PENDAHULUAN
1
antibiotik. Terapi yang didasarkan atas pemeriksaan mikrobiologik tersebut merupakan terapi
definitif. Namun, dalam keadaan sehari-hari pemeriksaan mikrobiologik tersebut seringkali
tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya fasilitas, atau tidak mungkin ditunggu hasilnya
sehingga antibiotika harus segera diberikan. Dalam keadaan ini dapat digunakan prinsip
educated guess dengan mempertimbangkan organ atau sistem yang terkena infeksi dan
kuman penyebab tersering, sehingga dapat diputuskan antibiotika yang paling sesuai.5
Terdapat beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu diketahui sebelum
memilih dan menggunakan antibiotika agar antibiotika dapat digunakan secara rasional,
antara lain sifat aktifitasnya, spektrum, mekanisme kerja, pola resistensi, dan efek samping
obat.3 Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai sifat-
sifat antibiotik dan penggunaannya, agar para pembaca mendapatkan wawasan lebih dan
dapat mengaplikasikan penggunakan antibiotika secara rasional.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
Perkembangan antibiotika merupakan salah satu hal yang penting dalam perkembangan
terapeutika, baik sebagai pencegahan dan terapi agen infeksi maupun komplikasinya. Dalam
pemilihan jenis antibiotika perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti; penemuan klinis,
spesimen klinis sebagai diagnosis mikrobiologis, serta etiologi.
Pemberian antibiotika initial biasanya bersifat empiris; yaitu sebelum ditemukannya
agen infeksi. Alasan pemberian empiris karena infeksi bersifat akut dan dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas apabila pemberian antibiotika terlambat. Pemberian terapi empiris
didasarkan atas pengalaman klinis yang mempertimbangkan lokasi anatomis infeksi,
kemungkinan terbesar patogen penyebab, dan spektrum antibiotika. Diharapkan intervensi
yang dini dapat meningkatkan prognosis kesembuhan pasien.
Apabila etiologi telah ditemukan maka dapat dipertimbangkan apakah dapat diberikan
agen dengan spektrum sempit sebagai terapi empiris atau pengkombinasian
antibiotika,dengan dosis yang optimal dan cara pemberian yang sesuai.
Dengan demikian terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
antibiotik. Ketiga faktor tersebut adalah:
Faktor pejamu (pasien)
Mencakup status imunitas, lokasi infeksi, penyakit penyerta, efek obat sebelumnya,
gangguan eliminasi obat, usia, dan status kehamilan.
Faktor agen (mikrobiologis)
Perlu dipertimbangkan kesensitifitasan bakteri terhadap jenis antibiotika tertentu.
Faktor farmakologis
Mempertimbangkan faktor farmakodinamik (interaksi obat dengan mikroorganisme) dan
farmakokinetik untuk efisiensi dan pencegahan resistensi.
3
darah menuju jaringan untuk melawan patogen sehingga terjadi leukositosis. Selama
infeksi, neutrofil imatur (mis. neutrofil batang) juga ikut dikeluarkan dari sumsum tulang ke
aliran darah untuk membantu melawan infeksi, sehingga dikenal sebagai bandemia atau
hitung jenis yang bergeser ke kiri (left shift). Terkadang pada infeksi usia lanjut, jumlah sel
darah putih menunjukkan nilai normal, namun hitung jenis bergeser ke kiri. Oleh karena itu,
hitung jenis sel darah putih penting pada infeksi.2
Limfosit turut berperan dalam melawan infeksi. Berdasarkan fungsinya, limfosit
terbagi menjadi dua. Limfosit T yang berperan dalam imunitas seluler dan limfosit B yang
berperan dalam imunitas humoral. Limfositosis biasanya terjadi pada infeksi virus akut,
seperti Epstein Barr Virus dan sitomogelovirus, serta pada beberapa bakteri tertentu (mis.
Brucellia sp.). Monositosis berhubungan dengan infeksi bakteri akut, walaupun
keberadaanya terkait dengan respon terhadap jenis infeksi tertentu (mis. tuberkulosis) dan
kemoterapi. Eosinifilia didapatkan pada infeksi parasit.1
Proses infeksi dapat disebabkan karena faktor endogen dan faktor eksogen. Infeksi
endogen dikarenakan peningkatan flora normal tubuh atau gangguan terhadap mekanisme
pertahanan tubuh (Tabel 2). Infeksi eksogen dapat terjadi melalui transmisi antar manusia,
lingkungan, dan kontak dengan hewan. Infeksi mengacu pada adanya bakteri yang
menyebabkan penyakit, sedangkan kolonisasi mengacu pada bakteri yang merupakan flora
normal tubuh. Terapi antibiotika ditujukan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan
penyakit, sedangkan kolonisasi flora normal dibiarkan intak. Hal ini penting karena
antibiotika yang ditujukan untuk flora normal dapat menimbulkan resistensi bakteri.2
4
Tabel 1. Sel Darah Putih dan Fungsinya1,2
Tipe Nilai Normal Fungsi Abnormalitas
(%)
Neutrofil Segmen Fagosit (melawan bakteri Leukositosis
40-60 dan jamur) - Infeksi bakteri
- Infeksi jamur
Batang - Stres fisik
3-5 - Cedera jaringan (misal: infark miokard)
- Obat-obatan (misal kortikosteroid)
Leukopenia
- Long standing infection
- Kanker
- Obat-obatan (misal kortikosteroid)
Limfosit 20-40 Sel T (cell mediated Limfositosis
immunity) - Infeksi virus (misal mononukleosis)
- produksi antibodi - Tuberkulosis
- antigen presenting cell - Infeksi jamur
Sel B (humoral antibody Limfopenia
response) - HIV
- imunitas seluler melawan
virus & tumor
- regulasi sistem imun
Monosit 2-8 Fagosit, prekursor Monositosis
makrofag - Tuberkulosis
- Infeksi protozoa
- Leukemia
Eosinofil 1-4 Reaksi antigen antibodi Eosinofil
Respon alergi - Reaksi hipersensitifitas, termasuk obat-
(perlawanan terhadap obatan
parasit) - Infeksi parasit
Basofil <1 Respon alergi Reaksi hipersensitifitas
5
mengalami infeksi, bila dikombinasikan dengan temuan klinis, pemeriksaan penunjang akan
membantu menegakan diagnosis infeksi.1
6
Gambaran klinis demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap toksin bakteri,
namun demam tidak selalu dikarenakan infeksi bakteri. Demam dapat pula disebabkan
infeksi lain (virus atau jamur), obat-obatan (mis. penisilin, sefalosporin, salisilat, dan
fenitoin), trauma, atau kondisi medik (mis. penyakit autoimun, keganasan, emboli
pulmoner, dan hipertiroid). Di sisi lain, beberapa pasien dengan infeksi dapat mengalami
hipotermia (mis. pada pasien dengan infeksi berat). Pasien usia lanjut dapat mengalami
afebris, seperti pasien yang mengalami infeksi lokal (mis. infeksi saluran kemih).
Sebaliknya, pada pasien lain, demam dapat menjadi satu-satunya gejala infeksi. Misalnya,
pasien neutropenia tidak mempunyai kemampuan respon imunitas yang normal terhadap
infeksi, sehingga walaupun ditemukan infiltrat pada rontgen dada, pyuria pada urinalisis,
dan eritema atau indurasi disekeliling kateter, kelainan yang dialami hanya demam.2
Diagnosis infeksi dapat dibantu melalui pemeriksaan penunjang, seperti foto rontgen
untuk membantu mengidentifikasi lokasi anatomis infeksi, misalnya pada pneumonia.
Pencitraan lain juga dapat dilakukan seperti CT-scan dan MRI untuk menunjang diagnosis.
Selain pencitraan, pemeriksaan laboratorium juga diperlukan, seperti jumlah sel darah putih,
hitung jenis sel darah putih, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP).
Jumlah sel darah putih umumnya meningkat sebagai respon pada infeksi, namun pada
infeksi berat atau infeksi yang berlangsung lama, dapat terjadi hal sebaliknya. 2 Selain
karena infeksi bakteri, jumlah sel darah putih dapat meningkat pula karena beberapa hal
lain, seperti stress, inflamasi (reumatoid artritis dan leukemia), dan respon terhadap
beberapa obat (mis. kortikosteroid). Pada keadaan infeksi akut, LED dan CRP meningkat
sebagai respon inflamasi. Namun, perlu diingat bahwa LED dan CRP merupakan penanda
inflamasi nonspesifik, sehingga sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar diagnosis infeksi
karena dapat meningkat pada inflamasi non-infeksi, seperti polymialgia rheumatic,
reumatoid artritis, dan artritis temporal. Namun LED dan CRP dapat digunakan dalam
memantau respon terapi pasien osteomielitis dan infektif endokarditis.1
7
Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih dari
satu jenis antibiotika. Sebaliknya, suatu keadaan yang tidak gawat dan baru mulai serta
tidak jelas etiologinya, tidak memerlukan antibiotika kecuali dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi adalah suatu infeksi bakteri.3
Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel dan lebih peka terhadap
pemberian obat. Distribusi dan konsentrasi obat dapat berbeda dikarenakan adanya
penurunan konsentrasi albumin darah dan fungsi ginjal.3
Antibiotika yang nefrotoksik seperti amfoterisin B tidak boleh diberikan pada
insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosida potensial nefrotoksik dan bila terjadi akumulasi
dapat juga bersifat neurotoksik. Beberapa antibiotik seperti bensilpenisilin dan gentamisin
eksresinya hanya melalui ginjal, sedangkan yang lainnya masih memiliki mekanisme
eksresi alternatif atau mengalami metabolisme dalam tubuh. Pada anuria, beberapa
antibiotika dapat diberikan tanpa mengurangi dosis, antara lain kloramfenikol, eritromisin,
rifampisin, dan kelompok penisilin (kecuali tikarsilin).3
Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat. Antibiotika yang tidak dapat
didetoksifikasi karena terdapat gangguan faal hati akan memberikan efek samping yang
serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida, dan norfloksasin dikonjugasi dengan
asam glukuronida dalam hati untuk selanjutnya dieksresikan melalui urine. Antibiotika
tersebut merupakan kontra indikasi pada penyakit hati yang berat, terutama bila terdapat
gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika yang dieksresikan melalui hepar ke
dalam saluran cerna seperti siprofloksasin, sefoperason, seftriakson, dan eritromisin harus
digunakan secara hati-hati pada pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin
sebanyak 2-4 gram/hari dapat menyebabkan distrofi hepar. Obat-obatan tuberkulostatika
oral seperti rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid dapat juga menyebabkan gangguan fungsi
hati.3
Bila terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obatan antibiotika yang
cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin, sefoperason,
aztreonam, dan imipenem perlu dihindari. Pada keadaan granulositopenia, daya tahan tubuh
sangat menurun sehingga perjalanan penyakit selanjutnya didominasi oleh infeksi berat
kulit, selaput lendir, dan organ-organ tubuh. Daya tahan terhadap infeksi semakin menurun
pada penggunaan kelompok sitostatik untuk keganasan. Setelah pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan mikrobiologi, kombinasi antibiotika tertentu perlu diberikan segera
menurut protokol tertentu.3
8
Dalam trimester pertama kehamilan, semua antibiotika memiliki efek toksik, seperti
kloramfenikol, kotrimoksasol, rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol, serta obat
anti jamur, seperti amfoterisin B, flusitosin, dan griseofulfin. Dalam trimester kedua dan
ketiga, antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida perlu dihindari, kecuali pada
keadaaan dimana jiwa pasien terancam. Dalam minggu terahkir kehamilan, sulfonamid,
kotrimoksasol, dan nitrofurantoin merupakan kontra indikasi. Pada umumnya, penisilin,
sefalosporin, dan eritormisin aman diberikan bila tidak terdapat alergi. Pada masa laktasi,
obat seperti metronidazol dan tetrasiklin sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan
efek samping pada bayi.3
Dalam pemilihan obat, selain segi keadaan pasien perlu diperhatikan cara
pemberiannya. Absorbsi antibiotika dipengaruhi aliran darah traktus digestivus, oleh karena
itu pasien yang mengalami infeksi sistemik dengan tanda hipoperfusi dan hipotensi
sebaiknya mendapatkan antibiotik intravena. Pada kebanyakan pasien yang tidak memiliki
gangguan fungsi traktus digestivus dan tidak mengalami hipotensi, antibiotik dengan
bioavabilitas tinggi seperti florokuinolon, flukonazol, dan linezolid dapat diberikan secara
oral. Pada antibiotik dengan bioavabilitas sedang seperti golongan -laktam, pemberian per
oral bergantung pada keparahan penyakit dan lokasi anatomis infeksi. Bila infeksi yang
terjadi menyebar di serluruh tubuh, diperlukan konsentrasi sistemik yang tinggi (mis.
meningitis), atau bioavabilitas antibiotik rendah, pemberian antibiotik sebaiknya melalui
intravena.2
9
Ketika agen kausatif dari infeksi klinis telah diketahui, obat pilihan bisa selalu dipilih
berdasarkan pengalaman klinis (Tabel 3). Pada beberapa kasus, tes laboratorium untuk
kepekaan terhadap antibiotika diperlukan untuk menentukan obat pilihan.
10
aminoglycoside
Basil Gram-positif
(aerob)
11
Bacillus species (non- Vancomycin Imipenem, quinolone,
anthracis) clindamycin
Listeria species Ampicillin ( aminoglycoside) TMP-SMZ
12
Borrelia burgdorferi
Early Doxycycline, amoxicillin Cefuroxime axetil,
penicillin
Late Ceftriaxone
Leptospira species Penicillin Tetracycline
Treponema species Penicillin Tetracycline,
azithromycin, ceftriaxone
2.2.2 Spesimen
Pengambilan spesimen yang benar merupakan langkah yang paling penting dalam
proses diagnosis infeksi karena hasil uji diagnostik pada penyakit-penyakit infeksius
bergantung pada pemilihan, waktu, dan metode pengampilan spesimen. Bakteri tumbuh dan
mati, peka terhadap zat kimia, dan dapat ditemukan pada lokasi yang berbeda pada tubuh,
dan cairan tubuh serta jaringan selama perjalanan penyakit infeksi. Karena isolasi agen
penyebab infeksi sangat penting dalam diagnosis, spesiemen harus didapatkan dari lokasi
yang memiliki kemungkinan terbesar mengandung agen penyebab infeksi sesuai perjalanan
penyakitnya pada waktu itu dan spesiemen harus diperlakukan dengan tujuan
memepertahankan kehidupan dan pertumbuhan dari agen tersebut.
13
Peraturan-peraturan umum terhadap semua spesimen:
Sampel harus representatif terhadap proses infeksi (seperti sputum, bukan saliva; pus dari
lesi; swab dari kedalaman luka, bukan dari permukaannya).
Kontaminasi spesimen harus dihindari dengan hanya menggunakan peralatan steril dan
kewaspadaan aseptik.
Spesimen harus segera dibawa ke laboratorium dan diperiksa secepat mungkin, media
transpor khusus mungkin diperlukan.
Spesimen bermakna untuk mendiagnosis infeksi bakterial harus aman sebelum terapi
antibiotika diberikan. Jika obat antibiotika diberikan sebelum pengambilan spesimen,
maka terapi pengobatan harus dihentikan dan spesimen harus diambil ulang beberapa
hari kemudian.
Jenis spesimen yang diambil tergantung pada gambaran klinis pasien. Jika tanda dan
gejala menunjukkan kearah sistem organ tertentu, maka spesimen diambil dari sumber
tersebut (Tabel 4). Jika tidak ada tanda-tanda fokus infeksi, kultur darah berulang dilakukan
terlebih dahulu. Spesimen dari lokasi lain diambil kemudian dengan mempertimbangkan
kemungkinan terbesar sistem organ yang terkena infeksi.
14
Meningitis LCS Neisseria meningitidis
Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Group B streptococci
Escherichia coli dan Enterobacteriaceae lain
Listeria monocytogenes
Abses otak Pus Infeksi campuran; anaerobik gram-positig dan
gram-negatif cocci dan rods, aerobik gram-
positif cocci
Abses perioral Pus Flora campuran mulut dan faring
Faringitis Swab Group A streptococci
C. diphtheriae
Batuk rejan Swab Bordetella pertussis
(pertusis)
Epiglotitis Swab H. influenzae
Pneumonia Sputum S. pneumoniae
S. aureus
Enterobacteriaceae dan gram-negatif rods lain
Aerob dan anaerob lain campuran
Empyema dada Pus Seperti pneumonia, atau flora campuran
Abses hati Pus E coli; Bacteroides fragilis; campuran flora
aerob dan anaerob
Kolesistitis Empedu Gram-negative aerob enterik, juga B. fragilis
15
Infeksi traktus Urin (clean-catch midstream E coli; Enterobacteriaceae; gam negatif lain
urinarius specimen atau dari kateterisasi
kandung kemih atau aspirasi
suprapubik)
Uretritis/ servisitis Swab Neisseria gonorrhoeae
Chlamydia trachomatis
Ulkus kelamin Swab Haemophilus ducreyi (chancroid)
Treponema pallidum (syphilis)
Pus diaspirasi dari limfe C. trachomatis (lymphogranuloma venereum)
tersupurasi
Pelvic inflammatory Swab serviks N. gonorrhoeae
disease C trachomatis
Aspirasidari cul-de-sac atau N. gonorrhoeae
dengan laparoskop C trachomatis
Flora campuran
Artitis Aspirasi sendi, darah S. aureus
N. gonorrhoeae
Lainnya
Osteomielitis Pus atau spesimen tulang dari Multipel; S aureus sering didapat
aspirasi atau operasi
16
pada obat yang tidak tergantung konsentrasi dapat meningkat efektifitasnya apabila
dosis di atas Minimal Inhibitory Concentration.
II. Farmakokinetik
Mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat di dalam tubuh.
a. Cara pemberian
Dapat secara oral dan parenteral. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pembuluh darah
saluran cerna. Apabila pasien datang dengan gejala infeksi sistemik seperti
hipoperfusi dan hipotensi sebaiknya diberikan pemberian parenteral. Keuntungan
pemberian obat oral adalah lebih ekonomis dan tidak invasif. Keuntungan
pemberian parenteral : pada pasien kritis, meningitis atau endokarditis, gangguan
absorpsi oral (muntah, nausea), dan jenis antibiotika yang diabsorpsi poor pada
pemberian oral.
b. Faktor yang dapat menganggu farmakokinetik obat dan toksisitas obat
Pada pasien dengan gangguan hepar dan renal yang akan menganggu eliminasi obat
dan dapat berakibat toksik bagi pasien. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh
reaksi imunologis dan sifat toksik obat.
c. Konsentrasi obat pada cairan tubuh
Mayoritas semua golongan antibiotika terdistribusi secara merata pada cairan dan
jaringan tubuh, kecuali pada selaput otak.
d. Dosis dan durasi antibiotika
Regimen dosis pada obat yang sama dapat berbeda pada penyakit yang berbeda,
seperti siprofloksasin pada infeksi traktus urinarius 2x 250 mg selama 3 hari namun
pada infeksi traktur urinarius yang berkomplikasi 2x500 mg selama 7-14 hari.
e. Harga
17
Gambar 1. Mekanisme Kerja Antibiotika
18
Dalam pemberian kombinasi antibiotika, perlu pemahaman mengenai antagonism dan
sinergisme obat. Sinergisme adalah penggunaan dua antibiotika yang bersamaan mempunyai
efek inhibitor yang lebih kuat dibandingkan penggunaan tunggal. Sinergisme dibuktikan
dengan penurunan empat kali atau lebih Minimal Inhibitory Concentration atau Minimal
Bactericidal Concentration. Hal ini dapat digunakan pada terapi endokarditis enterokokus
dengan kombinasi penisilin dengan gentamisin, trimetorfin sulfametoksasol pada pneumositis
jiroveci pneumonia. Mekanisme terjadi sinergisme adalah; blok sekuensial metabolik (contoh
jalur asam folat pada trimetorfin sulfametoksasol); inhibisi inaktivasi enzimatik (contoh beta
laktamase dengan inhibitor beta laktam); peningkatan uptake antibiotika, contoh penisilin
dapat meningkatkan uptake aminoglikosida untuk enterokokus.
Antagonisme terjadi apabila kombinasi obat mempunyai efek yang lebih rendah. Efek
antagonisme jarang terjadi pada praktek klinis, kasus yang dilaporkan pada pasien dengan
Anamnesis : riwayat penyakit sekarang, komorbiditas, alergi, medikasi, faktor risiko
meningitis pneumokokus yang diterapi dengan penisilin dan klortetrasiklin. Mekanisme yang
terjadi melalui;
- Inhibisi aktivitas sidal dengan agen statik; agen bakteriostatik seperti tetrasiklin dan
kloramfenikol dapat mengantagonis agen bakterisidal yang menghambat dinidng sel
Gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis infeksi
dikarenakan dibutuhkan dinding sel yang aktif untuk dihambat.
- Induksi inaktivasi enzimatik; contoh kombinasi antibiotika beta laktam yang merupakan
agen penginduksi produksi beta laktamase dan dikombinasikan dengan piperasilin.
Tidak Ya
Drug specific :
Spektrum
Bagan 1. Alurpasien
Pemilihan Terapisakit
Antibiotika Dosis
Apakah tampak berat
Farmakokinetik dan farmakodinamik
Efek samping
Kombinasi
Patient specific :
Terapi empiris spektrum luas
Lokasi infeksi
Penyakit penyerta
Resistensi obat
19
Pemilihan dan penggunaan antibiotika ditentukan oleh berbagai faktor seperti keadaan
klinis pasien, parameter mikrobiologis, dan parameter farmakologis. Dibutuhkan pendekatan
yang sistematis dalam pemilihan antibiotika yaitu; pembuktian terjadinya infeksi dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik; identifikasi patogen dengan pengumpulan material,
pewarnaan, kultur, dan pemeriksaan serologis; pemilihan terapi empiris berdasarkan faktor
pejamu dan obat; serta onitor respons terapeutik dengan evaluasi klinis dan laboratorium.
20
Terdapat berbagai macam golongan antibiotika dengan berbagai indikasi dan
spektrum antibakterinya. Golongan antibiotika yang menghambat proses pembentukan
peptidoglikan, yang merupakan salah satu komponen dinding sel bakteri adalah beta laktam
(penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem, monobaktam) dan glikopeptida
(vankomisin,teikoplanin). Spektrum bakteri pada beta laktam bervariasi dari bakteri gram
positif sampai bakteir gram negatif sesuai kategori kelas obat sedangkan peptidoglikan untuk
infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten atau pada pasien yang
mempunyai alergi terhadap beta laktam. Aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol,
makrolid, linkosamid, streptogramin, oksazolidinon, dan asam fusidik bekerja dengan
menghambat proses translasi mRNA tetapi pada proses yang berbeda. Aminoglikosida
(gentamisin, tobramisin, kanamisin, amikasin, netilmisin,neomisin, streptomsin) bersifat
bakterisidal dan efektif terhadap bakteri gram negatif. Tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat
bakteriostatik dan spektrum luas. Makrolid (eritromisin) efektif terhadap bakteri gram positif
dan pasien uang alergi terhadap penislin. Linkosamid (klindamisin) efektif terhadapa bakteri
anaerob baik gram positif maupun gram negatif. Kuinolon mempunyai empat generasi
berdasarkan spektrum antibakterialnya terhadap bakteri gram negatif, gram positing,
pseudomonas, dan anaerob serta rifampisin bekerja sebagai inhibitor sintesis asam nukleat.
Sulfonamid, trimetropin dan kotrimoksasol efektif terhadap bakteri gram.negatif yang bekerja
dengan cara menghambat enzim-enzim yang dapat menjadi bahan dasar pembuatan asam
nukleat. Polimiksin yang bekerja pada membrane sitoplasma bakteri gram negatif.
Dengan pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian, dan penghentian obat yang benar
serta aman pada pemakaian dan terjangkaunya harga pada pasien dapat menjadi dasar
penggunaan antibiotika yang rasional dapat meminimalisasikan angka kejadian resistensi
antibiotika.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.
21