Anda di halaman 1dari 8

ACARA IV

HIDROPONIK

A. Tujuan

B. Dasar Teori
Kendala pada sistem pertanian konvensional di Indonesia
terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis dengan
kondisi lingkungan yang kurang menunjang seperti curah hujan
yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi keefektifan
penggunaan pupuk kimia di lapangan karena pencucian hara
tanah, sehingga menyebabkan pemborosan dan mengakibatkan
tingkat kesuburan tanah yang rendah dengan produksi yang
rendah secara kuantitas maupun kualitas. Suhu dan
kelembaban udara tinggi sepanjang tahun cenderung
menguntungkan perkembangan gulma, hama, dan penyakit.
Masalah erosi tanah dan resistensi organisme pengganggu
tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produktivitas
tanaman petani. Selain hal-hal tersebut, meningkatnya jumlah
penduduk menyebabkan ketersediaan lahan pertanian semakin
sempit karena digunakan untuk perumahan dan perluasan
perkotaan. Hal ini mempersulit pencapaian peningkatan
produksi sayuran karena keterbatasan lahan pertanian
(Rosliani dan Sumarni).
Istilah hidroponik berasal dari bahasa latin “hydro” (air)
dan “ponous” (kerja), disatukan menjadi “hydroponic” yang
berarti bekerja dengan air. Jadi istilah hidroponik dapat
diartikan secara ilmiah yaitu suatu budidaya tanaman tanpa
menggunakan tanah tetapi dapat menggunakan media seperti
pasir, krikil, pecahan genteng yang diberi larutan nutrisi
mengandung semua elemen esensial yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman (Lingga, 2005).
Sistem hidroponik merupakan cara produksi tanaman yang
sangat efektif. Sistem ini dikembangkan berdasarkan alasan
bahwa jika tanaman diberi kondisi pertumbuhan yang optimal,
maka potensi maksimum untuk berproduksi dapat tercapai. Hal
ini berhubungan dengan pertumbuhan sistem perakaran
tanaman, di mana pertumbuhan perakaran tanaman yang
optimum akan menghasilkan pertumbuhan tunas atau bagian
atas yang sangat tinggi. Pada sistem hidroponik, larutan nutrisi
yang diberikan mengandung komposisi garam-garam organik
yang berimbang untuk menumbuhkan perakaran dengan
kondisi lingkungan perakaran yang ideal (Raffar, 1993).
Beberapa pakar hidroponik mengemukakan beberapa
kelebihan dan kekurangan sistem hidroponik dibandingkan
dengan pertanian konvensional (Chow, 1990; Rosliani dan
Sumarni, 2005.).
Kelebihan sistem hidroponik antara lain adalah :
1. Penggunaan lahan lebih efisien,
2. Tanaman berproduksi tanpa menggunakan tanah
3. Kuantitas dan kualitas produksi lebih tinggi dan lebih bersih
4. Penggunaan pupuk dan air lebih efisien
5. Periode tanam lebih pendek
6. Pengendalian hama dan penyakit lebih mudah.
Sementara kekurangan sistem hidroponik, antara lain
adalah:
1. Membutuhkan modal yang besar
2. Pada “close system” (nutrisi disirkulasi), jika ada tanaman
yang terserang patogen maka dalam waktu yang sangat
singkat seluruh tanaman akan terkena serangan tersebut;
dan
3. Pada kultur substrat, kapasitas memegang air media
substrat lebih kecil daripada media tanah, sedangkan pada
kultur air volume air dan jumlah nutrisi sangat terbatas
sehingga akan menyebabkan pelayuan tanaman yang cepat
dan stres yang serius.
Beberapa jenis sistem hidroponik adalah sebagai berikut:
1. Wick System
Sistem sumbu ini merupakan metode hidroponik yang
paling sederhana. Tanaman mendapatkan nutrisi yang
diserap melalui sumbu atau kain flanel. Sumbunya
merupakan bagian penting dari sistem ini, karena tanpa
penyerapan cairan yang baik, tanaman tidak akan
mendapatkan kelembaban dan nutrisi yang dibutuhkan
(Tallei, dkk).
2. Nutrient Film Technique (NFT)
Nutrient Film Technique adalah suatu metode budidaya
tanaman dengan akar tanaman tumbuh pada lapisan
nutrisi yang dangkal dan tersirkulasi sehingga tanaman
dapat memperoleh cukup air, nutrisi, dan oksigen. Adanya
bagian akar di udara ini memungkinkan oksigen masih
bisa terpenuhi dan mencukupi untuk pertumbuhan secara
normal (Setyoadji, 2015).
3. Rakit Apung
Rakit apung merupakan penanaman hidroponik
dengan cara meletakkan tanaman pada lubang sterofoam
yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi.
Larutan nutrisi ini berada dalam suatu bak media sehingga
akar tanaman terapung atau terendam dalam larutan
nutrisi. Pada sistem ini larutan nutrisi tidak disirkulasikan
(Setyoadji, 2015).
4. Drip system
Sistem ini menggunakan sistem irigasi tetes (drip
irrigation system) untuk mengalirkan nutrisi ke wilayah
perakaran melalui selang irigasi dengan menggunakan
dripper yang diatur waktunya dengan timer. Media tanam
sistem ini yaitu batu apung, sekam bakar, zeolit, atau
cocopeat (sabut kelapa), yang berfungsi sebagai tempat
akar berkembang dan memperkokoh kedudukan tanaman.
Nutrisi hidroponik disimpan di wadah (Tallei, dkk).
5. Ebb and Flow
Sistem ini disebut juga sistem pasang surut. Pada
sistem ini, larutan nutrisi diberikan dengan cara
menggenangi wilayah perakaran pada waktu yang
ditentukan. Setelah cukup maka larutan nutrisi dialirkan
kembali ke wadah penampungan pupuk. Larutan nutrisi
akan mengisi/membanjiri sistem sampai mencapai
ketinggian dari overflow yang telah disiapkan, sehingga
merendam akar tanaman. Tabung overflow harus diatur
sekitar 2 inch di bawah permukaan atas media tumbuh
(Tallei, dkk).
6. Aeroponik
Pada sistem ini, tanaman ditumbukan pada udara
yang lembab tanpa menggunakan tanah atau medium
agregat (geoponik). Pada sistem ini, larutan nutrisi sebagai
medium tumbuh dan mengandung mineral-mineral
penting untuk pertumbuhan tanaman disemprotkan
secara berkala pada akar tanaman. Karena air tetap
digunakan untuk mentransmisikan nutrien, maka sistem
ini juga dianggap sebagai salah satu tipe hidroponik.
Penyemprotan dilakukan menggunakan pompa bertekanan
tinggi sehingga menghasilkan butiran-butiran air yang
sangat halus melalui sprinkler (Tallei, dkk).
Banyak faktor yang menentukan keberhasilan dalam
berbudidaya sayuran secara hidroponik. Beberapa diantaranya
meliputi unsur hara, media tanam, oksigen, dan air. Pemberian
larutan hara harus teratur sesuai dengan kepekatan yang
diinginkan oleh setiap jenis tanaman. Setiap jenis dan setiap
fase tanaman memerlukan hara yang berbeda-beda. Demikian
juga, dengan nilai pH larutan, pH larutan menentukan tingkat
ketersediaan setap hara untuk tanaman. Hara tersedia bagi
tanaman pada pH 5.5 – 7.5 tetapi yang terbaik adalah 6.5. Oleh
sebab itu alat pengukur kepekaan hara atau EC meter dan pH
atau pH meter mutlak diperlukan (Sastro dan Rokhmah, 2016).
Nutrisi tanaman terlarut dalam air yang digunakan dalam
hidroponik sebagian besar anorganik dan dalam bentuk ion.
Nutrisi utama tersebut diantaranya dalam bentuk kation
terlarut (ion bermuatan positif), yakni Ca2+ (kalsium), Mg2+
(magnesium), dan K+ (kalium); larutan nutrisi utama dalam
bentuk anion adalah NO3-(nitrat), SO42-(sulfat), dan H2PO4-
(dihidrogen fosfat). Hara mikro biasanya ditambahkan ke dalam
nutrien hidroponik guna memasok unsur-unsur mikro penting,
di antaranya adalah Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn
(seng), B (boron), dan Molibdenum (Mo). Nutrisi hidroponik
biasanya menggunakan konsep formulasi AB mix. Yaitu kalsium
pada grup A dan tidak bertemu sulfat dan fosfat pada grup B
(Sastro dan Rokhmah, 2016).
Media tanam yang digunakan biasanya adalah media
tanam inert. Media tanam inert berfungsi sebagai bufer dan
penyangga tanaman seperti arang sekam, spons, expanded clay,
rockwool, coir, perlite, pumice, vermiculite, pasir, kerikil, dan
serbuk kayu. Jenis media tanam yang digunakan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Media yang baik membuat unsur hara tetap tersedia,
kelembaban terjamin dan drainase baik. Media yang digunakan
harus dapat menyediakan air, zat hara dan oksigen serta tidak
mengandung zat yang beracun bagi tanaman (Sastro dan
Rokhmah, 2016).

C. Bahan dan Alat


Bahan: benih selada, benih pakcoy, rockwool, nutrisi AB
mix, kain flanel.
Alat: instalasi NFT (Nutrient Film Technique), instalasi DFT
(Deep Flow Technique), instalasi rakit apung, instalasi drip
irigation, instalasi dust bucket, pompa air, bak nutrisi, dan
netpot.

D. Cara Kerja
1. Penyemaian
a. Media tanam rockwool dipotong dengan ukuran 2,5 × 2,5
× 2,5 cm, diletakkan pada nampan.
b. Pada rockwool dibuat lubang tanam dengan
menggunakan tusuk gigi untuk tempat benih.
c. Benih tanaman dimasukkan ke dalam lubang, satu
lubang satu benih.
d. Kelembaban rockwool harus diperiksa secara berkala.
Apabila kering, maka perlu ditambahkan air.
2. Penanaman
a. Setelah bibit berumur 14 hari, bibit siap ditanam pada
instalasi.
b. Netpot diberi sumbu dengan menggunakan kain flanel
(untuk penanaman pada instalasi NFT, DFT, dan rakit
apung).
c. Bibit beserta rockwool dimasukkan ke dalam netpot.
d. Netpot diletakkan pada instalasi.
3. Panen
a. Setelah tanaman berumur 30 hari setelah penanaman,
tanaman siap dilakukan pemanenan.
b. Panen dilakukan dengan mengambil tanaman beserta
netpotnya dari instalasi, kemudian tanaman dipisahkan
dari netpotnya secara hati-hati.

E. Parameter Pengamatan
Tanaman Selada: jumlah daun, persentase hidup, bobot
segar tanaman.
Tanaman Pakcoy: jumlah daun, tinggi tanaman, persentase
hidup, bobot segar tanaman.
Daftar Pustaka

Lingga, P. 2005. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Jakarta.


Penebar Swadaya.

Raffar, K.A. 1990. Hydroponics in tropica. International Seminar on


Hydroponic Culture of High Value Crops in the Tropics in
Malaysia, November 25-27, 1990.

Rosliani, R. dan Sumarni, N. 2005. Budidaya Tanaman Sayuran


dengan Sistem Hidroponik. Bandung. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Monografi No. 27.

Sastro, Y. dan N.A. Rokhmah. 2016. Hidroponik Sayuran di


Perkotaan. Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jakarta.

Setyoadji, D. 2015. Asiknya Bercocok Tanam Hidroponik.


Yogyakarta. Araska.

Tallei, T. E., Inneke F.M.R., dan Ahmad A.A. 2017. Hidroponik untuk
Pemula. Manado. LPPM UNSRAT.

Anda mungkin juga menyukai