Anda di halaman 1dari 9

AKUNTANSI MULTIPARADIGMA

AKUNTANSI, ETIKA DAN AKUNTABILITAS

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM PASCASARJANA AKUNTANSI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
1. Pendahuluan
Jaringan ekonomi global menghasilkan beberapa manfaat yang cukup signifikan, yaitu
dalam bentuk harga barang-barang yang lebih murah, kenaikan standar hidup dan
pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Namun, jaringan ekonomi global pada
kenyataannya hanya dikuasai oleh sebagian kelompok tertentu saja yang biasanya berlabel
perusahaan multi nasional. Bahkan menurut Anderson & Cavanough (2000), 100 ekonomi
terbesar di dunia, bukanlah negara, melainkan perusahaan multinasional. Tercatat sebanyak
300 perusahaan multi nasional mengontrol 70% dari semua perdagangan internasional.
Jaringan perekonomian global telah membuka pintu yang lebar bagi kapitalisme.
Manusia dalam hal ini telah menjadi budak uang. Atas nama efisiensi, manusia terus
mengeskplorasi alam dan manusia untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya.
Sehingga dalam hal ini, dibutuhkan sebuah akuntabilitas perusahaan yang menekankan
pada pertanggung jawaban yang bersifat sosial Agar terlihat jelas seberapa besar kontribusi
perusahaan-perusahaan tersebut bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Seorang akuntan memiliki peranan penting dalam mewujudkan akuntabilitas sosial
perusahaan. Oleh karena itu, pemahaman etika bisnis oleh seorang akuntan menjadi sangat
krusial dalam mempengaruhi segala keputusan dan perilaku seorang akuntan. Kesadaran
bahwa praktek akuntansi seharusnya mampu menjamin akuntabilitas yang lebih luas atau
yang biasa disebut akuntabilitas sosial. Seorang akuntan tidak hanya bertanggung jawab
kepada perusahaan, akan tetapi memiliki kewajiban moral terhadap masyarakat dan
lingkungan.
Shearer (2002) mengungkapkan dua statment penting sejak awal tentang makna dari
sebuah realitas kehidupan. Ada dua hal penting yang dituliskan Shearer (2002) sebagai dasar
pemikiran atikel ini yaitu: pertama, menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat
kaum postrukturalis yang menyatakan bahwa identitas adalah sesuatu hasil yang tidak
saling terkait satu sama lain. Identitas adalah hasil dari kebiasaan-kebiasan semu yang
seringkali tidak berkaitan satu sama lainnya. Kedua, Shearer (2002) setuju bahwa realitas
kehidupan dihasilkan dari proses hermeneutik atau interpretif. Setiap cerita hidup
memberikan makna terhadap pengalaman hidup dan akan membentuk kenyataan yang
akan dihadapi di masa depan. Sehingga sedikit banyak hal tersebut akan berpengaruh
terhadap realitas tindakan yang akan dilakukan.

2. Akuntabilitas, Intersubjektivitas Dan Etika


Dalam bidang Ilmu Akuntansi, akuntabilitas diartikan sebagai pertanggungjelasan. Suatu
organisasi dikatakan akuntabel jika memiliki kemampuan untuk menjelaskan kondisi yang
dialami termasuk didalamnya keputusan yang diambil dan berbagai aktivitas yang dilakukan.
Istilah akuntabilitas dalam bidang ilmu akuntansi dipisahkan dengan istilah responsibilitas
atau diartikan sebagai pertanggungjawaban.
Definisi lain, tentang Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh
komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya
masing-masing. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-
individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan
yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan
kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya
secara transparan kepada masyarakat.
Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate governance berkaitan dengan
pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai, sesuai dengan
wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi.
Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif
berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris.
Manajemen suatu organisasi dapat dikatakan sudah akuntabel apabila dalam pelaksanaan
kegiatannya telah :

1. Menentukan tujuan (goal) yang tepat.

2. Mengembangkan standar yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan (goal)


tersebut.

3. Secara efektif mempromosikan penerapan pemakaian standar.

4. Mengembangkan standar dan operasi secara ekonomi dan efesien.

5. Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dalam suatu kerangka waktu (time
frame) tertentu dalam upaya untuk menentukan tercapai atau tidak tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan, perlu dibuat suatu standar mengenai tingkat pencapaian
yang dikehendaki.
Menurut Gabriel Marcel, intersubjektif adalah keterbukaan subyek yang satu kepada
subyek yang lain. Kata intersubjektif itu dipakainya untuk menyatakan bahwa di dalam
lingkup misteri, yang ada di depannya dan di dalam dirinya dianggap tidak berarti lagi.
Eksistensi seseorang tidak akan berarti jika tidak ada orang lain. Seorang manusia harus dapat
menjalin relasi dengan sesamanya. Karena itu bagi Marcel, intersubjektivitas merupakan
suatu bentuk persekutuan antar-pribadi: suatu ikatan antar-pribadi yang melampaui
batas-batas objektif.
Relasi intersubjektif mendorong seseorang untuk keluar dari egoismenya dan
menggerakannya menjadi pribadi yang penuh cinta. Cinta pada hakikatnya adalah suatu
kemauan untuk secara terus menerus berusaha untuk keluar dari diri sendiri, dari egoisme dan
selalu terarah kepada orang lain. Untuk menjadi pribadi yang penuh cinta maka hal pertama
yang harus ia miliki adalah kesediaan untuk menerima orang lain sebagai bagian dari
dirinya sendiri. Jika seseorang memiliki sikap ingat diri yang begitu kuat, tidak mau
membagikan apa yang dimilikinya kepada orang lain, maka sangatlah sulit baginya untuk
membuka diri, menerima dan mengakui keberadaan orang lain. Dalam relasi interpersonal
itu, seseorang mengakui orang lain sebagai subyek seperti dirinya sendiri. Hubungan ini
terasa apabila masing-masing subyek saling mendekatkan diri dan saling memahami untuk
membangun kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif.
Menurut Sontani (2016), Etika adalah seperangkat prinsip moral yang menjadi
pedoman perilaku seseorang. Moral ini dibentuk oleh norma-norma sosial, praktek-
praktek budaya, dan pengaruh agama. Etika mencerminkan keyakinan tentang apa yang
benar, apa yang salah, apa yang adil, apa yang tidak adil, apa yang baik, dan apa yang buruk
dalam hal perilaku manusia. Penjelasan tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara
akuntabilitas, intersubjektivitas dan etika. Akuntabilitas terbentuk karena adanya perhatian
terhadap persepsi orang lain. Dengan kata lain, akuntabilitas merupakan bentuk kepedulian
seseorang terhadap orang yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang riil dan lengkap.
Hal ini berarti, akuntabilitas merupakan hasil dari intersubjektivitas yang menginginkan
sebuah pertanggung jawaban tidak hanya secara pribadi, melainkan secara sosial. Pada
akhirnya, akuntabilitas dan pemikiran intersubjektif merupakan unsur utama yang
menunjukkan bahwa seseorang telah bertindak etis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem ekonomi yang cenderung kapitalis individualis
telah membentuk seseorang untuk berlaku tidak etis dan tak segan untuk
mengorbankan kepentingan orang lain. Orang cenderung mengutamakan rasionalitasnya
dalam praktik ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar besarnya dengan biaya seminim
mungkin, walaupun harus dengan cara merugikan pihak lain. Shearer (2002) mengungkapkan
perlunya membangun kembali tujuan ekonomi yang sebenarnya. Bahwa tujuan seseorang
melakukan kegiatan ekonomi tidak hanya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk memberikan keuntungan bagi orang lain dengan menjunjung
tinggi azas keadilan dan etika dalam bisnis. Selain itu, segala tindakan ekonomi seseorang
diharapkan dapat memberikan dampak yang lebih luas bagi masyarakat dan lingkungan.

3. Komodifikasi bagian lain


Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna barang atau jasa menjadi nilai
tukar. Dalam teori ekonomi neoklasik, kegiatan ekonomi muncul dari keinginan, dalam
memenuhi keinginan tersebut diperlukan sebuah pengorbanan maka muncul lah
sebuah nilai. Dengan kata lain hubungan kegiatan ekonomi dengan keinginan dan nilai
dikategorikan sebagai hubungan sementara dan kausal dimana barang atau jasa dikatakan
bernilai jika sesuai dengan keinginan. Jika keinginan dan nilai menganggap bahwa hubungan
tempiral dan kausal dikelompokkan oleh model ekonomi maka keinginan menjadi hal yang
pantas terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Sehingga keinginan tersebut membuat nilai
menjadi naik dan menjadi kepuasaan tentang kepentingan diri sendiri.
Nilai dianggap sebagai kualitas dari objek/benda lain tersebut. Menurut Hume (1963)
pertama kali mereka menemukan bahwa setiap tindakan kebaikan atau persahabatan
menyebabkan rasa kepuasaan tersembunyi, sehingga mereka menyimpulkan bahwa
persahabatan dan kebaikan tidak dapat dimasukkan. Namun hal tersebut keliru. Perasaan baik
tersebut menghasilkan kesenangan, ada pernyataan bahwa saya merasa senang berbuat baik
ke teman saya, karena saya mencintainya tapi saya tidak mencintainya demi kesenangan
tersebut. Asal usul dari keinginan tersebut memunculkan kegiatan ekonomi, teori ekonomi
masih mempertahankan keberadaan dari keinginan tersebut yang dianggap sebagai faktor di
luar dari teori tersebut, padahal sebenarnya keinginan tersebut merupakan bagian dari teori
itu sendiri.
Ketika manusia dihadapkan pada konflik yang sulit maka teori kepentingan diri sendiri
akan menang, dikatakan bahwa manusia sebagai hewan yang memaksimalkan keuntungan
(Stingler, 1981). Namun menurut McKenzie (1983) mendeskripsikan manifestasi ekonomi
mengenai etika bahwa perilaku etis itu ada sebagai bentuk dari pencerahan mengenai
kepentingan diri dengan gambaran kita tidak menginjak kaki orang meskipun orang tersebut
berjalan pada jalur yang sama dengan kita karena kita percaya bahwa kita lebih baik berada
di lingkungan dimana semua orang setuju untuk berjalan di sekitar kaki orang lain bukan
pada lingkungan dimana kaki kita diinjak-injak terus menerus oleh orang lain. Dalam
ekonomi, sebagai hasilnya maka tiap orang bertanggung jawab untuk kebaikan dirinya
sendirinya. Perilaku etis secara sederhana ialah selama memberikan manfaat bagi orang lain
dan menghasilkan keuntungan jangka panjang bagi yang melakukan perilaku tersebut. Jika
tidak memberikan keuntungan maka dia boleh tidak melakukan perilaku tersebut.
4. Akuntabilitas dan identitas moral
Akuntabilitas secara harfah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accountability
yang diartikan sebagai yang dapat dipertanggung jawabkan. Atau dalam kata lain disebut
sebagai accountable. Akuntabilitas menurut defnisi adalah sebagai sebuah norma dalam
hubungan antara pengambil keputusan dan stakeholder dan para pengambil keputusan
bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang timbul dari keputusan mereka. Secara
sederhana akuntabilitas adalah sebuah hubungan dimana sebuah pihak tertentu diharuskan
untuk melaporkan tindakan-tindakan terhadap pihak lain. J.B. Ghartey (2002) menyatakan
akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan
dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana dan bagaimana.
Pertanyaan yang memerlukan jawaban apa yang harus dipertanggung jawabkan, mengapa
pertanggung jawaban harus diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai
kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggung jawaban seiring dengan kewenangan yang
memadai dan lain sebagainya.
Socrates mengenai 'Tahap satu dalam Pembangun moral ialah identitas moral yaitu
hal-hal yang dilakukan orang tidak bermoral, hal apa, yang akan dilakukan dan tidak
dilakukan, dan apa kebaikan itu. Ketika seseorang mengatakan "Saya bukan tipe orang yang
mencuri benda milik bos saya," dikatakan bahwa seseorang tersebut sedang melakukan klaim
tentang identitas moralnya dalam hal ini mencakup kejujuran. Identitas moral seseorang
adalah diri sendiri, apa tujuannya, kebaikannya (serta keburukan yang sedang mencoba
diperbaiki atau dihilangkannya). Identitas moral yang cenderung memotivasi kita pada
tingkat bawah sadar: kita hanya bertindak berdasarkan karakter. Jika kita memiliki identitas
moral yang baik, maka kita secara alami akan bertindak seperti orang-orang yang baik.
Schweiker (1993) menyimpulkan bahwa para pelaku ekonomi menjadi akuntabel dengan
cara memberikan mereka sebuah akun. Tindakan tersebut akan membuat agen secara instan
menjadi intersubjektif dan memaksa dia menjadi akuntabel pada komunitas moral yang
menilai perilaku dan hasil kerjanya. Namun menurut Shearer (2002) pemberian akun tersebut
tidak cukup untuk evaluasi etika seperti yang dikatakan oleh pernyataan Schweiker tersebut.
Lebih khusus, wacana ekonomi membangun identitas moral seperti yang mengejar timbal
balik untuk kepentingan pribadi menjadi satu-satunya subjek etika imperatif dalam perdangan
satu sama lain. Jadi Schweiker menyarankan, memberlakukan sebuah identitas yang terbuka
untuk evaluasi etika. Singkatnya, akuntabilitas moral pelaku ekonomi atau entitas dimana
sepenuhnya dan benar-benar mengacu pada kepentingan subjek atau entitas tersebut. Selain
itu, mengingat sifat dunia sosial ekonomi, akuntabilitas moral seperti dianggap cukup untuk
tuntutan etika.

5. Etika dari bagian yang lain


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang
baik dan buruk sikap tindakan manusia. Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan
erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan
penyelesaiannya baik atau tidak.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai bahasa Yunani Ethos, kebiasaan atau tingkah
laku, bahasa Inggris Ethis, tingkah laku / perilaku manusia yang baik menjadi tindakan
yang harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Sedangkan dalam
koteks lain secara luas dinyatakan bahwa etik adalah aplikasi dari proses dan teori filsafat
moral terhadap kenyataan yang sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip
dasar dan konsep yang membimbing makhluk hidup dalam berpikir dan bertindak serta
menekankan nilai-nilai mereka.
Dalam jurnal Shearer (2002) jika orang berusaha untuk menahan entitas ekonomi untuk
tujuan di luar kepentingan mereka sendiri, maka seseorang tidak bisa melakukannya semata-
mata atas dasar identitas moral yang diberlakukan saat entitas ini membuat akun sendiri.
Sebab seperti yang telah kita lihat, teori ekonomi membangun identitas moral seperti bahwa
kewajiban pada akun untuk komunitas lain selalu sudah mengurangi kewajiban pada akun
untuk usaha kepentingan ekonomi agen sendiri. Proyek yang dilakukan oleh Levinas
menunjukkan ketidakmampuan etis dari konsepsi ekonomi akuntabilitas, dan memberikan
landasan etika untuk tanggung jawab moral yang lebih besar pada bagian dari agen ekonomi
dan entitas. Proyek Levinas berusaha untuk menantang filsafat transendental dengan etika
yang dasar subjektivitas dalam pertemuan asimetris dengan radikal lainnya. Levinas
berpendapat etika mendahului ontologi bahwa hal ini tidak dapat saya hindari dan jawaban
yang tidak dapat terbantahkan oleh bagian yang lain yang membuat saya menjadi pribadi
saya sendiri. Dengan demikian, untuk Levinas (1985), hubungan intersubjektif direduksi
secara asimetris bahwa Saya bertanggung jawab untuk orang lain tanpa menunggu tindakan
timbal baliknya.
Proyek Levinas membantu kita untuk melihat bagaimana desakan teori ekonomi pada
timbal balik dan bagian lain berupaya untuk mengeneralisasikan hubungan ekonomi
intersubjektif. Menurut Shearer (2002) adalah bahwa akuntabilitas ekonomi tidak dapat
dipahami secara sepenuhnya dalam hal yang secara eksklusif mementingkan diri sendiri,
karena kesetaraan akuntabilitas seperti kedua tuntutan ini sendiri didasarkan pada sebuah
ketimpangan kepentingan diri sendiri yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Akuntansi untuk orang lain membutuhkan konseptualisasi diri ulang dimana
subjektivitas seseorang disubordinasikan ke tuntutan radikal lainnya. Oleh karena itu
kepentingan diri sendiri sebagai ukuran akuntabilitas juga tidak memadai untuk kebutuhan
etika dari komunitas moral.

6. Akuntabilitas Perusahaan
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir
seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini
khususnya dalam menjalankan fungsi administrative. Fenomena ini merupakan imbas dari
tuntutan masyarakat. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep
akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara konsisten.
Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa
hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep akuntabilitas
di Indonesia antara lain adalah;
1. rendahnya standar kesejahteraan pegawai sehingga memicu pegawai untuk
melakukan penyimpangan guna mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas
akuntabilitas,
2. faktor budaya seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat
dibanding pelayanan kepada masyarakat, dan
3. lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap faktor
punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di bidang keuangan
dan administrasi.
Artikel ini membahas mengenai permasalaan akuntabilitas ekonomi ditingkat
perusahaan. Praktek yang dilakukan telah menyita perhatian masyarakat tentang hubungan
antara subjektivitas dan intersubejktivitas pada pribadi masing-masing. Konsep ekonomi pada
hubungan intersubjektivitas pada perusahaan swasta telah melegitimasi demi mengejar
kepentingan pribadi, dan saling menguntungkan antar individu.
Perintah berperilaku etis dimana para agen harus bertanggung jawab terhadap tujuan
pribadi mereka, kesejahteraan dan masing-masing individu yang kehidupannya dipengaruhi
oleh kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Dalam hal ini Benston tidak setuju tentang akuntansi pemegang saham karena
kepentingan pemegang saham itu mewakili kepentingan masyarakat, karena masyarakat
percaya bahwa perusahaan akan bertanggungjawab atas aktivitas usahanya.

7. Implikasi for social accounting


Akuntansi sosial (dikenal juga sebagai akuntansi sosial dan lingkungan, pelaporan sosial
perusahaan, pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan, pelaporan non-keuangan, atau
akuntansi keberlanjutan) adalah proses mengkomunikasikan dampak sosial dan lingkungan
dari tindakan ekonomi organisasi untuk kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat
dan untuk masyarakat luas.
Akuntansi sosial menekankan konsep akuntabilitas perusahaan. Akuntansi sosial dalam
pengertian ini sebagai "sebuah pendekatan untuk melaporkan kegiatan perusahaan yang
menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasi perilaku sosial yang relevan, penentuan
mereka kepada siapa perusahaan bertanggung jawab untuk kinerja sosial dan pengembangan
tindakan yang tepat dan teknik pelaporan.
Pada sub bab ini intinya adalah menjawab pertanyaan atas problem diatas bahwa benston
tidak setuju kalau disebut sebagai akuntansi pemegang saham.
1. Terciptanya social accounting
2. Pemberlakuan akuntansi, bahwa sebelumnya tidak ada pemberlakuan akuntansi.
Contohnya lingkungan
3. Akuntan harus waspada bahwa dalam penyimpangan berdasarkan logika ekonomi
dari lingkup yang berkembang seiring eksistensi manusia
8. Kesimpulan
Gagasan ekonomi melegitimasi penurunan akuntabilitas to the other, sehingga
Buarque (1993) mengusulkan regulasi etika pada aplikasi dibidang ekonomi, sehingga
akuntabilitas kepada orang lain dari masyarakat dapat terwujud dengan agen yang
memiliki intersubyektifitas.
Akuntabilitas dimaknai sebagai pertanggungjawaban yang lebih luas (wider scope of
good) dan memiliki tanggung jawab moral serta tidak mementingkan dirinya sendiri. Hal
ini dapat dicapai dengan etika yang mampu mengasimilasi logika dari teori ekonomi.
Akuntabilitas yang lebih luas membutuhkan peran akuntan untuk membantu lembaga
eknomi agar lebih responsif kepada orang lain, dengan mencari akuntabilitas yang secara
formal mengakui kewajiban kepada orang lain

Anda mungkin juga menyukai