Anda di halaman 1dari 15

Bab II Tinjauan Geologi

BAB II

TINJAUAN GEOLOGI

2.1 GEOLOGI REGIONAL

Daerah penelitian secara geologi regional merupakan bagian dari Cekungan Kutai,
yang termasuk dalam Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995).

2.1.1 Fisiografi Regional

Gambar 2.1. Fisiografi Cekungan Kutai (Biantoro, 1992).

Fisiografi Cekungan Kutai seperti terlihat pada Gambar 2.1. Cekungan Kutai
merupakan salah satu cekungan Tersier yang terbesar di Indonesia, luasnya 165.000 km2
dan kedalamannya kurang lebih mencapai 14.000 m. Di bagian utara, Cekungan Kutai
dibatasi oleh Sesar Sangkulirang dan Sesar Bengalon, sedangkan dibagian selatan dibatasi
oleh Sesar Adang (Biantoro dkk., 1992).

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 8


Bab II Tinjauan Geologi

Secara tektonik, Cekungan Kutai dipisahkan dari Cekungan Tarakan di utara oleh
Punggungan Mangkalihat dan dipisahkan dari Cekungan Barito di selatan oleh Adang
flexure. Bagian barat Cekungan Kutai dibatasi Tinggian Kuching yang tersusun oleh
batuan metasedimen berumur Kapur dan sedimen berumur Paleosen, sedangkan bagian
timur Cekungan Kutai terbuka ke Selat Makassar dengan kedalaman air laut mencapai
lebih dari 2000 meter (Allen & Chambers, 1998; op.cit. Resmawan, 2007).

2.1.2 Geologi Regional Cekungan Kutai

2.1.2.1 Kerangka Tektonik

Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan


tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Pasifik, Hindia-Australia dan
Eurasia, juga dipengaruhi oleh tektonik regional di bagian Asia Tenggara. Cekungan Kutai
di Kalimantan merupakan cekungan busur belakang atau back arc di bagian barat yang
terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudera. Peregangan di
Selat Makassar sangat mempengaruhi pola pengendapan terutama pada bagian timur
cekungan (Ibrahim, 2005).
Pada Tersier Awal, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito merupakan satu cekungan
besar berarah utara timurlautselatan baratdaya. Kedua cekungan tersebut mulai terpisah
setelah pengangkatan Blok Meratus, dicirikan oleh kelurusan zona patenosfer yang
dikontrol oleh Sesar Adang atau disebut South Kutai Boundary Fault. Pemisahan ini
diduga terjadi selama Miosen Tengah, berdasarkan fasies yang berbeda pada lapisan
sedimen antara kedua cekungan dari Miosen Akhir sampai Resen (Biantoro dkk., 1992).

Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada Kala Eosen Tengah yang
diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen Akhir.
Peningkatan tekanan karena tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan dasar
cekungan ke arah baratlaut yang menghasilkan siklus regresif utama sedimentasi klastik di
Cekungan Kutai dan tidak terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang (Ferguson &
McClay, 1997; op.cit. Resmawan, 2007). Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar
cekungan dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke
arah timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga
terjadi susut laut yang berlangsung terus-menerus sampai Miosen Akhir.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 9


Bab II Tinjauan Geologi

Gambar 2.2. Peta Geologi Lembar Sangatta, Kalimantan Timur Skala 1:250.000 (Sukardi dkk., 1995).
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 10


Bab II Tinjauan Geologi

2.1.2.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995) (Gambar 2.2 dan
2.3), membagi satuan lithostratigrafi daerah Kutai Timur menjadi 6 (enam) formasi dengan
urutan dari tua ke yang muda adalah sebagai berikut:

Formasi Pamaluan (Tmp) : Batulempung dengan sisipan tipis napal, batupasir dan
batubara. Bagian atas terdiri dari batulempung pasiran yang mengandung sisa tumbuhan
dan beberapa lapisan tipis batubara. Secara umum bagian bawah lebih gampingan dan
mengandung lebih banyak foraminifera plankton dibanding dengan bagian atasnya. Fosil
penunjuk terdiri dari Globigerinoides primordius, Globigerinoides trilobus, Globigerinita
sp. yang berumur N.4-N.5 atau Te5 Bawah (Miosen Awal). Lingkungan pengendapan
berkisar dari neritik dalam sampai neritik dangkal.

Formasi Bebuluh (Tmbe) : Batugamping dengan sisipan batulempung, batulanau,


batupasir dan sedikit napal. Batugamping mengandung koral dan foraminifera besar.
Batugamping dari formasi ini adalah terumbu dan tebaran batugamping terumbu. Berumur
Miosen Awal, dengan tebal diperkirakan 2000 meter, formasi ini ditutupi selaras oleh
Formasi Pulau Balang.

Formasi Pulau Balang (Tmpb) : Perselingan batupasir dengan batulempung dan


batulanau, setempat bersisipan tipis lignit, batugamping atau batupasir gampingan.
Berumur Miosen Awal Miosen Tengah. Sedimentasinya diperkirakan terjadi di daerah
pro-delta, dengan tebaran terumbu di beberapa tempat.

Formasi Balikpapan (Tmbp) : Batupasir, batulempung, lanau, tuf dan batubara. Pada
perselingan batupasir kuarsa, batulempung dan batulanau memperlihatkan struktur silang
siur. Setempat mengandung sisipan batubara dengan ketebalan antara 20-40 cm.
Batulempung berwarna kelabu, getas, mengandung muskovit, bitumen dan oksida besi.
Tebal formasi 2000 meter, dengan lingkungan pengendapan muka daratan-delta. Umur
formasi ini Miosen Tengah - Miosen Akhir. Formasi ini tertindih selaras oleh Formasi
Kampungbaru.

Formasi Kampungbaru (Tmpk) : Batulempung pasiran, batupasir dengan sisipan


batubara dan tuf, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi dan bintal limonit.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 11


Bab II Tinjauan Geologi

Berumur Miosen Akhir hingga Plio-Plistosen, dengan lingkungan pengendapan delta


sampai laut dangkal dengan tebal formasi antara 500-800 meter.

Endapan Aluvial (Qal) : Material lepas berupa lempung dan lanau, pasir, lumpur, dan
kerikil, merupakan endapan pantai, rawa, dan sungai.

Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi daerah Kutai Timur, Cekungan Kutai bagian utara

(Supriatna & Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007).

2.1.2.3 Struktur Geologi Regional

Pembentukan struktur geologi di Cekungan Kutai sangat dipengaruhi oleh adanya


spreading di sepanjang Selat Makassar yang menimbulkan sesar-sesar mendatar dengan
arah pergerakan baratlaut-tenggara serta memisahkan Pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi. Pola struktur Cekungan Kutai dipengaruhi oleh pengangkatan Tinggian Kuching
yang tegasannya berasal dari arah baratlaut. Pengangkatan ini terus berlangsung hingga
mengakibatkan berkurangnya kestabilan. Akibat ketidakstabilan ini maka terjadi
pelengseran batuan ke arah timur. Gambar 2.4 menunjukkan gambaran struktur geologi
regional yang mempengaruhi pembentukan Cekungan Kutai, struktur yang ada adalah

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 12


Bab II Tinjauan Geologi

Antiklinorium Samarinda yang berarah baratlaut-tenggara, Sesar Bengalon, Sesar


Sangkulirang dan Sesar Adang.

Struktur geologi yang berkembang di dalam Cekungan Kutai adalah lipatan dan
sesar. Batuan tua seperti Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh dan Formasi Pulau Balang
umumnya terlipat kuat dengan kemiringan sekitar 400, tetapi ada juga yang mencapai 750,
sedangkan batuan yang berumur lebih muda seperti Formasi Balikpapan dan Formasi
Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah, namun di beberapa tempat dekat zona sesar
ada yang terlipat kuat. Di daerah ini terdapat 3 (tiga) jenis sesar, yaitu sesar naik, sesar
normal dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian
dipotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan sesar turun terjadi pada
Kala Pliosen (Supriatna dan Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007).

Proses pembentukan lipatan di Cekungan Kutai terdapat dua pendapat, yaitu:

1) Menurut Ott, 1987; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa pola struktur pada
Cekungan Kutai disebabkan oleh adanya proses gelinciran akibat gaya gravitasi
(gravity sliding) pada batuan dasar yang mempunyai plastisitas tinggi akibat adanya
pengangkatan Tinggian Kuching selama Zaman Tersier.
2) Menurut McClay dkk., 2000; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa struktur di
daerah dataran Cekungan Kutai merupakan hasil dari tektonik delta, yaitu gabungan
dari sedimentasi yang cepat dan gaya tektonik. Akibat penumpukan terjadi pelengseran
lateral yang mengakibatkan pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesar-
sesar turun, kemudian mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya kompresi.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 13


Bab II Tinjauan Geologi

Gambar 2.4 Struktur Geologi Cekungan Kutai


(Allen & Chambers, 1998; op.cit. Sukmayana, 2009).

2.1.3 Geologi Regional Daerah Sangatta

Daerah Sangatta terletak di antara Delta Mahakam dan Tinggian Mangkalihat yang
merupakan Cekungan Kutai bagian utara. Berdasarkan hasil analisis dari Formasi
Balikpapan di daerah Sangatta, dapat disimpulkan bahwa sistem delta di Sangatta
merupakan perkembangan delta tersendiri, yang berkembang di bagian utara Cekungan
Kutai dan terpisah dari sitem Delta Mahakam purba di bagian selatan (Snedden dkk., 1996;
op.cit. Setiadi, 2008). Di sebelah barat cekungan terjadi pengangkatan yang disertai erosi
yang menyebabkan di daerah timurlaut (sekitar Sangatta) terjadi sedimentasi, sebaliknya
jika pengangkatan di sebelah barat berkurang intensitasnya maka terjadi transgresi dari
timurlaut berlangsung ke arah barat.

Di kawasan Sangatta pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai
membebani endapan lempung tebal berumur Tersier dan mengakibatkan masa lempung
yang belum mampat (kompak) itu menjadi labil. Akibatnya masa lempung mencuat,

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 14


Bab II Tinjauan Geologi

berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya, sehingga di kawasan ini ditemui suatu
struktur antiklin yang sempit, memanjang dan sejajar dengan garis pantai. Struktur antiklin
sempit ini dipisahkan oleh sinklin-sinklin yang lebar. Proses pembentukan struktur ini
berlangsung setahap demi setahap, beruntun bersamaan dengan progradasi pengendapan
delta (Samuel, 1976; op.cit. Setiadi, 2008) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Model Pembentukan Struktur Diapirik Massa Lempung di Sangatta


(Biantoro dkk., 1992).

Sistem delta Sangatta ini terbentuk bersamaan dengan Proto-delta Mahakam dan
diperkirakan mulai berlangsung sejak Miosen Awal (Duval dkk., 1992; op.cit. Setiadi,
2008). Penurunan dasar cekungan selama Kala Eosen hingga Oligosen Awal menyebabkan
terjadinya transgresi regional yang berlangsung dari timurlaut ke barat-baratdaya (Setiadi,
2008).

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 15


Bab II Tinjauan Geologi

2.2 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

2.2.1 Morfologi

Morfologi di daerah penelitian dapat dibagi menjadi morfologi perbukitan, dataran


rendah dan endapan aluvial. Topografi daerah Pinang berupa morfologi bergelombang,
daerah tertinggi adalah Kubah Pinang (Pinang Dome) dengan ketinggian 325 meter di atas
permukaan laut. Morfologi dataran rendah rata-rata pada ketinggian 20-50 meter di atas
permukaan laut. Terdapat aliran Sungai Sangatta yang mengalir di sebelah selatan, dan
juga Sungai Murung yang merupakan anak sungai dari Sungai Sangatta yang membentuk
endapan aluvial.

Kondisi morfologi daerah Pinang diperlihatkan pada peta SRTM (Gambar 2.6). Dari
peta SRTM dapat ditarik beberapa kelurusan punggungan dan lembah yang disajikan
dalam diagram roset, merupakan arah kelurusan umum di daerah Pinang yaitu berarah
hampir utara selatan dan barat timur.

Gambar 2.6 Interpretasi Kelurusan Peta SRTM Daerah Pinang.

Perkembangan morfologi lokal pada daerah penelitian dipengaruhi oleh berbagai


faktor, antara lain : litologi, deformasi tektonik (struktur geologi) dan proses-proses
eksogenik. Faktor struktur geologi sangat berpengaruh dalam pembentukan bentang alam
pada daerah penelitian sehingga mengakibatkan lapisan-lapisan batubara mengalami
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 16


Bab II Tinjauan Geologi

perlipatan sampai tersesarkan. Dalam perkembangannya hingga saat ini, akibat pengaruh
proses eksogen seperti erosi dan pelapukan serta aktivitas penambangan, maka morfologi
perbukitan pada sebagian daerah penelitian tidak dapat terekspresikan dengan jelas dan
memperlihatkan pola kelurusan yang tidak teratur. Saat ini bentuk morfologi permukaan
daerah penelitian, khususnya di Pit J telah terubah dari kondisi alaminya akibat aktivitas
tambang terbuka (open pit mining) dan membentuk lereng yang terjal dan tinggi (highwall)
(Gambar 2.7).

Soil
Overburden

Batulempung

Seam Batubara L1

Gambar 2.7 Kenampakan highwall akibat aktivitas tambang di Pit J.

2.2.2 Stratigrafi

Berdasarkan Peta Geologi Daerah Pinang, Sangatta, Kalimantan Timur (Modifikasi


dari PT KPC, 1996) (Lampiran G), batuan yang tersingkap di daerah penelitian terdiri dari
4 satuan batuan, yaitu dari umur yang paling tua Satuan Batupasir Batulempung (Temp),
Satuan Batupasir (Tmpb), Satuan Batulempung (Tmba) dan Satuan Endapan Aluvial (Qal).

 Satuan Batupasir Batulempung (Temp), terdiri dari batupasir sisipan batulempung,


serpih dan batugamping, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir
Batulempung disetarakan dengan Formasi Pamaluan yang berumur Miosen Bawah.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 17


Bab II Tinjauan Geologi

 Satuan Batupasir (Tmpb), terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dan batubara,
berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir disetarakan dengan Formasi
Pulau Balang yang berumur berumur Miosen Tengah.

 Satuan Batulempung (Tmba), terdiri batulempung perselingan batulanau dan


batupasir, sisipan batulanau dan batubara, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan
Batulempung disetarakan dengan Formasi Balikpapan yang berumur Miosen
Tengah hingga Miosen Atas.

 Satuan Endapan Aluvial (Qal), merupakan satuan batuan yang paling muda berumur
Holosen dan berlangsung hingga kini, yang menempati pinggiran sungai-sungai
yang besar, satuan ini terdiri dari material lepas yang belum kompak berukuran
lempung hingga pasir halus, serta material organik.

Gambar 2.8 menunjukkan kolom stratigrafi umum daerah Pinang yang terdiri dari 3
(tiga) formasi batuan, yaitu Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi
Balikpapan. Kolom stratigrafi tersebut menunjukkan stratigrafi lapisan-lapisan batubara
(seam) di daerah Pinang, batubara di daerah Pinang dibawa oleh Formasi Pulau Balang
dan Formasi Balikpapan.

Di dalam penelitian ini, lapisan batubara yang diteliti hanya batubara yang dibawa
oleh Formasi Balikpapan. Berdasarkan kesamaan ciri litologi dan dominasinya secara
horizontal dan vertikal, pada daerah penelitian merupakan Satuan Batulempung.

Satuan batuan di daerah penelitian terdiri dari perselingan batulempung dengan


batubara (Gambar 2.9). Satuan Batulempung Balikpapan ini merupakan anggota Formasi
Balikpapan berumur Miosen Tengah Miosen Akhir atau 15 juta hingga 5 juta tahun yang
lalu. Secara umum Satuan Batulempung ini dicirikan litologi berupa batulempung dengan
sisipan batupasir, batulanau dan batubara. Batulempung berwarna abu-abu kecoklatan non-
karbonatan, getas. Batupasir, berwarna abu-abu kecoklatan, butir kasar, terdapat struktur
laminasi, silang-silur, non-karbonatan dan ditemukan dalam bentuk lensa-lensa yang tidak
menerus. Batubara berwarna hitam, kusam-mengkilap, terdapat cleat yang terisi lempung,
serta lapisan roof dan floor dominan berupa mudstone.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 18


Bab II Tinjauan Geologi

Daerah Penelitian

Gambar 2.8 Kolom Stratigrafi Daerah Pinang (Sumber : Dept. Geologi PT KPC).

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 19


Bab II Tinjauan Geologi

Gambar 2.9 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian Pit J.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 20


Bab II Tinjauan Geologi

2.2.3 Struktur Geologi

Struktur utama di daerah Kutai berupa antiklinorium yang berarah hampir utara-
selatan yang dicirikan oleh antiklin asimetris yang dipisahkan oleh sinklin lebar yang
berisi siliklastik berumur Miosen (Ferguson dan McClay, 1997; op.cit. Setiadi, 2008).

Struktur geologi di daerah Pinang dapat dilihat pada Peta Geologi Daerah Pinang
(Lampiran G). Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa perlipatan
dan sesar, yang mempunyai arah umum BaratlautTenggara dan TimurlautBaratdaya.
Struktur perlipatan berupa sinklin dengan sumbu lipatan berarah BaratlautTenggara, yaitu
Sinklin Lembak melipat batuan sedimen pada Formasi Balikpapan dan Formasi Pulau
Balang.

Struktur geologi lainnya yang terbentuk adalah sesar naik yaitu Sesar Naik Villa,
yang mempunyai sumbu berarah TimurlautBaratdaya, mengoyak batuan yang terdapat
pada Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan. Sesar tersebut
diduga terjadi akibat adanya tektonik pada Miosen Akhir.

Struktur Pinang Dome merupakan struktur yang terbentuk akibat pengendapan delta
yang cepat pada Miosen Tengah yang membebani endapan lempung tebal (Formasi
Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa lempung kelebihan tekanan dan
tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya
(Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik, membentuk seperti intrusi
menyebabkan terbentuknya struktur kubah (dome), terletak disebelah timur struktur
SInklin Lembak. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High atau
Tinggian Kucing di barat Cekungan Kutai.

2.2.4 Sejarah Geologi Daerah Pinang

Pada Kala Oligosen, daerah Pinang merupakan Cekungan Kutai yang mengalami
penurunan dan menjadi sedimen laut dangkal, terutama mudstone dan batupasir halus dari
Bhongan Shale hingga terbentuk Formasi Pamaluan.
Pada Kala Miosen Awal, pengangkatan wilayah ke arah barat telah menghasilkan
banyak suplai sedimen yang masuk ke Cekungan Kutai dan menghasilkan formasi delta,
salah satunya adalah wilayah Sangatta. Pengumpulan endapan delta pada saat awal

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 21


Bab II Tinjauan Geologi

mengakibatkan terbentuknya Formasi Pulau Balang terutama paparan delta yang lebih
rendah dari endapan laut dangkal, dan diikuti oleh Formasi Balikpapan yang terdiri dari
mudstone, batulempung dan batupasir. Di dalam Formasi Balikpapan tersebut terdapat
sejumlah peat (lapisan gambut), yang pada akhirnya akan membentuk lapisan batubara di
daerah Pinang. Penurunan yang terjadi di wilayah ini diduga tidak serentak sehingga
menimbulkan terbentuknya patahanpatahan. Deposit yang membentuk Formasi
Balikpapan kemudian diikuti dengan pembentukan Formasi Kampung Baru pada Kala
Pliosen.
Pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai membebani endapan
lempung tebal (Formasi Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa
lempung kelebihan tekanan dan tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos
sedimen regresif di atasnya (Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik,
di daerah Pinang terbentuk struktur antiklin sempit menyerupai kubah (Pinang Dome)
yang dipisahkan sinklin. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High
atau Tinggian Kucing di bagian barat Cekungan Kutai.

Kala Miosen terjadi pemekaran di Laut Cina Selatan yang memacu proses subduksi
sepanjang batas baratlaut Kalimantan dengan gaya kompresi berarah baratlauttenggara
(NW-SE) (Setiadi, 2008). Akibat dari lapisan batuan yang kurang stabil dan gaya yang
bekerja terus-menerus, terbentuk zona lemah sehingga menyebabkan lapisan batuan
mengalami pensesaran (patahan) dan terbentuk struktur Sesar Naik Villa yang memanjang
berarah timurlaut-baratdaya. Struktur Sesar Naik Villa ini terbentuk akibat gaya utama
yang bekerja menekan dari arah baratlaut, akibat adanya zona lemah, blok di sebelah
baratlaut relatif naik ke atas blok tenggara dan terus terlipat kuat membentuk struktur sesar
naik, stuktur Sesar Naik Villa ini diperkirakan terjadi pada Kala Miosen Akhir.

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 22

Anda mungkin juga menyukai