Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh
~ Dela Syahfitri
~ Lulu Putri Novianti
~ Juniar Aulia Dewi
~ Mazidatil Rahmawati
~Sonia Nada Nurazhari
~ Viani Nurazizah

SMP IT AL-KHOIRIYYAH
Pelaksanaan Haji Atau Umroh Bagi Anak
Yang Belum Baligh
Kita tahu bahwa tidak ada kewajiban haji bagi
anak kecil sebagaimana diketahui syarat-syarat
wajibnya haji adalah sebagai berikut:
1. Muslim. Jadi selain orang muslim tidak ada
kewajiban haji.
2. Berakal. Orang yang gila tidak mendapat
perintah agama.
3. Baligh. Anak kecil tidak mendapatkan perintah
ibadah hingga ia baligh, sebagaimana sabda
Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam:
Pena diangkat dari tiga orang, orang gila hingga
sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak
kecil hingga bermimpi.
4. Mampu. Mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan ibadah haji.
Namun bagaimana hukumnya bila anak kecil
mengerakan ibadah haji? Sahkah hajinya anak
kecil tersebut?
Bila seorang anak kecil atau hamba sahaya
melaksanakan ibadah haji, maka ibadah hajinya
sah, namun tetap mempunyai kewajiban
melaksanakan ibadah haji lagi bila sudah baligh
atau bila tealh merdeka dari perbudakan.
Dalilnya:
Dari Ibnu Abbas radlhiallahuanhu, bahwa ada
seorang wanita mengangkat anak kecil
kehadapan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasalam, lalu bertanya: (Ya Rasulullah), apakah
anak kecil ini boleh menunaikan ibadah haji?
Jawab Beliau, Ya, (boleh); dan engkau yang
mendapat pahala. (Shahih: Muhtasor Muslim no.
648, Muslim II:974 no.1336, aunul Mabud V:
160 no.1720, dan NasaI V:120) Jadi, pelaksanaan
ibadah haji dan umrah ketika masih usia balita
(kecil), orangtuanya yang mendapatkan
pahalanya, dan orangtunya juga yang akan
mendapatkan dosa, jika tidak dijaga dengan
sebaik-baiknya ketika sedang mengenakan
pakaian ihram.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahuanhu bahwa nabi
bersabda, Setiap anak kecil yang telah
menunaikan ibadah haji, kemudian mencapai
usia akil baligh, maka ia harus mengerjakan
ibadah haji lagi; dan setiap hamba sahaya yang
telah berhaji, kemudian merdeka, maka ia harus
menunaikan ibadah haji lagi. (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no.986 dan Baihaqi V:156) Jika anak kecil
tersebut sudah mumayyiz, maka dia berniat
ihram untuk dirinya sendiri dan melaksanakan
manasik haji. Jika belum mumayyiz, maka
walinyalah yang meniatkan ihram,
mentalbiyahkan, thawaf dan sai bersamanya,
wukuf di Arafah dan melontarkan jumrah
untuknya.Jika ia baligh sebelum wuquf di Arafah
atau di Arafah, maka ia mendapatkan pahala haji
Islam. Imam Malik berpendapat, Hajinya tidak
sah. Ulama Hanafi berpendapat, Hajinya sah
jika ihramnya diperbaharui setelah ia baligh.
Jadi jelaslah bahwa anak kecil boleh berhaji dan
hajinya sah. Walaupun tidak menggugurkan
hajinya nanti setelah akil baligh, namun tetap
sah dan mendapat pahala. Dan yang sangat
penting juga adalah untuk belajar mengenal
ibadah-ibadah dalam Islam terutama haji. Juga
sangat penting untuk mengetahui nilai-nilai Islam
yang tidak didapat kecuali dengan ibadah Haji,
seperti kebersamaan, semua orang sama. Tidak
ada orang kaya danmiskin, pejabat dan bukan,
semua orang akan sama saja dalam kerumunan
ratusan ribu orang.
Ketika musim haji, seringkali kita melihat anak
kecil ikut serta mengenakan ihram sedang
digendong ayahandanya. Lucu dan
mengemaskan, apalagi ketika sedang dipanggul
di atas pundak ayahnya. Ini benar-benar
mengemaskan bagi setiap orang yang
melihatnya. Dasar anak kecil, walaupun
mengenakan pakaian ihram, tetap saja maunya
bermain-main. Dimanapun berada, bermain
adalah dunia anak-anak, tak terkecuali sedang
mengenakan pakaian ihram di pelataran
baitullah.
Secara aturan syariat agama, anak-anak tidak
diwajibkan melaksanakan ibadah haji. Sebab,
kewajiban haji itu bagi muslim yang sudah
baligh. Namun, apabila dia telah melaksanakan
haji, hajinya sah tetapi bukan berarti telah
melaksanakan haji wajib. Jika telah dewasa
kelak, ternyata mampu (istitoah), maka wajib
baginya menunaikan haji kembali. Jika tidak bisa
melaksanakan, karena tidak mampu, tidak wajib
baginya menunaikan haji kembalinya.
Dari Jabir r.a, belaiu berkata: dahulu kami
melaksanakan Ibadah Haji bersama Kanjeng
Nabi, ikut pula bersama kami para wanita dan
anak-anak kecil, kami membacakan talbiyah
untuk anak-anak kecil dan juga melontarkan
jumrah untuk mereka.
Apabila anak kecil melaksanakan haji sebelum
baligh, dia masih wajib melaksanakan haji bila
dia sudah balihg. Demikian pula hamba sahaya,
apabila melaksanakan haji ketika dalam keadaan
budak kemudian dia merdeka, maka dia masih
wajib melaksanakan haji jika telah mampu.
Haji Anak Kecil Tidak Dianggap Sebagai Haji
Fardhu
Jika seseorang melakukan haji ketika dia masih
kecil, apakah dia harus melakukan haji lagi?
Ataukah dia sudah dianggap melakukan haji
fardhu?

Alhamdulillah
Haji anak kecil dianggap sah, sebagaimana
disebutkan dalam soal no. 13636, hanya saja dia
tidak dianggap telah menunaikan haji fardhu. Jika
dia sudah baligh dan mampu, maka dia wajib
menunaikan haji lagi. Ini merupakan pendapat
jumhur ulama dari mazhab yang empat. Bahkan
ada yang mengatakan sudah ijmak.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu
anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersbada,








"Siapa saja anak kecil yang melakukan haji,
kemudian dia baligh, maka dia wajib menunaikan
haji lagi." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Talkhisul
Habir, 2/220, dishahihkan oleh Al-Albany dalam
Irwa'ul Ghalil, 3/159)
Ibnu Qudamah berkata dalam Kitab Al-Mughni
(5/44), "Ibnu Munzir berkata, 'Para ulama
sepakat, kecuali yang dianggap menyimpang dari
mereka dan tidak dihiraukan pendapatnya,
bahwa anak kecil yang sudah berhaji saat masih
kecil dan budak yang berhaji saat masih budak,
kemudian anak kecilnya dewasa atau budaknya
dimerdekakan, maka keduanya diwajibkan haji
apabila mereka memiliki kemampuan."
Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah fatwa
berikut, "Umrah dan haji yang dilakukan anak
yang belum baligh, dianggap sunah. Tidak
dianggap sebagai haji atau umrah wajib
baginya."
Pelaksanaan Haji Dan Umroh Bagi Orang
Yang Sudah Tua atau Lemah
Disebutkan ada seseorang yang berhaji untuk
ayahnya. Kali ini ayahnya masih hidup, namun
kondisinya tidak memungkinkan untuk
melakukan ibadah haji. Maka orang itu
mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta
fatwa.

Seorang wanita dari Khats`am bertanya, Ya


Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan
hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku
seorang tua yang lemah yang tidak mampu
tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi
haji untuknya? Rasulullah SAW menjawab, Ya
(HR Jamaah)

Dengan adanya dalil-dalil di atas, maka


kebolehan melakukan haji untuk orang lain ini
didukung oleh jumhur ulama. Di antaranya
adalah Ibnul Mubarak, Al-Imam Asy-Syafi`i, Al-
Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbalrahimahumullah.

Syarat Harus Sudah Haji

Al-hajju anil ghair mensyaratkan bahwa orang


yang melakukan badal haji itu harus sudah
menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, karena
itu merupakan kewaiban tiap muslim yang
mampu. Setelah kewajibannya sudah tunai
dilaksanakan, bolehlah dia melakukan haji
sunnah atau pergi haji yang diniatkan untuk
orang lain.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa


Rasulullah SAW mendengar seseorang
bertalbiyah, "Labbaikallhumma 'an Syubrumah."
Rasulullah SAW bertanya, "Siapakah
Syubrumah?" Dia menjawab, "Saudara saya."
"Apakah kam sendiri sudah melaksanakan ibadah
haji?" "Belum." Rasulullah SAW bersabda,
"Jadikan haji ini adalah haji untukmu terebih
dahulu. Baru nanti (haji tahun depan) kamu boleh
berhaji untuk Syubrumah." (HR )

Dalam hal ini tidak disyaratkan harus orang tua


sendiri atau bukan, juga tidak disyaratkan harus
sama jenis kelaminnya. Juga tidak disyaratkan
harus sudah meninggal.

Tentunya baik dan buruknya kualitas ibadah itu


akan berpengaruh kepada nilai dan pahala disisi
Allah SWT. Dan bila diniatkan haji itu untuk orang
lain, tentu saja apa yang diterima oleh orang lain
itu sesuai dengan amal yang dilakukannya.

Adapun amalan selama mengerjakan badal haji


tapi di luar ritual ibadah haji, apakah otomatis
disampaikan kepada yang diniatkan atau tidak,
tentu kembali masalahnya kepada niat awalnya.
Bila niatnya semata-mata membadalkan ibadah
haji, maka yang sampai pahalanya semata-mata
pahala ibadah haji saja. Sedangkan amalan
lainnya di luar ibadah haji, maka tentu tidak
sampai sebagaimana niatnya.

Sebaliknya, bila yang bersangkutan sejak awal


berniat untuk melimpahkan pahala ibadah
lainnya seperti baca Al-Quran, zikir, umrah dan
lainnya kepada yang diniatkannya, ada pendapat
yang mengatakan bisa tersampaikan.
1. Tidak sah haji badal untuk haji fardhu bagi
orang yang mampu secara fisik. Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, "Tidak dibolehkan
melakukan haji wajib untuk menggantikan orang
yang mampu melaksanakan haji sendiri
berdasarkan ijma."
Ibnu Munzir berkata, "Para ulama sepakat (ijmak)
bahwa orang yang wajib melaksanakan haji
fardhu sementara dia mampu untuk
melaksanakan haji, tidak sah kalau dihajikan oleh
orang lain."
(Al-Mughni, 3/185)
2. Haji badal (hanya) untuk orang sakit yang
tidak ada harapan sembuh atau yang lemah
fisiknya atau untuk orang yang meninggal dunia.
Bukan untuk orang fakir dan lemah karena
kondisi politik atau keamanan.
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Mayoritas
(ulama) mengatakan bahwa mengghajikan orang
lain itu dibolehkan untuk orang yang telah
meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang
tidak ada harapan sembuh.
Qadhi Iyad berpendapat berbeda dengan
mazhabnya yakni Malikiyah- dengan tidak
menganggap hadits (yang membolehkan)
menggantikan puasa bagi orang meninggal dan
menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa
haditsnya mudhtharib (tidak tetap). Alasan ini
batil, karena haditsnya tidak mudhtharib.
Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala
Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah
dalam Kitab shahihnya.
(Syarh An-Nawawi Ala Muslim, 8/27)
Hadits yang diisyaratkan oleh Imam Nawawi
rahimahullah yang dinyatakan oleh sebagian
Malikiyah sebagai hadits mudhtharib adalah:
"Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu anhu, dia
berkata, ketika kami duduk di sisi Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang
wanita datang dan bertanya, Sesungguhnya
saya bersadakah budak untuk ibuku yang telah
meninggal.' Beliau bersabda, Anda mendapatkan
pahalanya dan dikembalikan kepada anda
warisannya.' Dia bertanya, Wahai Rasulullah,
sesungguhnya beliau mempunyai
(tanggungngan) puasa sebulan, apakah saya
puasakan untuknya?' Beliau menjawab,
Puasakan untuknya.' Dia bertanya lagi,
Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama
sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?
Beliau menjawab, Hajikan untuknya. (HR.
Muslim, 1149)
Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, "Apakah seorang
muslim yang telah melaksanakan kewajiban haji,
dibolehkan menghajikan salah satu kerabatnya
yang di China karena tidak memungkinan
baginya sampai (ke Mekkah) untuk
melaksanakan kewajiban haji?
Maka dijawab, "Seorang muslim yang telah
menunaikan haji wajib untuk dirinya dibolehkan
menghajikan orang lain, jika orang yang dihajikan
tersebut tidak mampu melaksanakan haji sendiri
karena sudah tua renta atau sakit yang tidak ada
harapan sembuh atau karena telah meninggalkan
dunia. Berdasarkan hadits-hadits shahih yang
menunjukkan hal itu. Akan tetapi kalau orang
yang akan dihajikan tidak mampu haji karena
masalah sementara yang mungkin dapat hilang
seperti sakit yang ada harapan sembuh, alasan
politik dan tidak aman diperjalanan atau semisal
itu, maka tidak sah menghajikan untuknya."
(Syekh Abdul Azizi bin Baz, Syekh Abdur Rozaq
Afifi, Syekh Abdullah Qoud, Fatawa Al-Lajnah Ad-
Daimah, 11/51)
3. Haji badal bukan untuk orang yang lemah
dari sisi finansial. Karena kewajiban haji gugur
bagi orang fakir. Sesungguhnya haji badal hanya
untuk orang yang lemah fisiknya.
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya,
"Apakah seseorang dibolehkan mengumrohkan
atau menghajikan untuk kerabatnya yang jauh
dari Mekkah, karena dia tidak mempunyai (dana)
untuk sampai ke (Mekkah), padahal dia mampu
untuk thawaf?" Mereka menjawab, "Kerabat yang
anda sebutkan tidak wajib baginya haji selagi dia
tidak mampu melaksanakan haji dari sisi materi
(finansial). Dan tidak sah menghajikan atau
mengumrohkan untuknya. Karena dia mampu
melaksanakan keduanya dengan fisiknya kalau
sekiranya dia hadir sendiri di masyair. Yang sah
menggantikan (haji dan umroh) adalah untuk
orang yang telah meninggal dunia dan orang
lemah fisik yang tidak dapat melaksanakan
(sendiri)."
(Syekh Abdul Azizi bin Baz, Syekh Abdur Rozaq
Afifi, Syekh Abdullah Gudayyan. Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah, 11/52)
4. Seseorang tidak dibolehkan menghajikan
orang lain kecuali dirinya telah melaksanakan
haji, kalau dia (menghajikan orang lain padahal
dia belum haji) maka, hajinya untuk dirinya
bukan untuk orang lain. Para ulama di Al-Lajnah
Ad-Daimah berkata, "Seseorang tidak dibolehkan
menghajikan orang lain sebelum dirinya
melakukan haji."

Anda mungkin juga menyukai