Anda di halaman 1dari 8

Bab II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah
Hibah menurut bahasa adalah menyedekahkan atau
memberi suatu, baik berbentuk harta maupun selain itu
kepada orang lain.1 Menurut termininologi syariat Islam
adalah:2









Artinya:
Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti
ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf 9 adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
Dari uraian di atas, hibah merupakan poses hukum
perpindahan hak milik kepada orang lain, dilakukan ketika
orang yang menghibahkan itu masih hidup dan bebas untuk di
jual, di pinjamkan atau dihadiahkan kembali kepada orang lain
secara cuma-cuma. Hibah biasanya diberikan kepada keluarga
atau ahli waris atau pada anak yang belum mampu berusaha
sendiri sebagai pemberian modal usaha karena tidak mampu.3

B. Dasar Hukum Hibah


Para ulama fiqh sepakat bahwa hukum hibah itu sunnah.
Hal ini didasari oleh nash al-Quran dan hadits Nabi
1. Dalil al-Quran
a. QS. An-Nisa ayat 4

1 Siah Khosiyah, Wakaf dan Hibah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,


2010), hlm. 239

2 Rachmat Syafei, FIQIH MUAMALAH, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,


2004), hlm. 242

3 Siah Khosiyah , Op.cit., hlm. 239







--


Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mas
kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.4
b. Qs. al-Baqarah ayat 177
















--
Artinya:
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah
(kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari
akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-
orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-
minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat,
orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan
orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan
dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-

4Abdul Rahman Ghazaly, dkk, FIQH MUAMALAH, (Jakarta: Prenada


Media, 2010), hlm. 159
orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.5

2. Dalil al-hadits
a. Hadits dari Abu Hurairah





:




Artinya:
Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW telah bersabda
Sekiranya saya diundang untuk makan sepotong
kaki binatang, pasti saya akan kabulkan undangan
tersebut. Begitu juga kalau sepotong kaki binatang
dihadiahkan kepada saya, tentu saya akan terima.
(H.R. Bukhari)6

b. Hadits dari Khalid Ibnu Ali






:



Artinya:
Dari Khalid Ibn Ali. Sesungguhnya Nabi SAW telah
bersabda, Barang siapa yang diberi kebaikan dengan
tidak berlebih-lebihan dan tidak dia minta maka
hendaklah diterima. Sesungguhnya yang demikian itu
pemberian yang diterima oleh Allah SWT. (H.R.
Ahmad)7

C. RUKUN DAN SYARAT HIBAH

5 Ibid.,

6 Siah Khosiyah , Op.cit., hlm. 241

7 Ibid., hlm. 242


Jumhur Ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada
empat:
1. Orang yang menghibahkan (al-Wahib)
2. Harta yang dihibahkan (al-mauhub)
3. Lafal hibah
4. Orang yang menerima hibah (Mauhub lahu)
Syarat-syarat hibah
a. Syarat orang yang menghibah (Pemberi Hibah):
1. Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.
2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya
artinya orang yang cakap dan bebas bertindak
menurut hukum.
3. Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas.
Tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim. Hal
ini berdasarkan hadits Bukhari yang menyatakan
diperbolehkan menerima hadiah dari penyembah
berhala.
4. Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah
merupakan akad yang disyaratkan adanya
kerelaan.
b. Syarat orang yang diberi hibah:
Orang yang diberi hibah benar-benar ada pada
waktu siberi hibah, bila tidak ada atau
diperkirakan keberadaanya misalnya masih dalam
bentuk janin maka tidak sah hibah. Jika orang
yang deiberi hibah itu ada pada waktu pemberian
hibah, akan tetapi ia masih kecil atau gila maka
hibah itu harus diambil oleh walinya,
pemeliharaannya, atau orang yang mendidiknya
sekalipun ia orang asing.
c. Syarat benda yang dihibahkan:
1. Benar-benar benda itu ada ketika akad
berlangsung. Maka benda yang wujudnya akan
ada sepertu anak sapi yang masih dalam perut
ibunya atau buah yang belum muncul di pohon
maka hukumnya batal. Para ulama
mengemukakan kaidah tentangharta yang
dihibahkan segala sesuatu yang sah untuk dijual-
belikan sah pula untuk dihibahkan.
2. Harta itu memiliki nilai (manfaat). Maka menurut
pengikut Ahmad bin Hambal sah menghibahkan
anjing piaraan dan najis yang dapat dimanfaatkan.
3. Dapat dimiliki zatnya artinya benda itu sesuatu
yang biasa untuk dimiliki, dapat diterima
bendanya, dan dapat berpindahdari tangan ke
tangan lain. Maka tidak sah menghibahkan air di
sungai, ikan di laut, burung di udara masjid, atau
pesantren.
4. Harta yang akan dihibahkan itu bernilai harta
menurut syara maka tidak sah menghibahkan
darah dan minuman keras.
5. Harta itu benar-benar milik orang yang
menghibahkan. Maka, tidak boleh menghibahkan
sesuatu yang ada ditangannya tetapi itu
kepunyaan orang lain seperti harta anak yatim
yang diamanatkan kepada seseorang.
6. Menurut Hanafiah, jika barang itu berbentuk
rumah maka harus bersifat utuh meskipun rumah
itu boleh dibagi. Tetapi ulama Malikiyah,
Syafiiyah, dan Hanabilah membolehkan hibah
berupa sebagian rumah.
7. Harta yang dihibahkan terpisah dari yang lainnya,
tidak terkait dengan harta atau hak lainnya.
Karena pada prinsipnya barang yang dihibahkan
dapat digunakan setelah akad berlangsung. Jika
orang menghibahkan sebidang tanah tetapi
didalamnya ada tanaman milik orang yang
menghibahkan, atau ada orang yang
menghibahkan rumah, sedangkan di rumah itu
ada benda milik yang menghibahkan, atau
menghibahkan sapi yang sedang hamil,
sedangkan yang dihibahkan itu hanya induknya
sedangkan anaknya tidak. Maka, ketiga bentuk
hibah seperti tersebut di atas hukumnya batal
atau tidak sah.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

...................................
DAFTAR PUSTAKA

Khosiyah, Siah. 2010. Wakaf dan Hibah. Bandung: CV PUSTAKA


SETIA.

Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. 2012. FIQH MUAMALAH. Jakarta:


Kencana.

Syafei, Rachmat. 2004. FIQH MUAMALAH Untuk IAIN, STAIN,


PTAIS, dan Umum. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Anda mungkin juga menyukai