Golongan Darah
Golongan Darah
Pendahuluan
Seorang ilmuwan Jerman, Karl Landsteiner pada tahun 1900 telah melakukan suatu serial
pemeriksaan terhadap sampel darah dari 6 orang kawannya. Dilakukan pemisahan serum dan
dibuat suspense eritrosit dalam salin. Dijumpai adanya aglutinasi pada beberapa campuran
serum dengan suspense eritrosit. Hal ini disebabkan karena eritrosit memiliki antigen yang
bereaksi dengan antibody (dalam serum) yang sesuai. Atas dasar ada tidakya aglutinasi
tersebut. Maka ditetapkan 3 macam golongan darah yaitu A, B, O. kemudian Decastello dan
Sturli (1902) menemukan golongan darah AB, semuanya termasuk dalam system ABO.
Pada penelitian selanjutnya ternyata golongan darah A dapat dibedakan dalam subgroup A1,
A2 dan kemudian dijumpai lagi A3, A4, A5, Ao, Ax, Az, dan lain-lain, bahkan kini dikenal
juga subgroup golongan B. Penelitian demi penelitian terus berkembang, sejauh ini telah
dikenal pula system golongan darah lain dari ABO yaitu system Rhesus, Lewis, Kell, KIDD,
Lutheran, P, Ii, MN, Duffy, Diego dan lain-lain namun yang penting adalah system ABO dan
Rhesus karena memiliki sifat antigenic yang kuat.
Sistem ABO
Gen pada system ABO
Lokus gen yang mengatur system ABO terletak pada lengan panjang kromosom 9. Teori
Thompson dan kawan-kawan (1930) menyatakan bahwa pada system golongan darah ABO
terdapat 4 gen alelik yaitu A1, A2, B, O sehingga dapat dibedakan 6 fenotip dan 10 fenotip
sebagai berikut :
- Antibody ABO dapat menyebabkan destruksi eritrosit asing yang mengandung antigen yang
sesuai (reaksi Ag-Ab). Ig M maupun Ig G lebih suka menyebabkan agglutinasi eritrosit pada
suhu kamar
(20oC 24oC) atau lebih rendah (40C 200C) disebut antibody dingin (cold antibody) Ig M
menyebabkan agglutinasi dengan aviditas tinggi. Sangat jarang dapat dijumpai anti A1 yang
menyebabkan agglutinasi pada suhu di atas 250C (warm antibody).
- Ig M dan Ig G merupakan activator yang efisien terhadap komplemen pada suhu 370C
(complement mediated lytic).
Jadi walaupun Ab merupakan Ab yang dapat berikatan satu dengan Ag pada permukaan
eritrosit namun tidak dapat menghubungkan 2 eritrosit / tidak dapat menyebabkan agglutinasi
karena tidak mampu melawan zeta potential. Antibody ini kebanyakan dalam bentuk Ig G,
kadang-kadang Ig M, sebagian Ig A. Cara mendeteksi Ab tak lengkap / inkomplit tersebut
ialah dengan tes Coomb.
Sistem Rhesus :
Merupakan system yang kompleks, mungkin yang paling kompleks di antara semua system
golongan darah yang dikenal.
Sejarah penemuan :
System Rhesus (Rh) ini dikenal sejak Levine dan Stetson tahun 1939 melaporkan adanya
antibody dalam serum ibu setelah mendapat transfuse darah suaminya yang menyebabkan
terjadinya reaksi transfuse pada dirinya dan berakibat fatal pada janin yang dikandungnya
karena menderita Hemolytic Disease of the Newborn / HDN.
- 1940 Landsteiner dan Wiener menyuntik kelinci / marmot dengan darah kera rhesus
(Macaca mullata), kemudian Ab yang terbentuk ternyata dapat menyebabkan agglutinasi pada
eritrosit kera dan kira-kirea 85 % eritrosit donor manusia.
- Pada tahun yang sama (1940) Wiener dan Peters menemukan Ab tersebut dalam serum
individu tertentu yang mengalami reaksi transfuse setelah mendaapat transfuse darah donor
dengan
golongan darah yang cocok (system ABO compatible).
- Dilaporkan bahwa A ini tidak dapat dibedakan dengan Ab yang ditemukan oleh Levine dan
Stetson.
- 1941 Levine dan kawan-kawan menunjkkan bahwa erythroblastosis fetalis (HDN) adalah
sebagai akibat dari ketidak cocokkan golongan Rh antara ibu dengan anak.
- Wiener : menggambarkan adanya alel multiple (jumlah tak terbatas) menempati kompleks
lokus tunggal. 8 alel utama disebut : Ro, R1, R2, Rz,r,r, r, ry.
- Kedua teori gen ini dapat dibandingkan sebagai beikut :