Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

Keuangan Internasional
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-
5

Di susun oleh:
Moh Nizar Zulmi (2113600315)
Pratamirni (2113000378)
Celi Parlina (2113700476)
Saepul Rohman (2113000441)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA
JAKARTA 2017
Jl. Kayu jati raya 11 A Raawamangun Jakarta Timur 13220
Telp. 021-4750321, fax.021-4722371
Website : www.stei.ac.id
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Kata Pengantar

Dengan segenap kerendahan hati, kami mengucapkan syukur kepada Tuhan YME atas
terselesaikannya penyusunan makalah Keuangan Internasional dengan tema Perkembangan
Ekonomi Global dan ASEAN-5 (TW3-16).

Kelompok negara maju mengalami perkembangan yang menggembirakan dengan AS


mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan, diikuti perbaikan di Jepang, Inggris dan
Kawasan Euro. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang cukup impresif, ditopang oleh
stabilnya pertumbuhan Tiongkok dan India, serta akselerasi PDB Viet Nam dan Malaysia.
Namun di sisi lain, PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat.

Sejumlah peristiwa di tataran global cukup mengguncang dunia. Setelah dikejutkan oleh
keputusan rakyat Inggris yang ingin melepaskan diri dari Uni Eropa, dunia kembali tersentak
oleh terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil pemilu yang diluar ekspektasi pasar,
segera menimbulkan gejolak di pasar keuangan dan memicu aksi flight to quality. Spekulasi
mengenai timing kenaikan Fed Fund Rate juga menyebabkan pasar bergejolak. Dinamika global
dan risiko yang membayanginya menjadi pokok bahasan fora kerja sama internasional. Berbagai
kesepakatan telah diraih untuk memitigasi risiko rambatannya. Respons kebijakan yang
dilakukan secara terkoordinir antar otoritas lintas negara merupakan salah satu solusi yang
disepakati.

Jakarta, April 2017

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
Surviving the challenges 3
BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
2.1 Perkembangan Ekonomi Global 7
2.2 Perkembangan Negara Maju 10
2.3 Perkembangan Negara Berkembang 14
2.4 Outlook Ekonomi Global 2016-2017 18
BAB III ASEAN-5
3.1 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 21
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 31
DAFTAR PUSTAKA 33
DAFTAR SIGKATAN 34

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 SURVIVING THE CHALLENGES

Ekonomi global berhasil tumbuh membaik pada TW3-16 didorong oleh perbaikan
pertumbuhan di negara maju dan berkembang. Kinerja ini menjadi lebih berarti karena
dicapai di tengah munculnya berbagai negative shocks yang menghambat pemulihan global.
Dunia dikejutkan oleh hasil referendum Inggris yang dimenangkan kubu Brexit, sehingga
berimbas mengguncang pasar keuangan global di awal TW3-16. Pasar keuangan global juga
menjadi semakin volatile akibat berlanjutnya ketidakpastian timing kenaikan Fed Fund Rate
(FFR) berikutnya. Sementara itu, hasil pemilihan Presiden AS yang dimenangkan Donald
Trump juga sempat menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Selain berdampak negatif
terhadap pasar keuangan, berbagai isu tersebut meningkatkan ketidakpastian arah
perkembangan ekonomi global ke depan sehingga memengaruhi aktivitas ekonomi secara
keseluruhan.

Perbaikan kinerja ekonomi global di TW3-16 didukung oleh peningkatan konsumsi


yang diikut oleh perbaikan moderat net ekspor. Perbaikan aktivitas konsumsi terbantu oleh
kebijakan moneter yang cenderung akomodatif di sejumlah negara. Peningkatan konsumsi
sedikit memperbaiki kinerja ekspor-impor di banyak negara, namun belum cukup kuat untuk
menggerakkan produksi dan investasi. Peningkatan konsumsi juga belum cukup kuat
meningkatkan inflasi yang masih berada di level rendah, meskipun menunjukkan sedikit
peningkatan di negara maju.

Negara maju memperoleh momentum penguatan ekonomi, setelah melambat dalam


empat triwulan terakhir. AS, Inggris dan Jepang membukukan pertumbuhan PDB yang cukup
signifikan, sementara PDB Kawasan Euro relatif stabil. Perbaikan ekonomi AS disertai
dengan inflasi yang terakselerasi dan sektor tenaga kerja yang mulai pulih. Namun
pertumbuhan ekonomi AS belum sepenuhnya didukung oleh faktor fundamental. Peningkatan
net ekspor dipengaruhi oleh kendala produksi di negara pesaing dagang sehingga bersifat
temporer. Sedangkan investasi lebih disumbang oleh meningkatnya inventories.

Ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan, meskipun secara umum masih
lemah. Pertumbuhan dimotori oleh kinerja net ekspor yang mendorong produksi domestik.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Kendati demikian, masyarakat masih menahan konsumsi karena berhati-hati dengan prospek
ekonomi ke depan. Terlebih dengan tingkat upah yang tidak meningkat signifikan sekalipun
pasar tenaga kerja semakin ketat. Pendapatan luar negeri dari perusahaan-perusahaan Jepang
juga menurun akibat lesunya perekonomian global dan apresiasi yen. Dengan perkembangan
tersebut, inflasi masih terus menurun dan mengalami deflasi, meskipun kebijakan moneter
BOJ semakin akomodatif.

Pertumbuhan PDB Kawasan Euro TW3-16 tumbuh stabil di angka 1,6%, dengan inflasi
yang terakselerasi. Sebagaimana di kawasan lain, peningkatan inflasi dipicu oleh kenaikan
harga minyak, dan masih jauh di bawah target. Kondisi ini mendasari kebijakan moneter ECB
untuk tetap akomodatif dan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset
(quantitative easing).

Negara berkembang kembali tumbuh impresif pada TW3-16, ditopang oleh stabilitas
Tiongkok dan India, serta akselerasi Vietnam dan Malaysia. Pertumbuhan Tiongkok yang
stabil bersumber dari konsumsi dan investasi yang solid, didorong oleh investasi pemerintah.
Perkembangan sektor jasa yang semakin dominan mengindikasikan bahwa proses
rebalancing terus berlanjut. Inflasi kembali meningkat namun masih relatif rendah dan
terkendali sehingga kebijakan moneter tetap akomodatif. Sementara fiskal cenderung
ekspansif untuk menstimulasi sektor konstruksi dan restrukturisasi NPL.

India diperkirakan tumbuh impresif pada triwulan ini, didorong konsumsi akibat
kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan musim perayaan keagamaan. Namun demikian,
investasi belum bergerak searah dengan konsumsi, karena persediaan yang masih cukup
besar. Net ekspor berkontribusi positif pada pertumbuhan melalui penurunan defisit
perdagangan. Inflasi menurun signifikan karena berakhirnya musim kemarau sehingga
memperbaiki harga dan pasokan makanan. RBI menerapkan kebijakan moneter akomodatif
yang bersinergi dengan ekspansi fiskal untuk mendorong ekonomi. Di lain sisi, pemerintah
berusaha terus melakukan reformasi struktural dan memperbaiki iklim investasi melalui
program Make in India.

Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN beragam dengan kecenderungan melambat,


namun tetap berada pada angka pertumbuhan yang relatif tinggi. PDB Indonesia, Thailand,
Filipina dan Singapura tumbuh melambat, karena melemahnya konsumsi (Indonesia dan
Thailand) dan net ekspor (Filipina dan Singapura). Sebaliknya PDB Malaysia dan Vietnam
tumbuh meningkat, didorong perbaikan investasi dan net ekspor. Kebijakan moneter negara
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan (7 days
reverse repo) pada September dan Oktober 2016. Negara ASEAN lain mempertahankan suku
bunga kebijakan yang telah berada di level rendah.

Kinerja ekonomi global yang sedikit membaik menghadapi tantangan yang tidak
ringan, diantaranya keputusan Brexit, terpilihya Donald Trump sebagai presiden AS, dan
ekspektasi kenaikan FFR. Berbagai peristiwa tersebut yang juga diiringi dengan
meningkatnya risiko geopolitik menjadi perhatian fora kerja sama internasional. Upaya
memperkuat resiliensi kawasan terus dilanjutkan untuk mengantisipasi spillover negative
global. Gubernur Bank Sentral EMEAP menegaskan bahwa komunikasi dan kerja sama antar
otoritas lintas negara sangat penting untuk memperkuat stabilitas global. IMF dan G20,
memberikan rekomendasi dan komitmen bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan meningkatkan stabilitas sistem keuangan global, termasuk upaya meningkatkan peran
perdagangan dalam membantu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
global.

Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed, dimana harga minyak relatif stabil,
komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung menurun.
Harga minyak bertahan pada kisaran USD48 per barel (minyak jenis Brent), setelah
meningkat cukup signifikan di TW2-16. Kegagalan pengendalian produksi oleh OPEC dan
non-OPEC menahan tren kenaikan harga minyak. Sebaliknya, harga komoditas tambang
cenderung masih terus meningkat, terutama copper, alumunium dan zinc. Sementara itu,
harga komoditas pertanian bergerak bervariasi, dengan harga gandum dan beras cenderung
menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi meningkat. Dengan perkembangan tersebut
ekonomi global sepanjang 2016 diperkirakan tumbuh 3,1% perkiraan IMF dalam WEO
Oktober 2016 atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan, ekonomi global
berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat berlanjutnya perbaikan di sektor
ketenagakerjaan penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah yang meningkatkan
daya beli. Kendati demikian, perbaikan daya beli diperkirakan belum sepenuhnya terefleksi
pada konsumsi dan investasi (barang modal), mengingat banyak masyarakat yang memilih
menabung (berjaga-jaga) menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Lebih lanjut, ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh mencapai 3,4%
(IMFWEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016). Peningkatan tersebut didorong baik oleh
negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju, pertumbuhan dimotori
oleh AS, Jepang dan Kanada. Sementara pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris
diperkirakan melambat akibat realisasi proses Brexit. Pertumbuhan negara berkembang akan
lebih merata sejalan dengan ekspektasi perbaikan harga komoditas. Tiongkok diproyeksikan
tumbuh melambat dalam program rebalancing, sedangkan India tumbuh stabil di level yang
tinggi.

Beberapa faktor risiko perlu mendapat perhatian karena dapat menahan pemulihan global
(downside risks). Beberapa diantaranya adalah (i) risiko politik berlanjutnya tekanan
disintegrasi Uni Eropa dan implementasi janji kampanye Donald Trump yang dapat menekan
kinerja ekonomi global; (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi secara
smooth (hard Brexit); serta faktor risiko lama seperti (iii) kenaikan FFR dan (iv) rebalancing
ekonomi.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

BAB II
Perkembangan Ekonomi Global

2.1 PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL


Kinerja global setidaknya membaik impor- yang selanjutnya diikuti oleh
pada TW3-16, terlepas dari berbagai perbaikan perdagangan (ekspor dan
permasalahan yang justru semakin banyak impor).
% yoy
dan semakin berat. Ekonomi global di 4,00
3,50 3,48

TW3 tumbuh 3,16% yoy, meningkat dari 3,50

3,00
3,41 3,34 3,39 3,37 3,26
3,06 3,12 3,05 3,16

3,05% pada triwulan sebelumnya. 2,50

2,73

2,63

2,55

2,44

2,38

2,38

2,31

2,48

2,52
2,72

2,45
2,00

Peningkatan pertumbuhan terjadi cukup 1,50

merata, baik di negara maju maupun di 1,00 0 ,7 7

0 ,7 6

0 ,7 8

0 ,7 9

0 ,9 5

0 ,99

0 ,88

0 ,7 5

0 ,6 5

0 ,6 0

0 ,6 5
0,50

negara berkembang (Grafik 1.1). 0,00


TW1 TW2 TW3 TW4 TW1 TW2 TW3 TW4 TW1 TW2 TW3*
2014 2015 2016

Membaiknya pertumbuhan pada umumnya Kontribusi Negara Maju Kontribusi Negara Berkembang PDB Dunia

Sumber: Bloomberg, Consensus Forecast Okt-16


Grafik 1.1 Pertumbuhan Global (Komposit)
didorong oleh konsumsi yang cenderung
meningkat -termasuk konsumsi produk

Grafik 1.2 Pertumbuhan Individu Negara TW2 VS TW3 Grafik 1.4 PMI Manufaktur

Grafik 1.3. Pertumbuhan Penjualan Ritel Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekspor Global
(komposit)

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Namun demikian, peningkatan konsumsi tersebut relatif masih sangat terbatas


sehingga belum cukup signifikan meningkatkan perdagangan, aktivitasb produksi dan inflasi.
Peningkatan konsumsi terutama terjadi di negara berkembang, sementara konsumsi di negara
maju masih tertahan oleh berbagai permasalahan (seperti masalah Brexit di Inggris dan
Kawasan Euro, serta pemilihan presiden di AS) yang menjadikan keyakinan konsumen
menurun (Grafik 1.3). Konsumsi yang meningkat juga mendorong peningkatan ekspor dan
impor secara lebih merata, baik di negara berkembang, maupun di negara maju. Meskipun
ekspor-impor cenderung membaik, namun peningkatan ekspor dan impor masih terbatas dan
secara keseluruhan masih belum setinggi tahun sebelumnya (Grafik 1.5 dan 1.6). Permintaan
yang meningkat tersebut pada gilirannya menggerakkan aktivitas produksi (Grafik 1.4).

Grafik 1.6 Pertumbuhan Impor Global (Komposit) Grafik 1.7 Inflasi Global (Komposit)

Permintaan domestik yang meningkat belum diikuti oleh konsumsi yang relatif
masih bergerak stabil. Namun, sebenarnya terjadi pergerakan inflasi yang berbeda antara
negara maju dan negara berkembang (Grafik 1.7). Di negara maju, konsumsi yang sedikit
melambat justru diikuti oleh peningkatan inflasi. Namun peningkatan inflasi tersebut lebih
banyak didorong oleh harga energi yang masih meningkat. Sebaliknya, inflasi di negara
berkembang cenderung menurun meskipun permintaan domestik (konsumsi) meningkat.
Inflasi yang bergerak menurun lebih disebabkan oleh turunnya harga barang pangan (volatile
food) sejalan dengan pasokan bahan pangan yang kembali membaik dengan kondisi cuaca
yang lebih kondusif. Peningkatan inflasi di negara maju yang dikompensasi oleh penurunan
inflasi di negara berkembang menjadikan inflasi dunia relatif stabil. Selain itu, level inflasi
tersebut secara umum juga masih rendah dan masih di bawah target inflasi masing-masing
negara. Sejalan dengan kinerja ekonomi yang sedikit membaik dan pergerakan inflasi yang
masih terkendali, kebijakan moneter global secara umum tetap bias akomodatif untuk terus
mendorong aktivitas ekonomi dan inflasi.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Terlepas dari kinerjanya yang kembali membaik, ekonomi global dihadapkan pada
tantangan dan permasalahan yang semakin berat. Beberapa diantaranya adalah hasil
referendum di Inggris yang secara tidak terduga dimenangkan oleh kubu Brexit (Juni 2016),
krisis pengungsi di Kawasan Euro, ketidakpastian kenaikan Fed Fund Rate, dan yang terakhir
hasil pemilihan presiden di AS yang secara tidak terduga dimenangkan oleh Donald Trump.
Berbagai permasalahan tersebut dalam jangka pendek menjadikan pasar keuangan global
semakin volatile. Aliran modal ke negara berkembang yang semakin meningkat dalam
beberapa waktu terakhir juga semakin sensitif terhadap sentimen negatif yang muncul di
pasar keuangan. Sentimen negatif tersebut dapat memicu terjadinya aliran modal keluar
(sudden capital reversal), yang selanjutnya mengakibatkan jatuhnya harga aset keuangan dan
nilai tukar mata uang domestik. Selain itu, isu Brexit dan ketidakpastian arah kebijakan
presiden baru AS juga berdampak negatif pada aktivitas ekonomi, termasuk memengaruhi
perilaku konsumen yang menjadi lebih menahan konsumsi karena ketidakpastian prospek
ekonomi ke depan.

Lebih jauh lagi, dampak Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS
diperkirakan juga akan berdampak pada jangka menengah-panjang mengingat kedua faktor
tersebut berpotensi memengaruhi atau bahkan mengubah tatanan perekonomian global
terutama dalam hal perdagangan dunia. Brexit memaksa Inggris untuk menjalin perjanjian
kerjasama perdagangan (ekonomi) baru dengan berbagai negara sehingga berpotensi
mengubah pola perdagangan Inggris, tidak hanya dengan Kawasan Euro namun juga dengan
dunia. Sementara itu, Presiden AS terpilih, Donald Trump, diperkirakan akan menjadikan AS
lebih protektif, terutama terhadap Tiongkok dan Mexico sesuai janji kampanye Trump
untuk mengenakan tarif tinggi pada produk Tiongkok dan menekan imigran dari Mexico.
Namun, dampak proteksionisme Trump dapat memengaruhi pola perdagangan dunia
mengingat AS dan Tiongkok merupakan pelaku utama dalam perdagangan dunia.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

2.2 PERKEMBANGAN NEGARA MAJU


Kelompok negara maju Di antara negara-negara maju, AS
menunjukkan perkembangan yang menunjukkan kinerja yang paling solid
menggembirakan dengan kinerja ekonomi dimana pertumbuhan meningkat dan
yang mulai membaik dan kembali inflasi telah (rebound) kembali pada tren
tumbuh meningkat di TW3-16 setelah peningkatan.
dalam 4 triwulan sebelumnya (TW3-15 s/d
TW2-16) terus melambat. Peningkatan
pertumbuhan negara maju didorong oleh
AS, Jepang dan Inggris yang
pertumbuhannya meningkat cukup
signifikan. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi Kawasan Euro relatif stabil di
TW3-16 (sama dengan triwulan
sebelumnya), dan tidak lagi terus
melambat sebagaimana terjadi pada TW1 Grafik 1.8 Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju
dan TW2 (Grafik 1.8).

Perkembangan yang membaik juga ditunjukkan oleh sektor tenaga kerja dimana angka
pengangguran telah mencapai level yang rendah dan stabil dan upah mulai menunjukkan tren
yang terus meningkat. Namun demikian, ekonomi AS belum sepenuhnya pulih dari krisis dan
masih terdapat beberapa weak spots, seperti investasi modal tetap (Gross Fixed Capital
Formation) yang masih rendah, ketersediaan tenaga kerja (Labor Participation Rate) yang
menurun, dan peningkatan employment yang lebih banyak didorong oleh part-time jobs.

Pertumbuhan PDB STW-16 meningkat mencapai 1,5%1 yoy dari 1,3% di TW2- yang
didorong oleh perbaikan investasi dan net ekspor. Meski meningkat, pertumbuhan PDB
tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan kinerja ekonomi tersebut belum sepenuhnya
didukung oleh fundamental ekonomi yang membaik. Peningkatan net ekspor lebih
disebabkan oleh kinerja ekspor yang membaik karena kendala produksi yang terjadi di negara
pesaing ekspor AS. Sementara itu, perbaikan investasi lebih banyak disumbang oleh kenaikan
inventories, dan bukan didukung oleh investasi barang modal yang meningkatkan kapasitas
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

produksi perekonomian. Di satu sisi, peningkatan inventories dapat mengindikasikan


aktivitas produksi yang meningkat untuk merespons peningkatan permintaan, sehingga pada
gilirannya berkontribusi positif terhadap Angka estimasi awal (first estimate) PDB AS oleh
biro statistik dan angka tersebut biasanya direvisi beberapa kali sebelum diperoleh angka
aktual.

PDB. Di sisi lain, peningkatan inventories justru menunjukkan konsumsi yang lemah
dimana persediaan barang yang belum terjual meningkat. Dalam kasus ini yang terjadi adalah
kemungkinan yang kedua. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi yang melambat di
tengah aktivitas produksi yang juga melambat.

Komponen PDB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru tumbuh
melambat. Konsumsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB tumbuh 2,6%, sedikit
melambat dari tumbuh 2,7% pada TW2-16. Melambatnya pertumbuhan konsumsi sejalan
dengan penurunan pertumbuhan penjualan ritel dan menurunnya keyakinan konsumen antara
lain disebabkan ketidakpastian prospek ekonomi AS, termasuk ketidakpastian pasca
pemilihan presiden AS. Sementara itu, pengeluaran pemerintah tumbuh melambat menjadi
0,3% (dari 0,7%), padahal defisit keuangan pemerintah (fiskal) mengalami peningkatan
mencapai -3,1% dari PDB (dari -2,5% di TW2-16).

Konsumsi yang melambat dan permintaan eksternal masih lemah berdampak pada
penurunan aktivitas produksi produksi industri tumbuh melambat, namun keyakinan bisnis
(ISM/PMI ) bervariasi. Sementara itu, tekanan inflasi cenderung bergerak naik, meskipun
konsumsi melambat, akibat harga minyak dan komoditas global yang sedikit meningkat pada
beberapa waktu terakhir.

Dengan perkembangan indikator ekonomi yang belum cukup stabil membaik dan
memburuk secara silih berganti The Fed mempertahankan Fed Fund Rate (FFR) tetap dalam
kisaran 0,25% - 0,50%. The Fed juga memerhatikan vulnerabilitas pasar keuangan global
yang cenderung memburuk -pasca Brexit- sehingga memutuskan untuk mempertahankan
FFR. Namun, the Fed diperkirakan akan menaikan FFR pada Desember 2016.

Selain AS, kinerja ekonomi yang cukup solid juga ditunjukkan oleh perekonomian
inggris meskipun negara ini sedang menghadapi ketidakpastian pasca referendum yang
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

dimenangkan kubu Brexit. PDB Inggris pada TW3-16 tumbuh meningkat mencapai 2,3%
(dari 2,1% pada TW2-16) yang didukung secara lebih merata oleh konsumsi, investasi dan
net ekspor. Konsumsi yang meningkat didorong oleh perbaikan angka pengangguran. Pada
saat yang sama pelemahan pound sterling -termasuk pasca referendum Brexit-mendorong
ekspor dan menekan impor sehingga net ekspor membaik. Selanjutnya, peningkatan
permintaan domestik dan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi dan investasi.

Permintaan domestik yang meningkat juga berdampak pada kenaikan inflasi yang
meningkat dua kali lipat sepanjang TW3-16. Inflasi Inggris meningkat dari 0,5% di Juni 2016
menjadi 1,0% di September 2016. Namun demikian, peningkatan inflasi tidak mencegah

Bank of England yang melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku


bunga kebijakan dan meningkatkan injeksi likuiditas ke perekonomian pasca referendum
Brexit melalui program pembelian aset (quantitative easing). Berbeda dengan kebijakan
moneter yang ekspansif, kebijakan fiskal Inggris tetap bersifat konsolidatif untuk menekan
defisit fiskal. Sejauh ini konsolidasi fiskal yang dilakukan telah berhasil menurunkan defisit
fiskal dari -10,2% PDB pasca GFC 2008 menjadi -3,9% pada TW2-16.

Kinerja ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan secara gradual, meskipun
kondisinya secara umum masih lemah. PDB Jepang pada TW3-16 kembali tumbuh
meningkat mencapai 0,9%, setelah pada triwulan sebelumnya mulai rebound dan tumbuh
0,6%. Peningkatan pertumbuhan PDB tersebut disumbang oleh perbaikan net ekspor dimana
kinerja ekspor membaik lebih cepat dibanding impor sehingga berkontribusi meningkatkan
pertumbuhan, Sementara itu, konsumsi dan investasi relatif masih lemah. Konsumsi yang
masih lemah disebabkan oleh masyarakat yang lebih berhati-hati dalam pengeluarannya
akibat prospek ekonomi yang belum membaik dan menurunnya pendapatan dari luar negeri
sebagaimana tercermin pada penurunan pertumbuhan Gross National Income (GNI).
Penurunan pendapatan luar negeri tersebut semakin terasa signifikan akibat tren apresiasi yen
terhadap US dollar dan mata uang mitra dagang.

Di sisi produksi, perbaikan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi,


meskipun peningkatannya masih sangat terbatas. Produksi industri sedikit meningkat, sejalan
dengan sentimen bisnis yang masih bias ekspansif. Sejalan dengan peningkatan produksi,
sektor ketenagakerjaan cenderung masih ketat dimana angka pengangguran telah berada di
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

level yang rendah dan rasio lowongan kerja terhadap pencari kerja yang masih meningkat.
Namun demikian, peningkatan upah masih terbatas akibat kondisi bisnis yang secara umum
masih lesu.

Kondisi ekonomi Jepang yang masih lemah tercermin pada perkembangan harga
yang masih mengalami deflasi. Pada September 2016 tercatat deflasi sebesar -0,5% yoy,
sedikit memburuk dibanding posisi Juni 2016 yang terdeflasi -0,4%. Kondisi ekonomi yang
lemah dan tingkat inflasi yang semakin menjauh dari target mendorong Bank of Japan untuk
menerapkan kebijakan moneter yang semakin agresif, termasuk dengan menerapkan
framework kebijakan moneter baru, yaitu yield control, dengan menetapkan yield obligasi
pemerintah 10 tahun sebesar 0%.

Berbeda dengan AS, Inggris dan Jepang, pertumbuhan PDB Kawasan Euro stagnan
di level 1,6% seperti pada triwulan sebelumnya. Konsumsi dan keyakinan konsumen masih
melemah yang disebabkan oleh pengangguran yang masih tinggi, masalah pengungsi dan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menjadikan prospek ekonomi semakin suram.
Konsumsi yang lemah juga diikuti oleh pelemahan aktivitas produksi sepanjang TW3-16. Di
sisi lain, aktivitas perdagangan terus membaik dimana ekspor mulai tumbuh positif dan
kontraksi impor semakin menyempit.

Di tengah konsumsi yang masih lemah, inflasi justru meningkat cukup signifikan.
Inflasi merayap naik dari 0,1% yoy pada Juni 2016 menjadi 0,5% pada Oktober 2016.
Sebagaimana di berbagai negara lain, peningkatan inflasi didorong oleh harga minyak yang
cenderung meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Meski meningkat, level inflasi tersebut
masih jauh di bawah target sehingga ECB tetap mempertahankan kebijakan moneter yang
akomodatif. ECB bahkan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset
(quantitative easing).

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

2.3 PERKEMBANGAN NEGARA BERKEMBANG


Kelompok negara berkembang kembali tumbuh meningkat pada TW3-16.
Peningkatan pertumbuhan antara lain ditopang oleh Tiongkok yang tumbuh stabil serta India
dan beberapa negara ASEAN (Vietnam dan Malaysia) yang tumbuh meningkat (Grafik 1.9).
Perbaikan kinerja ekonomi tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi dan net ekspor.

Pertumbuhan PDB Tiongkok pada TW3-16 bertahan di level 6,7%, sama dengan
triwulan sebelumnya. Konsumsi relatif membaik dimana penjualan ritel cenderung tumbuh
meningkat sepanjang TW3. Selain itu, kontribusi investasi relatif stabil, terutama berkat
dukungan investasi

Grafik 1.9 Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang

publik yang masih cukup tinggi. Di sisi lain, ekspor dan impor masih menurun, namun
ekspor menurun lebih tajam dibanding impor, sehingga diperkirakan berdampak menekan
pertumbuhan PDB. Secara sektoral, sektor tersier (jasa) terus tumbuh meningkat sementara
sektor sekunder (manufaktur) tumbuh relatif stabil. Perkembangan tersebut secara tidak
langsung mengindikasikan bahwa proses rebalancing ekonomi masih terus berlangsung.

Sejalan dengan konsumsi yang membaik, tekanan inflasi juga kembali meningkat
mencapai 2,1% pada Oktober 2016, dari sebesar 1,9% pada Juni 2016. Angka inflasi
tersebut relatif masih rendah dan terkendali, sehingga PBOC tetap menerapkan kebijakan
moneter yang cenderung akomodatif. Di sisi fiskal, pemerintah tetap memberikan stimulus
melalui berbagai proyek konstruksi, serta pengeluaran untuk restrukturisasi NPL bank.
Operasi tersebut menjadikan defisit fiskal meningkat.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang stabil, perekonomian Tiongkok masih


menghadapi beberapa tantangan yang cukup mengganggu kinerja ekonomi. Beberapa
permasalahan dimaksud antara lain adalah pelemahan kinerja korporasi di tengah posisi utang
yang sudah cukup tinggi sehingga mulai mendorong kenaikan NPL, munculnya kembali
indikasi bubble di sektor properti dan berlanjutnya aliran modal keluar. Permasalahan
tersebut selain mengganggu berjalannya aktivitas ekonomi, juga menyerap resources yang
seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya
restrukturisasi NPL yang menyerap sebagian anggaran pemerintah.

Kinerja ekonomi India menunjukkan indikasi perbaikan sehingga PDB pada TW3-16
diperkirakan akan kembali meningkat mencapai 7,4%, dari tumbuh 7,1% pada triwulan
sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi yang
didukung oleh kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Selain itu, peningkatan konsumsi juga
dipengaruhi faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Namun demikian, peningkatan
konsumsi masih belum diikuti oleh aktivitas produksi yang meningkat. Hal ini diperkirakan
karena inventory yang masih mencukupi untuk memenuhi permintaan konsumen. Sentimen
bisnis juga masih membaik sebagaimana ditunjukkan oleh Purchasing Manager Index yang
terus meningkat.

Faktor lain yang mendorong pertumbuhan adalah net ekspor yang diperkirakan juga
membaik. Ekspor dan impor terus membaik, meskipun masih mengalami kontraksi dibanding
tahun sebelumnya. Ekspor terus membaik dimana kontraksinya terus menurun dan bahkan
mulai tumbuh positif pada akhir TW3-16. Sementara itu, impor juga menunjukkan kinerja
yang terus membaik sehingga kontraksinya juga terus menyempit.

DI tengah aktivitas ekonomi yang kembali meningkat, laju inflasi justru mengalami
penurunan. Inflasi menurun cukup signifikan dari 5,8% di akhir TW2-16 menjadi 4,3% di
akhir TW3. Perkembangan inflasi India tersebut berbeda dengan tren inflasi dunia yang
cenderung meningkat sepanjang TW3. Hal ini disebabkan oleh berakhirnya musim kemarau
sehingga produksi pertanian kembali normal dan harga produk makanan (volatile food)
menurun cukup signifikan.

Tekanan inflasi yang menurun memberikan ruang untuk pelonggaran kebijakan


moneter. Hal ini dimanfaatkan oleh RBI untuk menurunkan suku bunga kebijakan pada MPC
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

meeting Oktober 2016. Di sisi keuangan pemerintah, defisit fiskal diperkirakan akan melebar
dengan ditingkatkannya gaji PNS namun defisit diperkirakan tidak akan melebihi 3,5% dari
PDB untuk tahun fiskal 2016/2017. Pada saat yang sama pemerintah melanjutkan berbagai
reformasi yang ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi dalam rangka menarik lebih
banyak investasi asing. Upaya ini sejalan dengan program jangka menengah-panjang yang
dikenal dengan Make in India.

Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN bervariasi namun dengan kecenderungan


melambat di TW3-16. PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat,
yang pada umumnya disebabkan oleh melemahnya konsumsi (Indonesia dan Thailand) dan
net ekspor (Filipina dan Singapura). Meskipun tumbuh melambat, laju pertumbuhan PDB
negara ASEAN tersebut pada umumnya masih berada pada level yang tinggi yang
menunjukkan masih cukup kuatnya fundamental ekonomi negara-negara tersebut. Sementara
itu, PDB Malaysia dan Vietnam mengalami peningkatan pertumbuhan yang didorong oleh
peningkatan investasi dan net ekspor.

Tekanan inflasi di negara ASEAN secara umum masih terkendali dan masih di bawah
target inflasi masing-masing negara, meskipun menunjukkan tren yang meningkat. Tren
inflasi yang meningkat menunjukkan kondisi ekonomi yang masih cukup baik, di samping
juga didorong oleh kenaikan harga minyak dan komoditas global. Singapura masih
mengalami deflasi yang menunjukkan masih lemahnya permintaan domestik. Singapura yang
perekonomiannya bergantung pada sektor eksternal (ekspor barang dan jasa) sangat terpukul
dengan terus melemahnya perekonomian dunia yang diikuti dengan turunnya volume
perdagangan.

Dengan kinerja ekonomi yang sedikit melambat dan laju inflasi yang relatif rendah,
kebijakan moneter negara ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku
bunga kebijakan (7 days reverse repo) pada September dan Oktober 2016 (masing-masing 25
bps menjadi 4,75%). Sementara itu, negara ASEAN lain mempertahankan suku bunga
kebijakan yang telah berada pada level yang rendah.

Perkembangan ekonomi global yang sedikit membaik juga diwarnai oleh munculnya
beberapa events yang menjadi tantangan dalam memulihkan dan mendorong kinerja ekonomi
global. Events dimaksud adalah referendum2 di Inggris yang hasilnya dimenangkan oleh
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

kubu Brexit sehingga Inggris akan keluar dari Uni Eropa, ketidakpastian timing kenaikan Fed
Fund Rate berikutnya dan pemilihan presiden di AS yang dimenangkan oleh Donald Trump
yang berpotensi memengaruhi perekonomian global. Events tersebut berdampak
mengguncang pasar keuangan global, terutama di negara berkembang yang mengalami
sudden capital reversal yang diikuti oleh jatuhnya harga aset dan nilai tukar. Investor global
pada umumnya melepas investasinya, baik di saham, obligasi korporasi, maupun obligasi
pemerintah. Selanjutnya investor menarik keluar investasinya dari negara berkembang dan
dialihkan ke safe haven assets. Akibatnya, harga aset keuangan di negara berkembang jatuh
dan disertai dengan melemahnya mata uang domestik. Terkait referendum di Inggris yang
secara mengejutkan dimenangkan oleh kubu yang pro keluar dari Uni Eropa (Brexit)
membuat pelaku pasar melakukan pengalihan asetnya ke aset yang lebih aman (flight to
safety), namun dampaknya lebih dirasakan di UK dan negara-negara Eropa. Sementara itu,
terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS juga mengejutkan pasar sehingga berdampak
sangat besar pada gejolak pasar keuangan serta imbasnya lebih luas dan merata, termasuk ke
negara berkembang di kawasan Asia.

Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed dimana harga minyak relatif stabil,
harga komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung
menurun. Harga minyak cenderung bergerak stabil di sekitar USD48 per barrel (minyak jenis
Brent), setelah meningkat cukup signifikan di TW2-16. Ketidakberhasilan upaya
pengendalian produksi oleh OPEC dan non-OPEC menjadikan tren kenaikan harga minyak
tertahan. Berbeda dengan minyak, harga komoditas tambang cenderung masih terus
meningkat. Beberapa komoditas tambang yang mengalami kenaikan harga adalah copper,
aluminium dan zinc. Sementara itu, harga komoditas pertanian bergerak sangat bervariasi.
Harga gandum dan beras cenderung menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi
meningkat.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

2.4 OUTLOOK EKONOMI GLOBAL 2016-2017


Dengan kinerja ekonomi global yang cenderung stagnan dalam periode TW1 s/d
TW3-16, ekonomi global sepanjang 16 diperkirakan hanya tumbuh 3,1% -perkiraan IMF
dalam WEO Oktober 2016- atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan,
ekonomi global memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat terus berlanjutnya
perbaikan employment -penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah- sehingga daya
beli relatif membaik. Namun, perbaikan daya beli tersebut belum sepenuhnya
terimplementasi pada peningkatan konsumsi dan investasi (barang modal), mengingat
konsumen lebih memilih menabung atau investasi pada aset keuangan dan properti untuk
berjaga-jaga menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.

Tabel 1.1 Outlook Ekonomi Global


% yoy
World Economic Perubahan dari Perubahan dari
OECD
Outlook WEO Juli 2016 OECD Jun-16
2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017
Dunia 3,1 3,4 0,0 0,0 2,9 3,2 -0,1 -0,1
Aes 1,6 1,8 -0,2 0,0 - - - -
Dunia (PDB PPP) - - - - - - - -
Amerika Serikat 1,6 2,2 -0,6 -0,3 1,4 2,1 -0,4 -0,1
Kawasan Euro 1,7 1,5 0,1 0,1 1,5 1,4 -0,1 -0,3
Jerman 1,7 1,4 0,1 0,2 1,8 1,5 0,2 -0,2
Perancis 1,3 1,3 -0,2 0,1 1,3 1,3 -0,1 -0,2
Italia 0,8 0,9 -0,1 -0,1 0,8 0,8 -0,2 -0,6
Spanyol 3,1 2,2 0,5 0,1 - - - -
Inggris 1,8 1,1 0,1 -0,2 1,8 1,0 0,1 -1,0
Jepang 0,5 0,6 0,2 0,5 0,6 0,7 -0,1 0,3
EMDEs 4,2 4,6 0,1 0,0 - - - -
Brazil -3,3 0,5 0,0 0,0 -3,3 -0,3 1,0 1,4
Russia -0,8 1,1 0,4 0,1 - - - -
Tiongkok 6,6 6,2 0,0 0,0 6,5 6,2 0,0 0,0
India* 7,6 7,6 0,2 0,2 7,4 7,5 0,0 0,0
Indonesia 4,9 5,3 - - - - - -
Malaysia 4,3 4,6 - - - - - -
Filipina 6,4 6,7 - - - - - -
Singapura 1,7 2,2 - - - - - -
Thailand 3,2 3,3 - - - - - -
Viet Nam 6,1 6,2 - - - - - -

Sumber: IMF-WEO Oktober 2016, OECD Economic Outlook and Interim Global Economic Assessment September 2016
Ket: *) Fiscal years starting in April

Ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh meningkat mencapai


3,4% (IMF WEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016). Peningkatan pertumbuhan akan
didorong baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju,
peningkatan pertumbuhan diperkirakan akan terjadi di AS, Jepang dan Kanada. Sementara
pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris diperkirakan melambat yang disebabkan
dimulainya proses pemisahan Inggris dari Uni Eropa. Di sisi lain, pertumbuhan di kelompok
negara berkembang diperkirakan meningkat secara lebih merata, termasuk negara-negara
eksportir komoditas sejalan dengan ekspektasi terus membaiknya harga komoditas. Tiongkok
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

diperkirakan akan tumbuh melambat sejalan dengan rebalancing ekonominya yang masih
terus berlangsung, sementara India tumbuh stabil di level yang tinggi.

Namun demikian, terdapat beberapa faktor risIko yang dapat menjadikan pertumbuhan
ekonomi global lebih rendah dari perkiraan tersebut (downside risks). Beberapa faktor risiko
dimaksud adalah (i) risiko politik yang cenderung meningkat -termasuk berlanjutnya tekanan
terhadap integrasi Uni Eropa, keluarnya Skotlandia dan Inggris Raya, serta implementasi
janji kampanye Donald Trump, (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi
secara smooth (hard Brexit), serta faktor risiko lama yang masih tetap ada, yaitu (iii)
kenaikan FFR dan (iv) rebalancing ekonomi Tiongkok yang menyebabkan pertumbuhan
turun lebih tajam dibanding perkiraan.

Terkait risiko proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa, IMF dalam WEO Juli 2016
mengestimasi dampaknya pada perekonomian global dalam dua skenario, yaitu Downside
Scenario dan Severe Scenario. Pada Downside Scenario diasumsikan bahwa keluarnya UK
dari Uni Eropa mengakibatkan likuiditas global menjadi lebih ketat dan keyakinan
konsumen/ bisnis sedikit menurun, sehingga berdampak pada penurunan konsumsi dan
investasi. Hal ini berdampak pada penurunan pertumbuhan global menjadi 2,9% di 2016 dan
3,1% di 2017. Penurunan terutama terjadi di kelompok negara maju, terutama Inggris dan
Uni Eropa yang terdampak langsung. Sementara itu, negara berkembang terkena dampaknya
secara lebih terbatas.

Pada Severe Scenario terjadi gejolak yang lebih besar di pasar keuangan (financial
stress) sehingga likuiditas menjadi sangat ketat dan berpengaruh pada penurunan keyakinan
konsumen dan keyakinan bisnis secara lebih signifikan. Akibatnya, konsumsi dan investasi
menurun tajam dan ekonomi global hanya tumbuh sebesar 2,8% di 2016 dan 2017.

Terkait risiko politik di AS dimana Presiden Donald Trump akan menjadikan AS lebih
protektif dengan stimulus fiskal yang lebih agresif, ekonomi AS diperkirakan dapat tumbuh
jauh lebih tinggi dari perkiraan (2,2% di 2017). Pengeluaran infrastruktur yang lebih besar
diperkirakan akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan upah yang pada
gilirannya meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Kebijakan memotong pajak
diperkirakan dapat memperkuat sisi pasokan dan mendorong aktivitas bisnis, terutama untuk
merespons peningkatan permintaan domestik. Di sisi lain, kebijakan perdagangan yang lebih
protektif akan menekan net ekspor, sehingga lebih mendorong pertumbuhan.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Meskipun kebijakan dimaksud di atas memberikan benefit bagi perekonomian AS,


kebijakan yang lebih protektif tersebut berpotensi mengurangi positive spillover ke negara
mitra dagang dan ekonomi global, sehingga dampaknya pada pertumbuhan ekonomi global
menjadi lebih terbatas. Selain itu, kebijakan proteksionisme tersebut diperkirakan dapat
mengun dang retaliasi dari negara-negara yang merasa dirugikan. Hal ini dapat berdampak
pada pola perdagangan yang lebih protektif sehingga akan semakin menekan volume
perdagangan dunia, menimbulkan inefisiensi dan pada akhirnya berdampak negatif pada
pertumbuhan ekonomi global. Terlepas berbagai potensi dampaknya, implementasi janji
kampanye Presiden Trump masih tetap penuh dengan ketidakpastian -di samping beberapa
kebijakan diperkirakan tidak applicable- sehingga dunia masih harus menunggu hingga
Presiden Trump dilantik dan mengumumkan kebijakan-kebijakannya.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

BAB III
ASEAN-5
3.1 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN-5

Pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 pada TW3-16 bergerak variatif. Perbaikan kinerja


ekonomi terjadi di Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang ditopang oleh aktivitas konsumsi
domestik. Berbeda dengan negara peers, ekonomi Thailand dan Singapura pada triwulan
ketiga 2016 semakin melambat. Pelemahan permintaan global dan sejumlah faktor domestik
menjadi penghalang tercapainya level pertumbuhan yang lebih tinggi di kedua negara
tersebut. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Singapura mencatatkan performa terburuk sejak
2009.

Perbedaan performa ekonomi di ASEAN-5 juga terefleksi pada laju inflasi yang
bervariasi. Rata-rata indeks harga konsumen Viet Nam dan Filipina pada triwulan laporan
terakselerasi sebagai dampak kenaikan harga pangan, dan uang pangkal sekolah. Di sisi lain,
Malaysia dan Thailand justru mengalami penurunan indeks harga konsumen yang semakin
menjauhi target. Sementara Singapura masih berjuang untuk keluar dari zona deflasi di
tengah berlanjutnya perlambatan harga rumah.

Kondisi ekonomi kawasan yang resilien di tengah ketidakpastian pemulihan ekonomi


global, menjadi pertimbangan bagi IMF untuk meyakini perbaikan ekonomi ASEAN ke
depan. Kendati demikian, sejumlah risiko masih membayangi outlook perekonomian
kawasan. Risiko eksternal berpotensi muncul dari perlambatan ekonomi negara mitra dagang
utama seperti Tiongkok dan EU, tren penurunan harga komoditas dunia, serta rencana
kenaikan suku bunga the Fed pada akhir 2016. Faktor risiko semakin bertambah dengan
terjadinya Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS yang meningkatkan
ketidakpastian di pasar keuangan regional. Kebijakan Trump di sektor perdagangan yang
mengarah pada proteksionisme berpotensi menahan ekspor negara kawasan ASEAN-5.
Sementara itu, dari sisi domestik faktor risiko bersifat idiosinkratik, antara lain instabilitas
politik, konsolidasi fiskal, serta meningkatnya utang swasta dan kredit macet.

Di tengah pemulihan ekonomi global yang belum sesuai harapan, perekonomian


ASEAN-5 pada triwulan ketiga 2016 menunjukkan pergerakan yang beragam. Filipina,
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Vietnam serta Malaysia menjadi negara yang mencatatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Filipina melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang solid pada TW3-16 mencapai 7,1% yoy,
naik tipis dari triwulan sebelumnya (7,0%). Angka ini bahkan melebihi ekspektasi para
pelaku pasar (6,7%). Kondisi ini ditopang oleh aktivitas konsumsi rumah tangga yang stabil
dengan tumbuh 6,4%, di tengah tingginya arus pengiriman uang dari tenaga kerja Filipina di
luar negeri (remitansi). Di samping itu, pertumbuhan yang stabil juga didorong pengeluaran
pemerintah (sebesar 17,4% pada TW3-16 dan TW2-16) sejalan dengan dimulainya realisasi
pembangunan multi-years proyek infrastruktur senilai USD160 miliar.

Perekonomian Vietnam tumbuh impresif mencapai 6,4% pada TW3-16, lebih tinggi
dari 5,8% pada triwulan sebelumnya. Perbaikan terjadi secara merata pada seluruh sektor
dengan pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh sektor industri dan konstruksi TW2-16 yang
mencapai 7,5% (dari 7,1% pada TW2-16). Sementara sektor pertanian berhasil keluar dari
zona kontraksi, dan tumbuh 0,7% (dari -0,2% pada triwulan sebelumnya) setelah berakhirnya
masa kekeringan57 yang melanda Viet Nam pada awal 2016. Meski pertumbuhan relatif
meningkat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Viet Nam selama tiga triwulan hanya mencapai
5,9% dan masih jauh dari target pemerintah (6,7% yoy).

PDB Malaysia pada TW3-16 tumbuh menguat mencapai 4,3%, dari 4,0% pada triwulan
sebelumnya dan melebihi ekspektasi pasar (4,0%). Kinerja perekonomian khususnya
ditopang oleh konsumsi domestik yang tetap solid dengan pertumbuhan mencapai 6,4%, dari
6,3% pada TW2-16, seiring kenaikan upah minimum per 1 Juli 201658. Ekspansi konsumsi
domestik disertai dengan perlambatan aktivitas impor berhasil mengompensasi perlambatan
yang terjadi pada pengeluaran pemerintah, ekspor maupun aktivitas investasi.

Di sisi lain, perekonomian Singapura melemah tajam menjadi hanya 0,6% yoy, dari
2,0% pada TW2-16. Angka pertumbuhan tersebut lebih lambat dari ekspektasi pasar (1,7%)
dan jauh di bawah rata-rata historikal jangka panjang (10 tahun) yang mencapai 5,2%.
Pelemahan ekonomi yang terjadi semakin menguatkan pandangan banyak pihak bahwa
perlambatan ekonomi dunia serta pelemahan harga minyak berdampak cukup signifikan bagi
ekonomi Singapura. Secara sektoral, industri jasa yang menyumbang sekitar 60% PDB
mengalami kontraksi hingga 0,1% pada TW3-16, dari 1,2% di TW2-16 sebagai imbas
melambatnya penjualan ritel. Kinerja industri jasa menjadi yang terburuk sejak global
financial crisis. Sementara itu, jatuhnya permintaan alat transportasi, biomedis, dan beberapa

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

peralatan lainnya mengakibatkan kontraksi pada sektor manufaktur hingga ke level 1,1%,
dari 1,4% di TW2-16.

Kinerja ekonomi Thailand tumbuh melambat ke level 3,2% pada TW3-16, dari 3,5%
pada triwulan lalu, dan di bawah ekspektasi pasar (3,3%). Strategi front loading yang
dilakukan pemerintah negeri gajah putih mengakibatkan anggaran pemerintah pada akhir
2016 menipis dan berkurangnya pengeluaran pemerintah pada TW3-16 hingga ke level
kontraksi -5,8% pada TW3-16, dari tumbuh 1,5% pada triwulan sebelumnya. Di samping itu,
perlambatan juga terjadi pada aktivitas konsumsi rumah tangga serta investasi swasta di
tengah instabilitas politik.

Grafik 1.98 PDB ASEAN-5 Grafik 1.99 Penjualan Ritel ASEAN-5

Permintaan yang belum solid, baik dari domestik maupun eksternal menyebabkan
aktivitas konsumsi di kawasan ASEAN-5 tumbuh terbatas. Rata-rata penjualan ritel Thailand
dan Singapura masing-masing turun ke level 3,2% dan 0,8% pada TW3-1660, dibandingkan
triwulan sebelumnya yang mencapai 4,8% dan 2,6%. Pelemahan yang terjadi di Thailand
disebabkan oleh kontraksi penjualan pada kelompok durable goods (seperti hardware dan
perabot rumah tangga). Sementara di Singapura, penurunan terjadi pada sebagian besar
kelompok barang (pakaian, perabot rumah tangga hingga obat-obatan) di tengah lesunya
perekonomian dalam negeri dan peningkatan angka pengangguran.

Sementara itu, Vietnam masih menorehkan pertumbuhan ritel yang impresif sebesar
9,3% yoy pada TW3-16, meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan kedua 2016
(9,4%). Namun, pertumbuhan ini terindikasi semu dan lebih dipengaruhi faktor kenaikan
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

harga. Apabila faktor harga dikecualikan, General Statistic Office melihat tren penurunan
pertumbuhan penjualan akibat sentimen negatif masyarakat di tengah fluktuasi harga energi,
biaya kesehatan serta pendidikan.

Performa terburuk ditunjukkan oleh Malaysia pada TW3-16, dengan penurunan


penjualan kendaraan indikator konsumsi domestik terpangkas hingga -11,8% dari -6,5% pada
triwulan sebelumnya. Kondisi ini disebabkan penurunan drastis pada Juli 2016 hingga
-27,6% yoy yang terpengaruh faktor musiman. Hari Raya Idul Fitri yang bergeser menjadi
minggu pertama Juli 2016 (dari minggu ketiga Juli 2015) telah menggeser pola konsumsi
masyarakat. Di samping itu, penurunan terpengaruh minimnya launching kendaraan model
baru sepanjang periode Agustus-September 2016.

Berbeda dengan negara peers, Filipina menjadi satu-satunya negara yang mengalami
ekspansi penjualan ritel. Realisasi pertumbuhan penjualan ritel pada TW3-16 mencapai 2,2%,
naik tipis dari 2,1% pada triwulan kedua 2016. Permintaan domestik yang solid di tengah
perbaikan pada sektor tenaga kerja telah memperbaiki penjualan ritel di Filipina. Institute of
Grocery Distribution (IGD) memproyeksikan penjualan ritel (khususnya di pasar swalayan)
akan semakin menguat dan tumbuh mencapai 10% yoy pada tahun 2020.

Merespons permintaan yang belum solid, aktivitas produksi ASEAN-5 pada triwulan
ketiga 2016 cenderung bergerak melemah. Produksi industri di Thailand menurun cukup
drastis hingga terkontraksi -0,4% dari tumbuh 1,7% pada TW2-16. Permintaan global yang
masih lesu, khususnya dari negara tujuan ekspor Thailand (Jepang dan Eropa), serta sentimen
bisnis yang buruk di tengah instabilitas politik menjadi penyebab dibalik perlambatan
produksi. Kondisi ini turut dikonfirmasi oleh penurunan rata-rata utilisasi kapasitas dan
sentimen bisnis yang tertahan masing-masing ke level 64 dan 49 pada TW3-16, dari 64,5 dan
50 pada triwulan kedua 2016. Perlambatan turut dialami oleh Singapura. Pelaku bisnis
cenderung berhati-hati dan menahan ekspansi usaha, terutama oil services companies
merespons harga minyak yang relatif masih rendah. Akibatnya, aktivitas produksi Singapura
pada TW3-16 tertahan pada level 1,3% pada TW3-16, dari 1,4% pada triwulan sebelumnya.

Tren penurunan produksi juga terjadi di Vietnam, yang tumbuh melambat ke level
7,3% pada TW3-16, dari 7,7% pada triwulan sebelumnya. Harga komoditas yang masih
rendah di tengah biaya produksi yang justru semakin tinggi64 memicu penurunan produksi
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

khususnya pada sektor pertambangan. Kondisi ini dikonfirmasi oleh perusahaan tambang
terbesar di Vietnam (Vinacomin) yang memangkas proyeksi produksinya pada 2016 menjadi
36,5 juta ton, dari yang telah ditargetkan pada awal tahun (39 juta ton).

Di sisi lain, aktivitas produksi Malaysia mengalami akselerasi mencapai 4,1% dari
3,7% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ditengarai dipengaruhi oleh harga komoditas
minyak mentah dan gas alam yang mengalami rebound, serta meningkatnya output pada
subsektor barang elektronik, obat-obatan dan plastik. Pertumbuhan pesat juga ditunjukkan
oleh Filipina yang berhasil mencapai 6,8% dari 5,0% pada TW2-16. Aktivitas produksi
terdorong implementasi berbagai proyek infrastruktur (baik dari sektor publik maupun
swasta) dan berdampak pada meningkatnya output kelompok capital goods, khususnya
peralatan transportasi serta mesin. Utilisasi kapasitas di Filipina turut terdorong naik ke level
83,5% dari 83,4% pada triwulan kedua 2016.

Grafik 1.100 Produksi Industri

Laju inflasi kawasan ASEAN-5 juga bergerak variatif. Rata-rata indeks harga
konsumen TW3-16 Viet Nam, dan Filipina secara berturut-turut membaik ke level 2,8% dan
2,0%, masing-masing dari 2,2% dan 1,5% pada TW2-16. Kenaikan uang pangkal sekolah
seiring dimulainya tahun ajaran baru, yang diikuti dengan lonjakan harga kelompok makanan
dan energi menjadi pendorong kenaikan indeks harga konsumen di Vietnam. Sementara
peningkatan laju inflasi di Filipina lebih dipengaruhi oleh tren kenaikan harga pangan,
pelemahan nilai tukar serta low base effect dari kelompok nonmakanan.

Dinamika yang berbeda ditunjukkan oleh Thailand dan Malaysia, dengan pergerakan
indeks harga yang justru menurun pada triwulan ketiga tahun 2016. Pergerakan harga di
Thailand melambat ke level 0,26% (dari 0,30% TW2-16) sementara Malaysia turun ke level
1,37% (dari 1,9% TW2-16). Tren penurunan harga di Thailand dipengaruhi oleh deflasi harga
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

perumahan yang terus berlanjut serta melambatnya harga kelompok makanan. Sementara
penurunan harga di Malaysia terjadi pada hampir semua kelompok barang akibat base effect
yang cukup tinggi pada tahun lalu pasca pemberlakuan GST.

Singapura menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang masih berjuang untuk
keluar dari zona deflasi 65 di tengah jatuhnya harga sektor perumahan. Meskipun masih
deflasi, indeks harga konsumen Singapura cenderung membaik menjadi rata-rata -0,4%, dari
-0,9% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ini terjadi akibat akselerasi harga kelompok
makanan serta rebound harga minyak dunia yang mendorong kenaikan harga transportasi.
Dengan perkembangan yang demikian, secara umum pergerakan inflasi di ASEAN masih
berada di bawah target otoritas moneter masing-masing negara66.

Dinamika perekonomian global yang kian kompleks dan dinilai dapat berimbas pada
perekonomian domestik menjadi pertimbangan bagi otoritas moneter di kawasan untuk
mempertahankan stance kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral Malaysia (BNM)
mempertahankan suku bunga kebijakan sebesar 3,0%, Bank of Thailand (1,5%), Bank Sentral
Filipina (3%), dan Bank Sentral Vietnam (6,5%). Kebijakan ini dipandang sebagai langkah
yang tepat untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik dengan tetap mempertahankan
stabilitas harga di tengah kondisi ekonomi global yang masih lesu, perkembangan pasar
keuangan global yang dibayangi ketidakpastian, dan harga komoditas yang masih rendah.
Kebijakan moneter akomodatif juga didukung oleh sikap kehati-hatian otoritas moneter
ASEAN di tengah berbagai peristiwa di level global67 yang berpotensi memberikan spillover
negatif, khususnya bagi pasar keuangan regional.

Grafik 1.101 Inflasi

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Otoritas monneter singapura, Monetary Authority of Singapore/MAS) juga


mempertahankan stance kebijakannya selama triwulan laporan. Pada Monetary Policy
Committee (MPC) meeting 14 Oktober 2016, MAS kembali mengafirmasi kebijakan
moneternya dengan stance netral melalui penetapan policy band perubahan NEER (Nominal
Effective Exchange Rate) SGD pada 0%. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menggerakan
roda perekonomian domestik di tengah arus modal yang mendorong apresiasi SGD dan dapat
berdampak pada daya saing ekspor. MAS juga meyakini bahwa kebijakan moneter dengan
stance netral tersebut sesuai dengan kondisi perekonomian domestik yang termoderasi dan
inflasi inti pada jangka menengah yang diperkirakan masih rendah. Lebih jauh lagi, MAS
juga menyatakan bahwa kebijakan moneter dengan stance netral akan dipertahankan untuk
periode yang lebih lama jika diperlukan untuk menjamin stabilitas harga pada jangka
menengah.

Grafik 1.102 Suku Bunga Kebijakan Grafik 1.103 Kebijakan Moneter Singapura

Pencapaian perekonomian ASEAN-5 yang terhitung cukup robust dengan dukungan


kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif menjadi alasan yang kuat bagi IMF untuk
meyakini outlook pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 tetap kuat. Dalam WEO Oktober 2016,
IMF memperkirakan ekonomi ASEAN-5 akan tetap tumbuh tinggi di tengah faktor
ketidakpastian eksternal yang meningkat. IMF merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi 2016
Filipina dan Thailand. Filipina diprediksi dapat tumbuh sebesar 6,4% yoy pada 2016 (dari
6,0% pada proyeksi Juli 2016) dan meningkat ke 6,7% pada 2017. Pertumbuhan diperkirakan
ditopang oleh konsumsi domestik yang semakin tinggi dan belanja pemerintah yang
meningkat. Sementara perekonomian Thailand diperkirakan tumbuh sebesar 3,2% pada 2016
(dari 3,0% pada proyeksi Juli 2016) dan 3,3% pada 2017, didukung oleh pulihnya konsumsi
swasta dan sektor pariwisata. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Singapura dan Vietnam
dipertahankan masing-masing sebesar 1,7% dan 6,1% di 2016, tidak berubah dari proyeksi
Juli 2016. Berbeda dengan keempat negara peers, pertumbuhan ekonomi Malaysia 2016
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

direvisi ke bawah menjadi 4,3% (dari 4,4%) setelah mempertimbangkan risiko utang swasta
yang tinggi dan tren harga komoditas yang berimbas pada rendahnya penerimaan ekspor.
Senada dengan IMF, otoritas moneter ASEAN-5 dan CF juga meyakini bahwa ekonomi
masing-masing negara di kawasan masih on-track (Tabel Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi).
Tabel 1.11 Proyeksi Pertumbuhan Ekonom
% yoy
IMF-WEO Oktober 2016 CF Oktober 2016 Bank Sentral
Negara
2016 2017 2016 2017 2016 2017
Malaysia 4,3 4,6 4,1 4,3 4,0 - 4,5 n.a.
Filipina 6,4 6,7 6,5 6,1 6,0 - 7,0 6,5 - 7,5
Singapura 1,7 2,2 1,7 1,8 1,0 n.a.
Thailand 3,2 3,3 3,2 3,3 3,2 3,3
Vietnam 6,1 6,2 6,1 6,5 6,3 - 6,5 6,7

Tabel 1.12 Proyeksi Inflasi


% yoy
IMF-WEO Oktober Bank Sentral
Negara
2016 2017 2016 2017 Target
Malaysia 2,1 3,0 2,0 - 3,0 n.a. 3,0
Filipina 2,0 3,5 1,7 3,0 2,0 - 4,0
Singapura*) 0,8 1,4 1,0 1,0 - 2,0 n.a.
Thailand 0,3 1,6 0,3 2,0 1,0 - 4,0
Vietnam 2,0 3,6 4,0 4,0 5,0

IMF juga menilai bahwa inflasi di kawasan ASEAN-5 masih berada pada level yang
rendah pada 2016. IMF mempertahankan proyeksi inflasi Filipina, Singapura, dan Vietnam.
Pergerakan harga dinilai masih akan rendah, sejalan dengan tren harga komoditas dunia.
Inflasi di Filipina, Singapura, dan Vietnam diperkirakan mencapai 2,0%, 0,8%, dan 2,0%,
tidak berubah dari proyeksi sebelumnya. Sementara itu, outlook inflasi Malaysia pada 2016
dikoreksi menjadi 2,1% akibat masih rendahnya harga komoditas serta high base effect pasca
pemberlakuan GST di 2015. Inflasi Thailand diperkirakan tumbuh 0,3% pada 2016 (dari
0,2% di proyeksi Juli), dengan mempertimbangkan faktor kekeringan dan instabilitas politik
yang dapat mengganggu sisi penawaran. Pergerakan harga di kawasan secara umum
diproyeksikan meningkat pada 2017 seiring dengan meredanya tren penurunan harga
komoditas dunia.

Perekonomian ASEAN masih menghadapi beberapa downside risks. Secara umum,


risiko eksternal bagi ASEAN berasal dari (i) perlambatan ekonomi mitra dagang, khususnya
Tiongkok dan beberapa negara maju, yang akan berimbas pada penurunan kinerja ekspor
negara di kawasan; (ii) ketidakpastian kondisi pasar keuangan global yang dapat
menimbulkan efek spillover ke pasar keuangan regional sehingga memberikan tekanan pada
nilai tukar; dan (iii) rendahnya harga komoditas dunia, khususnya minyak. Bagi negara net
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

eksportir minyak mentah seperti Malaysia dan Vietnam, pelemahan harga minyak dunia dapat
menahan laju pertumbuhan ekonomi ke depan melalui jalur pelemahan ekspor dan penurunan
produksi.

Sedangkan bagi negara net importir minyak seperti Thailand dan Filipina, pelemahan
harga minyak dapat mendorong pertumbuhan dan menekan laju inflasi. Perekonomian
Singapura yang turut ditopang oleh industri perminyakan juga berpotensi mengalami
penurunan.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS juga menimbulkan risiko. Kebijakan


Trump di sektor perdagangan yang mengarah pada proteksionisme berpotensi menahan
ekspor negara kawasan ASEAN-5. Kerjasama perdagangan dan investasi TPP (Trans-Pacific
Partnership) juga berpotensi batal atau ditunda. Jika TPP dibatalkan, Vietnam, Singapura, dan
Malaysia akan kehilangan potensi pasar yang cukup besar dari implementasi TPP terutama ke
negara AS dan Jepang. Tekanan juga datang dari prospek kenaikan Fed Fund Rate yang
diprediksi akan terjadi pada akhir 201669. Kenaikan FFR berpotensi mendorong pembalikan
arus modal dari kawasan ke AS sehingga akan berimbas pada depresiasi nilai tukar dan
meningkatnya kerentanan eksternal.

Beberapa risiko eksternal yang bersifat non-ekonomis juga masih membayangi


prospek pertumbuhan ekonomi ASEAN. Tensi antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN
khususnya Filipina meningkat pasca putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS PBB atas
sengketa wilayah di Laut Cina Selatan70 pada Juli 2016. Hal itu berpotensi menjadi sumber
risiko yang dapat memengaruhi kerjasama perdagangan dan investasi antara kedua negara
tersebut. Tensi geopolitik semakin tereskalasi setelah Pemerintah Tiongkok secara resmi
menyatakan penolakan atas hasil putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS tersebut.

Risiko juga datang dari dalam negeri dan cenderung bersifat unik. Kerentanan dari
sektor rumah tangga Malaysia akibat peningkatan utang masih menjadi risiko yang
membayangi prospek pertumbuhan negeri jiran tersebut. Selain itu, risiko juga berasal dari
proses hukum yang tengah berlangsung mengenai kasus pencucian uang di perusahaan
investasi milik pemerintah 1 Malaysia Development Berhad (1MDB). Kasus pencucian uang
tersebut diduga melibatkan beberapa oknum Pemerintah Malaysia sehingga menimbulkan
instabilitas kondisi politik domestik. Situasi politik domestik yang belum stabil juga masih
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

membayangi outlook perbaikan perekonomian Thailand. Di Vietnam, masalah kredit macet,


restrukturisasi BUMN, dan tingginya utang publik menjadi faktor yang dikhawatirkan dapat
berimbas negatif pada pertumbuhan ekonomi ke depan.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

BAB IV
KESIMPULAN

Ekonomi global pada TW3-16 kembali menunjukkan perbaikan kinerja dimana


pertumbuhan output kembali meningkat. Peningkatan pertumbuhan tersebut disumbang oleh
negara maju -termasuk AS dan Jepang- dan negara berkembang. Membaiknya
perekonomian pada umumnya didukung oleh peningkatan konsumsi yang diikuti dengan
membaiknya net ekspor di beberapa negara. Indikasi membaiknya perekonomian juga
ditunjukkan oleh kecenderungan inflasi yang bergerak meningkat -meskipun sebagian
peningkatan tersebut juga disebabkan oleh harga energi yang relatif lebih tinggi. Meski
meningkat, level inflasi di berbagai negara pada umumnya masih jauh di bawah target
inflasi masing-masing negara tersebut.

Satu hal yang menjadikan peningkatan kinerja ekonomi global lebih berarti adalah
peningkatan pertumbuhan tetap dapat terjadi di tengah meningkatnya tantangan yang
dihadapi perekonomian global. Di awal TW3-16 ekonomi global dikejutkan oleh Brexit yang
sempat mengguncang pasar keuangan global. Tantangan lain yang juga berdampak besar
pada ekonomi global adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil
pemilihan ini cukup mengejutkan pasar mengingat hasil survei oleh berbagai lembaga
sebelum pelaksanaan pemilihan umum (8 November 2016) menunjukkan keunggulan tipis
Hillary Clinton atas Donald Trump. Hal ini memicu reaksi pelaku pasar untuk melakukan
penyesuaian portfolio secara cukup signifikan sehingga pasar keuangan global bergejolak,
terutama di negara berkembang. Diantara kedua event tersebut, pasar juga sempat beberapa
kali bergejolak yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.

Di pasar komoditas global, harga komoditas menunjukkan perkembangan yang sangat


bervariasi, namun dengan kecenderungan meningkat. Harga minyak relatif bergerak stabil
setelah meningkat di TW2-16. Harga komoditas tambang masih terus meningkat bahkan
dengan peningkatan yang cukup signifikan. Sementara itu, harga komoditas pertanian
bervariasi dimana beberapa komoditas -seperti minyak sawit dan kopi- meningkat, namun
beberapa komoditas lainnya -seperti gandum dan beras- menurun. Kecenderungan harga

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

komoditas yang meningkat memberikan dampak positif bagi negara produsen dan eksportir
komoditas.

Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin meningkat, kebijakan moneter di


berbagai negara tetap bias akomodatif, termasuk BOE yang semakin akomodatif untuk
menetralisir dampak Brexit. Sejalan dengan pelonggaran oleh BOE, ECB juga tetap
akomodatif dan memperpanjang masa implementasi program pembelian aset. BOJ juga
semakin akomodatif dan menerapkan mekanisme operasi moneter baru dengan target yield
obligasi pemerintah. Di sisi lain, the Fed masih mencari timing yang tepat untuk kembali
menaikkan Fed Fund Rate. Kenaikan FFR berikutnya diperkirakan akan dilakukan pada
Desember 2016. Dengan demikian, dikotomi kebijakan moneter negara maju kembali
mengemuka dan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan negara berkembang.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, outlook pertumbuhan ekonomi global di


2016 diperkirakan sebesar 3,1% di 2016, sama dengan pertumbuhan 2015. Selanjutnya,
pada 2017 pertumbuhan berpotensi meningkat mencapai 3,4%, apabila proses Brexit terjadi
secara smooth dan kebijakan AS di bawah Presiden Trump tidak memicu gejolak atau
pelemahan ekonomi global. Selain proses Brexit dan implementasi janji kampanye Presiden
Trump, ekonomi global juga menghadapi downside risks lain, yaitu meningkatnya tekanan
terhadap integritas Uni Eropa, dampak rebalancing pada pelemahan ekonomi Tiongkok yang
lebih dalam, dan kenaikan FFR selanjutnya.

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Daftar Pustaka

Alessandria, G., Kaboski, J., & Midrigan, V. (2010). The Great Trade Collapse of 200809:
An Inventory Adjustment? IMF Economic Review.
Armelius, H., Belfrage, C.-J., & Stenbacka, H. (2014). The Mystery of the Missing World
Trade Growth after the Global Financial Crisis. Sveriges Riksbank Economic Review
2014:3 .
Baker, S., Bloom, N., & Davis, S. (2016). Measuring Economic Policy Uncertainty.
Brander, J., & Krugman, P. (1983). A reciprocal dumping model of international trade.
Journal of International Economics 15 (34), 313321 .
Bussire, M., Prez-Barreiro, E., Straub, R., & Taglioni, D. (2010). Protectionist Responses
to the Crisis. Global Trend and Implication. ECB Occational Paper Series No 110 .
Constatinescu et al. (2015). The Global Trade Slowdown: Cyclical or Structural. IMF
Working Paper No15/6 .
Gaulier, G., Santoni, G., Taglioni , D., & Zignago, S. (2013). Market Shares in the Wake of
Global Crisis: the Quarterly Export Competitiveness Database. Banque de France
Working Paper No.427 .
Georgiadis, G., & Grb, J. (2013). Growth, real Exchange Rates and Trade Protectionism
Since the Financial Crisis. ECB Working Paper 1618 .
IMF. (2016). Global Financial Stability Report (GFSR): Fostering Stability in a Low-Growth,
Low-Rate Era. 2.
Irwin, D. (2002). Long-Run Trends In World Trade and Income. World Trade Review 1(1) .
Kyle, B., & Staiger, R. W. (2003). Protection and the Business Cycle. Advances in Economic
Analysis and Policy .
Ludema, Madya, & Mishara. (2015). Information and Legislative Bargaining: The Political
Economy of U.S. Tariff Suspensions.
Novy, D. (2012). Gravity Redux: Measuring International Trade Costs with Panel Data..
Economic Inquiry 51 (1): 101121 .
Novy, D., & Taylor, A. (2014). Uncertainty and the Great Trade Collapse: New evidence.
CEPR .
Taglioni, D., & Zavacka, V. (2013). Innocent Bystanders: How Foreign Uncertainty Shocks
Harm Exporters. ECB Working Paper No. 1530 .

35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Daftar Singkatan

AMRO ASEAN+3 Macroeconomic Research Office


APP Asset Purchase Programme
ASEAN Association of South East Asian Nations
Negara ASEAN yang terdiri dari Vietnam,
ASEAN5 Malaysia, Singapura, Thailand,
Filipina
BIS Bank for International Settlements
BNM Bank Negara Malaysia
BOE Bank of England
BOJ Bank of Japan
BOT Bank of Thailand
BSP Bangko Sentral ng Pilipinas
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CA Current Account
CF Consensus Forecast
CMIM Chiang Mai Initiative Multilateralization
CNH Chinese Yuan (Offshore)
CNY Chinese Yuan/Renminbi
CPI Consumer Price Index
CSPP Corporate Sector Purchase Programme
ECB European Central Bank
Executives Meeting of East Asia Pacific Central
EMEAP Banks
ETFs Exchange-Traded Funds
EU European Union
FAI Fixed Asset Investment
FDI Foreign Direct Investment
FFR Fed Fund Rate
FOMC Federal Open Market Committee
FTA Free Trade Area
Group-20 yang terdiri dari Argentina, Australia,
G20 Brazil, Kanada, China,
Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang,
Meksiko, Rusia, Arab
Saudi, Afrika Selatan, Korea, Turki, Inggris, Amerika
Serikat dan Uni Eropa
GBP Great Britain Poundsterling
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

GFC Global Financial Crisis

GFSN Global Financial Safety Net


GST Goods and Services Tax
GVCs Global Value Chains
GWM Giro Wajib Minimum
IMF International Monetary Fund
IO International Organization
JGB Japanese Government Bond
JPY Japanese Yen
KPR Kredit Pemilikan Rumah
MAS Monetary Authority of Singapore
MPC Monetary Policy Committee
NPL Non Performing Loans
MPM Monetary Policy Meeting
OECD Organisation for Economic Co-operation and Development
OPR Overnight Policy Rate
PBOC Peoples Bank of China
PDB Produk Domestik Bruto
PMI Purchasing Manager Index
PPI Producer Price Index
QQE Quantitative and Qualitative Easing
RBI Reserve Bank of India
RFA Regional Financial Arrangement
RMB Renmimbi
ROI Return on Investment
SBV State Bank of Vietnam
SDR Special Drawing Rights
SGD Singapore Dollar
TW Triwulan
USD US Dollar
WEO World Economic Outlook
WTI Western Texas Intermediate

35

Anda mungkin juga menyukai