia motorik.
Pertemuan 3 : ien.
a) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/ keluarga
pas
erti
Catat irama bicara, berhenti atau kalimat monoton, produksi
suara.
b) Peneliti meminta pasien menunjukkan objek disekitar ruangan,
sep jendela, pintu, lampu, meja, kursi yang disebutkan oleh peneliti.
Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan
den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu
s benda yang ada didekat pasien, misalnya piring, gelasuruf
(menyebutkan h p, g).
Pertemuan 3 :
a) Minta pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang pendek dioran
k dan kemudian minta pasien untuk membaca kembali apa yangbaca
di pasien dengan suara yang keras.
b) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
c) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu yang ukai
dis
pasien.
Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.
b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan memerintahkan untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan
den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu
s benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu (menyebutkanuruf
h m, p).
c) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumahakit,
s atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau hobinya.
Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila pasien mengalami
kesulitan atau menyelesaikan percakapannya.
b) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan sien
pa (mengingatkan memori pasien tentang kata kata dalam dan
lagu mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).
Pertemuan 2 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman pasien
yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yangkan
dima pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunciatau
jam dan tanyakan nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan lam
da penamaan objek (anomia).
c) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi ada
p hal - hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau num
mi obat, buang air besar atau pada saat akan istirahat, dengan hal
menanyakan
hal yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.
Pertemuan 3 : ugas
a) Keluarga memberikan komunikasi dengan AAC pada tugas t ulis
pengucapan, penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan mbar
men yang berhubungan dengan kegiatan sehari hari, rga/
menunjukkan ga yang ada dibuku komunikasi atau yang ada
Pertemuan 3 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, seperti apa yang dimakan pasienada
p sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti dan
pulpen meminta pasien untuk menyebutkannya.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menunjukkan pada buku komunikasi apa yangtkan
disebu peneliti, seperti saya memerlukan sepatu, saya lapar danan,
ingin mak saya capek , saya ingin tidur, diluar gelap, tolong
hidupkan lampu. mari,
b) Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti le nda
meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk menyebutkan
be yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya kembali.
shampoo.
Pertemuan 2 :
a) Minta pasien untuk mencari kata yang diucapkan oleh peneliti, kemudian
mencari kata tersebut dalam buku komunikasi tersebut, seperti saya mau
menelepon, saya mau wudhu, cuaca diluar dingin, saya mau air
buang kecil, buang air besar, saya memerlukan kacamata, saya duk
ingin du bersandar, saya ingin miring ke kanan.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama teman - temannya, nama sien
pa disampingnya/anaknya
b) Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf gian
pertama/seba kata.
12. Hari IX :
Pertemuan 1 :
a) Meminta pasien untuk menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
di hp atau foto, teman atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
b) Kemudian minta pasien untuk menuliskannya di kertas atau papan yang
disediakan.
Pertemuan 2 :
a) Bercakap cakap dengan pasien dalam melakukan kegiatan sehari hari,
seperti mandi, mengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat bercerita
tentang tempat tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan kepada
pasien keluarganya atau bidang minatnya.
tentang
Pertemuan 3 :
a) Membacakan sesuatu (dari koran, misalnya), atau bersama s
mendengarkan lagu yang disukai pasien. Minta pasien uama
menyebutkan yang disebutkan peneliti/keluarga dan mengulangntuk
kembali. nya
13. Hari X :
Pertemuan 1 :
a) Tunjukkan buku komunikasi dan minta pasien untuk menyebu
gambar gambar yang ada dibuku komunikasi, seperti kebututkan
makan, minum, istirahat dan tidur. han
b) Minta pasien menyebutkan benda benda yang ada disekitar
pas seperti bantal, selimut, lemari. ien,
Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lagu yang disenangi pasien, peneliti bersama pa
bernyanyi bersama, minta pasien menyanyikan kata/kalimat padasien
l agu,
dan meminta mencoba mengulangi
menyanyi.
Pertemuan 3:
a) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya.
Langkah langkah pada penelitian ini dapat dilihat pada skema 4.2 berikut ini :
Skema 4.2
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Memastikan diagnosa pasien adalah
stroke hemoragik dan non hemoragik (melalui
status)
Hari XI : Hari XI :
Penilaian kemampuan fungsional Penilaian kemampuan
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan komunikasi, depresi,
fisik dan dukungan keluarga ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga
4.10 Pengolahan dan Analisis Data
4.10.1 Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, maka data dianalisis melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Pengecekan data (Editing)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan, kejelasan dan kesesuaian
data, mulai dari karakteristik responden, skrining afasia, penilaian
kemampuan fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik
dan
keluarga.
dukungan
b. Pemberian kode (Coding)
Koding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka/bilangan. Kode ini meliputi : kelompok (kelompok data
kontr ol =
1 dan intervensi = 2), kode jenis kelamin (laki laki 1 dan 2),
perempuan kode frekuensi serangan stroke =1 kali =1 dan > 1 kali = 2).
c. Pemrosesan data (Entry)
Pada tahap ini dilakukan kegiatan memasukan data ke paket program
komputer sesuai dengan variabel masing-masing secara teliti untuk
meminimalkan kesalahan.
d. Pembersihan data (Cleaning)
Merupakan upaya untuk memastikan data yang dimasukkan saat data
entry telah seluruhnya dan tidak ada kesalahan.
Variabel Dependen
1 Kemampuan Fungsional Numerik/Interval Mean, Median, SD,
Komunikasi Min- Mak, 95% CI
2. Depresi Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
3 Umur Variabel
Numerik/ Interval Mean, Median, SD, Min-
Confounding Mak, 95% CI
4 Jenis Kelamin Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
5 Frekuensi serangan stroke Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
6 Ketidakmampuan fisik Numerik/ Interval Mean, Median, D, Min-
S Mak, 95% CI
7 Dukungan keluarga Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan tara
an dua variabel. Untuk menentukan jenis uji yang digunakan terlebih aka
dahulu, m dilakukan uji homogenitas dan normalitas. Uji homogenitas tiap
dilakukan pada se data antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. iuji
Untuk data kategorik d dengan uji Chi-Square dan untuk data numerik test.
digunakan uji Independent t- Apabila nilai p > 0.05, maka data disebut mua
homogen. Hasil yang didapatkan se data yang didapat homogen, artinya abel
semua data memiliki kesetaraan pada vari perancu, seperti umur, jenis dan
kelamin, frekuensi stroke, ketidakmampuan fisik dukungan keluarga. abel
Sedangkan untuk uji normalitas data dilakukan pada vari numerik dengan uji
membagi nilai skewness dengan standar error. Hasil normalitas untukisik,
variabel umur, dukungan keluarga, ketidakmampuan f data
terdistribusi dengan normal, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
parametrik dengan tingkat kemaknaan 95% (alpha 0,05). Artinya jika p value
<
0.05, maka hasilnya bermakna yang berarti Ho ditolak atau ada pengaruh. Tetapi
jika p value > 0.05, maka hasilnya tidak bermakna yang berarti Ho diterima atau
tidak ada pengaruh. Analisis bivariat yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 4.2 Uji Statistik Ana lisis B ivariat Analisis
Homogenitas Kelompok Kontrol, lntervensi dan
Variabel Perancu
tik
Pada bab ini akan disajikan data tentang pengaruh pemberian komunikasi
dengan ugmentative and alternative communication terhadap kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi berupa analisis univariat dan bivariat.
Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas data dan uji
kesetaraan
perancu. Pada analisa univariat akan disajikan hasil distribusipada variabel abel
frekuensi
vari
resi.
konfounding, dan variabel kemampuan fungsional komunikasi dan
dep rata
5.1.1 Umur
ntrol
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata umur pada kelompok
usia
ko adalah 61.55 tahun (SD = 5.98) dengan umur termuda adalah 53 tahun
95%
dan tertua 70 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa diyakini bahwa umur rata-rata antara 57.52 tahun sampai dengan
65.57 tahun. D=
11.89) dengan umur termuda 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa umur rata-
rata antara 54.19 tahun sampai dengan 71.21 tahun.
Rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 62.10 tahun (95%
CI : 57.97 66.22) dengan standar deviasi 9.055 tahun. Umur termuda 42 tahun
dan umur tertua 76 tahun, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95%
diyakini rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
diantara
57.97 tahun sampai dengan 66.22
tahun.
dan
Rata rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok kontrol
682.
intervensi adalah 10.86 (95% CI : 10.09 11.62) dengan standar deviasi
masi
1. Kemampuan fungsional komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14, hasil
onal
esti interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata kemampuan
mpai
fungsi komunikasi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara
10.09 sa dengan 11.62.
5.1.5 Depresi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata depresi pada kelompok kontrol
adalah
9.64 (SD = 1.28) dengan depresi terendah adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata
antara 8.77 sampai dengan 10.50.
Sedangkan rata-rata depresi pada kelompok intervensi adalah 8.30 (SD = 1.16).
Depresi terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 10. Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata antara 7.47
sampai dengan 9.13.
Rata rata depresi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 9.00 (95% CI
:
8.37 9.63) dengan standar deviasi 1.378. Depresi terendah 7 dan tertinggi 13,
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata
pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara 8.37 sampai dengan
depresi
9.63
.
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
dan
Frekuensi Serangan Stroke Pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
Umur
Kontrol 11 61.55 5.98 1.81 - 0.277 0.786
Intervensi 10 62.70 11.89 3.76
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol 11 25.00 8.06 2.43 -0.309 0.760
Intervensi 10 26.00 6.58 2.08
Dukungan Keluarga
Kontrol 11 45.73 3.52 1.06 -1.195 0.247
Intervensi 10 47.30 2.31 0.73
onal
Berdasarkan hasil analisis tabel 5.5 didapatkan rata-rata kemampuan
viasi
fungsi komunikasi responden kelompok kontrol adalah 10.64 dengan
den
standar de
lisis
1.748, sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi
lrespon
i l j t j il i . ( . . ). rti tidak
kelompok intervensi adalah 11.10 dengan standar deviasi 1.663. Hasil kasi
p value
Depresi 1.336
Kontrol 11 9.64 1.1
0.388
Berdasarkan hasil analisis tabel tabel 5.6 didapatkan rata-rata depresi pada
mpok
kelo kontrol adalah 9,64, sedangkan rata rata depresi kelompok intervensi adalah
Hasil
8.30. uji statistik didapatkan p = 0 022 pada = 0 05 A nya e dapa pe
. . . rti t r t r yang
bedaan bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi.
Variabel r p value
Umur -0.144 0.691
Dari tabel 5.7 di atas diperoleh nilai r = - 0,144 dan nilai p = 0,691. Artinya
hubungan antara umur responden dengan kemampuan fungsional komunikasi
menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif. Semakin
bertambah umur responden, semakin berkurang kemampuan fungsional
komunikasinya .
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur dengan kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,691).
Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada Kelompok
Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Frekuensi
Laki laki serangan stroke 6 11.00 2.098 0.856
1 kali 5 12.00 1.225 0.548
>1 kali 5 10.20 1.643 0.735 0.085
Sesuai tabel 5.8 di atas menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p >
0.05 (p =
0.831). Sedangkan pada frekuensi serangan stroke menunjukkan tidak ada
hubungan bermakna dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p
>
0.05 (p = 0.085).
Variabel r p value
Umur -0.395 0.258
Ketidakmampuan fisik 0.539 0.108
Dukungan Keluarga -0.493 0.147
Dari tabel 5.9 di atas diperoleh nilai r = - 0,395 dan nilai p = 0,258. Artinya
hubungan antara umur responden dengan depresi menunjukkan hubungan ang
y sedang dan berpola negatif. Semakin bertambah umur responden, akin
sem menurun depresinya. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada ang
hubungan y signifikan antara umur dengan kemampuan fungsional .
komunikasi (p = 0,258)
nilai
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = 0,539 dangan
p = 0,108. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden akin
den depresi menunjukkan hubungan yang kuat dan berpola positif. nya.
Sem bertambah ketidakmampuan fisik responden, semakin bertambah tara
depresi Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan an ketidakmampuan fisk dengan depresi (p = 0,108).
inya
Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,493 dan nilai p = 0,147. kan
Art hubungan
hubungan antara
yang dukungan
sedang keluarganegatif.
dan berpola responden dengan
Artinya depresibertambah
semakin
dukungan keluarga responden, semakin menurun depresinya. Hasil uji
statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga
dengan depresinya (p = 0,147).
Tabel 5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Depresi pada Pasien Afasia Motorik pada Kelompok Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember 2011
p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Laki laki 6 8.00 1.265 0.516
Perempuan 4 8.75 0.957 0.479 0.346
Frekuensi serangan stroke
1 kali 5 9.00 1.000 0.447 0.048*
>1 kali 5 7.60 0.894 0.400
* Bermakna pada 0. 05
Sesuai tabel 5.10 di atas, menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan depresi dengan nilai p > 0.05 ( p = 0,346). Sedangkanada
p frekuensi serangan stroke menunjukkan hubungan bermakna dengan depresi
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.048).
BAB 6
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan dan dijelaskan makna hasil penelitian yang meliputi :
interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan pada
bab lima, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan serta bagaimana implikasi
hasil
penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan dan pengembangan
penel berikutnya guna peningkatan kualitas asuhan keperawatan. itian
Stroke a. Umur
Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak
apat
diubah, menurut AHA/ASA (2006) menyatakan bahwa seseorang yang
sudah berumur diatas 55 tahun akan berisiko menderita stroke dua kali lipat
dibanding usia dibawah 55 tahun. Stroke pada usia ini diprediksi berkaitan
dengan masalah aterosklerosis yang banyak dialami oleh pasien-pasien usia
lanjut. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, semua responden
memiliki faktor resiko hipertensi. Pada klien-klien dengan hipertensi, tekanan
darah yang tinggi secara
perlahan akan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan
mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisma, inilah yang memicu
terjadinya stroke pada klien dengan hipertensi.Hal ini juga diperkuat oleh Feigin
(2004) bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun, setelah
mencapai umur 50 tahun dan setiap penambahan umur tiga tahun meningkatkan
risiko stroke sebesar 11 20%.
Umur termuda responden pada kelompok intervensi adalah 42 tahun, ini tergolong
sebagai stroke umur muda. Menurut Pinzon (2009), definisi umum ang
y digunakan pada berbagai penelitian epidemiologi untuk stroke umur muda alah
ad stroke yang terjadi pada umur kurang dari 45 tahun. Menurut hasil itian
penel Lipska, et al (2007) menunjukkan bahwa stroke usia muda yak
paling ban disebabkan oleh sindrom metabolik. Komponen sindrom apat
metabolik yang d teramati dalam penelitiannya adalah : peningkatan /dl),
trigliserida (> 150 mg penurunan kolesterol HDL (dibawah 40 mg/ dl),arah
peningkatan tekanan d (diatas 130 mmHg untuk sistolik atau diatas 85 dan
mmHg untuk diastolik), peningkatan kadar gula puasa diatas 100 mg/ dl.pula
Pasien akan dinyatakan mengalami salah satu dari komponen sindroma dah
metabolik tersebut, bila su terkonfirmasi menderita penyakit yang termasukatau
dalam sindroma metabolik, sedang mendapat terapi (misalnya mendapat
terapi statin untuk dislipidemia).
nen
Selain itu, hasil penelitian Lipska, et al (2007) juga menemukan bahwa alah
kompo sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke umur us).
muda ad kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darahroke
(50% kas Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden dua
kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya adalah
tingginya kadar kolesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi. Hipertensi
dan hiperlipidemia merupakan dua faktor resiko terjadinya stroke.
Hiperlipidemia terutama kolesterol dan trigliserida, peningkatannya akan
memicu terjadinya aterosklerosis yang bisa mencetuskan terjadinya stroke.
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terjadi penebalan dan hilangnya
elastisitas arteri. Umumnya
proses arteroskeloris ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteri
besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis berserabut, sedangkan sel-sel
ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga
lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Kondisi
inilah yang memicu terjadinya penurunan sirkulasi darah ke otak yang
menyebabkan terjadinya stroke.
b. Jenis Kelamin
mlah
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden memiliki ju
serangan 1`kali sebanyak 11 orang (52.38%). Selain stroke yang 1 kali,kan
ditemu
10 orang responden (47.62%) mengalami stroke >1
kali. oke
kan
Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari
onal
str akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka a
sien
mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut Nati
tu 5
Stroke Association (2009), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hr, 5-14%
pa stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam
wak tahun. gan
u 5
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
aktu
seran stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%-43%
24-
dalam wakt tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami
dan
stroke dalam w
) roke
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam
nggi
waktu
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga
akan berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)
d. Ketidakmampuan Fisik
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah
46.48. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak banyak perbedaan
yang didapatkan rata rata dukungan keluarga antara kelompok kontrol
(45.73) dan intervensi (47.30). Berdasarkan penilaian dukungan keluarga yang
dimodifikasi dari teori dukungan keluarga dan kuesioner dukungan keluarga
Yenni (2011), dukungan keluarga dalam penelitian ini memiliki rentang 15
yang dapat diperoleh adalah semakin tinggi nilai dukungan60.maka
Kesimpulan baik
semakin dukungan keluarga.
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat dilakukan pada pasien afasia
menurut NIC adalah penggunaan perangkat elektronik, papan alfabet, papan
gambar/ flash card yang berisi gambar kebutuhan dasar, stimulus visual, alat
tulis, menggunakan kata kata yang sederhana, memberikan bahan bahan
yang
gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley & berisi(2011);
Ladwig tulisan atau y &
Ackle Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, &
Hinkle Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan komunikasi ensi
diatas, interv tersebut merupakan bagian dari AAC.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Johnson, Hough, King, Vos
& Jeffs (2008) yang melakukan penelitian penggunaan komunikasi dengan
AAC terhadap 3 orang pasien afasia berat kronik menggunakan high technology
dengan
melibatkan keluarga dalam waktu 1 jam, 3 4 hari/minggu selama 3 bulan
didapatkan hasil 1 orang menunjukkan pemahaman dan penamaan jek,
ob sedangkan 2 orang pasien terdapat peningkatan dalam pemahaman ran,
pendenga sedangkan ke 3 orang pasien terdapat penurunan dalam kan
pengulangan. Sedang hasil penelitian yang dilakukan oleh David et al sell,
(1989 dalam Salter, Tea Bhogal, Zettler, Foley, 2010) terhadap latihan ntuk
wicara yang dirandom u mendapat latihan wicara oleh terapi wicara dan tkan
volunter tidak terlatih didapa tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua cara
kelompok terhadap skor tes wi menggunakan Functional Profile
Communication (FCP).
idak
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menjadi nya
t signifikan dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu singkat aiki
ha erat
10 hari. Waktu 10 hari ini mungkin tidak maksimal untuk memperbapat
kemampuan fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena b ini
stroke dan derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan terdpok
variasi pada setiap individu dalam hal waktu pemulihan. Pada penelitiankah
intervensi yang diberikan oleh peneliti diberikan sama kepada kedua kelomruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia. Faktor lain seperti
kemampuan kognitif, umur tua dan kehadiran beberapa anggota keluarga yang
mendampingi pasien berganti-ganti yang ditemukan pada hari ke 8 dan 9
(terdapat 2 keluarga) yang bergantian menunggu pasien, sehingga peneliti
harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang ulang kepada
keluarga. Semua faktor ini tentunya dapat mempengaruhi kemampuan fungsional
komunikasi pasien.
Meskipun demikian, walaupun tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan fungsional komunikasi setelah pemberian komunikasi dengan AAC,
tetapi terdapat perbedaan ratarata antara kelompok kontrol (10.64) dengan
kelompok intervensi (11.10) setelah diberikan komunikasi dengan AAC.
Perkembangan yang ditemukan dalam penelitian ini terlihat 2 orang
responden
pada kelompok intervensi terjadi peningkatan produksi suara, walaupun
tidak
terdapat peningkatan kemampuan berkomunikasi, responden tersebut
menggunakan komunikasi non verbal dengan isyarat dan menunjuk yangada
dibuku komunikasi atau benda yang ada disekitarnya untuk ikan
mengkomunikas kebutuhan dasarnya. Kedua pasien tersebut dapat ang
merespon salam y disampaikan melalui ekspresi wajah dan dapat alau
berinteraksi dengan peneliti w sebentar.
ada
6.1.2 Pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap depresi
p pasien stroke dengan afasia motorik
ang
dapat terjadi setiap saat setelah stroke tapi biasanya dalam beberapa bulan
pertama. Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20-50% pasien stroke
dalam tahun pertama setelah stroke, dan kejadian puncaknya diperkirakan pada 6
bulan poststroke. Sit et al (2004) dalam penelitiannya terhadap 95 pasien stroke
menemukan kejadian depresi pada 48 jam setelah masuk rumah sakit sebesar
69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Menurut Amir (2005) frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik
daripada afasia global (71%:44%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Signer et al, (1989 dalam Amir, 2005), menjelaskan bahwa depresi pada pasien
afasia motorik lebih tinggi daripada global (63% :16%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran
mereka akan kecacatan/ketidakmampuan pasien (Amir, 2005).
Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau apat
d
oleh
terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan
perti
stroke. Berbagai dampak stroke terjadi pada berbagai fungsi tubuh, se
uan
gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa, penglihatan, afek dan
gga
gangg kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini dianggap disability bagi
aan.
pasien, sehin menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak ada gairah hidup
ang
dan keputusas Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita kedalam
hasil
gejala depresi y berdampak pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Hal
perti
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa
sial,
faktor biologi se frekuensi serangan stroke, keparahan gangguan berbahasa
pada
dan faktor psikoso seperti kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan
sia,
terjadinya depresi afasia. Selain itu menurut Schub & Caple (2010),
atau
meningkatnya derajat afa peningkatan keparahan stroke, penurunan
aruh
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian
merupakan faktor yang berpeng terjadinya depresi.
itif,
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kogn
rro,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Fe
jadi
Santos & Luis, 2006). Pasien juga akan menarik diri dari kegiatan sosial,
pada
men rendah diri setelah stroke, hasil rehabilitasi yang jelek, serta
dan
berdampak
pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008). Kondisi ini
menyebabkan pasien akan merasa frustasi dengan keadaannya. Hal ini akan
memiliki dampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya. (Ginkel et al, 2010).
Pemulihan stroke membutuhkan waktu yang lama dan proses yang sulit.
Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak
memberikan
efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program rehabilitasi sebelum
mereka meninggalkan rumah sakit mengakibatkan mereka mulai
berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Akhirnya mereka merasa
hopelessness dan tak berdaya. Kondisi ini menambah semakin parah
depresinya (Sarafino,
2006).
Penggunaan alat bantu visual seperti gambar, tulisan dengan beberapa kata
ku alat tulis dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi pasien afasia
nci,
(Clark
son,
2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa efekti
fitas
terapi afasia akan meningkat jika latihan menggunakan bentuk stimulus
udio
a dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar
erta
gambar s lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
sesi
mengikuti terapi afasia. Sedangkan mengajak pasien bercakap cakap
rapi
uan
komunikasi (Holland, 1982 dalam Kusumoputro,
1992).
Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien afasia dengan kemampuan
ekspresi verbal minim (Kusumoputro, 1992; Prins & Maas, 1993;
Wirawan,
2009). Pemberian stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan
lagu sebelum pasien sakit akan lebih bermanfaat dengan memfungsikan
hemisfer kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami kerusakan. Selain
itu terapi
musik juga dapat digunakan pasien depresi untuk mengekspresikan
emosinya, sehingga dapat mengurangi depresi paska stroke (American Music
Association,
2005). Penggunaan media, seperti musik bermanfaat untuk
meningkatkan relaksasi dan memberikan rasa nyaman sehingga dapat
menghambat sensasi kecemasan, ketakutan, ketegangan serta mengalihkan
perhatian dari pikiran- pikiran yang tidak menyenangkan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Kemper & Danheur (2005) bahwa musik dapat memberikan efek bagi
peningkatan stres
mengurangi kesehatan,
dan mengurangi nyeri.
Musik yang sesuai dengan selera pasien mempengaruhi sistem limbik dan
s otonom, menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan araf
sehin merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid gga
(GABA), enkef dan beta endorphin yang akan mengeliminasi alin
neurotransmitter rasa nyeri mau kecemasan sehingga menciptakan pun
ketenangan dan memperbaiki suasana pasien (Greer, 2004). hati
a. Umur
Beberapa hasil penelitian dan literatur menjelaskan bahwa faktor umur apat
d mempengaruhi efektifitas rehabilitasi afasia, antara lain kecepatan ihan
pemul wicara pasien, kemampuan fungsional dan munculnya penyakit ktor
penyerta/ fa risiko, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan kasi.
fungsional komuni Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian dan
Chefez, Dickstein, Laufer Marcovitz (2001) menyimpulkan bahwa roke
proses pemulihan pada pasien st tergantung dari umur pasien, faktor sial.
serangan, stroke berulang dan status so Pendapat ini didukung oleh hasil atan
penelitian Mc. Caffrey (2008), bahwa kecep pada
usia anak-anak, khususnya pada stroke. Menurutnya kecepatan
penyembuhan pada orang dewasa memiliki prognosis yang buruk oleh karena
neural plasticity. Pendapat ini didukung oleh Kusumoputro (1992) dari hasil
observasinya dijumpai bahwa proses pemulihan afasia dewasa dapat
terjadi dalam waktu lama. Menurutnya banyak pasien yang masih
mengalami derajat afasia berat dalam 3 bulan dan dapat mengalami
perbaikan bermakna setelah 3 atau 12 bulan
kemudian. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Culton (1971) dan Sarno (1981)
yang menjelaskan bahwa faktor umur tidak mempengaruhi
penyembuhan berbicara (Kusumoputro, 1992).
Selain itu faktor umur juga mempengaruhi kemampuan fungsional paska roke
st terhadap pelaksanan rehabilitasi. Pendapat ini didukung oleh ang
penelitian y dilakukan oleh Bagg, Pombo & Hopman (2002) tentang dap
efek umur terha kemampuan fungsional pasca stroke didapatkan hasil kan
bahwa umur merupa faktor yang menentukan kemampuan fungsional dap
pasca stroke terha pelaksanaan program rehabilitasi. Menurut Petrina usia
(2007) pasien lanjut seringkali tidak dapat mengikuti program rehabilitasi kan
sebagaimana yang dilaku pada pasien stroke dengan umur yang lebih muda lami
karena intoleransi yang dia oleh mereka dalam melakukan aktivitas latihan.
Penlitian ini sejalan dengan penelitian oleh Paolucci et al (2003), bahwa umur
tua memiliki risiko 10 kali lipat untuk mendapatkan respon yang buruk dalam
rehabilitasi dibandingkan umur lebih muda.
Hasil penelitian ini sesuai yang didapatkan pada waktu penelitian yaitu
sebagian besar responden berumur tua, sehingga kadang-kadang responden
tampak kurang
konsentrasi dengan pelaksanaan latihan sehingga mempengaruhi outcome
penelitian. Tetapi umur ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kemampuan bicara pasien stroke, faktor selain luar umur ikut
juga mempengaruhinya seperti tingkat keparahan stroke dan status fungsional
sebelum stroke.
d. Ketidakmampuan fisik
gik.
Ketidakmampuan fisik dapat terjadi pada stroke hemoragik dan non hemorakan
Stroke menyebabkan penurunan perfusi serebral sehingga dapat terjadiuan
kerusa pada korteks motorik. Kerusakan pada area ini menyebabkanang,
terjadinya gangg transmisi impuls yang ditandai adanya paresis ataugian
paralisis (Silbernagl
besar responden &L
mengalami hemiplegi dan ditunjukkan dengan nilai barthel
indek pada kelompok intervensi sebesar 26.00, sehingga dapat
mempengaruhi hasil rehabilitasi.
Namun demikian berdasarkan hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik dengan kemampuan
fungsional komunikasi responden (p : 0.461) dan menunjukkan hubungan
yang
lemah dan berpola negatif (r = -0.264). Hal ini kemungkinan disebabkan karena
dalam penelitian ini jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n =
10), sehingga tidak didapatkan perbedaan dalam kemampuan fungsional
komunikasi pada afasia motorik. Selain itu waktu penelitian yang relatif
singkat (10 hari) kemungkinan dapat mempengaruhi hasil terhadap kemampuan
fungsional komunikasi.
e. Dukungan Keluarga
a. Umur
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa depresi paska stroke dapat terjadi ada
p umur tua. Menurut Glemcevski, et al (2002) bahwa umur lanjut sebagai ktor
fa risiko terjadinya depresi (p:0.034). Hasil penelitian ini didukung olehrrel
Fa (2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang tua
lebih dibandingkan dengan orang dewasa muda. Periode depresi pada ebih
lansia l panjang dan kemungkinan kambuh meningkat dengan umur. Depresiroke
paska st di umur lanjut mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan nya
berkurang neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi.
Berbeda dengan hasil penelitian Amir (2005), bahwa depresi lebih sering terjadi
pada umur muda dengan umur rata rata awitan antara 20 40 tahun.tnya
Selanju menurut Gum, Snyder & Duncan (2006) bahwa pasien stroketua
yang lebih cenderung melaporkan gejala depresi lebih sedikit dibandingkansien
dengan pa yang lebih muda (p: 0.12).
Namun berbeda dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada
hubungan signifikan antara umur dengan depresi (p : 0.258) dan iliki
mem kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatif (r = -0.395). akin
Artinya sem oleh
faktor selain umur, seperti pengalaman/informasi yang didapatkan sehingga
mempengaruhi mekanisme koping pasien untuk meningkatkan adaptasinya.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatoye (2009)
yang menyatakan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian depresi
paska stroke (p= 0.82). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Arslan,
Celebioglu dan
Tezel (2009) yang melaporkan tidak adanya hubungan umur dengan depresi dan
keputusasaan.
b. Jenis kelamin
c. Frekuensi serangan
Stroke
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata- rata depresi pada frekuensi
gan
seran stroke 1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata rata depresi pada
si >
frekuen
ebih
1 kali. Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak l
apat
luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pend
rkan
Silbernagl & Lang (2007) bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasa
kali,
area serebri yang terkena. Walaupun frekuensi serangan stroke terjadi 1
nan,
namun bila stroke mengenai lobus frontalis pada hemisfer kiri domi
urut
kemungkinan pasien akan mengalami afasia dan gangguan mood.
asa,
Men pendapat Price & Wilson (2002), lobus frontalis mengatur fungsi
soi,
berbah kemampuan motorik dan kepribadian. Menurut hasil penelitian Lee,
kan
Tang, T Fong & Yu, (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri lebih sering
bus
menyebab depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi
kan
mendekati lo frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
oleh
stroke berulang a melipatgandakan jenis serta beratnya defisit. Hasil
apat
penelitian ini didukung Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi &
ogik
Agus (2009), bahwa terd beberapa teori yang menjelaskan faktor
ada
penyebab DPS, yaitu faktor biol seperti lesi otak dan faktor psikososial.
gga
Depresi timbul sebagai akibat lesi p daerah otak yang menyebabkan
terjadi penurunan serotonin yang merupakan neurotransmitter untuk
mempertahankan keadaan emosi tetap stabil. Penurunan serotonin menyebabkan
gangguan suasana hati, tidur dan nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
suasana hati dimanifestasikan dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
menyebabkan depresi.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka luasnya kerusakan otak pada
serangan stroke yang memperberat gangguan dapat dinilai dari hasil pemeriksaan
CT-Scan. CT-Scan merupakan salah satu prosedur diagnostik penting untuk
menentukan klasifikasi stroke (iskemik, perdarahan intraserebral dan
subarakhnoid), letak lesi, jumlah perdarahan dan deteksi proses patologik diotak
secara langsung (Rasyid & Soertidewi, 2007; Iskandar,2003). Menurut Iskandar
(2003) semakin cepat waktu waktu antara timbulnya perdarahan subaraknoid
maka tingkat keberhasilan diagnosa lebih(PSA)
tinggi,
dengan
umumnya
saat pemeriksaan,
sebelum 24 jam
pertama. Pendapat ini berbeda dengan hasil penelitian pada 6 orang den
respon kelompok intervensi yang dilakukan CT-Scan, didapatkan lesi pada kiri
hemisfer pada lobus frontalis. Walaupun prosedur ini sangat penting kan,
untuk dilaku namun tidak seluruh pasien dilakukan pemeriksaan diagnostik. ang
Faktor biaya y harus dikeluarkan secara pribadi bagi pasien yang memilih gga
jalur umum, sehin sering menolak pelaksanaan prosedur ini. Selain itu CT-
belum adanya fasilitas Scan dirumah sakit, seperti RSUD Kabupaten ujuk
Garut, sehingga harus mer pasien ke Rumah Sakit Hasan Sadikin ngin
(RSHS) Bandung bila pasien i melakukan CT-Scan dan membayar
sendiri.
oke
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil analisis statistik frekuensi serangan ang
str terhadap depresi pada pasien afasia motorik menunjukkan kali
hubungan y signifikan dengan nilai p : 0.048 dengan frekuensi ensi
serangan stroke 1 mempunyai rata - rata depresi yang lebih tinggi ada
dibandingkan dengan freku serangan stroke > 1 kali. Frekuensi serangan
stroke 1 kali juga didapatkan p sebagian besar responden pada kelompok
kontrol.
e. Dukungan keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa gan
dukun keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari atau
orang lain kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman, rgai
dicintai dan diha serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya. gan
Peningkatan dukun keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi pentingatau
dalam mengurangi mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke (Salter, 0).
Foley & Teasell, 201
ngat
Lebih lanjut Bosworth (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga saang
berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota keluarganya. Kondisi fisik idak
y dialami oleh pasien yang menderita stroke akan mengakibatkan pasienrga.
t percaya pada dirinya, merasa tidak mampu, tidak berarti dan tidak lam
berha Selain itu proses penyembuhan dan rehabilitasi pada stroke dapat ikan
terjadi da waktu yang lama, sehingga membutuhkan bantuan keluarga
dalam member perencanaan dan memberikan aspek perencanaan (Smeltzer &gan
Bare, 2002). lalu
Hal yang terlihat
mendampingi selama penelitian
responden, merawat dansemua responden alat
memberikan mendapatkan
bantu komunikasi.
Namun demikian hasil analisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga
terhadap depresi (p : 0.147). Hal ini kemungkinan disebabkan dalam
penelitian ini, jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n = 10),
sehingga tidak didapatkan pengaruh dukungan keluarga terhadap depresi pada
afasia motorik.
6.2 Keterbatasan Penelitian
b. Waktu Penelitian
Waktu latihan komunikasi pada penelitian ini tergolong singkat yaituama
sel
uan
10 hari. Hal ini mungkin tidak maksimal untuk memperbaiki
dan
kemamp fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena
ada
berat stroke derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan
kan
terdapat variasi p setiap individu dalam hal waktu pemulihan.
Hal
Sebaiknya latihan ini dilaku satu sampai dengan tiga bulan untuk
6
mengevaluasi kemajuan komunikasi. ini disesuaikan dengan lama
pemulihan pasien afasia yang berkisar 3 bulan.
c. Instrumen penelitian
ang
Keterbatasan yang dirasakan selama penelitian adalah instrumen y
resi
digunakan untuk menilai kemampuan fungsional komunikasi dan dep
uran
dalam rentang nilai ini melibatkan asisten peneliti serta menggunakan uk
acuan kurang terstruktur/terarah. Walaupun sudah dilakukan uji
interrater, tetapi pada instrumen kemampuan fungsional komunikasi
masih membutuhkan acuan/alat yang membuat penilaian menjadi lebih
objektif diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk instrumen penilaian
depresi, tidak semuanya dilakukan observasi dan ada beberapa item
observasi yang perlu dikembangkan agar penilaian observasi lebih objektif.
d. Proses pelaksanaan
penelitian
Selama proses penelitian, terdapat beberapa kendala yang kurang memenuhi
sasaran pemberian komunikasi dengan AAC (rehabilitasi), yaitu
kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien berganti-
ganti, sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang
berulang ulang kepada keluarga. Selain itu pelaksanaan AAC diberikan
sama kepada semua afasia motorik tanpa mempertimbangkan keparahan
afasia, sehingga kondisi
ini kemungkinan dapat mempengaruhi outcome.
Pemberian komunikasi dengan AAC pada pasien stroke dengan afasia mot
orik
mempunyai dampak positif mampu mengkomunikasikan kebutuhannya me
lalui
pemberian buku komunikasi, majalah, foto, musik/lagu dan alat tulis, sehin
gga
dapat menurunkan depresi pada pasien afasia motorik. Komunikasi merupa
kan
salah satu kebutuhan dasar menurut Henderson untuk mengekspresikan piki
ran,
pendapat dan perasaan.
Penanganan pasien stroke yang mengalami afasia pada saat ini hanya kus
berfo pada penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu komunikasi pada asia
pasien af hanya diberikan isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi gga
latihan, sehin tidak sepenuhnya mendukung pasien untuk memfasilitasi dan
komunikasi meningkatkan komunikasi pasien selama di rumah sakit.idak
Perawat t mengetahui kalau pasien mengalami afasia, karena tidak nya
mendeteksi ada afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak ini
dilakukan. Keadaan tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif pola
seperti memperlambat penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi lam
karena ketidakmampuan da berkomunikasi.
Sesuai dengan peran perawat dalam rehabilitasi stroke, perawat dapat eran
berp
sebagai caregiver, educator dengan memberikan informasi tentang
pentingnya keterlibatan keluarga dalam pelaksanaan latihan komunikasi dan
fasilitator dalam penyembuhan pasien dan manajer perawatan. Perawat juga
sebaiknya menerapkan caring dalam memberikan asuhan keperawatan,
memberikan motivasi agar tidak mengalami depresi. Selain perawat,
keterlibatan keluarga juga merupakan salah
satu bentuk dukungan yang diperlukan dalam pelaksanaan latihan
komunikasi, baik selama di rumah sakit ataupun di rumah.
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Karakteristik pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Garut, Banjar
dan Tasikmalaya adalah sebagian besar berumur 62.10 tahun, sebagian
besar ke 1
berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar memiliki frekuensi serangan
stro kali, sebagian besar memiliki nilai ketidakmampuan fisik 25.48 dangian
seba besar memiliki nilai dukungan keluarga 46.48.
b. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan fungsional komunikasi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan
AAC dengan yang tidak diberikan AAC.
c. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai depresi pada pasien strokegan
den afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan AAC denganidak
yang t diberikan AAC.
d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna variabel perancu terhadapuan
kemamp fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasiaang
motorik y diberikan AAC.
e. Terdapat hubungan bermakna frekuensi serangan stroke 1kali terhadapesi
depr pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan AAC.
7.2 Saran
Berkaitan dengan beberapa kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang an
disarank pada penelitian ini yaitu :
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
1. Mensosialisasikan penggunaan AAC untuk memfasilitasi komunikasi
pasien afasia motorik, seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah,
foto, musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi pada pasien
afasia motorik.
2. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pemberian AAC
pada pasien stroke dengan afasia motorik.
3. Menjadikan AAC sebagai intervensi keperawatan untuk memfasilitasi
komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien stroke
dengan afasia motorik mengingat tugas perawat saat ini hanyak
berfokus pada penanganan penanganan fisik saja. Perawat juga tidak
mengetahui pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi adanya
afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak dilakukan. Keadaan
ini tentunya akan memperlambat pola penyembuhan dan pasien akan
mengalami
karena ketidakmampuan
depresi dalam berkomunikasi.
4. Mengadakan pelatihan AAC pada pasien stroke dengan afasia, se
melakukan pengkajian afasia, depresi dan pelaksanaan perti
pembe komunikasi dengan AAC. rian
Abramson, L.Y., Metalsky, G. I., & Alloy, L.B. (1989). Hopelessness Depression
: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358
-372.
Ackley, B.J., Swan, B.A., Ladwig, G.B & Tucker, S.J. (2008). Evidence ased
b sby
nursing care guidelines medical surgical interventions. USA :
Mo
Elseiver. oke.
987
AHA/ASA. (2006). Primary prevention of ischemic str
http://stroke.ahajournals.org/cgi/ content/full/37/6/ 1583#FIG 1173
diperoleh tanggal 14 Juni 2011. apy.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. gan
Jakar asca
FKM UI.
Ardi,
Arslan,M.S.,(2011). Analisis
Celebioglu, A., hubungan ketidakmampuan
& Tezel, A. fisik and
(2009).`Depression dan Hopelessness
kognitif den in
Turkish Patients with Cancer Undergoing Chemotherapy. Japan Journal of
Nursing Science,6, 105-110.
Beck, A.T., Weissman., Lester, D., & Trexler, L. (1974). The measurement of
pessimism : The hopelessness scale. Journal of Consulting andical
Clin Psychology, 42 (6), 861-865.
Benneth, H.E., Thomas, S.A., Austeen, R., Moris, A.M.S., & Lincoln, N.B.
(2006). Validation of screening measures for assessing mood in roke
st patients. British Journal of Clinical Psychology, 45 (Part 3), 367 376.
September 2006.
Benneth, H.E., & Lincoln, N.B. (2006). Potential screening measures for
depressions and anxiety after stroke. I nternational Journal of and
Therapy Rehabilitation. Vol.13(9). diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.
pts,
Berman., Snyder., Kozier., & Erb. (2008). Fundamentals of Nursing : .
Conce
Process and Practice (8th ed.). New Jersey : Pearson International
Edition
uda.
Berthier, M.L. (2005). Post Stroke. Review Article.
Bhogal, S.K., Teasel., Foley., & Speechley. (2004). Lesion location and
poststroke depression: systematic review of the methodological limitations
in the literature. U.S. National Library of Medicine. Stroke. 2004
Mar;35(3):794-
802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2005). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes (7th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
Bourgeois, M.S., Dijkstra, K., Burgio, L., & Burge, R.A. (2001). Memory aid
as an augmentative and alternative communication strategy for nursing home
residents with dimentia. AAC Augmentative and Alternative
Communication, Volume 17: 196-210.
Dahlin, F., Billing, E., Nasman, P., Martenson, B., Wreding, R., & Murray, V.
(2006). Post-stroke depression effect on the life situation of the significant
other. Scandinavian Journal of Caring Sciences , 20(4): 412-6 (34 ref).
Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling., Billing, E., & Murray, F.
(2007).
Predictors of life situation among significant others of depresses or
aphasia stroke patients. Journal of Clinical Nursing, 17: 1574 1580.
September
2007.
Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A systematic review of mens
effectiveness of nurse communication with patients with com
communication needs with a focus on the use of augmentative and
alterna communication. Journal of Clinical Nursing. 2008 Aug; 17 (16)wing
:
June
dan
the
plex
tive
115.
atan
Ganong. (1998). Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC.
Gaag, A. (2005). Therapy and support services for people with long-term
stroke and aphasia and their relatives: a six - month follow-up clinical
rehabilitation,
19: 372 - 380.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokeran. Edisi 3.
Jak tion
: EGC. ical
Hasnita, E. & Sanusi, R. (2006). Ciri-ciri, iklim organisasi, dan kinerja ten
perawat di instalasi rawat inap RS dr. Achmad Moechtar Bukittinggilisis
ta
2005. Yogyakarta: KMPK UGM.
rbit
Hastono, S.P.
FKUI. (2007). Basic data analysis for health research training :
Huang, C. Y. Hsu, M.C., Hsu, S.P., Cheng, P.C., Lin, S.F., & Chuang,
C.H. (2010). Mediating roles of social support on poststroke depression and
quality of life in patients with ischemic stroke. J Clin Nurs.Volume 19, Issue
19-20 pages 26712956.
Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (1996). Keperawatan kritis pendekatan
holi stik.
Edisi 6. Editor Yasmin Asih. Jakarta : EGC.
Li, S. C, Wang, K. Y., & Lin, J. C. (2003). Depression and related factors
in elderly patients with occlusion stroke. Journal of Nursing Research .Vol
II. No. I.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juli 2011.
Loretz, L.(2005). Primary care tools for clinician a compendium of forms,
questionnaires and rating scales for everyday practice. St.Louis, Missouri:
Mosby, Inc.
Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan
mental.
Cetakan 14. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Lund, S.K., & Light, J. (2003). The effectiveness of grammar instruction
for individuals who use augmentative and alternative system : A
preliminary study. Journal of Speech Language and Hearing Research,
46 (5), 1110
Lund1123.
, S.K., & Light,
Oktober J. (2007). Long term outcomes for individuals who
2003.
augmentative and alternative communication : Part III contributing
fact Augmentative and alternative communication , vol 23 (4),323 335. use
ors.
Martini,S. (2002). Gangguan kognitif pasca stroke dan faktor resikonya.
B Kedokteran Masyarakat XVIII (4) 2002 hal.195.
erita
Mc Dowell, J., & Nowell, D.K. (2001). Dimension of the event that
influ psychological distress. An evaluation and synthesis of the
literature. In Kaplan (Ed). Psychosocial stress. Trends in theory and ence
research, h. 33 Newyork : Academic Press. H.B.
103.
Meifi., & Agus, D. (2009). Stroke dan depresi paska stroke. Majalah
kedokt
Damianus. Vol.8 No.1. Januari 2009. Diperoleh pada tanggal 20 Mei eran
2011.
Nys, G., Zandvoort, M. J. E., Worp, V. D., Haan, D., Kort, D., & Kappelle, L. J.
(2005). Early depressive symptoms after stroke: neuropsychological
correlates
and lesion characteristics. Journal of the Neurological Sciences.Volume 228,
Issue 1.
Oh, M., Yu, K., Roh, J., & Lee, B. (2009). Gender Differences in the
Mortality and Outcome of Stroke Patients in Korea. Cerebrovascular
Diseases, 28(5),
427.
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2001). Essentials of nursing arch
rese methods, appraisal, and utilization (5th ed.). Philadelphia :
Lippincott.
and
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2004). Nursing research,
principles methods, 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
and
Potter, P.P., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing concept :
Theory practice. (6th ed.). Philadelphia : Mosby Year Book.
10).
Powlawsky, I.E., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., & Hafsteinsdottir, T.B. asia.
(20
A systematic review of nursing rehabilitation of stroke patients with
aph oses
Journal of Clinical Nursing. 2010 Jan; 19 (1-2) : 17-32. ease
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-pr
penyakit. Edisi 6. (Terj.dari Pathophysiologi Clinical Concepts ofwith
Dis Process, Brahm U. Penditetal.). Jakarta : EGC.
Purdy, M., & Diez, A. (2010). Factors influencing AAC usage by cara
individuals aphasia. Speech Language Pathologi/ Audiology, 19 (3) : 8 itas
Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya. (2011). Data Rekam Medis RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2009-2010.
Rice, D.A. (2001). Life events and depressions. The plot thickens. American
Journal of Community Psychology.20 (2)`: 179 193.
Rowat, A., Lawrence, M., Horsburgh, D., Legg, L., & Smith L. (2009).
Stroke research questions : A nursing perspective. British Journal of
Nursing, 18(2),
99-105. Januari 2009.
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik kesehatan. Edisi revisi. Jakarta:
FKM UI.
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification
of aphasia poststroke : A review screening assesment tools. Brain injury,
20(6) :
559- 568. June 2006.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas berwarna patofisiologi.
Bahasa Iwan Setiawan & Iqbal Mochtar . Cetakan I. Jakarta : EGC. e in
mily
Sit, J.W.,Wong, T.K.S., Clinton.,Li,L.S.W., & Fong, Y.M. (2004). Stroke
car the home : The impact of social support on the general health
of fa caregivers. Journal of Clinical Nursing, 13: 816-824. ong
rch;
-------------. (2007). Associated factors of post-stroke depression among
H Kong Chinese: A longitudinal study. Psychology, Health &
Medicine,Ma dah
12(2): 117 125. e 3.
Smeltzer , S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarths textbook of medical surgical nursing (11th ed.). Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins.
Sundin, K., Jansson, L., & Norberg, A. (2000). Communicating with people with
stroke and aphasia : understanding throught sensation without words.
Journal of Clinical Nursing. Vol.9 : 481 488.
No Kegiatan'
: Peneliti : Amila
NPM : 0906505086
kasi
Peneliti akan memberikan alat bantu komunikasi untuk memfasilitasi
kan
komuni pasien dengan gangguan komunikasi. Adapun hasil penelitian ini
kasi
nanti a direkomendasikan sebagai masukan dalam pencegahan terjadinya
kompli pada stroke.
edia
Penelitian ini tidak bersifat memaksa, apabila Bapak/Ibu/Saudara/I
dan
bers menjadi peserta penelitian, silahkan menandatangani kolom di
aya
bawah ini mengisi kuesioner yang tersedia. Dengan persetujuan yang
atau
diberikan s mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk
jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Peneliti akan menjamin
kerahasiaan identitas peserta penelitian dengan hanya akan mencantumkan
nomor sebagai
kode peserta penelitian.
Hormat Saya,
Amila
ihak
Selanjutnya, saya bersedia secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
p manapun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
,...............................2011
Responden Peneliti
(......................................) (Amila)
KUISIONER PENELITIAN
Petunjuk Pengisian
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan mengisi titik-titik dan memberi
tanda ceklis ( ) pada kolom yang disediakan
Identitas responden
No. responden :
Alamat : .................................................................................
.
.........................................................................
. No Telp/HP : ...............................................
......................... Keterangan : kelompok kontrol/kelompok
intervensi
Karakteristik pasien
Umur : tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Persiapan Tes :
Pastikan pasien dapat mendengar kita dengan baik, suara harus jelas
Alat : kertas bergambar (kartu bergambar), pensil, kertas, stopwatch
No Aspek Item Penilaian Skorin
g
Komunikasi
1. Pemahaman Perhatikan gambar pemandangan dan
gambar bentuk ini, dengarkan apa yang
saya katakan dan tunjukkan gambar yang
dimaksud. Jika meminta pengulangan
instruksi berarti nilainya error. Berikan
skor 1 untuk setiap jawaban yang benar.
Skor 0 10.
1. Skema pemandangan
alam a. Sawah
b. Gunung
c. Pohon
d. Orang ditengah sawah
e. Rumah dipinggir sawah
2. Gambar bentuk :
a. Persegi panjang
b. Persegi empat
Keterangan :
c. Afasia sensorik, yaitu jika pasien sering menyebutkan kata/kalimat yangidak
t sesuai dan tidak bermakna. Pasien kesulitan dalam pemahaman
(komprehensif). Hal ini ditandai dengan bahasa yang lancar tapi tidak sesuai
(nyambung) dengan pertanyaan, panjang kalimat normal, artikulasi baik.
d. Afasia motorik jika pasien dapat mengerti instruksi, tapi sulit
mengungkapkannya dalam kata atau membentuk kalimat secara lengkap.Hal
ini dapat ditandai dengan bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan ring
se ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya dek-
pen pendek dan monoton.
e. Afasia global jika pasien mengalami afasia sensorik ataupun motorik. l ini
Ha
Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang
sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu
itu saja, berulang), pemahaman menghilang atau sangat terbatas.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi tingkat
kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi kemampuan
3. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Menanya
kepada teman/keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi, tekan
observasi langsung juga penting. tapi
Ekspresi (E) Pemahaman (P) Inter
aksi (I)
0 Tidak mampu Kurang atau tidak Sedikit atau
t mengekspresikan kebutuhan menunjukkan pemahaman. interaksi.idak ada
(Ti dan tidak berusaha menarik (Tidak menunjukkandak
merespon sal perhatian. ekspresi muka apapun, tidakam, bisa
tertawa atau tersenyum
ada respon atau memberikan dalam yang tidak
situasi respon yang tidak sesuai)
pantas.) danya
1 Tidak mampu Menunjukkan tanda-tanda Menyadari aang lain,
mengekspresikan kebutuhan, pemahaman bahwa orang kehadiran orak mata dan
tetapi menunjukkan usaha lain sedang berusaha untuk melalui, tetapi tidak
kont pasien untuk berkomunikasi. mengkomunikasikan posturteraksi secara
tubuh sesuatu, tetapi tidak dapat mampu berinalnya melalui
memahami bahkan pilihan spesifik (mis
sederhana ya/tidak. salam).
lam dan
2 Menggunakan komunikasi Memahami beberapa pilihan Merespon sayang
non-verbal (misalnya isyarat, sederhana dengan dukungan signal sosialmelalui
menunjuk dengan jari, non-verbal (misalnyah (misalnya
suara untuk mengekpresikan cangkir, menunjuk tersenyum dan cemberut).
kebutuhan dasar (misalnya teh/kopi), tetapi tidak dapat Dapat berinteraksi dengan
untuk pergi ke toilet). memahami kata-kata atau satu orang, tetapi hanya
Respon ya/tidak tidak dapat simbol-simbol. untuk waktu sebentar.
diharapkan.
3 Respon ya/tidak dapat Memahami ekspresi Dapat berinteraksi dengan
diharapkan. sederhana ya/tidak dan satu orang secara
Dapat mengekspresikan dapat memahami beberapa konsisten dengan
konsep sebuah tindakan atau benda (misalnya makan, kursi).
buku, 4 Mengekspresikan
ide-ide sederhana secara kata-kata atau simbol- menggunakan kata-kata
verbal atau dengan berbicara simbol konkret yang dan/atau komunikasi non-
singkat (misalnya dapat sederhana. verbal.
meminta supaya buku Memahami ide-ide Dapat berinteraksi dengan
diletakkan di atas kursi). sederhana yang dua orang secara
disampaikan melalui kata- konsisten dan
kata yang diucapkan satu berpartisipasi
persatu atau secara non sebagaimana mestinya.
verbal.
raksi dengan
5 Mengekspresikan ide-ide Memahami ide-ide yang Dapat
ng tetapi
berinte yang lebih rumit tetapi harus hanya bisa diekspresikan
n dukungan
beberapa ora didukung oleh komunikasi secara lengkap melalui kata-
tisipasi secara
membutuhka non-verbal (misalnya dapat kata.
untuk berpar meminta supaya diberikan
efektif. minum nanti).
6 Mengekspresikan ide-ide Memahami beberapa Berinteraksi secara
abstrak yang memerlukan percakapan yang rumit mandiri an berapapun
deng kata-kata (misalnya ayah (rangkaian kalimat),tetapi mlah orang,
banyaknya ju saya kecewa). sering kehilangan arah bertahan
tetapi hanya Dapat kehilangan kelancaran pembicaraan. dapat
sebentar dan bicara saat gelisah, lelah dll. eberapa
mengalami b salnya giliran
kesulitan (mi
berbicara). ertahankan
7 Dapat mengekspresikan ide Benar-benar memahami Dapat mempgan
ide dalam bentuk komunikasi komunikasi kompleks, interaksinyaknya
den yang kompleks, tetapi tetapi kadang-kadangdengan
berapapun ba kelancaran berbicaranya mengalami kesulitan.anya sedikit
jumlah orang berkurang.
mengalami h asalah dalam
kesulitan. al.
8 Tidak ada masalah yang Tidak ada masalah yang Tidak ada m
terdeteksi. terdeteksi. interaksi gka dari
di atas yang
di atas yang menggambarkan
sosi daftar di atas yang
menggambarkan tingkat
tingkat ekspresi paling menggambarkan tingkat
pemahaman paling akurat
akurat pasien dalam kondisi interaksi paling akurat
pasien dalam kondisi
sekarang: E= pasien dalam kondisi
sekarang:
sekarang:
P=
I=
Kode
Responden FORMAT OBSERVASI
DEPRESI
Aphasic Depression Rating Scale
(ADRS)
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi terjadinya
melalui penilaian adanya insomnia, kecemasan, gejala somatik, de
ada kesedihan, hipokondriasis, agitasi, ekspresi (mimik) dan kelelahan. pr
3. Penilaian adanya depresi pada pasien ditentukan berdasarkan bukti yang es
Menanyakan kepada keluarga yang selalu mendampingi pasien dan i
pera dapat memberikan informasi atau kepada pasien dengan n
memberikan pil bila ya = mengangguk, tidak = menggelengkan ya
kepala, tetapi obser langsung juga penting.
N BAGIAN NILAI ad
O
1. Insomnia Sedang 0= Tidak ada kesulitan a.
Pasien gelisah dan terganggu sepanjang 1= Pasien menunjukkan wa
kegelisah malam, bangun dimalam hari pada waktu malam
/observasi t
tidur
iha
2= Sering bangun pada waktu ma
dari tempat tidur (kecuali pergi n
2. Kecemasan Fisik 0 = Tidak ada kesulitan Tegang
dan mudah marah 1 = Tegang dan mudah marah va
Mengkhawatirkan hal yang kecil/ 2 = Mengkhawatirkan hal yang si
kec sederhana 3 = Sikap cemas tampak pada
wajah Menunjukkan sikap khawatir dan pasien
gelisah 4= Ketakutan yang ditunjukkan (ek
Takut verbal) secara jelas
3. Kecemasan Somatik 0 = Tidak
ada Gastrointestinal : Gangguan pencernaan 1 =
Ringan Kardiovaskuler : Palpitasi, nyeri kepala 2 = an dan gangguan
Sedang Respirasi, gangguan perkemihan dan 3 = gangguan pola
il/sederhana
atau cara bicara
spresi verbal/non
Kesimpulan : Dikatakan depresi bila skor pasien 9. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh, semakin menunjukkan pasien depresi
Kode Responden
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara gan
den responden.
2. Barthel I ndex digunakan untuk melaporkan apa yang pasien lakukan,kan
bu
melaporkan apa yang pasien mampu lakukan.
kan
3. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan pasien a
ecil
bantuan dalam beraktivitas, baik berupa bantuan fisik maupun verbal, sek
apapun itu.
sien
4. Jika dalam melakukan pasien masih membutuhkan pengawasan, berarti
pa belum mandiri.
kan
5. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada.
asi,
Menanya kepada pasien, teman/keluarga, dan perawat dapat
idak
memberikan inform tetapi observasi langsung juga penting. Meskipun
pemeriksaan langsung t dibutuhkan.
tapi
6. Pengamatan sebenarnya cukup dilakukan selama 24-48 jam, akan
kadang-kadang periode waktu yang lebih lama akan lebih relevan.
7. Skala menengah berarti pasien mampu melakukan 50% atau lebih dari aktivitas.
8. Pasien dianggap mandiri jika mampu melakukan sendiri
meskipun menggunakan alat bantu.
Aktivitas Skor
Makan
0 = Tidak dapat makan
5 = Memerlukan bantuan, seperti memotong makanan, mengoleskan
mentega, atau memerlukan diet khusus
10 = Mandiri
Mandi
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Mandiri
erawat diri
0 = Memerlukan bantuan dalam perawatan diri
5 = Mandiri untuk gosok gigi, membasuh wajah, menyisir rambut dan bercukur
Berpakaian
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh bantuan tapi dapat melakukan sebagian
10 = Mandiri (mampu mengancing baju, menutup resliting, merapikan pakaian)
Buang air besar
0 = Tidak dapat mengontrol (butuh enema)
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air besar
Buang air kecil
0 = Tidak dapat mengontrol, dikateter dan tidak bisa mengurus sendiri
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air kecil
Penggunaan toilet
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh beberapa bantuan, tapi tidak tergantung penuh
10 = Mandiri
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya)
0 = Tidak mampu, tidak dapat duduk seimbang
5 = Butuh banyak bantuan (1 atau 2 orang) untuk bisa duduk
10 = Butuh bantuan minimal (hanya diarahkan)
15 = Mandiri
Mobilitas (berjalan pada permukaan yang rata)
0 = Tidak mampu atau berjalan < 50 meter
5 = Mandiri dengan kursi roda
10 = Berjalan > 50 meter dengan bantuan 1 orang
15 = Mandiri (tapi menggunakan alat bantu seperti tongkat)
Menggunakan tangga
0 = Tidak dapat menggunakan tangga
5 = Butuh bantuan (verbal, fisik, menggunakan alat bantu)
10 = Mandiri
TOTAL 0 100
Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama
sebelum bapak/ibu/saudara menentukan jawaban .
disi
2. Berilah tanda ceklist (V) pada kolom yang sesuai dengan pilihan atau
kon sesungguhnya yang bapak /ibu saudara/ketahui atau alami.
3. Tidak ada jawaban yang benar atau salah.
Pertemuan 3 :
c) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman
pasien yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
dimakan pasien padasarapan pagi, bacaan di koran, dll. Tunjukkan
benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci atau jam
dan tanyakan nama pasien.
12. Hari VI Menyebutkan
Pertemuan 1 : Mengeja
c) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan Menulis
keinginannya. Instruksikan pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau secara spontan apa yang difikirkan
bentuk kalimat, seper dalam
bantu pasien dengan ti pasien mau minum. Jika pasien tidak bisa
yang berhubungan dememberikan tuntunan, seperti tulislah kalimat
d) Katakan pada pasienngan makan pagi hari ini.
untuk membaca tulisan yang ditulisnya
dan
: .............................................................................
Nama
: ............................................................................
Tanggal mulai latihan
: ..............................................................................
Tanggal selesai latihan
H3 H4 H5 H6 H7
Waktu H1 H2 H8 H9 H10
Pagi
Siang
Sore
Peneliti,
...)
(...........................................
Petunjuk Pengisian :
1. Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar observasi pelaksanaan pemberian komunikasiesuai pedoman observasi
2. Berikan tandatangan dan s tanggal setiap kegiatan pemberian komunikasi dengan pasien pada kolom yangisediakan
3. Tulislah setiap perkembangd an yang didapatkan pasien dalam setiap pelaksanaan komunikasi.
Komite Etik Penelitian, Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya
melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan, telah mengkaji
dengan teliti proposal berjudul :
::::::::I::::.::Si::I:rik di RSUD
KolaTasikmadlaaynBa~
Nama institusi : Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia
Dan telah menyetujui proposal tersebut.
l~
Dewi Irawaty, MA, PhD Yeni Rustina, PHD
NIP. 19520601197411 2 001 NIP .19550207 198003 2 001
Yth. Direktur
RSUD Kota Tasikmalaya
Jawa Barat
Sdri. Amila
0906505086
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.
Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Tasikmalaya
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Tasikmalaya
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks. 7864124
Email: humasfik.uLeduVVebSite:wvVW.fikui.ac.id
Yth. Direktur
RSUD Kota Banjar
Jawa Barat
Sdri. Amila
0906505086
Sehubungan dengan hal tersebut, bersarna ini karni mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.
Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Banjar
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Banjar
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
I
UNIVERSITAS INDONESIA .
FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
Kampus UI Oepok Telp. (021)78849120, 78849121
F~ks. 7864124
Email: humasfik.ui.edu Web Site:
www.fikuLac.id
Yth
.
Dir
ekt
ur
RS
UD
.
Kot
a
Ga
rut
Ja
wa
Bar
at
S
d
r
i
.
A
m
i
l
a
NP
M
09
06
50
50
86
T
e
m
b
u
s
a
n
Y
th
.
:
1. Dekan (sebagai laporan)
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Diklit RSUD Kota Garut
4. Kepala Ruang Neurologi RSUD Kota Garut
5. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
6. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
PEMERINTAHKOTA TASIKMALAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
JJn. Rumab Sakit No.33 Tasikmalaya Telp.(026S) 331683. Fax.(0265)331747
Nama AMILA
NIM 0906505086
"Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan
Augmentative and Alternative Communication
terhadap Depresi pada Pasien Stroke dengan A/asia
Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar"
Kepada Yth,
Ketua Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Di
Tempat
Nama : AMILA
NIM : 0906505086
Jurusan : S-2 Keperawatan Peminatan Medikal Bedah
Institusi : Universitas Indonesia Fakultas Tlmu Keperawatan
Judul :" PENGARUH PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE
COM~fMUNICATION TERHADAP DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
TASIKlYlALAYA DAN RUll'lAH SAKlT UfflUlVI
DAERAH KOTA BANJAR "
Tanggal 11 November s.d IJ Desember 2011
Demikian agar maklum untuk menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut, atas
perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih,
ag Sekertariat
urn Daefah Kota Banjar
Tembusan:
1. Wadir Pelayanan
2. Ka Bag Sekertariat
3. Instalasi Rawat Inap
4. eM
!ili.3'''----------.'~.. 5. PPL
~ 100
200
K_ 201
nIJ;1!Qt! IXm!!lim
23S _
~ Boo_
210
Din:ktur
217
m
222
Md,,11 216 WijayaKmm
- --
_ Sco
213 K
Dohlla 21<
~
IPSRS ill KJRS 226 Gizi 227 Tulip m ............ 22' .........1 230 T..-U
m
RBdioiogi 232 '-;WU 2J3 !PAL 234 236 ASKES 237 PoIlkIinik 238 PM!
CM l" PI'!. 2.. 100 242 _IGD 243 Kcoaoao K.MoyM 24$
PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH dr. SLAMET Alamat : Jt.
Rumah Sakit No. 12 Telp. ( 0262 ) 232720 Garut 44151
Rekening : Bank Jabar Garut, Kelas : B Non Penelidikan, Status: Unit Swadana
Menindak lanj uti surat dari Kepala Kesbang, Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kab. Garut tanggal 29 November 2011 nomor : 072/503-Kesbangpol
Linmas/2011perihal : Rckomendasi Research/Survey, pada prinsipnya kami tidak
keberatan dan mengizinkan mahasiswa saudara, atas :
Nama : AmBa
NPM : 0906505086
..
Tembusan Disampaikan Kepada Yth:
1. Direktur RSU dr. Slamet Garut ( Sebegai laporan )
2. Wadir Pelayanan
3. Wadir Keuangan
4. Ka. Bidang Keperawatan
r
PEMERINTAH KABUPATEN
GARUT
Menindak lanjuti surat dari PLH Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia Nomor
: 41461H2.FI2.DIPDP.04.00/2011 Tanggal 25 November 2011 Perihal
Permohonan Izin Penelitian dengan ini kami memberikan Rekomendasi untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan
Tesis dengan Judul :
No Nama Ke
NPM ter
an
1. AWlILA ga
0906505086 n
Pada prinsipnya kami tidak keberatan yang bersangkutan tersebut di atas untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Mentaati segala ketentuan yang berlaku;
2. Menghormati ketentuan Dinas I Badan I Lembaga I Kantor yang
bersangkutan serta adat istiadat masyarakat setempat;
3. Turnt menjagajangan sampai menimbulkan kerawanan di kalangan
masyarakat;
4. Melaporkan lebih dulu kepada pejabat setempat untuk mendapatkan petunjuk
pengamanannya;
5. Mengirimkan hasil kegiatan penelitaian, rangkap 1 (satuj.kepada kami.
Surat Rekomendasi ini dianggap batal apabila tidak mentaati ketentuan tersebut
di atas.
Garut, 29 November
2011
Nama : Amila
Tempat/Tanggal Lahir : NAD, 21 Januari 1976
Alamat Rumah : Perum BKP BKP Blok P No. 53 RT/RW 004/004
Kelurahan Kemiling Permai Kecamatan Kemiling
Bandarlampung 35153
Alamat Kantor : Universitas Malahayati
Jl.Pramuka No. 27 Kemiling Bandarlampung
Email : mila_difa@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan : 1. S2 Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI arta,
Jak angkatan 2009
2. S1 Keperawatan FIK-UNPAD, lulus tahun
2000 997
3. DIII Keperawatan Poltekkes NAD, lulus tahun 1
1 hun
4. Akta Mengajar III UT Bandung, lulus tahun
200
5. SMA YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus hun
ta
1994
6. SMP Negeri Rantau (NAD), lulus tahun 1991 03
7. SD YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus
ta
1988
Riwayat Pekerjaan : 1. RSU Zaenal Abidin (NAD) tahun 1997 1998
2. Akper Bhakti Kencana Bandung, tahun 2001-
20
3. Universitas Malahayati, tahun 2003- 2010