PENDAHULUAN
Cara bercocok tanam secara hidroponik sebenarnya sudah banyak dipakai oleh
beberapa masyarakat untuk memanfaatkan lahan yang tidak terlalu luas. Banyak
keuntungan dan manfaat yang dapat diperoleh dari sistem tersebut. Sistem ini dapat
menguntungkan dari kualitas dan kuantitas hasil pertaniannya, serta dapat
memaksimalkan lahan pertanian yang ada karena tidak membutuhkan lahan yang banyak.
1.3 Tujuan
KAJIAN PUSTAKA
Hidroponik adalah suatu cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai
tempat menanam tanaman. Perbedaan bercocok tanam dengan tanah dan hidroponik yaitu,
apabila dengan tanah, zat-zat makanan diperoleh tanaman dari dalam tanah. Sedangkan
hidroponik, makanan diperoleh tanaman dari dalam air yang mengandung zat-zat anorganik.
Hidroponik merupakan cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah tetapi
menggunakan media inert seperti pasir, peat, atau sawdust dengan memberikan larutan hara
yang mengandung semua unsur esensial yang dibutuhkan oleh tanaman (Susila, 2013).
Penggunaan sistem hidroponik tidak mengenal musim dan tidak memerlukan lahan
yang luas dibandingkan dengan kultur tanah untuk menghasilkan satuan produktivitas yang
sama. Menurut Rahmawati (2009) menyatakan bahwa media dalam hidroponik berfungsi
sebagai penopang tanaman dan memiliki syarat seperti struktur yang stabil selama
pertumbuhan tanaman , bebas dari zat berbahaya bagi tanaman, bersifat inert, memiliki daya
pegang air yang baik, drainase dan aerase yang baik.
Menurut Chadirin (2007), saat ini dikenal delapan macam teknik hidroponik modern,
yaitu Nutrient Film Tecknique (NFT), Static Aerated Technique (SAT), Ebb and Flow
Technique (EFT), Deep Flow Technique (DFT), Aerated flow Technique (AFT), Drip
Irigation Technique (DIT), Root Mist Technique (RMT), dan Fog Feed Technique (FFT).
Deep Flow Technique (DFT) merupakan salah satu metode hidroponik yang
menggunakan air sebagai media untuk menyediakan nutrisi bagi tanaman dengan pemberian
nutrisi dalam bentuk genangan. Tanaman dibudidayakan di atas saluran yang dialiri larutan
nutrisi setinggi 4-6 cm secara kontinyu, dimana akar tanaman selalu terendam di dalam
larutan nutrisi. Larutan nutrisi akan dikumpulkan kembali ke dalam bak nutrisi, kemudian
dipompakan melalui pipa distribusi ke kolam penanaman secara kontinyu (Chadirin,2007).
Gambar 1. Hidroponik sistem DFT (Istawan dan Mulyono, 2016).
Menurut Chadirin (2007), Nutrient film technique (NFT) adalah metode budidaya
yang akar tanamannya berada di lapisan air dangkal tersirkulasi yang mengandung nutrisi
sesuai kebutuhan tanaman. Teknik ini adalah cara yang paling populer dalam istilah
hidroponik, biasanya diterapkan untuk skala bisnis . Sistem NFT ini secara terus menerus
mengalirkan nutrisi yang terlarut dalam air tanpa menggunakan timer untuk pompanya
selama minimal 10 s/d 14 jam setiap harinya .
Nutrisi ini mengalir kedalam gully (wadah berbentuk persegi seperti talang air)
melewati akar-akar tumbuhan dan kemudian kembali lagi ke penampungan air, begitu
seterusnya. Air nutrisi yang mengalir sangatlah tipis berkisar 2mm s/d 4mm, dengan
kemiringan gully 3cm per 1m nya. Jadi air akan mengalir dengan lancar hingga menimbulkan
riak-riak di dalam gully, dan akarpun akan terpenuhi pasokan oksigennya(Istawan dan
Mulyono, 2016). Kelemahan sistem ini adalah air nutrisi diharuskan tetap mengalir dari pagi
sampai sore tanpa putus, artinya jika terjadi kerusakan pompa atau ada masalah lain hingga
terhentinya sirkulasi air, maka akan beresiko kematian atau mempengaruhi mutu
pertumbuhan terhadap tanaman. Perakaran bisa jadi berkembang di dalam larutan nutrisi dan
sebagian lainnya di atas permukaan larutan. Bagian atas perakaran berkembang di atas air
yang meskipun lembab tetap berada di udara dan di sekeliling perakaran itu terdapat selapis
larutan nutrisi. Syarat-syarat yang diperlukan untuk membuat selapis nutrisi tersebut adalah
sebagai berikut:
Merupakan sistem hydroponik yang canggih dan membutuhkan investasi yang cukup
mahal. Cara kerjanya yakni larutan nutrisi dari penampungan disemprotkan (injeksi) melalui
nosel ( nozzle spray ) berbentuk kabut langsung ke akar, sehingga akar tanaman lebih mudah
menyerap larutan nutrisi yang terukur ( ppm ) serta oksigen. Penggunaan pewaktu (timer)
maka, secara berkala akar akan selalu disemprotkan menggunakan nosel khusus dengan
durasi tertentu agar akar tanaman tetap basah (Istawan dan Mulyono, 2016).
Sistem irigasi tetes merupakan system hidroponik yang sering digunakan untuk saat
ini. Sistem operasinya sederhana yaitu dengan menggunakan timer untuk mengontrol kerja
pompa air. Pada saat pompa air dihidupkan, pompa meneteskan nutrisi ke masing-masing
tanaman, air irigasi diberikan perlahan-lahan dengan tetesan terputus-putus atau terus
menerus berupa aliran tipis atau semprotan kecil. Salah satu modifikasi sistem irigasi tetes ini
yakni menggunakan pipa berlubang tanpa menggunakan komponen emiter/ penetes. Supaya
tanaman berdiri tegak, maka tanaman ditopang menggunakan media tanam lain seperti
cocopeat (serbuk sabut kelapa), sekam bakar, batu zeolit, arang, pasir dan lain lain selain
tanah.
Gambar 4. Sistem drip irrigation(Istawan dan Mulyono, 2016).
Merupakan system hidroponik yang sederhana atau lebih populer disebut dengan
Sistim Rakit Apung. Wadah yang menyangga tumbuhan biasanya terbuat dari styrofoam (atau
lainnya) dan mengapung langsung di atas cairan nutrisi yang dibantu pompa udara (aerator)
ke dalam air stone yang membuat gelembung-gelembung sebagai suplai oksigen tambahan ke
akar-akar tanaman(Istawan dan Mulyono, 2016).
Gambar 6. Walter Culture(Istawan dan Mulyono, 2016).
Ini salah satu system hidroponik yang paling sederhana sekali dan biasanya digunakan
oleh kalangan pemula. Sistem ini termasuk pasif, karena tidak ada part-part yang bergerak.
Nutrisi mengalir ke dalam media pertumbuhan dari dalam wadah menggunakan perantara
sejenis sumbu, seperti kain flanel atau lain sebagainya(Istawan dan Mulyono, 2016).
1. Larutan Hara
Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk
mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai
pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen)
dapat diambil dari udara dan air. Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan
petani mengontrol pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan
manajemen yang tepat untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus
memberikan 6 hara makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7
hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Susila,
2013).
2. Konsentrasi Hara
Beberapa larutan hara untuk budidaya tanaman tanpa tanah yang populer sampai saat
ini adalah seperti terlihat pada Tabel 1-1.
Tabel 1-1. Konsentrasi hara (ppm) beberapa larutan standar untuk budidaya tanaman
tanpa tanah (Sumber: Susila, 2013)
Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman tomat,
akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada kultur
air. Larutan Wilcox-1 dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat
tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-
2 unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding
unsur lain untuk mendukung pertumbuhan buah (Susila, 2013).
Tabel 1-2. Target nilai absolut dan relatif rasio antara n, p, k dan ca dalam budidaya
sayuran (Sumber: Susila, 2013)
N:K rasio yang disajikan pada Tabel 6.4 adalah 1:1.5. Peningkatan level K akan
meningkatkan rasio menjadi 1:1.7 dan mengarahkan tanaman untuk mengalami pertumbuhan
generatif. Hal ini disebabkan karena N mendorong pertumbuhan vegetatif, sedangkan K
mendorong pertumbuhan generatif dan pematangan buah. Kalsium juga penting untuk
mendorong pertumbuhan jaringan, buah dan pematangan buah. Kalsium biasanya
mempunyai perbandingan yang seimbang dengan nitrogen. Rasio N:Ca = 1:1, cocok untuk
paprika dan tomat, sementara itu rasio N:Ca = 1:0.85 cocok untuk tanaman mentimun
(Susila, 2013).
Beberapa sumber pupuk yang dapat dipergunakan dalam formulasi pupuk hidroponik
disajikan dalam Tabel 1-3.
Tabel 1-3. Beberapa jenis pupuk untuk formulasi hara tanaman pada program
budidaya tanaman sayuran secara hidroponik (Sumber: Susila, 2013)
Chadirin, Y. 2007. Teknologi Greenhouse dan Hidroponik Diktat Kuliah. Bogor: IPB Press.
Hasriani. 2013. Kajian Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat) Sebagai Media Tanam.
https://dedikalsim.files.wordpress.com/2013/12/jurnal-hasriani-ed-dkk-nov- 2013.
pdf. Diunduh pada tanggal 20 Maret 2018.
Istawan dan Mulyono. 2016. Beberapa Sistem Hidroponik dan Cara Budidaya Tanaman
dengan Hidroponik Sistem Sumbu. Disampaikan pada Penyuluhan dan Pelatihan
Hidroponik di Desa Kranggan, September 2016.
Lonardy, M.V. 2006. Respons Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Terhadap
Suplai Senyawa Nitrogen Dari Sumber Berbeda Pada Sistem Hidroponik [Skripsi].
Palu: Universitas Tadulako.
Rahmawati. 2012. Cepat dan Tangap Berantas Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Roidah, Ida Syamsu. 2014. Pemanfaatan Lahan Dengan Menggunakan Sistem Hidroponik.
Jurnal Universitas Tulungagung BONOROWO Vol. 1.No.2.