Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,

terutama fungi, yang dapat menghambat/membasmi mikroba lain (jasad

renik/bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia yaitu mikroba

penyebab infeksi pada manusia (Munaf S, 1994).

Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau non

bakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam

melawan berbagai jenis bakteri. Keberhasilan penemuan penisilin, telah membuka

lembaran baru dimulainya penemuan bermacam-macam antibiotik yang baru dan

lebih baru lagi antara lain gentamicin. Hal inilah yang menimbulkan kepercayaan

dan harapan yang besar terhadap antibiotik untuk selalu berhasil dalam

membunuh kuman dan menyembuhkan penyakit infeksi (Munaf S, 1994).

Rumah sakit merupakan tempat penggunaan antibiotik paling banyak

ditemukan. Di negara yang sudah maju 13 37 % dari seluruh penderita yang

dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal ataupun

kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30 80 % penderita yang dirawat di

rumah sakit mendapatkan antibiotik (Munaf S, 1994).

Penggunaan antibiotik tentu diharapkan mempunyai dampak positif, akan

tetapi penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak


2

negatif. Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional antara

lain muncul dan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik,

munculnya penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten, terjadinya toksisitas/efek

samping obat, sehingga perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya

pengobatan menjadi lebih mahal, dan akhirnya menurunnya kualitas pelayanan

kesehatan, Antibiotik merupakan kelompok obat yang digunakan untuk

mengurangi infeksi. Penggunaan antibiotik secara luas tanpa dosis regimen yang

benar akan menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotika atau bahkan

terjadi superinfeksi, meningkatnya toksisitas dan efek samping obat, menurunnya

efektivitas dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, hal ini tentu merugikan

penderita khususnya dan masyarakat pada umumnya (Katzung, 2006).

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada

saluran kemih (mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal, Ureter,

kandung kemih, dan uretra). Infeksi saluran kemih di Indonesia insiden dan

prevalensinya masih cukup tinggi. Keadaan ini tidak terlepas dari tingkat dan taraf

kesehatan masyarakat Indonesia yang masih jauh dari standart dan tidak

meratanya tingkat kehidupan sosial ekonomi, yang mau tidak mau berdampak

langsung pada kasus infeksi saluran kemih diIndonesia (Munaf S, 1994).

Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan penyakit yang sering dijumpai di

masyarakat, menyerang anak-anak maupun dewasa dan merupakan masalah

kesehatan yang serius. Pada umumnya ISK lebih banyak dijumpai pada wanita

dibanding pada pria kemungkinan karena uretra wanita lebih pendek sehingga
3

mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih dan juga

letaknya dekat dengan daerah perianal dan vagina. Pada usia dewasa kasus ISK ini

lebih sering timbul pada wanita dewasa muda (usia subur), salah satu

kemungkinan adalah karena proses dari kehamilan (obsetri history). Tetapi pada

usia tua, insidens ISK cenderung meningkat pada orang laki-laki,

kemungkinannya adalah akibat penggunaan instrumen, misal: urethral catheter.

Insiden terjadinya ISK di setiap negara mempunyai data stastistik yang berbeda,

hal ini dipengaruhi oleh taraf kesehatan dan pelayanan medis di Negara tersebut

(Munaf S, 1994).

Sasaran terapi pada Infeksi Saluran Kemih adalah mikroorganisme

penyebab infeksi. Oleh karena itu, pengobatan ISK sebagian besar menggunakan

antibiotik. Pemilihan antibiotik untuk pengobatan didasarkan pada tingkat

keparahan, tempat terjadinya infeksi dan jenis mikroorganisme yang menginfeksi

(Munaf S, 1994).

Dan yang termasuk antibiotik diantaranya adalah gentamicin. Gentamisin

adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang mempunyai potensi tinggi dan

berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negative dengan sifat

bakterisid. Gentamicin mempunyai rentang terapi sempit, yang bersifat

nefrotoksik dan ototoksik serta mempunyai variabelitas farmakokinetik

interindividu cukup lebar, maka pemantauan kadar obat dalam darah pada

penderita dengan gangguan fungsi ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan

dan efikasi terapi tercapai. Hal ini juga penting karena profil dosis dan kadar
4

gentamicin dalam darah sukar diprediksi, terutama kadar puncak obat dan waktu

paruh eliminasi (Neal, 2006).

Gentamisina merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida yang

efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yang

sensitif antara lain Proteus, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Serratia,

E.Coli, Enterobacter dan lain-lain. Bakteri ini antara lain menyebabkan

bakteremia, meningitis, osteomielitis, pneumonia, infeksi luka bakar, infeksi

saluran kemih, dan tularemia, dalam keadaan tertentu gentamisin digunakan pula

terhadap gonore dan infeksi S. aureus. Sedapat mungkin gentamisin sistemik

hanya diterapkan pada infeksi berat saja. Penggunaan gentamisin secara topical

khususnya dalam lingkungan rumah sakit perlu dibatasi untuk menghambat

perkembangan resistensi pada bakteri sensitif (Neal, 2006).

Efektivitas optimal gentamicin diperoleh apabila kadar puncak dalm serup

(peak serum levels) berada dalam rentang 5-10 g/ml. kadar puncak yang tinggi

secara terus menerus (lebih besar atau sama 10 g/ml) menyebabkan

nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Neal, 2006).

B. Tujuan

Penulis mengharap dengan membaca makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan pemahaman serta bisa menjadi referensi bagi teman-teman

mahasiswa mengenai obat gentamicin.


5

C. Rumusan Masalah
1. Apakah obat gentamicin digunakan untuk semua penyakit.

D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan dalam berbagai bidang kedokteran.
2. Member informasi ilmiah kepada masyarakat tentang gentamicin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Antibiotik
6

Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh

suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat/membasmi mikroba lain

(jasad renik / bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia (penyebab

infeksi pada manusia). Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami

maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses

biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri

(Munaf S, 1994).

Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit

infeksi. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu

mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik tidak

efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap

antibiotik sangat beragam ke efektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri.

Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula

yang spektrumnya lebih luas. Ke efektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi

dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotika oral (yang

dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus)

digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan

setempat, seperti tetes mata dan salep (Munaf S, 1994).

Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerja senyawa

tersebut. Ada lima kelompok antibiotika berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan

Penisilin, Sefalosporin, Basitrasin,Vankomisin, Sikloserin.


2. Antibiotik yang menghambat/mengganggu fungsi selaput/membran sel bakteri,

mencakup Polimiksin.
7

3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel bakteri, mencakup banyak jenis

antibiotik, terutama dari golongan Makrolid, Aminoglikosid, Tetrasiklin,

Kloramfenikol, Linkomisin.
4. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri, mencakup

golongan Quinolone, Rifampisin.


5. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel bakteri, mencakup golongan

Sulfonamide, Trimetoprim, Asam p-Amino Salisilat (PAS), Sulfon (Munaf S,

1994).

Kuman dapat menjadi resisten/kebal terhadap antibiotik melalui

mekanisme-mekanisme tertentu. Sementara itu terdapat faktor-faktor yang

memudahkan berkembangnya resistensi di klinik antara lain Karena penggunaan

antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional, penggunaan

antibiotik baru yang berlebihan, penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama,

penggunaan antibiotik untuk ternak, dan beberapa faktor lain seperti kemudahan

transportasi modern, perilaku seksual, sanitasi buruk, dan kondisi perumahan yang

tidak memenuhi syarat (Munaf S, 1994).

B. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan

yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu

pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa criteria tertentu. Kriteria

pemakaian obat secara rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita,

tepat dosis dan cara pemakaian, serta waspada efek samping (Munaf S, 1994). .

1. Tepat indikasi
8

Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa

intervensi dengan obat (antibiotik) memang diperlukan dan telah diketahui

memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidak rasionalan

pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan

kemanfaatannya tidak jelas. Pertanyaan yang harus dijawab dalam kriteria

indikasi ini adalah "Apakah obat (antibiotik) diperlukan. Kalau ya, efek klinik apa

yang paling berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan

evaluasi terhadap hasil terapi (Munaf S, 1994).

2. Tepat obat

Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni :

a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.


b. Obat (antibiotik) memiliki efektifitas yang telah terbukti.
c. Jenis antibiotik sesuai dengan sensitivitas dari dugaan kuman penyebab

berdasarkan terapi empirik (educated guess) atau sesuai dengan hasil uji

sensitifitas terhadap kuman penyebab jika uji sensitifitas dilakukan.


d. Derajat penyakit pasien pasien dengan penyakit berat butuh obat yang bisa cepat

mencapai kadar obat dalam plasma dancepat mengeradikasi kuman penyebab

infeksi sehingga cepat meredakan penderitaan pasien.


e. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan

manfaat yang akan diperoleh. Risiko pengobatan mencakup toksisitas obat, efek

samping, dan interaksi dengan obat lain.


f. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan

keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).


g. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
h. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
i. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat (Munaf S, 1994).
9

Banyak ketidak rasionalan terjadi oleh karena pemilihan obat-obat dengan

manfaat dan keamanan yang tidak jelas atau pemilihan obat obat yang mahal

padahal alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia (Munaf S,

1994).

1. Tepat penderita

Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada

kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian

dosis secara individual.

2. Tepat cara pemakaian dan dosis obat


C. Cara Pemberian Obat

Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni:

cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke

pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman

serta efektif untuk pasien. Apakah pasien benar-benar memerlukan suntikan Oleh

karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi umumnya tidak ada

indikasi secara jelas, dan sering tidak memberikan kelebihan manfaat

dibandingkan alternatif pemberian lain. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah

kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu (Munaf S,

1994).

a. besar dosis : tergantung usia, fungsi organ hepar, ginjal, jantung, jenis infeksi dan

penetrasi obat ke tempat infeksi.


b. frekuensi/interval pemberian : tergantung waktu paruh obat, kadar obat dalam

plasma (KOP).
c. cara/rute pemberian : tergantung derajat berat gejala klinik penyakit berat butuh

waktu cepat untuk mencapai kadar obatdalam plasma sehingga cepat meredakan
10

penderitaan pasien; tergantung kemampuan pasien meminum obat lewat mulut

(kesadaran pasien, keadaan fisik pasien, kemampuan absorpsisaluran cerna).


d. lama pemberian : tergantung pada respon/perbaikan gejalaklinik, mikrobiologik,

ataupun radiologik.
3. Waspada efek samping obat (Munaf S, 1994).

Waspada terhadap efek samping obat mencakup penilaian apakah

adakeadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obatpada

penderita. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu,agaimana menentukan dan

menanganinya (Munaf S, 1994).

D. Tinjauan Umum Antibiotik Golongan Aminoglikosida


a. Sifat fisika dan kimia

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 gugus amino atau

lebih yang terikat melalui ikatan glikosidik pada inti heksosa. Bersifat larut air,

stabil dalam larutan, dan lebih aktif pada pH alkali dibandingkan pH asam.

Aminoglikosida memperlihatkan efek sinergis dengan beta laktam secara in vitro

(Katzung, 2006).

Sumber: Ganiswara (1995)

Gambar 11. Rumus Bangun Gentamisin

b. Farmakologi aminoglikosida
11

Aminoglikosida adalah antibiotika yang banyak digunakan untuk infeksi

gram negatif. Adapun yang termasuk golongan aminoglikosida adalah

streptomisin, tobramisin, netilmisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin,

dan paramomisin. Golongan aminoglikosida mempunyai sifat kimia, fisika,

farmakologi dan toksisitas yang sama, bersifat bakterisida dan secara cepat

menyebabkan efek yang mematikan bakteria. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas

sering terjadi dan merupakan efek samping yang merugikan. Aminoglikosida juga

bertindak memblok neuro-otot sehingga terjadi paralisis otot dan depresi

pernapasan . tetapi penggunaan aminoglikosida satu kali sehari pada pasien yang

disertai kegagalan fungsi ginjal akan mengurangi kemungkinan toksisitas (Begg,

1994).

Aminoglikosida merupakan antibiotika yang membunuh bakteri

tergantung kosentrasi (oncentration dependent-killing), mempunyai efek post

antibiotic yang panjang dan dapat menginduksi terjadinya resistensi yang bersifat

adaptif pada bakteri gram negatif (Begg, 1994). Semakin tinggi konsentrasi

aminoglikosida dalam serum maka semakin panjang efek pasca antibiotiknya

untuk mencapai aktifitas bakterisida (Rodman, 1994).

Mekanisme kerja aminoglikosida adalah dengan mengikat protein ribosom

sub unit 30 S pada bakteria. Penghambatan sintesis protein dilakukan dengan 3

cara yaitu: mengganggu kompleks awal pembentukan peptida, menginduksi salah

baca mRNA yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam

peptida sehingga menyebabkan terbentuknya protein toksik, menyebabkan


12

terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom nonfungsional yang

mengakibatkan kematian sel (Chambers, 2004).

c. Farmakokinetika aminoglikosida

Sifat farmakokinetika aminoglikosida dipengaruhi oleh besarnya

perubahan fisiologis yang terjadi selama infeksi. Perubahan farmakokinetika ini

mempunyai pengaruh yang besar terhadap respons farmakologi pada penderita,

yaitu resiko terjadinya kegagalan pengobatan atau toksisitas yang lebih besar

(Chambers, 2004).

1. Absorbs

Absorbsi aminoglikosida melalui saluran pencernaan adalah buruk, oleh

karena itu diberikan secara parenteral yaitu secara i.m atau i.v baik berupa bolus

injeksi, infuse intermittent selama 30 60 menit atau dengan infuse i.v continuous

. Setelah suntikan intramuskuler, aminoglikosida diabsorbsi dengan baik dan

mencapai konsentrasi puncak dalam darah antara 30-90 menit (Katzung, 2006).

2. Distribusi

Aminoglikosida terdistribusi dengan baik ke dalam hampir semua cairan

tubuh termasuk cairan sinovial, peritoneal, dan pleural, tetapi terdistribusi lambat

ke dalam empedu, feses dan prostat; distribusinya jelek ke dalam susunan saraf

pusat (SSP) dan air mata. Ikatan dengan serum protein kurang dari 10% dan

dianggap tidak penting secara klinik(Morike, dkk, 1997).

3. Ekskresi
13

Aminoglikosida diekskresi terutama dalam bentuk tidak berubah melalui

ginjal atau filtrasi glomerolus. Fungsi ginjal merupakan parameter yang harus

dipertimbangkan dalam menghitung regimen dosis (Morike, dkk, 1997).

4. Efek yang tidak diinginkan

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Hal ini

cenderung ditemukan saat terapi dilakukan lebih dari 5 hari, dosis yang lebih

tinggi pada lansia, dan pada kondisi insufisiensi ginjal (Gan, 1997). Penggunaan

bersama dengan diuretik loop (furosemida dan asam etakrinat) atau agen

nefrotoksik lain seperti vankomisin dapat meningkatkan nefrotoksik (Katzung,

2006).

5. Penggunaan klinis

Aminoglikosida diindikasikan untuk beberapa infeksi yang disebabkan

bakteri gram negatif. Bila dikombinasi dengan antibiotik lain, aminoglikosida

merupakan agen pilihan untuk sepsis gram negatif. Umumnya aminoglikosida

digunakan untuk mengatasi pneumonia yang disebabkan bakteria gram negatif,

infeksi saluran urin, skeletal, dan infeksi jaringan lunak (Zaske, dkk, 1986).

Pada strukturnya, aminoglikosida mempunyai cincin heksosa, di mana

berbagai gula amino dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Senyawa ini larut dalam

air, stabil dalam larutan, dan lebih aktif pada Ph alkali dibandingkan pH asam

(Katzung, 2006).
14

Aminoglikosida merupakan obat polar, umumnya terdistribusi secara

merata pada cairan ekstraseluler, cairan synovial, peritoneal dan pleural.

Konsentrasi tinggi aminoglikosida ditemukan di ginjal terutama pada bagian

korteks. Penetrasi golongan ini jelek pada mata dan system saraf pusat.

Konsentrasi aminoglikosida pada sekresi air liur dan bronchial sangat bervariasi

(Stockley, 1994).

Aktivitas aminoglikosida akan diinaktivasi bila diberikan bersama

penesilin antipseudomonas seperti karbenisilin, tikarsilin, mezlosislin, azlosilin,

dan piperazilin yang umum diberikan dalam dosis besar. Oleh karena itu, harus

dihindari mencampur aminoglikosida dan penisilin dalam larutan infuse dan

sebaiknya diberikan melalui intravena kateter yang terpisah (Stockley, 1994).

Antibiotik aminoglikosida digunakan untuk pengobatan pneumonia,

infeksi saluran kemih, skeletal, dan infeksi pada jaringan lunak Efek samping

yang disebabkan oleh golongan aminoglikosida adalah berupa ototoksisitas dan

nefrotoksisitas. Nefrotoksisitas aminoglikosida meningkat jika diberikan bersama

diuretik seperti furosemid, atau antimikroba nefrotoksik lain (vankomisisn dan

samfoterisin). Manifestasi ototoksisitas berupa kerusakan pendengaran, tinnitus

dan kerusakan vestibular seperti vertigo, ataksia dan kehilangan keseimbangan.

Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan serum kreatinin klirens. Blockade

neuromuscular terjadi pada penggunaan aminoglikosida dosis tinggi (Stockley,

1994).

E. Pengertian Gentamicin
15

Gentamicyn adalah jenis obat yang termasuk kelompok aminoglikosida

yang mempunyai potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram

positif dan gram negatif . Gentamicin ini merupakan antibiotik, yang bekerja

dengan cara memperlambat pertumbuhan atau membunuh mikroba bakteria

sensitive dalam tubuh serta mempunyai rentang terapi sempit, bersifat nefrotoksik

dan ototoksik sreta mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup

lebar, maka pemantauan obat dalam darah pada penderita dengan gangguan fungsi

ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai. Hal ini

juga penting karena profil dosis dan kadar gentamicin dalam darah sukar

diprediksi terutama kadar puncak dalam waktu paruh eliminasi yang diisolasi dari

micromonospora purpurea, Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial

atau ampul 60 mg/1,5 ml; 80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml . berbentuk

serbuk putih kekuningan, mudah larut dalam air, dan tidak larut dalam etanol

Penggunaannya terutama pada terapi empiris infeksi berat misalnya sepsis dan

pneumonia yang disebabkan oleh bakteri gram negative khususnya pseudomonas

aeruginosa, enterobakter, proteus, dan klebsiella (Neal, 2006).


16

Gambar : 16 Obat Gentamicin

Efektivitas gentamisin diperoleh apabila kadar puncak dalam serum berada

dalam rentang 5-10 g/ml. kadar puncak yang tinggi secara terus menerus

menyebabkan nefrotoksistas dan otoktoksistas. Pemberian gentamisin dosis lazim

dalam bentuk dosis berganda bolus intravena akan menghasilkan kadar puncak

dan kadar lembah. Efek terapi dihasilkan jika kadar tersebut berada diantara kadar

aman maksimum dan kadar efektif minimum. Dosis empirik 80 mg bagi setiap

penderita dengan berat badan bervariasi akan menghasilkan dosis mg/kg BB/ hari

yang juga bervariasi. Biasanya pada orang deangan penyakit ginjal merupakan

faktor yang paling menentukan dalam pencapaian kadar tersebut (Neal, 2006).

a. Aktifitas antimikroba

Bila gentamisin dikombinasi dengan antibiotika beta laktam akan

menghasilkan efek sinergis terhadap pseudomonas, proteus, enterobacter,

klebsiella, serratia, stenotrophomonas, dan strain-strain gram negatif lain yang

kemungkinan resisten dengan antibiotik lainnya. Gentamisin tidak memiliki

aktifitas terhadap organisme anaerob (Katzung, 2006).

b. Penggunaan klinis

Saat ini gentamisin terutama diterapkan pada infeksi berat (misalnya

sepsis dan pneumonia) yang disebabkan bakteria gram negatif yang cenderung

kebal terhadap obat lain, khususnya pseudomonas, enterobacter, serratia, proteus,

acinetobacter, dan klebsiella). Gentamisin maupun aminoglikosida lainnya tidak

boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia sebab penetrasinya
17

buruk ke dalam jaringan paru yang terinfeksi dan kondisi setempat seperti tekanan

oksigen dan pH yang rendah turut memperburuk aktifitas obat ini (Katzung,

2006).

Konsentrasi serum gentamisin dan fungsi ginjal harus dipantau apabila

gentamisin diberikan beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah (misalnya

dalam sepsis, yang sering menyebabkan terjadinya komplikasi dengan gagal ginjal

akut). Untuk pasien yang menerima pemberian dosis setiap 8 jam, konsentrasi

puncak yang ditargetkan adalah 5-10 mcg/ml dan konsentrasi lembah harus di

bawah 1-2 mcg/ml. Konsentrasi lembah di atas 2 mcg/ml mengindikasikan

akumulasi obat yang dapat menyebabkan toksisitas sehingga dengan demikian

dosis harus dikurangi atau interval diperpanjang untuk mencapai efek terapi

(Whriskho, 2004).

F. Kontraindikasi

Penggunaan jangka pendek yaitu 5-7 hari dapat diberikan pada ibu hamil

atau menyusui jika tidak ada obat lain yang bisa digunakan, tetapi penggunaan

jangka panjang sebaiknya dihindari oleh karena dapat terjadi kerusakan nervus ke

delapan pada janin (Whriskho, 2004).

G. Interaksi Obat

a. In vitro

Penisilin antipseudomonas yaitu karbenisilin, tikarsilin, mezlosilin,

azlosilin, dan piperazilin yang umum diberikan dalam dosis besar, ternyata

menginaktivasi aminoglikosida. Oleh karena itu harus dihindari mencampur


18

aminoglikosida dan penisilin dalam larutan infus dan sebaiknya diberikan melalui

i.v kateter yang terpisah (Whriskho, 2004).

b. In vivo

Diuretika seperti asam etakrinat dan furosemida, amfoterisin B,

klindamisin, vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas dan

nefrotoksisitas gentamisin (Whriskho, 2004).

H. Pemantauan Efektifitas Terapetik

Telah diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk penanganan infeksi

akan lebih efektif bila dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum.

Kemampuan aminoglikosida (kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan

netilmisin) untuk mengobati infeksi berhubungan dengan level puncak optimum

konsentrasi obat dalam serum. Contoh, lebih dari 90% pasien pneumonia sembuh

dengan pemberian gentamisin pada konsentrasi serum puncak > 8 g/ml tetapi

kurang dari 40% pasien dapat memberi respons bila konsentrasi obat dalam serum

berada di bawah 8 g/ml (Robinson dan Taylor, 1986). Ini menggambarkan bahwa

tidak ada korelasi baik antara dosis dan efektifitas obat ini tetapi ada korelasi

antara kadar dalam darah dengan efektifitas. Jadi, bila hasil pengobatan dengan

dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan pemantauan kadar dalam darah.

I. Farmakokinetik Gentamicin Intravenus


1. Farmakokinetik gentamicin intravenus dosis tungggal

Jika suatu obat diberikan dalam bentuk bolus intravenous, seluruh dosis

obat masuk dalam tubuh dengan segera dan kinetika obat diasumsikan
19

berdasarkan kompartemen satu terbuka. Obat akan didistribusi ke semua jaringan

tubuh melalui system sirkulasi dan secara mencapai kesetimbangan (Shargel,

1985).

Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan

kadar obat dalam plasma menggambarkan perubahan yang sebanding dengan

kadar obat dalam jaringan tetapi konsentrasi obat dalam jaringan tidak sama pada

berbagai waktu (Shargel, 1985).

2. Farmakokinetik gentamicin intravenus dosis ganda (Multiple dose)

Tujuan pemberian obat dosis berganda adalah untuk memperpanjang

aktivitas terapetik, karena kadar obat dalam plasma harus dipertahankan untuk

mencapai efektivitas klinis yang optimal. Kadar efektif minimum antibiotik yang

diinginkan dapat ditentukan agar berbeda dalam batasan kadar plasma terapetik

minimum dan kadar plasma non-toksik minimum (shargel, 1985).

Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak waktu pemberian dosis

yang tetap, maka jumlah obat dalam tubuh akan naik. Jika dosis kedua diberikan

dalam jarak waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan untuk

mengeleminasi dosis sebelumnya, maka obat tidak kan terakumulasi. Jika dosis

yang sam diberikan berulang pada frekuensi konstan, maka akan diperoleh krva

kadar plasma-waktu plateu atau keadaan tunak. Pada keadaan tunak tercapai,

cmax dan cmix adalah konstan dan tetap tidak berubah dari dosis ke dosis.

Konsentrasi maksimum harus selalu berada di bawah kadar toksis minimum sebab

cmax merupakan suatu petunjuk yang baik akumulasi obat. Jika pada keadaan
20

dosis menghasilkan Cmax yang sama dengan Cmax setelah pemberian dosis

pertama, maka berarti tidak ada akumulasi obat. Jika Cmas lebih besar dari Cmax

dosis pertama maka berarti ada akumulasi yang bermakna (Shargel, 1985).

Khusus untuk gentamicin, ada tidaknya akumulasi obat lebih jelasnya

terlihat pada Cmin, sebab Cmin mencerminkan keadaan obat dalam jaringan yang

sebenarnya (Shargel, 1985).

Gentamisin merupakan concentration-dependent dan termasuk dalam obat

dengan ambang terapi sempit sehingga peningkatan kadar obat sedikit saja di

dalam darah akan berdampak besar pada pasien karena kadar obat dalam darah

dapat melewati ambang terapi obat dan dapat menimbulkan efek toksik atau dapat

pula lebih rendah dari ambang terapi obat sehingga obat tidak efektif lagi untuk

terapi infeksi. Hal ini dapat memicu terjadiya resistensi antibiotik lebih cepat

terjadi pada pasien. Oleh karena itu pengukuran kadar serum obat selama terapi

perlu dilakukan untuk menghindari efek toksik atau tidak adanya efek terapi dari

gentamisin (Light, 2001).

J. Cara Kerja Gentamicin

Gentamicin mempunyai mekanisme kerja menghambat pembentukan

dinding sel, membran sel maupun menghambat pembentukan DNA/nucleus.

Selain itu bekerja dalam menghambat sintesis protein dan bersifat bakterisada

(Light, 2001 ).

K. Efek Samping Gentamicin


21

Gentamycin menyebabkan efek samping paling penting dan berat pada

pemakaian gentamicin adalah berupa reaksi hipersensitivitas, dan blockade

neuromuscular, reaksi hipersensitivitas, alergi berupa demam dapat terjadi namun

jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamycin sebelumnya.

Resistensi silang dapat terjadi di antara aminoglikosida. Syok anafilaksis

( Stockley, 1994).

Sedangkan Efek toksik yang dimiliki gentamisin ada dua macam, yaitu

nefrotoksik yang reversible dan ototoksik yang menyebabkan kerusakan pada

vestibular dan auditory yang bersifat permanent (Bauer, 2008).

Mekanisme terjadinya nefrotoksisitas adalah gentamisin dimetabolisme

secara utuh di hati dan dieliminasi melalui glomerulus. 5% hasil eliminasi

diabsorbsi kembali oleh tubulus proximal sehingga konsentrasi dalam tubulus

meningkat dan menimbulkan nekrosis tubulus. Penggunaan gentamisin selama

lebih dari 5 hari dapat menyebabkan peningkatan 30% serum kreatinin. Dengan

memonitoring fungsi ginjal pasien, peningkatan serum kreatinin 0,5-2 mg/dl

menunjukkan terjadinya nefrotoksik oleh antibiotik golongan aminoglikosida

(Bauer, 2008). Nefrotoksisitas membutuhkan penyesuaian regimen pemberian

dosis dan harus mempercepat pertimbangan ulang mengenai perlunya penggunaan

obat. Sedangkan Faktor-faktor yang mempengaruhi nefrotoksisitas adalah umur,

renal insufficiency, kadar puncak yang tinggi, total dosis perhari, dosis kumulatif

adanya obat-obat nefrotoksisk yang diberikan secara bersamaan, jenis kelamin

pengobatan dan sepsis (Katzung, 2006).


22

Mekanisme terjadinya ototoksisitas dengan cara gentamisin

mempengaruhi auditori dan vestibular yang bersifat permanen. Ototoksisitas

auditori pertama kali muncul pada frekuensi tinggi (> 4000 hz) dan sangat sulit

mendeteksinya secara klinis. Jika pengobatan gentamisin tidak dilanjutkan secara

individual, penurunan pendengaran akan berlanjut pada frekuensi yang lebih

rendah, hasilnya penurunan frekuensi pendengaran akan terdeteksi pada daerah

frekuensi conversational (< 4000 hz). Ototoksisitas terutama tampak dalam

bentuk disfungsi vestibuler, kemungkinan disebabkan oleh kerusakan sel-sel

rambut karena peningkatan kadar obat. Hilangnya pendengaran juga dapat timbul.

Kemungkinan timbulnya ototoksisitas adalah 1-5 % pada pasien-pasien yang

menerima obat ini selama lebih dari 5 hari (Katzung, 2006)

Umumnya ototokisisitas terjadi akibat pengaruh gentamycin dan akan

mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran dan

tinnitus yang mungkin permanen, dan kadang-kadang erupasi sakit pada telinga.

Ototoksisitas dan nefrotoksisitas cenderung ditemukan saat terapi dilanjutkan

hingga lebih dari lima hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada orang-orang lanjut

usia, dan dalam keadaan insufisiensi fungsi ginjal (Katzung, 2006).

Gentamicin diabsobsi sangat lambat jika digunakan dalam bentuk salep,

tapi absorpsinya dapat lebih cepat, jika krim digunakan secara topical, maka

antibiotik digunakan pada daerah permukaan tubuh luas, miasalnya pada kasus

luka bakar, konsentrasi plasma dapat mencapai g/ml dan 2% sampai 5% obat

tersebut dapat dideteksi oleh urin (Katzung, 2006).


23

L. Pemberian Dosis Gentamicin

Pemberian gentamicin ini dapat diberikan secara intravena atau

intramuscular, topical terdapat salep atau krim dengankadar dari 0,1-0,3%

gentamicin. Dosis gentamicin 5-6 mg/kg/bb/hari diberikan secara intravena (IV)

dapat dibagi menjadi 3 dosis pemberian atau dosis tunggal per hari. Batas

konsentrasi gentamicin dalam plasma adalah 2 g/ml agar tidak timbul efek

toksisk (Katzung ,2006).

1. Dewasa : 3-5 mg/kg/bb/hari


2. Infeksi bearat : dosis dinaikkan menjadi 5mg/kg/bb/hari
3. Anak-anak : 6-7,5 mg/kg/bb/hari
4. Bayi : 7,5 mg/kg/nn/hari
5. Bayi premature dan bayi berusia kurang dari 1 minggu : 5mg/kg/bb/hari.

Diberikan dalam 3 dosis terbagi secara intramuscular atau intravena toksisk

(Katzung, 2006).

M. Lama Penggunaan dan Pemakaian Gentamicin

Gentamisin digunakan 1-13 hari. Sedangkan pasien yang menggunakan

gentamisin dalam rentang waktu pemakaian yang disarankan (3-5 hari) Pemakaian

gentamisin melebihi waktu yang disarankan akan meningkatkan terjadinya resiko

toksik, toksisitas yang terjadi pada pemakaian gentamisin adalah nefrotoksisk dan

ototoksik. namun pemakaian lama (lebih dari 5 hari) untuk terapi penyakit dapat

digunakan, tapi harus dengan pertimbangan besar dosis yang diberikan

berdasarkan konsentrasi obat dalam serum darah dan monitoring fungsi ginjal

serta pendengaran pasien (Katzung, 2006).


24

Sedangkan Penggunaan gentamycin dan deuretik seperti asam etakrinat

dan furosemid, klindamisin, vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas

dan nefrotoksisitas. (stocley, 1994). Secara farmakologis gentamycin mempunyai

aktivitas antimikroba yang sinergis dengan penisilin dan vankomisin (Neal, 2005).

Gentamycin menyebebkan nefrotoksik dengan cara menghambat sintesis protein.


25

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Gentamicyn adalah jenis obat yang termasuk kelompok aminoglykosida

yang mempunyai potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram

positif dan gram negatif . Gentamicin ini merupakan antibiotik, yang bekerja

dengan cara memperlambat pertumbuhan atau membunuh mikroba bakteria

sensitive dalam tubuh serta mempunyai rentang terapi sempit, bersifat nefrotoksik

dan ototoksik sreta mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup

lebar, maka pemantauan obat dalam darah pada penderita dengan gangguan fungsi

ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai.

Penggunaannya terutama pada terapi empiris infeksi berat misalnya sepsis dan

pneumonia yang disebabkan oleh bakteri gram negative khususnya pseudomonas

aeruginosa, enterobakter, proteus, dan klebsiella.

B. SARAN

Bagi yang menggunakan gentamicin ini dapat digunakan siapa saja, untuk

itu perlunya saling kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar,
26

sehingga dapat mengetahu dosis dan cara pemakaian obat gentamicin, cara kerja,

dan efek samping dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical Pharmacokinetics. Washington: Mc Gram Hill.

Begg, E.J., Barclay, M.L., and Hickling, K.G. (1994). What Is The Evidence For Once-

Daily Aminoglycoside therapy Clin Pharmacokinet. 27: 32-48.

Chaidir J, Munaf S. 1994. Obat antimikroba In eds Farmakologi Unsri. Jakarta : EGC,

9-58

Chambers, H.F. (2004). Aminoglycoside dan Spectinomycin. Dalam: Farmakologi

Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58-60.

Katzung BG. 2006. Basic and clinical pharmacology. ed. New York: The Mcgraw-

Hill.

Light RW.2001. Infectious disease, noscomial infection. Harrisons Principle of Internal

Medicine 15 Edition.-CD Room.

Morike, K. Schwab M., and Klotz, U. 1997. Use of Aminoglycoside in Elderly Patients.

Pharmacokinetics and Clinical Considerations. Drugs Aging, 10: 259-77.

Neal, Michael J. 2006. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Penerbit Erlangga.

Hal 81.

Neal, M.J. 2005. At a Glance Farmakologi Medik and Clinical Pharmacokinetics.

USA. Appleton-Cuntury Crofts. Ha: 266-268.


27

Rodman D., Maxwell A.J., and McKnight, J.T. 1994. Extended Dosage Intervals for

Aminoglycosides. Am J Hosp Pharm, 15;5: 2016-2.

Robinson, D. and Taylor, W. 1986. Interpretation of Serum Drug Concentrations.

Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug

Monitoring. ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 32.

Stochley, I.H.1994. Drug interactions a source book of adverse interaction, their

mechanisms, clinical importance and management adverse interaction. edisi

3 england. Hal 131-135.

Shargel L. 1985. Biofarmasetik dan Farmakokinetik. edisi 2, Now York. Surabaya

Universitas Airlangga. Hal: 45-78, 293.

Taylor J.W. 1995. Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. Texas: Abbot

Laboratories Irving. Hal: 31-35.

Whriskho R.E. 2004. Clinical Pharmacokinetics Therapeutic Drug Monitoring. A pdf

file.

Zaske, D., Lois, R.S., and Debra, A.T. 1986. Aminoglycoside. Dalam: A Text Book For

The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. ed Taylor W.J.

Texas: Abbott Laboratories. Hal: 285-287.

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi 4.

Jakarta. Hal: 661-674.

Anda mungkin juga menyukai