23 September 2006
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan
tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary.
Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan
struktur yang bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan
kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan
pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan
namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat
sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi
diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai
di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (Tabel
2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta
plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan
menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Environment
Gravelly braid plain
Sandy braid plain
Alluvial valley and
upper delta plain
Lower delta plain
Backbarrier strand
plain
Tabel 2.1
Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara
(Diesel, 1992)
Subenvironment
Coal Characteristics
Bars, channel, overbank plains,
mainly dull coals, medium to
swamps, raised bogs
low TPI, low GI, low sulphur
Bars, channel, overbank plains,
mainly dull coals, medium to
swamp, raised bogs,
high TPI, low to medium GI,
low sulphur
channels, point bars, floodplains
mainly bright coals, high TPI,
and basins, swamp, fens, raised
medium to high GI, low
bogs
sulphur
Delta front, mouth bar, splays,
mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and
medium TPI, high to very high
marshes
GI, high sulphur
Off-, near-, and backshore, tidal
transgressive : mainly bright
inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI,
marshes
high sulphur
regressive : mainly dull coals,
low TPI and GI, low sulphur
Estuary
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain dan
delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan
mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di atas
permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan
channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat
diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded bedding,
paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah
berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan
plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood
plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang terbentuk
ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir
halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase play.
Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus sedang dengan struktur sedimen cross bedding,
ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum
ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya
memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain. Endapan
flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan
banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena lingkungan
pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi
gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan akan
menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh
tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
Lingkungan barrier
Lingkungan ini mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut
dan mendukung pembentukan gambut di bagian daratan. Kriteria utama mengenal
lingkungan barrier adalah pada hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan
pengenalan tekstur batupasir. Kearah laut batupasir butirannya menjadi semakin halus dan
selang-seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai kehijauan.
tekanan rejim temperatur. Penyempurnaan dari setiap tahap kerja adalah untuk memulai
fase berikutnya.
Analisis cekungan batubara adalah alat untuk menentukan secara lebih sempurna konsep
batubara sebagai batuan sedimen, sebagai sistem geokimia, dan sebagai endapan organik
dengan asosiasi batuannya.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
dan lingkungan pengendapannya. Ruppet dkk. (1985) studi karakteristik butiran kuarsa
pada batubara untuk menjelaskan asal mula mineral yang berada di dalam batubara.
2.6 Data geokimia dan petrokimia
Membantu penentuan genesa batubara, seperti kondisi geokimia, sedimentasi, dan evolusi
geokimia suatu cekungan batubara.
Menurut Caruccio et al (1977), ada empat bentuk pirit pada batubara (Gb. 6.1):
Kandungan sulfur yang hadir sebagai markasit atau pirit terjadi dalam bentuk butiran
euhedral dan berbutir kasar (> 25 mikron).
Menggantikan material asli tumbuhan (replacement).
Berupa lembaran (platy) yang mengisi cleat.
Framboidal pirit.
Dari keempat macam di atas, maka bentuk framboidal yang paling cepat mengalami
dekomposisi, sehingga menimbulkan air asam tambang pada kegiatan penirisan tambang.
Terlebih bila tidak mengandung material karbonat. Bila menyebar di dalam batubara, maka
tidak dapat dipisahkan pada uji pencucian yang menggunakan larutan dengan berat jenis
1,5.
Mansfield & Spackman (1968) menseleksi batubara bituminous di barat Pennsylvania,
ternyata batubara di bawah pengaruh air laut mempunyai kandungan sulfur lebih tinggi
dibanding yang di air tawar.
1.
2.
3.
pembakaran hampir semua unsur dalam batubara diubah menjadi bentuk oksida untuk
menghasilkan energi yang maksimal, pada belerang sebagian besar menjadi SO X dan
sebagian kecil menjadi SO3
http://cogangeologist.blogspot.co.id/2010/12/lingkungan-pengendapanbatubara.html
Lingkungan Pengendapan Delta dan Batubara
undefined undefined, undefined
Author: Bike To Campus | |
ruang akomodasi yang dipengaruhi oleh Relative sea level (RSL), dimana kedua hal ini
dipengaruhi oleh tektonik dan eustacy. Oleh karena itu, studi stratigrafi sikuen pada sistem
delta merupakan suatu model yang ideal dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran
bagaimana suatu rekaman stratigrafi dijelaskan dengan konsep stratigrafi ini, melalui
pembagian
sikuen,
parasikuen
set,
parasikuen
dan
system
tract-nya
Konsep stratigrafi sikuen akan dapat menjelaskan bagaimana stacking pattern dari
suatu endapan delta. Setiap delta akan mengalami siklus akibat adanya perubahan muka air
laut, oleh tektonik dan atau eustacy. Siklus delta dapat dibagi menjadi allocyclic processes
dan autocyclic processes. Allocyclic disebabkan oleh faktor luar, misalnya eustacy, tektonik,
iklim dan sebagainya. Siklus ini merupakan siklus transgresi-regresi akibat perubahan RSL.
Autocyclic disebabkan oleh faktor yang berasal dari faktor dalam cekungan, meliputi lobe
switching dan river avulsion.
Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis
coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
Konsep stratigrafi sikuen ini sangat sesuai untuk diterapkan pada sistem delta,
karena delta sendiri merupakan lingkungan pengendapan di daerah transisi dimana sangat
sensitif terhadap perubahan muka air laut. Delta merupakan sebuah lingkungan
pengendapan yang pembentukannya dipengaruhi tiga parameter, yaitu : suplai sedimen,
energi gelombang dan pasang surut. Dalam pengendapannya delta membutuhkan suatu
ruang akomodasi yang dipengaruhi oleh Relative sea level (RSL), dimana kedua hal ini
dipengaruhi oleh tektonik dan eustacy. Oleh karena itu, studi stratigrafi sikuen pada sistem
delta merupakan suatu model yang ideal dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran
bagaimana suatu rekaman stratigrafi dijelaskan dengan konsep stratigrafi ini, melalui
pembagian sikuen, parasikuen set, parasikuen dan system tract-nya
Konsep stratigrafi sikuen akan dapat menjelaskan bagaimana stacking pattern dari
suatu endapan delta. Setiap delta akan mengalami siklus akibat adanya perubahan muka air
laut, oleh tektonik dan atau eustacy. Siklus delta dapat dibagi menjadi allocyclic processes
dan autocyclic processes. Allocyclic disebabkan oleh faktor luar, misalnya eustacy, tektonik,
iklim dan sebagainya. Siklus ini merupakan siklus transgresi-regresi akibat perubahan RSL.
Autocyclic disebabkan oleh faktor yang berasal dari faktor dalam cekungan, meliputi lobe
switching
dan
river
avulsion.
Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis
coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
http://biketocampus-biketocampus.blogspot.co.id/2009/10/lingkunganpengendapan-delta-dan.html
GENESA BATUBARA
yaitu
tahap
diagenesa
gambut
(peatilification)
dan
tahap
ditempat
terbentuk
di
tempat
tumbuhan
itu
terbentuk,
batubara ini dicirikan dengan adanya bekas bekas akar pada seat earth
serta memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara
apingan terbentuk dari timbunan material tanaman yang telah mengalami
perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan tertimbun, pada batubara ini
tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki kandungan
pengotor yang tinggi.
Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter
yang mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya
sumber vegetasi, posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan
pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan, kendali
lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan
terbentuknya batubara.
PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)
Pembusukan
dan
penghancuran
tersebut
pada
dasarnya
anaerob
saja
yang
berfungsi
melakukan
proses
kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi mineralnya
kurang dari 50 % (dalam keadaan kering).
Menurut
Bend
(1992)
dalam
Diessel
(1992)
untuk
dapat
tempat
terbentuknya
rawa
gambut
umumnya
Rawa
ilalang terbuka
Rawa
hutan
Rawa
lumut
dapat
dibedakan
menjadi
jenis
berdasarkan
jenis
tanaman
lumut
atau
tanaman
merambat
yang
miskin
kandungan makanan.
Fen,
beberapa
jenis
pohon
lainnya.
Umumnya
terletak
pada
batubara
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
kondisi
Lingkungan
yang
berada
pada
daerah
pasang
surut
ini
speciesnya karena rawa jenis ini akan asam 3,5 4) dan kandungan
mineralnya sangat rendah.
5. PH, Aktivitas Bakteri, dan Sulfur
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga
dengan demikian akan sangat mempengaruhi proses dekomposisi
struktur dan kimia dari sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar
dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa
tergantung
pada
rumpun
tumbuhan
yang
ada,
suplai
O2
dan
gambut
memegang
peranan
penting
pada
proses
abu,
total
sulfur
dan
vitrinitnya
umumnya
rendah,
karena
suplai
nutrisi
yang
memiliki
ketebalan
bervariasi
dan
endapan
sedimen
baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan
ternendapkan sedimen klasitik halus yang akan menjadi pengotor
dalam batubara.
Disamping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit
dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat
dalam air laut. Menurut Horne dan Ferm (1978), batubara yang
ternendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi
ketebalan tipis, batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah
dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit/huminit nya terutama
didominasi oleh detrovitrinit/humotellinit sehingga nulai TPI nya relatif
rendah. Hal ini menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan
jaringan lunak (soft tissued plant) dan bio degredasi pada kondisi pH
yang relatif tinggi
4. Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologis garis pantai dikontrol oleh rasio suplai
sedimen dengan daerah pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika
nilai rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio
rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif
lebih rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan
ditumbuhi alang-alang. Gambut yang akan terakumulasi di suatu
tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan
material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa
gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan
trangresi air laut.
Diesel (1992) mengelompokan berbahai kondisi akumulasi gambut
menjadi lima kategori berdasarkan penelitian terhadap batubara humik
bituminous
(gambar
3.2).
Kelima
kategori
tersebut
diberdakan
serta variabel watertable dan dua lainya adalah rawa gambut ombrogenik
yang dibagi atas: continuusly wet dan intermitenly dry.
Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral.
Perbedaan utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada
konsentrasi ion hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasi nya
rendah merupakan lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang
konsentrasinya lebih tinggi merupakan lingkungan payau dan laut.
Kategori variable watertable adalah lingkungan air tawar namun dengan
muka air tanah berubah-ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang
kering
pada
masa
tertentu.
Adanya
kecendrungan
dalam
kondisi
berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang
tidak
berasal
dari
materi
yang
dapat
terhumifikasikan
melainkan berasal dari sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat
rendah seperti spora, gangang (algae), kutikula, getah tanaman (resin)
dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya,
kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran
pollen), cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral
sekunder yang berasal dari getah maseral liptinit lainya yang keluar
dari proses pembantubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus),
flourinite (degradasi dari resinit), liptoderinit (detritus dari maseral
liptinite lainya), alganitie (gangang) dan bituminite (degradasi dari
material algae).
Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau
bisa juga sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari
bitumen. Sifat optis : refletivitas rendah dan flourosense tinggi dari
liptinit mulai gambut dan batubara pada tangk rendah sampai tinggi
pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor 1998) dibawah
mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning muda hingga
kuning tua di bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa
kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinite
mempunyai berat jenis 1,0 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling
seperti
pembakaran
gelifikasi
(charring),
biokimia
mouldering
dan
dan oksidasi
serat
Vitrinite
Tellovitrinite
Type maseral
Textinite
Texto-ulminite
Eu ulminite
Telocolinite
Detrovitrinite
Atrinite
Desinite
Desmocolinite
Gelovitrinite
Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Liptinite
Sporinite
Cutinite
Resinit
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alganite
Bituminite
Inertinite
Teloinertinite
Fusinite
Semifusinite
Scelorotinite
Detroinertinite
Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite
macrinite
kayu
dalam
hal
ini
ditunjukkan
dengan
banyaknya
aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI
rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang
terbatas.
3.2.3 PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI
ini
dapat
menggaqmbarkan
proses
gelifikasi
yang
maseral.
Kegunaan
parameter
mineral
matter
disini
dapat
mengindikasikan asal mula dari dominasi detrital masuk pada mire dan
juga dapat mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (Rheotrophic,
mesotrophic dan ombrotropic). (Cecil, C.B dalam Taylor, 1998)
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam
GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk
dalam menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire).
Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan
pembentuk dengan menggunakan paramater kesamaan antar maseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukan dengan kandungan
telovitrinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan
resinit adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa
melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya
akan detrovitrinit, inertodetrinit dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989).
Kondisi seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alganite.
Sementara sporanite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada
batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.
yang dapat diamati sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses
presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968)
Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut
dangkal, direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida,
kemudian dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan
mereduksi ferric iron (Fe3+) menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen
sering kali menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen
sulfida menjadi unsur sulfat (S0).
Horne et.al (1978) menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan
kecepatan tinggi selama sedimentasi umumnya akan menghasilkan
beragam geometri dan petrografi batubara, tetapi kandungan sulfurnya
rendah.
Apabila
penurunan
berjalan
secara
perlahan
maka
akan
ait tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga
rendah ( <>
Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada
batubara dan gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan
yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1>ih banyak sulfur organik
daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur
tinggi lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup
yang berasal dari lingkungan laut
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian
roof dan floor lapisan batubara.
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya
terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan
lapisan penutup dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang
terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara
dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi berasosiasi dengan
sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil 1979)
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa
sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut skema
yang menunjukan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara.
Gambar 3.4. Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits
& Arthur, 2000)
Ward (1984) menyebutkan sulfur dalam batubara meliputi sulfur
sulfat, sulfida sulfur dan organic sulfur yang kesemuanya merupakan
penjumlahan dalam total sulfur dalam analisa proksimat.
Kandungan sulfur dalam batubara terdiri :
1. Sulfur sulfat.
terdapat
dalam
material
yang
terendapkan
bersama
batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi
cleat karena kation kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam
batubara oleh aliran yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk
pirit (Demchuck TD, dalam International Journal of Coal Geology, 1992)
Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil
(granular) dan kristal euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat
dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi
dan tempat yang cocok bagi pembentukanya (Casagrande, 1987)
Pirit
framboidal
terendapkan
pada
berasosiasi
lingkungan
laut
dengan
sampai
batuan
payau.
penutup
yang
Gambut
yang
aktivitas
bakteri
pereduksi
sulfur
dalam
gambut.
biasanya
melimpah
dalam
lingkungan
marine
atau
payau
reduksi
ini
dipicu
oleh
adanya
bakteri
desulfovibrio
dan
dengan
asam
humik
yang
terbentuk
selama
proses
penggambutan. Jenis interaksi antaea H2S dengan asam humik inilah yang
mempunyai peranan paling penting dalam mementukan kandungan sulfur
organik dalam batubara (Mayers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur
organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa
gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974, Bein, 1990,
Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000)
Bukti-bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik
pada sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesa
(Nissenbaum & Kaplam, 1972; Casagrande, 1979; Kohnen, 1990 dalam
Suits & Arthur, 2000). Bukti dari isotop sulfur memperkuat hipotesa
tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur
34
pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan purba. Bukti isotop ini
juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk setelah proses
presipitsi pirit (Kaplan, 1963, Price & Shieh, 1979, Francois, 1
http://geologiaway.blogspot.co.id/2010/03/batubara.html987,
Raiswell, 1993 dalam Suits & Arthur, 2000)