Keuangan Internasional
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-
5
Di susun oleh:
Moh Nizar Zulmi (2113600315)
Pratamirni (2113000378)
Celi Parlina (2113700476)
Saepul Rohman (2113000441)
Kata Pengantar
Dengan segenap kerendahan hati, kami mengucapkan syukur kepada Tuhan YME atas
terselesaikannya penyusunan makalah Keuangan Internasional dengan tema Perkembangan
Ekonomi Global dan ASEAN-5 (TW3-16).
Sejumlah peristiwa di tataran global cukup mengguncang dunia. Setelah dikejutkan oleh
keputusan rakyat Inggris yang ingin melepaskan diri dari Uni Eropa, dunia kembali tersentak
oleh terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil pemilu yang diluar ekspektasi pasar,
segera menimbulkan gejolak di pasar keuangan dan memicu aksi flight to quality. Spekulasi
mengenai timing kenaikan Fed Fund Rate juga menyebabkan pasar bergejolak. Dinamika global
dan risiko yang membayanginya menjadi pokok bahasan fora kerja sama internasional. Berbagai
kesepakatan telah diraih untuk memitigasi risiko rambatannya. Respons kebijakan yang
dilakukan secara terkoordinir antar otoritas lintas negara merupakan salah satu solusi yang
disepakati.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Daftar Isi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
Surviving the challenges 3
BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
2.1 Perkembangan Ekonomi Global 7
2.2 Perkembangan Negara Maju 10
2.3 Perkembangan Negara Berkembang 14
2.4 Outlook Ekonomi Global 2016-2017 18
BAB III ASEAN-5
3.1 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 21
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 31
DAFTAR PUSTAKA 33
DAFTAR SIGKATAN 34
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 SURVIVING THE CHALLENGES
Ekonomi global berhasil tumbuh membaik pada TW3-16 didorong oleh perbaikan
pertumbuhan di negara maju dan berkembang. Kinerja ini menjadi lebih berarti karena
dicapai di tengah munculnya berbagai negative shocks yang menghambat pemulihan global.
Dunia dikejutkan oleh hasil referendum Inggris yang dimenangkan kubu Brexit, sehingga
berimbas mengguncang pasar keuangan global di awal TW3-16. Pasar keuangan global juga
menjadi semakin volatile akibat berlanjutnya ketidakpastian timing kenaikan Fed Fund Rate
(FFR) berikutnya. Sementara itu, hasil pemilihan Presiden AS yang dimenangkan Donald
Trump juga sempat menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Selain berdampak negatif
terhadap pasar keuangan, berbagai isu tersebut meningkatkan ketidakpastian arah
perkembangan ekonomi global ke depan sehingga memengaruhi aktivitas ekonomi secara
keseluruhan.
Ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan, meskipun secara umum masih
lemah. Pertumbuhan dimotori oleh kinerja net ekspor yang mendorong produksi domestik.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Kendati demikian, masyarakat masih menahan konsumsi karena berhati-hati dengan prospek
ekonomi ke depan. Terlebih dengan tingkat upah yang tidak meningkat signifikan sekalipun
pasar tenaga kerja semakin ketat. Pendapatan luar negeri dari perusahaan-perusahaan Jepang
juga menurun akibat lesunya perekonomian global dan apresiasi yen. Dengan perkembangan
tersebut, inflasi masih terus menurun dan mengalami deflasi, meskipun kebijakan moneter
BOJ semakin akomodatif.
Pertumbuhan PDB Kawasan Euro TW3-16 tumbuh stabil di angka 1,6%, dengan inflasi
yang terakselerasi. Sebagaimana di kawasan lain, peningkatan inflasi dipicu oleh kenaikan
harga minyak, dan masih jauh di bawah target. Kondisi ini mendasari kebijakan moneter ECB
untuk tetap akomodatif dan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset
(quantitative easing).
Negara berkembang kembali tumbuh impresif pada TW3-16, ditopang oleh stabilitas
Tiongkok dan India, serta akselerasi Vietnam dan Malaysia. Pertumbuhan Tiongkok yang
stabil bersumber dari konsumsi dan investasi yang solid, didorong oleh investasi pemerintah.
Perkembangan sektor jasa yang semakin dominan mengindikasikan bahwa proses
rebalancing terus berlanjut. Inflasi kembali meningkat namun masih relatif rendah dan
terkendali sehingga kebijakan moneter tetap akomodatif. Sementara fiskal cenderung
ekspansif untuk menstimulasi sektor konstruksi dan restrukturisasi NPL.
India diperkirakan tumbuh impresif pada triwulan ini, didorong konsumsi akibat
kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan musim perayaan keagamaan. Namun demikian,
investasi belum bergerak searah dengan konsumsi, karena persediaan yang masih cukup
besar. Net ekspor berkontribusi positif pada pertumbuhan melalui penurunan defisit
perdagangan. Inflasi menurun signifikan karena berakhirnya musim kemarau sehingga
memperbaiki harga dan pasokan makanan. RBI menerapkan kebijakan moneter akomodatif
yang bersinergi dengan ekspansi fiskal untuk mendorong ekonomi. Di lain sisi, pemerintah
berusaha terus melakukan reformasi struktural dan memperbaiki iklim investasi melalui
program Make in India.
ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan (7 days
reverse repo) pada September dan Oktober 2016. Negara ASEAN lain mempertahankan suku
bunga kebijakan yang telah berada di level rendah.
Kinerja ekonomi global yang sedikit membaik menghadapi tantangan yang tidak
ringan, diantaranya keputusan Brexit, terpilihya Donald Trump sebagai presiden AS, dan
ekspektasi kenaikan FFR. Berbagai peristiwa tersebut yang juga diiringi dengan
meningkatnya risiko geopolitik menjadi perhatian fora kerja sama internasional. Upaya
memperkuat resiliensi kawasan terus dilanjutkan untuk mengantisipasi spillover negative
global. Gubernur Bank Sentral EMEAP menegaskan bahwa komunikasi dan kerja sama antar
otoritas lintas negara sangat penting untuk memperkuat stabilitas global. IMF dan G20,
memberikan rekomendasi dan komitmen bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan meningkatkan stabilitas sistem keuangan global, termasuk upaya meningkatkan peran
perdagangan dalam membantu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
global.
Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed, dimana harga minyak relatif stabil,
komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung menurun.
Harga minyak bertahan pada kisaran USD48 per barel (minyak jenis Brent), setelah
meningkat cukup signifikan di TW2-16. Kegagalan pengendalian produksi oleh OPEC dan
non-OPEC menahan tren kenaikan harga minyak. Sebaliknya, harga komoditas tambang
cenderung masih terus meningkat, terutama copper, alumunium dan zinc. Sementara itu,
harga komoditas pertanian bergerak bervariasi, dengan harga gandum dan beras cenderung
menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi meningkat. Dengan perkembangan tersebut
ekonomi global sepanjang 2016 diperkirakan tumbuh 3,1% perkiraan IMF dalam WEO
Oktober 2016 atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan, ekonomi global
berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat berlanjutnya perbaikan di sektor
ketenagakerjaan penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah yang meningkatkan
daya beli. Kendati demikian, perbaikan daya beli diperkirakan belum sepenuhnya terefleksi
pada konsumsi dan investasi (barang modal), mengingat banyak masyarakat yang memilih
menabung (berjaga-jaga) menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Lebih lanjut, ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh mencapai 3,4%
(IMFWEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016). Peningkatan tersebut didorong baik oleh
negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju, pertumbuhan dimotori
oleh AS, Jepang dan Kanada. Sementara pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris
diperkirakan melambat akibat realisasi proses Brexit. Pertumbuhan negara berkembang akan
lebih merata sejalan dengan ekspektasi perbaikan harga komoditas. Tiongkok diproyeksikan
tumbuh melambat dalam program rebalancing, sedangkan India tumbuh stabil di level yang
tinggi.
Beberapa faktor risiko perlu mendapat perhatian karena dapat menahan pemulihan global
(downside risks). Beberapa diantaranya adalah (i) risiko politik berlanjutnya tekanan
disintegrasi Uni Eropa dan implementasi janji kampanye Donald Trump yang dapat menekan
kinerja ekonomi global; (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi secara
smooth (hard Brexit); serta faktor risiko lama seperti (iii) kenaikan FFR dan (iv) rebalancing
ekonomi.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
BAB II
Perkembangan Ekonomi Global
3,00
3,41 3,34 3,39 3,37 3,26
3,06 3,12 3,05 3,16
2,73
2,63
2,55
2,44
2,38
2,38
2,31
2,48
2,52
2,72
2,45
2,00
0 ,7 6
0 ,7 8
0 ,7 9
0 ,9 5
0 ,99
0 ,88
0 ,7 5
0 ,6 5
0 ,6 0
0 ,6 5
0,50
Membaiknya pertumbuhan pada umumnya Kontribusi Negara Maju Kontribusi Negara Berkembang PDB Dunia
Grafik 1.2 Pertumbuhan Individu Negara TW2 VS TW3 Grafik 1.4 PMI Manufaktur
Grafik 1.3. Pertumbuhan Penjualan Ritel Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekspor Global
(komposit)
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Grafik 1.6 Pertumbuhan Impor Global (Komposit) Grafik 1.7 Inflasi Global (Komposit)
Permintaan domestik yang meningkat belum diikuti oleh konsumsi yang relatif
masih bergerak stabil. Namun, sebenarnya terjadi pergerakan inflasi yang berbeda antara
negara maju dan negara berkembang (Grafik 1.7). Di negara maju, konsumsi yang sedikit
melambat justru diikuti oleh peningkatan inflasi. Namun peningkatan inflasi tersebut lebih
banyak didorong oleh harga energi yang masih meningkat. Sebaliknya, inflasi di negara
berkembang cenderung menurun meskipun permintaan domestik (konsumsi) meningkat.
Inflasi yang bergerak menurun lebih disebabkan oleh turunnya harga barang pangan (volatile
food) sejalan dengan pasokan bahan pangan yang kembali membaik dengan kondisi cuaca
yang lebih kondusif. Peningkatan inflasi di negara maju yang dikompensasi oleh penurunan
inflasi di negara berkembang menjadikan inflasi dunia relatif stabil. Selain itu, level inflasi
tersebut secara umum juga masih rendah dan masih di bawah target inflasi masing-masing
negara. Sejalan dengan kinerja ekonomi yang sedikit membaik dan pergerakan inflasi yang
masih terkendali, kebijakan moneter global secara umum tetap bias akomodatif untuk terus
mendorong aktivitas ekonomi dan inflasi.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Terlepas dari kinerjanya yang kembali membaik, ekonomi global dihadapkan pada
tantangan dan permasalahan yang semakin berat. Beberapa diantaranya adalah hasil
referendum di Inggris yang secara tidak terduga dimenangkan oleh kubu Brexit (Juni 2016),
krisis pengungsi di Kawasan Euro, ketidakpastian kenaikan Fed Fund Rate, dan yang terakhir
hasil pemilihan presiden di AS yang secara tidak terduga dimenangkan oleh Donald Trump.
Berbagai permasalahan tersebut dalam jangka pendek menjadikan pasar keuangan global
semakin volatile. Aliran modal ke negara berkembang yang semakin meningkat dalam
beberapa waktu terakhir juga semakin sensitif terhadap sentimen negatif yang muncul di
pasar keuangan. Sentimen negatif tersebut dapat memicu terjadinya aliran modal keluar
(sudden capital reversal), yang selanjutnya mengakibatkan jatuhnya harga aset keuangan dan
nilai tukar mata uang domestik. Selain itu, isu Brexit dan ketidakpastian arah kebijakan
presiden baru AS juga berdampak negatif pada aktivitas ekonomi, termasuk memengaruhi
perilaku konsumen yang menjadi lebih menahan konsumsi karena ketidakpastian prospek
ekonomi ke depan.
Lebih jauh lagi, dampak Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS
diperkirakan juga akan berdampak pada jangka menengah-panjang mengingat kedua faktor
tersebut berpotensi memengaruhi atau bahkan mengubah tatanan perekonomian global
terutama dalam hal perdagangan dunia. Brexit memaksa Inggris untuk menjalin perjanjian
kerjasama perdagangan (ekonomi) baru dengan berbagai negara sehingga berpotensi
mengubah pola perdagangan Inggris, tidak hanya dengan Kawasan Euro namun juga dengan
dunia. Sementara itu, Presiden AS terpilih, Donald Trump, diperkirakan akan menjadikan AS
lebih protektif, terutama terhadap Tiongkok dan Mexico sesuai janji kampanye Trump
untuk mengenakan tarif tinggi pada produk Tiongkok dan menekan imigran dari Mexico.
Namun, dampak proteksionisme Trump dapat memengaruhi pola perdagangan dunia
mengingat AS dan Tiongkok merupakan pelaku utama dalam perdagangan dunia.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Perkembangan yang membaik juga ditunjukkan oleh sektor tenaga kerja dimana angka
pengangguran telah mencapai level yang rendah dan stabil dan upah mulai menunjukkan tren
yang terus meningkat. Namun demikian, ekonomi AS belum sepenuhnya pulih dari krisis dan
masih terdapat beberapa weak spots, seperti investasi modal tetap (Gross Fixed Capital
Formation) yang masih rendah, ketersediaan tenaga kerja (Labor Participation Rate) yang
menurun, dan peningkatan employment yang lebih banyak didorong oleh part-time jobs.
Pertumbuhan PDB STW-16 meningkat mencapai 1,5%1 yoy dari 1,3% di TW2- yang
didorong oleh perbaikan investasi dan net ekspor. Meski meningkat, pertumbuhan PDB
tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan kinerja ekonomi tersebut belum sepenuhnya
didukung oleh fundamental ekonomi yang membaik. Peningkatan net ekspor lebih
disebabkan oleh kinerja ekspor yang membaik karena kendala produksi yang terjadi di negara
pesaing ekspor AS. Sementara itu, perbaikan investasi lebih banyak disumbang oleh kenaikan
inventories, dan bukan didukung oleh investasi barang modal yang meningkatkan kapasitas
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
PDB. Di sisi lain, peningkatan inventories justru menunjukkan konsumsi yang lemah
dimana persediaan barang yang belum terjual meningkat. Dalam kasus ini yang terjadi adalah
kemungkinan yang kedua. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi yang melambat di
tengah aktivitas produksi yang juga melambat.
Komponen PDB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru tumbuh
melambat. Konsumsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB tumbuh 2,6%, sedikit
melambat dari tumbuh 2,7% pada TW2-16. Melambatnya pertumbuhan konsumsi sejalan
dengan penurunan pertumbuhan penjualan ritel dan menurunnya keyakinan konsumen antara
lain disebabkan ketidakpastian prospek ekonomi AS, termasuk ketidakpastian pasca
pemilihan presiden AS. Sementara itu, pengeluaran pemerintah tumbuh melambat menjadi
0,3% (dari 0,7%), padahal defisit keuangan pemerintah (fiskal) mengalami peningkatan
mencapai -3,1% dari PDB (dari -2,5% di TW2-16).
Konsumsi yang melambat dan permintaan eksternal masih lemah berdampak pada
penurunan aktivitas produksi produksi industri tumbuh melambat, namun keyakinan bisnis
(ISM/PMI ) bervariasi. Sementara itu, tekanan inflasi cenderung bergerak naik, meskipun
konsumsi melambat, akibat harga minyak dan komoditas global yang sedikit meningkat pada
beberapa waktu terakhir.
Dengan perkembangan indikator ekonomi yang belum cukup stabil membaik dan
memburuk secara silih berganti The Fed mempertahankan Fed Fund Rate (FFR) tetap dalam
kisaran 0,25% - 0,50%. The Fed juga memerhatikan vulnerabilitas pasar keuangan global
yang cenderung memburuk -pasca Brexit- sehingga memutuskan untuk mempertahankan
FFR. Namun, the Fed diperkirakan akan menaikan FFR pada Desember 2016.
Selain AS, kinerja ekonomi yang cukup solid juga ditunjukkan oleh perekonomian
inggris meskipun negara ini sedang menghadapi ketidakpastian pasca referendum yang
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
dimenangkan kubu Brexit. PDB Inggris pada TW3-16 tumbuh meningkat mencapai 2,3%
(dari 2,1% pada TW2-16) yang didukung secara lebih merata oleh konsumsi, investasi dan
net ekspor. Konsumsi yang meningkat didorong oleh perbaikan angka pengangguran. Pada
saat yang sama pelemahan pound sterling -termasuk pasca referendum Brexit-mendorong
ekspor dan menekan impor sehingga net ekspor membaik. Selanjutnya, peningkatan
permintaan domestik dan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi dan investasi.
Permintaan domestik yang meningkat juga berdampak pada kenaikan inflasi yang
meningkat dua kali lipat sepanjang TW3-16. Inflasi Inggris meningkat dari 0,5% di Juni 2016
menjadi 1,0% di September 2016. Namun demikian, peningkatan inflasi tidak mencegah
Kinerja ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan secara gradual, meskipun
kondisinya secara umum masih lemah. PDB Jepang pada TW3-16 kembali tumbuh
meningkat mencapai 0,9%, setelah pada triwulan sebelumnya mulai rebound dan tumbuh
0,6%. Peningkatan pertumbuhan PDB tersebut disumbang oleh perbaikan net ekspor dimana
kinerja ekspor membaik lebih cepat dibanding impor sehingga berkontribusi meningkatkan
pertumbuhan, Sementara itu, konsumsi dan investasi relatif masih lemah. Konsumsi yang
masih lemah disebabkan oleh masyarakat yang lebih berhati-hati dalam pengeluarannya
akibat prospek ekonomi yang belum membaik dan menurunnya pendapatan dari luar negeri
sebagaimana tercermin pada penurunan pertumbuhan Gross National Income (GNI).
Penurunan pendapatan luar negeri tersebut semakin terasa signifikan akibat tren apresiasi yen
terhadap US dollar dan mata uang mitra dagang.
level yang rendah dan rasio lowongan kerja terhadap pencari kerja yang masih meningkat.
Namun demikian, peningkatan upah masih terbatas akibat kondisi bisnis yang secara umum
masih lesu.
Kondisi ekonomi Jepang yang masih lemah tercermin pada perkembangan harga
yang masih mengalami deflasi. Pada September 2016 tercatat deflasi sebesar -0,5% yoy,
sedikit memburuk dibanding posisi Juni 2016 yang terdeflasi -0,4%. Kondisi ekonomi yang
lemah dan tingkat inflasi yang semakin menjauh dari target mendorong Bank of Japan untuk
menerapkan kebijakan moneter yang semakin agresif, termasuk dengan menerapkan
framework kebijakan moneter baru, yaitu yield control, dengan menetapkan yield obligasi
pemerintah 10 tahun sebesar 0%.
Berbeda dengan AS, Inggris dan Jepang, pertumbuhan PDB Kawasan Euro stagnan
di level 1,6% seperti pada triwulan sebelumnya. Konsumsi dan keyakinan konsumen masih
melemah yang disebabkan oleh pengangguran yang masih tinggi, masalah pengungsi dan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menjadikan prospek ekonomi semakin suram.
Konsumsi yang lemah juga diikuti oleh pelemahan aktivitas produksi sepanjang TW3-16. Di
sisi lain, aktivitas perdagangan terus membaik dimana ekspor mulai tumbuh positif dan
kontraksi impor semakin menyempit.
Di tengah konsumsi yang masih lemah, inflasi justru meningkat cukup signifikan.
Inflasi merayap naik dari 0,1% yoy pada Juni 2016 menjadi 0,5% pada Oktober 2016.
Sebagaimana di berbagai negara lain, peningkatan inflasi didorong oleh harga minyak yang
cenderung meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Meski meningkat, level inflasi tersebut
masih jauh di bawah target sehingga ECB tetap mempertahankan kebijakan moneter yang
akomodatif. ECB bahkan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset
(quantitative easing).
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Pertumbuhan PDB Tiongkok pada TW3-16 bertahan di level 6,7%, sama dengan
triwulan sebelumnya. Konsumsi relatif membaik dimana penjualan ritel cenderung tumbuh
meningkat sepanjang TW3. Selain itu, kontribusi investasi relatif stabil, terutama berkat
dukungan investasi
publik yang masih cukup tinggi. Di sisi lain, ekspor dan impor masih menurun, namun
ekspor menurun lebih tajam dibanding impor, sehingga diperkirakan berdampak menekan
pertumbuhan PDB. Secara sektoral, sektor tersier (jasa) terus tumbuh meningkat sementara
sektor sekunder (manufaktur) tumbuh relatif stabil. Perkembangan tersebut secara tidak
langsung mengindikasikan bahwa proses rebalancing ekonomi masih terus berlangsung.
Sejalan dengan konsumsi yang membaik, tekanan inflasi juga kembali meningkat
mencapai 2,1% pada Oktober 2016, dari sebesar 1,9% pada Juni 2016. Angka inflasi
tersebut relatif masih rendah dan terkendali, sehingga PBOC tetap menerapkan kebijakan
moneter yang cenderung akomodatif. Di sisi fiskal, pemerintah tetap memberikan stimulus
melalui berbagai proyek konstruksi, serta pengeluaran untuk restrukturisasi NPL bank.
Operasi tersebut menjadikan defisit fiskal meningkat.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Kinerja ekonomi India menunjukkan indikasi perbaikan sehingga PDB pada TW3-16
diperkirakan akan kembali meningkat mencapai 7,4%, dari tumbuh 7,1% pada triwulan
sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi yang
didukung oleh kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Selain itu, peningkatan konsumsi juga
dipengaruhi faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Namun demikian, peningkatan
konsumsi masih belum diikuti oleh aktivitas produksi yang meningkat. Hal ini diperkirakan
karena inventory yang masih mencukupi untuk memenuhi permintaan konsumen. Sentimen
bisnis juga masih membaik sebagaimana ditunjukkan oleh Purchasing Manager Index yang
terus meningkat.
Faktor lain yang mendorong pertumbuhan adalah net ekspor yang diperkirakan juga
membaik. Ekspor dan impor terus membaik, meskipun masih mengalami kontraksi dibanding
tahun sebelumnya. Ekspor terus membaik dimana kontraksinya terus menurun dan bahkan
mulai tumbuh positif pada akhir TW3-16. Sementara itu, impor juga menunjukkan kinerja
yang terus membaik sehingga kontraksinya juga terus menyempit.
DI tengah aktivitas ekonomi yang kembali meningkat, laju inflasi justru mengalami
penurunan. Inflasi menurun cukup signifikan dari 5,8% di akhir TW2-16 menjadi 4,3% di
akhir TW3. Perkembangan inflasi India tersebut berbeda dengan tren inflasi dunia yang
cenderung meningkat sepanjang TW3. Hal ini disebabkan oleh berakhirnya musim kemarau
sehingga produksi pertanian kembali normal dan harga produk makanan (volatile food)
menurun cukup signifikan.
meeting Oktober 2016. Di sisi keuangan pemerintah, defisit fiskal diperkirakan akan melebar
dengan ditingkatkannya gaji PNS namun defisit diperkirakan tidak akan melebihi 3,5% dari
PDB untuk tahun fiskal 2016/2017. Pada saat yang sama pemerintah melanjutkan berbagai
reformasi yang ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi dalam rangka menarik lebih
banyak investasi asing. Upaya ini sejalan dengan program jangka menengah-panjang yang
dikenal dengan Make in India.
Tekanan inflasi di negara ASEAN secara umum masih terkendali dan masih di bawah
target inflasi masing-masing negara, meskipun menunjukkan tren yang meningkat. Tren
inflasi yang meningkat menunjukkan kondisi ekonomi yang masih cukup baik, di samping
juga didorong oleh kenaikan harga minyak dan komoditas global. Singapura masih
mengalami deflasi yang menunjukkan masih lemahnya permintaan domestik. Singapura yang
perekonomiannya bergantung pada sektor eksternal (ekspor barang dan jasa) sangat terpukul
dengan terus melemahnya perekonomian dunia yang diikuti dengan turunnya volume
perdagangan.
Dengan kinerja ekonomi yang sedikit melambat dan laju inflasi yang relatif rendah,
kebijakan moneter negara ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku
bunga kebijakan (7 days reverse repo) pada September dan Oktober 2016 (masing-masing 25
bps menjadi 4,75%). Sementara itu, negara ASEAN lain mempertahankan suku bunga
kebijakan yang telah berada pada level yang rendah.
Perkembangan ekonomi global yang sedikit membaik juga diwarnai oleh munculnya
beberapa events yang menjadi tantangan dalam memulihkan dan mendorong kinerja ekonomi
global. Events dimaksud adalah referendum2 di Inggris yang hasilnya dimenangkan oleh
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
kubu Brexit sehingga Inggris akan keluar dari Uni Eropa, ketidakpastian timing kenaikan Fed
Fund Rate berikutnya dan pemilihan presiden di AS yang dimenangkan oleh Donald Trump
yang berpotensi memengaruhi perekonomian global. Events tersebut berdampak
mengguncang pasar keuangan global, terutama di negara berkembang yang mengalami
sudden capital reversal yang diikuti oleh jatuhnya harga aset dan nilai tukar. Investor global
pada umumnya melepas investasinya, baik di saham, obligasi korporasi, maupun obligasi
pemerintah. Selanjutnya investor menarik keluar investasinya dari negara berkembang dan
dialihkan ke safe haven assets. Akibatnya, harga aset keuangan di negara berkembang jatuh
dan disertai dengan melemahnya mata uang domestik. Terkait referendum di Inggris yang
secara mengejutkan dimenangkan oleh kubu yang pro keluar dari Uni Eropa (Brexit)
membuat pelaku pasar melakukan pengalihan asetnya ke aset yang lebih aman (flight to
safety), namun dampaknya lebih dirasakan di UK dan negara-negara Eropa. Sementara itu,
terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS juga mengejutkan pasar sehingga berdampak
sangat besar pada gejolak pasar keuangan serta imbasnya lebih luas dan merata, termasuk ke
negara berkembang di kawasan Asia.
Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed dimana harga minyak relatif stabil,
harga komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung
menurun. Harga minyak cenderung bergerak stabil di sekitar USD48 per barrel (minyak jenis
Brent), setelah meningkat cukup signifikan di TW2-16. Ketidakberhasilan upaya
pengendalian produksi oleh OPEC dan non-OPEC menjadikan tren kenaikan harga minyak
tertahan. Berbeda dengan minyak, harga komoditas tambang cenderung masih terus
meningkat. Beberapa komoditas tambang yang mengalami kenaikan harga adalah copper,
aluminium dan zinc. Sementara itu, harga komoditas pertanian bergerak sangat bervariasi.
Harga gandum dan beras cenderung menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi
meningkat.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Sumber: IMF-WEO Oktober 2016, OECD Economic Outlook and Interim Global Economic Assessment September 2016
Ket: *) Fiscal years starting in April
diperkirakan akan tumbuh melambat sejalan dengan rebalancing ekonominya yang masih
terus berlangsung, sementara India tumbuh stabil di level yang tinggi.
Namun demikian, terdapat beberapa faktor risIko yang dapat menjadikan pertumbuhan
ekonomi global lebih rendah dari perkiraan tersebut (downside risks). Beberapa faktor risiko
dimaksud adalah (i) risiko politik yang cenderung meningkat -termasuk berlanjutnya tekanan
terhadap integrasi Uni Eropa, keluarnya Skotlandia dan Inggris Raya, serta implementasi
janji kampanye Donald Trump, (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi
secara smooth (hard Brexit), serta faktor risiko lama yang masih tetap ada, yaitu (iii)
kenaikan FFR dan (iv) rebalancing ekonomi Tiongkok yang menyebabkan pertumbuhan
turun lebih tajam dibanding perkiraan.
Terkait risiko proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa, IMF dalam WEO Juli 2016
mengestimasi dampaknya pada perekonomian global dalam dua skenario, yaitu Downside
Scenario dan Severe Scenario. Pada Downside Scenario diasumsikan bahwa keluarnya UK
dari Uni Eropa mengakibatkan likuiditas global menjadi lebih ketat dan keyakinan
konsumen/ bisnis sedikit menurun, sehingga berdampak pada penurunan konsumsi dan
investasi. Hal ini berdampak pada penurunan pertumbuhan global menjadi 2,9% di 2016 dan
3,1% di 2017. Penurunan terutama terjadi di kelompok negara maju, terutama Inggris dan
Uni Eropa yang terdampak langsung. Sementara itu, negara berkembang terkena dampaknya
secara lebih terbatas.
Pada Severe Scenario terjadi gejolak yang lebih besar di pasar keuangan (financial
stress) sehingga likuiditas menjadi sangat ketat dan berpengaruh pada penurunan keyakinan
konsumen dan keyakinan bisnis secara lebih signifikan. Akibatnya, konsumsi dan investasi
menurun tajam dan ekonomi global hanya tumbuh sebesar 2,8% di 2016 dan 2017.
Terkait risiko politik di AS dimana Presiden Donald Trump akan menjadikan AS lebih
protektif dengan stimulus fiskal yang lebih agresif, ekonomi AS diperkirakan dapat tumbuh
jauh lebih tinggi dari perkiraan (2,2% di 2017). Pengeluaran infrastruktur yang lebih besar
diperkirakan akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan upah yang pada
gilirannya meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Kebijakan memotong pajak
diperkirakan dapat memperkuat sisi pasokan dan mendorong aktivitas bisnis, terutama untuk
merespons peningkatan permintaan domestik. Di sisi lain, kebijakan perdagangan yang lebih
protektif akan menekan net ekspor, sehingga lebih mendorong pertumbuhan.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
BAB III
ASEAN-5
3.1 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN-5
Perbedaan performa ekonomi di ASEAN-5 juga terefleksi pada laju inflasi yang
bervariasi. Rata-rata indeks harga konsumen Viet Nam dan Filipina pada triwulan laporan
terakselerasi sebagai dampak kenaikan harga pangan, dan uang pangkal sekolah. Di sisi lain,
Malaysia dan Thailand justru mengalami penurunan indeks harga konsumen yang semakin
menjauhi target. Sementara Singapura masih berjuang untuk keluar dari zona deflasi di
tengah berlanjutnya perlambatan harga rumah.
Vietnam serta Malaysia menjadi negara yang mencatatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Filipina melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang solid pada TW3-16 mencapai 7,1% yoy,
naik tipis dari triwulan sebelumnya (7,0%). Angka ini bahkan melebihi ekspektasi para
pelaku pasar (6,7%). Kondisi ini ditopang oleh aktivitas konsumsi rumah tangga yang stabil
dengan tumbuh 6,4%, di tengah tingginya arus pengiriman uang dari tenaga kerja Filipina di
luar negeri (remitansi). Di samping itu, pertumbuhan yang stabil juga didorong pengeluaran
pemerintah (sebesar 17,4% pada TW3-16 dan TW2-16) sejalan dengan dimulainya realisasi
pembangunan multi-years proyek infrastruktur senilai USD160 miliar.
Perekonomian Vietnam tumbuh impresif mencapai 6,4% pada TW3-16, lebih tinggi
dari 5,8% pada triwulan sebelumnya. Perbaikan terjadi secara merata pada seluruh sektor
dengan pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh sektor industri dan konstruksi TW2-16 yang
mencapai 7,5% (dari 7,1% pada TW2-16). Sementara sektor pertanian berhasil keluar dari
zona kontraksi, dan tumbuh 0,7% (dari -0,2% pada triwulan sebelumnya) setelah berakhirnya
masa kekeringan57 yang melanda Viet Nam pada awal 2016. Meski pertumbuhan relatif
meningkat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Viet Nam selama tiga triwulan hanya mencapai
5,9% dan masih jauh dari target pemerintah (6,7% yoy).
PDB Malaysia pada TW3-16 tumbuh menguat mencapai 4,3%, dari 4,0% pada triwulan
sebelumnya dan melebihi ekspektasi pasar (4,0%). Kinerja perekonomian khususnya
ditopang oleh konsumsi domestik yang tetap solid dengan pertumbuhan mencapai 6,4%, dari
6,3% pada TW2-16, seiring kenaikan upah minimum per 1 Juli 201658. Ekspansi konsumsi
domestik disertai dengan perlambatan aktivitas impor berhasil mengompensasi perlambatan
yang terjadi pada pengeluaran pemerintah, ekspor maupun aktivitas investasi.
Di sisi lain, perekonomian Singapura melemah tajam menjadi hanya 0,6% yoy, dari
2,0% pada TW2-16. Angka pertumbuhan tersebut lebih lambat dari ekspektasi pasar (1,7%)
dan jauh di bawah rata-rata historikal jangka panjang (10 tahun) yang mencapai 5,2%.
Pelemahan ekonomi yang terjadi semakin menguatkan pandangan banyak pihak bahwa
perlambatan ekonomi dunia serta pelemahan harga minyak berdampak cukup signifikan bagi
ekonomi Singapura. Secara sektoral, industri jasa yang menyumbang sekitar 60% PDB
mengalami kontraksi hingga 0,1% pada TW3-16, dari 1,2% di TW2-16 sebagai imbas
melambatnya penjualan ritel. Kinerja industri jasa menjadi yang terburuk sejak global
financial crisis. Sementara itu, jatuhnya permintaan alat transportasi, biomedis, dan beberapa
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
peralatan lainnya mengakibatkan kontraksi pada sektor manufaktur hingga ke level 1,1%,
dari 1,4% di TW2-16.
Kinerja ekonomi Thailand tumbuh melambat ke level 3,2% pada TW3-16, dari 3,5%
pada triwulan lalu, dan di bawah ekspektasi pasar (3,3%). Strategi front loading yang
dilakukan pemerintah negeri gajah putih mengakibatkan anggaran pemerintah pada akhir
2016 menipis dan berkurangnya pengeluaran pemerintah pada TW3-16 hingga ke level
kontraksi -5,8% pada TW3-16, dari tumbuh 1,5% pada triwulan sebelumnya. Di samping itu,
perlambatan juga terjadi pada aktivitas konsumsi rumah tangga serta investasi swasta di
tengah instabilitas politik.
Permintaan yang belum solid, baik dari domestik maupun eksternal menyebabkan
aktivitas konsumsi di kawasan ASEAN-5 tumbuh terbatas. Rata-rata penjualan ritel Thailand
dan Singapura masing-masing turun ke level 3,2% dan 0,8% pada TW3-1660, dibandingkan
triwulan sebelumnya yang mencapai 4,8% dan 2,6%. Pelemahan yang terjadi di Thailand
disebabkan oleh kontraksi penjualan pada kelompok durable goods (seperti hardware dan
perabot rumah tangga). Sementara di Singapura, penurunan terjadi pada sebagian besar
kelompok barang (pakaian, perabot rumah tangga hingga obat-obatan) di tengah lesunya
perekonomian dalam negeri dan peningkatan angka pengangguran.
Sementara itu, Vietnam masih menorehkan pertumbuhan ritel yang impresif sebesar
9,3% yoy pada TW3-16, meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan kedua 2016
(9,4%). Namun, pertumbuhan ini terindikasi semu dan lebih dipengaruhi faktor kenaikan
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
harga. Apabila faktor harga dikecualikan, General Statistic Office melihat tren penurunan
pertumbuhan penjualan akibat sentimen negatif masyarakat di tengah fluktuasi harga energi,
biaya kesehatan serta pendidikan.
Berbeda dengan negara peers, Filipina menjadi satu-satunya negara yang mengalami
ekspansi penjualan ritel. Realisasi pertumbuhan penjualan ritel pada TW3-16 mencapai 2,2%,
naik tipis dari 2,1% pada triwulan kedua 2016. Permintaan domestik yang solid di tengah
perbaikan pada sektor tenaga kerja telah memperbaiki penjualan ritel di Filipina. Institute of
Grocery Distribution (IGD) memproyeksikan penjualan ritel (khususnya di pasar swalayan)
akan semakin menguat dan tumbuh mencapai 10% yoy pada tahun 2020.
Merespons permintaan yang belum solid, aktivitas produksi ASEAN-5 pada triwulan
ketiga 2016 cenderung bergerak melemah. Produksi industri di Thailand menurun cukup
drastis hingga terkontraksi -0,4% dari tumbuh 1,7% pada TW2-16. Permintaan global yang
masih lesu, khususnya dari negara tujuan ekspor Thailand (Jepang dan Eropa), serta sentimen
bisnis yang buruk di tengah instabilitas politik menjadi penyebab dibalik perlambatan
produksi. Kondisi ini turut dikonfirmasi oleh penurunan rata-rata utilisasi kapasitas dan
sentimen bisnis yang tertahan masing-masing ke level 64 dan 49 pada TW3-16, dari 64,5 dan
50 pada triwulan kedua 2016. Perlambatan turut dialami oleh Singapura. Pelaku bisnis
cenderung berhati-hati dan menahan ekspansi usaha, terutama oil services companies
merespons harga minyak yang relatif masih rendah. Akibatnya, aktivitas produksi Singapura
pada TW3-16 tertahan pada level 1,3% pada TW3-16, dari 1,4% pada triwulan sebelumnya.
Tren penurunan produksi juga terjadi di Vietnam, yang tumbuh melambat ke level
7,3% pada TW3-16, dari 7,7% pada triwulan sebelumnya. Harga komoditas yang masih
rendah di tengah biaya produksi yang justru semakin tinggi64 memicu penurunan produksi
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
khususnya pada sektor pertambangan. Kondisi ini dikonfirmasi oleh perusahaan tambang
terbesar di Vietnam (Vinacomin) yang memangkas proyeksi produksinya pada 2016 menjadi
36,5 juta ton, dari yang telah ditargetkan pada awal tahun (39 juta ton).
Di sisi lain, aktivitas produksi Malaysia mengalami akselerasi mencapai 4,1% dari
3,7% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ditengarai dipengaruhi oleh harga komoditas
minyak mentah dan gas alam yang mengalami rebound, serta meningkatnya output pada
subsektor barang elektronik, obat-obatan dan plastik. Pertumbuhan pesat juga ditunjukkan
oleh Filipina yang berhasil mencapai 6,8% dari 5,0% pada TW2-16. Aktivitas produksi
terdorong implementasi berbagai proyek infrastruktur (baik dari sektor publik maupun
swasta) dan berdampak pada meningkatnya output kelompok capital goods, khususnya
peralatan transportasi serta mesin. Utilisasi kapasitas di Filipina turut terdorong naik ke level
83,5% dari 83,4% pada triwulan kedua 2016.
Laju inflasi kawasan ASEAN-5 juga bergerak variatif. Rata-rata indeks harga
konsumen TW3-16 Viet Nam, dan Filipina secara berturut-turut membaik ke level 2,8% dan
2,0%, masing-masing dari 2,2% dan 1,5% pada TW2-16. Kenaikan uang pangkal sekolah
seiring dimulainya tahun ajaran baru, yang diikuti dengan lonjakan harga kelompok makanan
dan energi menjadi pendorong kenaikan indeks harga konsumen di Vietnam. Sementara
peningkatan laju inflasi di Filipina lebih dipengaruhi oleh tren kenaikan harga pangan,
pelemahan nilai tukar serta low base effect dari kelompok nonmakanan.
Dinamika yang berbeda ditunjukkan oleh Thailand dan Malaysia, dengan pergerakan
indeks harga yang justru menurun pada triwulan ketiga tahun 2016. Pergerakan harga di
Thailand melambat ke level 0,26% (dari 0,30% TW2-16) sementara Malaysia turun ke level
1,37% (dari 1,9% TW2-16). Tren penurunan harga di Thailand dipengaruhi oleh deflasi harga
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
perumahan yang terus berlanjut serta melambatnya harga kelompok makanan. Sementara
penurunan harga di Malaysia terjadi pada hampir semua kelompok barang akibat base effect
yang cukup tinggi pada tahun lalu pasca pemberlakuan GST.
Singapura menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang masih berjuang untuk
keluar dari zona deflasi 65 di tengah jatuhnya harga sektor perumahan. Meskipun masih
deflasi, indeks harga konsumen Singapura cenderung membaik menjadi rata-rata -0,4%, dari
-0,9% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ini terjadi akibat akselerasi harga kelompok
makanan serta rebound harga minyak dunia yang mendorong kenaikan harga transportasi.
Dengan perkembangan yang demikian, secara umum pergerakan inflasi di ASEAN masih
berada di bawah target otoritas moneter masing-masing negara66.
Dinamika perekonomian global yang kian kompleks dan dinilai dapat berimbas pada
perekonomian domestik menjadi pertimbangan bagi otoritas moneter di kawasan untuk
mempertahankan stance kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral Malaysia (BNM)
mempertahankan suku bunga kebijakan sebesar 3,0%, Bank of Thailand (1,5%), Bank Sentral
Filipina (3%), dan Bank Sentral Vietnam (6,5%). Kebijakan ini dipandang sebagai langkah
yang tepat untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik dengan tetap mempertahankan
stabilitas harga di tengah kondisi ekonomi global yang masih lesu, perkembangan pasar
keuangan global yang dibayangi ketidakpastian, dan harga komoditas yang masih rendah.
Kebijakan moneter akomodatif juga didukung oleh sikap kehati-hatian otoritas moneter
ASEAN di tengah berbagai peristiwa di level global67 yang berpotensi memberikan spillover
negatif, khususnya bagi pasar keuangan regional.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Grafik 1.102 Suku Bunga Kebijakan Grafik 1.103 Kebijakan Moneter Singapura
direvisi ke bawah menjadi 4,3% (dari 4,4%) setelah mempertimbangkan risiko utang swasta
yang tinggi dan tren harga komoditas yang berimbas pada rendahnya penerimaan ekspor.
Senada dengan IMF, otoritas moneter ASEAN-5 dan CF juga meyakini bahwa ekonomi
masing-masing negara di kawasan masih on-track (Tabel Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi).
Tabel 1.11 Proyeksi Pertumbuhan Ekonom
% yoy
IMF-WEO Oktober 2016 CF Oktober 2016 Bank Sentral
Negara
2016 2017 2016 2017 2016 2017
Malaysia 4,3 4,6 4,1 4,3 4,0 - 4,5 n.a.
Filipina 6,4 6,7 6,5 6,1 6,0 - 7,0 6,5 - 7,5
Singapura 1,7 2,2 1,7 1,8 1,0 n.a.
Thailand 3,2 3,3 3,2 3,3 3,2 3,3
Vietnam 6,1 6,2 6,1 6,5 6,3 - 6,5 6,7
IMF juga menilai bahwa inflasi di kawasan ASEAN-5 masih berada pada level yang
rendah pada 2016. IMF mempertahankan proyeksi inflasi Filipina, Singapura, dan Vietnam.
Pergerakan harga dinilai masih akan rendah, sejalan dengan tren harga komoditas dunia.
Inflasi di Filipina, Singapura, dan Vietnam diperkirakan mencapai 2,0%, 0,8%, dan 2,0%,
tidak berubah dari proyeksi sebelumnya. Sementara itu, outlook inflasi Malaysia pada 2016
dikoreksi menjadi 2,1% akibat masih rendahnya harga komoditas serta high base effect pasca
pemberlakuan GST di 2015. Inflasi Thailand diperkirakan tumbuh 0,3% pada 2016 (dari
0,2% di proyeksi Juli), dengan mempertimbangkan faktor kekeringan dan instabilitas politik
yang dapat mengganggu sisi penawaran. Pergerakan harga di kawasan secara umum
diproyeksikan meningkat pada 2017 seiring dengan meredanya tren penurunan harga
komoditas dunia.
eksportir minyak mentah seperti Malaysia dan Vietnam, pelemahan harga minyak dunia dapat
menahan laju pertumbuhan ekonomi ke depan melalui jalur pelemahan ekspor dan penurunan
produksi.
Sedangkan bagi negara net importir minyak seperti Thailand dan Filipina, pelemahan
harga minyak dapat mendorong pertumbuhan dan menekan laju inflasi. Perekonomian
Singapura yang turut ditopang oleh industri perminyakan juga berpotensi mengalami
penurunan.
Risiko juga datang dari dalam negeri dan cenderung bersifat unik. Kerentanan dari
sektor rumah tangga Malaysia akibat peningkatan utang masih menjadi risiko yang
membayangi prospek pertumbuhan negeri jiran tersebut. Selain itu, risiko juga berasal dari
proses hukum yang tengah berlangsung mengenai kasus pencucian uang di perusahaan
investasi milik pemerintah 1 Malaysia Development Berhad (1MDB). Kasus pencucian uang
tersebut diduga melibatkan beberapa oknum Pemerintah Malaysia sehingga menimbulkan
instabilitas kondisi politik domestik. Situasi politik domestik yang belum stabil juga masih
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
BAB IV
KESIMPULAN
Satu hal yang menjadikan peningkatan kinerja ekonomi global lebih berarti adalah
peningkatan pertumbuhan tetap dapat terjadi di tengah meningkatnya tantangan yang
dihadapi perekonomian global. Di awal TW3-16 ekonomi global dikejutkan oleh Brexit yang
sempat mengguncang pasar keuangan global. Tantangan lain yang juga berdampak besar
pada ekonomi global adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil
pemilihan ini cukup mengejutkan pasar mengingat hasil survei oleh berbagai lembaga
sebelum pelaksanaan pemilihan umum (8 November 2016) menunjukkan keunggulan tipis
Hillary Clinton atas Donald Trump. Hal ini memicu reaksi pelaku pasar untuk melakukan
penyesuaian portfolio secara cukup signifikan sehingga pasar keuangan global bergejolak,
terutama di negara berkembang. Diantara kedua event tersebut, pasar juga sempat beberapa
kali bergejolak yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
komoditas yang meningkat memberikan dampak positif bagi negara produsen dan eksportir
komoditas.
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Daftar Pustaka
Alessandria, G., Kaboski, J., & Midrigan, V. (2010). The Great Trade Collapse of 200809:
An Inventory Adjustment? IMF Economic Review.
Armelius, H., Belfrage, C.-J., & Stenbacka, H. (2014). The Mystery of the Missing World
Trade Growth after the Global Financial Crisis. Sveriges Riksbank Economic Review
2014:3 .
Baker, S., Bloom, N., & Davis, S. (2016). Measuring Economic Policy Uncertainty.
Brander, J., & Krugman, P. (1983). A reciprocal dumping model of international trade.
Journal of International Economics 15 (34), 313321 .
Bussire, M., Prez-Barreiro, E., Straub, R., & Taglioni, D. (2010). Protectionist Responses
to the Crisis. Global Trend and Implication. ECB Occational Paper Series No 110 .
Constatinescu et al. (2015). The Global Trade Slowdown: Cyclical or Structural. IMF
Working Paper No15/6 .
Gaulier, G., Santoni, G., Taglioni , D., & Zignago, S. (2013). Market Shares in the Wake of
Global Crisis: the Quarterly Export Competitiveness Database. Banque de France
Working Paper No.427 .
Georgiadis, G., & Grb, J. (2013). Growth, real Exchange Rates and Trade Protectionism
Since the Financial Crisis. ECB Working Paper 1618 .
IMF. (2016). Global Financial Stability Report (GFSR): Fostering Stability in a Low-Growth,
Low-Rate Era. 2.
Irwin, D. (2002). Long-Run Trends In World Trade and Income. World Trade Review 1(1) .
Kyle, B., & Staiger, R. W. (2003). Protection and the Business Cycle. Advances in Economic
Analysis and Policy .
Ludema, Madya, & Mishara. (2015). Information and Legislative Bargaining: The Political
Economy of U.S. Tariff Suspensions.
Novy, D. (2012). Gravity Redux: Measuring International Trade Costs with Panel Data..
Economic Inquiry 51 (1): 101121 .
Novy, D., & Taylor, A. (2014). Uncertainty and the Great Trade Collapse: New evidence.
CEPR .
Taglioni, D., & Zavacka, V. (2013). Innocent Bystanders: How Foreign Uncertainty Shocks
Harm Exporters. ECB Working Paper No. 1530 .
35
Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5
Daftar Singkatan
35