Anda di halaman 1dari 49

The Staff Of Serapis

Part 1

Annabeth tidak pernah berpikir harinya ini akan menjadi sangat buruk sampai
matanya menangkap sosok monster berkepala dua.

Ia menghabiskan seharian ini untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya yang ia


abaikan. (Seringnya ia membolos demi misi rutin dalam rangka menyelamatkan
dunia dari ancaman monster dan dewa-dewi Yunani yang membangkang benar-
benar mengacaukan indeks prestasi akademiknya.) Ia sampai menolak ajakan
nonton film dari pacarnya, Percy, dan teman-temannya supaya ia bisa mencoba
melamar kerja magang di firma arsitektur setempat. Sayangnya, otaknya saat ini
benar-benar kacau. Annabeth yakin sekali tes wawancaranya tadi gagal.

Pukul empat sore, Annabeth berjalan gontai melalui Washington Square Park
menuju ke sebuah stasiun subway ketika kakinya menginjak sebongkah kotoran sapi
segar.

Kepalanya langsung menengadah ke langit, Hera!

Orang-orang di sekitarnya langsung menatap Annabeth dengan tatapan aneh, tapi


Annabeth tak peduli. Ia benar-benar sudah lelah dengan gurauan sang dewi.
Annabeth telah melakukan banyak misi untuk Hera, namun Ratu Olympus itu masih
saja menghadiahinya produk sampingan dari hewan sucinya tepat di mana kakinya
akan berpijak. Dewi itu pasti punya sekawanan sapi tak kasat mata yang berkeliling
di seputar Manhattan.

Saat Annabeth tiba di stasiun West Fourth Street, Annabeth sudah sangat dongkol
dan lelah, ia hanya ingin segera naik ke kereta F untuk menuju tempat Percy.
Memang sudah terlalu larut untuk menonton film, tapi mungkin mereka masih bisa
keluar untuk makan malam atau semacamnya.

Lalu ia melihat monster itu.

Annabeth sudah pernah melihat hal-hal gila sebelumnya tapi monster ini benar-
benar membuatnya membatin, Apa Sih Yang Sedang Dewa-Dewi Pikirkan?.
Sosok itu berwujud seperti seekor singa dan serigala yang disatukan paksa dalam
cangkang kelomang (hermit crabs).

Cangkangnya sendiri berwujud spiral kasar berwarna coklat, seperti contong wafel
sepanjang enam kaki dengan lipatan bergerigi di tengahnya seolah cangkang itu
pernah dibelah dua, lalu disatukan lagi. Dari puncak cangkang keluar sepasang kaki
dan sepasang kepala kepala serigala kelabu di kiri dan kepala singa emas di
kanan.

Dua hewan itu tampaknya tidak terllau suka berbagi satu cangkang. Mereka
menyeret cangkakng itu sepanjang jalan, sambil bergoyang ke kiri dan kanan seolah
mereka hendak menariknya menuju ke arah yang berlawanan. Mereka menggeram
satu sama lain selama beberapa saat sebelum mereka berhenti dan membaui
sesuatu di udara.

Para penumpang kereta tampak bersliweran, sebagian besar dari mereka berjalan
melalui monster itu dan mengabaikannya, yang lain tampak memasang muka
masam atau terlihat jengkel.

Annabeth telah melihat bagaimana kabut bekerja di banyak kesempatan, tapi ia


selalu takjub bagaimana tirai gaib itu mampu mengacaukan pandangan manusia
fana, membuat seekor monster paling menakutkan sekalipun tampak sebagai
sesuatu yang dapat diterima akal seekor anjing liar, atau mungkin seorang
gelandangan berselimutkan kantong tidur.

Lubang hidung monster itu tampak menyemburkan lidah api dan sebelum Annabeth
bisa memutuskan apa yang sebaiknya ia lakukan, kedua kepala itu tiba-tiba berbalik
dan menatap langsung ke arahnya.

Tangan Annabeth langsung mencari-cari pisaunya. Lalu ia ingat bahwa ia sedang


tidak membawanya. Saat ini, satu-satunya senjatanya yang paling mematikan
hanyalah tas ranselnya yang berisi buku-buku arsitektur tebal dari perpustakaan
lokal.

Annabeth mengatur nafasnya. Monster itu berdiri tiga puluh kaki dari tempatnya
berdiri.
Melawan seekor singa-serigala-kepiting di tengah keramaian stasiun subwah
bukanlah pilihan pertamanya, tapi, ia akan melakukannya jika ia harus.
Bagaimanapun juga ia adalah seorang putri Athena.

Ia memelototi monster itu, membiarkan monster itu tahu bahwa ia serius.

Ayo Monster Cangkang, katanya, Aku harap kau punya toleransi tinggi pada rasa
sakit!

Sang singa dan serigala itu memamerkan taring mereka. Sesaat kemudian lantai
stasiun itu bergetar. Angin berhembus melalui terowongan seiring dengan
datangnya sebuah kereta.

Monster itu menatap Annabeth lekat-lekat. Annabeth bersumpah bahwa ia melihat


tatapan menyesal di matanya, seolah berpikir Aku akan senang sekali mencabik-
cabik dirimu menjadi potongan-potongan kecil, sayangnya aku ada urusan di tempat
lain.

Monster Cangkang itu kemudian berbalik dan pergi, menyeret sebuah cangkang
besar di belakangnya. Monster itu menghilang di balik tangga yang mengarah ke
jalur A.

Untuk sesaat Annabeth terpaku. Jarang sekali ia melihat seekor monster


meninggalkan seorang demigod begitusaja. Biasanya monster sudah pasti
menyerang mereka setiap kali ada kesempatan.

Jika monster kelomang berkepala dua ini punya urusan yang lebih penting daripada
membunuhnya, Annabeth ingin tahu apa itu. Ia tak bisa membiarkan monster itu
pergi begitu saja, membiarkan monster itu melakukan rencana jahatnya dan naik
transportasi umum secara gratis.

Annabeth melirik sendu ke arah kereta F yang harusnya membawanya ke tempat


Percy kemudian ia berlari menaiki anak-anak tangga mengejar si monster.

Annabeth naik ke kereta tepat waktu, hanya beberapa detik sebelum pintunya
ditutup. Kereta itu mulai bergerak maju menuju kegelapan. Lampu-lampu di atas
kepala penumpang mulai menyala. Para penumpang tampak bergoyang, setiap
kursi telah terisi, dan lebih dari selusin penumpang berdiri sembari berpegangan
pada gantungan tangan dan tiang.

Annabeth tak bisa melihat si Monster Cangkang sampai seseorang di depan sana
berteriak, Hei, hati-hati Bodoh!

Si serigala-singa-bercangkang tampak mendesak maju ke depan sembari


menyeringai ke arah penumpang yang lain, tapi tampaknya para penumpang hanya
melihatnya sebagai seorang penumbang subway New-York biasa yang bertingkah
menyebalkan. Mungkin saja di mata mereka, monster itu tampak seperti seorang
pemabuk.

Annabeth mengikuti targetnya. Dan saat si Monster Cangkang membuka pintu


menuju gerbong berikutnya, Annabeth melihat bahwa cangkangnya tampak
berpendar lemah.

Apakah hal itu sudah berlangsung sejak tadi? Di seputaran monster itu tampak
berputar simbol-simbol yang menyala bak neon merah, terdiri atas huruf Yunani,
simbol-simbol astrologi, dan tulisan berbentuk gambar hieroglif Mesir.

Rasa merinding menyebar di sepanjang tulang belikat Annabeth. Ia ingat bahwa


Percy memberitahunya tentang kejadian aneh yang ia alami beberapa minggu yang
lalu. Kejadian yang tampaknya mustahil sehingga Annabeth merasa Percy tengah
bercanda.

Tapi sekarang ..., Annabeth menerobos kerumunan, mengikuti si Monster Cangkang


ke gerbong berikutnya.

Cangkang makhluk itu tampak berpendar lebih terang sekarang. Dan ketika
Annabeth mendekat, gadis itu tiba-tiba merasa mual. Ia merasa perutnya ditarik oleh
sesuatu, seolah ada kail melekat di pusarnya dan menariknya ke arah makhluk itu.

Annabeth mencoba memusatkan pikirannya. Ia telah mengabdikan seluruh hidupnya


untuk mempelajari semua tentang Yunani kuno, mulai dari spirit, monster,sampai
roh-roh jahat. Pengetahuan selalu menjadi senjata utamanya. Tapi makhluk separuh
kelomang berkepala dua ini benar-benar tidak ia ketahui sebelumnya. Kalau ada
kompas dalam dirinya, kompas itu pasti kini tengah rusak, dan berputar tanpa henti,
tak berguna.

Annabeth berharap ia mendapat bantuan. Ia memang punya ponsel, tapi, meski ada
sinyal di dalam terowongan, siapa yang akan ia panggil? Kebanyakan demigod lain
tidak membawa ponsel karena sinyal ponsel menarik perhatian para monster. Percy
tinggal di sisi lain kota. Mayoritas teman-temannya berada di Perkemahan Blasteran
jauh di pantai utara Long Island.

Si Monster Cangkang masih saja menerobos kerumunan, menuju bagian depan


kereta.

Saat Annabeth berpindah gerbong, aura monster itu tiba-tiba terasa sangat kuat,
sehingga para makhluk fana pun mulai merasakan pengaruhnya. Banyak
penumpang muntah dan menekuk tubuhnya di kursi mereka seolah seseorang
telah membuka sebuah loker yang penuh makanan busuk. Yang lain jatuh tak
sadarkan diri di lantai.

Annabeth juga merasa sangat mual sehingga ia ingin mundur saja, tapi sensasi
ditarik kail pancing itu tetap saja menarik dirinya menuju monster itu.

Kereta itu berhenti di stasiun Fulton Street dan segera sesudah pintu dibuka setiap
penumpang yang masih sadar berhamburan keluar. Kepala serigala si monster
tampak mencaplok tas seorang wanita saat wanita itu hendak lari.

Hei! Annabeth berseru.

Dan si monster membiarkan wanita itu pergi.

Kedua pasang mata itu menatap Annabeth lekat-lekat seolah membatin, Kamu
benar-benar ingin mati ya?

Lalu ia kembali memalingkan muka dan meraung dengan indahnya. Suara itu
membuat Annabeth merasa seperti dipukul dengan pemecah es di antara dua
matanya. Kaca-kaca jendela kereta pun pecah. Manusia-manusia yang semula tak
sadarkan diri mulai siuman. Beberapa berhasil merangkak keluar lewat pintu. Yang
lain menjatuhkan diri dari jendela yang rusak.

Lewat pandangan matanya yang kabur, Annabeth melihat monster itu tengah
meringkuk dengan menggunakan kedua lengannya dari dua hewan yang jelas-
jelas beda spesies sebagai tumpuan, siap untuk menerkam.

Waktu terasa melambat. Annabeth samar-samar menyadari bahwa pintu yang rusak
itu kini kembali menutup, dan kereta yang kosong ini kembali berjalan meninggalkan
stasiun. Apa kondektur menyadari apa yang tengah terjadi? Apa kereta ini berjalan
dengan autopilot pilot otomatis?

Hanya berjarak sepuluh kaki darinya, Annabeth menyadari detail baru dari si
monster. Aura merah terang tampak memancari dari retakan di cangkangnya. Dari
sana muncul sejumlah huruf Yunani dan hieroglif Mesir bercahaya, dimuntahkan
seperti muntahan gas vulkanik dari retakan dasar laut. Lengan kiri si singa tampak
dicukur sampai pergelangan tangan, dan dihiasi aneka tato berupa sejumlah garis
hitam tipis. Di telinga si serigala sendiri, ada sebuah label harga berwarna jingga
bertuliskan $99.99.
Annabeth menggengam tali ranselnya. Ia siap untuk mengayunkan tas itu kepada
monster itu, tapi tas ini takkan banyak berguna sebagai senjata. Karena itulah,
Annabeth kembali memakai taktik andalannya saat menghadapi musuh yang lebih
kuat. Ia mulai berceloteh.

Kalian ini ... terdiri dari dua bagian yang berbeda ya? ujar Annabeth, Kalian
seperti ... potongan-potongan patung yang disatukan paksa lalu dihidupkan, begitu?

Annabeth sebenarnya hanya asal menerka, tapi geraman si singa membuat


Annabeth yakin analisanya tidak salah. Si serigala tampak mengigit pipi si singa
seolah hendak menyuruh si singa untuk tutup mulut.

Kalian tidak biasa bekerjasama kan? tebak Annabeth, Tuan Singa, kamu punya
tanda ID di kakimu. Kamu sebenarnya artefak dari museum kan? Artefak dari
Met[1]?

Si singa meraung keras sekali sehingga lutut Annabeth sampai gemetaran.

Aku kira itu benar. Dan kau, Tuan Serigala ... melihat label harga di telingamu ...
kutebak kau berasal dari toko barang antik?

Si serigala menyeringai dan mulai berjalan selangkah mendekati Annabeth.

Sementara itu, kereta tersebut tetap melaju di bawah East River. Angin dingin
berhembus melalio jendela-jendela yang pecah dan membuat gigi Annabeth
bergemeletuk.

Segala instingnya menyuruh gadis itu untuk lari, tapi otot kakinya serasa mencair.
Aura si monster terasa semakin terang, memenuhi udara sekitarnya dengan simbol-
simbol samar dan cahaya merah darah.

Kau ... kau semakin kuat, ujar Annabeth, Kalian hendak pergi ke suatu tempat
bukan? Dan semakin dekat dirimu dengan tempat itu .

Dua kepala monster itu meraung secara bersamaan. Gelombang energi merah
berdesir di sepanjang gerbong itu dan Annabeth harus berjuang keras
mempertahankan kesadarannya.

Si monster kepiting berjalan mendekat. Cangkangnya membuka, dan celah di


bagian tengah itu terbakar dan mengeluarkan sesuatu seperti lelehan besi.

Tunggu! ujar Annabeth parau, A-aku tahu sekarang. Wujud kalian belum
sempurna. Kalian masih mencari potongan lain. Kepala ketiga mungkin?

Si monster berhenti sejenak. Matanya berkilat waspada, seolah hendak mengatakan,


Apa kamu sudah lancang membaca buku harianku?
Keberanian Annabeth membuncah. Akhirnya ia bisa mengukur kekuatan musuhnya.
Ia sudah bertemu banyak makhluk berkepala tiga sebelumnya. Dalam urusan
makhluk mistis, tiga selalu menjadi angka keramat. Jadi masuk akal saja jika
monster ini tengah mencari kepalanya yang satu lagi.

Si monster kepiting ini pastilah dulunya sebuah patung yang dipecah menjadi
beberapa bagian. Dan saat ini sesuatu tengah membangunkannya sehingga ia
mencoba untuk menyatukan kembali bagian-bagian tubuhnya yang terpisah.

Annabeth bertekad takkan membiarkan hal itu terjadi. Kumpulan hieroglif dan huruf
Yunani merah yang melayang di sekitar monster itu tampak seperti kabel sekering
yang terbakar, memancarkan sihir yang terasa salah, seakan meleburkan susunan
sel yang menyusun seorang Annabeth Chase, sedikit-demi-sedikit.

Kalian bukan monster dari Yunani kan? katanya, Apa kalian dari Mesir?

Si monster cangkang tampaknya tidak suka komentar barusan. Ia kembali


memamerkan taringnya dan bersiap untuk melompat.

Whoa, Bung! sahut Annabeth, Kekuatanmu belum pulih benar kan? Kalau kau
serang aku sekarang, kau akan kalah. Lagipula kalian kan tidak percaya satu sama
lain.

Si Singa memiringkan kepalanya dan menggeram.

Annabeth pura-pura kaget, Tuan Singa! Bagaimana anda bisa berkata seperti itu
tentang Tuan Serigala?

Si Singa mengerjap.

Si Serigala melirik curiga ke arah si singa sambil menggeram.

Dan Tuan Serigala, Annabeth tersentak, Tidak seharusnya anda bicara dengan
bahasa seperti itu kepada teman anda!

Dua kepala itu saling bertatapan, saling menggertak, dan saling melolong. Monster
itu kemudian terhuyung saat kedua lengan mereka tampak berusaha pergi ke arah
yang berbeda.

Annabeth tahu ia hanya punya waktu beberapa detik. Ia segera memeras otaknya,
mencoba menari tahu makhluk apa ini dan bagaimana ia bisa mengalahkannya, tapi
makhluk ini benar-benar tidak cocok dengan segala pelajaran yang ia ingat dari
Perkemahan Blasteran.

Annabeth sempat berpikir untuk mengendap-ngendap ke balik monster itu dan


mungkin mencoba memecahkan cangkangnya, tapi sebelum itu sempat ia lakukan
kereta ini melambat, berhenti di Stasiun High Street, perhentian pertama di Brooklyn.

Platform stasiun tampak aneh, kosong, tapi kilatan cahaya dari tangga keluar
menarik perhatian Annabeth. Seorang gadis pirang, berpakaian serba putih, tengah
mengayunkan sebuah tongkat kayu, mencoba memukul sesosok hewan aneh yang
berkelok-kelok di sekitar kakinya sambil mengonggong marah. Dari bahu ke atas,
makhluk itu tampak seperti anjing Labrador retriever hitam, tapi punggungnya hanya
berupa ujung runcing, seperti ekor kecebong yang mengalami pengapuran.

Annabeth langsung bisa menebak : Bagian Ketiga!

Si gadis pirang itu memukul si anjing tepat di moncongnya. Tongkatnya menyala,


memancarkan cahaya keemasan, dan si anjing langsung bergerak mundur masuk
ke dalam gerbong yang ditumpangi Annabeth melalui jendela di ujung gerbong.

Si gadis pirang mengikutinya. Ia melompat masuk tepat sebelum pintu menutup dan
kereta bergerak keluar dari stasiun.

Untuk beberapa saat, semua yang hadir di situ dua orang gadis dan dua orang
monster hanya terdiam.

Annabeth mengamati gadis yang berdiri di ujung lain gerbong, mencoba


menganalisa seberapa berbahayanya gadis itu.

Pendatang baru ini mengenakan celana linen putih dan blus yang serasi dengan
celananya tampak seperti seragam karate sebenarnya. Sepatu combat boots-nya
berlapiskan lempeng besi tampaknya bisa membuat kerusakan yang lumayan jika
dipakai berkelahi. Sebuah ransel nolon biru tersandang di bahu kirinya berserta
sebuah tongkat gading melengkung yang tampak seperti ... bumerang?
tergantung di tali ranselnya. Tapi senjata gadis itu yang paling menakutkan adalah
tongkat kayu putihnya tongkat itu memiliki panjang lima kaki, sebuah kepala elang
terukir di ujungnya, seluruh tongkat itu memancarkan cahaya seperti perunggu langit.

Mata Annabeth menatap mata gadis itu dan sebuah perasaan deja vu mengguncang
dirinya.

Si Gadis Karate itu usianya tak lebih dari tiga belas tahun. Matanya biru cerah,
seperti seorang anak Zeus. Rambut pirangnya tampak dihiasi sedikit semburat ungu.
Ia tampak seperti seorang anak Athena selalu siap untuk bertarung, cepat,
waspada, dan tak kenal takut. Annabeth seolah melihat dirinya empat tahun yang
lalu, di masa ketika ia pertama kali bertemu Percy Jackson.

Lalu Si Gadis Karate bicara, sehingga lamunan Annabeth pun buyar.

Benar-benar deh, gadis itu meniup sehelai rambut ungu dari wajahnya, Seolah
hariku ini belum cukup gila.

Orang Inggris, pikir Annebeth. Tapi ia tak sempat memikirkan itu lebih lanjut.

Si Anjing kecebong dan Monster Cangkang tengah berdiri di tengah gerbong, hanya
terpisah jarak sejauh 15 kaki sambil memandang satu sama lain dengan penuh
ketakjuban. Sekarang, saat mereka sudah mengatasi keterkejutan mereka, si anjing
melolong penuh kegembiraan, seolah berkata, Aku menemukan kalian! Dan si
singa-serigala-bercangkang itupun menghampiri si anjing.

Hentikan mereka! seru Annabeth.

Annabeth melompat ke punggung Si Monster Cangkang, dan cakar depan mereka


jatuh menyentuh tanah akibat adanya beban tambahan.

Gadis yang satu lagi menyerukan sesuatu seperti : Mar!

Sederet hieroglif emas tampak bercahaya di udara.

Si anjing tampak terhuyung mundur, kemudian muntah-muntah seolah ia telah


menelan bola biliar.

Annabeth berusaha untuk menahan Si Monster Cangkang, tapi makhluk itu punya
bobot dua kali bobotnya. Makhluk itu bertumpu pada kedua kaki depannya,
mencoba melemparkan Annabeth dari punggungnya. Kedua kepala itu sendiri
menoleh ke arah Annabeth dan mencoba mengigit wajahnya.

Untunglah di Perkemahan Blasteran Annabeth sudah menjinakkan banyak pegasus


liar sehingga dalam kondisi ini pun Annabeth dapat menjaga keseimbangannya
sembari menarik turun ranselnya. Gadis itu memukulkan buku-buku arsitektur
seberat 20 pound[2] ke kepala si singa, lalu melingkarkan tali ranselnya melalui
rahang si serigala dan menariknya.

Sementara itu, kereta tampak bermandikan sinar matahari. Gerbong mereka


terguncang selagi kereta melalui rel menanjak di daerah Queens. Udara segar
masuk melalui jendela-jendela yang rusak dan kemilau sinar mentari yang
dipantulkan kaca-kaca yang pecah tampak menari-nari di kursi penumpang.

Dari sudut matanya, Annabeth melihat bahwa si anjing hitam tampak sudah pulih
dari mualnya. Ia melompat ke arah Si Gadis Karate, yang langsung mengayunkan
bumerang gadingnya dan menembak monster itu dengan kilatan cahaya emas.

Annabeth berharap ia dapat memanggil kilatan emas seperti itu. Apalagi yang ia
punya sekarang hanya sebuah ransel konyol. Ia sudah melakukan hal terbaik yang
ia bisa untuk menahan Si Monster Cangkang, tapi monster itu tampaknya semakin
kuat dari waktu ke waktu sementara aura merahnya semakin membuat Annabeth
merasa lemah. Annabeth merasa kepalanya diisi kapas sementara perutnya
bergejolak.

Annabeth kehilangan persepi akan waktu saat bergulat dengan makhluk itu. Ia
hanya tahu bahwa ia tidak boleh membiarkan makhluk ini bersatu dengan kepala
anjing itu. Jika monster ini benar-benar sudah menjadi monster berkepala tiga
entah namanya apa yang sempurna, mustahil untuk menghentikan mereka.

Si Anjing menerjang lagi ke arah Si Gadis Karate. Kali ini ia sukses menjatuhkannya.
Perhatian Annabeth teralih, sehingga ia kehilangan pegangannya pada Si Monster
Cangkang, dan monster itu pun melemparkannya, membenturkan kepalanya ke
sebuah kursi.

Telinganya berdenging saat makhluk itu meraung dalam kemenangan. Gelombang


merah panas mengalir ke sepenjuru gerbong. Kereta pun mulai terbalik dan
Annabeth pun merasa dirinya dalam kondisi tanpa bobot.

*****

Hei bangun! terdengar suara seorang gadis, Kita harus pergi!

Annabeth membuka matanya. Dunia terasa berputar. Suara sirene tanda bahaya
terdengar di kejauhan.

Ia tampak berbaring di rerumputan. Gadis pirang dari kereta tadi membungkuk di


atasnya sembari menarik-narik lengannya.

Annabeth akhirnya berhasil berdiri. Ia merasa seolah tulang-tulang iganya telah


ditembusi paku-paku panas. Ketika pandangannya mulai jelas, ia sadar bahwa
betapa beruntungnya ia bisa tetap hidup. Lima puluh yard dari sana, kereta itu
tampak terguling keluar dari jalurnya. Gerbong-gerbong teronggok miring dalam
kondisi rusak, jalur asap yang mengepul zig-zag dari reruntuhan itu mengingatkan
Annabeth akan bangkai Drakon naga (yang sayangnya sudah pernah ia lihat
berulang kali).

Ia tidak melihat satupun korban manusia. Ia berharap mereka semua telah keluar
dari kereta di Stasiun Fulton Street, tapi tetap saja ... ini bencana.

Annabeth mengenali tempatnya berada sekarang : Rockaway Beach. Beberapa


ratus kaki di kirinya ada sepetak tanah kosong dengan pagar-pagar kawat yang
bengkok memberi akses menuju sebuah pantai berpasir kuning yang dihiasi sedikit
noda aspal dan sampah. Lautan tampak bergolak di bawah langit yang mendung. Di
sebelah kanan Annabeth, di seberang rel kereta, berdiri sebaris menara apartemen
yang sudah bobrok, yang memberi kesan bahwa mungkin saja bangunan itu
dibangun dari setumpuk kulkas tua yang sudah bobrok.

Yuhuu! Si Gadis Karate mengguncang bahunya, Aku tahu mungkin kau masih
kaget tapi kita harus pergi. Aku tidak suka ditanyai polisi dengan makhluk ini ada di
belakangku.

Gadis itu bergerak ke samping kirinya. Di belakangnya, di atas aspal yang rusak, si
monster Labrador menggelepar-gelepar layaknya ikan yang dikeluarkan dari air,
moncong dan cakarnya diikat oleh sebuah tali bersinar emas.
Annabeth menatap gadis yang lebih muda dari dirinya itu. Lehernya berkilau oleh
karena rantai perak dan jimat perak yang berhiaskan simbol mirip ankh Mesir yang
dipadu dengan hiasan mirip manusia kue jahe.

Di sampingnya ia membawa tongkat dan bumerang gadingnya keduanya dihiasu


ukiran hieroglif dan gambar makhluk aneh, monster yang bukan dari Yunani.

"Siapa kau?" Annabeth menuntut penjelasan.

Senyum tersungging di sudut mulut gadis itu, Biasanya sih aku tidak memberikan
namaku ke orang asing. Masalah pantangan magis dan semacamnya. Tapi karena
aku harus menghormati seseorang berkelahi dengan monster berkepala tanpa apa-
apa kecuali sebuah ransel..., ia mengulurkan tangannya, Sadie Kane.

Annabeth Chase.

Mereka berjabat tangan.

Senang sekali bertemu denganmu Annabeth, kata Sadie, Sekarang, kita ajak
anjing kita jalan-jalan yuk?

Mereka pergi tepat pada waktunya.

Dalam beberapa menit, mobil-mobil pihak berwajib telah mengelilingi reruntuhan


kereta itu, dan kerumunan orang tampak berkumpul dari gedung-gedung apartemen
di sekitar lokasi.

Annabeth merasa lebih mual daripada sebelumnya. Noktah-noktah merah tampak


menari-nari di matanya, tapi ia tetap membantu Sadie menarik makhluk anjing itu ke
sebuah bukit pasir. Sadie tampaknya senang sekali menarik monster itu melalui
setiap batu atau botol rusak yang bisa ia temukan.

Monster itu menggeram dan menggeliat. Aura merahnya memancar semakin terang,
sementara sinar tali emas itu tampak meredup.

Biasanya Annabeth suka jalan-jalan di pantai. Lautan selalu mengingatkannya pada


Percy. Tapi hari ini dia kelaparan dan kelelahan. Ranselnya terasa semakin berat
dari waktu ke waktu, dan ia sangat ingin melemparkan makhluk mirip anjing ini.

Selain itu Pantai Rockway adalah tempat yang suram. Sebuah badai besar
menerjang tempat ini lebih dari setahun yang lalu, dan kerusakannya masih terlihat
jelas. Beberapa gedung apartemen di kejauhan tampak kosong tanpa penghuni,
jendela-jendela dan dinding-dinding penahan anginnya tampak dipenuhi grafiti. Kayu
yang membusuk, potongan aspal, dan logam mengotori pantai. Sejumlah pylon
tiang lampu yang dipakai sebagai penanda dermaga dari dermaga yang hancur
tampak menjorok keluar dari air. Lautan sendiri tampaknya tak lelah mengirimkan
ombaknya untuk menggerogoti pantai, seolah hendak mengatakan, Jangan abaikan
aku. Aku selalu bisa kembali dan menyelesaikan apa yang belum tuntas.

Akhirnya mereka tiba di sebuah truk es-krim yang telah ditelantarkan, sebagian
badan mobilnya tenggelam dalam pasir. Di sisinya tampak gambar es krim
menggiurkan yang telah pudar dan itu membuat perut Annabeth semakin melolong
minta diisi.

Berhenti sebentar, ujarnya lirih.

Ia menjatuhkan monster anjing itu dan berjalan terhuyung ke arah truk, lalu
bersandar di bagian pintu samping.

Sadie duduk bersila menghadap Annabeth sambil mengais-ngais ranselnya dan


mengeluarkan sebuah botol keramik yang disumbat tutup gabus.

Ini, ia menyerahkannya pada Annabeth, Ini enak. Cobalah!

Annabeth mengamat-amati botol itu dengan seksama. Botol itu terasa berat dan
hangat, seolah diisi penuh kopi panas, Uh ... ini tak akan melepaskan ledakan ka-
bam di wajahku kan?

Sadie mendengus, Konyol ah, ini hanya ramuan obat. Dibuat oleh temanku Jaz,
peracik ramuan terhebat di dunia.

Annabeh masih ragu. Ia pernah mencoba ramuan sebelumnya, diracik oleh anak-
anak Hecate. Biasanya rasanya seperti sup kolam sampah, tapi setidaknya ramuan
itu dibuat untuk para demigod. Apapun yang ada di botol ini, pasti tidak seperti itu.

Aku tak yakin harus mencobanya, katanya, Aku ... tidak seperti dirimu.

Tak satupun orang yang mirip denganku, Sadie setuju, Kemampuanku itu
menakjubkan dan unik. Tapi kalau maksudmu adalah kau bukan penyihir, well, aku
paham soal itu. Biasanya kami bertempur dengan tongkat panjang dan tongkat
pendek, Ia menepuk tongkat putih berukirnya serta bumerang gading yang
tergeletak di sampingnya, Tapi aku yakin ramuanku masih bekerja padamu. Kau
bergulat dengan monster tadi. Kau bertahan hidup dari kecelakaan kereta. Kau pasti
bukan orang normal.

Annabeth tertawa lemah. Sifat ceplas-ceplos gadis itu sedikit menghiburnya, Tidak,
aku sama sekali tidak normal. Aku seorang demigod.

Ah, Sadie mengetuk-ngetukkan jarinya ke tongkat lengkungnya, Maaf, itu


terdengar asing di telingaku. Seorang demon-god dewa setan?

Demigod, Annabeth mengoreksi, Separuh dewa, separuh manusia.


Oh, ya, Sadie menghela nafas, tampaknya lega, Aku menampung Isis di
kepalanya selama beberapa waktu. Jadi ... siapa teman istimewamu?

Aku ... ya ampun, tidak. Aku tidak menampung siapa-siapa. Ibuku adalah seorang
dewi Yunani, Athena.

I-bu-mu?

Yeah.

Seorang dewi? Dewi Yunani?

Yeah. Annabeth melihat teman barunya itu tiba-tiba pucat, Kukira kau tidak
pernah bertemu hal seperti itu, um, dari mana asalmu?

Brooklyn? gumam Sadie, Tidak. Rasanya bukan. Mungkin London. Atau Los
Angeles. Aku sama sekali tidak ingat bertemu demigod Yunani di tempat-tempat itu.
Tapi, saat seseorang bergelut dengan babun ajaib, dewi kucing, dan orang cebol
yang hobi kebut-kebutan, seseorang jadi tak gampang kaget kan.

Annabeth tidak yakin apakah ia salah dengar atau tidak, Orang cebol yang hobi
kebut-kebutan?

Mmm, Sadie melirik si monster anjing yang masih menggeliat di ikatan emasnya.
Tapi di sini inti masalahnya. Beberapa bulan yang lalu ibuku memperingatkanku. Ia
mengatakan supaya diriku berhati-hati dengan dewa-dewi lain serta jenis-jenis sihir
yang lain.

Botol di tangan Annabeth tiba-tiba terasa lebih hangat. Dewa-dewi lain. Kau tadi
menyebut Isis, dewi sihir bangsa Mesir. Tapi ... dia bukan ibumu?

Bukan, sahut Annabeth, Maksudku, ya. Isis memang dewi sihir bangsa Mesir. Tapi
dia bukan ibuku. Ibuku seorang hantu. Well ... dia dulunya seorang penyihir di
Dewan Kehidupan sih, seperti aku, tapi kemudian dia meninggal, jadi .

Sebentar, jantung Annabeth berdegup kencang sekali dan karena mengira tak ada
lagi yang bisa membuatnya lebih buruk ia membuka tutup botol ramuan itu dan
meminumnya.

Annabeth mengirarasanya akan seperti kaldu kolam sampah lagi, tapi ternyata
rasanya seperti jus apel hangat. Seketika itu juga pandangannya tampak jelas dan
perutnya tak lagi bergejolak.

Wow, kata Annabeth kagum.

Apa kubilang, Sadie menyeringai, Jaz sangat ahli meracik obat-obatan.

Jadi kau bilang tadi ... Dewan Kehidupan. Sihir Mesir. Kau seperti anak yang
ditemui pacarku.
Senyum Sadie memudar, Pacarmu ... bertemu dengan seseorang sepertiku?
Penyihir lainnya?

Tak jauh dari situ, makhluk mirip anjing itu masih menggeram dan meronta. Sadie
tampak tidak terlalu peduli, tapi Annabeth khawatir karena tali ajaib itu kini mulai
tampak menggelenyar.

Semuanya ini terjadi beberapa minggu yang lalu, kata Annabeth, Percy
menceritakan kisah gila tentang pertemuannya dengan seorang anak lelaki dekat
Teluk Moriches. Rupanya anak ini menggunakan hieroglif untuk merapal mantra. Ia
membantu Percy melawan seekor monster buaya raksasa.

Putra Dewa Sobek! sembur Sadie, Tapi saat itu abangku melawan monster itu
dan dia tidak bilang apapun soal .

Apa nama abangmu itu Carter? tanya Annabeth.

Aura emas penuh kemarahan tampak di atas kepala Sadie sebuah halo yang
terdiri hieroglif yang mirip dengan ekspresi kerutan kening, tinju, dan orang-orang
mati.

Sekarang, Sadie menggeram, nama abangku adalah Karung Tinju. Berani-


beraninya ia tidak menceritakan semuanya padaku.

Ah, Annabeth harus berjuang melawan dorongan untuk menjauh dari teman
barunya ini. Ia takut hieoglif amarah itu bisa meledak, Nama yang aneh.

Tak apa, kata Sadie, Aku akan sendang sekali meninju wajah abangku itu. Tapi
pertama-tama beritahu aku tentang semuanya tentang dirimu, para demigod,
tentang Yunani dan apa saja yang mungkin berhubungan dengan teman anjing kita
yang jahat ini.

Annabeth menceritakan apa yang ia tahu.

Biasanya ia tak mudah percaya pada orang lain, tapi ia punya banyak pengalaman
membaca sifat orang. Ia segera menyukai Sadie dengan kombinasi sepatu combat
bootnya, corak ungu di rambutnya, kelakuannya dan ... menurut pengalaman
Annabeth, orang yang tak bisa dipercaya tak akan begitu saja mengemukakan
keinginannya untuk meninju wajah seseorang. Mereka tidak akan menolong orang
asing yang tengah tak sadarkan diri dan menawarkan ramuan penyembuh.

Annebeth mendeksripsikan tentang Perkemahan Blasteran. Ia


menceritaka beberapa petualangannya saat melawan dewa-dewi, raksasa, dan
Titan. Ia menceritakan bagaimana ia melihat si monster-cangkang-berkepala-singa-
dan-serigala di Stasiun West Fourth Street dan memutuskan untuk mengikutinya.

Dan di sinilah aku sekarang.

Mulut Sadie bergetar. Ia tampak seolah-olah akan berteriak atau menangis. Tapi
yang terjadi justru sebaliknya, ia malah cekikikan.
Annabeth mengerutkan kening, Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu?

Tidak, tidak ..." Sadie mendengus. Well ... itu agak lucu. Maksudku, kita duduk di
pantai berbicara tentang dewa-dewa Yunani. Dan sebuah kamp untuk para demigod,
dan .

Itu semua benar!

Oh aku percaya padamu. Ini semua terlalu aneh untuk dianggap tidak benar. Hanya
saja setiap kali duniaku menjadi semakin aneh saja, aku berpikir: Oke.Kita sudah
ada di puncak kegilaan dunia sekarang. Setidaknya aku tahu sepenuhnya soal itu.
Pertama, aku menemukan bahwa diriku dan abangku adalah keturunan dari firaun
dan memiliki kekuatan sihir. Baiklah. Itu bukan apa-apa. Kemudian aku menemukan
ayahku yang sudah mati menggabungkan jiwanya dengan Osiris dan menjadi
penguasa orang mati. Brilian! Kenapa tidak? Lalu pamanku mengambil alih Dewan
Kehidupan dan mengawasi ratusan penyihir di seluruh dunia. Kemudian pacarku
tiba-tiba menjadi campuran antara bocah penyihir dan dewa pemakaman yang abadi.
Dan untuk sementara aku berpikir, Tentu saja! Tetaplah tenang dan lanjutkan saja!
Aku bisa menyesuaikan diri! Dan kemudian kau muncul di hari Kamis yang acak ini,
la-di-da, dan berkata: Oh, ngomong-ngomong, dewa-dewi Mesir hanyalah satu
bagian kecil dari absurditas kosmik. Sekarang kita juga punya dewa-dewi Yunani
untuk dikhawatirkan! Hore!

Annabeth tidak bisa mengikuti semua hal yang Sadie katakan tadi terutama soal
pacarnya yang juga seorang dewa pemakaman tapi ia harus akui bahwa
menertawakan itu semua jauh lebih sehat daripada meringkuk seperti bola dan
menangis.

Oke, Annebeth mengakui, Ini semua terdengar sedikit gila, tapi aku pikir itu semua
masuk akal. Guruku, Chiron ... selama bertahun-tahun memberitahuku bahwa dewa-
dewi kuno itu abadi karena mereka adalah bagian dari struktur peradaban. Jika
dewa-dewi Yunani bisa bertahan selama ini, kenapa tidak dengan dewa-dewi Mesir?

Semakin meriah, Sadie setuju, Tapi, erm, bagaimana dengan doggie kecil kita ini?
Ia memungut sebuah kerang kecil dan melemparkannya ke kepala monster
Labrador itu, yang langsung menggeram kesal, Sesaat yang lalu dia berada di meja
perpustakaan kami tampak seperti artefak yang tidak berbahaya, kami pikir ini
adalah sebuah potongan dari sebuah patung batu. Semenit kemudian ia hidup dan
kabur dari Rumah Brooklyn. Ia mencabik kubah sihir kami, dan menabrak penguin-
penguin Felix dan menelan mantra-mantraku seolah itu bukan apa-apa.

Penguin? Annabeth memiringkan kepalanya, Tidak. Lupakan saja pertanyaanku


tadi.

Annberh memeriksa monster anjing yang masih meronta. Huruf Yunani dan hieroglif
merah berputar-putar di sekelilingnya seolah hendak membentuk simbol baru
sebuah pesan yang nyarus dibaca Annabeth.

Apa tambang ini akan bertahan? tanyanya, Tampaknya tambang ini mulai
melemah.
Jangan khawatir, Sadie menenangkan Annabeth, Tambang ini pernah menahan
dewa-dewi sebelumnya, dan bukan hanya dewa-dewi kecil tapi YANG EKSTRA
BESAR.

Um, oke. Jadi kau tadi bilang anjing ini adalah bagian dari sebuah patung. Kau tahu
patung apa itu?

Tidak, Sadie angkat bahu, Cleo, pustakawan kami, tengah mencoba mencari
jawabannya ketika Fido ini tiba-tiba hidup.

Tapi makhluk ini pastinya terhubung dengan monster yang satu lagi si kepala
serigala dan singa. Aku menduga mereka pasti tiba-tiba dihidupkan juga. Mereka
bergabung dan tak terbiasa bekerjasama. Mereka mencari sesuatu di kereta tadi,
mungkin saja mencari anjing ini.

Sadie memain-mainkan kalung peraknya, Seekor monster dengan tiga kepala :


singa, serigala dan anjing. Dan semuanya mencuat dari ... sesuatu yang mengerucut?
Apa itu? Cangkang? Obor?

Pikiran Annabeth kembali berputar. Sebuah obor.

Sesuatu berkelebat di pikirannya mungkin sebuah gambar yang pernah ia lihat di


suatu buku. Ia tak pernah berpikir sebelumnya bahwa cangkang spiral si monster
mungkin sesuatu yang bisa digenggam, sesuatu yang dimiliki seorang yang punya
tangan besar. Tapi sebuah obor bukanlah jawabannya ... .

Itu sebuah tongkat! Annabeth tersadar, Aku tidak ingat dewa mana yang punya
benda itu, tapi tongkat berkepala tiga adalah simbolnya. Dia ... dewa Yunani, kukira,
tapi dia juga berasal dari suatu tempat di Mesir .

Alexandria, tebak Sadie.

Annabeth menatapnya, Dari mana kamu tahu?

Yah, aku memang bukan penggila sejarah seperti abangku, tapi aku pernah ke
Alexandria. Aku ingat bahwa kota itu menjadi ibukota saat Yunanu menguasai Mesir.
Pada masa Alexander Agung, bukan?

Annabeth mengangguk, Benar. Alexander menaklukkan Mesir dan sepeninggalnya,


jendralnya Ptolemy berkuasa. Ia ingin orang-orang Mesir mengakuinya sebagai
pharaoh, sehingga ia mencampuradukkan dewa-dewi dari Mesir dan Yunani dan
membuat dewa baru.

Kedengarannya kacau, kata Sadie, Aku lebih suka dewa-dewiku tetap seperti
sediakala.

Tapi ada seorang dewa tertentu ... aku tidak ingat namanya. Di mana makhluk
berkepala tiga itu bertengger di atas tongkatnya.
Tongkat yang besar, sahut Sadie, Aku benar-benar tidak ingin ketemu cowok yang
membawa-bawa benda itu.

Demi dewa-dewi! Annabeth bangkit berdiri. Itu dia! Tongkat itu tak hanya mencoba
menyatukan dirinya kembali ia juga mencoba menemukan tuannya.

Sadie merengut, Aku tidak suka itu. Kita harus memastikan .

Si monster anjing melolong dan tali ajaib itu meledak bak granat, menghamburkan
serpihan-serpihan emas di pantai itu.

Ledakan itu melempar Sadie ke bukit-bukit pasir layaknya tumbleweed bola


rumput kering.

Annabeth menabrak truk es krim. Otot-ototnya kejang. Seluruh udara di paru-


parunya seolah dipaksa keluar.

*****

Kalau makhluk mirip anjing itu ingin membunuhnya, ia bisa melakukan itu dengan
mudah.

Namun makhluk itu kemudian pergi dan menghilang di balik semak-semak.

Annabeth secara naluriah mencari-cari senjata. Jari-jemarinya melingkar di tongkat


lengkung Sadie. Ia dibuat terkesiap oleh rasa nyeri yang timbul setelahnya. Gading
itu terasa membakar seperti es kering. Annabeth mencoba melepasnya, tapi
tangannya tak mau patuh. Saat ia melihat tongkat itu lagi, tongkat itu tampak
berasap, wujudnya berubah, dan saat rasa membakar itu mereda Annabeth tengah
menggengam sebuah pisau perunggu langit sama persis dengan pisau yang dulu
ia pakai selama bertahun-tahun.

Annabeth menatap pisau itu lalu ia mendengar suara rintahan dari bukit pasir di
dekatnya.

Sadie! Annabeth berdiri dengan terhuyung-huyung.

Saat ia menemukan penyihir itu, Sadie tengah duduk, dan mengeluarkan pasir yang
masuk ke mulutnya. Ada sejumput rumput laut di rambutnya, dan ranselnya
menindih salah satu combat boot-nya, tapi ia lebih tampak marah daripada terluka.

Fido bodoh! ia menggeram, Takkan ada biskuit anjing untuknya! Ia mengerutkan


kening ketika menatap pisau Annabeth. Dari mana kau dapatkan itu?

Um ... ini sebenarnya tongkatmu, kata Annabeth. Aku meraihnya dan ... aku tidak
tahu. Tiba-tiba saja benda ini berubah menjadi pisau yang biasa aku gunakan.

Huh, Well, benda-benda sihir memang punya pikiran sendiri. Simpan saja. Aku
punya banyak di rumah. Sekarang, ke mana si Fido tadi pergi?
Ke sana, Annabeth menunjuk dengan pisau barunya.

Sadie menatap dataran itu lekat-lekat. Matanya melebar, Oh ... benar. Menuju badai.
Aneh.

Annabeth juga menatap ke arah yang sama. Tapi selain jalur kereta subway, ia tak
melihat apapun kecuali sebuah bangunan apartemen yang ditinggalkan, dipagari,
dan tampak berdiri tegak sendirian di antara langit sore, Badai apaan?

Kamu tidak lihat? tanya Sadie, Sebentar. Ia memisahkan sepatu bootnya dari
ranselnya lalu mengaduk-aduk isi tasnya. Ia mengeluarkan botol keramik lainnya
kali ini berbentuk agak gemuk dan melebar seperti kemasan krim wajah. Ia menarik
sumbatnya dan mencedok sejumlah cairan liat berwarna pink. Biarkan aku
mengoleskan ini di kelopak matamu.

Wow, tampaknya ... jawabanku tidak.

Jangan khawatir begitu. Benda ini sama sekali tak berbahaya ... well, untuk para
penyihir sih. Mungkin untuk demigod juga.

Annabeth tidak yakin dengan kemananan krim itu, tapi ia akhirnya menutup mata
juga. Sadie mengoleskan krim itu, yang membuat Annabeth merasa geli sekaligus
hangat, seolah dirinya tengah diolesi balsam menthol.

Yak, kata Sadie, Buka matamu sekarang.

Annabeth membuka matanya dan tersentak.

Dunia sekitarnya kini tampak berwarna-warni. Tanah yang ia pijak berubah, tampak
transparan dengan lapisan-lapisan lunak dan kenyal yang turun ke sebuah tempat
penuh kegelapan di bawahanya. Udara tampak beriak dengan tabir-tabir yang
berkilauan, setiap tabir itu tampak bergerak dinamis meski sedikit tidak sinkron,
seolah sejumlah video high-definition diletakkan bertumpuk satu sama lainnya.
Hieroglif dan huruf Yunani berputar-putar di sekelilingnya, melebur dan meledak saat
mereka bertabrakan. Annabeth merasa ia tengah menyaksikan dunia dalam skala
atom. Segala yang selama ini tak terlihat kini terungkap dan diwarnai dengan sinar
gaib.

Apa apa kamu melihat hal seperti ini sepanjang waktu?

Sadie mendengus, Demi Dewa-Dewi Mesir, nggaklah! Ini semua bisa membuatku
gila. Aku harus berkonsentrasi penuh untuk melihat Duat. Seperti yang sedang kamu
lakukan mengintip sisi magis dari dunia.

Aku ..., kata-kata Annabeth tersendat.

Annabeth biasanya adalah orang yang percaya diri. Kapanpun ia berurusan dengan
manusia biasa, ia selalu berlagak puas diri karena ia memiliki pengetahuan rahasia.
Ia mengerti akan dunia dewa-dewi serta monster. Manusia biasa tidak. Bahkan di
antara demigod lain, Annabeth hampir selalu menjadi veteran paling senior. Ia telah
melakukan banyak misi daripada yang pernah dibayangkan pahlawan lainnya dan
tetap hidup.

Tapi sekarang, setelah melihat tirai berwarna-warni ini, Annabeth seakan kembali
menjadi anak usia enam tahun lagi, yang baru saja belajar betapa menakutkan dan
berbahayanya dunianya ini.

Ia menjatuhkan dirinya di atas pasir, Aku tidak tahu harus bilang apa.

Jangan dipikirkan, Sadie menasehatinya, Tarik nafas. Matamu akan menyesuikan


diri. Ini seperti berenang kok. Kalau kau biarkan tubuhmu mengambil alih, nalurimu
akan tahu harus berbuat apa. Tapi kalau kau panik, kau tenggelam.

Annabeth mencoba rileks.

Dia mulai melihat pola di udara : arus yang mengalir di antara lapisan-lapisan realita,
jalur uap sihir mengalir dari mobil dan bangunan. Tempat kereta yang mengalami
kecelakaan tadi bersinar kehijauan. Sadie memiliki aura emas dengan bulu-bulu
berkabut menyebar di belakangnya seperti sayap.

Tempat di mana monster anjing tadi terbaring kini terlihat membara seperti bara api.
Jejak sulur merah tampak mengular dari tempat itu, menunjukkan arah kaburnya
monster tersebut.

Annabeth berfokus pada apartemen terbengkai yang tampak di kejauhan itu, dan
jantungnya memompa dua kali lebih cepat. Menara itu tampak bersinar merah dari
dalamnya cahaya itu merembes dari sela-sela jendela yang ditutupi papan kayu,
keluar dari retakan-retakan di dinding yang rapuh. Awan gelap tampak berputar di
atas kepala mereka dan ada banyak sekali sulur energi merah mengalir menuju
bangunan itu dari segala penjuru, seolah ditarik ke dalam sebuah pusaran.

Pemandangan ini mengingatkan Annabeth akan Charybdis, si monster penghirup


pusaran air yang pernah ia temui di Lautan Monster. Bukan memori yang
menyenangkan untuk diingat.

Bangunan apartemen itu, ia berkata, Bangunan itu menarik sinar merah dari
segala penjuru.

Tepat sekali, kata Sadie, Di sihir Mesir, merah berarti jelek. Merah menyimbolkan
kejahatan dan kekacauan.

Jadi ke sanalah si monster anjing pergi, tebak Annabeth, Untuk bergabung


dengan potongan tongkat lainnya .

Dan aku bertaruh, untuk menemukan pemiliknya juga.

Annabeth tahu ia harus segera berdiri. Mereka harus bergegas. Tapi, melihat
lapisan-lapisan sihir yang berputar-putar itu, ia merasa ragu untuk melangkah.
Ia telah menghabiskan seumur hidupnya untuk mempelajari tentang Kabut batas
gaib yang memisahkan dunia fana dengan dunia monster dan dewa-dewi Yunani.
Tapi ia tak pernah mengira bahwa Kabut benar-benar berwujud seperti tirai.

Dan apa tadi Sadie menyebutnya? Duat?

Annabeth penasaran apakah Kabut dan Duat saling terkait, atau mungkin keduanya
adalah hal yang sama. Jumlah tabir yang ia lihat benar-benar luar biasa banyak
tampak seperti sebuah permadani yang dilipat ke dalam dirinya sendiri ratusan kali.

Ia tidak percaya diri untuk berdiri. Panik, dan kau akan tenggelam.

Sadie mengulurkan tangannya. Matanya penuh sorot simpati, Dengar, aku tahu ini
terlalu banyak, tapi tak ada yang berubah. Kau masih demigod-tangguh-pembawa-
ransel yang sama. Dan sekarang kamu juga punya pisau yang bagus.

Annabeth merasakan darah naik ke wajahnya. Biasanya dia yang memberikan


nasihat pada orang lain.

Yeah. Yeah, tentu saja, ia menggamit tangan Sadie, Sekarang ayo kita pergi
mencari seorang dewa.

*****

Sebuah pagar bergembok rantai mengelilingi bangunan itu, tapi mereka berhasil
masuk melalui sebuah celah dan berjalan melalui sebuah lapangan yang dipenuhi
alang-alang dan pecahan beton.

Ramuan magis di mata Annabeth nampaknya sudah memudar efeknya. Dunia tak
lagi tampak berlapis-lapis dan berwarna-warni, tapi baginya lebih baik begitu. Ia
tidak perlu penglihatan istimewa untuk mengetahui bahwa menara itu penuh dengan
sihir jahat.

Dari dekat, cahaya merah di jendela-jendela itu tampak makin terang. Papan-papan
kayu bergemeretak. Dinding bata terdengar bergemuruh. Hieroglif berbentuk burung
dan sosok manusia terbentuk di udara dan melayang masuk ke dalam. Bahkan
grafiti yang ada di dinding tampak bergetar, seolah-olah simbol-simbol itu turut
berusaha menjadi hidup.

Apapun yang ada dalam bangunan itu, kekuatannya juga menarik-narik Annabeth
seperti Si Monster Cangkang dalam kereta tadi.

Ia mencengkram belati perunggu barunya, menyadari bahwa benda ini terlalu kecil
dan pendek untuk dipakai menyerang. Tapi inilah mengapa Annabeth suka pisau :
mereka membuatnya tetap fokus. Anak-anak Athena tak boleh bergantung pada
senjata jika ia bisa menggunakan akalnya. Perang dimenangkan dengan
kecerdasan, bukan kekerasan semata.
Sayangnya, pikiran Annabeth tidak sedang dalam kondisi prima.

Kuharap aku tahu apa yang sedang kita hadapi saat ini, gumamnya saat mereka
merayap mendekati bangunan itu. Aku lebih suka melakukan penyelidikan lebih
dahulu mempersenjatai diriku dengan pengetahuan tentang musuh.

Sadie mendengus, Kau kedengaran seperti abangku. Beritahu aku, seberapa sering
monster-monster ini memberimu waktu untuk meng-googling tentang mereka
sebelum mereka menyerang?

Tidak pernah, Annabeth mengakui.

Well, begitulah. Carter ia senang sekali menghabiskan berjam-jam di


perpustakaan, membaca setiap referensi tentang monster ganas yang mungkin akan
kami hadapi, menandai bagian-bagian yang dirasa penting, dan membuatkan flash
card[3] untukku supaya aku bisa belajar. Sayangnya, ketika demon menyerang,
mereka sama sekali tidak kasih peringatan, dan mereka sering tidak mau repot-repot
memperkenalkan diri mereka.

Jadi bagaimana standar operasionalmu?

Maju terus, kata Sadie, Biarkan kakiku yang berpikir. Dan kalau perlu, hancurkan
musuh sampai menjadi serpihan-serpihan mungil.

Hebat. Kamu pasti cocok dengan teman-temanku.

Kuanggap itu pujian. Jadi ... bagaimana, kita masuk lewat pintu itu?

Sejumlah anak tangga mengarah ke pintu masuk basement. Sebuah palang kayu
tampak dipaku pada pintu masuk dengan setengah hati supaya tak ada penyusup
yang masuk, tapi pintu itu sendiri tampak sedikit terbuka.

Annabeth hendak mengusulkan untuk mengamati sekeliling terlebih dahulu. Ia tak


percaya ada cara masuk yang begitu mudahnya, tapi Sadie tak mau menunggu.
Penyihir muda itu berlari menuruni tangga dan menyelinap masuk.

Annabeth tidak punya pilihan lain selain mengikuti Sadie.

Saat mereka masuk, mereka sadar bahwa mereka pasti mati kalau tadi masuk lewat
pintu lain.

Seluruh interior bangunan ini berubah menjadi gua yang tersusun atas cangkang-
cangkang setinggi tiga puluh lantai, di tengahnya ada sebuah pusaran yang terdiri
dari bata, pipa, papan, dan aneka jenis sampah, berpadu dengan huruf-huruf Yunani
bercahaya, hieroglif, dan gumpalan energi merah yang bersinar bak lampu neon.
Pemandangan itu tampak menakutkan sekaligus indah tornado itu seolah telah
ditangkap dan diberi pencahayaan di pusatnya lalu diletakkan di situ sebagai
pajangan.
Karena mereka memasuki lantai basement, Sadie dan Annabeth dilindungi oleh
sejumlah tangga semacam parit perlindungan dalam beton. Jika mereka sampai
berjalan menuju badai itu di lantai dasar sana, sudah pasti mereka akan tercabik-
cabik.

Annabeth menyaksikan sebuah bagaimana sebuah gelagar baja bengkok terbang


rendah dengan kecepatan setara mobil balap, puluhan batu bata melaju bak
kerumunan ikan. Sebuah tulisan hieroglif merah menabrak selembar kayu lapis, dan
kayu itupun terbakar seperti kertas tisu.

Di atas sana, Sadie berbisik.

Ia menunjuk ke puncak bangunan, di mana sebagian dari lantai tigapuluh masih


tampak utuh sebuah reruntuhan langkan[4] menjorok ke kehampaan. Sangat sulit
melihatnya melalui pusaran puing-puing dan kabut merah ini, tapi Annabeth bisa
melihat sesosok mirip manusia berdiri di tepian dengan tangan yang terentang
seolah menyambut badai itu.

Apa yang sedang dia lakukan? gumam Sadie.

Annabeth tersentak saat sebuah pipa tembaga berputar hanya beberapa inci dari
kepalanya. Ia menatap puing-puing itu dan mulai menyadari pola-pola seperti yang
sudah ia alami di Duat : pusaran papan kayu dan paku itu berkumpul untuk
membentuk sebuah kerangka platform dan sekelompok batu bata merakit diri seperti
Lego untuk membentuk sebuah lengkungan.

Ia tengah membangun sesuatu, ujarnya tersadar.

Membangun apa, bencana? tanya Sadie, Tempat ini membuatku ingat dengan
Dimensi Kekacauan. Dan percayalah, itu bukan tempat berlibur favoritku.

Annabeth menoleh ke arah Sadie. Ia bertanya-tanya apakah Kekacauan menurut


orang Mesir dan Yunani punya arti dan maksud yang sama. Annabeth pernah punya
pengalaman berhadapan sendiri dengan Kekacauan, dan jika Sadie juga pernah
menghadapi hal yang sama ... well, penyihir ini pasti lebih tangguh daripada
kelihatannya.

Badai ini tak seluruhnya acak, kata Annabeth, Lihat itu? Dan itu? Potongan-
potongan material berkumpul dan membentuk sebuah struktur di dalam bangunan
ini.

Sadie mengerut, Hanya kelihatan seperti batu bata yang diblender menurutku.

Annabeth tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskannya, tapi ia sudah membelajari


arsitektur dan teknik sipil cukup lama untuk mengenali detail-detail macam ini. Pipa-
pipa tembaga saling terhubung bak arteri dan vena dalam sistem sirkulasi manusia.
Sebagian dinding tua memecah-mecah dirinya dan membentuk puzzle jigsaw baru.
Dan sesekali, batu bata atau papan kayu terlepas dari dinding luar dan bergabung
dengan pusaran itu.
Ia mengkanibalisasi bangunan ini, katanya, Aku tidak tahu berapa lama dinding
luar bisa bertahan.

Sadie berbisik, Tolong beritahu aku bahwa dia tidak sedang membangun piramid.
Apa saja boleh asal jangan piramid.

Annabeth heran kenapa seorang penyihir Mesir bisa membenci piramid, tapi ia
menganggukkan kepalanya juga, Aku kira ini adalah semacam menara berbentuk
kerucut. Tapi hanya ada satu cara untuk memastikannya.

Tanya pada arsiteknya, Sadie menengadah, menatap apa yang tersisa dari lantai
30.

Pria yang berada di langkan itu tetap bergeming, tapi Annabeth berani bersumpah
pria itu tampak semakin membesar. Sinar merah berputar-putar di sekelilingnya.
Sekilas, ia tampak mengenakan sebuah topi tinggi seperti Abe Lincoln Abraham
Lincoln.

Sadie memanggul ranselnya, Jadi kalau itu si dewa kita yang misterius, di mana .

Tepat pada saat itu, sesosok makhluk berkepala tiga melolong di antara keriuhan. Di
sisi lain bangunan, sebuah pintu metal terbuka dan si monster cangkang melompat
masuk.

Sayangnya, monster ini kini sudah memiliki ketiga kepalanya serigala, singa, dan
anjing. Cangkangnya yang panjang dan berbentuk spiral dihiasi dengan tulisan
Yunani dan hieroglif bersinar. Dengan tidak menghiraukan puing-puing yang
beterbangan itu, monster itu melompat masuk ke dalam badai dengan enam kaki
depannya lalu melompat lagi ke atas. Badai membawanya ke atas, berputar-putar di
antara kekacauan.

Ia menghampiri pemiliknya, kata Annabeth, Kita harus menghentikannya.

Menyenangkan sekali, Sadie menggerutu, Ini akan menguras tenagaku.

Apa?

Sadie mengangkat tongkatnya. Ndah.

Sebuah hieroglif emas bersinar di atas mereka.

Dan tiba-tiba saja mereka sudah dikelilingi oleh semacam selubung cahaya.

Punggung Annabeth terasa merinding. Ia pernah berada dalam gelembung


perlindungan seperti ini dulu, saat ia, Percy dan Grover harus menggunakan mutiara
gain untuk keluar dari Dunia Bawah. Pengalaman itu benar-benar ... membuatnya
sesak nafas.

Ini akan melindungi kita dari badai? tanya Annabeth.

Moga-moga saja, wajah Sadie kini banjir peluh, Ayo.

Ia berjalan lebih dahulu menaiki anak-anak tangga.

Segera saja, perisai mereka diuji. Sebuah pisau dapur yang melayang nyaris saja
memenggal kepala mereka, tapi pisau itu segera hancur saat menabrak medan
kekuatan Sadie. Sementara itu bongkahan marmer tampak berputar-putardi
sekeliling mereka.

Brilian, ujar Sadie, Sekarang, pegang tongkat ini selagi aku berubah jadi burung.

Tunggu. Apa?

Sadie memutar bola matanya, Kita berpikir dengan kaki kita, kan? Aku akan terbang
naik ke atas sana dan menghentikan si monster tongkat. Kamu cobalah
mengalihkan perhatian si dewa ... siapapun dia. Ingat, alihkan perhatiannya!

Oke, tapi aku bukan penyihir. Aku tak bisa mempertahankan mantra ini.

Perisai ini akan bertahan selama beberapa menit, selama kamu memegang tongkat
itu.

Tapi bagaimana denganmu? Kalau kamu tidak berada di dalam sini .

Aku punya ide. Mungkin ini akan berhasil.

Sadie mengeluarkan sesuatu dari tasnya sebentuk patung hewan kecil. Ia


melingkarkan jari-jemarinya di sekeliling patung itu dan wujudnya mulai berubah.

Annabeth pernah melihat orang-orang yang berubah wujud menjadi hewan sebelum
ini, tapi tetap saja pemandangan itu tidak enak untuk dilihat. Ukuran Sadie mengecil
hingga sepersepuluh dari ukurannya semula. Hidungnya memanjang menjadi
sebentuk paruh. Rambut, pakaian, dan ranselnya meleleh menjadi bulu-bulu burung.
Ia berubah menjadi seekor burung pemangsa kecil mungkin burung layang-layang
mata birunya kini tambak berwarna emas cemerlang. Dengan patung kecil itu
masih tergenggam di cakarnya, Sadie membentangkan sayapnya dan terbang ke
arah badai.

Annabeth meringis saat melihat sekumpulan batu bata menabrak temannya itu tapi
entah mengapa puing-puing itu bergerak begitu saja tanpa membuat Sadie menjadi
bubur bulu. Wujud Sadie tampak berpendar seolah ia tengah bergerak di bawah
lapisan air yang dalam.

Lalu sadarlah Annabeth bahwa Sadie tengah berada di Duat terbang di level
kenyataan yang berbeda.
Kenyataan itu membuat pikiran Annabeth penuh dengan berbagai teori
kemungkinan. Jika para demigod bisa belajar untuk menembus dinding seperti itu,
berjalan lurus menembus monster ...

Tapi itu percakapan untuk lain waktu. Sekarang ia harus bergerak. Ia berlari menaiki
tangga dan masuk ke dalam pusaran. Batang logam dan pipa tembaga
berdentangan ketika membentur medan kekuatannya. Selubung emas itu tampak
bersinar lebih samar setiap kali berbenturan dengan puing-puing.

Ia mengangkat tongkat Sadie dengan sebelah tangannya dan pisau barunya di


tangan yang lain. Di dalam arus magis ini pisau perunggu langit itu meremang bak
obor yang nyaris mati.

Hei! ia berseru ke arah langkan yang berada jauh di atasnya, Tuan Dewa
Siapapun Itu!

Tak ada jawaban. Suaranya mungkin tak dapat melewati badai.

Cangkang-cangkang yang menyusun bangunan itu terdengar mulai mengerang.


Semen-semen mencair dan diaduk menjadi adonan mirip permen kapas.

Sadie si elang masih hidup rupanya, terbang melalui si monster berkepala tiga
selagi monster itu berputar naik. Monster itu sudah setengah jalan menuju puncak
sekarang, kakinya tampak bergerak-gerak dan tubuhnya bersinar lebih terang,
seolah ia tengah menyerap kekuatan tornado itu.

Annabeth kehabisan waktu.

Ia merogoh ingatannya, memilah-milah mitos kuno, kisah-kisah aneh yang telah


diceritakan Chiron kepadanya di perkemahan. Ketika ia masih kecil, otaknya
bagaikan spons, menyerap setiap fakta dan nama yang diceritakan padanya.

Tongkat berkepala tiga. Dewa dari Alexandria, Mesir.

Nama sang dewa akhirnya muncul juga di kepalanya. Setidaknya, ia berharap


tebakannya benar.

Salah satu pelajaran pertama yang ia pelajari sebagai demigod : nama mengandung
kekuatan. Jangan pernah menyebut nama seorang dewa atau monster kecuali kamu
sudah mempersiapkan diri untuk mengalihkan perhatiannya.

Annabeth menarik nafas dalam-dalam. Ia memanggil nama sosok itu keras-keras :


SERAPIS!

Badai itu melambat. Sekerumunan besar pipa melayang di udara. Awan batu-bata
dan kayu membeku dan menggantung di udara.

Terhenti di tengah tornado, si monster berkapala tiga mencoba untuk berdiri. Sadie
menukik ke atas kepalanya, membuka cakarnya dan menjatuhkan sebuah patung
hewan, yang dalam sekejap saja berubah menjadi seekor unta.
Unta berpunuk satu itu langsung menghantam punggung si monster. Kedua makhluk
itu langsung jatuh menghantam lantai dengan kepala dan kaki yang saling bertaut.
Si monster tongkat berusaha untuk melawan, tapi unta itu berbaring di atasnya
dengan kaki terentang, sambil mengembik dan meludah dan berulah seperti seorang
anak bayi berbobot seribu pound[5] yang rewel.

Dari langkan yang ada di lantai tiga puluh itu, suara seorang pria menggelegar,
SIAPA YANG BERANI MENYELA PERAYAAN KEBANGKITANKU?

Aku! seru Annabeth, Ayo turun dan hadapi aku!

Ia tidak terlalu suka melakukan ini demi unta milik orang lain, tapi ia ingin membuat
si dewa tetap sibuk dengan dirinya supaya Sadie bisa ... melakukan apapun yang
ingin dia lakukan. Penyihir muda itu jelas punya banyak trik bagus di balik lengan
bajunya.

Serapis melompat dari langkan tempatnya berpijak. Ia menuruni tiga puluh lantai dan
mendarat mulus dengan kedua kakinya di lantai dasar, ada dalam jangkauan
lemparan pisau Annabeth.

Sekarang Annabeth tergoda untuk menyerang.

Tinggi Serapis kira-kira lima belas kaki[6]. Ia hanya mengenakan celana renang
bermotif bunga-bunga Hawai. Tubuhnya penuh otot. Kulitnya coklat perunggu dan
dipenuhi dengan tato bersinar yang terdiri atas hieroglif, huruf Yunani, dan bahasa
lain yang tak dikenali Annabeth.

Wajahnya dibingkai oleh rambut panjang, tebal, dan gimbal seperti para pemusik
reggae. Sebentuk jengkot keriting ala Yunani tumbuh memanjang sampai sebatas
bahunya. Matanya hijau laut mirip sekali dengan Percy sehingga Annabeth
merinding dibuatnya.

Biasanya dia tidak suka pria-pria berbulu atau berjenggot, tapi harus dia akui dewa
yang satu ini punya daya tarik tersendiri, seperti seorang peselancar tua yang liar
namun tetap memikat hati.

Sayangnya pesona itu dirusak oleh hiasan kepalanya. Apa yang tadi Annabeth kira
adalah sebuah topi tinggi ternyata adalah sebuah keranjang anyaman berbentuk
silinder yang berhiaskan gambar bunga pansy.

Maaf, kata Annabeth, Apa yang ada di atas kepalamu itu pot bunga?

Serapis menaikkan alis coklat lebatnya. Ia menepuk-nepuk kepalanya seolah ia lupa


dengan keberadaan keranjang itu. Beberapa benih gandum tumpah dari atas
keranjang itu. Ini modius, gadis tolol. Salah satu simbol suciku! Keranjang gandum
ini merepresentasikan Dunia Bawah, daerah kekuasaanku.

Uh, benarkah?
Tentu saja! Serapis melotot, Setidaknya dulu begitu, tapi tak lama lagi aku akan
memerintahnya lagi. Tapi siapa dirimu sehingga berani mengkritik penampilanku?
Seorang demigod Yunani dari baumu, membawa pisau perunggu langit dan tongkat
Mesir dari Dewan Kehidupan. Siapa sebenarnya kau ini seorang pahlawan atau
penyihir?

Tangan Annabeth gemetaran. Meski tampak konyol dengan topi pot bunga itu,
Serapis memancarkan kekuatan yang luar biasa. Berdiri sedekat itu dengannya
membuat Annabeth merasa semua yang ada dalam dirinya hati, lambung bahkan
keberaniannya mencair.

Ayo bertahanlah, pikirnya, Kau sudah bertemu banyak dewa-dewi sebelum ini.

Tapi Serapis benar-benar berbeda. Keberadaannya sendiri sudah tampak salah


seolah-olah dengan kehadirannya saja dunia Annabeth dijungkirbalikkan.

Dua puluh kaki di belakang sang dewa, Sadie dalam wujud burung mendarat
dan berubah kembali menjadi wujud manusianya. Ia memberi isyarat pada
Annabeth : jari di depan bibir (sstt), lalu memutar-mutar tangannya (terus ajak dia
bicara) kemudian ia mulai merogoh isi tasnya pelan-pelan.

Annabeth sama sekali tak tahu apa yang sedang temannya itu rencanakan, tapi ia
memaksa dirinya untuk menatap mata Serapis, Siapa bilang aku bukan keduanya
seorang penyihir sekaligus demigod? Sekarang, jelaskan mengapa kau ada di sini.

Wajah Serapis tampak gelap. Lalu, tanpa Annabeth sangka, kepalanya bergoyang
ke belakang dan ia mulai tertawa, menumpahkan lebih banyak biji gandum dari
modiusnya. Aku paham! Kau mencoba membuatku terkesan kan? Apa kau pikir
dirimu cukup layak untuk menjadi pendeta tinggiku?

Annabeth menelan ludah. Hanya ada satu jawaban untuk pertanyaan seperti itu,
Tentu saja aku layak! Kenapa? Karena aku dulu adalah magna mater ibu agung
dari sekte pemuja Athena! Masalahnya ... apa kau cukup layak untuk aku layani?

HA! Serapis menyeringai, Ibu Agung dari sekte pemuja Athena, eh? Mari lihat
seberapa tangguh dirimu.

Sang dewa menjentikkan jarinya dan sebuah bathub melayang di udara, mengarah
ke medan energi Annabeth. Benda porselen itu hancur menjadi serpihan ketika
menabrak selubung emas itu, tapi tongkat Sadie kini menjadi sangat panas sehingga
Annabeth terpaksa melepaskannya. Tongkat kayu putih itu langsung terbakar
menjadi abu.

Oh bagus, pikirnya. Baru dua menit berlalu, ia sudah menghancurkan tongkat milik
Sadie.

Selubung pelindungnya kini sirna. Ia berhadapan dengan seorang dewa-setinggi-


lima-belas-kaki hanya bersenjatakan sebuah pisau kecil dan sejumlah besar
kenekatan.
Di kiri Annabeth, si monster berkepala tiga masih berusaha lepas dari tindihan si
unta, tapi unta itu berat, keras kepala, dan sangat liar. Tiap kali si monster mencoba
mendorongnya, si unta itu malah kentut dengan penuh semangat dan merentangkan
kakinya lebih lebar lagi.

Di saat yang sama, Sadie telah mengambil sepotong kapur dari tasnya. Ia
menuliskan sesuatu dengan penuh kegeraman di lantai beton yang ada di belakang
Serapis, mungkin ia sedang menulis epitaf[7] bagus untuk memperingati kematian
mereka yang mungkin sudah di depan mata.

Annabeth mengingat sebuah kutipan yang diceritakan oleh temannya Frank


diambil dari buku karya Sun Tzu : Seni Berperang.

Saat dirimu lemah, bersikaplah seolah kau kuat.

Annabeth berdiri tegak dan menertawakan Serapis, Silakan lempar apa saja
sesukamu, Tuan Serapis. Aku bahkan tak perlu tongkat untuk melindungi diriku.
Kekuatanku sangat-amat hebat! Atau mungkin bisa berhenti menghabiskan waktuku
dan beri aku petunjuk bagaimana aku bisa melayanimu andai saja aku menerima
tawaranmu untuk menjadi pendeta tinggimu yang baru.

Wajah dewa itu memerah karena marah.

Annabeth yakin sekali dewa itu akan menjatuhkan segala isi pusaran itu kepadanya,
dan sudah jelas dirinya tak mampu menghentikan pusaran itu. Ia sempat berpikir
untuk melemparkan pisaunya ke mata sang dewa, seperti yang dulu dilakukan
temannya Rachel untuk mengalihkan perhatian Titan Kronos, tapi Annabeth
tidak percaya diri dengan kemampuan membidiknya.

Akhirnya Serapis mengulaskan senyum penuh arti, Kamu punya keberanian, gadis
kecil. Aku akui itu. Dan kau tampak terburu-buru mencari diriku. Mungkin kau bisa
melayaniku. Kau akan menjadi yang pertama dari sekian banyak yang memberikan
diri kekuatan, hidup, dan setiap bagian dari jiwa mereka kepadaku!

Kedengarannya menyenangkan, Annabeth melirik ke arah Sadie, berharap gadis


itu bisa cepat menyelesaikan karya seni kapurnya.

Tapi pertama-tama, kata Serapis, aku harus mencari tongkatku!

Ia menunjuk ke arah si unta. Sebuah heroglif merah membakar kulit makhluk itu, dan,
diiringi satu kentut pamungkas, unta berpunuk satu malang itu lebur menjadi
tumpukan pasir.

Si monster berkepala tiga akhirnya bisa berdiri dengan keenam kaki depannya
sambil mengibas-ngibaskan pasir yang menempel di tubuhnya.

Tunggu sebentar! Annabeth berseru.


Serapis cemberut, Kenapa lagi, gadis kecil?

Well, Tidakkah seharusnya aku ... kau tahulah, mempersembahkan tongkat itu
kepadamu, sebagai pendeta tinggimu! Kita harus melakukan segalanya sesuai
aturan kan?

Annabeth beranjak mendekati monster itu. Sebenarnya monster ini terlalu berat
untuk ia angkat, tapi ia menyelipkan belatinya di sabuknya lalu menggunakan kedua
tangannya untuk mencengkeram ujung bawah cangkang makhluk itu, dan
menyeretnya mundur, menjauh dari si dewa.

Di sisi lain Sadie sudah selesai menggambar sebentuk lingkaran yang ukurannya
setara sebuah hula-hoop di lantai beton. Sekarang ia tengah menghiasinya dengan
sejumlah hieroglif, dengan kapur aneka warna.

Tentu saja Annabeth menjadi sangat frustasi. Oke,santai saja dan selesaikan
gambar itu seindah mungkin!

Ia berhasil memaksa dirinya tersenyim kepada Serapis selagi menahan si monster


tongkat yang masih saja mencakar-cakar beton berusaha bergerak maju ke depan.

Sekarang, Tuanku, kata Annabeth, beritahu aku tentang rencana hebatmu.


Sesuatu tentang jiwa dan kehidipan?

Si monster tongkat itu melolong dengan nada protes, mungkin karena ia melihat ada
Sadie di belakang sang dewa, yang tengah mempraktekkan teknik-seni-melukis-di-
aspal, dan Serapis sama sekali tak menyadarinya.

Lihat! Ia merentangkan lengannya yang berotot, Inilah pusat kekuasaanku yang


baru!

Bunga api merah menyala melalui pusaran angin yang membeku. Sebuah jaringan
cahaya menghubungkan sejumlah titik-titik hingga Annabeth bisa melihat garis besar
struktur bangunan yang tengah dibangun Serapis: sebuah menara besar setinggi
tiga ratus kaki, dan dirancang dalam tiga tingkatan bagian bawah yang berbentuk
persegi, tengah berbentuk segi delapan dan atas berbentuk melingkar. Pada
puncaknya berkobar api yang sangat terang, seterang landasan tempa yang dipakai
para Cyclop.

Sebuah mercusuar, kata Annabeth, Mercusuar Alexandria.

Benar sekali, pendetaku, Serapis berjalan mondar-mandir bak seorang guru yang
tengah mengajar, meskipun celana pendek motif bunganya benar-benar bisa
mengalihkan perhatian murid manapun. Topi keranjang gandumnya terus saja
bergoyang dari satu sisi ke sisi lainnya, menumpahkan sejumlah biji gandum. Entah
bagaimana ia masih juga tidak menyadari kehadiran Sadie yang tengah berjongkok
di belakangnya sambil melukis sejumlah gambar cantik dengan kapurnya.
Alexandria! dewa itu berteriak, Dulu adalah kota terbesar di dunia, perpaduan
sempurna antara Mesir dan Yunani! Di mana aku adalah dewa tertingginya, dan
sekarang aku bangkit kembali. Dan di sini, aku akan membangun ibukota baru!

Uh ... di Pantai Rockaway?

Serapis berhenti mondar-mandir dan mengelus janggutnya, Kau benar. Nama itu
tidak cocok. Kita perlu menamainya ... Rockandria? Serapaway? Well, kita pikirkan
itu nanti saja! Langkah pertama kita adalah merampungkan mercusuar baruku ini.
Tempat ini akan menjadi mercuar dunia di mana dewa-dewi Yunani dan Mesir
Kuno akan berada di sini untuk melayaniku seperti masa-masa indah yang telah
lampau. Aku akan memakan intisari kehidupan mereka dan menjadi dewa terkuat di
dunia!

Annabeth merasa dirinya seolah baru saja menelan satu sendok makan penuh
garam, Memakan intisari kehidupan mereka. Maksudmu menghancurkan mereka?

Serapis melambaikan tangannya dengan tak acuh, Menghancurkan adalah sebuah


kata yang jelek. Aku lebih suka menyebutnya menggabungkan. Kau tahu sejarahku
kan? Saat Alexander Agung menaklukkan Mesir .

Ia mencoba menggabungkan seluruh dewa-dewi kepercayaan Yuanni dan Mesir,


kata Annabeth.

Mencoba dan gagal, Serapis mendecakkan lidahnya, Akexander memilih dewa


matahari Mesir Amun untuk menjadi dewa utamanya. Semua itu tidak berjalan
dnegan baik. Orang-orang Yunani tidak suka dengan Amun. Begitu juga dengan
orang-orang Mesir di delta Sungai Nil. Mereka memandang Amun hanya sebagai
dewa penguasa hulu sungai. Tapi ketika Alexander wafat, seorang jendralnya
mengambilalih Mesir.

Ptolemy yang Pertama, kata Annabeth.

Serapis tampak berseri-seri, jelas sekali ia sedang senang. Ya ... Ptolemy. Itu baru
namanya seorang manusia yang punya visi bagus!

Butuh usaha keras bagi Annabeth untuk tidak menatap Sadie, yang telah
menyelesaikan lingkaran sihirnya dan tengah mengetuk-ngetuk deretan hieroglif
dengan jarinya sambil menggumamkan sesuatu seolah-olah hendak menghidupkan
mereka.

Si monster tongkat berkepala tiga menggeram tidak senang. Ia masih mencoba


untuk bergerak maju, dan Annabeth hampir tidak mampu lagi menahannya.
Cengkeraman jari-jarinya melemah. Aura makhluk itu masih saja membuatya mual
luar biasa.

Ptolemy membuat seorang dewa baru, katanya bersusah payah, Ia membuat


dirimu.
Serapis mengangkat bahu, Well, setidaknya ia tidak mulai dari nol. Dahulu aku
hanya seorang dewa minor yang menguasai sebuah desa. Tak satupun mendengar
soal diriku! Tapi Ptolemy menemukan patung diriku dan memboyongnya ke
Alexandria. Ia lalu memaksa para pendeta Yunani dan Mesir untuk membuat suatu
pertanda, merapalkan mantra-mantra, serta hal-hal lainnya. Mereka semua
bersepakat bahwa aku adalah dewa Serapis yang agung dan aku harus disembah di
atas semua dewa lainnya. Aku pun mendadak terkenal!

Sadie bangkit berdiri dan masuk ke dalam lingkaran sihirnya. Dia membuka selot
kalung peraknya dan mulai mengayunkannya bak sebuah laso.

Si monster berkepala tiga meraung, mungkin hendak memperingatkan tuannya:


Awas!

Tapi Serapis tampak tak terganggu. Selagi dirinya berbicara, tato hieroglif dan huruf
Yunani di kulitnya bersinar lebih terang.

Aku menjadi dewa paling penting bagi orang Yunani dan Mesir! katanya, Dan
seiring dengan makin banyaknya orang yang memujaku, aku mulai menyerap
kekuatan dewa-dewa lama. Perlahan tapi pasti, aku mengambil posisi mereka.
Dunia Bawah? Aku menjadi penguasanya, menggusur baik Hades maupun Osiris. Si
anjing penjaga Cerberus berubah menjadi tongkatku, yang tengah kau pegang itu.
Tiga kepalanya melambangkan masa lalu, masa kini dan masa depan semua yang
akan aku kuasai saat tongkat itu kembali kepadaku.

Sang dewa mengulurkan tangannya. Si monster meronta hendak mendekati sang


dewa. Otot-otot tangan Annabeth kini terasa terbakar. Cengkeramannya mulai
terlepas.

Sadie masih saja memutar-mutar kalungnya sambil menggumamkan mantra.

Demi Hecate, pikir Annabeth, berapa lama lagi sih mantra bodoh itu siap?

Ia menatap mata Sadie dan melihat pesan di matanya : Bertahanlah. Tinggal


beberapa detik lagi kok.

Annabeth tak yakin ia bisa bertahan lebih lama lagi.

Dinasti Ptolemaic ..., Annabeth mengertakkan giginya, Sudah runtuh berabad-


abad yang lalu. Sekte pemujamu telah hilang dan terlupakan. Bagaimana dirimu bisa
kembali sekarang?

Serapis mendengus, Itu tidak penting. Orang yang membangunkanku ... well, punya
delusi berlebihan soal keagungan. Dia pikir bisa mengkontrol diriku hanya karena ia
menemukan beberapa mantra tua di Kitab Thoth.

Di belakang sang dewa, Sadie tampak tersentak seolah seseorang telah memukul
matanya. Tampaknya Kitab Thoth ini punya arti khusus bagi dirinya.
Kau tahu, Serapis melanjutkan, di masa itu Raja Ptolemy tidak cukup puas hanya
dengan menjadikan aku dewa utama. Ia juga ingin menjadi abadi. Ia menyatakan
dirinya sendiri sebagai seorang dewa, tapi sihirnya berbalik menjadi senjata makan
tuan. Sesudah kematiannya, keluarganya menanggung kutukan selama beberapa
generasi. Garis keturunan Ptolemaic melemah dan makin melemah hingga akhirnya
si gadis tolol Cleopatra itu bunuh diri dan menyerahkan segalanya pada orang-orang
Romawi.

Sang dewa mencibir, Manusia... selalu serakah. Para penyihir yang


membangunkanku kali ini berpikir dia bisa melampaui Ptolemy. Membangkitkan aku
hanya salah satu eksperimennya untuk menggabungkan sihir Yunani-Mesir. Dia
ingin membuat dirinya sendiri menjadi dewa, tapi dia benar-benar tak meyadari
batas kemampuannya. Kini, aku telah bangkit dan aku akan mengendalikan alam
semesta. "

Serapis menatap Annabeth dengan mata hijaunya yang cemerlang. Sosoknya


tampak berubah-ubah, mengingatkan Annabeth akan dewa-dewa Olympus: Zeus,
Poseidon, Hades. Bahkan sesuatu di balik senyumannya mengingatkan Annabeth
akan ibunya, Athena.

Bayangkan saja, demigod cilik, kata Serapis, mercusuar ini akan menarik dewa-
dewi kepadaku bak ngengat tertarik pada sinar lilin. Ketika aku selesai menyerap
kekuatan mereka, aku akan membangun sebuah kota besar. Aku akan membangun
perpustakaan Alexandria yang baru yang berisikan semua pengetahuan dunia kuno,
baik dari Yunani maupun Mesir di dalamnya. Sebagai anak dari Athena, kau pasti
menyukai ini. Sebagai pendeta tinggiku, bayangkanlah semua kekuatan dan
kekuasaan yang akan kau miliki!

Sebuah perpustakaan Alexandria yang baru.

Annabeth tak bisa berpura-pura gagasan itu tak menarik baginya. Betapa banyak
pengetahuan dunia kuno yang hancur saat perpustakaan itu terbakar dahulu.

Serapis pastilah telah melihat hasrat itu di matanya.

Yah! Ia mengulurkan tangannya, Cukup sudah bicaranya, gadis kecil. Berikan


tongkatnya!

Kau benar, jawab Annabeth serak, Percakapan kita cukup sampai di sini.

Ia menarik pisaunya dan menusukkannya ke cangkang si monster.

[1] Metropolitan Museum of Art, New York

[2] Sekitar 9 kg

[3] Kartu pintar satu set kartu yang memuat informasi tentang angka, pengetahuan
umum, atau hal-hal sejenis itu. Biasa digunakan untuk alat bantu belajar.

[4] Pagar berupa kisi-kisi (KBBI)


[5] 453.6 kg

[6] 4,6 meter

[7] Kalimat indah yang tertulis di batu nisan untuk mengenang almarhum /
almarhumah.

Part 2

Banyak hal bisa jadi tidak berjalan mulus. Kebanyakan sih begitu.

Annabeth tadinya berharap pisau itu bisa memecahkan cangkang tersebut, atau
mungkin menghancurkan si monster. Tapi yang terjadi, cangkang itu malah
membuat sebuah retakan kecil yang memuntahkan sihir merah sepanas magma.
Annabeth pun terhuyung mundur, matanya perih.

Serapis berteriak, PENGKHIANAT! Makhluk tongkat itu melolong dan meronta-


ronta, ketiga kepalanya mencoba melepaskan pisau yang menancap di
punggungnya dengan putus asa.

Di saat yang sama, Sadie melepaskan mantranya. Ia melemparkan kalung peraknya


dan bersetu, Tyet!

Kalung itu meledak. Sebuah hieroglif perak raksasa, mengurung sang dewa
layaknya peti mati transparan.

Serapis meraung ketika lengannya terjepit di salah satu sisi tubuhnya.

Sadie berseru, Aku menamaimu Serapis, dewa dari Alexandria! Dewa yang ... uh,
punya topi aneh dan tongkat berkepala tiga! Aku mengikatmu dengan kuasa Isis!

Puing-puing mulai berjatuhan dari udara, beberapa jatuh di sekeliling Annabeth, ia


berhasil menghindari sebuah dinding bata dan sebuah kotak sekering. Kemudian ia
menyadari si monster tongkat itu tengah merangkak ke arah Serapis.

Ia pun turut menerjang ke arah yang sama, hanya untuk menerima hantaman
sebongkah kayu yang jatuh tepat di kepalanya. Annabeth menghantam lantai
dengan keras, kepalanya berdenyut-denyut, dan tiba-tiba saja lebih banyak lagi
reruntuhan yang jatuh ke arahnya.

Ia menarik nafas sambil gemetaran, Ow, ow, ow.


Setidaknya ia tidak terkubur timbunan batu bata. Tak berapa lama kemudian ia
berhasil keluar dari timbunan kayu lapis itu dan mencabut serpihan kayu sepanjang
enam inci dari bajunya.

Si monster itu telah sampai di kaki Serapis. Annabeth tahu harusnya dia tadi
menusuk salah satu kepala monster itu, tapi ia tidak tega melakukan itu. Ia terlalu
sayang pada hewan, bahkan jika hewan itu adalah bagian dari sihir jahat yang
berusaha membunuhnya. Sekarang semuanya sudah terlambat.

Sang dewa meregangkan otot-otot raksasanya. Penjara perak itupun pecah


berhamburan di sekelilingnya. Tongkat berkepala tiga itupun melayang ke
tangannya dan Serapis mengalihkan perhatiannya kepada Sadie Kane.

Lingkaran perlindungan Sadie sendiri menguap menjadi segumpal awan uap merah.

Kau hendak mengikatku? Serapis berseru, Kau hendak menamaiku? Kau bahkan
tidak menguasai bahasa yang layak untuk menamaiku, penyihir kecil!

Annabeth berjalan maju dengan sempoyongan dengan nafas pendek-pendek.


Sekarang Serapis memegang tongkatnya dan auranya terasa sepuluh kali lebih kuat
dari sebelumnya. Telinga Annabeth berdenging. Tumitnya serasa diubah menjadi
bubur. Ia bisa merasakan seolah daya hidupnya dikuras habis disedot ke dalam
halo merah sang dewa.

Entah bagaimana Sadie masih bisa berdiri tegak dengan ekspresi menantang di
hadapan Serapis, Baiklah, Tuan Mangkuk Sereal. Kau ingin bahasa yang layak?
HA-DI!

Sebuah hieroglif bersinar di wajah Serapis.

Tapi sang dewa segera menghapus hieroglif itu hanya dengan mengibaskan
sebelah tangannya. Ia menutup kepalan tangannya dan sejumlah asap panas keluar
di antara jari-jarinya, seolah ia baru saja menghancurkan sebuah miniatur mesin uap.

Sadie menelan ludah. Mustahil. Bagaimana mungkin ?

Mengharapkan sebuah ledakan? Serapis tertawa, Maaf mengecewakanmu, Nak,


tapi kekuatanku berasal dari Yunani dan Mesir. Kombinasi kedua, mengkonsumsi
keduanya, menggantikan keduanya. Kau tampaknya menyukai Isis ya? Sempurna.
Dulu dia pernah jadi istriku.

Apa? Sadie berteriak. Tidak mungkin. Tidak, tidak, tidak.


Oh ya! Saat aku menggulingkan baik Osiris maupun Zeus, Isis dipaksa untuk
melayaniku. Dan sekarang aku akan menggunakan dirimu sebagai gerbang untuk
memanggilnya kemari dan mengikat dirinya. Isis akan kembali menjadi ratuku!

Serapis mengulurkan tongkatnya. Dari masing-masing tiga mulut mengerikan itu


keluar sulur cahaya merah yang membelenggu Sadie seperti tali semak berduri.

Sadie menjerit, dan Annabeth akhirnya pulih dari keterkejutannya.

Ia meraih sebuah kayu lapis berbentuk persegi hampir seukuran perisai yang
berada paling dekat dengannya dan mencoba mengingat-ingat pelajaran melempar
frisbee yang ia pelajari dari Perkemahan Blasteran.

Hei Kepala Gandum! ia berseru.

Ia memutar pinggangnya, dengan menggunakan seluruh kekuatan dari seluruh


tubuhnya ia melemparkan benda itu. Kayu lapis itu melayang tepat saat Serapis
menoleh ke arahnya, dan tepi benda itu tepat mengenai daerah di antara kedua
matanya.

GAH!

Annabeth segera menukik ke satu sisi saat Serapis secara membabi-buta


menghujamkan tongkat ke arahnya. Tiga kepala monster itu menembakkan uap
super-panas, yang langsung mencairkan lantai beton tempat Annabeth tadi berdiri.

Ia terus bergerak melalui gundukan puing-puing yang sekarang berserakan di lantai.


Dia merunduk di balik tumpukan jamban toilet selagi tongkat sang dewa
menembakkan tiga kolom uap lagiarahnya, kali ini tembakannya terasa begitu dekat
sehingga leher belakangnya terasa melepuh.

Annabeth melihat Sadie berada sekitar tiga puluh meter darinya, sudah berdiri tegak
dan secara mengejutkan bergerak menjauh dari Serapis. Yah, setidaknya dia masih
hidup. Tapi Annabeth tahu Sadie akan butuh waktu untuk pulih sepenuhnya.

Hei Serapis! Annabeth memanggilnya dari balik tumpukan lemari, Bagaimana


rasanya dilempar kayu lapis tadi?

Anak Athena! sang dewa mengamuk, Aku akan memakan intisari kehidupanmu.
Aku akan menggunakanmu untuk menghancurkan ibu sundalmu! Kau pikir dirimu
bijak? Kau bukan apa-apa dibanding dia yang membangunkan aku, dan dia abhkan
tidak tahu kekuatan apa yang telah ia lepaskan. Tak ada satupun dari kalian yang
berhak mendapatkan mahkota keabadian. Aku menguasai masa lalu, masa kini, dan
masa depan. Aku sendiri yang akan memerintah para dewa!

Dan terima kasih untuk pidato panjangmu, batin Annabeth.

Saat Serapis menembaki tempatnya berdiri dan mengubah sejumlah toilet menjadi
setumpuk pecahan porselen. Annabeth harus merangkak sepanjang sisa
perjalanannya melintasi ruangan itu.
Ia tengah mencari Sadie ketika sang penyihir muncul dari tempat persembunyiannya,
yang hanya berjarak sepuluh kaki, dan berseru : Suh-FAH!

Annabeth menoleh dan menyaksikan sebuah hieroglif setinggi dua puluh kaki
tampak membara di dinding yang ada di belakang Serapis :

Semen-semen di dinding pun hancur. Satu sisi bangunan terdengar bergemeretak,


dan Serapis pun berseru, TIDAK! sebelum seluruh dinding itupun rubuh
menimpanya dalam wujud ombak batu bata, mengubur sang dewa di bawah
timbunan puing seberat seribu ton.

Annabeth terbatuk-batuk karena awan debu yang timbul. Matanya pedih. Ia merasa
baru saja ditanak setengah matang dalam rice cooker tapi saat ia berdiri, ia
tersandung menimpa Sadie.

Sang penyhir muda itu tampak diselimuti debu kapur, seolah-olah ia baru saja
direndam dengan gula halus. Ia menatap lubang besar yang baru saja ia buat di sisi
bangunan itu.

Berhasil deh, gumamnya.

Kamu tadi jenius sekali tahu! Annabeth meremas bahu Sadie, Mantra apa yang
kau pakai tadi?

Longgarkan, kata Sadie, Aku kira ... well, membuat sesuatu jadi berantakan
biasanya lebih mudah daripada menyusunnya.

Seolah setuju dengan perkataan Sadie, terdengar suara berderak dan bergemuruh
dari sisa bangunan itu.

Ayo, Annabeth menggamit tangan Sadie, Kita harus keluar dari sini. Dinding ini .

Fondasi bangunan bergetar dan dari bawah reruntuhan terdengar sebuah raungan
marah. Sinar-sinar merah tampak keluar dari sela-sela reruntuhan.

Oh ayolah! Sadie memprotes. Masa dia masih hidup sih?

Jantung Annabeth mencelus, tapi ia tak terlalu terkejut. Dia kan dewa. Dia abadi.

Well, lalu bagaimana ?

Tangan Serapis yang masih mencengkeram tongkat, keluar dari tumpukan bata dan
papan-papan kayu. Tiga kepala si monster kembali menembakkan uap panas ke
segala arah. Pisau Annabeth masih tampak menancam di cangkang si monster, dan
bekas luka di sekelilingnya memancarkan sejumlah hieroglif, huruf Yunani, dan
sumpah serapah dalam bahasa Inggris berwarna merah membara kata-kata kutuk
dari masa ribuan tahun benar-benar tumpah ruah di sana.

Seperti garis waktu, batin Annabeth.

Tiba-tiba saja sebuah gagasan muncul di benaknya, Masa lalu, masa kini, dan
masa depan. Ia mengontrol semuanya.

Apa? tanya Sadie.

Kunci semua ini ada pada tongkat itu, kata Annabeth, Kita harus menghancurkan
tongkat itu.

Ya sih, tapi .

Annabeth berlari ke arah tumpukan puing. Matanya menangkap wujud gagang


pisaunya, tapi ia sudah terlambat.

Lengan Serapis yang satu lagi telah bebas, kemudian menyusul kepalanya, lalu topi
keranjang bunganya yang sudah retak dan menumpahkan biji-biji gandum. Fresbee
kayu lapis tadi mematahkan hidungnya dan membuat matanya menghitam, dewa itu
kini tampak seperti mengenakan topeng rakun.

Mati kau! ia berseru marah, tepat saat Sadie meneriakkan mantra sekali lagi :
Suh-FAH!

Annabeth segera mundur dan Serapis kembali menjerit, TIDAK! saat seluruh tiga
puluh lantai di atasnya rubuh menimpa dirinya.

Sihir itu tampaknya terlalu berat bagi Sadie. Ia jatuh lemas bak boneka kain dan
Annabeth berhasil menangkapnya hanya sesaat sebelum kepalanya membentur
lantai. Saat sisa-sisa dinding bergetar dan mulai membungkuk ke dalam, Annabeth
pun menggendong gadis muda itu keluar.

Entah bagaimana ia berhasil keluar sebelum seluruh tempat itu runtuh. Annabeth
mendengar suara raungan keras, tapi ia tak yakin apakah itu berasal dari
kehancuran yang ada di belakangnya ataukan suara tulang tengkoraknya yang
terbelah karena rasa sakit dan kelelahan.

Annabeth berjalan sempoyongan hingga akhirnya ia mencapai jalur kereta subway.


Di sana ia membaringkan Sadie pelan-pelan di atas rerumputan.

Mata Sadie memutar ke atas sehingga irisnya tak tampak, hanya warna putih
matanya saja. Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Kulitnya panas
sehingga Annabeth harus berusaha keras untuk tidak panik. Uap panas tampak
keluar dari lengan si penyihir.
Di atas reruntuhan kereta, para manusia telah menyadari adanya bencana baru.
Aneka kendaraan darurat tampak bergerak menuju apartemen yang runtuh itu.
Sebuah helikopter pers tampak berputar-putar di atas kepala mereka.

Annabeth sempat tergoda untuk berteriak minta tolong, tapi sebelum ia


melakukannya, Sadie telah menarik nafas dalam-dalam dan bola matanya kembali
normal.

Ia meludahkan sebuah potongan beton dari mulutnya, kemudian duduk lemas


memandang tiang debu yang berputar di langit, hasil petualangan kecil mereka
barusan.

Yak, Sadie menggumam, Apa lagi yang harus kita hancurkan setelah ini?

Annabeth terisak lega, Terima kasih pada dewa-dewi, karena kau baik-baik saja.
Kau tadi tampak berasap.

Efek samping, Sadie menggosok debu dari wajahnya, Jika terlalu banyak
menggunakan sihir aku akan terbakar benar-benar terbakar. Apa yang kulakukan
hari ini benar-benar nyaris membuatku bakar diri.

Annabeth mengangguk. Ia tadinya begitu iri pada mantra-mantra keren yang bisa
dikeluarkan oleh Sadie, tapi sekarang ia lega bahwa ia cuma seorang demigod, Tak
ada lagi sihir-sihiran lagi!

Untuk sementara sih tidak, Sadie meringis, Tapi ... Serapis belum kalah kan?

Annabeth menatap lokasi bakal-mercusuar tadi. Ia ingin berpikir bahwa sang dewa
sudah mati, tapi ia tahu itu tidak benar. Ia masih bisa merasakan auranya membuat
gangguan di dunia sekitarnya, menarik-narik jiwanya dan menyerap energinya.

Kita setidaknya punya waktu beberapa menit, Annabeth mengira-ngira, Ia akan


membebaskan dirinya lalu akan mengejar kita.

Sadie menggerutu, Kita butuh bala-bantuan. Sayangnya aku tidak punya cukup
energi untuk membuka portal bahkan jika aku bisa menemukan satu di sini. Isis juga
tidak merespon. Ia tahu benar untuk tidak menampakkan diri dan intisari
kehidupannya diserap Si Tuan Mangkuk Sereal. Ia mendesah, Dirimu juga tidak
bisa melakukan panggilan cepat ke demigod lainnya kan?

Kalau saja bisa ..., ujar Annabeth bimbang.

Ia lalu sadar bahwa ranselnya masih berada di bahunya. Bagaimana benda ini tidak
terlepas saat ia bertarung tadi? Dan kenapa tas ini terasa lebih ringan?

Ia menurunkan tasnya dan membuka bagian atas tasnya. Buku-buku arsitekturnya


sudah tak ada. Tapi sebagai gantinya, berada di dasar tas ada sebuah kotak persegi
coklat berbalut plastik dan berisikan ambrosia, dan di bawah itu ...
Bibir bawah Annabeth gemetaran. Ia menarik keluar sebuah benda yang sudah lama
tidak ia bawa : topi baseball butut birunya yang bertuliskan New York Yankees.

Ia menatap ke langit gelap, Mom?

Tak ada balasan, tapi Annabeth tak bisa memikirkan jawaban lainnya. Ibunya telah
mengirimkan bantuan untuk dirinya. Kenyataan ini membuatnya senang sekaligus
takut. Jika Athena sampai ikut campur dalam situasi ini, Serapis pastilah benar-
benar ancaman yang luar biasa tak hanya bagi Annabeth tapi juga bagi para dewa.

Itu topi baseball kan? kata Sadie, Apa itu barang bagus?

A-aku kira iya, kata Annabeth, Saat terakhir aku mengenakan ini, sihirnya tak lagi
bekerja. Tapi jika sihirnya telah kembali ... aku punya rencana. Sekarang saatnya
dirimu yang membuat Serapis sibuk.

Sadie mengernyit, Tidakkah aku sudah bilang kalau aku tak bisa lagi menyihir?

Tak apa, kata Annabeth, Bagaimana kemampuanmu dalam hal menggertak,


berbohong, dan bicara panjang lebar tak tentu arah?

Sadie mengankat sebelah alisnya, Aku pernah diberitahu bahwa hal itu adalah
bakatku yang paling luar biasa.

Sempurna, kata Annabeth, Jadi ini saatnya aku mengajarimu beberapa hal soal
Yunani.

Mereka tidak punya waktu cukup lama.

Annabeth bahkan nyaris belum selesai membina Sadie ketika reruntuhan bangunan
itu mulai bergetar, puing-puing meledak ke segala arah, dan Serapis muncul kembali
sambil meraung dan menyumpah-nyumpah.

Para petugas yang kaget berhamburan dari tempat kejadian, tapi mereka tampaknya
tidak menyadari adanya seorang dewa setinggi lima belas kaki bergerak menjauhi
reruntuhan. Tongkat berkepala tiganya memuntahkan uap dan berkas merah ke
langit.

Serapis langsung bergerak menuju Sadie dan Annabeth.

*****

Siap? tanya Annabeth.

Sadie menarik nafas, Memangnya aku punya pilihan?

Ini, Annabeth memberinya sekotak ambrosia, Makanan para demigod. Mungkin


bisa memulihkan kekuatanmu.

Mungkin, eh?
Jika aku bisa minum ramuan penyembuhmu, kau pasti juga bisa makan ambrosia.

Bersulang, kalau begitu, Sadie menggigit sepotong dan pipinya pun kembali
merona, sorot matanya kembali cerah, Terasa seperti roti scone buatan nenekku.

Annabeth tersenyum, Ambrosia selalu terasa seperti makanan favoritmu.

Sayang sekali, Sadie menggigit sekali lagi dan menelan ambrosia itu, Scone
buatan nenekku selalu gosong dan rasanya agak ... mengerikan. Ah itu dia teman
kita.

Serapis menendang sebuah mobil pemadam yang menghalangi jalannya lalu


berjalan pelan ke arah rel kereta. Ia tampaknya belum melihat Sadie dan Annabeth,
tapi Annabeth yakin ia bisa merasakan keberadaan mereka. Ia menatap cakrawala
dengan ekspresi wajah yang dipenuhi nafsu membunuh.

Ayo kita mulai, Annabeth mengenakan topi baseballnya.

Mata Sadie membelalak, Bagus sekali. Sekarang kau tak kasat mata. Kau tak akan
muali menghasilkan percikan api kan?

Kenapa aku harus melakukan itu?

Oh ... abangku dulu pernah menggunakan sihir tak kasat mata dan ... sihirnya tidak
berjalan mulus. Ngomong-ngomong, semoga beruntung.

Kau juga.

Annabeth berlari ke satu sisi selagi Sadie melambaikan tangannya dan berseru, Oi,
Serapis!

MATILAH KAU! teriak sang dewa.

Ia mempercepat langkahnya, kakinya yang besar membuat semacam lubang


selebar kawah di aspal jalan.

Seperti yang telah mereka rencanakan, Sadie menghadap pantai sementara


Annabeth berjongkok di belakang sebuah bangkai mobil dan menunggu Serapis
lewat. Terlihat atau tidak, ia tak mau ambil resiko.

Ayolah! Sadie memanas-manasi sang dewa, Apa kecepatanmu hanya segitu,


orang udik idiot berbadan raksasa?

RAR! Sang dewa berlari melewati posisi Annabeth.

Annabeth berlari mengejar Serapis, yang akhirnya bertemu dengan Sadie di tepian
pantai.

Sang dewa mengangkat tongkatnya yang bersinar, tiga kepala mengerikan di


tongkatnya itu menyemburkan uap, Ada kata-kata terakhir, penyihir?
Untukmu? Ya! Sadie memutar lengannya, membuat gerakan yang tampak seperti
gerakan sihir atau mungkin kung fu.

Meana aedei thea! Ia mengucapkan bait-bait yang diajaarkan Annabeth tadi, En


ponte pathen algae!

Annabeth meringis. Sadie melafalkannya dengan sangat buruk. Baris pertamanya


memang benar, artinya kurang lebih : Menyanyilah dalam kemarahan, O dewi-dewi.
Baris keduanya seharusnya berbunyi : Rasakanlah penderitaan di dalam lautan.
Tapi, Sadie tadi kedengarannya mengatakan sesuatu semacam, Di dalam lautan,
lumut gambut menderita!

Untungnya, ucapan dalam bahasa Yunani kuno itu sudah cukup untuk membuat
Serapis terdiam. Sang dewa bergidik, tongkat berkepala tiganya masih terangkat.
Apa yang kau .

Isis, dengarkan aku! Sadie melanjutkan, Athena, bantulah aku! ia terus saja
mengoceh, kadang dalam bahasa Yunani, kadang bahasa Mesir kuno.

Di saat yang sama, Annabeth menyelinap ke belakang sang dewa, matanya


menatap pisau yang masih menghujam cangkang si monster. Kalau saja Serapis
bisa menurunkan tongkatnya ... .

Alpha, beta, gamma, Sadie berteriak, Gyros, spanakopita. Presto! Ia tersenyum


penuh kemenangan. Daaan, habislah kamu!

Serapis menatap Sadie dengan ekspresi kebingungan. Tato merah di sekujur


tubuhnya tampak meredup. Beberapa simbol malah berubah bentuk menjadi tanda
tanya dan ekspresi wajah sedih. Annabeth terus merangkak mendekati sang dewa ...
jaraknya dengan Serapis hanya tinggal dua puluh kaki lagi.

Sudah selesai? tanya Serapis, Apa sih yang kamu bicarakan, gadis cilik? Ah
sudahlah, aku akan menghancurkanmu sekarang.

Dan jika kau lakukan itu, Sadie memperingatkan, kau akan mengaktifkan garis
kematian yang akan membuatmu menjadi sesuatu yang terlupakan.

Garis kematian? Tak ada benda semacam itu! Serapis menurunkan tongkatnya.
Tiga kepala hewan itu kini sejajar dengan mata Annabeth.

Jantungnya berdegup kencang. Tinggal sepuluh kaki lagi. Kemudian, jika ia


melompat, ia mungkin bisa menggapai pisau itu. Ia tahu ia hanya punya satu
kesempatan untuk mencabutnya.

Kepala-kepala tongkat itu tampaknya tidak menyadari keberadaannya. Mereka


hanya tampak saling menggeram dan saling mengadu kepala, lalu memuntahkan
uap panas ke berbagai arah. Serigala, singa, dan anjing masa lalu, masa kini, dan
masa depan.
Untuk membuat kerusakan yang maksimal, ia tahu kepala mana yang harus ia
serang.

Tapi kenapa masa depan harus berbentuk seekor anjing? Labrador hitam itu tampak
tidak berbahaya dibandingkan kepala lainnya. Dengan bola matanya yang besar dan
berwarna emas serta cuping telinganya yang terlipat, kepala itu malah mengingatkan
Annabeth akan aneka hewan peliharaan lucu yang pernah ia temui.

Itu bukan hewan betulan, ia berkata pada dirinya sendiri. Itu adalah bagian dari
sebuah tongkat sihir.

Tapi saat ia tiba pada posisi menyerang, lengannya tiba-tiba menjadi berat. Ia tak
bisa menatap si anjing tanpa merasa bersalah.

Si anjing seolah mengatakan, Hei, masa depan adalah sesuatu yang baik. Aku
hewan lucu dan buluku halus!

Jika Annabeth menyerang kepala si Labrador, apakah ia akan menghancurkan


masa depannya sendiri rencananya masuk universitas, rencananya dengan
Percy ...?

Sadie masih saja mengoceh dan nadanya terdengar makin lantang.

Ibuku, Ruby Kane, Sadie berkata pada Serapis, ia mengorbankan hidupnya untuk
menyegel Apopis di Duat. Apopis, kau dengar? Makhluk yang usianya ribuan tahun
lebih tua darimu dan lebih kuat. Jadi jika kau pikir aku akan membiarkan seorang
dewa kelas dua hendak menguasai dunia, pikirkan lagi!

Amarah di nada suaranya sama sekali tidak dibuat-buat, dan tiba-tiba saja Annabeth
merasa lega karena telah membiarkan Sadie menghadapi Serapis. Si penyihir itu
bisa menjadi sangat menakutkan kalau ia mau.

Serapis beringsut dengan gelisah, Aku akan menghancurkanmu!

Semoga beruntung, kata Sadie, Aku telah mengikatmu dengan sihir dari Yunani
dan Mesir, sihir yang amat kuat dan mampu menyerakkan atom-atom penyusun
dirimu ke angkasa luar.

Kau bohong! Serapis berteriak, Aku tak merasakan mantra apapun melekat
padaku. Bahkan dia yang memanggilku kemari tak punya sihir seperti itu.

Annabeth kini berhadap-hadapan dengan si anjing hitam. Pisaunya tepat berada di


atas kepalanya, namun setiap molekul penyusun tubuhnya seakan berontak
melawan gagasan membunuh bintanang ... simbol masa depan itu.

Sementara itu, Sadie tampak sedang tertawa gagah, Dia yang memanggilmu?
Maksudmu si tukang tipu tua bernama Setne itu?
Annabeth tidah tahu-menahu soal nama itu, tapi Serapis jelas-jelas tahu. Udara di
sekitarnya tampak beriak karena suhu panas. Sang singa menggeram dan sang
serigala memamerkan gigi-giginya.

Oh ya, Sadie melanjutkan perkataanya, Aku kenal baik dengan si Setne ini. Kukira
dia tidak memberitahumu siapa yang membiarkannya kembali ke dunia. Ia bisa
hidup hanya karena aku mengampuninya. Kau pikir sihirnya hebat? Coba saja kau
serang aku sekarang. Lakukan SEKARANG!

Annabeth terhenyak. Ia sadar bahwa Sadie barusan bicara padanya, bukan pada
sang dewa. Gertak sambal ini sudah mulai tidak efektif. Ia sudah kehabisan waktu.

Serapis menyeringai, Usaha yang bagus, penyihir.

Saat ia mengangkat tongkatnya untuk menyerang, Annabeth melompat. Tangannya


melingkari gagang pisaunya, dan ia mencabutnya.

Apa? teriak Serapis.

Annabeth terisak parau lalu menusukkan pisaunya ke leher si anjing.

Ia mengira akan langsung terjadi sebuah ledakan.

Alih-alih demikian, pisau itu malah terserap ke dalam leher si anjing seperti sebuah
penjepit kertas yang dihisap masuk ke dalam vacuum cleaner.Annabeth bahkan tak
sempat melihatnya terhisap.

Ia berguling menghindar selagi si anjing melolong, menggelepar, dan mengecil


hingga akhirnya ia meledak di dalam cangkang si monster. Serapis meraung. Ia
mengguncang-guncangkan tongkatnya tapi tampaknya tak mampu melepaskannya.

Apa yang kau lakukan? serunya.

Merampas masa depanmu, kata Annabeth, Tanpa itu, kau bukan siapa-siapa.

Tongkat itu terbelah dan memancarkan suhu yang luar biasa panas sehingga
Annabeth merasa rambut-rambut halus di lengannya terbakar. Ia merangkak mundur
melalui perbukitan pasir saat kepala singa dan serigala juga turut terhisap ke dalam
cangkang. Seluruh tongkat itu kini berubah wujudnya menjadi sebuah bola api di
tagan sang dewa.

Serapis mencoba untuk melepaskannya namun itu hanya membuat bola api itu
bersinarmakin terang. Jari-jarinya tampak melengkung ke dalam. Tangannya
terhisap. Seluruh lengannya turut menyusul kemudian dan menguap saat dihisap ke
dalam bola api membara itu.

Aku tak dapat dihancurkan! Serapis berseru, Aku adalah puncak dari kedua dunia
kalian! Tanpa bimbinganku, kalian takkan mampu mendapatkan mahkotanya! Kalian
semua akan binasa! Kalian akan .
Bola api itu membesar dan menghisap sang dewa ke dalam pusarannya. Lalu benda
itu mengecil dan menghilang seolah tidak pernah ada.

Ugh, Sadie melenguh.

*****

Mereka berdua duduk di pantai saat matahari terbenam, menatap ombak dan
mendengarkan sirene mobil-mobil pemadam kebakaran di belakang mereka.

Pantai Rockaway yang malang. Mula-mula dihantam topan badai. Kemudian


dihantam kecelakaan kereta, runtuhnya sebuah gedung, dan dewa yang mengamuk
dalam satu hari yang sama. Beberapa tempat memang tak pernah bisa beristirahat
dari yang namanya bencana.

Annabeth menyesap Ribenanya minuman asal Inggris yang Sadie panggil dari
tempat penyimpanan pribadinya di Duat.

Jangan khawatir, Sadie meyakinkannya, Memanggil makanan ringan bukan


sesuatu yang sulit.

Karena sangat haus, Ribena itu terasa lebih nikmat daripada nektar.

Sadie sendiri tampak lebih baik sekarang. Ambrosia itu benar-benar manjur.
Sekarang ia tak lagi tampak seperti orang di ambang pintu kematian, ia hanya
tampak seperti ditabrak sekawanan bagal.

Gelombang laut membentur kaki Annabeth, membuatnya sedikit rileks, namun


masih saja ia merasakan sedikit kegelisahan pasca pertemuannya dengan Serapis
ada suara dengungan keluar dari tubuhnya, seolah seakan seluruh tulangnya kini
sudah berubah menjadi garpu tala.

Tadi kau menyebutkan sebuah nama, Annabeth mengingat-ingat. Setne?

Sadie mengerutkan hidungnya, Ceritanya panjang. Dia penyihir jahat yang bangkit
kembali dari kematian.

Oh, aku benci kala orang jahat bangkit dari antara orang mati. Kau bilang ... kau
membiarkannya bebas?

Well, aku dan abangku butuh bantuannya. Saat itu, kami tak punya banyak pilihan.
Pokoknya, Setne berhasil kabur membawa Kitab Thoth buku kumpulan mantra
paling berbahaya di dunia.

Dan Setne menggunakan sihir itu untuk membangunkan Serapis.

Masuk akal, Sadie mengangkat bahu, Monster buaya yang dilawan abangku dan
pacarmu beberapa waktu yang lalu, Putra Dewa Sobek ... aku tak terlalu terkejut
kalau itu adalah salah satu hasil eksperimen Setne. Ia mencoba menggabungkan
sihir Yunani dan sihir Mesir.
Setelah hari berat yang baru saja ia jalani, Annabeth rasanya ingin memakai topi
tembus pandangnya, merangkak masuk ke dalam sebuah lubang, dan tidur
selamanya. Ia sudah cukup menyelamatkan dunia. Ia tak ingin lagi memikirkan
ancaman potensial lainnya. Namun ia juga tak bisa mengabaikannya begitu saja. Ia
meraba pinggiran topi Yankee-nya dan berpikir mengapa ibunya memberikan benda
ini lagi kepadanya dengan sihir yang telah dipulihkan.

Athena tampaknya mengirim pesan : Selalu ada ancaman yang terlalu kuat untuk
dihadapi secara langsung. Urusanmu dengan dunia tak terlihat beum selesai. Kamu
harus melangkah lebih hati-hati sekarang.

Setne ingin menjadi dewa, kata Annabeth.

Angin yang berhembus dari laut tiba-tiba terasa dingin. Baunya tak lagi seperti udara
laut yang segar, lebih mirip seperti reruntuhan yang terbakar.

Seorang dewa, Sadie bergidik, Si tua bangka bercawat dan berambut Elvis itu?
Sungguh mengerikan.

Annabeth mencoba membayangkan pria yang dideskripsikan Sadie itu. Tapi


akhirnya ia memutuskan untuk tidak melakukannya.

Jika tujuan Setne adalah keabadian, kata Annabeth, membangunkan Serapis


bukanlah ulahnya yang terakhir.

Sadie tertawa getir, Oh tidak. Dia hanya sedang bermain-main dengan kami
sekarang. Putra Sobek ... Serapis. Aku bertaruh Setne merencanakan dua peristiwa
ini hanya untuk melihat apa yang akan terjadi, bagaimana para demigod dan para
penyihir akan bereaksi. Ia tengah menguji sihir barunya, dan kemampuan kita
sebelum dia menunjukkan kekuatannya yang sebenarnya.

Dia takkan berhasil, kata Annabeth penuh harap, Tak ada seorangpun bisa
membuat dirinya menjadi dewa hanya dengan merapal mantra.

Ekspresi Sadie tampak tidak yakin, Aku harap kau benar. Karena adanya seorang
dewa yang tahu sihir dari Yunani dan Mesir, yang bisa mengontrol kedua dunia ini ...
sungguh-sungguh tak bisa kubayangkan.

Perut Annabeth bergejolak seperti baru saja belajar posisi yoga yang baru. Di setiap
perang, perencanaan yang matang selalu lebih penting daripada kekuatan semata.
Jika Setne ini telah mengatur pertempuran Percy dan Carter dengan si buaya, jika ia
sudah merencanakan kebangkitan Serapis sehingga menarik Sadie dan Annabeth
untuk menghadapinya ... Seorang musuh yang merencanakan segalanya dengan
matang akan sangat sulit untuk dihentikan.

Ia membenamkan jari-jari kakinya ke pasir, Serapis tadi mengatakan sesuatu


sebelum ia lenyap kau takkan bisa mendapatkan mahkotanya. Aku kita ia bicara
soal perumpamaan. Lalu aku ingat apa yang dia katakan soal Ptolemy I, sang raja
yang mencoba untuk menjadi dewa .
Mahkota keabadian, Sadie mengingat-ingat, Mungkin sebuah pschent.

Annabeth mengerutkan kening, Aku tidak tahu istilah itu. Apa tadi? Shent?

Sadie mengejanya, Mahkota Mesir, bentuknya mirip pin bowling. Bukan gaya
fashion yang bagus sebenarnya, tapi pschent menyertai seorang pharaoh dengan
kekuatan ilahiahnya. Jika Setne mencoba membuat ulang sihir-menjadi-dewa milik
raja-raja kuno, aku bertaruh sebesar lima pound dan sepiring roti scone gosong
buatan nenekku bahwa ia tengah mencoba menemukan mahkota Ptolemy.

Annabeth memutuskan untuk tidak bertaruh, Kita harus menghentikannya.

Benar, Sadie menyesap Ribenanya, Aku akan kembali ke Rumah Brooklyn. Dan
setelah meninju abangku karena tidak jujur soal keberadaan kalian para demigod,
aku akan memerintahkan tim riset kami untuk mencari tahu segala sesuatu tentang
Ptolemy. Mungkin saja mahkotanya masih berada di entah museum mana, Sadie
mengerutkan bibirnya, Meskipun aku benci museum.

Annabeth memainkan jari-jarinya di atas pasir. Tanpa sadar ia telah menggambar


simbol hieroglif Isis : tyet. Aku akan melakukan riset juga. Teman-temanku di kabin
Hecate mungkin tahu sesuatu soal sihir Ptolemy. Mungkin juga aku bisa
mendapatkan nasehat dari ibuku.

Bicara soal ibunya, membuat Annabeth merasa tidak nyaman.

Hari ini Serapis nyaris saja menghabisi Annabeth dan Sadie. Ia mengancam akan
menggunakan mereka sebagai pintu gerbang untuk memanggil Athena dan Isis
pada kehancuran mereka.

Mata Sadie berkilat-kilat, seolah ia memikirkan hal yang sama, Kita tak bisa
membiarkan Setne terus bereksperimen. Ia bisa mengoyak dunia kita jadi dua. Kita
harus temukan mahkota ini, atau .

Matanya menatap langit dan kata-katanya terhenti, Ah, tumpanganku sudah datang.

Annabeth menoleh. Untuk sesaat ia mengira kapal Argo II turun dari awan, tapi yang
turun ternyata jenis kapal terbang yang lain kapal Mesir yang ukurannya lebih kecil,
dibuat dari alang-alang papirus, dengan gambar mata di haluannya dan layar yang
digambari simbol tyet.

Kapal itu bersandar lembut di tepi pantai.

Sadie bangkit dan membersihkan pasir dari celana panjangnya, Mau kuantar
pulang?

Annabeth mencoba membayangkan saat kapal semacam ini berlayar ke


Perkemahan Blasteran, Um, tidak. Aku bisa pulang sendiri.
Yah, terserah kamu sajalah, Sadie memikul ranselnya, dan membantu Annabeth
berdiri, Kau bilang Carter menggambar sebuah hieroglif di tangan pacarmu. Bagus
juga, tapi aku lebih suka berhubungan langsung denganmu.

Annabeth menyeringai, Kau benar. Cowok-cowok tida bisa dipercaya soal


komunikasi.

Mereka pun bertukar nomor ponsel.

Tolong jangan menelepon kecuali situasinya sangat mendesak, Annabeth


memperingatkan, Sinyal ponsel menarik perhatian monster.

Sadie tampak terkejut, Sungguh? Aku nggak pernah memperhatikan. Oke, jadi aku
nggak boleh mengirimkan foto-foto selfieku di Instagram ya?

Sebaiknya jangan.

Well, sampai lain kali, Sadie melingkarkan lengannya pada Annabeth.

Annabeth sedikit kaget dipeluk oleh seorang gadis yang baru saja ia temui gadis
yang bisa saja mengira Annabeth adalah musuhnya. Tapi isyarat itu membuatnya
merasa lebih baik. Dalam situasi hidup-dan-mati, Annabeth belajar hal baru : kau
bisa cepat akrab dengan orang lain.

Ia menepuk pundak Sadie, Jaga dirimu.

Selalu, Sadie naik ke atas kapalnya dan kapal itu mulai bergerak menuju lautan.
Kabut tiba-tiba datang entah dari mana, berkumpul di sekeliling kapal. Ketika kabut
itu menipis, baik kapal itu maupun Sadie Kane telah pergi.

Annabeth menatap lautan lepas. Ia berpikir tentang Kabut dan Duat serta
bagaimana mereka saling terhubung.

Dan lebih-lebih ia berpikir mengenai tongkat Serapis, dan lolongan si anjing hitam
yang hewan itu keluarkan saat ia menusuknya dengan pisaunya.

Aku tidak menghancurkan masa depanku, katanya mencoba menenangkan diri,


Aku membuat masa depanku sendiri.

Tapi di suatu tempat di luar sana, seorang penyihir bernama Setne punya gagasan
lain. Jika Annabeth harus menghentikannya, ia harus membuat rencana untuk itu.

Gadis itu membalikkan badan dan berjalan melalui pantai, bergerak ke timur untuk
sebuah perjalanan panjang ke Perkemahan Blasteran.

==00==
Penulis : Rick Riordan

Penerjemah : ManikMayaSangAdhipra via Wattpad

Editor : Retno Wahyuningtiyas (http://anythingaboutretno.blogspot.com)

PLEASE TAKE OUT WITH FULL CREDIT TO


http://anythingaboutretno.blogspot.com

GAMBAR DI AMBIL DARI

THE STAFF OF SERAPIS KARYA RICK RIORDAN. TERBITAN DISNEY


HYPERION BOOKS.

TERIMA KASIH KEPADA PENERJEMAH DAN PENULIS.

Anda mungkin juga menyukai