Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai jenis dan penyebaran fasies batugamping di daerah
penelitian. Pembahasan dimulai dari dasar teori yang menjelaskan pengertian batugamping dan
lingkungan pengendapan karbonat laut, kemudian mengenai klasifikasi dan fasies batugamping.
Setelah itu berdasarkan klasifikasi dan standar fasies yang digunakan pada dasar teori akan
dijabarkan tipe asosiasi fasies batugamping yang terdapat di daerah penelitian beserta jenis fasies
dan karakteristiknya. Kemudian akan dijabarkan model pengendapan berdasarkan jenis dan
penyebaran fasies batugamping di daerah penelitian serta dilakukan perbandingan dengan model
pengendapan batugamping di daerah lain.

4.1 Dasar Teori


4.1.1 Batugamping dan Lingkungan Pengendapan Karbonat Laut
Batugamping adalah batuan sedimen yang memiliki komponen utama mineral kalsit
(CaCO3) dan mineral – mineral tambahan seperti aragonit, dolomit, siderit, dan lainnya.
Sedimentasi batugamping dapat terbentuk secara biologi maupun kimiawi. Hampir 90% sedimen
karbonat yang ditemukan di lingkungan modern terbentuk secara biologis dan dipengaruhi air
laut (Tucker dan Wright, 1996).
Daerah dimana berlangsung sedimentasi karbonat pada lingkungan laut dangkal dikenal
dengan istilah paparan karbonat (carbonate platform) . Paparan karbonat dapat terbentuk di
lingkungan dengan iklim dan kondisi tektonik yang bervariasi dengan memenuhi dua syarat
utama yaitu terisolasi dari suplai sedimen klastik dan berada pada perairan dangkal. Produksi
karbonat biogenik terhalang oleh keberadaan material klastik maka daerah dengan input detritus
yang rendah merupakan tempat potensial untuk pengendapan karbonat. Dalam kondisi yang
sesuai, jumlah produksi karbonat biogenik di laut dangkal ditentukan oleh produktivitas dari
rangkaian makanan organisme laut. Oleh karena itu, temperatur dan salinitas memegang peranan
penting dalam menentukan produktivitas karbonat biogenik. Temperatur air laut yang berkisar
antara 20 o – 25o C di kedalaman hingga 100 m dikenal dengan zona fotik yang merupakan zona
dengan produksi karbonat optimum (Gambar 4.1).

46
Gambar 4.1 Hubungan antara kedalaman dan produktivitas karbonat biogenik (Nichols, 2009)

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa jenis paparan karbonat laut dangkal yaitu
ramp, rimmed shelf, non – rimmed shelf, epeiric platform, dan isolated platform (Gambar 4.2).
Ramp adalah paparan karbonat yang memiliki kemiringan lereng yang kecil (kurang dari 1 o)
dengan energi pengendapan sangat besar dan sedimentasi karbonatnya banyak dipengaruhi oleh
gelombang air laut. Tidak terbentuk terumbu (reef) disini, namun pada beberapa kasus carbonate
mound dan patch reef dapat terbentuk. Rimmed shelf dan non – rimmed shelf adalah paparan
karbonat yang memiliki tekuk lereng pada batasnya dengan kemiringan yang signifikan. Hal
yang membedakannya adalah pada rimmed shelf terbentuk batas paparan berupa terumbu
maupun beting pasir (sand shoal) sedangkan non – rimmed shelf tidak memiliki batas paparan.
Epeiric platform adalah daerah kraton yang sangat luas (lebar 100 – 10.000 km) yang
tertutupi oleh laut dangkal dan menjadi tempat sedimentasi karbonat. Batas paparannya dapat
serupa dengan rimmed shelf. Tipe paparan karbonat seperti ini berkembang terutama pada zaman
Jura dan Kapur. Isolated platform adalah paparan laut dangkal dengan lereng terjal yang
dikelilingi oleh laut dalam dan menjadi tempat pengendapan karbonat. Distribusi fasies dari tipe
paparan ini dipengaruhi oleh arah angin dan badai namun secara umum memiliki kemiripan
dengan rimmed shelf. Isolated platform biasanya terbentuk di pulau vulkanik yang telah mati
atau blok horst pada cekungan ekstensional.

47
Gambar 4.2 Tipe paparan karbonat (Nichols,2009)

4.1.2 Klasifikasi dan Fasies Batugamping


Klasifikasi Dunham (1962) adalah skema yang paling digunakan secara luas untuk
mendeskripsi batugamping baik secara megaskopis maupun mikroskopis. Kriteria utama yang
digunakan pada klasifikasi ini adalah tekstur dalam artian proporsi antara keberadaan lumpur
karbonat dengan komponen penyusun lainnya (Nichols , 2009). Klasifikasi Dunham (1962)
kemudian disempurnakan oleh Embry & Klovan (1971) sehingga penentuan tekstur batugamping
menjadi lebih detail. Klasifikasi Embry & Klovan (1971) (Tabel 4.1) menambah terminologi
tekstur floatstone dan rudstone serta membagi fasies boundstone menjadi tiga fasies yang lebih
detail lagi menjadi bindstone, framestone, dan bafflestone.

Tabel 4.1 Klasifikasi tekstur batuan karbonat (modifikasi Dunham 1962; Embry & Klovan,1971 dalam Schlager,
2005)

48
Fasies merupakan karakter tubuh batuan berdasarkan kombinasi litologi, struktur disik
atau biologi yang dapat mempengaruhi aspek perbedaan tubuh setiap batuan. Karakteristik
litologi, tekstur, kandungan fosil, warna, struktur sedimen dan lainnya menjadi faktor pembeda
dalam melakukan identifikasi batuan karbonat. Penentuan fasies pada penelitian ini didasarkan
pada pengamatan komponen penyusun batugamping (biota,mikrit, semen, tekstur, struktur, dan
porositas) melalui pengamatan megaskopis dan mikroskopis dengan menggunakan klasifikasi
Dunham (1962) dan Embry & Klovan (1971), sedangkan penentuan asosiasi fasies batugamping
dan analisis lingkungan pengendapan merujuk pada standard facies belt dari Wilson (1975)
(Tabel 4.2) dengan terminologi asosiasi fasies berdasarkan Schlager (2005).

Tabel 4.2 Standard facies belt batugamping (Wilson, 1975 dalam Schlager, 2005)

4.2 Asosiasi Fasies Batugamping Daerah Penelitian


Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis sayatan tipis didapatkan empat asosiasi
fasies batugamping berdasarkan standard facies belt dari Wilson (1975), yaitu Asosiasi Fasies
Paparan Bagian Dalam ( shelf lagoon open circulation – restricted circulation shlef and tidal
flats) (Gambar 4.4, kotak merah), Asosiasi Fasies Batas Paparan (organic build up) (Gambar 4.4,
kotak biru), Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng ( foreslope – deep shelf margin)

49
(Gambar 4.4, kotak kuning), dan Asosisasi Fasies Paparan Laut Terbuka (open sea shelf)
(Gambar 4.4, kotak hijau).

4.2.1 Asosiasi Fasies Paparan Bagian Dalam


Karakteristik dari asosiasi fasies ini adalah lingkungan pengendapan dengan energi
rendah dengan sirkulasi air laut yang terbatas dan terbuka serta merupakan bagian utama dalam
paparan karbonat. Merupakan daerah yang termasuk zona fotik sehingga produktivitas karbonat
biogenik cukup tinggi. Memiliki tingkat variasi tekstur yang tinggi dari grainstone hingga
mudstone serta mengandung pelloid dan biota laut dangkal lainnya. Distribusi asosiasi fasies ini
tersebar di bagian tengah hingga timur daerah penelitian. Asosiasi Fasies Paparan Bagian Dalam
terdiri dari beberapa fasies yaitu Fasies Alga Packstone, Fasies Rudstone Foraminifera
Packstone, dan Fasies Foraminifera Wackestone – Packstone. Pada peta geologi asosiasi fasies
ini termasuk ke dalam Satuan Batugamping Masif.

4.2.1.1 Fasies Alga Packstone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna abu – abu, bertekstur klastik, grain – supported,
pemilahan buruk, porositas sedang, sangat kompak dengan butiran skeletal didominasi oleh alga
terutama alga merah dan alga hijau. Secara umum singkapan dari fasies ini mengalami pelarutan
dan rekristalisasi yang cukup intensif serta pada beberapa tempat berselingan dengan Fasies
Foraminifera Wackestone – Packstone (Foto 4.1A dan B). Berdasarkan analisis sayatan tipis
didapatkan komponen butiran lainnya yang dapat mencapai presentase 60% seperti pecahan
koral, foraminifera, dan echinoid dengan ukuran butir 0,2 sampai 3 mm. Selain itu kandungan
matriks dapat mencapai presentase 30% yang terdiri dari mikrit dengan semen terdiri dari
sparrycalcite berbentuk isopach dan equant (Lampiran D). Jenis porositas yang teridentifikasi
yaitu interpartikel dan intrapartikel yang dapat mencapai presentase hingga 10%. Fasies ini
ditemukan di beberapa tempat diantaranya di Anggasara, Peok, dan Tlogo Tengah.

50
Timur

Foto 4.1 A dan B Singkapan alga packstone di lokasi B-04 (Logending) (kiri) dan kandungan alga yang dominan
pada sayatan nikol sejajar B-04 (kanan)

Kandungan fosil Halimeda sp. dan alga merah yang dominan pada fasies ini
menunjukkan lingkungan pengendapan back reef. Hal ini juga diperkuat dengan ditemukannya
fosil foraminifera bentik seperti Borelis sp. dan Textularia sp. Ditemukannya pecahan koral
sebagai komponen butiran menunjukkan bahwa sedimen karbonat dari fasies ini berasal dari
kumpulan terumbu yang terdapat di batas paparan.

4.2.1.2 Fasies Rudstone Foraminifera Packstone


Fasies ini memiliki pecahan packstone sebagai butiran penyusun utamanya, berwarna
putih keabuan, berukuran 2 sampai 20 cm, menyudut, pemilahan baik, grain – supported,
menyudut, kontak antar butiran point – long contact, sangat kompak, dan porositas sedang (Foto
4.2 A dan B). Berdasarkan analisis sayatan tipis pada butiran packstone didapatkan karakteristik
lainnya seperti bertekstur klastik, butiran (50%) terdiri dari butiran foraminifera, alga, dan
bryozoa berukuran 0,2 – 1 mm, matriks (30%) berupa mikrit, semen (10%) berupa sparrycalcite
dengan porositas (10%) berjenis interpartikel dan intrapartikel (Lampiran D).
Fosil foraminifera yang ditemukan diantaranya Lepidocyclina sp., Bigenerina sp., dan
Miliolid sp.. Packstone yang menjadi butiran dalam Fasies Rudstone Monomik Wackestone
terbentuk di lingkungan berenergi sedang yang kemungkinan berada di antara terumbu –
terumbu yang tumbuh. Packstone tersebut mengalami erosi, transportasi dan kemudian
terendapkan. Fasies ini ditemukan di beberapa tempat diantaranya di Durenrenteng, Tlogo
Tengah, dan Wangunweni.

51
Timur Laut

Foto 4.2 A dan B Singkapan rudstone foraminifera pacestone di lokasi G-19 (kiri) dan G-20 (kanan)

4.2.1.3 Fasies Foraminifera Wackestone – Packstone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna abu – abu, bertekstur klastik, mud – supported,
pemilahan sedang, porositas sedang, kompak dengan butiran skeletal didominasi oleh
foraminifera besar maupun foraminifera bentik. Secara umum singkapan dari fasies ini
mengalami pelarutan dan rekristalisasi yang cukup intensif serta pada beberapa tempat
berselingan dengan Fasies Alga Packstone (Foto 4.3A dan B). Berdasarkan analisis sayatan tipis
didapatkan komponen butiran lainnya yang dapat mencapai presentase 40% seperti bryozoa,
alga, pecahan koral, dan pelloid dengan ukuran butir 0,2 sampai 1 mm. Selain itu kandungan
matriks dapat mencapai presentase 50% yang terdiri dari mikrit dengan semen terdiri dari
sparrycalcite berbentuk equant. Jenis porositas yang teridentifikasi yaitu interpartikel dan
intrapartikel yang dapat mencapai presentase hingga 10% (Lampiran D). Fasies ini ditemukan di
beberapa tempat diantaranya di Tlogosari, Dukuh, Logending dan Argosari.

52
Barat

Foto 4.3 A dan B Singkapan foraminifera wackestone – packstone di lokasi F-10 (Linggarsari) (kiri) dan kandungan
foraminifera yang dominan pada sayatan nikol sejajar F-10 (kanan)

Kandungan fosil Halimeda sp. dan Miliolid sp. yang ditemukan pada fasies ini
menunjukkan lingkungan pengendapan back reef. Selain itu juga adanya pelloid dan tekstur
pengendapan fasies ini yang berupa wackestone dan packstone mengindikasikan energi
pengendapan yang sedang – rendah. Fosil foraminifera yang ditemukan antara lain Lepidocyclina
sp., Miogypsina sp., Operculina sp., Cycloclipeus anulatus, Amphistegina sp. , Nodosaria sp.,
dan Textularia sp..

4.2.2 Asosiasi Fasies Batas Paparan


Karakteristik dari asosiasi fasies ini adalah berupa terumbu berbentuk barrier yang tahan
terhadap gelombang laut. Merupakan pusat dari produksi sedimen karbonat serta tekstur
batugamping yang ditemukan secara umum bersifat skeletal framework yang berasal dari
organisme laut yang hidup di lingkungan tersebut. Distribusi asosiasi fasies ini tersebar di bagian
tengah hingga timur daerah penelitian yang melingkupi penyebaran Asosiasi Fasies Paparan
Bagian Dalam. Asosiasi Fasies Batas Paparan terdiri dari beberapa fasies yaitu Fasies Coral
Framestone, Fasies Alga Grainstone dan Fasies Foraminifera Grainstone. Pada peta geologi
asosiasi fasies ini termasuk ke dalam Satuan Batugamping Masif.

4.2.2.1 Fasies Coral Framestone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna putih keabuan, terdiri dari koral dan alga yang
membentuk skeletal framework. Di daerah penelitian singkapan fasies ini bersifat masif

53
ditemukan di puncak – puncak bukit karst serta ditemukan bongkah – bongkah insitu di kaki
bukit (Foto 4.4 A). Berdasarkan analisis sayatan tipis didapatkan fasi s ini memperlihatkan
tekstur non-klastik, tersusun dari head coral dan pecahan alga merah yang mulai terkristalisasi
menjadi microsparrycalcite, serta porositas intrapartikel (Foto 4.4 B) (Lampiran B). Fasies ini
ditemukan di beberapa tempa diantaranya di Wangunweni dan Durenrenteng.

Timur Laut

Foto 4.4 A dan B Singkapan coral framestone di lokasi G-10 (Tlogosari) (kiri) dan sayatan nikol sejajar G-10
(kanan)

4.2.2.2 Fasies Alga Grainstone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna abu – abu, bertekstur bioklastik, grain –
supported, kontak point – long contact, pemilahan sedang, porositas sedang, kompak dengan
butiran skeletal didominasi oleh alga terutama alga merah. Berdasarkan analisis sayatan tipis
didapatkan komponen butiran lainnya yang dapat mencapai presentase 70% seperti pecahan
koral, bryozoa, pecahan moluska dan foraminifera besar dengan ukuran butir 0,4 mm sampai 1
cm. Selain itu kandungan semen dapat mencapai presentase 20% yang terdiri sparrycalcite
berbentuk isopach dan equant. Jenis porositas yang teridentifikasi yaitu interpartikel,
intrapartikel, dan moldic yang dapat mencapai presentase hingga 10% (Foto 4.5A dan B)
(Lampiran D). Foraminifera besar yang ditemukan antara lain Lepidocyclina sp., Cycloclipeus
sp., dan Miogypsina sp. Fasies ini ditemukan di beberapa tempat diantaranya di Ayah,
Logending, dan Gatel.

54
Tenggara

Foto 4.5 A dan B Singkapan alga grainstone di lokasi E-05 (Kedawung) (kiri) dan kandungan alga yang dominan
pada sayatan nikol sejajar E-05 (kanan)

4.2.2.3 Fasies Foraminifera Grainstone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna abu – abu, bertekstur bioklastik, grain –
supported, kontak point – long contact, pemilahan sedang, porositas sedang, kompak kompak
dengan butiran skeletal didominasi oleh foraminifera. Berdasarkan analisis sayatan tipis
didapatkan komponen butiran lainnya yang dapat mencapai presentase 65% seperti bryozoa dan
alga merah dengan ukuran butir 0,3 mm sampai 1,5 mm. Selain itu semen dapat mencapai
presentase 20% yang terdiri dari sparrycalcite berbentuk equant. Jenis porositas yang
teridentifikasi yaitu interpartikel dan intrapartikel yang dapat mencapai presentase hingga 15%
(Foto 4.6 A dan B) (Lampiran D). Foraminifera yang ditemukan antara lain Lepidocyclina sp.,
Cycloclipeus sp., Miogypsina sp., Operculina sp., Miliolid sp., Nodosaria sp., dan Textularia sp..
Fasies ini ditemukan di beberapa tempat diantaranya di Ayah, Logending, dan Gatel.

55
Barat Daya

Foto 4.6 A dan B Singkapan foraminifera grainstone di lokasi J-02 (Goa Petruk) (kiri) dan sayatan nikol sejajar J-02
(kanan)

4.2.3 Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng


Karakteristik dari asosiasi fasies ini adalah terletak di lingkungan lereng benua dengan
sedimen karbonatnya berasal dari paparan karbonat yang lebih dangkal. Mekanisme
pengendapan dari asosiasi fasies ini didominasi oleh arus gravitasi dan sedikit dipengaruhi arus
suspensi di laut dalam. Distribusi asosiasi fasies ini tersebar di barat, tengah dan timur laut
daerah penelitian. Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng terdiri dari beberapa fasies yaitu
Fasies Coral Rudstone, Fasies Foraminifera Wackestone – Packstone, dan Fasies Rudstone
Monomik Packstone. Pada peta geologi asosiasi fasies ini termasuk ke dalam Satuan
Batugamping Berlapis.

4.2.3.1 Fasies Coral Rudstone


Karakteristik dari fasies ini adalah berwarna putih kekuningan, pemilahan baik, grain-
supported,porositas baik, kontak point – long contact, bertekstur chalky, getas, mengandung
butiran koral berukuran 5 sampai 30 cm dengan jumlah yang dominan. Butiran lain yang hadir
adalah litik andesit berukuran 2 sampai 5 cm (Foto 4.7 A dan B). Fasies ini ditemukan di
beberapa tempat diantaranya di Jatijajar, Wangunweni, dan Genden.

56
Barat Daya Barat Daya

Foto 4.7 A dan B Singkapan rudstone koral di Lokasi J -05 (kiri) dan J -06 (Jatijajar) (kanan)

Fasies ini memiliki karakteristik chalky yang berasal dari alga planktonik dan karbonat
biogenik berbutir halus lainnya. Chalky biasa terbentuk di laut dalam di luar paparan karbonat
(Nichols, 2009).. Banyaknya butiran koral pada fasies ini menunjukkan sumber sedimen berasal
dari terumbu – terumbu yang terdapat di batas paparan yang lebih dangkal.

4.2.3.2 Fasies Foraminifera Wackestone – Packstone


Fasies ini memiliki ciri – ciri berwarna abu – abu, bertekstur klastik, mud – supported,
pemilahan sedang, porositas sedang, getas, bertekstur chalky dengan butiran skeletal didominasi
oleh foraminifera besar maupun foraminifera bentik. Secara umum singkapan dari fasies ini
mengalami pelarutan dan rekristalisasi yang cukup intensif. Berdasarkan analisis sayatan tipis
didapatkan komponen butiran lainnya yang dapat mencapai presentase 40% seperti alga merah
dan pecahan moluska dengan ukuran butir 0,2 mm sampai 0,8 mm. Selain itu kandungan matriks
dapat mencapai presentase 55% yang terdiri dari mikrit dengan semen terdiri dari sparrycalcite
berbentuk equant. Jenis porositas yang teridentifikasi yaitu interpartikel dengan presentase
hingga 5% (Foto 4.8 A dan B) (Lampiran D). Fosil foraminifera yang ditemukan antara lain
Lepidocyclina sp., Miogypsina sp., Operculina sp., Cycloclipeus sp., Amphistegina sp. ,
Uvigerina sp., dan Bolivina sp.. Fasies ini ditemukan di beberapa tempat diantaranya di
Kedawung, Teba, dan Kelapa.

57
Selatan

Foto 4.8 Singkapan foraminifera wackestone – packstone di lokasi G-02 (Wangunweni) (kiri) dan sayatan nikol
sejajar G-02 (kanan)

Fasies ini memiliki karakteristik chalky yang berasal dari alga planktonik dan karbonat
biogenik berbutir halus lainnya. Chalky biasa terbentuk di laut dalam di luar paparan karbonat
(Nichols, 2009). Berdasarkan kandungan biotanya, perbedaan fasies ini dengan fasies yang
terdapat di paparan karbonat adalah secara umum berupa pecahan serta menunjukkan batimetri
laut dalam tepatnya batial atas.

4.2.3.3 Fasies Rudstone Foraminifera Packstone


Fasies ini memiliki pecahan packstone sebagai butiran penyusun utamanya, berwarna
putih kekuningan, berukuran 2 sampai 20 cm, menyudut, pemilahan baik, grain – supported,
menyudut, kontak antar butiran point – long contact, getas, chalky, dan porositas sedang (Foto
4.9 A dan B). Berdasarkan analisis sayatan tipis pada butiran packstone didapatkan karakteristik
lainnya seperti bertekstur klastik, butiran (40%) terdiri dari butiran foraminifera, alga, bryozoa,
dan pecahan koral berukuran 0,4 sampai 2 mm, matriks (30%) berupa mikrit, semen (20%)
berupa sparrycalcite dengan porositas (10%) berjenis interpartikel dan intrapartikel (Lampiran
D). Fosil foraminifera yang ditemukan diantaranya Lepidocyclina sp. dan Cycloclipeus sp.
Karakteristik chalky pada singkapan fasies ini yang teramati di daerah penelitian menunjukkan
lingkungan pengendapan laut dalam. Fasies ini ditemukan di beberapa tempat diantaranya di
Kedawung dan Kemusuk.

58
Selatan Barat Daya

Foto 4.9 A dan B Singkapan rudstone foraminifera packstone di lokasi E-01 (Kedawung) (kiri) dan di lokasi J-01
(Kemusuk) (kanan)

4.2.4 Asosiasi Fasies Paparan Laut Terbuka


Karakteristik dari asosiasi fasies ini adalah berada di bawah batas gelombang laut normal
namun masih dapat dipengaruhi oleh gelombang laut badai. Selain itu lingkungan asosiasi fasies
ini berada di luar zona fotik dan mekanisme pengendapannya lebih dipengaruhi oleh arus
suspensi. Distribusi asosiasi fasies ini tersebar di timur laut daerah penelitian dan terendapkan
menjari dengan Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng. Asosiasi Fasies Paparan Laut
Terbuka terdiri dari Fasies Perselingan Wackestone – Napal. Pada peta geologi asosiasi fasies ini
termasuk ke dalam Satuan Batugamping – Napal. Asosiasi Fasies ini tersingkap di daerah
Palamarta dan sekitarnya

4.2.4.1 Fasies Perselingan Wackestone – Napal


Fasies ini dicirikan dengan perselingan batugamping wackestone dengan napal yang
didominasi wackestone. Wackestone memiliki ciri bersifat klastik, warna coklat gelap, ukuran
butir pasir halus - lanau, pemilahan buruk,membundar, porositas baik, kemas terbuka, getas,
mengandung butiran foraminifera dan mineral kuarsa. Berdasarkan hasil analisis sayatan tipis
dapat dideterminasi ciri lebih detail lagi yaitu mud-supported, butiran (30%) terdiri dari
foraminifera planktonik dan mineral kuarsa, matriks mikrit (55%), semen (5%) berupa
sparrycalcite dan porositas (10%) berbentuk interpartikel. Napal memiliki ciri berwarna putih
kelabu, ukuran butir lempung, getas, tufan, butiran foraminifera (Foto 4.10) (Lampiran D).
Foraminifera yang ditemukan diantaranya Globigerinoides obliquus obliquus, Globigerina

59
nephentes, Hastigerina siphonifera, Globoquadrina altispira globosa, Uvigerina sp., dan
Bolivina sp.

Timur Laut

Foto 4.10 Singkapan foraminifera wackestone – napal di lokasi I-01 (Palamarta) (kiri) dan sayatan nikol sejajar A-
011 (kanan)

Mekanisme pengendapan dari satuan batuan ini adalah suspensi dengan sedimen berasal
dari endapan pelagik. Hal tersebut diperkuat dengan karakteristik dari fas es ini yang terdiri dari
batugamping klastik berbutir halus dengan perselingan napal yang memiliki ciri – ciri dari
suspension settling facies (Walker, 1992). Ditemukannya fosil foraminifera bentik seperti
Uvigerina sp.dan Bolivina sp. menunjukkan lingkungan batimetri batial atas.

4.3 Model Lingkungan Pengendapan Batugamping Daerah Penelitian


Berdasarkan identifikasi dari tipe fasies dan asosiasinya yang ditemukan di lapangan
serta melihat pola distribusi sebaran dari fasies yang ada, maka dapat diperoleh gambaran model
lingkungan pengendapan batugamping daerah penelitian. Berdasarkan pola persebaran asosiasi
fasies yang ada, dapat diinterpretasikan tipe paparan karbonat daerah penelitian adalah paparan
terisolir (isolated platform) yang tumbuh di atas pulau vulkanik yang telah mati. Paparan
karbonat tersebut terendapkan pada Miosen Tengah – Miosen Akhir di at s pulau vulkanik yang
terendapkan pada Oligosen Akhir – Miosen Awal. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan model
lingkungan pengendapan batugamping maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin menjauhi
pulau vulkanik lingkungan pengendapannya semakin dalam sedangkan semakin mendekati arah
pulau vulkanik lingkungan pengendapannya semakin dangkal atau ke arah darat.

60
Tidak adanya data bawah permukaan seperti seismik atau inti bor menyebabkan pola
pengendapan batugamping yang diketahui hanya berdasarkan data singkapan batugamping di
permukaan. Berdasarkan data singkapan di permukaan, perkembangan pengendapan karbonat
dari seluruh asosiasi fasies yang ada berlangsung dalam satu siklus karena terdapat
kesinambungan umur dari tiap asosiasi fasies. Tiga asosiasi fasies yaitu Asosiasi Fasies Paparan
Bagian Dalam, Asosiasi Fasies Batas Paparan, dan Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng
memiliki umur yang sama kisarannya yaitu Tf1 – Tf2 atau setara dengan Miosen Tengah,
sedangkan untuk zona fasies paparan laut terbuka didapatkan kisaran N14 - N16 atau setara
dengan akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Gambar 4.3) (Lampiran E –IV).

Gambar 4.3 Peta fasies batugamping daerah penelitian

61
Gambar 4.4 Model pengendapan asosiasi fasies batugamping daerah penelitian

Berdasarkan jenis dan pola persebaran dan dikaitkan dengan sejarah geologi daerah
penelitian dibuat model pengendapan masing – masing asosiasi fasies batugamping di daerah
Tlogosari dan sekitarnya (Gambar 4.4). Pembentukan paparan karbonat dimulai dengan
terbentuknya Asosiasi Fasies Paparan Bagian Dalam, Asosiasi Fasies Batas Paparan dan Asosiasi
Fasies Muka Lereng – Kaki Lereng yang terbentuk akibat terjadinya transgresi. Fase yang
terlibat dalam pembentukan zona fasies ini diawali fase start up kemudian dilanjutkan oleh fase
catch-up yang membuat tiga zona fasies ini mengalami perkembangan baik secara vertikal
ataupun lateral. Pola pengendapan yang terbentuk adalah backstepping dan berlangsung pada
Miosen Tengah.
Setelah itu terjadi periode dimana pengendapan sedimen karbonat sudah mulai melebihi
tingkat kenaikan muka air laut relatif dan terjadi perubahan kesetimbangan pada keseluruhan
paparan karbonat yang sudah terbentuk. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya
perkembangan sedimentasi karbonat secara signifikan secara lateral dan terjadi penumpahan
sedimen ke arah cekungan yang menyebabkan terjadinya proses pengendapan Asosiasi Fasies
Paparan Bagian Dalam, Asosiasi Fasies Batas Paparan, Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki
Lereng dan Asosiasi Fasies Paparan Laut Terbuka. Fase perkembangan paparan karbonat yang

62
berlangsung adalah fase keep up dengan pola pengendapan yang terbentuk adalah progradasi.
Proses pengendapan tersebut berlangsung pada Miosen Tengah.
Kemudian setelah itu ada fase dimana perkembangan batugamping menurun atau bahkan
mati (give up). Kondisi seperti itu pada daerah penelitian diduga akibat penenggelaman
(drowning) karena kenaikan muka air laut sudah jauh melampaui pertumbuhan batugamping.
Pada saat itu pola pengendapannya adalah backstepping dan batugamping Asosiasi Fasies Laut
Terbuka terendapkan di atas sebagian besar paparan karbonat yang telah ada sebelumnya. Proses
pengendapan tersebut berlangsung pada Miosen Akhir

4.4 Analogi Pengendapan Batugamping Daerah Penelitian dengan Daerah Lain


Sesuai dengan salah satu prinsip geologi yaitu “The present is the key to the past” yang
bermakna fenomena geologi yang terjadi masa kini merupakan gambaran fenomena geologi
yang terjadi masa lalu. Oleh karena itu untuk memahami model pengendapan batugamping
daerah penelitian lebih lanjut lagi penulis merasa perlu untuk membandingkannya dengan
lingkungan pengendapan di daerah lain yang masih dan sedang berlangsung serta memiliki
karakteristik yang diduga sama. Berdasarkan studi literatur maka analogi yang cocok untuk
pengendapan batugamping daerah penelitian adalah lingkungan pengendapan batugamping di
Pulau Bora – Bora, Kepulauan Polinesia Perancis.
Pulau Bora – Bora adalah pulau yang terletak di Samudera Pasifik. Pulau ini adalah pulau
vulkanik yang terbentuk pada 4,3 juta hingga 300.000 tahun yang lalu yang memiliki komposisi
basalt alkali, gabbro, dan breksi volkanik. Pulau ini terbentuk dari magma hot spot yang saat ini
terus mengalami amblesan dan menjadi lokasi yang baik untuk pengendapan karbonat. Tipe
terumbu yang terdapat di pulau ini terus berubah mengikuti perubahan muka air laut rata – rata
yaitu dari fringing reef hingga sekarang barrier reef . Fasies batugamping yang terdapat di pulau
ini adalah mixed skeletal packstone yang terdiri dari koral dan sedimen halus, peloid packstone
yang banyak mengandung peloid, Halimeda packstone – grainstone yang banyak mengandung
Halimeda sp., coralgal grainstone yang terdiri dari butiran koral dan alga serta cangkang
moluska, mudstone dan wackestone (Gischler, 2011).
Fasies mudstone dan wackestone ditemukan di lingkungan laguna dengan kedalaman
yang besar dan paling dekat dengan daratan, fasies peloid packstone ditemukan di lingkungan
laguna yang lebih dangkal, fasies Halimeda packstone – grainstone dan mixed skeletal

63
packstone ditemukan di laguna dekat beting pasir, sedangkan fasies coralgal grainstone
ditemukan di sekitar daerah batas terumbu (Gambar 4.5). Jika dikelompokkan ke dalam
terminologi asosiasi fasies yang digunakan penulis pada daerah penelitian, fasies mudstone,
wackestone, peloid packstone, mixed skeletal packstone,dan Halimeda packstone - grainstone
termasuk ke dalam Asosiasi Fasies Paparan Bagian Dalam sedangkan fasies coralgal grainstone
termasuk ke dalam Asosiasi Fasies Batas Paparan. Namun, Asosiasi Fasies Muka Lereng – Kaki
Lereng dan Asosiasi Fasies Paparan Laut Terbuka tidak ditemukan karena diendapkan di
kedalaman laut yang lebih besar. Oleh karena itu, Secara umum jenis dan penyebaran fasies
batugamping di Pulau Bora – Bora hampir serupa dengan fasies batugamping di daerah
penelitian yang juga sama – sama merupakan paparan karbonat di atas pulau vulkanik.

64
Gambar 4.5 Peta penyebaran fasies batugamping (atas)
dan peta interpretatif berdasarkan foto udara (bawah)
Pulau Bora – Bora (Gischler,2011).

65

Anda mungkin juga menyukai