Anda di halaman 1dari 20

Dengue Hemmoragic Fever

1.1 Definisi
Infeksi virus dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus

Flavivirus, family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-

4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue

terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan

kasus berat, diikuti serotipe DEN-2.

Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang

mengalami viremia, yakni dua hari sebelum panas hingga 5 hari setelah demam timbul. Virus

yang terdapat pada kelenjar liur kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10 haridan

selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk dan

berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus (infektif)

sepanjang hidupnya.2

1.2 Epidemiologi

Pada saat ini jumlah kasus masis tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000 penduduk,

namun angka kematian telah menurun bermakna <2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi

dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua.

1.3 Patogenesis dan Patofisiologi


Patogenesis DD/DBD belum diketahui dengan pasti. Namun, ada beberapa teori yang

diperkirakan berperan dalam munculnya tanda dan gejala pada penyakit ini. Terdapat 3 sistem

organ yang diperkirakan berperan penting dalam patogenesis DD/DBD, yaitu sistem imun, hati,

dan sel endotel pembuluh darah. Selain itu, respon imun pejamu yang diturunkan (faktor genetik)
juga berperan dalam manifestasi klinis yang ditimbulkan. Virus dengue diinjeksikan oleh

nyamun Aedes ke aliran darah. Virus ini secara tidak langsung juga mengenai sel epidermis dan

dermis sehingga menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel-sel yang terinfeksi

ini bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag dan monosit kemudian direkrut dan menjadi

target infeksi berikutnya. Selanjutnya, terjadi amplifikasi infeksi dan virus tersebar melalui darah

(viremia primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag jaringan berupa organ seperti limpa,

sel hati, sel stromal, sel endotel, dan sumsum tulang. Infeksi makrofag, hepatosit, dan sel endotel

mempengaruhi hemostasis dan respon imun pejamu terhadap virus dengue.

Sel-sel yang terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan hanya sedikit yang melalui

nekrosis. Nekrosis mengakibatkan pelepasan produk toksik yang mengaktivasi sistem fibrinolitik

dan koagulasi. Bergantung kepada luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6, IL-8, IL-

10, dan IL-18, hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunan trombogenisitas darah.

Produk toksik juga menyebabkan peningkatan koagulasi dan konsumsi trombosit sehingga

terjadi trombositopenia. Trombositopenia juga terjadi akibat supresi sumsum tulang, destruksi

dan pemendekan masa hidup trombosit akibat pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody,

dan sekuestrasi di perifer.

Trombosit mempunyai interaksi yang dekat dengan sel endotel. Sejumlah trombosit

fungsional diperlukan untuk mempertahankan stabilitas vaskular. Gangguan fungsi trombosit

menjadi mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin, dan PF4

(trombosit factor 4). Koagulopati terjadi karena interaksi virus dengan endotel yang memicu

disfungsi endotel. Namun sel endotel memiliki tropisme tersendiri terhadap virus dengue

bersamaan dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, serta disfungsi trombosit,
keempat faktor ini menyebabkan peningkatan kerapuhan kapiler yang bermanifestasi sebagai

petekie, memar, dan perdarahan mukosa saluran cerna.

Infeksi sekunder oleh serotype yang berbeda memicu peningkatan aktivitas antibodi

spesifik terhadap infeksi pertama. Antibody ini memediasi serotype virus dengue lain untuk

berikatan dengan reseptor Fc-gamma pada makrofag sehingga saat virus berada dalam makrofag

tidak dapat dicerna dengan baik. Akibatnya, virus semakin bereplikasi dan infeksi berlanjut.

Infeksi makrofag dalam ini mengkativasi sel Th dan Tc untuk memproduksi limfokin dan

interferon gamma. Interferon gamma kemudian mengaktivasi monosit sehingga mediator

inflamasi tersekresi seperti TNF-, IL-1, PAF, IL-6, dan histamine. Akibatnya terjadi disfungsi

sel endotel dan kebocoran plasma yang diperberat dengan peningkatan C3a dan C5a oleh

aktivitas kompleks virus-antibodi.


1.4 Perjalanan Penyakit

Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan recovery

(penyembuhan) (gambar-1).

Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.

a. Fase Febris

Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh sangat

tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas. Fase ini biasanya akan

bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh,

mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri

tenggorokan atau mata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan

penyakit lainnya secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini

meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan
parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena itu,

memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat penting untuk

mengenali progresi ke arah fase kritis. Warning signs meliputi:

Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan mukosa,

pembesaran hati >2 cm


Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.

Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (hidung

dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam, namun dapat juga

dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia

subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih

jarang. Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan adanya

peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai

hasil positif.2

Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam. Pembesaran hati

pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat

diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus.

Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang

dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue.

b. Fase Kritis

Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai cenderung

turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus diwaspadai sebagai awal

kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah 37,5-38 oC yang biasanya terjadi pada

hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus
dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis

biasanya terjadi selama 24-48 jam.

Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat merupakan tanda

kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi. Temuan efusi pleura dan asites

secara klinis bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan. Derajat

peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.

Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat kebocoran

plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit

teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien

menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan,

organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami

gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskula

diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat

menurun pada keadaan syok hebat.

Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat dikatakan menderita

dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang menjadi fase kritis kebocoran

plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium

untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.

c. Fase Penyembuhan (Recovery)

Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi gradual cairan

ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien membaik, nafsu makan

kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan diuresis normal.
Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya

dan pruritus generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan

pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang disebabkan

reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera setelah demam turun, namun

trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena

bila berlebihan akan menimbulkan edema paru atau gagal jantung kongestif.

1.5 Diagnosis

Anamnesis :


Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari.

Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah.

Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut.

Diare kadang-kadang dapat ditemukan.

Perdarahan paling sering ditemukan adalah perdarahan kulit dan mimisan.
Pemeriksaan fisik

Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala,

nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dan faring hiperemis, nyeri bawah lengkung iga

kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD.


Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas

kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia dan syok.


Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan

rongga peritoneal selama 24-48 jam.


Perdarahan dapat berupa ptekie, epistaksis, melena ataupun hematuria.

Tanda-tanda syok:

Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.


Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba.
Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10mmHg
Akral dingin, capillary refill menurun.
Diuresis menurun sampai anuria.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniquet.


Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin

dan lembab, tampak gelisah.


Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht),

jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai

gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).

Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada

akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel

limfosit secara relatif meningkat

Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l. Pada umumnya trombosit terjadi

sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit

<100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang

sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.

Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu

dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Nilai hematokrit juga

dipengaruhi oleh penggantian cairan dan perdarahan.


Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan

koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).

Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

Pemeriksaan Radiologi

Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi

pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan

dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan

pemeriksaan USG.1

Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan

isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang

dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan

tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif

mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan

mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.

Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima setelah onset

penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan cepat

dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3

bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG

lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan

seumur hidup. Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak
dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi

predominan pada infeksi sekunder.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus

dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat

terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer

dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO

menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.

1.6 Penatalaksanaan:

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi

suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang

dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam

penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika

asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui

intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Seorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila: (5)

a. Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien

dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24

jam
b. berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam) atau bila

keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.

c. Hb, Ht, normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

d. Hb, Ht, dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

DBD tanpa syok (derajat I dan II)

Medikamentosa

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin atau

ibuprofen.
Kortikosteroid diberikan pada DBD Ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran

cerna kortikosteroid tidak diberikan.


Antibiotik juga diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan

perdarahan.

Cairan intravena diperlukan apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam

tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit cenderung

meningkat pada pemeriksaan berkala.

Kebutuhan cairan parenteral


BB < 15 kg 7 ml/kgBB/jam
BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam

BB > 40kg 3 ml/kgbb/jam

Pantau tanda vital dan diureis setiap jam, serta periksa laboratorium (Ht, trombosit,

leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam.


Apabila terjadi penurunan ht dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan secara bertahap

sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24-48 jam

sejak kebocoran pmbuluh kapiler.

DBD disertai syok (derajat III dan IV, DSS)

Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-20 ml/kgbb

secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi tetap berikan

ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan

diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, 3ml, apabila tanda vial dan diuresis

baik.
Jumlah urin 1 ml/kkgbb/jam mengindikasikan sirkulasi baik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam pasca syok.
Oksigen 2-4 liter
Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit
Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan

terjadi perdarahan tersembunyi; berikan transfusi darah, jika terjadi perdarahan berta

segera beri darah. Bila tidak mungkin beri koloid dan rujuk.

Faktor resiko terjadinya komplikasi:

Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atau tanpa syok.
Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
Edema paru, akibat overloading cairan.

Tanda awal kelebihan cairan:

Napas cepat
Tarikan dinding dada ke dalam
Efusi pleura yang luas
Ascites
Edema peri-orbital atau jaringan lunak

Tanda tanda lanjut kelebihan cairna yang berat:

Edema paru
Sianosis
Syok irreversibel

Tatalaksana penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan apakah klinis masih

menuunjukkan syok atua tidak:

Anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat sulit

untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi, rujuk segera.
Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan

mengalami efusi yang luas, berikan furosemid oral atau intravena 1mg/kgbb/ dosis sekali

atau dua kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen.


Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentiakn pemberian cairan intravena dan jaga anak

agar tetap istirahat di tempat tidur selama 24-48 jam. Kelebihan cairan akan diserap

kembali dan hilang melalui diuresis.


Indikasi Pulang Pasien DBD
Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan status klinis (keadaan umum baik, nafsu makan makan membaik,
status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak ada gangguan pernapasan)
o Peningkatan jumlah trombosit > 50.000/ml
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena
Daftar pustaka

1. WHO. Infeksi Virus Dengue. Page: 162-166. Pelayana Kesehatan Anak WHO. 2009.
2. Handbook for Clinical Management of Dengue, WHO 2012.
3. Pedoman pelayanan medis IDAI. 2009.
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo,
A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9

Anda mungkin juga menyukai