Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati Hepatikum
HEPATIKUM
Try Merdeka Puri
04104705047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
ENSEFALOPATI HEPATIKUM
1
II.1 Pengertian Ensefalopati Hepatikum
Hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang
penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme
yaitu dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti aonia, berbagai jenis
hormon, obat-obat-an dan sebagainya.
Selain itu hati juga berperan sebagai penyimpanan bahan-bahan seperti
glikogen dan vitamin serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati
tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau ensefalopati hepatik (EH).
Perjalanan klinis EH dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran
klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka prevalensi
ensefalopati subklinis berkisar antara 30% - 88% pada pasien sirosis hati.
EH merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang umumnya terjadi
karena kadar protein yang tinggi di saluran pencernaan atau karena stress
metabolik akut (perdarahan saluran pencernaan, infeksi, dan gangguan elektrolit
pada pasien dengan portal-systemic shunting. Gejala-gejala yang muncul
umumnya gejala neuropsikiatrik (confusion, flapping tremor, koma). Diagnosis
biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
1. Penurunan kesadaran sedang sammpai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bacterial yang jelas
II.2 Etiologi
2
EH dapat muncul pada hepatitis fulminan yang disebabkan oleh virus,
obat-obatan, atau racun, namun umumnya muncul pada sirosis atau penyakit
kronik lainnya saat terjadi kolateral portal-sistemik yang besar sebagai komplikasi
dari hipertensi portal.
Pada pasien dengan penyakit hati kronis, episode akut ensefalopati umumnya
dicetuskan oleh beberapa faktor, antara lain :
Jenis Penyebab
Excessive Intake protein dalam jumalah tinggi, pendarahan gastrointestinal
nitrogen seperti pada kondisi varises esophagus (dimana darah dalam
load keadaan tinggi protein, yang direabsorbsi oleh usus), gagal ginjal
(ketidakmampuan untuk mengekskresikan nitrogen yang
mengandung produk sisa seperti urea), konstipasi
Gangguan Hyponatraemia, hypokalaemia, yang biasanya terjadi pada pasien
elektrolit yang menggunakan diuretic, sering digunakan untuk mengobati
atau asites, alkalosis, hypoxia (insufficient oxygen levels), dehydration
metabolik
Obat- Sedatives seperti benzodiazepines (sering digunakan untuk
obatan menekan enxietas dan alcohol withdrawal), narkotik (sebagai pain
kellers), often used to suppress alcohol withdrawal or anxiety
disorder ), isoniazid ( sering digunakan untuk penyakit infeksi
paru)
Infection Pneumonia, infeksi saluran kemih , peritonitis bakteri spontan ,
Infeksi infeksi lain
Lain-lain pembedahan, perburukan dari penyakit hati, menyebabkan
kerusakan hati kerusakan hati (misalnya hepatitis alkoholik ,
hepatitis A )
idiopathik Pada 20-30% kasus, tidak ada penyebab yang jelas
3
- tipe C : berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal atau shunt
portosistemik. Pada kasus dengan penyakit hati kronik, PSE tipe ini dapat
muncul secara episodik atau bahkan menetap
II.3 Patofisiologi
Patogenesis EH sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena :
1. masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2. heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak
3. ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan
biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.
4
2. Hipotesis Toksisitas Sinergik
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti
merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain.
Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik
seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi
oksigen serta penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat
menyebabkan koma hepatik reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan
aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase,
suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain
seperti amonia yang mengakibakan koma hepatikum. Senyawa-senyawa
tersebut akan memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia.
Inhibisi dari NaK-ATP-ase membran yang disebabkan amonia akan
berakibat pada edem cerebri dan pembengkakan dari astrosit. Pada otak
yang normal, astrosit menjaga hemato-enephalic barrier dan melakukan
fungsi detoksifikasi yaitu mengubah amonia menjadi glutamin. Jika kadar
amonia meningkat dari yang seharusnya, fungsi detoksifikasi tidak akan
maksimal dan hemato-encephalic barrier akan rusak.
5
b. pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam
amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan
isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino
aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan
AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3.5 akan menjadi lebih kecil
dari 1.0. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi
neurotransmiter pada susunan saraf.
6
- merkaptan (berhubungan dengan foetor hepaticus)
- GABA
- Asam lemak rantai pendek
- Asam amino aromatik
- Osmolit (hasil dari kompensasi pelepasan dari astrosit)\
7
oleh beberapa faktor pencetus seperti azotemia, sedatif, analgesik,
perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi,
obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan
dapat mencetuskan koma hepatik.
8
Gejala-gejala tersebut tidak akan muncul sampai fungsi otak terpengaruh.
Gejala yang muncul pada awal adalah constructional apraxia, di mana pasien
tidak mampu untuk menggambar hal-hal yang sederhana seperti bintang.
Agitasi dan mania dapat muncul tapi jarang terjadi. Defisit neurologis
yang terjadi bersifat simetris. Bau mulut yang khas dapat muncul dan tidak
bergantung pada grade dari EH.
II.5 Diagnosis
EH dapat ditegakkan berdasarkan :
- Pemeriksaan fisik berdasarkan gejala klinis di atas
- Laboratorium
karena EH merupakan sindrom neuropsikiatrik non-spesifik, maka tes
biokemikal kurang memadai untuk menegakkan diagnosis. Yang paling
informatif adalah kadar amonia dalam darah. Amonia merupakan hasil
akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi
protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil katabolisme
protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati dengan
pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi
peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik. Nilai
>100 g/100 ml dianggap abnormal.
- EEG
9
Terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang
per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12
Hz). Pemeriksaan ini kurang tepat dibandingkan dengan pemeriksaan
evoked potentials.
- Tes psikometri
Cara ini dapat membantu m enilai tingkat kemampuan intelektual pasien
yang mengalami EH subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak
mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test)
yang dipergunakan secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn
HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut Uji
Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT), dengan
menghubungakan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur lama
penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.
10
Dengan UHA tingkat ensfalopati dibagi atas :
Tingkat Hasil UHA
ensefalopati (detik)
0 15-30
I 31-50
II 51-80
III 81-120
IV >120
II.7 Penatalaksanaan
Harus diperhatikan apakah EH yang terjadi adalah primer atau sekunder.
Pada EH primer, terjadinya ensepalopati adalah akibat kerusakan parenkim hati
yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada EH
sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.
Tujuan utama :
1. Memberikan dukungan perawatan suportif
2. Memperbaiki faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi asupan nitrogen di dalam saluran cerna
11
4. Memberikan kebutuhan pengobatan jangka panjang
12
lingkungan dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan
amoniak. Selain itu frekuensi defekasi bertambah sehingga
memperpendek waktu transit protein di usus. Penggunaan laktulosa
bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan
memberikan hasil yang lebih baik
Neomisin diberikan 2-4gram per hari baik secara oral atau secara
enema, walaupun pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-
tanda ileus. Metronidazol 4x250 mg perhari merupakan alternatif.
- Membersihkan saluran cerna bagian bawah
Upaya ini dilakukan agar darah sebagai sumber toksin nitrogen
segera dikeluarkan.
4. Upaya suportif dgn menjaga kecukupan masukkan kalori dan mengobati
komplikasi kegagalan hati
II.8 Prognosis
Pada EH sekunder, bila factor-faktor pencetus teratasi, maka dengan
pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan EH primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila
disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara EH akibat gagal hati
fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada
pusat-pusat kesehatan yang maju.
ANALISIS KASUS
Pada pasien ditemukan gejala klinis berupa batuk berdahak lama (6 bulan)
sebelumnya, disertai riwayat demam yang tidak terlalu tinggi, keringat pada
malam hari, penurunan berat badan, dan kadang sesak napas. Dari pemeriksaan
spesifik didapatkan temuan berupa adanya ronkhi basah sedang pada seluruh
13
pemeriksaan fisik disertai adanya hasil kultur dahak (++) di rumah sakit tempat
pasien berobat sebelumnya, serta riwayat minum obat paru (OAT) selama 2 bulan
maka Pasien dogolongkan sebagai kasus baru Tb paru BTA (++) on terapi OAT
meminum obat paru selama 2 bulan, setelah minum obat selama 1,5 bulan mata
pasien mulai terlihat kuning, BAK berwarna seperti teh tua. Semakin hari mata
pasien semakin kuning dan kuningnya menyebar hingga ke kulit tangan dan kaki
dikeluarganya juga tidak ditemukan riwayat penyakit yang sama. Dilihat dari
mual, nyeri perut, dan kemudian BAK berwarna teh tua disusul dengan timbul
kuning pada kulit dan mata, ditambah dengan penemuan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya sklera ikterik pada kedua mata, hepatomegali 3 jari dibawah
arcus costae yang kenyal pada perabaan dengan permukaan rata dan tepi tajam,
yang terjadi setelah pasien meminum OAT, maka diagnosis sementara adalah
Hepatomegali dan tenderness pada perabaan hati yang timbul pada pasien
dikarenakan hepatitis drug induce (OAT) dapat mempengaruhi fungi liver ketika
pembesaran.
14
Dari anamnesis didapatkan 1 hari SMRS kesadaran pasien mengalami
penurunan, pasien menjadi sering gelisah, tidak bisa tidur. Pasien juga tidak bisa
pasien juga mulai tidak terkendali, pasien sering menggerakkan tangannya tanpa
coklat tua, dan nafsu makan yang berkurang masih ditemukan pada pasien.
pasien. Berdasarkan gejala yang dialami pasien disertai pemeriksaan fisik yang
penyakit hati, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah
pada pasien ini. Infeksi ini terjadi lebih dikarenakan akibat daya imun pasien yang
semakin menurun karena pengaruh penyakit yang ada ditambah dengan kondisi
yang digunakan untuk mengemulsi lemak, memproses dan mengikat lemak pada
penting seperti albumin yang mengatur pengakutan cairan didalam darah dan
15
ginjal, protein-protein yang terlibat pada pembekuan darah, sebagai tempat
Transaminase) adalah enzim yang ditemukan pada parenkim hati, sel darah
merah, ginjal, otot jantung, dan otot skeletal. Pada pasien didapatkan pengkatan
kadar AST (74 u/l)Level AST dapat meningkat pada kondisi hepatitis, sirosis
IU/l dimana nilai normalnya berkisar antara 40-150 IU/l. Alkaline phosphatase
biasanya naik pada keadaan duktus biliaris terblok misalnya pada kolestasis,
kolesistitis, kolangitis, sirosis hepatis, fatty liver, hepatitis, tumor hati, dan lain-
lain. Pada hepatitis peningkatan ALP tidak sebanyak ALT dan AST, namun pada
obstruksi duktus biliaris akibat batu empedu atau kanker peningkatan ALP akan
lebih signifikan dari AST dan ALT. Level ALP ditemukan lebih tinggi pada wanita
hamil dan anak-anak. ALP yang meningkat juga dapat menjadi tanda adanya
formasi tulang yang aktif misalnya pada Penyakit Paget karena ALP adalah
dapat menandakan adanya penurunan dalam fungsi ginjal baik itu dalam hal
16
Dari hasil pemeriksaan elektrolit didapatkan nilai kalium sebesar 2,2
mg/dl. Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai normalnya yaitu 3,3 mg/dl-
peningkatan dari nilai normal. Bilirubin adalah hasil pemecahan heme yaitu
melalui proses konjugasi agar lebih larut air untuk disekresi ke empedu kemudian
diekskresi ke lumen usus. Ikterus yang timbul pada pasien diakibatkan oleh proses
- 40 mg/l. Fase ikterik biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal
didahului urin yang berwarna coklat, sklera kuning, kemudian seluruh badan
menjadi kuning.
Dari semua hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang ada
maka pasien ini didiagnosis dengan encephalopathy hepaticum grade III et causa
hepatitis drug induce (OAT) + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT
ginjal.
Diagnosis bandingnya adalah encephalopathy hepaticum grade III et
causa hepatitis viral acute + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT
AntI HAV IgM, Anti HCV, PT INR, foto thoraks PA, USG abdomen dan kultur
17
Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-
kondisi hipokalemia,. IVFD drip Hepamerz 2 Amp dalam RL 500 gtt XV kali/
dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu juga
protein di usus. Pasien juga diberikan OBH syrup untuk mengurangi batuk yang
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L, et all; Hepatic Encephalopathy in
Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition. USA: McGraw-
Hill. 2006.
2. Herrine, Steven K. Portal-systemic Encephalopathy. Merck & CO.2009.
http://www.merck.com/mmpe/sec03/ch022/ch022g.html
3. J E J Krige, I J Beckingham . Portal hypertension -2. Ascites,
encephalopathy, and other conditions 22 In ABC Of Liver, Pancreas And
Gall Bladder. London : BMJ Books.2001. p. 22-24
4. Mullen, D Kevin. Pathogenesis. ClinicalManifestation, and diagnosis of
Hepatic Encephalopathy. 2007
5. Sheila, Sherlock. Chapter 20 : Drugs and liver in Diseases of the Liver and
Biliary System, 11th edition. Milan : Blackwell science. 2002. p 335-364
6. Sood, Gagan K. Porto-systemic Encephalopathy. Baylor College Medicine.
2010. http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver
7. Zubir, Nasrul. Koma Hepatik in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 4 th
Edition. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. p. 449-451.
19