NIM
: 1414142001
kelas
kelompok
: II
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan/ Koordinator Asisten dan
dinyatakan diterima.
Makassar,
Asisten,
Koordinator Asisten,
Januari 2017
Nursalwa
NIM. 131414
Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan adalah salah satu organisme yang mampu melakukan pembiakan
guna mempertahankan diri dan memperbanyak diri. Tumbuhan dapat melakukan
pembiakan dengan cara vegetatif dan dapat melakukannya derngan cara generatif
yaitu melalui perkawinan. Pembiakan pada tanaman pada umumnya dapat terjadi
secara alami maupun dengan bantuan manusia.
Pembiakan dengan cara vegetatif sebagian besar dilakukan oleh manusia agar
diperoleh
anakan
perkembangbiakan
yang
untuk
sesuai
dengan
harapan.
mempertahankan
Tanaman
jenisnya
dan
melakukan
peningkatan
produksinya. Kelestarian sifat yang dimiliki tanaman atau kelompok tanaman dari
generasi ke generasi berikutnya sangat tergantung pada kombinasi gen yang
terdapat dalam kromosom sel tanaman.
Kombinasi atau kumpulan gen pada suatu individu tanaman disebut genotipe.
Perwujudan genotipe yang tampak disebut fenotipe, yakni menampilkan genotipe
tertentu pada suatu lingkungan tempat tumbuh tanaman, dalam pemuliaan
tanaman hal demikian dikenal sebagai interaksi genotipe dan lingkungan. Jadi
fungsi perkembangbiakan tanaman adalah pelestarian genotipe atau kombinasi
genotipe tertentu pada keturunan.
Perbanyakan tumbuhan dapat dilakukan dengan kultur jaringan. Melalui kultur
jaringan akan didapatkan tumbuhan yang banyak dengan ukuran dan kualitas yang
sama dengan indukannya. Hal tersebut menguntungkan baik dalam bidang
ekonomi maupun dibidang ekologi. Kultur dapat dilakukan untuk tumbuhan apa
saja, apakah tumbuhan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi ataukah
tumbuhan tersebut mendukung lestarinya keaneragaman suatu tempat.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan
secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan.
dengan sifat-sifat
yang
sama
dengan
induknya.
tertentu yang langka, sehingga nantinya jenis tertentu dapat lestari dengan begitu
memperbaiki pula keanekaragaman yang dimiliki.
Praktikum kultur jaringan dilakukan pada beberapa jenis tumbuhan yang secara
umum pemanfaatannya dapat digunakan oleh semua masyarakat, akan tetapi
pertumbuhan dan perkembangannya masih sulit untuk dibudidayakan, sehingga
dianggap perlu untuk dikembangkan secara vegetatif atau budidaya kultur
jaringan. Berdasarkan teori tersebut, maka praktikum kultur jaringan ini penting
untuk dilaksanakan. Adapun di antara sekian banyak jenis tumbuhan yang dapat
dikultur jaringan, pada praktikum ini akan dilakukan kultur jaringan pada tanaman
pisang.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui teknik sterilisasi alat yang akan digunakan dalam kultur
jaringan.
2. Untuk mengetahui teknik sterilisasi bahan yang akan dikultur.
3. Untuk mengetahui teknik kultur jaringan Pisang.
C. Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini, yaitu :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui teknik sterilisasi alat yang akan
digunakan dalam kultur jaringan.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui teknik sterilisasi bahan yang akan
dikultur.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui teknik kultur jaringan Pisang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kultur jaringan tanaman saat ini merupakan teknologi yang mapan. Seperti
banyak teknologi lainnya, telah melalui tahap evolusi yang berbeda,
keingintahuan ilmiah, penelitian alat, aplikasi baru dan eksploitasi massa.
Mulanya, kultur jaringan tanaman dimanfaatkan sebagai alat penelitian dan
difokuskan pada upaya untuk budaya dan mempelajari pengembangan dari kecil,
segmen terisolasi dari jaringan tanaman atau sel terisolasi. Sekitar pertengahan
abad kedua puluh. Gagasan bahwa tanaman dapat diregenerasi atau dikalikan dari
baik kalus atau kultur organ diterima secara luas dan aplikasi praktis dalam
industri perbanyakan tanaman terjadi (Idowu, 2009).
Teknik ini digembar-gemborkan sebagai universal massa klonal sistem
perbanyakan tanaman untuk masa depan dan istilah budidaya diperkenalkan untuk
menggambarkan lebih akurat proses. Banyak laboratorium komersial didirikan di
seluruh dunia untuk klonal massal propagasi tanaman hortikultura. jaringan
tanaman hari ini aplikasi budaya mencakup lebih dari klonal propagasi dan
budidaya. Kisaran rutin teknologi telah diperluas untuk mencakup embriogenesis
somatik, hibridisasi somatik, virus eliminasi serta sebagai aplikasi dari bioreaktor
untuk perbanyakan massal (Idowu, 2009).
Indonesia merupakan negara penghasil pisang keempat terbesar di Asia setelah
India, Filipina, dan Cina. Sekitar 80 % total produksi pisang dunia dikuasai oleh
Brasil, India, Filipina, RRC, dan negara di Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Di Indonesia, konsumsi pisang terbesar adalah untuk pasar dalam negeri,
sedangkan untuk ekspor jumlahnya tidak signifikan, walaupun permintaannya
banyak. Salah satu kendala penyebab rendahnya kualitas buah pisang dari
Lampung sehingga tidak memenuhi stadart ekspor adalah penerapan teknik
budidaya pisang secara intensif kurang diterapkan. Teknologi budidaya pisang
cakupannya luas, namun yang paling dasar dan sangat menentukan hasil adalah
penyediaan bibit yang bermutu (Rugayah, 2012).
Pisang merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi
jika dibudidayakan secara intensif dengan menerapkan teknologi secara benar
dapat memberikan keuntungan yang tinggi. Pisang menjadi komoditas ekspor
goreng, sedangkan pisang mauli (uli) sering dihidangkan sebagai pencuci mulut
dalam acara selamatan dan perkawinan (Nisa, 2005).
Pisang merupakan tanaman hortikultura yang memiliki tingkat produksi cukup
tinggi di Indonesia dan memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Produksi pisang yang dihasilkan di Indonesia 90% untuk konsumsi dalam negeri,
sedangkan 3 sisanya ditujukan untuk memenuhi permintaan pisang luar negeri.
Produksi pisang nasional menempati urutan keenam setelah India, Ekuador,
Brazil, Fhilipina dan Cina (Maslukhah, dalam Pagalla dkk, 2012).
Indonesia diantara jenis buah-buahan lainnya, baik dari segi sebaran, luas
pertanamannya maupun segi produksinya (BPTP Lampung, 2008). Indonesia
sebagai produsen pisang yang sangat besar di Asia tentu sangat berharap
mempunyai kedudukan yang baik dalam bidang ekspor buah pisang. Tetapi
menurut data pada tahun 1992 Indonesia termasuk kedalam negara pengimpor
buah pisang (Tim Bina Karya Tani, 2008). Total produksi pisang Indonesia
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 sekitar 5,755,073 ton dan Banten
menyumbang 234,887 ton, atau tidak kurang dari 4% dari produksi pisang
nasional (Eriansyah, 2014).
Kondisi
terkontrol
memberikan
budaya
mikro
cocok
untuk
sukses
Tanaman pisang komersil yang dibudidayakan hingga saat ini adalah triploid
(3n) dan tidak mampu menghasilkan biji atau partenokarpi, walaupun ada juga
yang diploid dan tidak berbiji seperti pisang mas. Oleh karena itu
pengembangbiakan pisang hanya dilakukan secara vegetatif (tanpa perkawinan)
dengan anakan dan kultur jaringan (Sunarjono, dalam Rainiyati, 2007).
Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur
pertumbuhan dan perkembangan eksplan di dalam kultur. Pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan
zat pengatur tumbuh pada media dengan hormon endogen yang terdapat dalam
eksplan (George dan Sherrington, dalam Rainiyati, 2007). Menurut Gunawan
dalam Rainiyati (2007) penambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan
mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Perimbangan zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin yang sesuai akan sangat besar pengaruhnya untuk
menghasilkan plantlet (Rainiyati, 2007).
Perbanyakan pisang barangan secara in vitro dapat dilakukan untuk
mendapatkan bahan tanaman yang lebih baik, khususnya yang bebas penyakit
Fusarium sp dan Pseudomonas sp. Perbanyakan in vitro digunakan untuk
mengembangkan induk dengan hasil yang identik, bebas patogen, dan jumlahnya
lebih banyak (Ammirato et al., dalam Sitohang, 2005).
Media Murashige dan Skoog (MS) digunakan secara luas sebagai media kultur
jaringan, media tersebut mengandung hara makro dan mikro, kemudian diberi zat
pengatur tumbuh untuk mengarahkan perkembangan kultur. Jika rasio auksin
lebih tinggi dari sitokinin akan terbentuk akar, sebaliknya jika rasio auksin lebih
rendah dari sitokinin akan terbentuk tunas. Beberapa zat pengatur tumbuh yang
sering digunakan antara lain: asam indol asetat, asam naftalen asetat, asam indol
butirat,
2,4-D
(2,4-dichlorophenoxyacetic
acid),
kinetin,
zeatin
dan
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Hari/tanggal
: Rabu/ 23 November2016
Waktu
Tempat
C. Prosedur Kerja
1. Sterilisasi Alat
a.Semua alat yang akan digunakan dalam pelaksanaan kultur jaringan
disterilkan.
b.
Botol dan alat-alat penunjang dicuci dengan sabun cuci.
c.Alkohol 70% disemprotkan, kemudian alat dimasukkan ke dalam plastik
bening.
Botol kutur jaringan dan alat-alat penunjang dimasukkan ke dalam
d.
autoklaf.
2. Sterilisasi Bahan
a.Bahan disiapkan yaitu tunas pisang muda.
b.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
NO
Gambar
Keterangan
B. Pembahasan
1. Sterilisasi Alat
Beberapa alat dalam kultur jaringan harus disterilkan terlebih dahulu
sebelu digunakan diantaranya gunting, pinset, cawan petri, skalpel, dan
botol kultur. Alat-alat ini disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu
1210c, tekanan 15 psi selama 30 menit. Sebelum melakukan pengautoklafan
beberapa alat diberi perlakuan diantaranya alat diseksi (gunting, pinset,
skalpel) disemprot dengan alkohol 70% untuk membunuh bakteri dan jamur
setelah itu dibungkus dengan plastik sehingga tidak bersentuhan dengan
udara luar hal ini berfungsi untuk menjaga kesterilan alat diseksi setelah
diautoklaf. Pembungkus dari alat diseksi baru dibuka ketika akan
digunakan.
Sedangkan cawan petri disemprot dengan alkohol 70% dan didalamnya
dilapis dengan tisu hal ini bertujuan agar cawan petri dapat digunakan 2 kali
ketika melakukan kegiatan subkultur dengan cara membuang tisu yang
terdapat pada cawang petri serta digunakan dalam proses penirisan. Pada
saat pengautoklafan cawan petri juga harus dibungkus hal ini bertujuan
untuk
menjaga
kesterilan
cawan petri
setelah
diautoklaf,
plastik
autoklaf harus diontrol sebelum digunakan, tekanan, dan suhu, serta lama
pengautoklafan harus diatur sebelum autoklaf digunakan. Botol kultur yang
akan diautoklaf diisi dengan aguades untuk disterilkan sehingga aguades ini
dapat digunakan dalam proses pembuatan medium dan pembilasan eksplan
ketika kita melakukan sterilisasi eksplan.
2. Sterilisasi Bahan
Sterilisasi bahan yaitu tunas pisang muda, terbagi menjadi dua bagian.
Pertama yaitu sterilisasi luar LAF. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
kontaminan yang terdapat pada pisang muda. Bahan yang digunakan dalam
stelisisasi luar yaitu sabun cair. Berguna untuk menghilangkan kotoran pada
tunas. Kemudian direndam dengan larutan bakterisida dan fungisida untuk
membunuh bakteri dan jamur.
Sterilisasi yang kedua yaitu sterilisasi dalam LAF. Bahan yang gunakan
yaitu alkohol 70% dan klorox. Klorox dalam hal ini berfungsi sebagai
desinfektan. Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh
fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran
jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau
menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya.
3. Kultur Jaringan Pisang
Dalam kultur jaringan pisang prinsip kerja yang digunakan sama dengan
kultur jaringan pada umumnya, yang berbeda terletak pada tahap sterilisasi
eksplan yang mengggunakan metode sterilisasi luar LAF dan sterilisasi
dalam LAF, serta pengupasan batang semu pisang sehingga eksplan
berukuran 2 cm.
Berdasarakan hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui kultur jaringan pada tunas pisang. Kultur jaringan yang
dilakukan pada tunas pisang menggunakan tunas pisang yang masih mudah.
Pada saat proses penanaman dengan cara mengupas bagian tunas pisang
sampai sekecil mungkin sehingga kelihatan tunas atau lapisan yang paling
dalam.
Proses penanaman pisang dibutuhkan ketelitian, semua alat ataupun
bahan yang digunakan harus betul-betul steril untuk mencegah terjadinya
kontaminasi. Dalam mencegah terjadinya kontaminasi maka tunas pisang
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan praktikum ini maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Sterilisasi alat dilakukan agar menghindari organisme patogen yang
berbahaya bagi pertumbuhan kultur jaringan. Alat-alat yang akan digunakan
dalam
kegiatan
praktikum
kultur
jaringan
wajib
disterilisasikan
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, M., 2015. Tissue culture of Momordica charantia L.: A review. Journal
of Plant Sciences 2015; 3(1-1): 24-32.
Dewi, AK., dan Dwimahyani, 2005. Evaluasi Keragaman Fenotipe Galurmutan
Pisang Barangan {M. paradisiaca Kuitivar Barangan) Pada Generasi M, V4.
Berita Biologi, Volume 7. Nomor 6, Desember 2005.
Eriansyah, M., Susiyanti dan Y. Putra., 2014. Pengaruh Pemotongan Eksplan dan
Pemberian Beberapa Konsentrasi Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Eksplan Pisang Ketan (Musa Paradisiaca) Secara In
VitroAgrologia, Vol. 3, No. 1, April 2014, Hal. 54-61
Hendaryono, DPS., dan Wijayani, A., 2012. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta.
Idowu, PE., Ibitoye, DO., Ademoyegun, OT., 2009. Tissue Culture as a Plant
Production Technique for Horticultural Crops. African Journal of
Biotechnology Vol. 8 (16), pp. 3782-3788, 18 August, 2009.
Nisa, C., dan Rodinah, 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang
(Musa Paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA Dan Kinetin.
BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 2, Juli 2005, Halaman 23-36.
Pagalla, DB., Andi Ilham Latunra, Baharuddin, A.Masniawati, 2015. Respon
Pertumbuhan Propagul Pisang Ambon Hijau Musa Acuminata Colla Pada
Beberapa Konsentrasi Ekstrak Jagung Muda Secara In Vitro. Jurnal
Pertanian Universitas Hasanuddin.
Pamungkas, 2015. Pengaruh Konsentrasi Naa Dan Bap Terhadap Pertumbuhan
Tunas Eksplan Tanaman Pisang Cavendish (Musa Paradisiaca L.) Melalui
Kultur In Vitro. Gontor AGROTECH Science Journal.
Rugayah, Dwi Hapsoro, Ade Ulumudin dan Feria Wirana Motiq, 2012. Kajian
Teknik Perbanyakan Vegetatif Pisang Ambon Kuning Dengan Pembelahan
Bonggol (Corm). Jurnal Agrotropika 17(2): 58-65, Juli-Desember 2012.
Sitohang, N., 2005. Kultur Meristem Pisang Barangan (Musa paradisiaca) pada
Media MS dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA, IBA,
BAP dan Kinetin. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Volume 3,
Nomor 2, Agustus 2015: 17-25
Yuliarti, N., 2010. Kultur Jaringan Tanaman Skala Rumah Tangga. Lily
Publisher: Yogyakarta.
Zebua, D., Suci Rahayu, dan Saleha Hannum, 2015. Induksi Tunas Pisang
Barangan (Musa Acuminata L.) Asal Nias Utara Melalui Kultur Jaringan
Dengan Pemberian 2,4-D Dan Kinetin. Jurnal Biosains Vol.1 No. 2 Augstus
2015.
LAMPIRAN
Bagian putih
Mencuci
dengan
yang
sabunditanam
akan
Campuran
Mengukur 100 ml
Memasukkan
bakterisida &
bakterisika
Aquades
steril
&
fungisida
fungisida
Memasukkan
Merendam
selama
pisang
30
menit. larutan
kedalam