Anda di halaman 1dari 6

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

Abstrak
Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, rata-rata alokasi belanja non mandatory
spending terhadap total belanja negara sebesar 43,7% dan dari alokasi non
mandatory tersebut, proporsi subsidi BBM sebesar 24,8%. Dalam kurun waktu
yang sama, proporsi alokasi subsidi BBM terhadap belanja pemerintah pusat
sebesar 16,06% atau Rp160 triliun setiap tahun. Trend alokasi subsidi BBM
tersebut semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah. Permasalahan lain
terkait subsidi BBM adalah implementasi kebijakan tidak tepat sasaran dan
sejak tahun 2012 besaran subsidi BBM sudah lebih besar dari penerimaan
negara dari sektor minyak bumi.

A. Pendahuluan
Isu alokasi anggaran subsidi energi khususnya subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) merupakan isu yang terus menjadi isu strategis di setiap pembahasan
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Hal ini lebih
disebabkan oleh semakin tergantungnya Indonesia terhadap impor BBM sebagai
konsekuensi logis perubahan posisi Indonesia menjadi net importir BBM sejak
tahun 2003, keterbatasan ruang fiskal pemerintah untuk mendanai program-
program pembangunan yang langsung menyentuh kebutuhan golongan ekonomi
lemah sebagai akibat dari besarnya mandatory spending dalam postur APBN,
semakin membesarnya porsi belanja subsidi BBM terhadap total non-mandatory
spending serta berbagai data dan informasi menunjukkan bahwa implementasi
subsidi BBM jauh dari sasaran kebijakan yang ingin diharapkan.

B. Problematika Kebijakan Subsidi BBM


Trend Mandatory Spending Dalam APBN
Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, proporsi rata-rata mandatory spending
terhadap total belanja negara sebesar 56,3% dan non-mandatory sebesar 43,7%.
Dari alokasi belanja negara yang sifatnya non-mandatory tersebut, alokasi belanja
subsidi BBM sebesar 24,8%, belanja pegawai sebesar 31,3% dan pembayaran
bunga utang sebesar 17.5%. Proporsi ketiga belanja tersebut terhadap belanja
negara non-mandatory sebesar 73,6%.
Dibandingkan tahun 2009, proporsi subsidi bbm terhadap non-mandatory
spending meningkat 169%, yakni dari 11,5% menjadi 31%. Peningkatan yang
cukup signifikan tersebut juga berimplikasi terhadap peningkatan rasio belanja
subsidi bbm, belanja pegawai dan pembayaran utang terhadap belanja negara yang
meningkat sebesar 16,5% dalam kurun waktu yang sama.

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 105


Gambar.1
Trend Alokasi dan Realisasi Subsidi BBM Dalam APBN
Tahun 2009 2013 (Dalam Triliun Rp)

Sumber : LKPP dan Nota Keuangan.

Paparan data diatas, jelas memberikan pesan bahwa ruang fiskal yang dimiliki
pemerintah untuk mendanai berbagai program dan kegiatan yang langsung
menyentuh kebutuhan masyarakat miskin semakin mengecil.

Trend Alokasi dan Realisasi Subsidi BBM dalam APBN


Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, proporsi alokasi subsidi BBM terhadap
belanja pemerintah pusat sebesar 16,06% setiap tahunnya dan pada tahun 2014
meningkat tajam 169% dibanding tahun 2009 dari 7,16% menjadi 19,25%. Trend
data ini memberikan informasi alokasi subsidi BBM sudah semakin mempersempit
ruang fiskal pemerintah.
Dalam kurun waktu tahun 2009-2010, realisasi anggaran subsidi BBM lebih
kecil dari alokasi anggaran yang dialokasikan dalam APBN dan realisasi kuota lebih
besar dibandingkan kuota dalam APBN. Akan tetapi dalam kurun waktu tahun
2011-2013, realisasi subsidi BBM selalu lebih tinggi dibandingkan alokasi
anggarannya. Dalam kurun waktu tersebut terdapat kelebihan realisasi subsidi
sebesar Rp120,1 triliun.
Gambar.2 menunjukkan sulitnya mengendalikan realisasi subsidi BBM yang
begitu besar dalam APBN. Sulitnya pengendalian ini lebih disebabkan oleh
seberapa besar kemampuan pemerintah mampu mengendalikan distribusi BBM
bersubsidi agar tidak melebihi kuota serta realisasi subsidi BBM sangat
dipengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah dan harga komoditas BBM di pasar
internasional. Sulitnya pengendalian besaran realisasi subsidi BBM ini pada
akhirnya akan mempengaruhi fleksibilitas ruang fiskal pemerintah.

Gambar.2

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 106


Trend Alokasi dan Realisasi Subsidi BBM Dalam APBN
Tahun 2009 2013 (Dalam Triliun Rp)

Sumber : LKPP dan Nota Keuangan.

Subsidi BBM vs Pendapatan Negara Sektor Minyak Bumi.


Sejak tahun 2012 hingga tahun 2014, besaran subsidi BBM sudah lebih besar
dari penerimaan negara dari sektor minyak bumi1. Pada tahun 2012 sebesar minus
Rp34,20 triliun, tahun 2013 minus Rp42,31 triliun dan tahun 2013 minus Rp59.92
triliun.
Gambar.3
Trend Subsidi BBM dan Penerimaan Negara dari Minyak Bumi
Tahun 2009 2014 (Dalam Triliun Rp)

Sumber : LKPP dan Nota Keuangan.


Data yang tersaji dalam gambar.3 memberikan isyarat bahwa penerimaan negara
yang bersumber dari sektor minyak bumi habis terpakai hanya untuk alokasi
subsidi BBM. Defisit antara penerimaan dan subsidi BBM tersebut akan semakin
besar jika penerimaan negara dari sektor minyak bumi yang dihitung hanyalah
penerimaan yang menjadi hak pemerintah pusat (dikurangi DBH SDA Minyak
Bumi). Untuk tahun 2014, defisitnya mencapai minus Rp86,38 triliun.

1Penerimaan negara sektor minyak bumi adalah penerimaan negara yang bersumber dari PPh minyak
bumi dan Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA Minyak Bumi.

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 107


Implementasi Kebijakan BBM : Tidak Dinikmati Masyarakat Miskin
Dari berbagai paparan data yang dirilis oleh pemerintah maupun lembaga yang
tidak terafiliasi dengan pemerintah, ditemukan fakta bahwa implementasi
kebijakan BBM yang dijalankan selama ini tidak dinikmati oleh masyarakat miskin.
Berbagai paparan data tersebut menunjukkan bahwa subsidi BBM lebih dinikmati
oleh lapisan masyarakat yang masuk dalam kategori menengah keatas.
Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013
menunjukkan total anggaran subsidi BBM yang disalurkan oleh pemerintah
mencapai Rp 210 triliun. Dari jumlah subsidi yang disalurkan tersebut sebagian
besar, yakni 92 persen digunakan untuk transportasi darat2. Dari total subsidi yang
disalurkan untuk transportasi darat, sekitar 53 persen dinikmati oleh pengguna
kendaraan pribadi atau lebih dari Rp 100 triliun subsidi BBM dinikmati oleh orang
kalangan menengah ke atas, sekitar 40 persen dikonsumsi oleh sepeda motor dan 3
persen untuk angkutan umum yang digunakan oleh sebagian besar rakyat
menengah ke bawah3.
Hal senada juga disampaikan oleh pengajar dan peneliti Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Uka Wikarya. Uka Wikarya
mengatakan bahwa berdasarkan dasa sensus 2011, saat ini ada 60% dari total
rumah rumah tangga di Indonesia yang menjadi pengguna BBM subsidi dan dari
keseluruhan rumah tangga yang menggunakan BBM subsidi tersebut hanya 6,5-
6,7% yang tergolong sebagai rumah tangga kelas bawah. Jadi sisanya atau sekitar
93%, merupakan rumah tangga golongan atas4.
Dari paparan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi
kebijakan subsidi BBM yang berjalan selama ini tidak tepat sasaran, tidak dinikmati
oleh masyarakat miskin.

Pengendalian & Pembatasan BBM : Hanya Sebatas Obat Generik


Kebijakan pengendalian dan pembatasan yang dijalankan oleh pemerintah
beberapa tahun terakhir hanyalah sebatas obat generik. Kebijakan yang
dijalankan tidak menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya, hanya
menyelesaikan permasalahan untuk waktu sesaat karena persoalan subsidi BBM

2Kata data,Rp 100 Triliun Subsidi BBM Dinikmati Pengguna Mobil Pribadi,
http://katadata.co.id/infografik/2014/06/06/rp-100-triliun-subsidi-bbm-dinikmati-pengguna-mobil-
pribadi#sthash.lzGS0MRk.dpuf , pada tanggal 7 agustus 2014 pukul 16.31
3Ibid
4Detik Finance, Peneliti UI: 93% BBM Subsidi Dinikmati Rumah Tangga Menengah-Atas,

http://finance.detik.com/read/2013/03/15/172535/2195328/1034/ , pada tanggal 7 Agustus pukul


1640
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 108
yang semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah dan ketidaktepatan sasaran
implementasi kebijakan subsidi masih tetap terjadi dan tetap harus dihadapi.
Kebijakan tersebut dipandang sebagai obat generik dapat terlihat dari latar
belakang pengambilan kebijakan tersebut. Kebijakan pengendalian dan
pembatasan BBM bersubsidi lebih dilatarbelakangi oleh tuntutan kepada
pemerintah agar kuota jumlah dan nilai anggaran subsidi BBM tidak membengkak
dalam realisasi APBN sehingga tidak memperberat ruang gerak fiskal pemerintah.
Artinya, kebijakan ini hanya berorientasi jangka pendek dan sementara.
Jika melihat berbagai kebijakan yang akan dan sudah dijalankan oleh
pemerintah beberapa tahun terakhir, dapat terlihat jelas banyak kebijakan yang
kandas pada tahapan wacana dan perencanaan, beberapa kebijakan yang
diimplementasikan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan (realisasi yang
melebihi kuota target) dan bahkan ada kebijakan yang tidak jelas keberlanjutannya
(RFID). Kebijakan terbaru yang dijalankan oleh pemerintah adalah melalui
larangan penjualan BBM bersubsidi di wilayah-wilayah tertentu, seperti larangan
penjualan bbm bersubsidi di SPBU yang berada di jalur tol, larangan penjualan
solar bersubsidi di Jakarta Pusat, pembatasan waktu penualan solar ersubsidi di
daerah perkebunan, pertambangan dan pelabuhan di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, serta larangan penjualan solar bersubsidi bagi nelayan besar dengan
kapasitas kapal di atas 30 gross ron (GT). Untuk jangka pendek, kebijakan ini
mungkin akan memberikan hasil yang cukup baik jika diimbangi dengan
pengawasan baik pengawasan implementasi kebijakan maupun pengawasan
penyelewengan akibat disparitas harga yang masih relatif tinggi.
Untuk jangka panjang, pembatasan dan pengendalian seperti hal diatas sudah
dapat dipastikan sulit untuk memberikan hasil yang memuaskan mengingat
semakin tergantungnya Indonesia dengan komoditas BBM impor dan harga BBM di
pasar internasional, disparitas harga, pertumbuhan penduduk dan kenderaan
bermotor sebagai kendala pengendalian serta perubahan nilai tukar rupiah dimasa
yang akan datang. Oleh karena itu, pemerintah sudah harus memulai merancang
dan mengimplementasikan kebijakan yang berorientasi jangka panjang untuk
menyelesaikan permasalahan subsidi BBM itu sendiri dan permasalahan ketahanan
energi nasional.

C. Penutup : Alternatif Kebijakan Yang Berorientasi Jangka Panjang


Merujuk berbagai data dan informasi yang menginformasikan bahwa Indonesia
telah menjadi net importir minyak sejak tahun 2003, Indonesia keluar dari
Organization of The Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak tahun 2009 serta
berbagai permasalahan subsidi BBM sebagaimana dipaparkan pada bagian

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 109


sebelumnya, solusi yang berorientasi jangka panjang sudah menjadi sebuah
keharusan dan tidak bisa dihindari. Salah satu alternatif kebijakan yang dapat
diambil adalah kebijakan kenaikan harga BBM secara bertahap hingga mencapai
harga keekonomisannya yang diikuti dengan berbagai kebijakan mitigasi serta
kebijakan percepatan pengembangan, baik produksi maupun penggunaan, energi
alternatif dan infrastruktur pendukungnya.
Kebijakan penggunaan energi alternatif seperti bahan bakar nabati (BBN) dan
Bahan Bakar Gas (BBG) merupakan kebijakan yang sudah sejak lama
diimplementasikan oleh pemerintah. Akan tetapi keseriusan, konsistensi dan
keberlanjutan dari kebijakan ini belum terlihat. Kebijakan energi yang lebih
mendorong percepatan pengembangan, produksi dan penggunaan, BBN dan BBG
merupakan salah satu pilihan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah5.
Pilihan ini merupakan pilihan rasional jika melihat kemampuan Indonesia untuk
memproduksi bahan baku BBN seperti minyak kelapa sawit (CPO), singkong dan
tebu. Begitu juga dengan BBG, potensi cadangan gas alam Indonesia sebesar 150
Triliun Cubic Feet/TFC (dapat bertahan sekurang-kurangnya 60 tahun kedepan)
merupakan sebuah peluang yang harus dioptimalkan.
Langkah awal yang harus disiapkan pemerintah kedepan adalah menetapkan
pengembangan BBN dan BBG sebagai prioritas utama dalam pengembangan energi
alternatif sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang konsisten dan
berkelanjutan. Setelah menetapkan prioritas utama, barulah pemerintah
mendesign dan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang dapat
memecahkan berbagai permasalahan yang menghambat pengembangan BBN dan
BBG sebagai energi alternatif.
Keekonomisan skala produksi, keekonomisan harga, pendanaan, kebijakan
insentif bagi produsen dan konsumen, harga pasar yang tidak memberatkan
konsumen, pasokan gas dan bahan baku BBN yang dapat diandalkan, penggunaan
teknologi pengembangan ketersediaan bahan baku, kemudahan perizinan,
pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas untuk SPBG, insentif kepada
industri otomotif berbasis BBG (baik impor dan produksi lokal), insentif industri
pendukung kendaraan berbahan bakar BBG dan ketersediaan infrastruktur
pendukung merupakan permasalahan yang harus dipecahkan dan
dipertimbangkan oleh pemerintah untuk memastikan keberhasilan percepatan
pengembangan energi alternatif. (RAS)

5Pemanfaatan BBN telah dimulai sejak tahun 2006 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2006. Sejak tahun 2009, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan mandatori pemanfaatan
BBN pada sektor transportasi, industri dan pembangkit listrik melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor
32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain. Untuk BBG sudah dimulai sejak tahun 1995.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 110

Anda mungkin juga menyukai