Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ajaran Narada Bhakti Sutra adalah pelaksanaan ajaran bhakti marga

dalam agama Hindu. Bhakti Marga merupakan salah satu bagian dari ajaran

catur marga. Ajaran catur marga sebagai ciri pleksibilitas, luwes dan

pluralism dari sifat agama Hindu. Dalam aspek filsafat, agama Hindu

memberi kebebasan bagi umat untuk menelorkan tentang filsafat ketuhanan,

sehingga agama Hindu sangat kaya dengan konsep-konsep filsafat

ketuhanan. Dari aspek pelaksaan ajaran agama, agama Hindu memberikan

banyak cara dan banyak jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sesuai

dengan keyakinan, kemauan dan kemampuan umat.

Keaneka ragaman atau fluralisme cara atau jalan telah dinyatakan dalam

Bhagawadgita IV. II dalam sloka itu dinyatakan bahwa Tuhan memberikan

kebebasan bagi umatnya untuk memuja Beliau sesuai dengan kemampuan

masing-masing. Dari fleksibelitas dari agama Hindu itu timbulah beberapa

cara atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara atau jalan yang

umum ditempuh oleh umat Hindu disebut Catur marga. Catur marga artinya

empat dan marga artinya cara atau jalan. Catur marga adalah empat cara

untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan. Bagian-bagian dari Catur marga

itu antara lain:

a. Bhakti Marga : melalui jalan berbakti


b. Karma Marga : melalui jalan berbuat sebagai persembahan
c. Jnana Marga : melalui jalan pengetahuan

1
d. Raja Marga : melaui jalan yoga

Diantara ke empat jalan itu, jalan bhakti adalah hal yang paling mudah

dilaksanakan, karena dapat dilakukan oleh masyarakat awam. Kalau jalan

bhakti itu dapat dilakukan dengan tekun dan tulus ikhlas, niscaya akan dapat

mencapai tujuan.

Tulsidas pernah menyatakan bahwa mereka yang hatinya dipenuhi rasa

bakti, kejahatan-kejahatan seperti nafsu dan sebagainya tak akan berani

mendekat kepadanya ( Maswinara 1996 ). Lebih lanjut dalam ceritra

Mahabharata maupun dalam kitab purana, sosok Rsi Narada adalah contoh

seorang bhakta yang tulen pada Tuhan sebagai Dewa Narayana ( Wisnu ).

Menurut Rsi Narada ajaran bahkti dapat dilakukan oleh setiap Warna asrama

tampa kecuali. Didalam bhakti telah terangkum beberapa aspek spiritual

seperti : keyakinan, penyerahan diri. etika moralits, persahabatan sejati,

pemujaan, kasih sayang dan pendidikan. Karena demikian saratnya ajaran

bhakti terhadap nilai-nilai etika moralits dan spiritual, maka penulis sangat

tertarik untuk mengangkat salah satu ajaran bhakti menjadi karya ilmiah,

yaitu suatu bhakti yang tulen yang pernah dilakukan oleh Rsi Narada, ajaran

bhakti tersebut kemudian disebut Narada Bhakti Sutra.

B. Rumusan Masalah

Untuk menghindari penelitian yang terlalu melebar dan menghindari

pembahasan yang tidak sistematis, suatu topik perlu dirumuskan terlebih

dahulu. Dalam membahas topik di atas yang menjadi fokus penelitian dapat

dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk ajaran Bhakti, yang diajarkan oleh Rsi Narada ?

2
2. Nilai-nilai pendidikan agama Hundu apa saja yang terkandung dalam

ajaran Narada Bhakti Sutra tersebut?


C. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dalam penelitain ini meliputi tujuan umum dan

tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Untuk ikut berpastispasi memberi pemahaman yang lebih

mendalam dan menyeluruh terhadap ajaran bhakti sebagai salah satu

jalan yang ditempuh oleh umat dalam mendekatkan diri kepada Tuhan

yang Maha Esa dan segala manifestasinya.


2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus masih sangat terkait dengan Rumusan Masalah.

Maka dari itu yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini antara

lain:

1. Untuk mengtahui bentuk ajaran bhakti yang diajarkan oleh Rsi

Naradha.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam

ajaran Narada Bhakti Sutra. .


D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang sebesar-

besarnya dan seluas-lusnya terhadap kepentingan ilmiah dan terhadap

kepentingan umat, baik manfaat terhadap Negara maupun manfaat terhadap

masyarakat.
1. Manfaat Teoritis.

Secara umum dan teoritis penelitian ini memberi manfaat, agar

umat dapat memiliki pemahaman bahwa perwujujan bakti harus

disertai dengan tindakan yang nyata seperti: (1) etika moral yang baik,

(2) pengedalian diri, (3) kasih sayang, (4) pelestarian terhadap

lingkungan alam, dan sebagainya.

3
2. Manfaat Praktis.
1. Dapat meningkatkan keyakinan dan para bhakta terhadap Tuhan.
2. Dalam mewujudkan rasa bhakti, dan dapat meningkatkan etika

moralitas para bhakta.


3. Bermanfaat untuk dijadikan pedoman oleh para tokoh agama

dalam membina umat Hindu.


4. Bermanfaat agar tercapainya tujuan hidup beragama dengan

melalui jalan bhakti ( Bhakti Marga ).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Persembahan tentang ajaran agama Hindu telah banyak dilakukan oleh

para cerdik cendikiawan Hindu, baik berupa literatur buku maupun dalam

karya sekripsi atau thesis. Rayon (2005) dalam penelitian skripsinya tentang

Nilai-nilai Pendidikan dalam naskah Ganapati Tattwa. Sedangkan IB.

Sunantara (1986) dalam penelitian sekripsinya mengambil judul ajaran

Astangga Yoga ditinjau dari Filsafat Pendidikan. Kedua karya sekripsi

tersebut diatas termasuk tema yang membahas tentang ajaran Yoga, terutama

ajaran Raja Yoga.

4
Hal tersebut juga dinyatakan dalam kitab Bhagawadgita IX. 26 Sebagai

berikut:

Patram pushpam phalam toyam


yome bhaktya praya chchhati
tad aham bhaktyu pahatitam
asnami prayatat manah

Terjemahannya

Siapa yang sujud bhakti kepada Ku dengan persembahan


setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahnan
atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti
persembahan dari orang yang berhati suci
( Pendit, 1994: 248 )

Ajaran Catur Yoga dalam agama hindu pada hakekatnya tidak bisa

dipisahkan, dalam pelaksanaanya selalu disinergikan, Swami Vivekananda

mengatakan seorang bhakta (Penganut Bhakti) juga mesti mempelajari

ajaran Karma Yoga, Jnana Yoga dan Raja Yoga, demikian pula sebaliknya.

Bhagawadgita IV II, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


Ye yatha mam prapadyamte
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nuvartante
manushyah paryha sarvasah

Terjemahannya:

Jalan manapun ditempuh mamusia


ke arah-Ku semuanya Ku-kuterima
dari mana-mana semua mereka
menuju jalan Ku Oh partha

Salah satu ajaran Bhakti Yoga yang mensinergikan ajaran Catur Yoga

tersebut adalah kitab Narada Bhakti Sutra. Menurut Svami Tyagisananda,

ajaran Narada Bhakti Sutra disusun oleh Rsi Narada. Resi Narada adalah

seorang Brahma Rsi yang dapat menjalankan bhakti secara sempurna, dan

faedah dari bhakti tersebut langsung dirasakan oleh Rsi Narada sendiri.

5
Guna melengkapi pembahsan tentang ajaran yoga yang telah ditulis oleh

beberapa peneliti, maka ajaran Narada Bhakti Sutra dapat dijadikan

pedoman pelaksanaan ajaran Catur Yoga sebagai jalan menuju Tuhan dapat

berhasil dan dirasakan manfaatnya.

B. Landasan Teori

Landasan teori merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

penelitian. Karena teori dapat memberi penjelasan awal tentang topik yang

akan dibahas. Dalam membahas topik di atas dapat dipilah dalam beberapa

teori antara lain:

1 Naradha Bhakti Sutra

Narada dalam kitab purana ( Brahmanda purana ) adalah kelompok

yang termasuk dalam Dewa Resi yang lahir dari Dewa Brahma. Dalam

kitab Brahmanda Purana 40 dinyatakan sebagai berikut:

Adapun dewa Rsi yang lahir dari Brahma Rsi adalah sahasara
Balikhilya putra Bhagawan Kratu, yang lainnya sang kardana
putra Bhagawan pulaha yang lain lagi parwata dan Sang
Naradhaadalah Dewa Rsi yang lahir dari Brahma Resi
( Sandhi, 1980:66 ).

Dalam kitab Narada Purana dijekaskan bahwa Dewa Brahma

mempunyai sebuah kota indah yang terletak digunung mahameru, disana

terdapat permandian suci, salah satu putra Brahma adalah Sanatkumara

bertemu dengan Rsi Narada Sanatkumara bertanya pada Rsi Narada

Anda adalah Resi yang maha tau, anda juga pemuja wisnu yang tulen,

beritaulah kami tentang Dewa Wisnu itu. Rsi Narada berdoa pada Wisnu

6
dan memulai menceritakan tentang Dewa Wisnu. ( Bibek Debroy, 2001:4

).

Inti ceritra Purana di atas menyatakan Rsi Narada adalah contoh

seorang bhakta yang tulen, dimana beliau sangat paham akan filsafat

bhakti dan menerapkan ajaran bhakti tersebut.

Sedangkan kata Bhakti berasal dari bahasa Sansekerta yang

mengandung arti, pemujaan, penghormatan, bhakti, kesetiaan ( Samadi

Astra dkk, 1982-1983:153 ). Jadi dalam kata bhakti terdapat unsur-

unsur : penghormatan, pemujaan, kesetiaan, keyakinan dan kasih sayang.

Dalam kitab Narada Bhakti Sutra dinyatakan, bhakti dapat memberi

faedah secara vertikal dan horizontal.

a. Faedah secara Vertikal


Wujud kasih sayang seorang bhakta dilakukan dengan

mengulang-ulang nama Tuhan, setiap pekerjaan yang dilakukan

merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan, setiap pikiran,

perkataan dan perbuatan merupakan sebuah yadnya.


b. Faedah secara Horizontal

Hubungan sosial dengan anggota masyarakat, ia selalu

berbuat untuk kemakmuran masyarakat itu sendiri ( Loko

sanggraha karma ), dan tidak ada alasan baginya untuk bersikap

eklusif dengan masyarakat. ( Prawacana Narada Bhakti Sutra,

1992:11 ).

Kata sutra menurut Samadi Astra dkk ( 1982-1983:285 )

mengandung beberapa arti antara lain : benang, tali, garis, reka-

reka, kalimat-kalimat pendek. Dalam kontes kata Narada Bhakti

7
Sutra, kata sutra artinya kalimat pendek jadi kata Narada Bhakti

Sutra adalah ajaran bhakti dari Rsi Narada sebagai tokoh bhakti

yang tulen yang ditulis dalam bentuk sutra atau kalimat-kalimat

pendek.

2. Perspektif

Pengertian istilah perspektif menurut Jhon Echols dan Hasan

Sadhily ( 1987:426 ) dalam buku kamus Inggris-Indonesia berasal dari

bahasa inggris yaitu Perspektive yang artinya sebenarnya. Sedangkan

C.P Choplin ( 1989:363 ) dalam kamus Pisiologi: Perspektif berasal

dari bahasa Inggris yaitu Perspectif yang mengandung arti beberapa

pengertian Antara lain: Gambaran posisi relatif, ukuran dan jarak dari

satu objek relefansi. Dari mana bagian-bagian atau ungsur-ungsur dari

objek atau masalah dapat membentuk pandangan yang lebih baik.

Dari dua pengertian istilah Perspektif di atas maka dapat di

simpulkan bahwa keduanya mengandung pengertian yang sama yakni :

sudut pandang terhadap suatu hal, sehingga di dapat sesuatu pengertan

yang lebih baik dan sempurna terhadap suatu masalah. Dalam kaitanya

dengan Narada Bhakti Sutra dalam Perspektif pendidikan Agama

Hindu mengandung pengertian Narada Bhakti Sutra dari sudut

pandang Agama Hindu itu artinya apakah Narada Bhakti Sutra

mengandung Nilai-nilai pendidikan, bila ditinjau dari pendidikan

Agama Hindu.

Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang dimaksud dalam

konteks ini adalah : Nilai pendidikan tattwa, Etika dan Estetika.

8
3. Pendidikan

Menurut Djumhur (1981:1) pendidikan berasal dari bahasa

Yunani Paedogogis yang terdiri dari kata Pais yang berarti anak

dan kata Againyaitu membimbing, sehingga Paedogogis berarti

bimbingan kepada anak.Pengertian ini kemudian berkembang menjadi

Usaha yang diberikan oleh orang dewasa, memiliki pengertian untuk

mencapai tingkat hidup yang lebih baik. Menurut Suarno (1986:22)

pendidikan diartikan sebagai tuntunan kepada orang yang menyiapkan

diri agar dapat memahami sendiri tugas hidupnya atau dengan kata

singkat pendidikan adalah tuntunan kepada pertumbuhan manusia lahir

sampai tercapainya kedewasaan dalam arti jasmani dan rohani.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa secara bertanggung

jawab,guna memberi tuntunan pada anak yang belum dewasa agar

menjadi anak yang cakap dan dapat mencapai kebahagiaan lahir dan

batin.

Untuk mendapat pengertian yang lebih jelas tentang pendidikan,

maka akan disajikan beberapa pendapat dari para Sarjana dan tokoh

pendidikan.

1. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Idris,1984:4) sebagai


pendiri taman siswa dan juga sebagai tokoh pendidikan
nasional Indonesia menjelaskan bahwapendidikan adalah
sebagai daya upaya untuk mewujudkan budhi pekerti
(kekuatan batin, karakter, pikiran dan intelek) dan
pertumbuhan anak mewujudkan pertumbuhan anak didik
yang selaras dunianya.

9
2. John Dewey (dalam Idris,1982:9) menjelaskan
bahwa,Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional
kearah Alam dan sesama manusia.

3. Pranata, dkk (dalam Idris,1982:9) menjelaskan


bahwa,Pendidikan adalah Usaha yang sengaja diadakan,
baik langsung maupun dengan cara tidak langsung untuk
membantu anak dalam perkembangannya untuk mencapai
kedewasaan.

4. Menurut Rousseau (dalam Idris,1982:9) Pendidikan adalah


memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-
kanak,akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu
dewasa.

5. Menurut ketetapan GBHN (dalam Idris,1982:10) Pendidikan


pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah
dan berlangsung seumur hidup.

Dari pendapat tokoh di atas tentang pendidikan dapatlah

disimpulkan bahwa pendidikan adalah peristiwa akan

manusia,hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya, sehingga

terjadi interaksi yang saling mempengaruhi dan dengan adanya

pengaruh ini diharapkan dapat membentuk manusia berbudhi

luhur,hingga dapat mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berbudhi

pekerti yang luhur.

4. Pendidikan Agama Hindu

Sebelum menjelaskan pengertian pendidkan agama Hindu

terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian agama Hindu yang

kemudian akan dilanjutkan dengan pengertia pendidikan agama Hindu.

Menurut Hendropuspito (1983:29) agama adalah suatu jenis

sistem sosial yang dibut oleh penganutnya yang berpopos pada

kekutan-kekuatan non empiris yang dipercayakan dan didaya gunakan

10
untuk mencapai keselamtan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada

umumnya.

Menurut Sukardika (2004:30-32) Agama Hindu adalah ajaran

yang bersumber dari kitab suci Veda yang mengajarkan kepada

pemeluknya dan seluruh umat manusia untuk menghargai dan

menghormati semua manusia yang mengakui adanya kebesaran Tuhan.

Ajaran Agama Hindu bersumber dari wahyu Tuhan Yng Maha Esa dan

kemudian menjadi pedoman hidup manusia khususnya umat Hindu

didalam berfikir, berkata, dan berprilaku, yang didalam nya memuat

nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat ( Hindu ) yang berfungsi untuk mengatur dan

mengendalikan prilaku manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Menurut keputusan PHDI (1978:13) Agama Hindu adalah

agama yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk

menghayati dn merasakan intisari ajarannya. Sedangkan penganut

tidak hanya menghafalkan apa yang ada didalam kitab suci tetapi juga

diharapkan penerapannya didalam kehidupannya sehari-hari, maka

agama Hindu bukan agama untuk satu golongan saja tetapi agama

Hindu untuk siapa saja yang bersedia mengamalkannya

Dalam kaitannya dengan pendidikan agama Hindu, maka

didalam buku Himpunan Keputusan Seminar Tasir Terhadap Aspek-

aspek Agama Hindu 1-XV (Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat,

2000:23-24) menyebutkan bahwa, pendidikan agama Hindu dapat

dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

11
1. Pendidikan Agama Hindu di Luar Sekolah merupakan suatu upaya

untuk membina pertumbuha jiwa masyarakat, Agama hindu atau

sendiri sebagai pokok materi.

2. Pendidikan Agama Hindu Di Sekolah, merupakan Suatu upaya

untuk membina pertumbuhan jawa raga anak didik sesuai dengan

ajaran agama Hindu

Pendidikan agama Hindu memberikan tuntunan dalam menempuh

kehidupan dan mendidik masyarakat, bagai mana hendaknya

berpendirian, berbut atau bertingkahlaku supaya tidak bertentangan

dengan dharma, etika dan agama agama dapat menyempurnakan

manusia dalam meningkatkan hidup yang baik secara material maupun

spiritual.

Menurut pendapat Punyatmaja (1984:12) Pendidikan agama

Hindu merupakan suatu ajaran mengenai pendidikan moral yang

dibimbing menurut petunjuk ajaran sgama berfungsi sebagai faktor

pengamatan yang akan mrnjadi keselamatn seseorang. Jadi pendidikan

agama itu tidak lain dari pada bimbingan atau tuntunan yang diberikan

pada sseseorang untuk menunjukkan perkembangan budi pekerti

dalam menanamkan rasa cinta kepada ajaran agama.

Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa

pendidikan agama Hindu adalah penerapan ajaran-ajaran suci yang

diwahyukan oleh Ida Shang Hyang Widhi Wasa yang kekal abadi serta

mengandung petunjuk-petunjuk tentang perbutan baik yang patut

dilaksanakan oleh umat Hindu dan menghindari perbuatan yang tercela

12
dan menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar norma-norma

keagamaan sehingga tercapai kesempurnaan hidup jasmanai dan

rohani.

Selanjutnya menurut Pemda Tk.I Bali, (2000:23-24) tujuan

pendidikan agama Hindu juga disebutkan dalam buku himpunan

keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap Aspek-aspek Agam Hindu

I-XV adalah :

1. Tujuan pendidikan agama Hindu diluar sekolah yaitu :

a. Menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan

landasan segenap kegiatan umat dalam semua

prikehidupannya

b. Ajaran agama Hindu menjauhkan pertumbuhan tata

kemasyarakatan umat Hindu sehingga serasi dengan

Pancasila yaitu dasar negara republik Indonesia.

c. Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-

bagian ajaran agama Hindu dalam masyarakat antara

tattwa, susila, dan upacara.

d. Untuk mengembangkan hidup rukun antara umat berbagai

agama.

2. Tujuan pendidikan agama Hindu diluar sekolah yaitu :

a. Membentuk manusia pancasialis yang astiti bhakti

(bertaqwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

b. Membentuk moral, etika, dan spiritual anak didik yang

sesuai dengan ajaran agama Hindu.

13
Pendidikan agama Hindu diluar sekolah ada dua tempat yaitu di

lingkungan keluarga dan di lingkungan masyarakat. Karena itu

dilingkungan keluargalah merupakan tempat yang paling pertama dan

utama bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama

Hindu. Orang tua mendidik anaknya di lingkungan keluarga seperti

misalnya tampak jelas pada pelaksanaan yajna yang dilaksanakan

setiap hari yaitu yang disebut dengan yajna sesa. Disamping itu pula

tradisi umat Hindu di Bali, orang tua menanamkan pendidikan agama

Hindu dengan bercerita kepada anaknya pada waktu anak akan

menjelang tidur, disanalah diselipkan cerita-cerita dalam bentuk

lagenda yang menarik. Mengenai pendidikan dan pergaulan banyak

sekali di adakan di lingkungan masyarakat karena masyarakat adalah

merupakan lembaga pendidikan agama Hindu di luar sekolah serta

merupakan kelanjutan pendidikan di lingkungan keluarga.

C. Teori

Berdasarkan permasalahan di atas dan untuk menambah permasalahan

di atas, maka kajian ini menggunakan bebarapa Teori yaitu

1. Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional secara khusus membahas hubungan antara

kepribadian individual manusia, sistem sosial dan sistim budaya.

Tujuannya agar sistem sosial dapat bertahan dan fungsionalnya dapat

berjalan sebagaimana mestinya ( Imam dan Tobroni, 2001,96 ). Ciri

khas struktural fungsiolal adalah pemusatan pada deskripsi ialah

14
dengan mendeskripsikan hakekat studi ilmiah berdasarkan pendapat-

pendapat tentang fonomena yang di amati.

Unsur-unsur pendidikan dalam Narada Bhakti Sutra dilihat dari

struktural merupakan karya sastra yang mengikuti skruktur dari aturan

mengarang sebuah karya sastra dan berfungsi untuk sebuah pendidikan

pada umat, khususnya para pembaca karya sastra tersebut.

2. Teori Hermeneutika

Kata hermeneutik, berasal dari bahasa Yunani yakni

"hermeneia" yang dapat diartikan sebagai interpretasi. Teori ini

mula-mula berasal dari mitos bahwa pada zaman dahulu terdapat

seorang tokoh (Dewa) Hermes yang menjadi p enghubung

antara Tuhan dengan umat manusia dalam hal penerimaan Wahyu

ajaran suci, Hermes mengintepretasikan apa yang disampaikan oleh

Tuhan dalam .Sebuah dialog atau sejenisnya, sehingga pesan-

pesan (wahyu) tersebut tidak mengalami kesalahan tafsir, bahkan

nihil. Dalam ilmu-ilmu filsafat "hermeneutik" lebih banyak dikenal,

sebab keseluruhan filsafat adalah interpretasi pembahasan tentang

Tuhan (Supranatural) beserta aspek-aspeknya yakni seluruh isi

alam semesta (Sumaryono, 1993:21,29).

Frederich Ast dan Frierich August Wolf (dalam Sumaryono,

1993:37) menyebutkan bahwa karya sastra tersebut harus dilihat

dari dua aspek yakni aspek dalam dan aspek luar. Aspek luar

sebuah karya adalah aspek tata bahasa dan kekhasan linguistik

lainnya, aspek dalam adalah jiwanya (geist). Secara mendasar

15
hermeneutik sebagai sebuah teori berfilsafat, linguistik dan

theologis sangat menentukan bahan baku sebuah teks, bentuk teks

dan makna dari teks tersebut.

Analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan

memaparkan secara cermat, teliti, mendetail, mendalam

keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra

yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,

1984:135). Dalam hal pemaknaan suatu karya sastra Umberto

Eco (dalam Admiranto,1994:201) mengatakan pengkajian sastra

(satua) banyak menggunakan dialektika semiosis, yakni makna

denotatif dan konotatif Makna denotatif adalah makna yang dapat

dipahami secara harafiah, dan makna konotatif diartikan jika

tampak kode lain, misalnya kode kesopanan dalam pernyataan

yang sama atau makna yang berada dibalik kata-kata secara

harafiah tertera dalam teks suatu karya sastra, serta dapat juga

disebut dengan makna kias.

"Menganalisis sastra atau mengkritik karya sastra (puisi) itu

adalah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks

karya sastra karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna.

Hal itu mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda

yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.

Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini diperlukan adanya

kritik struktur untuk memahami makna dan tanda-tanda yang

terjalin dalam sistim (struktur) tersebut. Ilmu pengetahuan

16
tentang tanda ini disebut semiotik oleh karena itu, analisis

semiotik itu tak dapat dipisahkan oleh analisis struktural"

(Pradopo, 2003:141).

Mengenai nilai (satuan makna) dari teks-teks karya tulis

(sastra) dijelaskan dapat berupa makna denotatif dan konotatif,

denotatif adalah makna yang terlihat langsung secara harafiah dari

teks-teks sastra tersebut, sedangkan makna konotasi adalah makna

kias yang terdapat dibalik teks-teks tersebut. Teori hermeneutika

dalam penelitian ini bermanfaat untuk menggali struktur yang

terdapat dalam suatu karya sastra, dalam hal ini Narada Bhakti

Sutra yang merupakan sebuah karya sastra tradisional

masyarakat Bali. Dengan teori ini tampaklah sebagaimana

suatu karya sastra terdapat kerangka yang membangunnya

beserta nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk

mendukung teori di atas, lebih di berikan persfektif nilai sebagai

hasil dari kajian hermeneutika.

Nilai sesungguhnya terdiri dari dua unsur, mengkaji

kebaikan (kesusilaan) dan estetika bersangkutan dengan masalah

keindahan (Anwar, tt:33). Sedangkan dalam "Kamus Umum

Bahasa Indonesia" (Poerwadarminta, 1986:96), dijelaskan nilai

sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang penting, berguna bagi

kemanusiaan misalnya, nilai-nilai agama yang perlu dilakukan

dalam keseharian. Tidak terlepas dari pengertian di atas,

Koentjaraningrat (2002:25) m e n g a t a k a n " n i l a i d i a r t i k a n

17
s u a t u h a l ya n g b e r i s i k a n i d e - i d e ya n g mengonsepsikan hal-

hal yang penting, berharga dalam kehidupan masyarakat". Dalam

buku kamus filsafat dinyatakan bahwa "nilai dapat diartikan

dengan harkat, kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat

disukai, berguna atau dapat menjadi objek kepentingan"

(Lorenz, 2000:713). "Nilai menurut Shipley (dalam Tarigan,

1986:194-196) menyatakan bahwa ide pokok atau nilai-nilai dalam

suatu karya sastra dapat berupa:

a. Nilai Hedonik, yaitu bila suatu karya dapat memberikan

kesenangan secara langsung penikmat sastra.

b. Nilai Artisitik, yaitu bila suatu karya dapat

memanifestasikan suatu seni atau keterampilan seorang dalam

melakukan pekerjaan itu.

c. Nilai Kultural, yaitu bila suatu karya mengandung suatu

hubungan yang mendalam dengan masyarakat atau suatu

peradaban kebudayaan.

d. Nilai Etis-Moral-Religius, yaitu bila suatu karya terpancar

ajaran-ajaran yang ada sangkut pautnya dengan etika, moral dan

agama.

e. Nilai Praktis, yaitu bila dalam karya-karya itu mengandung

hal-hal yang praktis dapat dilaksanakan dalam kehidupan

sehari-sehari.

Nilai menurut Louis 0. Kattsoff (dalam Soemargono,

2004:324-335) mengandung beberapa makna; berarti berguna,

18
baik atau benar atau indah, objek dari keinginan, mempunyai

kualitas yang dapat mengakibatkan orang mengambil sikap untuk

"setuju" atau mempunyai sifat tertentu dan sebagai tanggapan

atas sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang

menggambarkan nilai tertentu.

Pada dasarnya pandangan nilai terdiri atas dua bagian,

yakni: nilai etika dan estetika. Nilai etika sangat berkaitan

dengan tata susila, sedangkan estetika terkait dengan keindahan

sesuatu, baik berbentuk karya sastra ataupun sejenisnya. sehingga

nilai tersebut merupakan sesuatu yang berguna, baik, indah

serta bermanfaat untuk kemudian mendapatkan tanggapan

subjektif dari sang objek (pelaksana) dari nilai tersebut.

Sehinaga dapat disimpulkan bahwa; nilai mer upakan kualitas

empiris yang tidak dapat didefinisikan, nilai sebagai objek suatu

kepentingan dan nilai sebagai suatu esensi serta hubungan antara

sarana dengan tujuan yang ingin dicapai.

Teori nilai digunakan dalam penelitian ini untuk mendukung

kajian teori hermeneutika sesuai dengan permasalahan yang dihadapi

dalam penelitian ini. Tentu dalam karya sastra tersebut memiliki suatu

makna, mengenai sesuatu dan untuk sesuatu. Sehingga maksud dari

sang pembuat karya sastra tersebut dapat dimengerti oleh

masyarakat yang dimaksud. Bukan hanya itu saja, makna yang

terkandung juga tidak lepas dari keindahan dari karya sastra

tersebut, seperti memiliki makna kias, yakni makna yang

19
tersimpan dalam simpul-simpul teks karya sastra tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

Agar tujuan penelitian dapat tercapai semaksimal mungkin, maka dalam

suatu penelitian yang bersifat ilmiah memakai cara-cara yang teratur dan

sistematis. Dalam ilmu pengetahuan cara-cara itu disebut dengan metodelogi.

Penggunaan suatu metode merupakan syarat utama bagi seorang peneliti,

karena metode merupakan cara atau jalan dalam fungsinya sebagai alat untuk

mencapai tujuan. Metode merupakan cara kerja, yaitu suatu cara untuk dapat

memahami obyek uang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan

(Koentjaraningrat, 1981 : 16)

Mengingat penggunaan metode sangat penting dalam suatu karya ilmiah,

maka dalam hal ini penulis menggunakan beberapa tehnik

A. Metode Pengumpulan Data

20
Metode pengumpulan data ialah, suatu cara yang digunakan sebagai

alat untuk mencari dan mengumpulkan data. Dalam hubunganya dengan

penekitian ini akan digunakan metode lagi seperti metode berikut ini.

1. Metode Pencatatan Dokumen

Metode Pencatatan Dokumen ialah suatu cara yang digunakan

dalam jalan mengumpulkan segala macam dokumen, serta

mengadakan pencatatan yang sistematis. Adapun yang dimaksud

dokumen antara lain :

Bentuk tulisan-tulisan, karangan-karangan, maupun benda-benda

( Netra, 1983 : 43 ). Dalam menggunakan metode ini penulis

mengumpulkan buku-buku dan lontar-lontar yang sangat erat

kaitannya dengan penelitian ini.

2. Metode Wawancara

Metode wawancara ialah, suatu cara untuk mendapatkan

keterangan-keerangan atau pendpat-pendapat atau penjelasan lisan dari

seseorang yang mengetahui dan dapat memberikan informasi tentang

upacara pengelukatan sampat sorong serta aspek pendidikan agama

hindu yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, penulis mencari

tokoh masyarakat sebagai informan yang dapat memberikan informasi

mengenai Narada Bhakti Sutra .

B. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikumpulkan telah dipandang cukup memadai,

kemudian data itu diolah dengan menggunakan beberapa metode lagi.

Metode-metode dimaksud dipaparkan sebagai berikut ini:

21
1. Tehnik Komparatif

Metode Komparatif, ialah pengolahan data yang dilakukan

dengan jalan mengadakan perbandingan yang sistematis, sehingga

memperoleh kesimpulan secara umum ( Netra, 1979 : 2). Metode

komperatif digunakan agar memperoleh dukungan yang kuat dari

permasalahan atas dasar gabungan dari masing-masing informan

sehingga mendapatkan kesimpulan yang akurat.

2. Tehnik Deskriptif

Metode deskriftip, ialah cara pengolahan data yang dilakukan

dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu

kesimpulan ( Koentjaraningrat, 1981 : 74 ). Menyusun secara

sistematis maksudnya menggunakan aturan-aturan tertentu atau teknik-

teknik tertentu menyusun secara nyata data yang diperoleh melalui

metode pengumpulan data, kemudian diolah sesuai dengan realita,

sehingga menjadi jelas arti dan masksudnya. Tehnik yang digunakan

dalam menyusun data ialah tehnik induksi dan tehnik argumentasi.

Tehnik induksi maksudnya dengan terlebih dahulu dikemukakan

fakta-fakta dan kemudian ditarik kesimpulan, sedangkan teknik

argumentasi maksudnya adalah setiap komentar dari informan diberi

alasan kesimpulan secara menyeluruh sehingga diperoleh hasil yang

maksimal.

3. Metode Analisis

22
Untuk mendapatkan data, yang bersifat analisis, maka digunakan

metode analisis. Metode analisis ini ada dua jenis, yaitu analisis non

statiska dan analisis kualitatif, adalah pengolahan data yang diperoleh

dan dianggap berbobot serta masuk akal dipilih sedemikian rupa,

sehingga dalam penelitian tidak terjadi kesimpangsiuran (Hadi.

1983:16).

Dalam hal ini, memilih data yang mempunyai bobot dan dapat

diterima secara logis yang erat kaitanya dengan penulisan skripsi ini.

Dengan menggunakan beberapa metode tersebut diharapkan mendapat

hasil yang maksimal sesuai dengan ilmiah ini, khususnya Narada

Bhakti Sutra dalam persektif pendidikan Agama Hindu.

Setelah dilakukanya pengumpulan data yang selanjutnya

dilaksanakan pengolahan data secara sistematis, runut dan teratur,

sehingga hasil penelitian dapat disajikan secara maksimal. Adapun

hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam pemaparan deskriptif

analisis. Deskriptif digunakan untuk memaparkan bentuk dan struktur

dari Narada Bhakti Sutra , sedangkan analis digunakan untuk

memaparkan nilai-nilai yang terkandung dalam Narada Bhakti Sutra.

Dengan demikian, langkah-langkah dari penelitian akan dilaksanakan

secara sistematis yang dimuali dari persiapan peneklitian,

mendapatkan atau mengumpulkan data, pengolahan data dan penyajian

hasil penelitian.

23
BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Sinopsis Nrada Bhakti Stra

Nrada Bhakti Stra adalah ajaran tentang Kasih Sayang yang dialami

sendiri secara langsung oleh Rsi Nrada. Ajaran Bhakti yang dituangkan

dalam bentuk stra mempunyai tujuan agar lebih sederhana dan lebih

mudah mengingatnya, tetapi padat, namun memberikan peluang adanya

penafsiran yang beraneka ragam sesuai dengan tingkat kematangan spiritual

dari para penafsirnya.

Dalam kaitan ini Swm Tygsnanda mengulas Stra tersebut dengan

merujuk pada Weda itu sendiri seperti kitab-kitab Upanisad Utama,

Bhagawad Git, Brahma Stra, Mahbhrata, Bhgawatam dan lain

sebagainya.

Beberapa catatan kiranya dapat diringkaskan setelah membaca buku

ini, antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Nrada, ajaran Bhakti dapat dilakukan oleh semua warna

srama, tanpa kecuali.

2. Bhakti atau Kasih Sayang (Para Prema) merupakan suatu proses;

yang berarti bahwa seseorang yang belum mencapai kwalifikasi

Para Bhakti, yaitu mereka yang baru mewujudkan Kasih Sayang

sebelumnya berada dalam tahapan Apara Bhakti atau Gauna

Bhakti, dimana Bhakti masih dipengaruhi oleh Tri Guna (Sattwam,

Rajas dan Tamas).

24
3. Karena Bhakti memerlukan proses pematangan dari tahapan Apara

menuju Para, maka suatu keharusan bagi setiap Bhakta untuk

melakukan Sdhan (Disiplin Spiritual), yang pada awalnya

memerlukan seorang pembimbing kerohanian (Guru), yang mampu

mewujudkan dirinya, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan

yang selalu diwarnai oleh Kasih Sayang itu sendiri. Guru itu tak

diperlukan lagi manakala Bhakta itu sendiri telah mencapai

kwalifikasi Para Bhakti, karena pada hakekatnya Guru Yang

Sebenarnya Adalah Diri Sejatinya Sendiri.

4. Adapun Sdhan yang harus dilakukan oleh seorang Bhakta, dapat

dirumuskan sebagai berikut :

a. Secara Vertikal, wujud kasih sayang seorang Bhakta dilakukan

dengan mengulang-ulang Nama Tuhan, setiap pekerjaan yang

dilakukan merupakan bentuk Persembahan kepada Tuhan,

setiap pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan sebuah

Yajn.

b. Secara Horizontal atau hubungan sosial dengan anggota

masyarakat, ia selalu berbuat untuk kemakmuran masyarakat

itu sendiri (Loka Samgraha Karma), dan tidak ada alasan

baginya untuk bersikap eksklusif dengan masyarakat.

Kedua bentuk Sdhan tersebut secara perlahan-lahan akan

mengurangi kadar keakuan dan kemilikan dalam dirinya, yang pada

pencapaian tujuannya telah mampu mentransformasi Kasih Sayang

25
ke dalam Dirinya, karena Kasih Sayang (Parama Prema)

merupakan hakekat dirinya sendiri.

Kasih Sayang Tertinggi, bersama-sama dengan langkah-langkah

yang menuntun padanya, disebut Bhakti. Fenomena Bhakti memiliki

suatu tahapan awal yang dinyatakan sebagai Aparabhakti, dan suatu

tahapan matang dari pengalaman subyektif, yang dikenal sebagai

Parabhakti. Kasih Sayang yang matang juga dapat dipandang secara

subyektif dan obyektif. Aspek transendental dari padanya merupakan

pengalaman yang tak dapat dicirikan, tak dapat dikatakan, dan yang tak

terperikan dari kebahagiaan yang tak tertandingi dan selalu dalam

pencerahan yang dapat disamakan dengan realisasi diri atau realisasi

Tuhan; yang juga disebut sebagai pembebasan kehidupan atau

pengetahuan tentang misteri spiritual yang sempurna. Tanda-tanda yang

dapat dilihat atau diamati pada seseorang yang memperoleh realisasi

sempurna ini, apabila realisasi tersebut terungkap melalui minat,

pemikiran, perkataan dan perbuatannya, disebut aspek obyektif dari

Parabhakti. Bab pertama dari buku ini menguraikan berbagai aspek dari

Parabhakti ini, dalam 24 Stra yang jelas dan hikmat. Pada bab kedua

Parabhakti ini di puji-puji sebagai mengungguli semua disiplin spiritual,

dan semua orang yang menginginkan pembebasan, disarankan untuk

mencapat tahapan tersebut saja.

Aparabhakti, atau tahapan kasih sayang awal, selanjutnya dibagi

menjadi GaunaBhakti dan MukhyaBhakti, yang dilukiskan sebagai

WaidhaBhakti dan RgnugaBhakti oleh Sr Rmakrsna. Pembagian

26
yang pertama dari klasifikasi ini berkenaan dengan suatu tahapan

persiapan dari disiplin spiritual, namun keduanya hanya satu cara

menuju realisasi tertinggi. Sementara Parabhakti merupakan hakikat

dari realisasi sebenarnya dari tujuan itu sendiri, atau kematangan

sepenuhnya dari seluruh usaha, Aparabhakti merupakan tahap yang lebih

rendah menuju pencapaian kematangan tersebut; sehingga ia melibatkan

usaha dan berangsur-angsur pencapaian, yang semuanya itu merupakan

suatu proses. Tahapan Aparabhakti yang paling menguntungkan, yang

disebut MukhyaBhakti atau EkntaBhakti, terjadi sebagai tambahan

terhadap pemenuhan kewajiban, yang memerintahkan pada para pemula

dalam jalan Bhakti yang disiplin, sebagai hasil dari anugerah yang

nantinya secara alamiah mengalir ke dalam hati para penyembah.

Tahapan ini mempersiapkan pikiran para penyembah sepenuhnya dan

secara sempurna menuju realisasi akhir, dan Tuhan kemudian

memberkatinya dengan pencerahan seketika itu juga. Bab ketiga

menguraikan secara panjang lebar dengan pengertian psikologis, aturan-

aturan moral dan disiplin spiritual dari WaidhaBhakti, yang harus

dilaksanakan para calon spiritual dengan penuh keseksamaan, semangat

yang tiada putus-putusnya, serta kesinambungan yang tanpa

penghentian. Bab keempat menguraikan kebiasaan para calon spiritual

yang sebagai hasil pelaksanaan disiplin di atas, telah sampai pada Rga-

Bhakti dimana realisasi Tuhan segera terwujud dan pasti. Bab penutup,

yaitu Bab kelima, melukiskan bagaimana Tuhan memperlihatkan diri-

27
Nya kepadanya sebagai sang Diri yang sangat dikasihinya, dan

bagaimana Mukhya Bhakti merubah dirinya menjadi Parabhakti.

Dari ikhtisar di atas, rangkaian logis yang mendasari Stra tersebut

menjadi jelas. Rsi Nrada menyatakan pada segenap umat manusia,

melalui ajaran-ajarannya yang sangat berharga, dengan kecemasan akan

suatu penyelamat agung, keberadaan dari Kebahagiaan yang abadi,

sebagai kodrat dari semua orang; mengingatkan orang-orang yang bodoh

untuk menuju kesana, dengan meninggalkan atau menyingkirkan semua

pemikat dari kehidupan indrawi; menyuruh para calon spiritual memilih

cara pencapaian tujuan; menghibur para pencari kebenaran dengan

contoh-contoh gemilang dari para penyembah yang sempurna, serta

menjamin dan menyenangkan semuanya dengan pengalamannya sendiri

bagaimana sang Penguasa alam semesta selalu berkeinginan untuk

memberikan anugerah-Nya yang tanpa syarat kepada para penyembah

Tuhan yang tulus dan yang berkonsentrasi, dengan daya-daya dimana ia

dapat mencapai pembebasan dari Samsra dan Kebahagiaan abadi.

B. Bentuk Nrada Bhakti Stra

Ajaran Nrada Bhakti Stra sebuah susastra Hindu yang mengandung

ajaran Bhakti Yoga, yang dilaksanakan dan dialami sendiri oleh Rsi Nrada.

Rsi Nrada adalah seorang bhakta yang tulen. Ajaran Bhakti Yoga sebagai

jalan pendekatan kepada Tuhan dialami dan dirasakan sendiri oleh Rsi

Nrada dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang disebut Stra. Jadi

ajaran Nrada Bhakti Stra adalah susastra Hindu yang berbentuk Stra,

atau kalimat-kalimat pendek yang ditulis menggunakan Bahasa Sansekerta.

28
Menurut kitab Mahabharata dan kitab Purana Rsi Nrada adalah tokoh

Bhakti Yoga yang tulen dan sebagai pelopor bhakti kepada Dewa Wisnu.

Menurut informan I.B. Manuaba, dalam mitologi, Rsi Nrada adalah

seorang Dewa Resi yang bertugas sebagai wartawan sorga yang sangat rajin

dan profesional dalam menyampaikan setiap kejadian di sorga dan di dunia.

Setiap kejadian yang terjadi tidak ada luput dari pantauan Rsi Nrada.

Ajaran Nrada Bhakti Stra dihimpun kembali oleh seorang yogi bernama

Swmi Tygsnanda, seorang yogi dari kaum Wasnawa yang tekun

mengembangkan bhakti pada Tuhan sebagai Dewa Narayana.

Bentuk-bentuk Stra dalam kitab Nrada Bhakti Stra dihimpun

dalam 5 Bab, masing-masing Bab tersebut diberi judul sesuai dengan

kecendrungan-kecendrungan isinya. Judul masing-masing Bab dan

kecendrungan isinya diuraikan di bawah ini dalam bentuk tabel, dan jumlah

suku sanskertanya sebagai uraian dibawah ini.

Tabel Isi Pokok Per Bab Buku Narada Bhakti Sutra

Bab Nama Isi Pokok Kete


Bab Rangan
I Para Bhakti Swrpam Bentuk-bentuk bhakti Stra
33 Baris Stra pemula. Bhakti dilandasi 1 33
oleh kasih sayang sesama
makhluk.

II Para Bhakti Bhakti harus disertai Stra


Mahaktwam dengan pengetahuan yang 25 33
9 Baris Stra memadai.

III Bhakti Sdhanani Para bhakti harus dapat Stra


17 Baris Stra mengendalikan segenap 34 50
indrianya dan dapat
mengatasi goncangan
maya.

29
Bab Nama Isi Pokok Kete
Bab Rangan
IV Prema Nirwacanam Berbhakti dapat Stra
16 Baris Stra menghapus kejahatan, 51 66
kecongkakan, kemarahan,
kesombongan. Diganti
dengan kasih sayang.

V Mukhy Bhakti Menguraikan 11 wujud Stra 66


Mahim bhakti yaitu : Guna 84
18 Baris Stra Mahatmya Sakti, Rupa
Sakti, Pj Sakti,
Smarana Sakti, Dasya
Sakti, Sakya Sakti,
Wetsalya Sakti, Kanta
Sakti, tmani Wedana
Sakti, Tan Mayata Sakti,
Parama Wiraha Sakti.

Setelah diuraikan (Dhyayah) berikut diunrut jumlah suku kata

Sanskerta masing-masing Stra dari ajaran Nrada Bhakti Stra, yang

diuraikan dari isi masing-masing Bab berikut :

Tabel Uraian Dhyayah Bab Masing Masing Narada Bhakti Sutra


No. Nama Dhyayah Jumlah Suku Kata Keterangan
I. Parabhakti Swarupam - Terdiri dari 24 bris
1. Sutra 1 12 Suku Kata stra, 1 sampai
2. Sutra 2 10 Suku Kata stra 24
3. Sutra 3 6 Suku Kata
4. Sutra 4 22 Suku Kata
5. Sutra 5 26 Suku Kata
6. Sutra 6 20 Suku Kata
7. Sutra 7 14 Suku Kata
8. Sutra 8 14 Suku Kata
9. Sutra 9 16 Suku Kata
10. Sutra 10 10 Suku Kata
11. Sutra 11 22 Suku Kata
No. Nama Dhyayah Jumlah Suku Kata Keterangan
12. Sutra 12 16 Suku Kata
13. Sutra 13 9 Suku Kata
14. Sutra 14 24 Suku Kata
15. Sutra 15 14 Suku Kata
16. Sutra 16 14 Suku Kata

30
17. Sutra 17 7 Suku Kata
18. Sutra 18 12 Suku Kata
19. Sutra 19 24 Suku Kata
20. Sutra 20 5 Suku Kata
21. Sutra 21 8 Suku Kata
22. Sutra 22 18 Suku Kata
23. Sutra 23 9 Suku Kata
24. Sutra 24 11 Suku Kata
II. Parabhakti Mahaktnam Terdiri dari 9 stra
25. Sutra 25 14 Suku Kata Stra 25-33
26. Sutra 26 5 Suku Kata
27. Sutra 27 18 Suku Kata
28. Sutra 28 12 Suku Kata
29. Sutra 29 8 Suku Kata
30 Sutra 30 13 Suku Kata
31. Sutra 31 16 Suku Kata
32. Sutra 32 14 Suku Kata
33. Sutra 33 12 Suku Kata
III. Bhakti Sdhnani Terdiri dari stra
34. Sutra 34 12 Suku Kata Stra 34-50
35. Sutra 35 12 Suku Kata
36. Sutra 36 8 Suku Kata
37. Sutra 37 14 Suku Kata
38. Sutra 38 20 Suku Kata

No. Nama Dhyayah Jumlah Suku Kata Keterangan


39. Sutra 39 14 Suku Kata
40 Sutra 40 10 Suku Kata
41. Sutra 41 9 Suku Kata
42. Sutra 42 12 Suku Kata
43. Sutra 43 16 Suku Kata
44. Sutra 44 22 Suku Kata
45. Sutra 45 15 Suku Kata
46. Sutra 46 33 Suku Kata

47. Sutra 47 35 Suku Kata


48. Sutra 48 24 Suku Kata
49. Sutra 49 22 Suku Kata
50. Sutra 50 15 Suku Kata
IV. Premanircanam Terdiri dari 16 Str
51. Sutra 51 11 Suku Kata Dari Stra 51- 66
52. Sutra 52 6 Suku Kata
53. Sutra 53 8 Suku Kata
54. Sutra 54 33 Suku Kata
55. Sutra 55 31 Suku Kata
56. Sutra 56 15 Suku Kata

31
57. Sutra 57 18 Suku Kata
58. Sutra 58 10 Suku Kata
59. Sutra 59 16 Suku Kata
60. Sutra 60 12 Suku Kata
61. Sutra 61 22 Suku Kata
62. Sutra 62 29 Suku Kata
63. Sutra 63 17 Suku Kata
64. Sutra 64 10 Suku Kata
65. Sutra 65 26 Suku Kata
66. Sutra 66 32 Suku Kata

No. Nama Dhyayah Jumlah Suku Kata Keterangan


V. Mukhya Bhakta Mahima Terdiri dari 18 brs
67. Sutra 67 8 Suku Kata stra, mulai sutra
68. Sutra 68 29 Suku Kata 67 sampai stra 84
69. Sutra 69 27 Suku Kata
70. Sutra 70 3 Suku Kata
71. Sutra 71 21 Suku Kata
72. Sutra 72 19 Suku Kata
73. Sutra 73 5 Suku Kata
74. Sutra 74 6 Suku Kata
75. Sutra 75 14 Suku Kata
76. Sutra 76 23 Suku Kata
77. Sutra 77 29 Suku Kata
78. Sutra 78 24 Suku Kata
79 Sutra 79 24 Suku Kata
80 Sutra 80 25 Suku Kata
81 Sutra 81 20 Suku Kata
82 Sutra 82 74 Suku Kata
83 Sutra 83 56 Suku Kata
84 Sutra 84 43 Suku kata

Dari analisa bentuk Nrada Bhakti Stra, terdiri dari 84 stra, yang

panjang pendeknya tidak beraturan. Diantara 84 stra, stra yang terpendek

adalah stra yang nomor 70, hanya terdiri dari 3 suku kata saja, dan stra

yang paling panjang ialah stra nomor 82 yang terdiri dari 73 suku kata.

Stra yang terpendek terdapat pada adhyaya V berjudul Mukhya Bhakta

32
Mahima. Stra yang terpanjang juga terdapat pada adhyaya V. Agar lebih

jelasnya, maka di bawah ini dikutip stra yang terpanjang dan sutra

terpendek dari kitab Nrada Bhakti Stra sebagai berikut :

Sutra terpendek :

Tan mayh

(Narada Bhakti Stra, 70)

Terjemahannya :
Setiap orang yang dinyatakan dalam Stra ini, diisi dengan jiwa
para orang suci, dan melaluinya, diisi dengan roh Tuhan.
(Tygsnanda, 1996 : 16).

Sedangkan stra yang terpanjang, yaitu Stra nomor 82 terdiri dari 74

suku kata, kutipannya, sebagai berikut :

Guna mhtmy sakti rp sakti pja sakti smaran sakti


Dsysakti sakhy sakti wtsalyasakti knt sakti
tmani wedan sakti tan mayat sakti parama wirah sakti
Rp ekadh api ekasadh bhawati

Terjemahannya :
Bhakti, atau kasih sayang Tuhan, walaupun dalam diri hanya
satu, tetapi mewujudkan dirinya dalam 11 bentuk yang berbeda,
sebagai berikut : (1) kasih sayang pemuliaan dari sifat anugrah
Tuhan, (2) kasih sayang dari keindahannya yang menakjubkan,
(3) kasih sayang pemujaan, (4) kasih sayang dengan mengingat
terus menerus, (5) bhakti dengan melayani, (6) bhakti dengan
berteman, (7) kasih sayang bagaikan anak, (8) kasih sayang
seperti istri terhadap suaminya, (9) kasih sayang dengan
penyerahan diri sepenuhnya, (10) kasih sayang dengan
penyerapan sifat Tuhan, (11) kasih sayang bagaikan merasa
terharu denganNya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 19).

Dari analisis sutra-sutra tersebut di atas, peneliti berpendapat

mengapa sutra nomor 82 ditulis sutra terpanjang, karena inti sari dari ajaran

Narada Bhakti Sutra yaitu 11 bentuk bhakti terdapat dalam sutra dalam 82,

dan sekaligus merupakan inti sari dari ajaran Narada Bhakti Sutra.

33
C. Tujuan Kitab Nrada Bhakti Stra

Penulis kitab Nrada Bhakti Stra yang bernama Resi Nrada adalah

seorang bhakta yang tulen. Bhakta artinya cara atau jalan yang ditempuh

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melalui jalan bhakti, sehingga

disebut juga Bhakti Yoga. Bhakti artinya bagian, pembagian, pemujaan,

penghormatan, kasih sayang, penyerahan diri, kesetiaan (Tim Penyusun,

1983 : 153). Kata Yoga berasal dari kata Yuj (VII) yang artinya

menghubungkan, sepasang, hubungan (Tim Penyusun, 1983 : 191). Bhakti

Yoga artinya cara atau jalan untuk menghubungkan diri dengan melalui

penyerahan diri dan kasih sayang murni kepada Tuhan.

Dalam Kitab Nrada Bhakti Stra jalan yang ditonjolkan oleh Rsi

Nrada adalah jalan bakti yang lebih tinggi disebut dengan para bhakti.

Sehingga bakti yang tidak banyak menggunakan sarana upakara seperti yang

dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali.

Adapun tujuan disusunnya kitab Nrada Bhakti Stra adalah sama

dengan ajaran Catur Yoga lainnya, yaitu untuk mencapai pembebasan atau

kelepasan yang disebut mukti. Untuk mencapai kelepasan tersebut dengan

jalan bhakti tentu dilaksanakan melalui proses pelaksanaan tahap demi

tahap, harus ditaati oleh seorang Bhakta. Tujuan dari Nrada Bhakti Stra

secara bertahap dinyatakan dalam beberapa Stra berikut ini :

Amrta swarp ca

(Nrada Bhakti Stra, 3)

Terjemahannya :
Pada dasarnya bhakti adalah tiada lain dari pembebasan abadi
(mukti) itu sendiri yang datang sendiri tanpa diminta dengan

34
anugrah Tuhan yang berkorban dan pasrah (Tygsnanda
Swami, 1996 : 1).

Yallabdhw pumam siddho bhavati arto bhavati


Trpto bhawati
(Nrada Bhakti Stra)

Terjemahannya :
Pencapaian ini (mukti) manusia mewujudkan kesempurnaan
dengan terpuaskan sama sekali.
(Tygsnanda Swami, 1991 : 1).

Yat prpya na kincid wnchati, nasocati, na dwesti


Na ramate notsh bhawati
(Nrada Bhakti Stra, 5).

Terjemahannya :
Pencapaian hal itu (kelepasan) manusia tidak lagi memiliki
keinginan apapun, dan ia terbebas dari kesedihan dan kebencian,
ia tidak bersenang hati, terhadap apapun dan tidak memaksakan
dirinya dalam melanjutkan kesenangan diri (Tygsnanda
Swami, 1996 : 2).

Dari tiga kutipan Stra di atas jelas dinyatakan bahwa tujuan utama

dari ajaran Nrada Bhakti Stra adalah untuk mencapai kelepasan, mukti

yang dalam terhadap tujuan agama Hindu disebut mencapai moksa. Untuk

mencapai kelepasan menurut kitab Nrada Bhakti Stra tidaklah cukup

hanya perwujudan bhakti saja, tetapi bakti harus dilandasi dengan etika

moralitas yang tinggi dan disiplin spiritual tinggi pula. Jadi etika moralitas

juga menjadi tujuan yang wajib dilaksanakan oleh para bhakta untuk

mencapai tujuan yang tertinggi. Pentingnya etika moral yang baik

dinyatakan dalam beberapa Stra berikut ini.

Sna kmayamn nirodha rpatwat

(Nrada Bhakti Stra, 7)

Terjemahannya :

35
Bhakti yang sesungguhnya dilukiskan dengan Parama Prema
atau kasih sayang tertinggi, bukanlah sifat dari nafsu, karena ia
merupakan bentuk dari penyangkalan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 2).
Bhakti yang tertinggi disebut Parama Prema, patut dicapai dengan

pengendalian nafsu, mengobral hawa nafsu merupakan penyangkalan dari

bakti yang tertinggi. Dalam Stra berikutnya dinyatakan tentang pentingnya

pengendalian diri tersebut, sebagai berikut :

Nirodhastu loka weda wyparanyasah

(Nrada Bhakti Stra, 8)

Terjemahannya :
Sekarang penyangkalan ini (yang dinyatakan dalam Stra
sebelumnya sebagai ciri beragam dari Parabhakti) hanyalah
suatu penyucian dari segala kegiatan baik yang sakral maupun
yang sekular (duniawi).
(Tygsnanda Swami, 1996 : 2).

Seseorang yang melaksanakan jalan bakti agar setiap perbuatan baik

perbuatan yang bersifat spiritual maupun kegiatan duniawi harus dinilai

dengan pikiran suci, sehingga ucapan dan perbuatannya menunjukkan

kesucian (Tri Kaya Parisudha). Syarat utama untuk mewujudkan bakti pada

Tuhan adalah kesucian pikiran, bakti yang disertai dengan persembahan

menjadi tiada guna apabila tidak disertai dengan pikiran suci. pandangan

tersebut juga dinyatakan dalam kitab Bhagavadgita, sebagai berikut :

Patram pushpam phalam toyam


Yome bhakty prayacca ca hati
Tad aham bhak tyu pahritam
Asnmi praya tat manah
(Bhagavadgita, IV.26)

Terjemahannya :

36
Siapa saja yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai
daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air aku
terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
(Pendit, 1994 : 248).

Etika moralitas yang patut ditunjukkan oleh seorang bhakta dalam

mewujudkan cita-cita baktinya agar berhasil agar ditunjang oleh sikap

pengendalian diri dan tindakan sosial pada sesama manusia, sebagaimana

dinyatakan dalam Stra berikut ini :

Tas minnanyat tadwiro dhisdsi na t ca

(Nrada Bhakti Stra, 9)

Terjemahannya :
Dalam penyangkalan, dengan penyucian semacam itu terdapat
perpaduan dan ketidak pedulian sepenuhnya terhadap segala
sesuatu yang menentangnya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 3).

Stra di atas bermakna dalam arti luas, pada kehidupan sosial di

masyarakat, meskipun seorang bhakta banyak yang menentang, mengejek di

masyarakat, tetapi ia mampu mengendalikan diri tidak peduli pada yang

menentangnya. Dalam pengertian khusus, meskipun indria sering menentang

dan menolak, tetapi seorang bhakta mampu mengatasi gejolak nafsunya

dengan bijaksana.

Seorang bhakta menurut kitab Nrada Bhakti Stra perlu mempunyai

jiwa sosial atau jiwa pengabdian di masyarakat, karena pengabdian itu

menunjang keberhasilan dari bakti tersebut. Perbuatan sosial tersebut

termasuk salah satu perbuatan baik dari seorang bhakta. Hal tersebut

dinyatakan dalam kitab Nrada Bhakti Stra sebagai berikut :

Loka wedesu tada nu kl caranam


Tad wirodih sds nat
(Nrada Bhakti Stra, 11)

37
Terjemahannya :
Ketidak pedulian akan faktor-faktor yang bermusuhan terhadap
rasa bhakti, artinya melaksanakan kegiatan duniawi dan yang
sakral semacam itu sebagai suatu hal yang menguntungkan atau
berkenan terhadap kepatuhan tersebut.
(Tygsnanda, 1996 : 3).

Tingkah laku yang baik, membantu masyarakat dengan melakukan

tindakan sosial di masyarakat adalah tindakan yang menguntungkan bagi

umat yang memilih jalan bakti (Bhakti Yoga) pelayanan masyarakat

termasuk salah satu wujud bakti pada Tuhan. Agar para bhakta berhasil

dalam kebaktian, apakah yang harus dipakai sebagai pegangan ? Berikut ini

pernyataan kitab Nrada Bhakti Stra, sebagai berikut :

Bhawatu niscayadr dhya drdhwam


Sastra raksanam
(Nrada Bhakti Stra, 12)

Terjemahannya :
Biarlah seseorang memperdulikan akan ajaran-ajaran kitab suci,
walaupun setelah realisasi spiritualnya menjadi tegak dengan
baik.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 3).

Anyath ptity sangkay


(Nrada Bhakti Stra, 13)

Terjemahannya :
Karena kalau tidak demikian akan ada resiko jatuh
(Tygsnanda Swami, 1996 : 3).

Seorang bhakta harus selalu berpegang teguh pada kitab suci sebagai

pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari. Bila tidak berpegang teguh pada

kitab suci, maka niscaya bakti seorang bhakta menurut ajaran Nrada

Bhakti Stra akan gagal.

38
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan ajaran Nrada

Bhakti Stra adalah untuk mencapai kelepasan. Bhakti harus berlandaskan

pada etika moralitas yang baik. Agar berhasil dalam hal bhakti, seorang

bhakta hendaknya berpegang teguh pada kitab suci.

D. Nilai-nilai Pendidikan Sraddh

Secara etimologis kata sraddh berasal dari kata srat yang artinya hari,

dalam bahasa Inggris sangat dekat dengan kata heart yang artinya hati, kata

dha artinya menempatkan, dengan demikian sraddh berarti menempatkan

seseorang pada sesuatu (Rao, 2006 : 5). Menempatkan diri seseorang pada

sesuatu yang dimaksud adalah menempatkan diri pada sesuatu keyakinan,

yang diyakini adalah sesuatu yang benar dan kebenaran.

Dalam kitab Vajasanegi Samhita dinyatakan bahwa sraddh adalah

kebenaran dan sraddh adalah dusta. Dalam Rg. Veda X.151.1 sraddh

ditampilkan sebagai Dewa Alstrak (Rao, 2006 : 6). Berikut sabda kitab Rg.

Veda, sebagai berikut :

Sraddhayagnin samidhyate
Sraddhaya huyase havih
Sraddham bhagasya kurdhani
Vacasa vedayamasi

Terjemahannya :
Tuhan (agni) berkenan dengan sraddh, persembahan ini
dipersembahkan oleh sraddh, dengan puji-pujian kami
memuliakan sraddh, yang sedang duduk di atas, kepada Bhaga
(Sayanacarya, 2005 : 1.63).

Mantra di atas menyatakan sraddh berarti keyakinan sraddh berarti

kebenaran, sraddh juga adalah dewi kebenaran yang abstrak. Dalam buku

39
The Practical Sanskrit English Dictionary memberi arti tentang sraddh

dalam tujuh arti, yaitu :

a. Kepercayaan

b. Percaya dengan wahyu suci, dan kepercayaan agama

c. Keterangan pikiran

d. Kerukunan, keakraban

e. Rasa hormat, penghormatan

f. Keinginan kuat atau berapi-api

g. Keinginan seorang perempuan hamil

(Rao, 2006 : 7)

Dari uraian di atas dapat diketahui, sraddh mengandung pengertian

yang sangat luas, yaitu keyakinan kepada Tuhan, keyakinan kepada wahyu

Tuhan, keyakinan pada kebenaran, pikiran yang tenang, dan iman yang

teguh. Dengan demikian, proses pelaksanaan upacara keagamaan

berdasarkan atas keyakinan terhadap Tuhan yang berdasarkan salah satu

unsur sraddh.

Pendidikan sraddh dalam ajaran Nrada Bhakti Stra dimulai dari

Stra yang pertama. Dinyatakan bahwa wujud kasih yang murni dan

tertinggi adalah Tuhan, atau Tuhan adalah wujud kasih yang tertinggi dan

abadi. Berikut stra-stra yang menguraikan perwujudan Tuhan yang maha

kasih, sebagai berikut :

Harih om athto bhaktim wy khyasymah

(Nrada Bhakti Stra, 1).

Terjemahannya :

40
Oleh karena itu sekarang kami akan menguraikan ajaran kasih
Tuhan (Hari) Wisnu.

S twasmin para (ma) prema rp

(Nrada Bhakti Stra, 2)

Terjemahannya :
(Tuhan) itu sesungguhnya merupakan perwujudan maha kasih
yang tertinggi.

Amrta swa rp ca

(Nrada Bhakti Stra, 3)

Terjemahannya :
Dari sifat dasarnya sendiri, kasih sayang Tuhan, tidak lain adalah
kebahagiaan abadi (ananda) dari pembebasan (mukti), itu dating
sendiri tanpa diminta dengan anugrah Tuhan dan dengan
pengorbanan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 1).

Sraddh atau keimanan kepada Tuhan dalam kitab Nrada Bhakti

Stra dijelaskan bahwa Tuhan adalah perwujudan kasih Tuhan yang abadi

dan tertinggi. Tuhan juga sebagai wujud kebahagiaan yang tertinggi disebut

ananda, dan Tuhan ada dimana roh mencapai kebebasan tertinggi (mukti).

Karena Tuhan adalah perwujudan kasih yang tertinggi, maka Beliau harus

disembah dengan berdasarkan kasih yang tulis ikhlas. Dalam ajaran Nrada

Bhakti Stra disebut Parama Prema.

Sifat kasih sayang Tuhan dalam Stra berikutnya dibedakan kasih

sayang yang berdasarkan nafsu, karena kasih sayang yang berdasarkan nafsu

bersifat sementara, dan kerap kali disusul dengan kebencian, bahkan dapat

disusul dengan permusuhan. Misalnya contoh : ada dua orang yang

bersahabat dengan akrab dan penuh kasih, tetapi suatu saat terjadi

41
perselisihan dan terjadi kesalah pahaman, maka terjadilah perselisihan,

disusul dengan kemarahan dan dari kemarahan menjadi kebencian. Kasih

sayang seperti contoh di atas adalah kasih sayang hanya sebatas indria

belaka, bukan kasih sayang sejati dari Tuhan.

Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan kemarahan itu timbul karena

hilangnya kasih sayang, dan kemarahan itu sebagai pintu gerbang membawa

kehancuran. Selengkapnya kitab Bhagavadgita menyatakan sebagai berikut :

Krodhad bhavati sammohah


Samoht smritivi bhramah
Smritivi bramsad buddhinaso
Buddhi nst pranasyati
(Bhagavadgita, II.63).

Terjemahannya :
Dari amarah timbul kebingungan, dari kebingungan hilang
ingatan, hilang ingatan menghancurkan pikiran, kehancuran
pikiran membawa kemusnahan.
(Pendit, 1994 : 73).

Bhakti yang tulus (Parama Prema) dapat mengatasi kasih yang

berdasarkan nafsu kepentingan duniawi belaka. Karena kasih sayang yang

tertinggi (Parama Prema) jauh lebih tinggi dari kasih sayang yang lahir dari

nafsu indria. Hal tersebut dinyatakan dalam Stra berikut ini :

Sna kmayamn nirodha r patwt

(Nrada Bhakti Stra, 7).

Terjemahannya :
Bhakti yang disebut (Parama Prema) atau kasih yang tertinggi
bukanlah sifat dari nafsu, karena ia merupakan satu bentuk dari
penyangkalan.

Perbedaan antara Kasih Sayang Tuhan dan kasih sayang objek-objek

duniawi, khususnya daya tarik kelamin, ditekankan dalam Stra ini. Dalam

42
Bhakti, pikiran secara alami melepaskan kesenangan-kesenangan indrawi;

sedangkan dalam Kma, ia mendapat pengkasaran arti pada masalah itu.

Oleh karena itu, terjadi suatu pertentangan sifat dimana Bhakti tak dapat

disamakan dengan Kma. Dari sudut pandang ahli psikologi kuno, alasan

untuk menarik perbedaan antara Bhakti dan Kma mungkin cukup tersedia.

Tetapi ahli-ahli psikologi modern tak akan puas dengan perbedaan yang

tampak pada objek yang menarik, dalam dua bentuk kasih sayang. Mereka

membutuhkan alasan yang lebih baik guna memberikan pengalaman

spiritual suatu dasar yang lebih tinggi dari pada energi-energi naluriah

manusia yang berwujud sebagai keinginan. Suatu usaha yang konsisten

dilakukan pada jaman modern ini untuk mendapatkan suatu sumber seksual

guna pengalaman yang disebut lebih tinggi dari para orang suci dan kaum

mistikus.

Sraddh atau keyakinan kepada Tuhan yang diwujudkan dengan

jalinan kasih menurut kitab Nrada Bhakti Stra harus pula didasari oleh

pengetahuan yang memadai tentang hakikat Tuhan, bila tidak demikian

maka kasih itu bagaikan kasih asmara antar sepasang kekasih, orang yang

demikian akan gagal dalam mencapai tuannya. Hal tersebut dinyatakan

dalam Stra berikut ini :

Tadwihnam jaranamina

(Nrada Bhakti Stra, 23).

Terjemahannya :
Karena mereka kurang memiliki pengetahuan tentang ketuhanan
dari objek yang mereka cintai, cinta mereka akan menjadi sama
dasar asmara dari seorang gadis terhadap kekasihnya.
(Tjgsnanda Swami, 1996 : 5).

43
Stra ini membedakan kasih antara sepasang kekasih, yang tidak abadi

dan tidak abadi, karena lebih cendrung hanya berdasarkan nafsu indria

belaka, yang cendrung mudah pupus di tengah jalan. Tetapi kasih sayang

Tuhan adalah yang sejati dan abadi, karena Tuhan tidak pernah membenci

ciptaannya sendiri, sekalipun orang yang terjahat, apabila ia bertobat dan

kembali ke jalan kebenaran, ia tetap dikasihi dan diterima. Pernyataan

tersebut juga dinyatakan dalam kitab Bhagavadgita sebagai berikut :

Samoham sarva bhutesu


Name dveshosti na priyah
Ye bhajanti tumm bhakty
Mayi te teshu chpy aham
(Bhagavadgita IV.29).

Terjemahannya :
Aku adalah sama bagi makhluk semua, bagi-Ku tiada yang
terbenci dan terkasihi tetapi mereka yang berbakti pada-Ku
dengan dedikasi mereka ada pada-Ku, dan Aku ada pada mereka.
(Pendit, 1994 : 250).

Sabda Bhagavadgita di atas sangat indah, dan menyatakan betapa

agungnya kasih sayang Tuhan terhadap segala ciptaannya, itulah wujud

kasih yang sejati dan tertinggi, dalam kitab Nrada Bhakti Stra disebut

Parama Prema. Kasih sayang abadi Tuhan terhadap ciptaannya terutama

pada manusia ditegaskan kembali dalam sloka Bhagavadgita berikut ini :

Api chet sudur chro


Bhajate mam ananyabhk
Sdhur eva sa manta vyah
Samyag vya vasito hisah
(Bhagavadgita, IX.30)

Terjemahannya :
Kendati seandainya orang yang terjahat memuja Aku dengan
kasih yang tulus ia harus dipandang ada di jalan yang benar
sebab ia telah bertindak menuju yang benar.
(Pendit, 1999 : 251).

44
Tuhan tidak pernah membenci ciptaannya sekalipun orang yang

terjahat, karena Tuhan adalah perwujudan kasih sayang yang paling tinggi

Parama Prema. Tetapi Tuhan menciptakan hukum karma phala yang adil

dan permanen melalui hukum karma phala inilah Tuhan memberi pahala

dan memberi hukuman. Orang yang diberi hukuman karena berbuat jahat

dan masuk neraka, oknum tersebut tidak dibenci Tuhan, melainkan ia sedang

menerima ganjaran dari karmanya sendiri. Pada hakikatnya ia telah dihukum

oleh karmanya sendiri.

Dalam kitab Niti Sataka dinyatakan bahwa hukum karma phala itu

adalah krida agung Tuhan, para dewapun terikat oleh hukum karma. Lebih

lanjut kitab Niti Sataka menyatakan sebagai berikut :

Brahm yena kullavanniyamito brahmndabhndodare


Visnuryen davatragahane ksipto mahsangkate
Rudro yena kaplapniputake bhikstanam kritah
Sryo bhrmyati nityameva gagane tasmai namah karmane.
(Niti Sataka Sloka, 92).

Terjemahannya :
Lihatlah keagungan karma yang membuat Dewa Brahma
menciptakan dunia bagaikan tukang gerabah, membuat Dewa
Wisnu jatuh ke dalam kesulitan besar sehingga lahir dengan
wujud sepuluh awatara, membuat Dewa Siwa pernah menjadi
pengemis, dan atas pengaruh karma, matahari setiap hari
memutar dirinya sendiri di angkasa. Kita menghormati karma
tersebut.
(Somvir, 2005 : 78).

Dewa Brahma menciptakan dunia atas pengaruh karma. Dewa Wisnu

pun terjebak dalam lingkaran karma sehingga ia pun sepuluh kali lahir ke

dunia ini dalam wujud awatara. Demikian pula Dewa Siwa pun tidak lepas

dari cengkeraman karma yang membuat ia menjadi pengemis. Dengan

45
demikian kehebatan karma-lah yang paling diakui. Pada saat seseorang

mengalami kesulitan maka Tuhan yang maha kasih dan maha adil akan

menolongnya melalui hukum karma yang telah diciptakan dengan adil oleh

Tuhan Yang Maha Esa. Karma yang baik akan berpahala yang baik adalah

bukti kasih sayang Tuhan terhadap ciptaannya khususnya terhadap manusia.

Dalam kitab Niti Sataka 99 hal tersebut dinyatakan dengan indah dan cukup

jelas sebagai berikut :

Vane rane atrujalgnimadhye


Mahrnave parvatamastake v
Suptam pramattam visamasthitam v
Raksanti punyni purkrtni

Terjemahannya :
Pada saat berada di dalam hutan, dalam peperangan, dalam air
atau api, di samudra yang luas ataupun di puncak gunung, dalam
keadaan tidur, saat tidak sadar ataupun sadar, dan dalam
kesulitan yang membahayakan, pada saat itu hanya karma baik
yang telah dilakukanlah yang dapat melindungi seseorang.
(Somvir, 2005 : 86).

Pada saat manusia dalam kesulitan dan dalam peperangan atau tidak

ada yang dapat menolong, saat itulah karma yang baik muncul untuk

melindungi orang tersebut. Oleh karena itu setiap manusia perlu berbuat

baik bila ingin selamat dari kesulitan.

Keyakinan kepada Tuhan Widhi Sraddh dengan jalinan kasih sayang

adalah juga sebagai dasar bagi jalan lain, seperti jalan karma (Karma Yoga),

jalan ilmu pengetahuan (Jnana Yoga) dan jalan yoga atau Raja Yoga.

Menurut kitab Nrada Bhakti Stra jalan bhakti menjadi dasar pelaksanaan

untuk jalan yang lain. Tanpa adanya keyakinan pada Tuhan (Sraddh) dan

bhakti, tidak akan ada jalan karma (Karma Yoga), jalan pengetahuan (Jnana

46
Yoga) dan jalan Raja Yoga. Pandangan tersebut dinyatakan oleh Resi

Nrada dalam Stra 25 kitab Nrada Bhakti Stra.

S tu karma jnana yoge bhyopya dhi ka ta r

(Nrada Bhakti Stra, 25)

Terjemahannya :
Tetapi kasih sayang yang tertinggi yang diuraikan sebelumnya
adalah sesuatu yang menjadi dasar dari pada Karma Yoga, Jnana
Yoga dan Raja Yoga.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 6).

Pemujaan Tuhan dengan penuh kasih harus dapat disertai dengan

melepaskan sedikit demi sedikit terhadap ikatan duniawi dan mengadakan

pelayanan dengan tidak putus-putusnya kepada Tuhan. Pelayanan pada

Tuhan dapat dilakukan dengan menyanyikan kidung-kidung suci tentang

keagungan Tuhan, mendengarkan cerita/tattwa tentang keagungan Tuhan.

Pernyataan tersebut diuraikan dalam Bab III (Trityadhyayah) yang berjudul

Bhakti Sadhnn. Selengkapnya kitab Nrada Bhakti Stra menyatakan

sebagai berikut :

Tat tu wisayatygt sangatygt ca

(Nrada Bhakti Stra, 35)

Terjemahannya :
Tetapi keadaan dari cinta kasih dan keabadian yang tertinggi
hanya mungkin terjadi dengan melepaskan realitas dari dunia
obyektif seperti yang tampak sebagai kecerdasan, keakuan dan
indria-indria dan akibat penolakan dari keterikatan.
(Tygsnanda Swami)

A wy wrtta (Ta) bhajanat

(Nrada Bhakti Stra, 36).

Terjemahannya :
Dengan kasih sayang yang tak putus-putusnya.

47
(Tygsnanda Swami, 1996 : 6).

Lokopi bhagawad guna srawana krtant

(Nrada Bhakti Stra, 37)

Terjemahannya :
Dengan mendengarkan dan menyanyikan kemulyaan Tuhan,
walaupun sementara sibuk dalam kebahagiaan hidup sehari-hari.
(Tygsnanda Swami, 1991 : 6).

Bagaimanapun sibuknya terhadap tugas-tugas yang menanti di dunia

ini, jangan sampai alpa terhadap kewajiban keagamaan yaitu kebaktian

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi hal yang tak kalah pentingnya adalah

kemampuan menyebarkan kasih sayang terhadap sesama makhluk serta

kemampuan mengatasi goncangan-goncangan indria adalah sebagai syarat

utama menjalin kasih agung pada Tuhan, yang disebut Parama Prema.

Tuhan adalah perwujudan maha kasih abadi dan sejati, karena itu

mendekatkan diri terhadap Tuhan patut berdasarkan kasih yang murni, kasih

yang murni pada hakikatnya adalah pancaran atma yang terbungkus dalam

berbagai samskara.

Dalam kitab suci Veda dinyatakan kasih yang agung Tuhan disebutkan

dalam mantra berikut ini :

Aham bhmim adadm aryaya


Aham vrsthim dsuse martyya
Aham apo anayam vavasana
Mm devaso anu ketam ayam
(Rg. Veda, IV.26.2).

Terjemahannya :
Aku anugrahkan bumi ini kepada orang yang mulia (penuh
kasih) Aku turunkan hujan yang bermanfaat bagi semua
makhluk, Aku alirkan terus gemuruhnya air dan hukum alam
tunduk kepada perintah-Ku.
(Titib, 1998 : 23).

48
Aham pro mandasno vi airam
Nava skam navatih sambarasya
Santamam vesyam sarva tt
Divo dsam atithigvam yada vam
(Rg. Veda, IV.26.3).

Terjemahannya :
Dalam kesempurnaan rahmat-Ku kepada penyembah-Ku aku
turunkan sembilan puluh sembilan mendung yang menurunkan
hujan. Aku memberikan perlindungan sekeliling-Ku pengikut
jalan cahaya. Aku anugrahkan ratusan kali lipat kehidupan
kepada orang-orang budiman. (Titib, 1998 : 25).

Mantra di atas menyatakan kasih sayang Tuhan terhadap semua

ciptaan-Nya, dan kemurahan hati Tuhan memberi anugrah material dan

spiritual terhadap ciptaan-Nya berlandaskan hukum karma yang adil yang

diciptakan Tuhan. Anugrah Tuhan itu turun tentu berdasarkan karma yang

dilakukan oleh manusia di dunia ini.

Dari ulasan di atas dapat ditarik inti sari pendidikan sraddh dalam

kitab Nrada Bhakti Stra adalah sebagai berikut :

1. Tuhan pada hakikatnya adalah perwujudan kasih tertinggi (Parama

Prema) dan kasih Tuhan adalah kasih yang sejati dan abadi.

2. Karena Tuhan adalah kasih yang tertinggi, maka dari itu Beliau patut

disembah berdasarkan kasih yang tulus.

3. Kasih sayang juga harus dikembangkan pada sesama makhluk hidup,

karena semua makhluk adalah ciptaan Tuhan.

4. Sifat-sifat sosial seperti suka menolong, kasih sayang terhadap sesama

manusia adalah salah satu wujud bhakti, dan dapat membantu

berhasilnya tujuan berbakti pada Tuhan.

49
5. Tujuan berbakti yaitu untuk mencapai mukti tidak akan berhasil tanpa

diikuti oleh kemampuan pengendalian indria dari goncangan-

goncangannya. Sehingga pengendalian diri adalah dasar utama dari

keberhasilan mencapai Tuhan.

E. Nilai-nilai Pendidikan Yoga

Kitab Nrada Bhakti Stra ditulis oleh Resi Nrada menekankan pada

jalan Bhakti Yoga yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam ulasan Stra yang pertama diuraikan tentang 6 alasan Resi Nrada

menulis ajaran Bhakti Yoga ketimbang Jnana Yoga dan Karma Yoga.

Adapun keenam alasan itu, sebagai berikut :

1. Bhakti dengan sendirinya membawa pada realisasi Tuhan dan terlepas

dari Samsra;

2. Bahwa Bhakti merupakan jalan yang termudah;

3. Bahwa Bhakti merupakan jalan satu-satunya yang disediakan bagi

semua makhluk;

4. Bahwa Bhakti bahkan membantu mereka yang menghendaki jalan

Jnna.

5. Bahkan para Jnnin setelah realisasi, kadang-kadang memakai Bhakti

demi untuk kelembutan hubungan kasih sayang dengan Tuhan;

6. Yang terutama ia sendiri ingin membagikan kebahagiaan kasih

sayangnya dengan orang lain.

(Tygsnanda, 1996 : 32).

Resi Nrada memandang bahwa semua cara yang lain seperti Jnana

Marga dan Karma Marga tetap berdasarkan atas Bhakti Marga, karena itu

50
jalan bhakti perlu dimantapkan agar dapat direalisasikan pada jalan yang

lain. Ajaran bhakti yoga yang diajarkan oleh Resi Nrada lebih bersifat

Para bhakti, yaitu bhakti yang bersifat lebih tinggi, sehingga meniadakan

sarana upakara, tetapi bukan berarti sarana upakara itu tidak boleh, tetapi

lebih memilih mengorbankan nafsu dan menggunakan kasih sayang

universal sebagai kendaraan bhakti. Bagaikan orang naik tangga, tangga

apara bhakti sudah dilalui dan ditingkatkan pada tangga para bhakti, yaitu

bhakti yang lebih tinggi.

Ajaran Bhakti Yoga ditunjukkan dalam beberapa Stra dalam kitab

Nrada Bhakti Stra, mulai Stra 16 sampai dengan Stra 19 diuraikan

tentang pendapat para Resi tentang hakikat dari Bhakti. Pendapat para Resi

tersebut diuraikan dalam Stra berikut ini :

Pjdiswanurga iti pr saryah

(Nrada Bhakti Stra, 16).

Terjemahannya :
Wysa putra dari Parasara berpendapat bahwa Bhakti
menyatakan dirinya dalam kepatuhan pada kegiatan pemujaan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 4).

Kathdiswati gargah

(Nrada Bhakti Stra, 17)

Terjemahannya :
Sang bijak Garga berpikir bahwa Bhakti adalah yang
menyatakan dirinya dalam kepatuhan dalam pembicaraan suci
dan sejenisnya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 4)

tma ratya wirodheneti sndilyah

(Nrada Bhakti Stra, 18).

51
Terjemahannya :
Yang bijak Sndilya menyatakan bahwa bhakti harus terjadi
tanpa prasangka pada kenikmatan dalam tma.

Sedangkan pendapat yang terakhir tentang Bhakti dari Resi

Nrada. Resi Nrada sebagai tokoh bhakti yang tulen dan sebagai

pencetus ajaran Nrada Bhakti Stra menyatakan tentang bhakti,

sebagai berikut :

Nradastu tadarpit khil carta


Tadwis marane parama wy kula teti (Ca)
(Nrada Bhakti Stra, 19).

Terjemahannya :
Tetapi Nrada berpendapat bahwa ciri-ciri utama dari bhakti
adalah penyucian segala kegiatan, dengan penyerahan diri
sepenuhnya kepada-Nya dan sangat berduka cita apabila
melupakannya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 5).

Keempat pendapat para Resi itu nampaknya saling melengkapi dan

saling menyempurnakan. Dari keempat pendapat itu dapat disimpulkan

bahwa : Bhakti adalah pemujaan kepada Tuhan dengan tekun, berkata yang

jujur orang yang dapat mengendalikan segenap indrianya dan segala

kegiatan yang dilakukan bernilai kesucian dan kebenaran, ia akan berduka

apabila melupakan ibadah pada Tuhan.

Pada uraian selanjutnya kitab Nrada Bhakti Stra mengulas tentang

realisasi atau ciri-ciri perbuatan nyata tentang wujud bhakti, antara lain :

1. Kasih Sayang dan Pelayanan

Kasih sayang dan pelayanan pada Tuhan, dan juga melayani

orang lain adalah termasuk wujud bhakti, sebagaimana dinyatakan

dalam kita Nrada Bhakti Stra sebagai berikut :

52
Awy wrtta (Ta) bhajant

(Nrada Bhakti Stra, 36)

Terjemahannya :
Dengan pelayanan kasih sayang yang tak putus-putusnya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 8)
Seorang pelayan yang terpaksa melayani majikannya hanya demi

dapat uang tidak ada jalinan kasih yang tulus, hal itu bukanlah bhakti.

Tetapi umat dengan tulus menjalin kasih dengan Tuhan menganggap

dirinya sebagai hamba Tuhan adalah bhakti yang sesungguhnya.

2. Bernyanyi dan Mendengarkan tentang Keagungan Tuhan.

Berbakti kepada Tuhan dengan cara menyanyikan kidung-kidung

suci dengan keagungan Tuhan disebut Kirtanam. Mendengarkan

tentang filsafat Tuhan, lalu mempercayainya disebut srawanam. Cara-

cara seperti tersebut termasuk dalam pelaksanaan bhakti. Cara seperti

itu dinyatakan dalam kitab Nrada Bhakti Stra 37 sebagai berikut :

Lokopi bhagawad guna srawana kirtant

Terjemahannya :
Dengan mendengarkan dan menyanyikan kemulyaan
Tuhan, walaupun sementara sibuk dalam kegiatan sehari-
hari.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 8).

Menyanyikan kidung-kidung suci sebelum persembahyangan

dimulai dan mendengarkan tentang Dharma Wacana di Bali telah menjadi

tradisi, dilaksanakan di pura-pura atau tempat suci lainnya. Jadi bhakti

dengan metode srawanam dan sankirtanam bagi umat Hindu di Bali telah

terlaksana dengan baik.

53
3. Pembebasan Diri dari Ikatan Duniawi

Pembebasan diri dari ikatan duniawi haruslah diterjemahkan dengan

luwes dan bijaksana. Pembebasan dari ikatan duniawi bukan berarti

menolak segala unsur-unsur keduniawian, tetapi lebih bernuansa kiasan

untuk tidak hidup berfoya-foya dan tidak mengobral nafsu yang dapat

menjerumuskan umat ke jurang derita dan gagal dalam misi kebaktian.

Benda duniawi tetap diperlukan tetapi dalam batas yang wajar dan dapat

menunjang tujuan kebaktian. Lebih lanjut Stra yang menyatakan

pembebasan diri dari ikatan duniawi disebutkan dalam Stra berikut ini :

Yo wiwiktas thnam sewate, yo loka bhandhamun


Mlayati (Yo) nisrai gunyobhawati (Yo)
Yoga ksemam tyajati.
(Nrada Bhakti Stra, 47).

Terjemahannya :
Ia yang berlindung pada suatu tempat terpencil dan murni
menjebol segala keterikatannya terhadap kenikmatan dari
ketiga dunia memperoleh kebebasan dan akibat Tri Guna, serta
melepaskan segala pemikiran tentang perolehan dan
pemeliharaan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 11).

4. Melepaskan Diri dari Ikatan Kerja

Wujud bhakti dengan melepaskan diri dari ikatan kerja dinyatakan

dalam Stra 48, sebagai berikut :

Yah karma phalam tyajati


Karmni sannya syati
Tato nir dwan dwo bhawati

Terjemahannya :
Ia yang melepaskan hasil dari segala kerja menolak semua
kegiatan pamrih, dan mengatasi segala pasangan yang
berlawanan, seperti kesenangan dan penderitaan.
(Tygsnanda, 1996 : 11).

54
Bekerja dengan tekun, dengan melepaskan segala hasil kerja dan

menganggap kerja sebagai persembahan atau wujud bhakti dalam

Bhagavadgita disebut Karma Samyasa. Bekerja tanpa pamrih menurut

kitab Bhagavadgita adalah suatu bhakti atau persembahan, karena itu

manusia diikat oleh hukum kerja, karena hukum kerja itu adalah hukum

alam yang mengikat alam dan manusia. Dalam kitab Bhagavadgita III.9

dinyatakan manusia wajib bekerja demi bhakti tanpa menghitung-hitung

keuntungan pribadi, selengkapnya kitab Bhagavadgita menyatakan

sebagai berikut :

Yajnarthat karmanonyatra
Lokoyam karma bandhanah
Tadartham karma kaunteya
Mukta sangat samchara

Terjemahannya :
Kecuali untuk tujuan berbakti dunia ini dibelenggu oleh
hukum kerja karenanya bekerjalah demi bhakti tanpa
kepentingan pribadi, oh kunti putra.

Pandangan kitab Bhagavadgita tentang kwalitas kerja yang bernilai

bhakti atau persembahan identik dengan pandangan kitab Nrada Bhakti

Stra. Bekerja tanpa semata-mata mengharapkan keuntungan pribadi

bernilai persembahan. Itu menjadi pintu gerbang untuk memasuki pintu

bhakti yoga.

5. Lepas dari Ikatan Upacara Ritual

Melepaskan diri dari ikatan upacara ritual dinyatakan dalam Nrada

Bhakti Stra 49, selengkapnya diuraikan sebagai berikut :

55
(Yo) wed napi samnya syati
kewaca ma wicchin nuragam labhate

Terjemahannya :
Ia yang melepaskan upacara-upacara ritual yang diuraikan
dalam Weda dan memperoleh kerinduan terus-menerus.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 11).

Umat harus hati-hati menanggapi pandangan Stra yang di atas.

Maksud Stra di atas bukanlah melarang umat melaksanakan yajnya.

Tetapi yang dianjurkan umat tidak terikat secara duniawi akan hasil

yadnya itu. Seperti misalnya kemasyuran, keuntungan pribadi,

melaksanakan yajna agar mendapat pujian dan ditakuti serta agar

mendapatkan kedudukan, agar dapat naik pangkat dan agar dapat

meningkat jabatannya. Sifat dan harapan seperti itu justru dapat

menjerumuskan seorang bhakta ke jurang derita, dan lebih menjauh dari

tujuan untuk berbakti. Sifat-sifat seperti itulah yang harus dilepaskan agar

jangan menghalangi tujuan untuk mencapai bhakti.

6. Sebelas Wujud Bhakti

Pada bagian akhir dari kitab Nrada Bhakti Stra Resi Nrada

membagi wujud realisasi bhakti itu menjadi 11 jenis tipe, jenis-jenis bhakti

ini dapat dipilih sesuai dengan kemampuan umat dalam melaksanakan

ajaran bhakti tersebut. Lebih lanjut, tepatnya dalam Stra 82 dinyatakan

tentang 11 wujud bhakti umat kepada Tuhan, sebagai berikut :

Guna mhtmya sakti rp sakti pj sakti


Smaran sakti dsy sakti sakhya sakti
Wtsaly sakti knta sakti, atmani wedan sakti
Tan mayat sakti, parama wiraha sakti
Rp ekadh api ek dasa dha bhawati

56
Terjemahannya :
Untuk memberi arti ke sebelas wujud bhakti menurut kitab
Nrada Bhakti Stra, maka diurut secara sistematis, sebagai
berikut :

(1) Guna mhtmy sakti : Bhakti dengan memuliakan atau


memuji-muji Tuhan.
(2) Rp sakti : Bhakti dengan memandang Tuhan itu
sangat indah dan menakjubkan.
(3) Puja sakti : Dengan menyembahnya.
(4) Smaran sakti : Bhakti dengan mengingat terus
menerus.
(5) Dsya sakti : Bhakti sebagai pelayan.
(6) Sakhya sakti : Bhakti dengan menganggap sebagai
sahabat.
(7) Watsalya sakti : Bhakti dengan menganggap Bhakta
sebagai anak dan Tuhan adalah
Bapak.
(8) Knt sakti : Bhakti dengan menganggap sebagai
pasangan suami istri.
(9) tmani Wedana sakti : Bhakti dengan penyerahan diri
sepenuhnya.
(10) Tan mayat sakti : Bhakti dengan penyerapan
sepenuhnya hakikat Tuhan.
(11) Parama wiraha sakti : Bhakti dengan selali merindukan
kehadiran Tuhan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 19).

Sebelas jenis wujud bakti menurut kitab Nrada Bhakti Stra ada

kemiripan dengan 9 jenis bakti (Nava vidha bhakti) yang dikembangkan

oleh Maharaja Pradipa dalam kitab Bhagavata Purana VII.5.23, sebagai

berikut :

Sravanam kirtanam visnuh


Smaranam pada sevanam

57
Arcanam vandanam dasyam
Sakhyam atma ni vedanam
(Bhagavata Purana, VIII, 5, 23).

Terjemahannya :
Sembilan bentuk bakti terhadap Tuhan (Dewa Wisnu) yaitu :
1. Sravanam, 2. Kirtanam, 3. Smaranam, 4. Pada Sevanam,
5. Arcanam, 6. Vandanam, 7. Dasyam, 8. Sakyam, 9. Atmani
Vedanam.
(Titib, 2001, 55).

Agar lebih jelasnya tentang 9 cara berbakti ini, akan dijelaskan sebagai

berikut :

1. Sravanam : mempelajari dan mendengarkan tentang

keberadaan dan tentang keagungan Tuhan yang

disabdakan dalam kitab-kitab suci.

2. Kirtanam : mengucapkan dan menyanyikan lagu-lagu pujian

terhadap Tuhan.

3. Smaranam : selalu ingat kepada Tuhan dan memujanya.

4. Pada Sevanam : memberi pelayanan terhadap Tuhan, termasuk

melayani ciptaannya (ngaturang ayah, bahasa

Bali).

5. Arcanam : memuja keagungannya dengan media arca.

6. Vandanam : sujud bhakti terhadap Tuhan.

7. Dasya : bertindak sebagai hamba Tuhan.

8. Sakhya : memandang Tuhan sebagai sahabat sejati seperti

Sri Krisna dan Arjuna dalam kitab Bhagavadgita.

9. Atmani Vedanam : penyerahan diri secara total kepada Tuhan.

58
Sravanam atau mendengar merupakan langkah pertama dalam

mendapatkan pengetahuan rokhani. Hendaknya seseorang mendengar dari

seseorang guru yang telah menerima pencerahan agar kita mendapat

pengetahuan yang sejati, seperti yang telah dinyatakan oleh Sri Krisna dalam

(Bhagavadgita; IV, 34).

Tad vidhi prani patena


Pari prasnena seyaya
Upa dekshyanti tejanam
Jna ni nas tattva darsinah

Terjemahannya :
Belajar dengan sujud disiplin dengan bertanya dan kerja dan
berbakti guru budiman yang melihat kebenaran akan
mengajarkan padamu ilmu kerokhanian dan budi pekerti.
Pendit, 1984 : 137).

Stra ini berkaitan dengan berbagai jenis Bhakti yang penting. Bukan

berarti hanya ada 11 macam bhakti ini saja, karena kemungkinan dari sekian

banyak jenis sebagai hubungan kemanusiaan. Nrada menunjukkan bahwa

apabila secara luar mereka tampak seperti berbeda, mereka semua

merupakan manifestasi dari Kasih Sayang yang dengan sendirinya hanyalah

satu adanya. Perbedaan dalam prilaku hanya dapat diasalkan pada selera,

kecenderungan, dan kegemaran, yang disebabkan oleh Samskra masa lalu

dari setiap pribadi, atau terhadap beberapa tujuan yang tak terduga, untuk

dikerjakan hanya pada cara tertentu saja. Jadi, Nrada dan Wysa, selalu

dijumpai sedang menikmati dirinya dalam menyanyikan kemuliaan Tuhan

yang membantu untuk mengubah orang lain pada suatu kehidupan spiritual

dan kasih sayang. Para Gop dari Brndwana secara wajar tertarik dengan

keindahan pribadi Krsna yang mempesona, dan mereka memperlihatkannya.

Ambarsa mempergunakan seluruh hidupnya dalam pemujaan, Prahlda

59
dalam pengingatan, Hanman dalam pelayanan, Uddhawa dan Arjuna

memiliki sikap persahabatan, Rukmin dan Satyabhm mengasihi-Nya

sebagai suami, dan Kausaly serta Dewak sebagai anak-anaknya. Bali dan

Wibhsana, adalah contoh-contoh tertinggi dari penyerahan diri sepenuhnya

kepada Tuhan; Rsi-Rsi agung seperti Sanatkumra dan Yjnawalkya,

menenggelamkan dirinya dalam kebahagiaan-Nya. Dengan spesifikasi ini

bukan berarti bahwa sikap-sikap yang lain tidak diketemukan dalam

kehidupan mereka; dan apa yang dimaksudkan untuk mengatakan hal ini

hanyalah bahwa setiap orang dicirikan oleh suatu prilaku yang lebih

menguasainya. Perbedaan prilaku dapat dijumpai pada orang yang sama,

pada saat yang berbeda, seperti pada Sr Rmakrsna. Sikap yang terakhir

merupakan suatu ciri umum dari semua Bhakta, karena ia berada dalam sifat

kasih sayang yang mendalam, dimana ia tak dapat menanggung

keterpisahan; dan Nrada telah membuat hal ini sebagai ujian tertinggi dari

pengabdian dalam Stra 29, dan Ymuncrya menyebutnya manifestasi

tertinggi dari kasih sayang. Tahap kasih sayang ini secara khusus terwujud

dalam diri Rdh dan para Gop, ketika mereka terpisah dengan Krsna dan

dimuliakan dalam lagu-lagu dari para lwr dan Gtgowinda.

Tuhan Yang Maha Esa diperlakukan sebagai sahabat, sebagai Bapak,

sebagai raja, dan manusia sebagai putra-putranya juga terdapat dalam kitab

Yajur Veda, hal ini membuktikan bahwa ajaran Nrada Bhakti Stra sesuai

dengan semangat Veda. Lebih lanjut kitab Yajur Veda menyatakan sebagai

berikut :

Sano bandhurjanit sa vidht dhamn veda


Bhuvanam visv, yatra dev amrta manasns

60
Trtiye dhmnn adhyai ranta
(Yajur Veda : 32.10).

Terjemahannya :
Wahai manusia, Tuhan merupakan saudara bagi semua umat
manusia di dunia ini, pencipta jagat raya ini. Dia penyempurna
keinginan umat manusia. Maha mengetahui semua penjuru loka-
loka dan juga mengetahui nama-nama tempat dan kelahiran
semua makhluk di dunia ini. Dimana para sarjana melepaskan
ikatan dukungan untuk mencapai moksa dan tinggal dalam
kedamaian. Tuhan adalah guru, raja diraja Tuhan adalah hakim
bagi seluruh makhluk di dunia ini. Hendaknya semua orang
memuja Beliau dengan Sraddh dan Bhakti.
(Somvir, 2001 : 9).

Dalam mencurahkan rasa bakti kepada Tuhan, agar umat lebih dekat

pada Tuhan, maka Beliau dianggap sebagai sahabat semua manusia,

dianggap sebagai raja karena Tuhan itu maha kuasa, Tuhan dianggap sebagai

hakim, karena Beliau maha adil. Tuhan sebagai pembimbing semua

manusia, karena itu Beliau juga dianggap sebagai guru.

Dalam kitab Siva Samhita dikatakan bahwa Tuhan dianggap sebagai

guru, Tuhan dianggap sebagai ayah, dan Tuhan juga dianggap sebagai ibu.

Oleh karena itu Beliau dilayani didekati dan disembah oleh umat dengan

keyakinan (Sraddh) dan penuh kasih sayang (bhakti). Lebih lanjut kitab

Siva Samhita menyatakan sebagai berikut :

Guruh pit gurur mt gurur devo nasamsayah


Krmana manas vc tasmat sarvaih prasevyate
(Siva Samhita, 13).

Terjemahannya :
Tak ada keragu-raguan sedikitpun bahwa guru adalah ayah, guru
adalah ibu, dan guru adalah Tuhan dengan demikian ia harus
dilayani oleh semuanya dengan pemikiran ucapan dan
perbuatan.

61
Agar umat merasa lebih dekat dengan Tuhan, maka dalam

mempraktekkan bhakti, maka Tuhan diperlakukan sebagai guru yang selalu

memberi tuntunan, Tuhan dianggap sebagai ayah dan ibu, yang senantiasa

selalu dekat dengan anaknya dan memberi perlindungan bagaikan orang tua

melindungi anaknya. Dalam pandangan yang demikian dalam konsepsi

ketuhanan, maka Tuhan dalam wujud Monotheisme Imanen. Sebelas wujud

bhakti (Ek Dasadh Bhawati) yang diajarkan oleh Resi Nrada dalam kitab

Nrada Bhakti Stra, berpandangan Tuhan yang dipuja dalam konsep

monotheisme imanen.

7. Nilai-nilai Pendidikan Susila

Susila adalah nama lain dari kata Ethika dan Moral. Merupakan dua

buah kata, dalam kehidupan yang dipergunakan silih berganti untuk maksud

yang sama.

Ethika berasal dari bahasa Yunani, dari kata ethos yang berarti karakter

kesusilaan atau adat. Sedangkan Moral berasal dari bahasa latin, dari kata

Mos yang dalam bentuk jamaknya mores yang berarti cara hidup atau adat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata ethika dan moral memiliki arti

yang sama. Di dalam perkembangan selanjutnya, etika (ethics) merupakan

sebuah bidang kajian tentang sistem nilai-nilai (moral) yang ada. Sedangkan

moral adalah perilaku atau perbuatan manusia itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat pahami bahwa ethika adalah ajaran

perilaku atau perbuatan yang bersifat sistematis tentang perilaku (karma).

Permasalahan-permasalahan Lama dalam ethika, menurut terminologi Hindu

disebut Susila.

62
Pengertian tentang susila dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Susila atau ethika adalah upaya mencari kebenaran, dan sebagai

filsafat ia mencari informasi yang sedalam-dalamnya secara sistematis

tentang kebenaran yang bersifat absolut maupun relatif.

2. Susila atau ethika upaya untuk mengadakan penyelidikan mengkaji

kebaikan manusia, sebagai manusia bagaimana seharusnya hidup dan

bertindak di dunia ini menjadi bermakna.

3. Susila atau ethika adalah upaya (karma) manusia mempergunakan

keterampilan fisiknya (anaga/ranga) dan kecerdasan rohani (sukma

sasira) nya, yang terdiri dari : pikiran (manas), kecerdasan (buddhi)

dan kesadaran murni (Atman) dapat berfungsi untuk memecahkan

berbagai masalah tentang bagaimana ia harus hidup kalau mau menjadi

baik sebagai manusia (suputra) (Sudirga, 2006 : 106).

Untuk dapat menjadi manusia yang baik, manusia hendaknya selalu

mengadakan kerjasama yang harmonis dengan sesama makhluk ciptaan-

Nya. Manusia ini hendaknya selalu merealisasikan ajaran Tat Twam Asi,

dalam hidup dan kehidupan ini. Sang Widhi Wasa yang bersifat Maha

pencipta, Maha karya, Maha ada, Maha tanpa awal dan akhir yang sering

disebut Wyapiwiyapaka nirwikara. Wiyapi-wiyapaka berarti meresap,

mengatasi, berada di segala tempat (semua makhluk) terutama pada

manusia. Kriya (karya) saktinya Tuhan, yang paling mama adalah mencipta,

memelihara dan melebur alam semesta ini beserta segala isinya termasuk

manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Percikan Tuhan yang ada dalam

tubuh manusia disebut atman atau jiwatman. Di dalam kitab Upanisad

63
disebutkan Brahma atma aikyam yang artinya Brahman (Tuhan) dengan

atman adalah tunggal adanya.

Dalam kitab Sara Samuscaya disebutkan tentang pengertian sila,

sebagai berikut :

Silam pradhanam puruse tadyasyena pranasyati


Na tasya jivitenartho duhsilam kin prayojanam
Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, han prawrtining
dadi wwang dussila, aparan ta prayojana
nika ring kurip, ring wibhawa, ring kaprajnyanan,
apan wyarbha ika kabeh yan tan hana sila yukti
(Sara Samuscaya 160)

Terjemahannya :
Tingkah laku yang baik itu (susila) itu yang paling utama dalam
hidup ini, jika ada prilaku manusia yang tidak susila, apakah
maksud orang itu dengan hidup ini, dengan kekuasaan, dengan
kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya, tidak ada penterapan
susila dalam hidup ini
{Kajeng, 1994 : 83)

Sloka di atas menyatakan bahwa susila sangat penting dan paling

penting dalam kehidupan sebagai manusia dalam setiap lini kehidupan

manusia, lebih-lebih saat melakukan upacara agama, sekecil apapun upacara

itu memerlukan tuntunan dari ajaran susila. Puja bhakti apapun bentuknya

memerlukan prilaku yang baik untuk mencapai tujuan prilaku yang baik itu

yang merupakan gabungan dari pikiran yang baik (Manacika Parisudha)

perkataan yang baik (Wacika Parisudha) dan perbuatan yang baik (Kayika

Parisudha). Ketiga komponen itu menjadi baik, maka perbuatan seseorang

disebut Susila.

Ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai dasar susila Hindu akan menjelma

menjadi beberapa konsep ajaran susila Hindu, seperti menjadi Yama Niyama

Brata, Catur Paramita, Dasa Paramartha, Tri Pararta dan sebagainya.

64
Semua kelompok susila Hindu tersebut di atas mengandung unsur-unsur Tri

Kaya yang telah Parisudha.

Ajaran susila yang patut dipahami, dijadikan pegangan dan

dilaksanakan oleh seorang bhakta menurut kitab Nrada Bhakti Stra

dijelaskan mulai Stra 43 ke depan. Dalam Stra 43 Rsi Nrada mulai

menjelaskan bahwa dalam mewujudkan bhakti segala tindakan kekerasan

hendaknya dihindari. Selengkapnya pendidikan etika untuk para bhakta

dijelaskan sebagai berikut.

Dussangah sarwathaiwa tyjyah

(Nrada Bhakti Stra 43)

Terjemahannya :
Bagaimanapun juga, perkumpulan kejahatan patut dihindarkan
dengan segala cara.
(Tygsnanda 1996 : 10)

Kma krodha moha smrti bhramsabuddhinsa


(sarwansa) kranatwt.
(Nrada Bhakti Stra, 44)

Terjemahannya :
Karena ia membawa pada pemunculan keinginan, kemarahan,
dan khayalan, menghilangkan ingatan, menghilangkan
perbedaan dan memberikan kehancuran pada akhirnya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 10)

Tarangyit apme sangt samudryante (nti)

(Narda Bhakti Stra, 45)

Terjemahannya :
Walapun ia muncul hanya dalam bentuk kerut-kerut (riak-riak
gelombang) pada awalnya, mereka akan menjadi suatu samudra
sungguh-sungguh, sebagai hasil dari kumpulan kejahatan.
(Tygisnanda Swami, 1996 : 10)

65
Tiga kutipan Stra dari kitab Nrada Bhakti Stra menganjurkan agar

para bhakti menghindari segala perbuatan yang jahat meskipun berupa riak-

riak kecil (baru dalam tahap pemikiran) tetapi bila dibiarkan dia akan

menjadi gelombang besar seperti samudra sehingga setelah menjadi besar

sangat sulit di atasi. Pandangan kitab Nrada Bhakti Stra nampaknya

sangat logis, bahwa suatu kejahatan yang dilakukan seseorang mulai dari

niat atau pemikiran, dan muncul menjadi riak-riak kecil, lama-kelamaan

setelah mendapat kesempatan ia akan menjadi besar, setelah besar agak sulit

di atasi. Ajaran Nrada Bhakti Stra menganjurkan, sekecil mungkin

pemunculan kejahatan agar segera di atasi.

Rsi Nrada menyadari bahwa mengatasi gelombang hawa nafsu sulit

di atasi, demikian pula sifat pamrih dari manusia sulit pula di atasi, maka

dari itu Resi Nrada dalam ajaran Nrada Bhakti Stra menekankan agar

para bhakta dapat mengatasi kedua sifat indria di atas. Selengkapnya Rsi

Nrada menyatakan dalam Stra berikut ini.

Kastarati kastarati mym ? Yah sangam (sangn)


Tyajati, yo mahnubhwam sewate, nirmamo bhawati
(Nrada Bhakti Stra, 46)

Terjemahannya :
Siapakah yang melewati, siapakah yang melewati, My? Ia
yang bebas dari hubungan dengan objek indera-indera semacam
itu karena menggelorakan nafsu, berlindung pada roh agung
spiritual, melayani mereka dan membebaskan diri dari segala
nafsu dalam melayani mereka yang memerlukannya.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 10)
Gunarahitam kmanrahitam pratiksanawardhamnam
Awicchinnam sksmataram anubhawarpam
(Nrada Bhakti Stra, 54)

Terjemahannya :

66
Melepaskan semua atribut dan bebas dari segala ciri
kecenderungan terhadap kegiatan pamrih, hal itu merupakan
sifat dari pengalaman subyektif yang homogen dan integral,
lebih halus dari yang terhalus, mewujudkan dirinya secara
otomatis dalam kebangkitan dari pemenuhan kondisi tertentu
dan meluas pada setiap saat.
(Tygisnanda Swami, 1996 : 12)

Apapun yang dikerjakan manusia cendrung untuk pamrih, karena

manusia mempunyai ahamkara, ahamkara itu muncul karena tuntutan

segenap indria manusia, untuk memantapkan bhakti pamrih patut dapat di

atasi, dan mulai belajar bahwa segala perbuatan hasilnya serahkan pada

Tuhan, dengan demikian kerja akan bernilai persembahan. Pandangan yang

sama dinyatakan oleh Sri Krisna dalam kitab Bhagavadgita, sebagimana

pernyataan berikut ini.

Yogasthan kuru karmani


Sangam tyaktv dhananjaya
Siddhyasiddhyoh samo bhtv
Samatvam yoga uchyate
(Bhagavadgita II.47).

Terjemahannya :
Pusatkan pikiran pada kesucian
Bekerja tanpa pamrih, Dananjaya
Tegaklah pada sukses dan kegagalan
Sebab, keseimbangan jiwa adalah yoga
(Pendit, 1994 : 64)

Sabda Sri Krisna tersebut ditegaskan kembali dalam kitab

Bhagavadgita III. 19 sebagai berikut

Tasmad asaktah satatam


Karyam karma samachara
Asakto Hy acharam karma
Param apnoti purushah.

Terjemahannya :
Dari itu laksanakanlah segala kerja
Sebagai kewajiban tanpa mengharapkan hasil

67
Sebab bekerja tanpa pamrih
Membawa orang ke-kebahagiaan tertinggi
(Pendit, 1994 : 45)
Seorang bhakta (pelaku bhakti yoga) yang ingin mantap dan berhasil

dalam bhakti tidak perlu menghindari kehidupan sosial masyarakat jastru ia

harus mengabdi di masyarakat untuk mendapat kemulyaan di masyarakat,

sehingga program bhaktinya mendapat dukungan dari masyarakat.

Pandangan tersebut dinyatakan dalam kitab Nrada Bhakti Stra, sebagai

berikut

Na Ta (Da) tsiddhau lokawyawahro heyah kintu


Phalatygah tatsdhanam ca (kryamewa)
(Nrada Bhakti Stra, 62)

Terjemahannya :
Pada pencapaian Bhakti, atau bahkan bagi pencapaiannya,
kehidupan dalam masyarakat tak perlu dihindarkan; tetapi hanya
hasil dan kegiatan sosial itu yang harus diserahkan kepada
Tuhan; sedangkan semua kegiatan semacam itu, yang secara
alami benar sehingga menghasilkan kemuliaan, dapat
diteruskan.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 14)

Menurut Aristoteles manusia disebut Zoon Politikon artinya manusia

adalah makhluk sosial, sehingga ia tidak dapat menghindari kehidupan

sosial di masyarakat : Tidak ada alasan bagi seorang bhakta menghindarkan

diri dari kehidupan bermasyarakat.

Setelah hidup bermasyarakat dengan baik, seorang bhakta patut dapat

menghindari pikiran yang kotor, kesombongan, kejahatan, kemarahan dan

kebencian. Karena hal itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan susila

atau etika moralitas dan juga penghalang para bhakta untuk mencapai

kemajuan dalam bhakti yoga. Tata susila bagi para bhakta tersebut diuraikan

dalam Stra berikut ini

68
Abhimnadambhdikam tyjyam
(Nrada Bhakti Stra, (64)
Terjemahannya :
Kesombongan, kecongkakan dan kejahatan lainnya harus
ditinggalkan. (Tygsnanda Swami, 1996 : 15)

Tadarpitkhilcrah san kmakrodhbhimndikam


Tasminnewa karanyam.
(Nrada Bhakti Stra, 65)

Terjemahannya :
Persembahkan segala kegiatan kepada-Nya, keinginan
kemarahan, kesombongan, dan sebagainya hendaknya diarahkan
hanya kepada-Nya atau mempergunakannya hanya dalam
upacara Bhakti yang ditujukan kepada-Nya.
(Tygsnanda, 1996 : 15)

Kemarahan kesombongan adalah salah satu musuh berat yang

bercokol dalam hati manusia. Kemarahan merupakan pintu gerbang menuju

sengsara dan derita, apabila sifat marah itu terus berkobar dalam diri

manusia maka kehancuran telah menanti di ambang pintu untuk menuju

neraka. Demikian wejangan Sri Krisna dalam kitab Bhagavadgita, tentang

beratnya melawan musuh yang disebut marah itu, untuk lebih jelasnya

berikut sabda Sri Krisna dalam kitab Bhagavadgita.

Krodhad bhavati sammohah


Samoht smritivi bhramah
Smritibhramsad buddhinaso
Buddhinst prana syati
(Bhagavadgita II. 63)

Terjemahannya :
Dari amarah timbul kebingungan
Dari kebingungan hilang ingatan
Hilang ingatan menghancurkan pikiran
Kehancuran pikiran membawa kemusnahan
(Pendit, 1994 : 73)

Setelah para bhakta mampu mengatasi amarah dan kesombongan,

maka patut ditingkatkan dengan ajaran susila berikutnya, sebagai syarat

69
yang penting untuk berhasil dalam kebaktian. Ajaran susila dimaksud

menurut kitab Nrada Bhakti Stra disebutkan dalam Stra 78, sebagai

berikut.

Ahims satya sauca daystikydicritryni pariplanyni.

Terjemahannya :
Ia harus mengusahakan dan memelihara kebajikan seperti tanpa
kekerasan, kebenaran, kesucian, rasa kasihan, keyakinan dalam realitas
spiritual yang lebih tinggi serta yang sejenis.
(Tygsnanda Swami, 1996 : 18)

Kitab Nrada Bhakti Stra padat dengan kandungan ajaran etika

antara lain : Ahimsa artinya tidak menyakiti atau tidak membunuh dalam

pikiran, perkataan dan dalam perbuatan. Dengan kata lain Ahimsa adalah

kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Ajaran Ahimsa berakar

dari filsafat hidup yang paling dalam, yaitu dari filsafat Tat Twam Asi. Tat

Twam Asi adalah inti sari dari ajaran Chndogya Upanisad yang artinya Ia

adalah Engkau, Ia adalah itu, dan itu adalah Tuhan, Engkau adalah makhluk

ciptaan Tuhan. Tat Twam Asi dalam arti luas adalah semua makhluk berasal

dari Tuhan, sehingga tidak menyakiti semua makhluk ciptaan Tuhan adalah

realisasi Ahimsa di dunia ini.

Dalam kitab Sara Samuscaya disebutkan orang yang tidak menyakiti

makhluk lain akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi. Berikut ucapan

kitab Sara Samuscaya.

Wadha bandha pari klesn praning


Na karotiyah. Sa sarwa sya hitam presuh
Sukham tyam tam actute
(Sara Samuscaya, 141)

Hana mara wwang mangke kramanya, tapwan pagawe pari


klesa ring prn. Tan pangapusi tan pamati, kewala snukana

70
ring prni tapwa ginawenya, ya ika sinangguh amanggih
parama sukha ngaranya.

Terjemahannya :
Adalah orang yang prilakunya demikian, sekali-kali tidak
pernah menyakiti makhluk lain, tidak mengikatnya, tidak
membunuhnya, melainkan hanya menyenangkan makhluk lain,
itulah yang diperbuatnya, orang yang demikian itu, dianggap
memproleh kebahagiaan yang tertinggi (Kajeng 1994 : 75).

Ahimsa bukan hanya ajaran susila milik agama Hindu, tetapi susila

yang bernilai global, meskipun ia lahir dari kandungan agama Hindu. Svami

Sivananda mengatakan Ahimsa purana dharmah yang artinya tidak

melakukan kekerasan adalah kebajikan yang utama (Sunantara, 1986 : 55).

Ajaran susila berikutnya menurut kitab Nrada Bhakti Stra adalah

Satya. Satya artinya Trushfulness, yaitu kebenaran, kejujuran kesetiaan

dalam pikiran, perbuatan perkataan (Tri Kaya). Semua agama memuji

kebenaran sebagai suatu hal yang paling mulia, semestinya diusahakan

untuk menjaga ketertiban bangsa, negara bahkan dunia. Tidak akan ada

peperangan, tidak akan ada permusuhan jika setiap orang berpegang teguh

pada ajaran satya. Dalam kitab Slokantara disebutkan Satya adalah dharma

yang tertinggi, maka dari dharma wajib ditegakkan diseluruh dunia,

selengkapnya kitab Slokantara mengatakan sebagai berikut :

Nsti satyt paro dharmo nnrtt patakam param


Tri loke ca hi dharmasyt tasmat satyam na lopayet
(Slokantara 3).

Terjemahannya :
Tidak ada dharma yang lebih tinggi dari pada satya, tidak ada
dosa yang lebih rendah dari pada dusta. Dharma harus
ditegakkan di ketiga dunia ini dan kebenaran harus tidak
dilanggar.
(Sudarta, 1997 : 16).

71
Susila berikutnya yang wajib ditaati bagi para bhakta menurut kitab

Nrada Bhakti Stra 78 adalah Sauca, Sauca artinya kebersihan dan

kesucian. Kebersihan berhubungan dengan phisik, yaitu tidak kotor, bebas

dari penyakit. Kesucian lebih bersifat psikis yaitu pikiran tidak kotor, hati

nurani jernih, budhi cemerlang dan jiwa tercerahi. Kesucian lahir batin patut

dimiliki oleh para bhakti jika ingin mantap dibidang kebaktian.

Bagaimanakah semestinya manusia menyeimbangkan kesucian lahir dan

batin ? Kitab Manawa Dharma Sastra memberi solusi cara meningkatkan

kesucian lahir dan batin. Selengkapnya kitab Manawa Dharma Sastra

menyatakan sebagai berikut :

Adbhir gtrni suddhyanti


Manah satyena suddhyati
Vidy tapo bhyam bhttma
Buddhir janena suddhyati
(Manava Dharma Sastra. V.109)

Terjemahannya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan
kebenaran, jiwa dibersihkan ilmu pengetahuan dan tapa,
kecerdasan disucikan dengan kebijaksanaan.
(Puja, Sudarta, 2004 : 250)

Resi Patanjali mengajarkan kepada para bhakta agar hidup bersih lahir

dan batin (Sauca). Untuk mencapai tujuan tersebut beberapa tindakan dapat

dilakukan seperti Satwa Suddhi artinya kebersihan dan kecerdasan untuk

membedakan sesuatu, Saumasya artinya hidup dengan riang gembira, Eka

Grata artinya pemusatan budi, Indra Jaya artinya pengawasan nafsu-nafsu

indria, Atma Darsana artinya realisasi diri.

Ajaran sauca mengandung nilai-nilai pendidikan untuk kesehatan

jasmani dan rokhani. Para yogi telah tahu semboyan kebersihan adalah

72
pangkal kesehatan, atau serupa dengan semboyan para oleh ragawan Mens

Sana in corpore sano, didalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat

pula. Demikian ajaran Sauca mendidik para bhakta untuk hidup suci lahir

dan batin, sehingga timbul keseimbangan jiwa dan raga.

Dari uraian di atas, nilai-nilai pendidikan susila yang terkandung

dalam kitab Nrada Bhakti Stra, antara lain, sebagai berikut :

1. Hindari bergaul dengan orang-orang jahat, hindari pula bergabung dalam

perkumpulan jahat.

2. Kendalikan sifat sombong, sifat-sifat marah dan kendalikan pula nafsu

seksual.

3. Para bhakta patut punya jiwa pengabdian di masyarakat sebab sifat

sosial itu membantu jalan bhakti.

4. Bekerja dengan tekun, adapun hasil dari kerja tersebut serahkan kepada

Tuhan.

5. Para bhakta patut dapat menumbuh kembangkan sifat-sifat ahimsa

(kasih sayang), sifat-sifat satya (kebenaran, kejujuran), sifat sauca

(kesucian lahir dan batin).

6. Tundukkan sifat-sifat kekerasan, perselisihan dengan kasih sayang.

73
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian di depan dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut :

1. Ajaran Nrada Bhakti berbentuk stra-stra, sehingga disebut Nrada

Bhakti Stra. Kitab Nrada Bhakti Stra terdiri dari 84 stra. Stra-

stra tersebut tidak beraturan jumlah suku katanya. Stra terpendek

terdiri dari 3 suku kata dan Stra terpanjang terdiri dari 73 suku kata.

Ajaran Nrada Bhakti Stra ditulis oleh Rsi Nrada, beliau adalah

seorang bhakta yang tulen. Ajaran Nrada Bhakti Stra disusun

kembali oleh Swami Tygsnanda, disusun menjadi lima adhyaya atau

lima Bab. Kitab Nrada Bhakti Stra mengandung ajaran Bhakti Yoga.

2. Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam kitab Nrada Bhakti

Stra antara lain : Pendidikan Sraddh, Pendidikan Yoga yaitu cara

atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan jalan Bhakti

(Bhakti Yoga). Resi Nrada membagi bentuk pelaksanaan bhakti yoga

menjadi 11 bentuk yang disebut Ek Dasadh Bhawati, bagian-

bagiannya :

A. Guna Mahatmya Sakti : Bhakti dengan mengagungkan-agungkan

Tuhan.

B. Rupa Sakti: : Membayangkan Wujud Tuhan yang indah

dan mengagumkan.

C. Pj Sakti :Pemujaan kepada Tuhan

74
D. Smarana Sakti : Selalu mngingat Tuhan

E. Dasya Sakti : Menjadi Pelayan Tuhan

F. Sakya Sakti :Pengembangan kasih sayang

G. Wetsalya Sakti : Menganggap Tuhan sebagai teman

H. Kanta Sakti : Menganggap Tuhan sebagai ayah, dan

para bhakta adalah putra Tuhan.

I. tmani Wedana Sakti : Kasih sayang Tuhan bagaikan seorang

suami pada istrinya.

J. Tan Mayata Sakti : Penyerahan diri sepenuhnya pada Tuhan

K. Parama Wiraha Sakti : Selaku merindakan kehadiran Tuhan.

Nilai-nilai pendidikan susila yang menekankan pada pelaksanaan

ajaran Tri Kaya Parisudha dalam perbuatan sehari-hari, misalnya berkata

yang jujur, tidak boleh bohong, mengatakan hal-hal yang suci,

Pengembangan ajaran ahimsa, hindari sifat-sifat sombong, kemarahan,

pamrih congkak dan suka mengobral nafsu.

B. Saran

1. Penelitian ini masih belum maksimal, karena keterbatasan penelitian di

bidang bahasa sansekerta dan di bidang memahami stra-stra dalam

kitab Narada Bhakti Stra. Maka penelitian ini perlu dilanjutkan

secara mendalam.

2. Ajaran Narada Bhakti Stra termasuk dalam para bhakti, maka dari

itu jangan dipertentangkan dengan apara bhakti yang dianut oleh umat

Hindu di Bali.

75
3. Para Dosen atau tokoh agama yang ahli dalam bahasa sansekerta dan

ahli dalam bidang Stra diharapkan dapat melanjutkan penelitian

terhadap naskah ini.

4. Ajaran Narada Bhakti Stra bersifat waisnawa, maka dari itu jangan

dipertentangkan dengan ajaran yang bersifat Siwaistis, karena semua

paham itu termasuk bagian dari agama Hindu.

76

Anda mungkin juga menyukai