Anda di halaman 1dari 7

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidroponik
Penggunaan teknik budidaya tanaman secara hidroponik memiliki
berbagai keuntungan. Menurut Sameto (2006), beberapa keuntungan yang
diperoleh dari penggunaan teknik ini adalah mengeliminasi serangan hama,
cendawan, penyakit asal tanah sehingga dapat meniadakan penggunaan pestisida,
mengurangi pengguaan areal tanam yang luas, meningkatkan hasil panen serta
menekan biaya produksi yang tinggi. Selain itu teknik hidroponik dapat dapat
mempercepat waktu panen, penggunaan air serta hara yang terukur, dan kulalitas,
kuantitas dan kontinuitas hasil yang terjamin.

1. Floating Hydroponik System (FHS)


Floating Hydroponik System (FHS) merupakan budidaya tanaman
(khususnya sayuran) dengan cara menanamkan atau menancapkan tanaman pada
lubang strofoam yang mengapung diatas permukaan larutan nutrisi dalam suatu
bak penampung atau kolam sehingga akar tanaman terapung atau terendam dalam
larutan nutrisi. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Jensen di Arizona dan
Massantini di Italia. Pada sistem ini larutan nutrisi tidak disirkulasikan, namun
dibiarkan pada bak penampungan dan dapat digunakan lagi dengan cara
mengontrol kepekatan larutan dalam jangka waktu tertentu (Sudarmojo, 2008).
Floating Hydroponik System (FHS) perlu dilakukan pengontrolan
kepekatan larutan nutrisi dalam periode tertentu. Hal ini dilakukan karena dalam
jangka waktu yang cukup lama akan terjadi pengkristalan dan pengendapan pupuk
cair dalam dasar kolam yang dapat mengganggu peertumbuhan tanaman. Sistem
ini mempunyai beberapa karakteristik seperti terilosasinya lingkungan perakaran
yang mengakibatkan fluktuasi suhu larutan nutrisi lebih rendah, dapat digungakan
untuk daerah yang sumber energi listriknya terbatas karena energy yang
dibutuhkan tidak terlalu tergantung pada energy listrik (Istiqomah, 2007).
Sistem hidroponik berbeda dengan sistem konvensional. Pada sistem
hidroponik tidak memiliki ketergantungan pada musim. Selain itu pada sistem ini
pengerjaannya tidak terlalu rumit dibandingakan dengan sistem konvensioanl.
Penggunaan sistem hidroponik tidak mengenal musim dan tidak memerlukan
lahan yang luas dibandingkan dengan kultur tanah untuk menghasilkan produk
yang sama. Selain itu sistem hidroponik lebih menguntungkan daripada sistem
konvensioanl. Bila dilihat dari hasil pertumbuhan tanaman sistem hidroponik
lebih unggul (Mas’ud, 2009).

2. Nutrient Film Teqnique (NFT)


Hidroponik NFT adalah metode bercocok tanam tanpa menggunakan
media tanah, melainkan menggunakan air yang ditambahkan larutan nutrisi
tanaman. Sistem ini menjadi salah satu metode bercocok tanam yang semakin
disukai akhir-akhir ini. Hal ini dikarenakan sistem hidroponik NFT memiliki
berbagai keunggunalan yaitu lebih mudah direalisikan oleh siapa saja. Sistem
NFT ini ketersediaan nutrient sebagai sumber nutrisi bagi tanaman memegang
peranan penting agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan
produk yang bermutu sesuai dengan harapan. Oleh karena itu diperlukan suatu
sistem monitoring terhadap flow aliran nutrisi pada sistem hidroponik ini karena
asupan nutrisi sangat penting bagi tanaman dapat terpenuhi dengan baik
(Istiqomah, 2007).
Kata “film” pada hidroponik NFT menunjukkan aliran tipis. Hidroponik
ini hanya menggunakan aliran air nutrien sebagai medianya. Keunggulan sistem
hidroponik ini antara lain air yang diperlukan tidak banyak, kadar oksigen yang
terlarut dalam larutan hara cukup tinggi, air sebagai media mudah didapat dengan
harga murah, pH larutan mudah diatur dan ringan sehingga dapat disangga dengan
talang (Sutiyoso, 2006).
Daya hantar listrik untuk tanaman nutrisi untuk kebanyakan tanaman
dianjurakan 2-3,5 mS/cm. Agar akar tanaman dapat menyerap ion-ion larutan
nutrisi harus memiliki pH berkisar antara 6-7. Oksigen terlarut dalam larutan
nutrisi juga harus cukup untuk kebutuhan respirasi akar. Oksigen terlarut yang
dapat diserap tanaman berkisar antara 5-15 mg/l (Morgan, 2005).
3. Substrat Sekam dan Pasir
Sistem hidroponik substrat merupakan metode budidaya tanaman dimana
akar tanamantumbuh pada media porus selain tanah yang dialiri oleh larutan
nutrisi sehingga memungkinkan tanaman memperoleh air, nutrisi, dan oksigen
secara cukup. Pemberian nutrisi pada tanaman dapat diberikan melalui substrat
yang akan diserap oleh akar tanaman. Larutan nutrisi dibuat dengan cara
melarutkan garam mineral ke dalam air. Ketika dilarutkan dalam air, garam
mineral ini akan memisahkan diri menjadi ion. Penyerapan ion-ion oleh tanaman
berlangsung secara kontinue dikarenakan akar-akar tanaman selalu bersentuhan
dengan larutan (Suhardiyanto, 2009).
Arang sekam merupakan hasil dari pembakaran kulit gabah. Arang sekam
memiliki sifat kasar sehingga sirkulasi udara tinggi , ringan dengan berat jenis
sekitar 0,2 gr/cm3. Kapasitas menahan air tinggi dan dapat menghilangkan
pengaruh penyakit karena telah melaliu tahap sterilisasi, sehingga relatif bersih
dari hama, bakteri dan gulma (Murniati, 2009).
Penambahan unsur hara pada sistem hidroponik penting sekali, karena
sebagai sistem pengganti tanah. Sistem ini membutuhkab unsur hara mikro
maupun makro. Pemberian dosis terlalu rendah pengaruhnya tidak terlihat.
Pemberian dosis terlalu tinggi, tanaman mengalami plasmolisis, yaitu keluarnya
cairan sel karena tertarik oleh larutan hara yang lebih pekat. (Haryoto, 2009).

4. Vertikultur Talang
Vertikultur adalah istilah Indonesia yang diambil dari istilah verticulture
dalam bahasa Inggris. Istilah ini berasal dari dua kata yaitu vertical dan culture.
Makna vertikultur adalah sistem budidaya pertanian yang dilakukan secara
vertikal dan bertingkat. Sistem ini sangat cocok diterapkan khususnya bagi para
petani atau pengusaha yang memiliki lahan yang sempit. Vertikultur dapat pula
diterapkan pada bangunan-bangunan bertingkat, perumahan umum, atau bahkan
pada pemukiman di didaerah padat yang tidak punya halaman sama sekali.
Penggunaaan metode vertikultur ini, kita dapat memanfaatkan lahan semaksimal
mungkin (Widarto, 2007).
Tujuan vertikultur adalah untuk memanfaatkan lahan yang sempit secara
optimal. Sistem bertanam secara vertikultur sekilas memang terlihat rumit, tetapi
sebenarnya sangat mudah dilakukan. Tingkat kesulitan bertanam secara
vertikultur tergantung kepada model dan sistem tambahan yang dipergunakan.
Struktur dasar yang digunakan mudah diikuti dan bahan pembuatannya mudah
ditemukan, sehingga dapat diterapkan dirumah-rumah. Sisitem tambahan yang
memerlukan keahlian khusus contohnya penggunaan sistem hidroponik atau
irigasi tetes (Temmy, 2011).
Pertanian vertikultur tidak hanya sebagai sumber pangan tetapi juga
menciptakan suasana alami yang menyenangkan. Model, bahan, ukuran, wadah
vertikultur yang sangat banyak, tinggal di sesuaikan dengan kondisi dan
keinginan. Pada umumnya adalah berbentuk segi panjang, atau mirip anak tangga,
dengan berapa undak-undakan atau sejumlah rak. Bahan dapat berupa bambu atau
pipa paralon, kaleng bekas, bahkan lebaran karung beraspun bisa, karena salah
satu filosofinya dari vertikultur adalah memanfaatkan benda-benda bekas di
sekitar kita (Liferdi, 2011).

5. Ebb and Flow


Hidroponik sistem pasang surut (Ebb and flow) adalah suatu sistem
menanam dalam hidroponik dimana nutrisi dan pupuk yang diberikan dengan cara
menggenangi/merendam media tanam (zona akar) untuk beberapa waktu tertentu,
setelah itu nutrisi dialirkan kembali ke bak penampungan. Prisip kerja dari sistem
ini adalah nutrisi dipompakan kedalam bak penampungan yang telah diisi media
tanam diletakkan diatasnya. Pompa dihubungkan dengan pengatur waktu (timer)
sehingga lamanya dan periode penggenangan dapat diatur sesuai kebutuhan
tanaman. Pada dasar bak kita pasang siphon yang berfungsi mengalirkan kembali
nutrisi ke bak penampungan nutrisi secara otomatis (Affan, 2005).
Teknologi ini sering disebut flood and drain. Prinsip kerja dari ebb and
flow adalah mengisi kemasan dengan media, misalnya arang sekam kemudian
menempatkannya di instalasi. Selama 5 menit, kemasan yang berisi media
tersebut akan dikucuri larutan. Kemudian secara gravitasi, larutan dalam kemasan
akan turun kembali ke dalam tandon yang berada dibawahnya. Setelah 10 menit,
pompa menyala lagi dan terjadi kembali siklus serperti diatas (Sutiyoso, 2006).
Hidroponik sistem ebb and flow merupakan salah satu metode yang
populer dari hidroponik. Sistem ini memiliki prinsip kerja menyediakan larutan
nutrisi dengan pola pasang surut. Sistem hidroponik ebb and flow bisa diibaratkan
sebagai sebuah paru-paru. Saat air menggenang dan membasahi media, gas-gas
sisa metabolisme yang dikeluarkan oleh akar akan terpompa keluar. Demikian
pula sebaliknya, ketika air meninggalkan media dalam pot, maka udara baru dari
luar yang banyak mengandung oksigen akan tersedot ke dalam media tanam. Hal
ini tentunya menjadikan tanaman semakin tumbuh subur dan sehat (Rosliani dkk,
2005).

6. Deep Flow Technique (DFT)


Hidroponik DFT merupakan teknik hidroponik dengan menggunakan
papan styrofoam yang mengapung diatas larutan nutrisi dan larutan tersebut
disirkulasikan dengan bantuan aerasi. Pada dasarnya hidroponik sistem DFT sama
dengan rakit apung tetapi pengaplikasiannya berbeda. Perbedaannya adalah pada
rakit apung larutan nutrisi tidak tersirkulasi dengan baik sedangkan DFT
tersirkulasi dengan baik karena ada aliran atau flow (Mugniesyah, 2006).
Sistem hidroponik DFT merupakan metode budidaya tanaman hidroponik
dengan meletakkan akar pada lapisan air yang dalam, kedalaman lapisan berkisar
antara 4-6cm. prinsip kerja sistem hidroponik DFT yaitu mensirkulasikam larutan
nutrisi tanaman secara terus-menerus selama 24 jam.teknik ini dikategorikan
sebagai sistem hidroponik tertutup. Umumnya penerapan teknik hidroponik ini
digunakan pada budidaya tanaman sayuran daun dan sayuran buah (Chadirin,
2007).
Hidroponik rakit apung, tanaman ditempatkan pada sterofoam yang
diapungkan pada sebuah kolam. Kolam sedalam 40 cm yang terdapat nutrisi.
Sistem hidroponik ini perlu ditambahkan airstone ataupun aerator. Aerator
berfungsi mengandalikan oksigen untuk pertukaran udara dalam daerah perakaran.
Kekurangan oksigen akan mengganggu penyerapan air dan nutrisi oleh akar.
Hidroponik rakit apung hanya dapat ditanami oleh tanaamn berbobot rendah
(Diansari, 2008).

7. Aquaponik
Aquaponik adalah kombinasi aquakultur dan hidroponik yang bertujuan
untuk memelihara ikan dan tanaman dalam dalam satu sistem yangsaling
terhubung. Dalam sistem ini limbah yang dihasilkan oleh ikan digunakan sebagai
pupuk untuk tanaman, kemudian air yang dialirkan dengan sistem resirkulasi dari
media pemeliharaan ikan dibersihkan oleh tanaman sehingga dapat digunakan
kembali oleh ikan. Interaksi antara ikan dan tanaman menghasilkan lingkungan
yang ideal untuk tumbuh sehingga lebih produktif dari metode tradisional
(Sudibyo, 2005).
Pada sistem aquaponik, aliran air kaya nutrisi dari media pemeliharaan
ikan digunakan untuk menyuburkan tanaman hidroponik. Hal ini baik untuk ikan
karena akar tanaman dan rhizobakter mengambil nutrisi dari air. Nutrisi yang
berasal dari feses, urin dan sisa pakan ikan adalah kontaminan yang menyebabkan
meningkatnya kandungan racun pada media pemeliharaan, tetapi air limbah ini
juga menyediakan pupuk cair untuk menumbuhkan tanaman secara hidroponik.
Sebaliknya, media hidroponik berfungsi sebagai biofilter, yang akan menyerap
amonia, nitrat dan fosfor sehingga air yang sudah bersih dapat dialirkan kembali
ke media pemeliharaan (Sapei, 2006).
Akuaponik adalah kombinasi akuakultur dan hidroponik untuk
memelihara ikan dan tanaman dalam satu sistem yang saling terhubung. Limbah
yang dihasilkan oleh ikan digunakan sebagai pupuk untuk tanaman. Interaksi
antara ikan dan tanaman menghasilkan lingkungan yang ideal untuk tumbuh
sehingga lebih produktif dari metode tradisional. Sebagian besar ikan air tawar,
yang tahan terhadap padat tebar tinggi akan tumbuh dengan baik pada sistem
akuaponik (Rackocy et al, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Affan, M. F. 2005. High Temperature Effects on Root Absorption in Hydroponic


System DFT. Master Thesis. Kochi University.
Diansari Munthia. 2008. Pengaturan Suhu, Kelembaban, Waktu Pemberian
Nutrisi Dan Waktu Pemberian Air Untuk Pola Cocok Tanam Hidroponik
Berbasis Mikrikontroler AVR ATMEGA 8335. Skripsi. Departemen Takik
Elektro.
Cahdirin, Y. 2007. Teknologi Greenhouse dan Hidroponik. Diklat Kuliah.
Departemen Teknik Pertanian IPB. Bogor.
Haryoto. 2009. Bertanam Seledri Secara Hidroponik. Yogyakarta: Kanisius.
Mugniesyah, S. S. 2006. Ilmu Penyuluhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Lukman, Liferdi. 2011. Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara
Vertikultur. Bandung : Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Mas’ud, H. 2009. Sistem Hidroponik dengan Butrisi dan Media Tanam Berbeda
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Selada. Media Litbang Sulteng 2(2):131-
136.
Morgan, L. 2005. Powering up the Root System , Growing Edge. 4(3). New Moon
Publishing Cornvallis. Oregon.
Rackocy, J. E, D. S. Bailey, K A Shultz, W M Cole 2006). Recirculating
Aquaponik Tank Production System: Aquaponics Integrating Fish And
Plant Culture Southern Regional Aquaculture Center. United State of
Agriculture . Publication no. 454.
Rosliani, R dan N. Sumarni 2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan Teknik
Hidroponik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 27 Hal.
Sameto, H. 2006. Hidroponik Sederhana Penyejuk Ruang. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Sapei C Arif, A M Patappa, B D Astuti 2006. Sistem Kendali Berbasis PLC untuk
Pengaturan Larutan Nutrisi pada Jaringan Irigasi Tetes. J. Ilmiah Ilmu
Komputer 4(2) : 42-47.
Suhardiyanto, H. 2009. Teknologi Rumah Tanaman Untuk Iklim Tropika Basah :
Pemodelan Dan Pengendalian Lingkungan. Bogor: IPB Press.
Sutiyoso, Karsono S, Sudarmodjo 2006. Hidroponik Skala Rumah Tangga..
Surabaya: Agro Media Pustaka.
Temmy, D. 2011. Vertikultur, Teknik Bertanam di Lahan Sempit. Jakarta:
Gramedia.
Widarto, L. 2007. Vertikultur Bercocok Tanam Secara Bertingkat. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai