Permasalahan :
Di zaman ini, terjadi pelaksanaan haji atau umroh dengan cara mencicil yakni hanya
dengan membayar 700.000 bisa pergi haji dan umroh.Lalu sisanya dapat dilunasi
setelah pulang dari ibadah tersebut.Sedangkan dalam Alquran terdapat ayat yang
menerangkan bahwa haji itu wajib bagi orang yang mampu/istitho’ah(Qs. Al imron:97),
bagi pelaksanaan haji seperti ini apakah termasuk dalam istitho’ah ? dan apakah haji
nya bisa dihukumi sah?
Berikut penjelasannya:
Imam Syafi’I berkata : “secara umum,kewajiban haji berlaku bagi setiap orang
yang baligh dan mampu melakukan perjalanan ke baitillah”.
Allah SWT mewajibkan bagi orang yang mampu mengadakan perjanjian (sabil).
Allah berfirman
( )وهلل على النا سdisebutkan dalam hadits Nabi bahwa yang dimaksud سبيالadalah
perbekalan dan kendaraan. (Ar Risalah, Bab Al-Hajj)
Haji merupakan kewajiban yang hanya satu kali seumur hidup seseorang,ketika
pertama kali ia memiliki kemampuan untuk menunaikannya yaitu sehat badannya,
mampu berangkat kesana dan aman perjalanannya.
Kemudian ditetapkanlah lagi sebagai suatu kefardhuan dalam kondisi bagaimanapun
berdasarkan nash yang qoth’i ini, dimana Allah menjadikan haji ke Baitillah sebagai
kewajiban atas “Semua manusia” karena Allah, yaitu, bagi siapa yang mampu
mengadakan perjalanan ke Baitillah.
“Haji dengan dicicil itu tidak termasuk istitho’ah, tapi kalau dalam prakteknya yang
umum masyarakat banyak yang tidak sanggup untuk membayar langsung 25-30 juta.
Namun, bila dibantu dengan ditalangi suatu lembaga yang kemudian masyarakat dapat
melunasinya setelah pulang dari ibadah haji tersebut, mungkin mereka akan sanggup.
Karena, berani mencicil itu termasuk ikhtiyar dalam suatu ibadah bagi manusia yang
pada dasarnya adalah شئ مكلفyakni makhluq yang dituntut, dan untuk memenuhi
tuntutan tersebut harus berusaha agar terpenuhi tuntutannya”, tutur beliau yang berdasar
pada kitab نها ية المحتاج الى شرح المنهاج فى الفقه على مذهب االمام الشافعىjuz 3
hal.233.
Sebagaimana digambarkan bila seseorang belum haji sedangkan ia mempunyai tanah
yang menganggur (yang bukan ditempati sebagai rumahnya), Maka ia wajib menjual
tanah tersebut sebagai biaya untuk menunaikan ibadah haji sekalipun ia menjadi miskin
setelah menjual tanah tersebut, ia tetap wajib menjualnya.
)(مغنى المحتاج الى معرفة معانى الفاظ المنهاج للشيخ شمس الدين بن محمد الخطيب الشربيني
4.Di Lazuardiirawan.wordpress.com
Para ulama terbagi menjadi 2 kelompok, tentang keabsahan haji menggunakan harta
hutang. Berikut pendapat dan pemikiran dari tiap-tiap kelompok, serta analisa kritis atas
pendapat-pendapat tersebut:
DR. Nashr Farid Washil (mantan mufti Negara Mesir) menolak fatwa yang
mempperbolehkan haji dengan hutang, dan menganggapnya bertentangan dengan teks
Alquran: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitillah (QS. Ali Imran: 97).
“Ayat ini memberi isyarat bahwa ibadah adalah kewajiban pribadi (faridhoh
‘ainiyyah) bagi setiap muslim dan muslimat sekali seumur hidup, tatkala sudah
terpenuhi semua syarat wajibnya ibadah haji, diantaranya kemampuan harta dan fisik.
DR. Nashr Farid Washil menegaskan bahwa islam menganjurkan untuk melaksanakan
salah satu rukun islam tatkala terpenuhi kemampuan (istitho’ah) seperti yang telah di
definisikan para ahli fiqh dimana seorang muslim dianggap mampu secara fisik dan
memiliki biaya yang menghantarkan pergi haji, baik biaya untuk dirinya dan biaya
untuk orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Dari sini tidak perlu seseorang pergi
haji dengan cara hutang dengan cara mencicil sehingga ia bersikap berlebihan dalam
berhaji, kewajiban ilahi haji telah gugur baginya karena kewajiban ini mengharuskan
adanya kemampuan. Ia memberi isyarat seseorang dapat memenuhi syarat mampu
sebelum ia tuntas membayar hutangnya, maka ia tidak boleh pergi haji dengan cara
hutang yang dicicil.”
Syeikh DR Nashr Farid Washil menyatakan bahwa Allah SWT telah berfirman :
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang
sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah “ (Ali Imran – 97).
Ayat ini menjelaskan bahwa syarat wajib haji adalah kemampuan (istitha’ah), dan ini
mencakup kemampuan fisik (istitha’ah al-badaniyah) dan kemampuan harta (istitha’ah
maliyah). Barangsiapa memiliki kelebihan bekal (zad), atau kendaraan (rahilah) serta
terpenuhi syarat wajib haji lainnya, maka wajib baginya untuk ‘bersiap-siap’
melaksanakan ibadah haji untuk mewujudkan kemampuan (istitha’ah). Jika dia tidak
mendapatkan bekal atau kendaraan, maka tidak wajib haji baginya.
Kritik :Maka argumentasi ulama yang melarang haji dengan hutang tidak relevan,
karena kemampuan (istitha’ah) adalah syarat wajib untuk pergi haji, bukan syarat sah
ibadah haji. Maka ibadah haji seseorang dengan hutang adalah tetap sah, asalkan
seluruh rukun dan syarat dalam ibadah haji sudah sempurna dilaksanakan. Hukum asal
bagi seseorang yang tidak punya kemampuan harta dan fisik adalah tidak wajib untuk
melaksanakan haji. Tapi tidak ada nash yang melarang untuk mendapatkan kemampuan
harta (istitha’ah maliyah), baik dengan cara berhutang atau cara lainnya yang halal,
sehingga dia mampu untuk segera melaksanakan ibadah haji. Seperti pernyatan dari
Syeikh Khalid Ar-Rifa’i bahwa : “ Tidak wajib baginya untuk berhutang guna pergi
haji, yang lebih utama dia tidak berhutang. Tapi jika ia melakukannya dan berhaji
dengan hutang (dengan cara mencicil) maka tetap sah hajinya –insya Allah--.
“Menurut pengetahuan saya, hendaknya ia tidak melakukan hal itu, sebab seseorang
tidak wajib menunaikan ibadah haji jika ia sedang menanggung hutang. Lalu bagaimana
halnya dengan berhutang untuk menunaikan ibadah haji?! Maka saya berpandangan,
jangan berhutang untuk menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji dalam kondisi
seperti itu hukumnya tidak wajib atasnya, seharusnya ia menerima rukhshah
(keringanan) dari Allah SWT dan keluasan rahmat-Nya dan tidak membebani diri
dengan berhutang, dimana tidak diketahui apakah ia mampu melunasinya atau tidak ?
bahkan barangkali ia akan mati dan tidak mampu menunaikan hutangnya. Sementara
hutang tersebut tetap menjadi tanggung jawabnya. Wallahu A’lam”.
Kritik :Namun ada ulama kerajaan saudi lain yang menegaskan haji dengan harta
pinjaman adalah diperbolehkan dan hajinya sah, seperti fatwa yang dikeluarkan oleh
Syeikh Abdullah bin Baz :
“Telah bertanya seseorang : ketika datang bulan Dzulhijjah saya i`ngin ziyarah ke
baitullah, akan tetapi gaji saya baru akan keluar sepekan lagi, sedangkan saya tidak
memiliki uang kecuali kebutuhan sampai sebulan, tetapi teman-teman dikantor
memaksa saya untuk ikut dimana kita tidak bisa menjamin hidup sampai kapan. Maka
salah seorang dari mereka meminjamkan uang kepada saya untuk keperluan haji.
Lalu saya (Ibn Baz) berkata: “sesungguhnya hutang tidak menjadikan haji sah. Maka
dia berkata : apabila pemilik hutang mengizinkan orang yang berhutang maka hajinya
tetap sah, dan saya memberimu modal dengan kerelaan dan izin saya, dan sayapun pergi
haji dan setelah kembali pada bulan yang sama saya mengembalikan uangnya ? Maka
beliau menjawab : Isyaallah, haji anda sudah sah, dan hutang anda untuk haji
tidak mempengaruhi keabsahan haji anda”.
“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia boleh
berhutang saja untuk pergi haji?” Beliau bersabda: “Tidak.”
“Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang,
maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.”
Dalam kitab Mawahib Al-Jalil (jilid 2/hal. 531) : dalam kitab Mansak – Karya Ibn
Jama’ah Al-Kabir : JIka berhutang untuk melaksanakan ibadah haji dengan harta yang
halal yang menjadi tanggungannya, dan ia membayar hutangnya, dan pemberi hutang
rela (ridha) dengannya, maka hal itu tidak mengapa.
Tidak ada masalah, jika orang yang diberi tanggung jawab (pemberi hutang) memberi
kelonggaran (ijin) untuk pergi haji. Tidak ada masalah berhutang untuk pergi haji, jika
yang bersangkutan mampu untuk membayarnya. Dan Allah Sang Pemberi Taufiq.
Ustadz Abdul Fatah Idris – Profesor Perbandingan Fiqh (Ustadz Fiqh Muqaran) di
Universitas Al-Azhar, beliau menyampaikan fatwa bahwa haji dengan hutang adalah
mubah. Karena tidak ada dalil yang melarang perginya seseorang untuk menunaikan
ibadah haji dengan harta hutang. Hal ini sesuai dengan madzhab yang berpendapat
bahwa kemampuan (istitha’ah) dengan harta atau jiwa dapat terwujud walau harta
tersebut berasal dari hutang atau lainnya. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i dan
madzhab dhohiri, yang menguatkan bahwa haji yang sempurna dengan menggunakan
dana yang berasal dari hutang adalah sah (shohih) dan orang yang melakukannya akan
mendapat pahala dari hajinya.
5. DR Ali Hasbullah :
Kesimpulan
Jika seseorang merasa mampu melunasi hutangnya dengan cara mengangsur dan dia
memiliki sumber pendapatan tetap (fixed income)/barang senilai hutangnya, maka boleh
malaksanakan haji dengan dana pinjaman/hutang, namun apabila hal itu menambah
kesulitan baginya, maka sebaiknya jangan dipaksakan berhaji dengan menggunakan
hutang.
–Dalam pengurusan haji, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh mengambil fee
(ujrah) dengan menggunakan akad ijarah.
--Bila dibutuhkan, LKS diperbolehkan memberi dana talangan berupa qard (hutang),
dengan catatan tidak boleh mengambil tambahan apapun darinya.
--Jasa pengurusan haji tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian dana talangan haji.
–Dianjurkan hutang dana talangan haji sudah dilunasi sebelum nasabah tersebut
melaksanakan ibadah haji.
–Besar fee (ujrah) yang diambil LKS tidak boleh didasarkan pada besarnya dana
talangan yang diberikan.
Adapun yang berkaitan dengan pinjaman dari bank konvesional yang menggunakan
bunga, maka haram hukumnya kita mengambilnya. Karena termasuk syarat haji bahwa
harta yang digunakan untuk keperluan haji harus berasal dari hal yang halal, karena
Allah SWT adalah Dzat yang Baik dan tidak akan menerima kecuali dari yang hal baik
(harta halal). Sebagaimana ketetapan Majma Buhuts Islamiyah yang dipimpin Syeikh
Berhutang dari bank (konvensional) untuk melaksanakan ibadah haji adalah perbuatan
yang tidak disyariatkan, terlebih lagi jika ia mengambil hutang dari bank yang
mengambil tambahan/bunga, maka ia diharamkan secara pasti. Yang dituntut dari orang
yang pergi haji adalah segera membayar hutangnya sebelum berangkat.
Sumber:http://lazuardiirawan.wordpress.com/2012/02/04/absahkah-berhaji-
dengan-hutang/
Makna استطاعmenurut :
Fathul qorib
ٌ : ما السبيل ؟ قال، اقيل يا رسول هللا: عن انس رضى هللا عنه قال
رواه. الزادوالرحلة
.الدارقتنى و صححه الحاكم والرا جح ارساله
=bekal dan kendaran
Imam ahmad meriwayatkan pula dari ibnu abbas رضى هللا عنها, rasulullah SAW
bersabda :
فَ ْليَت َ َع ّج ْل, َم ْن ا َ َرادَ ال َح ّج
“barang siapa yg ingin mengerjakan ibadah haji maka hendaklah ia
(melaksanakannya)” (HR. Abu Dawud)