Anda di halaman 1dari 16

PERUBAHAN MATERI GENETIK, PENGERTIAN MUTASI, DAN SEBAB-SEBAB

MUTASI, MACAM-MACAM MUTASI DAN MUTASI ACAK, LAJU MUTASI DAN


DETEKSI MUTASI

RESUME

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktikum Matakuliah Genetika 1

Yang Dibina Oleh Prof. Dr. Agr. Mohamad Amin S.Pd, M.Si

Oleh

Kelompok 2/ Offering I

Faiza Nur Imawati Ningsih (150342607763)

Fitria Maulita (150342606010)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

MARET 2017
Pengertian Mutasi

Mutasi adalah hasil perubahan yang dapat (tidak selalu) diwariskan serta yang dapat
(tidak selalu) dideteksi. Perubahan materi genetik DNA dan RNA itu dapat berupa perubahan
atau pengurangan unit penyusun, perubahan susunan, perubahan jumlah dan sebagainya.
Penyebab mutasi disebabkan keadaan atau faktor-faktor lingkungan dan faktor-faktor
internal materi genetik.Mutasi spontan adalah perubahan materi genetik yang terjadi tanpa
sebab-sebab yang jelas, dan mutasi tereduksi adalah perubahan materi genetik yang terjadi
akibat pemampatan makhluk hidup pada penyebab mutasi dari radiasi pengion, radiasi
ultraviolet, dan berbagai senyawa kimia.

Faktor Internal Materi Genetik sebagai Penyebab Mutasi

1. Adanya kesalahan pada replikasi DNA yang terkait dengan tautorisme (sebagai akibat
perubahan posisi sesuatu proton yang mengubah sesuatu sifat kimia molekul). Pada basa
purin dan pirimidin perubahan tautomeril mengubah sifat perikatan hidrogennya. Efek
perikatan antara basa-basa purin dan pirimidin dengan pasangan tautomer tampak jika
pada saat replikasi DNA. Maka, jika pasangan tidak lazim memisah pada replikasi
berikutnya, masing-masing akan berpasangan dengan basa komplementernya, sehingga
terjadi mutasi. S* dapat membentuk ikatan hidrogen dengan A, G* dengan T, T* dengan G
serta A* dengan S ( Ayala dan Kiger, 1984). S*, G*, T*, dan A* adalah bentukan yang
jarang dari basa S, G, T, dan A akibat Tautomerisme (S* adalah tautomer dari S, G adalah
tautomer dari G, T* adalah tautomir dari T, serta A* adalah tautomer dari A).

2. Penyebab terjadinya mutasi spontan adalah Penggelembungan unting ketika proses


replikasi, perubahan kimia tertentu secara spontan, transposisi elemen, transposable dan
efek gen mutator. Penggelembungan unting DNA di saat replikasi dapat terjadi pada
unting lama (template) maupun unting baru. Jika penggelembungan berlangsung pada
unting lama maka akan terjadi delesi pada unting baru, sebaliknya jika penggelembungan
terjadi pada unting baru, maka akan terjadi adisi/penambahan pada unting baru.

3. Penyebab lainnya disebabkan depurinasi dan deaminasi basa-basa tertentu, pada


depurinasi, suatu purin (adenin dan guanin) tersingkir dari DNA karena adanya ikatan
kimia antara purin dan gula deoksiribose. Pada deaminasi, suatu gugus amino tersingkir
dari basa.

4. Pada deaminasi, suatu gugus amino tersingkir dari basa. Deaminasi sitosin dan 5-
metilsitosin: Urasil (sebagai hasil deaminasi sitosin) bukan merupakan basa yang lazim
pada DNA. Oleh karena itu sebagian besar urasil akan disingkirkan kembali dan diganti
dengan sitosin melalui sistem perbaikan. (Proses perbaikan itu meminimkan terjadinya
mutasi). Jika suatu urasil tidak diperbaiki maka akan menyebabkan penggandaan adenin
pada unting DNA baru hasil replikasi berikutnya, dan akibatnya terjadi mutasi berupa
perubahan pasangan basa C-G menjadi T-A (Russel, 1992). Deaminasi 5-metilsitosin akan
menghasilkan timin (basa yang lazim pada DNA) yang tidak dapat diperbaiki (Russel,
1992) akibatnya langsung menimbulkan mutasi perubahan pasangan basa 5-metilsitosin
S-G menjadi T-A (Russel, 1992).

DNA makhluk hidup prokariotik maupun eukariotik mengandung sejumlah kecil Basa
5-metilsitosin S, maka dampak Deaminasi 5-metilsitosin semakin terasa karena perubahan 5-
metilsitosin S-G menjadi T-A tidak dapat diperbaiki, sehingga lokasi basa 5-metilsitosin S
pada genom sering terlihat sebagai titik-titik panas mutasi atau Mutational hot-spot (Russel,
1992), pada lokasi itu frekuensi terjadi mutasi leih tinggi daripada frekuensi rata-rata.
5. Perpindahan atau Transposisi Elemen Transposabel
Dapat berakibat terjadinya mutasi gen yaitu terjadi insersi ke dalam gen yang dapat
mempengaruhi ekspresi gen dengan cara insersi ke dalam urut-urutan pengatur gen,
dan menyebabkan mutasi kromosom atau aberasi kromosom (Russel, 1992).
Bukti tentang peran transposisi elemen transposabel sebagai salah satu sebab
terjadinya mutasi pada Drosophila,. Contoh: alel mutan pada Drosophila karena
insersi elemen transposabel antara lain: Wsp, Wn, Whf, Whd (Gardner dkk,1991) yang
merupakan alela ganda yang terletak pada lokus White kromosom.

Gen mutator ialah gen yang ekspresinya mempengaruhi frekuensi mutasi gen-gen lain
dan frekuensi mutasi gen-gen lain itu biasanya meningkat. Contoh: makhluk hidup yang
sudah diketahui memiliki gen mutador adalah E coli dan Drosophila (Ayala dan Kiger, 1984).
Yaitu gen mutador pada E coli ialah mut D yang mengubah sub unit E DNA polimerasi III
(Watson, dkk; 1987). Dan mut S menyebabkan terjadinya pergantian purin dengan purin atau
pirimidin dengan pirimidin, maupun pergantian purin dengan pirimidin dan sebaliknya, dan
mutan mut T menyebabkan terjadinya pergantian AT menjadi S-G.

Faktor dalam Lingkungan sebagai Penyebab Mutasi

Penyebab mutasi tidak hanya berasal dari internal materi genetik itu sendiri, tetapi
juga faktor dalam lingkungan. Penyebab mutasi dari dalam lingkungan dibedakan menjadi
beberapa bagian yaitu yang bersifat fisik, kimiawi, dan biologis. Berikut akan dijelaskan satu
persatu dari penyebab-penyebab tersebut.

1. Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik

Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu. Radiasi
sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion dan radiasi bukan pengion
(Gardner et al, 1991). Radiasi pengion berenergi tinggi, sedang radiasi bukan pengion
berenergi rendah. Contoh radiasi pengion misalnya radiasi sinar X, radiasi sinar gamma, dan
radiasi kosmik. Pada saat ini radiasi pengion diinduksi oleh sinar X, proton dan neutron yang
dihasilkan mesin, maupun oleh sinar , , dan yang dibebaskan isotop radioaktif dari
elemen seperti 32P, 35S, cobalt 90, dan sebagainya. Contoh radiasi bukan pengion misalnya
radiasi sinar ultraviolet (UV).

Radiasi pengion mampu menembus jaringan/tubuh makhluk hidup karena berenergi


tinggi. Selama menembus jaringan/tubuh makhluk hidup, sinar bertenaga tinggi ini
berbenturan dengan atom-atom sehingga terjadi pembebasan elektron dan terbentuklah ion-
ion positif. Ion-ion positif tersebut selanjutnya berbenturan dengan molekul lain, sehingga
terjadi pembebasan elektron dan terbentuklah ion-ion positif lebih lanjut, dan melalui cara ini
terbentuklah suatu sumbu ion sepanjang jalur terobosan sinar bertenaga tinggi itu (Gardner et
al, 1991).

Radiasi ultraviolet merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang dari


100-400 nm. Radiasi UV ini berpengaruh langsung pada DNA. Basa-basa DNA menyerap
gelombang sampai pada sekitar 254 nm, dan UV sangat dekat dengan panjang gelombang ini,
sehingga diserap oleh DNA secara efisien. Sinar UV mengakibatkan basa-basa pirimidin
yang saling berdekatan untuk bereaksi silang satu dengan yang lainnya membentuk dimer
(Gambar 2.1). Dimer timin secara khusus lebih sering. Meskipun DNA polimerase dapat
melakukan prosesing dengan melewati seluruh dimer timin, ini akan meninggalkan sebuah
bagian untai tunggal yang membutuhkan perbaikan. Proses perbaikan DNA pada gilirannya
menyebabkan insersi dari basa-basa yang tidak tepat pada untai baru yang disintesis. Oleh
karena itulah dapat menyebabkan mutasi.

Pada tumbuhan dan hewan tingkat tinggi sinar UV dapat menembus lapisan sel-sel
permukaan karena berenergi rendah, serta tidak menimbulkan ionisasi. Sinar UV
membebaskan energinya kepada atom-atom yang dijumpai, meningkatkan elektron-elektron
pada orbit luar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom-atom yang memiliki elektron-
elektron sedemikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan. Reaktivitas yang meningkat dari
atom-atom pada molekul DNA merupakan dasar dari efek mutagenik radiasi sinar UV
maupun radiasi sinar pengion (Gardner et al, 1991).
Reaktivitas yang meningkat tersebut mengundang terjadinya sejumlah reaksi kimia,
termasuk mutasi. Pada kenyataannya radiasi pengion dapat menyebabkan terjadinya mutasi
gen dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, inversi, translokasi, serta
fragmentasi kromosom umumnya (Gardner et al, 1991; Russel, 1992; Klug dan Cummings,
1994).

2. Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat kimiawi

Penyebab mutasi dalam lingkungan kimiawi disebut juga sebagai mutagen kimiawi.
Mutagen-mutagen kimiawi menurut Russel (1992) dapat dipilah menjadi 3 kelompok yaitu
analog basa, agen pengubah basa (base modifying agent), dan agen penyela (intercalating
agent).

a) Analog basa merupakan senyawa-senyawa yang tergolong analog basa adalah yang
memiliki struktur molekul sangat mirip dengan yang dimiliki basa yang lazimnya terdapat
pada DNA. Dua contoh analog basa adalah 5-Bromourasil (5-Bromouracil atau 5-BU) dan
2-aminopurin (2-aminopurine atau 2-AP). 5-bromourasil adalah suatu analog timin. Dalam
hubungan ini posisi karbon ke-5 ditempati oleh gugus brom, yang sebelumnya ditempati
oleh gugus metil (CH3). Pada bentuk keto (yang lebih stabil) 5-BU berpasangan dengan
adenin, sebaliknya pada bentuk enol (yang lebih jarang) 5-BU berpasangan dengan
Guanin.

5-BU menginduksi mutasi peralihan antara kedua bentukan 5-BU, sesaat setelah analog
basa itu diinkorporasikan dalam bentuk keto (bentuk normal), maka analog basa itu
berpasangan dengan adenin. Jika bentuk keto 5-BU beralih ke bentuk enol (bentuk yang
jarang) selama replikasi, maka analog basa itu akan berpasangan dengan guanin.
2-aminopurin juga memiliki 2 bentuk yaitu bentuk amino (bentuk normal) serta bentuk
imino (bentuk yang jarang). Pada bentuk amino, 2-AP berperan sebagai adenin dan
berpasangan dengan timin. Pada bentuk imino, 2-AP berperan sebagai guanin dan
berpasangan dengan sitosin.

Berkenaan dengan analog basa, dikenal pula AZT (azidothymidine), semacam racun
yang diberikan kepada penderita AIDS untuk melawan HIV. AZT dapat diinkorporasikan ke
cDNA (hasil transkripsi balik yang dikatalisasi oleh enzim reversetranscriptase. Dalam hal
ini AZT berperan sebagai suatu analog timidin, yang dapat menghambat cDNA virus,
sehingga menghalangi sintesis virus yang baru.

b) Agen pengubah basa merupakan senyawa-senyawa yang tergolong agen pengubah


basa adalah mutagen yang secara langsung mengubah struktur maupun sifat kimia dari
basa. Yang termasuk kelompok ini adalah agen deaminasi, agen hidroksilasi, serta agen
alkilasi.

- Asam nitrit (HNO2) menyingkirkan gugus amino (-NH2) dari basa guanin, sitosin, dan
adenin. Perlakuan asam nitrit atas guanin menghasilkan xantin (berperilaku seperti
guanin sehingga tidak terjadi mutasi). Suatu mutan yang timbul akibat mutasi yang
diinduksi oleh asam nitrit dapat berbalik oleh asam nitrit juga. Kerja asam nitrit pada
basa guanin, sitosin, dan adenine.
- Agen hidroksilasi, mutagen hydroxylamine NH2OH bereaksi dengan sitosin,
mengubahnya dengan menambah gugus hidroksil (OH), sehingga terbentuk
hydroxylaminocytosine yang hanya berpasangan dengan adenin (terjadi mutasi transisi
CG menjadi TA). Pengaruh mutasi diinduksi oleh mutagen lain seperti 5 BU, 2 AP,
maupun asam nitrit.

- Agen alkilasi MMS (methylmetane sulfonate) mengintroduksi gugus alkil (misalnya


CH3-CH2-CH3) ke dalam basa pada sejumlah posisi. Agen alkilasi menyebabkan
perubahan pada basa yang berakibat terbentuknya pasangan yang tidak lazim.

- Agen interkalasi melakukan insersi antara basa-basa berdekatan dengan pada satu atau
kedua unting DNA. Contoh agen interkalasi antara lain proflavin, acridine, ethidium
bromide (EtBr), dioxin, dan ICR-70. Jika agen interkalasi melakukan insersi antara
pasangan basa yang berdekatan pada DNA templat (pada waktu replikasi) maka suatu
basa tambahan dapat diinsersikan pada unting DNA baru berpasangan dengan agen
interkalasi.

Menurut Gardner (1991) mutagen kimia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu
yang berpengaruh terhadap DNA yang sedang bereplikasi maupun yang tidak bereplikasi dan
yang hanya berpengaruh terhadap DNA yang sedang bereplikasi.

3. Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat biologis

Mutagen biologis yang sudah dilaporkan adalah fag. Efek mutagenik yang
ditimbulkan fag terutama berkaitan dengan integrasi DNA fag, pemutusan, dan delesi DNA
inang. Menurut Watson, dkk (1987), suatu gen bakteri yang diinterupsi oleh DNA Mu
biasanya tidak aktif, terjadilah mutasi inang bakteri yang diinsersi. Berkenaan dengan fag ,
sekitar 1% lisogen yang tidak normal menghasilkan fenotip bakteri mutan, sepanjang fag
tersebut masih ada (Strickberger, 1985). Dalam hubungan dengan pemutusan DNA dan
delesi, dikatakan bahwa mutagenesis fag dapat terjadi karena kerusakan DNA akibat
pemutusan dan delesi, seperti pada herpes simplex, SV40, rubella, dan chicken pox, yang
mungkin timbul oleh efek nuklease atau karena gangguan perbaikan DNA.
LAJU MUTASI
Parameter yang digunakan untuk menguur kejadiannya mutasi ada 2 yaitu laju mutasi
(mutation rate) yaitu peluang mutasi sebagai fungsi dari waktu dan frekuensi mutasi
(mutation frequency) yaitu kejadian mutasi pada suatu macam sel atau populasi.
Umumnya lsju mutasi yang teramati rendah, dengan demikian mutasi spontan jarang
terjadi, sekalipun frekuensi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari makhluk
hidup ke makhluk hidup. Laju mutasi gen-gen tertentupada berbagai makhlu hidup,
sedangkan frekunsi mutasi spontan di lokus-lous tertentu pada berbagai makhluk hidup.
Dalam hal ini tersirat bahwa kesimpulan tentang laju mutasi yang teramati rendah
serta mutasi spontaan yang jaran terjadi itu didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati
(terdeteksi), dan sama seaali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak teramati (tidak
terdeteksi), apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki.
Menurut Gardner dkk, mengatakan bahwa pengukuran frekuensi muatasi ke depan
( forward mutation) berkisar 10-8 hingga 10-10 muatasi yang dapat terdeteksi per pasangan
nucleotide per generasi, demiian pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke
depan berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan nucleotide
per generasi.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa laju muatasi secara individual memang
rendah. Akan tetapi, jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap individu makhluk hidup
mempunyai banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari banyak individu, maka (dalam batas
mutasi yang terdeteksi sekalipun) sebenarnya mutasi merupakan peristiwa yang biasa, tidak
jarang. Pengukuran laju mutasi spontan pada bakteri dan fag elatif mudah disbanding
pengukuran pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi. Pengukuran laju
mutasi yang lebih mudah pada bakteri dan fag tersebut disebabkan karena kromosom
kelompok-kelompok makhluk hidup tingkat rendah tersebut monoploid. Pengukuran laju
mutasi pada makhluk hidup memang sangat sulit karena kromosom-kromosom makhluk
hidup yzng lebih tinggi bukan monoploid, tetapi (terutama) diploid, keadaan kromosom yang
bikan monoploid, (misalkan diploid) memang menyebabkan mutan resesif tidak terdeteksi
jika berada dala kondisi heterozigot.

DETEKSI MUTASI
1. Deteksi Mutasi Pada Bakteri Dan Jamur
Deteksi mutasi pada makhluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat
efisien. Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu system seleksi yang mudah
memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum deteksi mutasi pada
bakteri dan jamur berbeda.
Neurospora crasa adalah jamur yang bersifat monoploid (diploid) pada fase
vegetatif.oleh karena itu deteksi mutasi pada fase itu sangat mutah dilakukan dibanding pada
fase generatif atau dibanding pada makhlik hidup yang lainnya.

2. Deteksi Mutasi Pada Drosophila


Deteksi mutasi pada Drosophila, menggunakan pengukuran laju mutasi letal resesif
yang terpaut kromosom kelamin X menggunakan teknik Muller-5. Teknik yang
dikembangkan oleh H. J. Muller ini meeupakan suatu teknik deteksi mutasi pada Drosophila
dan disebut juga teknik CIBVC yaitu suatu inversi yang menekan (menghalangi) peristiwa
pindah silang. Selain itu dengan teknik mutasi kromosom X berlekatan atau attached-X
procedure. Teknik ini menggunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan.
Teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi yang resesif bahkan lebih
sederhana karena hanya satu generasi yang dibutuhkan. Deteksi mutasi pada makhluk hidup
monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien dan bergantung pada suatu sistem
seleksi yang mudah memisahkan antara sel mutan dari yang bukan merupakan sel mutan,
contohnya pada Neurospora crassa yaitu jamur yang bersifat monoploid (haploid) pada fase
vegetatif. Deteksi mutasi pada fase tersebut lebih mudah daripada fase generatif atau
dibandingkan dengan makhluk hidup yang lainnya. Konidia monoploid yang mengandung
mutan dapat dideteksi dan diisolasi berdasarkan kegagalannya tumbuh pada suatu medium
lengkap.

3. Deteksi Mutasi pada Tumbuhan Tinggi


Banyaj variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat terdeteksi secara sederhana melalui
pengamatan visual. Ada juga teknik yang digunakan untuk mendeteksi mutasi-mutasi
biokimiawi. Teknik pertama adalah melalui teknik analisis komposisi biokimia. Teknik yang
kedua adalah menggunakan teknik analisis silsilah. Sifat fenotip yang berlatar belakang
genetic semacam ini biasanya muncul sebentar-sebentar sepanjang sejumlah generasi. Seperti
diketahui ekspresi fenotip bila yang terpaut otosom tidak terpaut pada kondisi heterozigot.
Selain melalui analisis silsilah, dewasa ini deteksi pada manusia juga dilakukan
melalui analisis in vitro. Seperti yang diketahui sel-sel manusia secara rasio sudah dapat
dikultur. Deteksi mutasi melalui analisi in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat
didasarkan pada analisis aktivasi enzyme, migrasi protein pada medan elektroforetik, serta
pengurutan langsun protein maupun DNA. Deteksi mutasi pada tumbuhan tingkat tinggi.
Teknik yang pertama yaitu melalui analisis komposisi biokimia misalnya isolasi protein dari
endosperm jagung, hidrolisis protein-protein tersebut serta penetapan komposisi asam amino,
misalnya jika dibanding galur-galur yang bukan mutan, mutan apaque 2 mengandung lebih
banyak lisin. Teknik yang kedua menggunakan kultur jaringan galur-galur sel tumbuhan pada
medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai
mikroorganisme, kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menambah dan
mengurangi nutrient-nutrien dalam media kultur. Teknik kedua memiliki keuntungan karena
teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-sel
tumbuhan pada kultur jaringan, selanjutnya diterapkan untuk genetika tingkat tinggi.

4. Deteksi Mutasi pada Manusia


Deteksi mutasi pada manusia misalnya berkaitan dengan sifat ataupun kelainan tertentu
dilakukan dengan bantuan analisis silsilah. Setelah suatu sifat dipastikan menurun selanjutnya
diramalkan apakah alela mutam tersebut terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom.
Mutasi yang paling mudah dideteksi adalah mutasi dominan. Jika gen mutan dominan
terdapat pada kromosom kelamin X maka seorang ayah yang tergolong penderita akan
mewariskan ciri fenotip terkait kepada semua anak perempuannya. Sebaliknya jika gen mutan
dominan terpaut autosom naka hampir 50% anak (yang berasal dari orang tyua heterozigot)
diharapkan mewarisi ciri mutan tersebut. Mutasi resesif yang terpaut kromosom kelamin dan
alela-alela mutan resesif yang terpaut otosom dapat juga dideteksi dengan bantuan analisis
silsilah. Salah satu contoh mutan resesif yang terpaut kromosom kelamin pada manusia
adalah yang mengekspresi kelamin hemofili. Espresi fenotip bila terpaut autosom tida terpaut
pada kondisi heterozigot. Selain deteksi dengan cara di atas, deteksi mutasi juga dapat
dilakukan melalui analisis in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat didasarkan pada
analisis ativitas enzim dan pengurutan langsung DNA maupun protein.

Uji Arnes
Dikembangkan oleh Bruce Arnes pada awal 1970-an. Uji arnes menggunakan bakteri
Sallmonella tryphimurium sebagai organisme uji. Yang digunakan adalah 2 strain S.
typhimirium kedua strain itu sama-sama tergolong auksotrofik untuk histidin. Seperti dietahui
strain yang bersifat auksotrofik untuk histidin adalah yang membutuhkan tambahan histidin
dalam medium pertumbuhan agar dapat hidup. Dari kedua strain itu, pada salah satu strain
mutan his dapat ddiembangkan menjadi his+ oleh suatu mutasi pergantian basa, sedangkan
pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan menjadi his + oleh suatu mutasi pengubah
rangka. Kedua strain itu juga memiliki mutan-mutan lain yang memungkinkan semakin tepat
digunakan untuk memanipulasi esperimental. Mutan-mutai lain misalnya yang menyababkan
semakin sensitive terhadap mutagenesis akibat aktivasi system perbaikan, serta yang
menyebabkan sel semakin permiabel terhadap molekul organic asing.

Anda mungkin juga menyukai