Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PENGGUNAAN PETANDA BIOKIMIA ASAM HIALURONAT SERUM


DAN CTX-II URIN PADA PENGOBATAN OSTEOARTRITIS
DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1 Osteoartritis

Osteoartritis (OA) yang didefinisikan oleh American College of

Rheumatology (ACR) merupakan kumpulan kondisi yang berpengaruh pada

sendi dengan tanda dan gejala berhubungan dengan rusaknya integritas kartilago

artikuler (Sharma, 2011). Patogenesis OA saat ini diyakini tidak hanya proses

degeneratif saja namun juga melibatkan berbagai unsur dalam proses inflamasi

terutama sinovitis serta keterlibatan tulang subkhondral (Hurley et al, 2004).

Oleh karenanya manifestasi klinis OA tidak hanya nyeri, namun juga kekakuan

sendi, gangguan pergerakan serta efusi, dimana dalam proses peradangan

melibatkan berbagai mediator inflamasi, baik prostaglandin, sitokin yang

memacu proses patologi lebih lanjut (Kertia et al, 2003).

2.1.1 Degeneratif dan Inflamasi pada OA

2.1.1.1 Degeneratif pada OA

Dasar utama degeneratif pada OA adalah perubahan yang terjadi

pada OA merupakan proses 'wear and tear' atau penggunaan yang lama

dan berlebihan menimbulkan gangguan yang diikuti respon perbaikan.

Respon perbaikan tulang terlihat sebagai pembentukan osteofit atau spur.

Proses degeneratif dikaitkan dengan faktor risiko usia dan beban

biomekanik pada sendi. Namun tidak meniadakan adanya proses

inflamasi yang terjadi bersamaan (Kasjmir, 2004).

7

Pada proses degeneratif tidak terdapat kesesuaian antara

manifestasi klinis terutama nyeri serta kecacatan sendi dengan kerusakan

jaringan sendi dan kelainan radiologik. Banyak penderita OA tidak

mempunyai keluhan atau asimptomatik, dan banyak juga penderita

dengan keluhan menetap atau bahkan berkurang dan tidak terjadi

perburukan gambaran radiologis selama perjalanan penyakitnya. Struktur

noninflamatif dianggap memegang peranan penting terjadinya nyeri

sendi maupun nyeri periartikuler seperti ligamen, tendon, bursa dan otot.

Faktor nonartikular seperti kelemahan otot dan obesitas juga berperan

dalam timbulnya nyeri pada OA (Kertia et al, 2003).

Hal lain yang mendukung proses degeneratif adalah dalam

mengatasi rasa nyeri OA, baik modalitas nonfarmakologik seperti terapi

fisisk dengan pemanasan, terapi latihan dan obat (analgesik atau OAINS)

baik tunggal maupun kombinasi seringkali sudah mencukupi dalam

mengatasi rasa nyeri tersebut. Jika memang proses inflamasi menjadi

dasar patogenesis OA tentu respon terhadap analgetik sederhana seperti

paracetamol tidak akan sebaik OAINS (Kasjmir, 2004).

2.1.1.2 Inflamasi pada OA

Bukti yang mendukung proses inflamatif adalah adanya respon

inflamasi baik akut atau kronik. Salah satu konsep inflamasi akut adalah

peningkatan protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP). Pada

analisis cairan sendi ditemukan peningkatan jumlah leukosit, peningkatan

ringan kadar protein dan viskositas yang turun, serta peningkatan

berbagai mediator proinflamasi (Kasjmir, 2004). Bukti lain yang

mendukung proses inflamatif adalah peningkatan up take technetium-99

pada tulang subkondral dan sinovium OA dan pada artroskopi didapatkan

8
"angry" sinovium yang ditandai oleh edema dan peningkatan

vaskularisasi. Pada pemeriksaan histopatologi sinovial sering

menunjukkan adanya sinovitis berat (serbukan sel radang pada sinovium)

dan beberapa kasus sulit dibedakan dengan artritis reumatoid. Secara

pasti didapatkan kelainan histologi dan peningkatan produksi sitokin

pada sinovium dari subyek OA lutut (Clowes et al, 2004).

2.1.2 Peran Interleukin-1 (IL-1) pada Proses Patologi OA

Inisiasi proses kerusakan tulang rawan sendi yang abnormal misalnya

akibat trauma atau proses inflamasi. Inisiasi proses ini akan mengakibatkan

teraktivasinya kaskade inflamasi maupun proses degradasi enzimatik terhadap

rawan sendi (Kertia et al, 2003).

Pada proses katabolisme didapatkan adanya peran IL-1 baik yang

dikeluarkan oleh kondrosit dan mensintesis berbagai enzim perusak seperti

matrix metalloproteinase (MMPs) dan nitric oxide (NO) (Pelletier et al, 2000).

Disamping kondrosit, sinovisit juga merupakan sumber sintesis NO pada sendi

yang mengalami inflamasi. Disamping itu IL-1 juga mampu menginduksi

sintesis aktivator dan petanda biokimia kerusakan rawan sendi (COMP) serta

berkurangnya sintesis faktor anabolik seperti kolagen tipe II serta aggrecan

(Jordan et al, 2003).

Interleukin-1 juga berperan dalam proses inflamasi dimana sitokin ini

akan dilepaskan saat terjadi kerusakan jaringan. Selanjutnya akan

mengakibatkan kerusakan sel dan dimulailah rangkaian proses perombakan

membran fosfolipid hinggga terbentuknya prostaglandin E2 (PGE2) yang poten

sebagai mediator inflamasi (AMR, 2000). Melihat peran IL-1 pada mekanisme

kerusakan rawan sendi, maka hambatan terhadap sitokin tersebut diyakini dapat

9

mengurangi atau menghambat proses patologi OA lebih lanjut. Diacerein dan

metabolit aktifnya rhein merupakan obat lain yang dipakai untuk mengatasi rasa

nyeri pada OA berdasarkan kemampuannya dalam menghambat sintesis IL-1

(Vilim et al, 2002).

Pada tingkat molekuler, patofisiologi OA melibatkan interaksi puluhan

bahkan ratusan molekul ekstraseluler dan intraseluler termasuk regulasi

kondrosit, degradasi proteolitik komponen kartilago, dan interaksi antara

kartilago artikular, dasar tulang subkondral dan sendi sinovium. Penyakit OA

paling sering dimulai dengan kerusakan pada kartilago artikular karena trauma

atau cedera lain, beban sendi berlebih pada obesitas atau alasan lain, atau

ketidakstabilan atau cedera sendi yang menyebabkan beban abnormal (Bronner,

2007).

Kerusakan kartilago meningkatkan mtabolisme aktivitas kondrosi yang

menyebabkan peningkatan sintesis konstituen matriks dengan pembengkakan

kartilago. Kerusakan ini tidak dapat mengembalikan kartilago menjadi normal

etapi merupakan langkah pertama dalam proses yang menyebabkan hilangnya

kartilago lebih lanjut. Setelah fase hipertrofi, terjadi peningkatan sintesis matriks

metaloproteinase (MMPs) 1, 3, 13, dan 28 yang menyebabkan erusakan kolagen

untuk terjadi lebih cepat dari sintesisnya. Kondrosit berkontribusi terhadap

hilangnya kolagen dengan mengeluarkan MMPs dalam menanggapi mediator

inflamasi yang hadir dalam OA (IL-1 dan TNF-). Kondrosit juga mengalami

apoptosis, kemungkinan sebagai akibat dari induksi sintase nitrit oksida dan

produksi metabolit beracun. Hal ini membuat lebih sedikit kondrosit untuk

memsintesis komponen matriks. Kondrosit OA juga kurang responsif terhadap

rangsangan anabolik perubahan growth factor-. Hasil proses ini adalah

kerusakan kartilago secara progresif dan kehilangan kondrosit. Tulang

10
subkondral yang berdekatan dengan kartilago artikular juga mengalami

pergantian tulang yang lebih cepat dengan peningkatan aktivitas osteoklast dan

osteoblast. Terdapat hubungan antara pelepasan peptida vasoaktif dan matriks

metaloproteinase, neovaskularisasi, dan peningkatan permeabilitas kartilago

yang berdekatan. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan degradasi kartilago

pada akhirnya hilangnya kartilago berakibat pada rasa sakit dan deformitas sendi

(Bronner, 2007).

Kehilangan banyak kartilago menyebabkan penyempitan ruang sendi dan

menyebabkan neri serta cacat sendi. Sisa tulang rawan melembutkan dan

mengembangkan firilasi, kehilangan tulang rawan lebih lanjut, dan paparan

tulang yang mendasarinya. Kartilago akhirnya terkikis sepenuhnya,

meninggalkan tulang subkondral yang menjadi padat, halus dan berkilau

(eburnation). Sedikit bersifat lebih rapuh, hasil tulang kaku dengan penurunan

kemampuan menahan beban dan pengembangan sklerosis dan mikrofraktur.

Formasi tulang baru (osteofit) yang timbul dari faktor-faktor lokal dan humoral

muncul pada tepi sendi, jauh dari area destruksi kartilago. Perubahan inflamasi

lokal terjadi pada kapsul sendi dan sinovium. Sinovium diinfiltrasi dengan sel T,

dan kompleks imun muncul. Kristal atau pecahan kartilago pada cairan sinovial

dapat menyebabkan peradangan. Terdapat juga peningkatan kadar IL-1, PGE-2,

TNF-, dan oksida nitrat dalam cairan sinovial. Inflamasi mengakibatkan efusi

dan penebalan sinovial. Rasa sakit dari OA muncul dari aktivasi ujung saraf

nosiseptif dalam sendi oleh iritasi mekanik dan kimia Nyeri OA dapat terjadi

akibat distensi dari kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi; mikrofraktur,

iritasi periosteal atau kerusakan ligamen, sinovium atau meniskus (Bronner,

2007).

11

2.1.3 Petanda Biokimia Kerusakan Rawan Sendi pada OA

OA dihubungkan dengan hilangnya keseimbangan normal antara sintesa

dan degradasi makromolekul yang diperlukan untuk membentuk kartilago sendi

beserta biomekanis dan fungsionalnya. Kerusakan rawan sendi pada OA

menyebabkan degradasi molekul matriks menjadi fragmen-fragmen yang

kemudian lepas ke cairan sendi, darah dan urin, sehingga dapat dideteksi (Ross,

2006).

Gambar 2.1. Komponen Utama Matriks Kartilago dan Proses Pergantian Sel
(Sumber : Garnero et al, 2007)

Petanda biokimia yang sering dihubungkan dengan progresifitas

radiografik OA antara lain; COMP serum, asam hialuronat serum, YKL-40

serum dan CTX-II urin (Ross, 2006). Asam hialuronat (HA) disintesis oleh

banyak sel-sel skeletal, sel sinovial pada permukaan sendi serta merupakan

komponen penting pada matriks ekstraselular. Asam hialuronat serum berguna

sebagai pelumas untuk mengurangi adhesi dan memberi pergerakan tanpa

gesekan dari sendi. Pada sinovitis, sintesis asam hialuronat serum terstimulasi

12
oleh sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TGF-. Oleh karena itu peningkatan

asam hialuronat pada pasien arthritis adalah indikasi sinovitis pada orang dengan

fungsi hati yang baik, karena asam hialuroat serum dibersihkan dari sirkulasi

oleh hati. Studi mendapatkan bahwa asam hialuronat serum mempunyai nilai

prediksi untuk penyempitan celah sendi pada radiologi (Sharif et al, 2006).

Penelitian oleh Pavelka dkk, mendapatkan adanya korelasi pasien-pasien dengan

OA yang mempunyai kadar asam hialuronat serum yang tinggi dengan

gambaran radiologis yang progresif (r=0,30, p<0,005) (Pavelka et al, 2007).

Asam hialuronat serum juga dapat memprediksi kerusakan global pada pasien

dengan OA yang bukan hanya kehilangan tulang rawan (Bruyere et al, 2006).

Asam hialuronat serum merupakan petanda biokimia yang unik.

Kadarnya tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan normal pada pasien

artritis reumatoid dan dua kali lebih tinggi pada pasien OA (Goldgerg et al,

2010). Asam hialuronat serum mencerminkan keterlibatan sinovial dan inflamasi

yang terjadi pada sendi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Elliot dkk,

menunjukkan bahwa asam hialuronat serum dapat dipakai sebagai petanda

biokimia untuk OA. Asam hialuronat serum berkorelasi dengan gambaran

radiologis pada pasien OA (p<0,0001), lebih tinggi pada ras Kaukasian

(p<0,0094) dan pria (p<0,0038) (Elliot et al, 2005).

Perkembangan pemeriksaan spesifik terhadap pemecahan kolagen tipe II

hadir sebagai suatu terobosan dalam bidang petanda biokimia untuk OA bahwa

degradasi jaringan ikat kolagen telah dihubungkan dengan degradasi tulang

rawan yang irreversibel. Antibodi yang mengenali fragmen kolagen tipe II yang

berbeda telah dikembangkan. Salah satu dari proses primer penyakit OA adalah

degradasi kolagen tipe II yang sangat spesifik serta dijumpai secara berlebihan

pada jaringan tulang rawan. Selain itu kolagen tipe II terlihat pada nucleus
13

pulposus dan annulus fibrosus pada diskus spinalis. Pengukuran degradasi

fragmen kolagen tipe II dapat menjadi marker yang spesifik terhadap adanya

degradasi tulang rawan yang terjadi baik pada sinovial persendian maupun pada

diskus spinalis dan lebih sensitif dibandingkan dengan gambaran radiologik

(Bronner et al, 2007).

Gambar 2.2. Ilustrasi Skematik Molekul Matriks Ekstraseluler Kartilago


(Sumber : Bronner et al, 2007)

Gambar 2.3. Fragmen Kolagen Tipe II (CTX-II) Urin Sebagai Petanda Biokimia Spesifik
Degradasi Kartilago
(Sumber : Garnero et al, 2007)

14
Petanda biokimia CTX-II pertama kali ditemukan oleh Eyre, pada studi

tersebut menunjukkan bahwa CTX-II berespon terhadap inhibisi kolagenase.

Studi yang dilakukan oleh Jung dkk, menunjukkan peningkatan CTX-II pada

pasien OA dibandingkan kontrol. Pada studi ini, pasien OA memiliki kadar

CTX-II yang lebih tinggi hingga tiga kali lipat (572 ng/mmol), dibanding kontrol

(190 ng/mmol, p<0,001) yang membuktikan kegunaan CTX-II sebagai suatu

petanda biokimia diagnostik untuk OA (Poole, 2003). CTX-II menunjukkan

adanya hubungan dengan tingkat destruksi sendi. Penelitian oleh Reijiman dkk,

menunjukkan peningkatan kadar CTX-II berhubungan dengan risiko

progresifitas penyakit berdasarkan studi kohort terhadap 237 lutut dan 123

panggul dengan OA selama lebih dari 6 tahun (Reijman et al, 2004). Pada

penelitian Bruyere dkk, peningkatan CTX-II setelah 3 bulan secara signifikan

memprediksi kehilangan ketebalan dari tulang rawan medial tibia (p=0,03) dan

lateral tibia (p=0,001). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara CTX-II dengan kehilangan dari ketebalan rawan sendi (Bruyere et al,

2006). CTX-II secara langsung berhubungan dengan progresifitas pada OA lutut

dan panggul (Reijman et al, 2004).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Young Min dkk, menunjukkan

bahwa matrix metalloproteinase-3 (MMP-3) dan CTX-II merupakan prediktor

yang paling baik untuk menilai progresifitas penyakit artritis. Petanda biokimia

tersebut lebih baik dibandingkan dengan marker tradisional termasuk radiologis

(Young Min et al, 2007).

15

2.2 Diacerein

Diacerein (4,5-bis(acetyloxy)-9,10-dioxo-2-anthracenecarboxylic acid)

adalah bentuk asetilasi dari rhein dan merupakan obat oral yang telah

dikembangkan untuk pengobatan osteoartritis. Diacerein bekerja dengan

menginhibisi IL-1 (Pelletier et al, 2000). Rhein merupakan produk pemecahan

diacerein yang aktif adalah anthraquinon yang dijumpai pada tanaman cassia.

Diacerein berperan sebagai antiinflamasi, analgetik dan laksatif lemah (Bronner

et al, 2007).

Gambar 2.4. Rumus Bangun Diacerein


(Sumber : Charbit et al, 2000)

Berikut merupakan pembuatan diacerein (4,5-bis(acetyloxy)-9,10-dioxo-

2-anthracenecarboxylic acid) (Salvi et al, 2008). Pada rumus I :

16
Dan garamnya, terdiri dari :

(a) Mereaksikan aloe-emodin dilindungi dari rumus II :

Dimana Pr adalah kelompok pelindung non-terhidrolisis dalam

lingkungan berair, dengan sistem pengoksidasi yang terdiri dari radikal

2,2,6,6-tetrametil-1-piperidinyl-N-oxyl rumus III :

Dimana R1 adalah H, OH, O-alkil atau O-alkanoil, dengan adanya suatu

basa atau alkali tanah klorit dan alkali tanah hipoklorit, dalam pelarut

yang sesuai untuk memberikan senyawa rumus IV :

17

(b) Menggantikan kelompok pelindung Pr dengan kelompok asetil dan

opsional mengisolasi dan memurnikan senyawa rumus I.

Diacerein menginhibisi IL-1 yang diproduksi oleh kondrosit manusia dan

berperan dalam menurunkan mediator inflamasi termasuk MMPs dan protease

lain. Diacerein juga menstimulasi metabolisme kondrosit untuk meningkatkan

produksi proteoglikan dan kolagen. Diacerein menginhibisi produksi IL-1

dengan lipopolisakarida (LPS) yang menstimulasi makrofag dan sel sinovial dan

mengurangi kerusakan kartilago pada beberapa percobaan dengan hewan

(Arthrodar, 2006).

Diacerein menurunkan mediator-mediator yang berperan dalam

eksaserbasi inflamasi menyebabkan penurunan inflamasi pada pasien OA. Studi

menunjukkan diacerein tidak mempunyai efek negatif terhadap mukosa lambung

bahkan mempunyai efek protektif terhadap lambung. Diacerein dapat digunakan

bersama dengan OAINS (Legendre et al, 2003). Diacerein juga mempunyai efek

anabolik yang menstimulasi produksi dari TGF- yang merupakan stimulator

poten dari proliferasi kondrosit yang meningkatkan kolagen serta sintesis

proteoglikan (Arthrodar, 2006). Diacerein mempunyai efektifitas sama dengan

diclofenac serta piroxicam dalam mengurangi nyeri dan profil keamanan yang

lebih baik dibandingkan diclofenac serta piroxicam (Rintelen et al, 2006).

Manfaat diacerein berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan,

memiliki manfaat sebagai symptom modifying effect dan structure modifying

effect. Symptom modifying effect, suatu studi membuktikan hal tersebut dan

mendapatkan diacerein memiliki efek lambat dalam mengatasi nyeri OA, namun

terbukti terdapat carryover effect setelah obat dihentikan (Felson et al, 2005).

Structure modifying effect, obat ini diujicobakan pada OA koksae untuk melihat

18
apakah ada efek perbaikan pada cacat struktural. Dougados dan kawan-kawan

mencoba menggunakan gambaran radiografik sensi koksae untuk melihat

adanya perbaikan. Melalui penelitian selama 3 tahun, Dougados mengevaluasi

507 pasien dengan OA koksae primer. Kesimpulannya, diacerein memiliki efek

memperbaiki cacat struktural (perlambatan progresi penyakit) dan mengurangi

kebutuhan untuk tindakan operatif berupa total hip replacement (Dougados et al,

2001).

2.3 Peran Asam Hialuronat pada Pengobatan Osteoartritis

Osteoartritis adalah penyakit degeneratif sendi, disebabkan oleh kaskade

kejadian yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan sendi. Bukti

praklinis menunjukkan bahwa intra-artikular asam hialuronat (HA) suntikan

dapat mengganggu kaskade osteoartritis, mengurangi rasa sakit dan mengurangi

peradangan (DePuy Synthes, 2014).

Asam hialuronat disebut juga HA atau sodium hialunorat. Merupakan

glikosamoniglikan yang terdapat secara alamiah di dalam tubuh manusia, di

jaringan ikat, juga merupakan unsur utama cairan synovial. Wharton's jelly tali

pusat, badan vitreus mata, kartilago dan jaringan ikat longgar. Sifatnya menahan

air dalam jumlah besar dan mengisi ruangan sehingga menjadi bantalan atau

pelumas struktur lain. Asam hialuronat terdiri atas unit rantai disakarida

berulang dan mengandung glucoronic dan N-acetylglucoisamine (Mundy, 2001).

Asam hialuronat (HA) adalah komponen penting dari kedua tulang rawan

dan cairan sinovial.

Asam hialuronat (HA) mudah berikatan dengan air, hal ini penting untuk
pertukaran bahan antar sel jaringan dan plasma darah. Asam hialuronat

19

dihidrolisis oleh enzim hialuronidase, yang mengurangi viskositas bahan
tersebut. Sinovium adalah membran sel tipis yang melapisi kapsul
mengartikulasikan sendi (Smith & Ghosh, 1987).

Sinovial asam hialuronat (HA) cairan yang dihasilkan oleh fibroblas


sinovial.
Asam hialuronat (HA) memberikan cairan sinovial viskoelastik
karakteristik dan pelumas sifat, yang membantu melindungi tulang rawan
dari gaya geser dan shock traumatis.
Asam hialuronat (HA) di sendi sehat berinteraksi dengan reseptor
permukaan sel pada synoviocytes dan kondrosit untuk mempertahankan
homeostasis bersama.

Tulang rawan hialin, yang paling umum dari tulang rawan, meliputi permukaan
mengartikulasikan tulang pada sendi sinovial (Poole et al, 2001).

Kondrosit menghasilkan matriks ekstraselular tulang rawan, yang terdiri


dari kolagen, proteoglikan, dan HA.
Pada tulang rawan, HA secara kimia terikat ke domain proteoglikan
dengan tautan protein, memberikan stabilitas struktural untuk jaringan.
molekul proteoglikan memastikan hidrasi maksimum tulang rawan,
menyampaikan turgidity dan ketahanan karakteristik.

Kontribusi Sinovitis pada Kaskade Osteoartritis dan Degradasi Sendi

Peradangan sinovium diyakini menjadi sumber utama nyeri osteoartritis


(Krasnokutsky et al, 2008).

Pada sendi osteoartritis, radang sinovial dapat menyebabkan


pembengkakan, efusi dan nyeri. Sinovitis sekarang diakui sebagai
komponen terkemuka OA, dengan sebanyak 70% dari pasien OA
menunjukkan bukti sinovitis.
Sinoviocitis osteoartritis menghasilkan lebih sedikit HA, dengan berat
molekul lebih rendah dibandingkan dengan sendi yang sehat. Mereka juga

20
memproduksi peningkatan kadar sitokin inflamasi dan enzim degradatif
yang dapat mempercepat degradasi kartilago.

Gambar 2.5. Sendi Sehat


(Sumber : DePuy Synthes, 2014)

Peran sinovium dan asam hialuronat (HA) dalam kaskade osteoartritis

Hasil OA dari interaksi yang rumit dari biomekanik, trauma sendi, gaya
hidup, genetik, dan kesehatan fisik secara keseluruhan. Terlepas dari bagaimana
itu dimulai, osteoarthritis adalah penyakit Cascading (Pritzker, 2003):

Stres kelebihan mekanik, luka trauma, atau peristiwa menggoyahkan


lainnya dapat memulai tulang rawan kerusakan. fragmen tulang rawan
yang kemudian dilepaskan ke dalam cairan sinovial.
Debris kartilagoo adalah fagositosis oleh makrofag sinovial. Ketika
berlebihan tulang rawan kerusakan terjadi, kehadiran meningkat dari
fragmen tulang rawan dapat menyebabkan peradangan sinovium.

21

Sel sinovial meradang menghasilkan sitokin inflamasi dan enzim
degradatif yang mempercepat kerusakan sendi, termasuk tulang rawan dan
tulang subchondral. HA sintesis oleh synoviocytes menurun, dan HA yang
disintesis memiliki berat molekul rendah, mengorbankan kemampuannya
untuk berinteraksi dengan reseptor permukaan sel.
In vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa berat molekul tinggi
eksogen asam hialuronat (HA) dapat mengganggu cascade osteoarthritic
oleh downregulating produksi sitokin inflamasi dan enzim, memulihkan
produksi asli HA, dan memperlambat perkembangan OA. Efek ini telah
terbukti menjadi tergantung pada konsentrasi dan berat molekul.

Gambar 2.6. Kaskade Osteoartritis


(Sumber : DePuy Synthes, 2014)

Manfaat Terapi Potensi Suplementasi Asam Hialuronat (HA)

Suntikan Intra-artikular HA dapat merangsang produksi HA asli dan


menghambat agen inflamasi yang menyebabkan rasa sakit dan kerusakan sendi.

22
Studi praklinis menunjukkan bahwa ada berat molekul optimal (MW) dari HA
diperlukan untuk merangsang produksi HA asli (Smith et al, 2001).

Molekul MW rendah HA mengikat hanya lemah ke permukaan reseptor,


sehingga sedikit atau tidak ada stimulasi biosintesis HA asli oleh
synoviocytes osteoarthritic.
Molekul MW Berlebihan tinggi HA tidak dapat mengikat kuat ke
synoviocyte reseptor permukaan karena halangan sterik, menghambat
kemampuan mereka untuk merangsang HA biosintesis.
Molekul MW Optimal terikat kuat ke synoviosit reseptor permukaan,
memaksimalkan stimulasi biosintesis HA asli.

Intra-artikular HA dapat membantu mengurangi komponen inflamasi dari


kaskade osteoartritis (Tobetto et al, 1992).

In vitro penelitian telah menunjukkan bahwa HA mengikat reseptor CD44


pada permukaan sel-sel yang terlibat dalam proses inflammator.
Efek analgesik HA intraartikular melampaui waktu tinggal di sendi
osteoarthritic.
In vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa eksogen HA dapat
membantu memulihkan iklan produksi HA native memberikan
chondroprotection dengan menghambat produksi sitokin inflamasi dan
protease yang dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan pada sendi
osteoarthritic.

2.4 Penilaian Hasil Pengobatan OA Lutut

Banyak obat yang sudah digunakan untuk OA lutut tetapi sulit dilakukan

evaluasi hasil pengobatannya. Hal tersebut dikarenakan, pertama, dampak

pengobatan merupakan hasil akhir yang harus selalu dapat dinilai. Berkaitan

dengan ini terdapat kesulitan dalam metode penilaian progresifitas penyakit.

Misalnya, pengukuran volume rawan sendi yang harus menggunakan MRI

23

hanya melihat ketebalan kartilago dan lesi yang terjadi di kartilago, tanpa bisa

menilai progresifitas kerusakan yang sedang terjadi. Penilaian lebar celah sendi

menggunakan radiologik foto polos terkendala dengan adanya magnifikasi dan

keterbatasan dalam skala pengukuran. Suatu penelitian yang dilakukan untuk

menilai progresifitas penyakit ini, menunjukkan bahwa progresifitas secara

radiologis terjadi penurunan 2 mm pada celah tibiofemoralis terjadi setelah 5

tahun atau bahkan lebih (Sharif et al, 1995).

Kedua, berbagai petanda biokimia dari kerusakan extracellular matrix

(ECM) sedemikian banyak, dan masih diteliti untuk menemukan kesepakatan

petanda biokimia mana yang akan dijadikan baku. Untuk memantau

progresifitas dan hasil akhir suatu penyakit, diperlukan suatu marker yang

sensitif dan reproducible. Petanda biokimia ini sebagai indikator untuk

mengukur dan mengevaluasi proses biologik yang noral, proses patologik atau

respon farmakologik terhadap tindakan pengobatan. Petanda biokimia tersebut

diharapkan dapat :

1. Mendiagnosis osteoartritis pada tahap awal hilangnya rawan.

2. Mengidentifikasi penderita yang progresifitasnya meningkat.

3. Memonitor efektifitas pengobatan.

4. Menjadi pilihan untuk pengembangan pengobatan osteoartritis masa

mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh Bruyere dkk, yang meneliti hubungan

antara petanda biokimia tulang, rawan, remodeling sinovial dan progresif

struktur OA pada lutut membandingkan antara asam hialuronat serum,

osteocalcin serum, cartilage oligometric matrix protein (COMP), cartilage

glycoprotein 39 (YKL-40), C-telopeptide crosslinked of type I collagen serum

(CTX-I), Urinary C-telopeptides crosslinked of type II collagen (CTX-II) urin

24
diukur pada baseline. Setelah 3 bulan didapatkan hasil terjadi peningkatan CTX-

II berkorelasi secara bermakna dengan penurunan ketebalan rawan pada tibia

medial dan tibia lateral setelah 1 tahun. Analisis regresi multipel juga

menunjukkan tingginya level asam hialuronat serum pada baseline sebagai

prediksi keparan OA. Dari penelitian ini, Bruyere dkk menyimpulkan bahwa

asam hialuronat serum atau perubahan CTX-II urin dapat menentukan pasien

yang mempunyai risikko untuk terjadinya progresifitas OA (Bruyere et al,

2006).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Young Min dkk, menunjukkan

bahwa matrix metalloproteinase-3 (MMP-3) dan CTX-II merupakan prediktor

yang paling baik untuk menilai progresifitas penyakit artritis. Petanda biokimia

tersebut lebih baik dibandingkan dengan marker tradisional termasuk radiologis

(Young Min et al, 2007). Penggunaan kombinasi petanda biokimia lebih baik

untuk menilai hasil pengobatan maupun progresifitas penyakit OA (Jansen et al,

2007).

Ketiga, progresifitas penyakit OA demikian lambat, sehingga penilaian

pengobatan akan memakan waktu bertahun-tahun sehingga penemuan petanda

biokimia ini memberi harapan untuk memperbanyak penelitian-penelitian obat-

obatan pada penyakit OA (Piscoya et al, 2005).

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Interpretasi Petanda Biokimia pada OA

Nilai petanda biokimia yang diukur di dalam darah atau urin (karena

perhitungan melalui cairan sendi sering tidak dapat dilaksanakan) memberikan

informasi terhadap turnover jaringan skeletal sistemik dan perubahan spesifik

yang terjadi pada signal persendian. Contohnya, seperti pada penyakit-penyakit

degeneratif pada lutut, panggul, tangan dan diskus lumbalis berpengaruh secara

25

independen dan additif terhadap kadar CTX-II dalam urin secara jelas sebagai

ilustrasi pengaruh tubuh secara total terhadap kadar sistemik. Pengaruh potensial

diskus intervertebralis dikaitkan dengan degenerasi diskus umumnya karena

proses penuaan. Proses penjernihan marker di dalam ginjal dan hati sebelum

mencapai suatu kadar yang tetap dalam darah dan urin bervariasi pada masing-

masing individu dan dapat meningkat dengan adanya inlamasi, sesudah

imobilisasi sendi, dan latihan fisik. Kadar petanda biokimia dalam darah dan

urin bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status menopause, etnik, serta

faktor-faktor resiko OA itu sendiri seperti indeks massa tubuh (IMT) (Garnero,

2007).

26

Anda mungkin juga menyukai