Jbptitbpp GDL Muhammadde 22731 3 2011ta 2 PDF
Jbptitbpp GDL Muhammadde 22731 3 2011ta 2 PDF
BAB II
TINJAUAN GEOLOGI
Daerah penelitian secara geologi regional merupakan bagian dari Cekungan Kutai,
yang termasuk dalam Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995).
Fisiografi Cekungan Kutai seperti terlihat pada Gambar 2.1. Cekungan Kutai
merupakan salah satu cekungan Tersier yang terbesar di Indonesia, luasnya 165.000 km2
dan kedalamannya kurang lebih mencapai 14.000 m. Di bagian utara, Cekungan Kutai
dibatasi oleh Sesar Sangkulirang dan Sesar Bengalon, sedangkan dibagian selatan dibatasi
oleh Sesar Adang (Biantoro dkk., 1992).
Secara tektonik, Cekungan Kutai dipisahkan dari Cekungan Tarakan di utara oleh
Punggungan Mangkalihat dan dipisahkan dari Cekungan Barito di selatan oleh Adang
flexure. Bagian barat Cekungan Kutai dibatasi Tinggian Kuching yang tersusun oleh
batuan metasedimen berumur Kapur dan sedimen berumur Paleosen, sedangkan bagian
timur Cekungan Kutai terbuka ke Selat Makassar dengan kedalaman air laut mencapai
lebih dari 2000 meter (Allen & Chambers, 1998; op.cit. Resmawan, 2007).
Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada Kala Eosen Tengah yang
diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen Akhir.
Peningkatan tekanan karena tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan dasar
cekungan ke arah baratlaut yang menghasilkan siklus regresif utama sedimentasi klastik di
Cekungan Kutai dan tidak terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang (Ferguson &
McClay, 1997; op.cit. Resmawan, 2007). Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar
cekungan dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke
arah timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga
terjadi susut laut yang berlangsung terus-menerus sampai Miosen Akhir.
Gambar 2.2. Peta Geologi Lembar Sangatta, Kalimantan Timur Skala 1:250.000 (Sukardi dkk., 1995).
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995) (Gambar 2.2 dan
2.3), membagi satuan lithostratigrafi daerah Kutai Timur menjadi 6 (enam) formasi dengan
urutan dari tua ke yang muda adalah sebagai berikut:
Formasi Pamaluan (Tmp) : Batulempung dengan sisipan tipis napal, batupasir dan
batubara. Bagian atas terdiri dari batulempung pasiran yang mengandung sisa tumbuhan
dan beberapa lapisan tipis batubara. Secara umum bagian bawah lebih gampingan dan
mengandung lebih banyak foraminifera plankton dibanding dengan bagian atasnya. Fosil
penunjuk terdiri dari Globigerinoides primordius, Globigerinoides trilobus, Globigerinita
sp. yang berumur N.4-N.5 atau Te5 Bawah (Miosen Awal). Lingkungan pengendapan
berkisar dari neritik dalam sampai neritik dangkal.
Formasi Balikpapan (Tmbp) : Batupasir, batulempung, lanau, tuf dan batubara. Pada
perselingan batupasir kuarsa, batulempung dan batulanau memperlihatkan struktur silang
siur. Setempat mengandung sisipan batubara dengan ketebalan antara 20-40 cm.
Batulempung berwarna kelabu, getas, mengandung muskovit, bitumen dan oksida besi.
Tebal formasi 2000 meter, dengan lingkungan pengendapan muka daratan-delta. Umur
formasi ini Miosen Tengah - Miosen Akhir. Formasi ini tertindih selaras oleh Formasi
Kampungbaru.
Endapan Aluvial (Qal) : Material lepas berupa lempung dan lanau, pasir, lumpur, dan
kerikil, merupakan endapan pantai, rawa, dan sungai.
Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi daerah Kutai Timur, Cekungan Kutai bagian utara
Struktur geologi yang berkembang di dalam Cekungan Kutai adalah lipatan dan
sesar. Batuan tua seperti Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh dan Formasi Pulau Balang
umumnya terlipat kuat dengan kemiringan sekitar 400, tetapi ada juga yang mencapai 750,
sedangkan batuan yang berumur lebih muda seperti Formasi Balikpapan dan Formasi
Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah, namun di beberapa tempat dekat zona sesar
ada yang terlipat kuat. Di daerah ini terdapat 3 (tiga) jenis sesar, yaitu sesar naik, sesar
normal dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian
dipotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan sesar turun terjadi pada
Kala Pliosen (Supriatna dan Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007).
1) Menurut Ott, 1987; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa pola struktur pada
Cekungan Kutai disebabkan oleh adanya proses gelinciran akibat gaya gravitasi
(gravity sliding) pada batuan dasar yang mempunyai plastisitas tinggi akibat adanya
pengangkatan Tinggian Kuching selama Zaman Tersier.
2) Menurut McClay dkk., 2000; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa struktur di
daerah dataran Cekungan Kutai merupakan hasil dari tektonik delta, yaitu gabungan
dari sedimentasi yang cepat dan gaya tektonik. Akibat penumpukan terjadi pelengseran
lateral yang mengakibatkan pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesar-
sesar turun, kemudian mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya kompresi.
Daerah Sangatta terletak di antara Delta Mahakam dan Tinggian Mangkalihat yang
merupakan Cekungan Kutai bagian utara. Berdasarkan hasil analisis dari Formasi
Balikpapan di daerah Sangatta, dapat disimpulkan bahwa sistem delta di Sangatta
merupakan perkembangan delta tersendiri, yang berkembang di bagian utara Cekungan
Kutai dan terpisah dari sitem Delta Mahakam purba di bagian selatan (Snedden dkk., 1996;
op.cit. Setiadi, 2008). Di sebelah barat cekungan terjadi pengangkatan yang disertai erosi
yang menyebabkan di daerah timurlaut (sekitar Sangatta) terjadi sedimentasi, sebaliknya
jika pengangkatan di sebelah barat berkurang intensitasnya maka terjadi transgresi dari
timurlaut berlangsung ke arah barat.
Di kawasan Sangatta pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai
membebani endapan lempung tebal berumur Tersier dan mengakibatkan masa lempung
yang belum mampat (kompak) itu menjadi labil. Akibatnya masa lempung mencuat,
berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya, sehingga di kawasan ini ditemui suatu
struktur antiklin yang sempit, memanjang dan sejajar dengan garis pantai. Struktur antiklin
sempit ini dipisahkan oleh sinklin-sinklin yang lebar. Proses pembentukan struktur ini
berlangsung setahap demi setahap, beruntun bersamaan dengan progradasi pengendapan
delta (Samuel, 1976; op.cit. Setiadi, 2008) (Gambar 2.5).
Sistem delta Sangatta ini terbentuk bersamaan dengan Proto-delta Mahakam dan
diperkirakan mulai berlangsung sejak Miosen Awal (Duval dkk., 1992; op.cit. Setiadi,
2008). Penurunan dasar cekungan selama Kala Eosen hingga Oligosen Awal menyebabkan
terjadinya transgresi regional yang berlangsung dari timurlaut ke barat-baratdaya (Setiadi,
2008).
2.2.1 Morfologi
Kondisi morfologi daerah Pinang diperlihatkan pada peta SRTM (Gambar 2.6). Dari
peta SRTM dapat ditarik beberapa kelurusan punggungan dan lembah yang disajikan
dalam diagram roset, merupakan arah kelurusan umum di daerah Pinang yaitu berarah
hampir utara selatan dan barat timur.
perlipatan sampai tersesarkan. Dalam perkembangannya hingga saat ini, akibat pengaruh
proses eksogen seperti erosi dan pelapukan serta aktivitas penambangan, maka morfologi
perbukitan pada sebagian daerah penelitian tidak dapat terekspresikan dengan jelas dan
memperlihatkan pola kelurusan yang tidak teratur. Saat ini bentuk morfologi permukaan
daerah penelitian, khususnya di Pit J telah terubah dari kondisi alaminya akibat aktivitas
tambang terbuka (open pit mining) dan membentuk lereng yang terjal dan tinggi (highwall)
(Gambar 2.7).
Soil
Overburden
Batulempung
Seam Batubara L1
2.2.2 Stratigrafi
Satuan Batupasir (Tmpb), terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dan batubara,
berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir disetarakan dengan Formasi
Pulau Balang yang berumur berumur Miosen Tengah.
Satuan Endapan Aluvial (Qal), merupakan satuan batuan yang paling muda berumur
Holosen dan berlangsung hingga kini, yang menempati pinggiran sungai-sungai
yang besar, satuan ini terdiri dari material lepas yang belum kompak berukuran
lempung hingga pasir halus, serta material organik.
Gambar 2.8 menunjukkan kolom stratigrafi umum daerah Pinang yang terdiri dari 3
(tiga) formasi batuan, yaitu Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi
Balikpapan. Kolom stratigrafi tersebut menunjukkan stratigrafi lapisan-lapisan batubara
(seam) di daerah Pinang, batubara di daerah Pinang dibawa oleh Formasi Pulau Balang
dan Formasi Balikpapan.
Di dalam penelitian ini, lapisan batubara yang diteliti hanya batubara yang dibawa
oleh Formasi Balikpapan. Berdasarkan kesamaan ciri litologi dan dominasinya secara
horizontal dan vertikal, pada daerah penelitian merupakan Satuan Batulempung.
Daerah Penelitian
Gambar 2.8 Kolom Stratigrafi Daerah Pinang (Sumber : Dept. Geologi PT KPC).
Struktur utama di daerah Kutai berupa antiklinorium yang berarah hampir utara-
selatan yang dicirikan oleh antiklin asimetris yang dipisahkan oleh sinklin lebar yang
berisi siliklastik berumur Miosen (Ferguson dan McClay, 1997; op.cit. Setiadi, 2008).
Struktur geologi di daerah Pinang dapat dilihat pada Peta Geologi Daerah Pinang
(Lampiran G). Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa perlipatan
dan sesar, yang mempunyai arah umum BaratlautTenggara dan TimurlautBaratdaya.
Struktur perlipatan berupa sinklin dengan sumbu lipatan berarah BaratlautTenggara, yaitu
Sinklin Lembak melipat batuan sedimen pada Formasi Balikpapan dan Formasi Pulau
Balang.
Struktur geologi lainnya yang terbentuk adalah sesar naik yaitu Sesar Naik Villa,
yang mempunyai sumbu berarah TimurlautBaratdaya, mengoyak batuan yang terdapat
pada Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan. Sesar tersebut
diduga terjadi akibat adanya tektonik pada Miosen Akhir.
Struktur Pinang Dome merupakan struktur yang terbentuk akibat pengendapan delta
yang cepat pada Miosen Tengah yang membebani endapan lempung tebal (Formasi
Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa lempung kelebihan tekanan dan
tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya
(Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik, membentuk seperti intrusi
menyebabkan terbentuknya struktur kubah (dome), terletak disebelah timur struktur
SInklin Lembak. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High atau
Tinggian Kucing di barat Cekungan Kutai.
Pada Kala Oligosen, daerah Pinang merupakan Cekungan Kutai yang mengalami
penurunan dan menjadi sedimen laut dangkal, terutama mudstone dan batupasir halus dari
Bhongan Shale hingga terbentuk Formasi Pamaluan.
Pada Kala Miosen Awal, pengangkatan wilayah ke arah barat telah menghasilkan
banyak suplai sedimen yang masuk ke Cekungan Kutai dan menghasilkan formasi delta,
salah satunya adalah wilayah Sangatta. Pengumpulan endapan delta pada saat awal
mengakibatkan terbentuknya Formasi Pulau Balang terutama paparan delta yang lebih
rendah dari endapan laut dangkal, dan diikuti oleh Formasi Balikpapan yang terdiri dari
mudstone, batulempung dan batupasir. Di dalam Formasi Balikpapan tersebut terdapat
sejumlah peat (lapisan gambut), yang pada akhirnya akan membentuk lapisan batubara di
daerah Pinang. Penurunan yang terjadi di wilayah ini diduga tidak serentak sehingga
menimbulkan terbentuknya patahanpatahan. Deposit yang membentuk Formasi
Balikpapan kemudian diikuti dengan pembentukan Formasi Kampung Baru pada Kala
Pliosen.
Pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai membebani endapan
lempung tebal (Formasi Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa
lempung kelebihan tekanan dan tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos
sedimen regresif di atasnya (Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik,
di daerah Pinang terbentuk struktur antiklin sempit menyerupai kubah (Pinang Dome)
yang dipisahkan sinklin. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High
atau Tinggian Kucing di bagian barat Cekungan Kutai.
Kala Miosen terjadi pemekaran di Laut Cina Selatan yang memacu proses subduksi
sepanjang batas baratlaut Kalimantan dengan gaya kompresi berarah baratlauttenggara
(NW-SE) (Setiadi, 2008). Akibat dari lapisan batuan yang kurang stabil dan gaya yang
bekerja terus-menerus, terbentuk zona lemah sehingga menyebabkan lapisan batuan
mengalami pensesaran (patahan) dan terbentuk struktur Sesar Naik Villa yang memanjang
berarah timurlaut-baratdaya. Struktur Sesar Naik Villa ini terbentuk akibat gaya utama
yang bekerja menekan dari arah baratlaut, akibat adanya zona lemah, blok di sebelah
baratlaut relatif naik ke atas blok tenggara dan terus terlipat kuat membentuk struktur sesar
naik, stuktur Sesar Naik Villa ini diperkirakan terjadi pada Kala Miosen Akhir.