Anda di halaman 1dari 6

Istilah-istilah dalam Petrologi Batubara

Posted on Maret 7, 2014 by Wida Nur Hasan

1. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya di tempat
dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami
proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan
(coalification). Jenis batubara yang berbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
merata, kualitasnya baik karena kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk ini di
Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enim (Sumatra Selatan).
2. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya di tempat
yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup
oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan
cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dteijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang
baik karena banyak pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara
yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara delat Mahakam purba,
Kalimantan Timur.
3. Humic coal
Batubara humik biasanya diendapkan di lingkungan darat (limnic), dengan proses pengendapan
secara insitu, yang mana material organik pembentuk batubara berasal dari tempat dimana
tumbuh-tumbuhan asal itu berada (autochthonous). Batubara tipe ini memiliki kualitas batubara
yang baik dengan peringkat batubara bituminus hingga antrasit. Komposisi maseral 90% lebih
terdiri dari vitrinit (vitrite), memiliki kandungan hidrogen dan zat terbang yang sangat rendah.
4. Sapropelic Coal
Batubara sapropelik biasanya diendapkan di lingkungan laut (paralic) seperti pada daerah delta,
laguna, lestuarin, marsh, rawa-rawa air payau. Proses pengendapannya secara drift, yang mana
material organik pembentuk batubara berasal dari tempat lain (allochthonous). Batubara tipe ini
memiliki kualitas batubara kurang baik dibandingkan batubara humik, sedangkan peringkat
batubaranya adalah sub bituminus hingga lignit dengan kandungan hidrogen dan zat terbang
yang tinggi sedangakan kandungan karbon rendah. Batubara sapropelik dapat dibagi menjadi dua
jenis yaitu batubara cannel dan boghead.

Batubara jenis cannel dan boghead dapat dibedakan dari komposisi maseralnya, terutama
kelompok liptinit. Batubara cannel memiliki maseral sporinite lebih banyak dibandingkan
maseral alginite (sporinite > alginite). Sedangkan batubara boghead lebih dibanyak disusun oleh
maseral alginite dibandingkan sporinite (sporinite < alginite).
5. Humosapropec Coal
Batubara humosapropelik merupakan batubara yang dihasilkan dari rangkaian humik dan
spropelik, tetapi rangkaian humik lebih dominan. Asal material organik pembentuk batubara
berasal dari tempat dimana material organik diendapkan dan dari tempat lain.
6. Paleogene Syn-Rift
Batubara syn-rift berasosiasi dengan sedimen fluvial dan lakustrin, biasanya batubara yang
diendapkan pada tipe ini menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang tinggi (~7000 Kcal/kg),
rendah kandungan air lembab dan sulfur. Sebagai contoh untuk tipe ini adalah Formasi
Sawahlunto di Cekungan Ombilin, Sumetera Tengah.
7. Neogene Syn-Orogenic Regressive
Batubara syn-orogenic regressive terjadi pada Miosen Tengah hingga Plio-Pleistosen dan
merupakan hasil dari pengangkatan cekungan. Endapan batubara biasanya terdapat cekungan
belakang busur (back-arc basin) dan cekungan depan busur (fore-arc basin) pada busur
kepulauan. Endapan batubara pada syn-orogenic regressive biasanya tidak terlalu tebal, tetapi
akan terdiri dari beberapa lapisan. Nilai kalori rata-rata adalah rendah (~5000 kcal/kg),
kandungan air lembab tinggi dan kandungan sulfur juga rendah.
8. Paleogene PostRift Transgression
Batubara postrift transgression diendapkan pada lingkungan paparan yang stabil selama kala
Eosen Akhir hingga Awal Miosen. Sebagai contoh tipe ini adalah batubara dari Cekungan
Sumatera Tengah (Awal Miosen), dan lebih tepat diwakili dengan batubara Senakin di Formasi
Tanjung bagian bawah dalam Cekungan Barito dan Pasir-Asem-asem. Batubara pada lingkungan
ini diendapkan secara lateral dan menerus, dengan nilai kalori dan kandungan sulfur tinggi.
9. Upgraded Brown Coal
Suatu teknologi untuk meningkatkan nilai kalori batubara peringkat rendah melalui penurunan
kadar air bawaan (inherent moisture) dalam batubara. Dalam hal ini dipakai istilah raw coal
untuk batubara mentah peringkat rendah yang belum ditingkatkan kualitasnya dan produk UBC
untuk batubara yang sudah ditingkatkan kualitasnya.

Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk menghasilkan produk batubara dengan nilai kalor
6000 6500 kkal/kg dari batubara peringkat rendah yang mempunyai nilai kalor 3500 4500
kkal/kg, melalui teknik pengurangan kandungan air total dari 25 45% menjadi <5%.
Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara batubara asal dan minyak residu
kemudian dipanaskan pada suhu 150C dengan tekanan hanya 350 kPa (35 atm). Penambahan
minyak residu adalah untuk menjaga kestabilan kadar air. Keunggulan proses ini selain suhu dan
tekanan yang cukup rendah, juga batubara yang dihasilkan cukup bersih karena minyak residu
yang ditambahkan pada saat proses dipisahkan dan dapat digunakan kembali. Batubara produk
proses UBC dapat berupa serbuk ataupun bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket atau
dalam bentuk slurry. Polusi pada air buangan akan sangat minimum karena proses yang
berlangsung adalah secara fisika, sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa.
10. Clarite
Suatu jenis batubara mikrolit yang berisi kombinasi vitrinite dan exinite sebesar paling sedikit
95%. Proporsi dua maseral ini dapat bervariasi, tetapi masing-masing harus lebih besar dari
proporsi inertinit, dan tidak boleh melebihi 95%. Perbedaan dapat terjadi antara spora clarite,
clarite kutikula, dan clarite resin. Clarite didistribusikan secara luas dan sangat umum, terutama
jenis batubara clarain dan terjadi pada band yang cukup tebal.
11. Durite
Suatu jenis batubara mikrolit yang mengandung kombinasi inertinit dan exinite sebesar minimal
95%, dan mengandung lebih banyak dari masing-masing vitrinit. Proporsi kedua kelompok
maseral dapat sangat bervariasi, tetapi masing-masing harus lebih besar dari proporsi vitrinit dan
tidak boleh melebihi 95%. Durite E dan durite I mengandung arti durite kaya exinite dan
inertinit. Secara umum dapat ditemukan dalam banyak batu bara, di band cukup tebal, terutama
di durains dan jenis kusam dari clarain.
12. Vitrinertite
Suatu jenis batubara mikrolit yang berisi kombinasi vitrinit dan inertinit sebesar minimal 95%,
dan mengandung lebih banyak masing-masing daripada exinite. Hal ini biasanya terjadi pada
level tinggi batubara bituminous.

Formation
Sapropels are thought to develop during episodes of reduced oxygen availability in bottom
waters, such as an Oceanic Anoxic event (OAE). Most studies of sapropel formation
mechanisms infer some degree of reduced deep-water circulation. Oxygen can only reach the
deep-sea by new deep-water formation and consequent "ventilation" of deep basins. There are

two main causes of OAE: A reduction in deep-water circulation or a raised upper level oxygen
demand.
A reduction in deep-water circulation will eventually lead to a serious decrease in deep-water
oxygen concentrations due to biochemical oxygen demand associated with the decay of organic
matter that sinks into the deep-sea as a result of export production from surface waters. Oxygen
depletion in bottom waters then favours the enhanced preservation of the sinking organic matter
during burial in the sediments. Organic-rich sediments may also form in well-ventilated settings
that have highly productive surface waters; here the high surface demand simply extracts the
oxygen before it can enter the deep circulation currents so depriving the bottom waters of
oxygen.

Significance
Sapropelic deposits from global Ocean Anoxic Events form important oil source rocks. Detailed
process studies of sapropel formation have concentrated on the fairly recent eastern
Mediterranean sapropels, the last of which was deposited between 9.5 and 5.5 thousand years
ago.
The Mediterranean sapropels of the Pleistocene reflect increased density stratification in the
isolated Mediterranean basin. They record a higher organic carbon concentration than nonsapropel times; an increase in the 15N and corresponding decrease in 13C tells of rising
productivity as a result of nitrogen fixation.[1] This effect is more pronounced further east in the
basin, suggesting that increased precipitation was most pronounced at that end of the sea.[1]

The Geology of Coal

Definitions

Coal
Macerals
Coalification

Types of Coal
1. Banded (Humic) coal
2. Cannel (Boghead or Sapropelic) coals
Composition of Coal: Types of macerals or maceral groups
(http://mccoy.lib.siu.edu/projects/crelling2/atlas/macerals/mactut.html)

1-Vitrinite Macerals
Vitrinite macerals are derived from the cell wall material (woody tissue) of
plants, which are chemically composed of the polymers, cellulose and lignin.
The vitrinite group is the most abundant group and commonly make up 50 to
90% of most north American coals. However, most Gondwanaland coals and
some western Canadian coals are vitrinite poor.
2- Liptinite Macerals
The liptinite macerals are derived from the waxy and resinous parts of plants such as spores,
cuticles, and resins, which are resistant to weathering and diagenesis. They generally make up
about 5 - 15% of most North American coals. They are usually more abundant in the
Appalachian coals than any other U.S. coals except cannel and boghead types where they
dominate. At a reflectance of 1.35-1.40 most of the liptinite macerals disappear from coal.
Cannel and Boghead coals are petrographically distinguished from humic coals by both their
maceral composition and texture. They have an abundance of liptinite macerals (sporinite in
cannels and alginite in bogheads) and a paucity of vitrinite and inertinite macerals.
The outstanding petrographic feature of the liptinite group of macerals is that they all have a
reflectance that is lower than the vitrinite macerals in the same coal. This group of macerals is
very sensitive to advanced coalification and the liptinite macerals begin to disappear in coals of
medium volatile rank and are absent in coals of low-volatile rank. When the liptinite macerals
are present in a coal, they tend to retain their original plant form and thus they are usually "plant
fossils" or phyterals. The phyteral nature of the liptinite macerals is the main basis on which they
are classified into sporinite, cutinite, resinite, and alginite.
3- Inertinite Macerals
The inertinite macerals are derived from plant material that has been strongly altered and
degraded in the peat stage of coal formation. For example, fossil charcoal is the inertinite
maceral, fusinite. In most North American coals the inertinite macerals range from less than 5
percent to 40 percent with the highest amounts generally occurring in Appalachian coals. The
inertinite macerals have the highest reflectance of all the macerals and are distinguished by their
relative reflectances and structures. They include such types as fusinite, semifusinite,
macrinite, micrinite, and sclerotinite.

Coal Rank:

Is a measure of the total amount (%) of carbon in coal (measured on a dry,


mineral matter free basis).

Four types according to rank: Lignite sub-bituminous bituminous


anthracite.
Increased rank is accompanied by an increase in its calorific value, % C, and
vitrinite reflectance. It is also accompanied by a decrease in volatiles and
moisture, as well as H.

Coal grade:
Is a measure of the amount of undesirable mineral matter in coal. This is often
expressed as the amount of ash (non-combustible inorganic residue left behind
after coal is burnt).

World Distribution and Production

Coalification:

Terrestrial accumulation
Burial Peat
Diagenesis: biochemical followed by geochemical changes that increase the
coal rank (C/H ratio).
Optimum conditions: Swamps and deltas straddling continental margins with
detrital continental sediment buildup, repeated transgressions and
regressions producing cyclothems (cyclic sedimentary cycles containing
limestone, shale, sandstone, coal). Major coal deposits are all post-Silurian
(mostly Carboniferous or younger).

Coal mining:

Ratio of thickness of the overburden to that of the coal bed has to be less
than 20:1 to make this viable.
Open pit mining: Strip mining in flat areas vs. Contour mining on hilly terrain.
Underground mining: Room and pillar mining (40 60% recovery) vs. lowangle mining (100% recovery).

By-products of coal mining:

Ganister: pure silica


Seat Earth or fireclay: underclay
Clay ironstones: rarely used.

Anda mungkin juga menyukai