Anda di halaman 1dari 167

KAJIAN BEBERAPA ASPEK AGRONOMI TANAMAN

OBAT MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN


MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.)

EVA OKTAVIDIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi


yang berjudul : Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran Hijau
(Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.) adalah
benar-benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan
atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh
gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis
lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Eva Oktavidiati
NIM. A361020111
ABSTRACT

EVA OKTAVIDIATI. Study of Agronomic character of Medicinal Plants


Meniran (Phyllanthus niruri L. and Phyllanthus urinaria L.) Supervised by : M.
AHMAD CHOZIN as the chairman, NURHENI WIJAYANTO, MUNIF
GHULAMAHDI and LATIFAH K. DARUSMAN as the member of advisory
committee.

Phyllanthus niruri L. and Phyllanthus urinaria L. were identified as weeds


in rice plants and used as a medicinal plant. The objectives of this research were
(1) to identify and analyze public opinion which is the existence and used of
phyllanthus as medicinal plants, (2) to identify and analyze the morphological
character and contain of bioactive that can be used as selection criteria for
biomass production and high production of bioactive, (3) to identify and analyze
the diversity and genetic proximity 13 accessions of morphological character,
anthocyanin content and RAPD markers, (4) to identify and analyze the effects of
environmental factors (light, water and nutrients) on growth, biomass production
and contain of bioactive meniran. Exploration in Bangkalan and Gresik, East Java
Province, get 13 accessions belonging to six green meniran (Phyllanthus niruri
L.) accessions from Bangkalan, one red meniran (Phyllanthus urinaria L.)
accession from Bangkalan and six green meniran (Phyllanthus niruri L.)
accessions from Gresik. The results of a survey of public opinion indicated that
the meniran plant have already known and used by the community. Morphological
characters are correlated positively and significantly to the production of dry
biomass were plant height, leaf number, branch number, stem diameter and total
wet weight. Stem diameter, number of branches, total wet weight and leaf number
directly affects the production of dry biomass and can be used as characters for
selection. Exploration result carried out 13 accessions and 2 types meniran, green
meniran (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus urinaria L.), that
developed two groups including group A consists of all accessions green meniran
and group B consist of one red meniran accessions, based on RAPD markers.
Among 12 accessions of green meniran 2 accessions, green meniran from
Bangkalan (A6) and Gresik (A7), were higher on potential growth and biomass
production than the others. Though, red meniran from Bangkalan accession (A13)
has the great potential bioactive production. Based on the analysis, Phyllanthus
response to the differences treatment of shade, fertilization and soil water level
shown that to achieve the high growth and biomass production, green meniran
(A6 and A7) need opening condition until 25% shading, combination of fertilizer
manure + NPK and 100% soil water available to plants.Green meniran (A7) could
produce the high contain phyllantin under the without shade condition and manure
treatment. The high contain of hypophyllantin on green meniran (A7) need 50%
shading there with given manure. Red meniran on considerably conditions
(manure + NPK treatment and the availability of 50% soil water for the plants)
produce the high contain of anthocyanin leaf.

Key words: Phyllanthus, phyllantin, hypophyllantin, anthocyanin, flavonoid


RINGKASAN
EVA OKTAVIDIATI. Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran
Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.).
Komisi Pembimbing : M. AHMAD CHOZIN (Ketua), NURHENI WIJAYANTO,
MUNIF GHULAMAHDI dan LATIFAH K. DARUSMAN (Anggota).

Meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) teridentifikasi


sebagai gulma tanaman padi yang keberadaannya tidak dikehendaki. Meskipun
demikian, sebagian masyarakat sudah mengenal dan menggunakan meniran
sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Hasil penelitian farmakologi
menunjukkan bahwa meniran mempunyai aktivitas antihepatotoksik,
hipoglikemik, antibakteri, diuretik, aktivitas antimicrobial dan aktivitas
antiplasmodial. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas
tanaman obat maka usaha pembudidayaan tanaman obat menjadi penting untuk
dilakukan agar ketersediaannya berlangsung secara terus menerus. Sejauh ini
belum banyak ditemukan teknik agronomi yang tepat dalam pembudidayaan
tanaman meniran.
Penelitian dilakukan dalam lima kegiatan yaitu (1) Eksplorasi meniran
hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) di
Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur, (2) Analisis keragaman
karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan 13
aksesi meniran menggunakan penanda molekuler, (3) Pertumbuhan dan
kandungan total filantin dan hipofilantin aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri
L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai tingkat naungan,
(4) Pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau
(Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada
berbagai cara pemupukan, (5) Pertumbuhan dan kandungan antosianin daun
meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria
L.) pada berbagai kadar air tanah tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
mengidentifikasi dan menganalisis pendapat masyarakat tentang keberadaan dan
pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat, (2) mengidentifikasi dan
menganalisis karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang dapat digunakan
sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi, (3)
mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi, kandungan
antosianin dan hubungan kekerabatan aksesi meniran berdasarkan penanda
RAPD, (4) mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh faktor lingkungan
(cahaya, air dan unsur hara) terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan
kandungan bioaktif meniran.
Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa
Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran
hijau asal Bangkalan, satu aksesi meniran merah asal Bangkalan dan enam aksesi
meniran hijau asal Gresik. Hasil survei terhadap pendapat masyarakat
menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Hal ini sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran
menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat
keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus
tanpa ada kegiatan pembudidayaan.
Karakter morfologi yang berkorelasi positif dan nyata terhadap produksi
biomassa kering adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter
batang dan bobot basah total. Diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total
dan jumlah daun berpengaruh langsung terhadap produksi biomassa kering dan
dapat dijadikan sebagai karakter untuk seleksi. Dari karakter morfologi yang
diamati, tidak satupun karakter yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi
terhadap kandungan flavonoid. Hasil eksplorasi 13 aksesi meniran mendapatkan
2 jenis meniran yaitu meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah
(Phyllanthus urinaria L.) yang membentuk 3 kelompok berdasarkan keragaman
karakter morfologi dan kandungan antosianin daun. Diantara 12 aksesi meniran
hijau terdapat 2 aksesi yaitu aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik
(A7) mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa yang lebih tinggi.
Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai potensi
produksi bioaktif yang besar. Selanjutnya aksesi meniran hijau asal Bangkalan
(A6) dan Gresik (A7) dipilih untuk digunakan pada penelitian selanjutnya.
Berdasarkan kekerabatan secara molekuler terdapat 2 kelompok yaitu kelompok A
terdiri dari semua aksesi meniran hijau dan kelompok B terdiri dari satu aksesi
meniran merah.
Berdasarkan hasil analisis tanggap tanaman meniran terhadap perlakuan
pemberian naungan, pemupukan dan kadar air tanah yang berbeda didapatkan
hasil bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi,
meniran hijau (A6 dan A7) membutuhkan kondisi terbuka hingga ternaungi 25%,
pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK dan kadar
air tanah 100% tersedia bagi tanaman.
Meniran hijau (A7) membutuhkan kondisi tanpa naungan dan pemberian
pupuk kandang untuk menghasilkan kandungan filantin yang tinggi. Kandungan
hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau (A7) membutuhkan kondisi ternaungi
50% disertai pemberian pupuk kandang. Meniran merah (A13) dengan pemberian
pupuk kandang + NPK, kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman menghasilkan
kandungan antosianin daun yang tinggi

Kata kunci : Meniran merah, meniran hijau, biomassa, bioaktif, potensi


Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN BEBERAPA ASPEK AGRONOMI TANAMAN OBAT
MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN
MERAH (Phyllanthus urinaria L.)

EVA OKTAVIDIATI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.

Dr. Ani Kurniawati, SP, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc

Dr. James Sinambela, Apt.


Judul Disertasi : Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat
Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran
Merah (Phyllanthus urinaria L.)
Nama : Eva Oktavidiati
NIM : A361020111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M.Ahmad Chozin, M.Agr Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S
Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, M.S
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 10 Januari 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanawataala atas segala


Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi yang berjudul Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat
Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria
L.).
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof.
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto. M.S, Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S dan Prof.
Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S selaku anggota Komisi Pembimbing. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas waktu
dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing
penulis. Semoga semua ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan amal jariah dimana
pahalanya mengalir terus sampai ke Yaumil Akhir.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Koordinator Kopertis Wilayah II Palembang dan Rektor Universitas
Muhammadiyah Bengkulu yang telah memberikan izin belajar.
2. Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS.
3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan
Fakultas Pertanian dan Ketua Program Studi Agronomi Sekolah
Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di
Institut Pertanian Bogor.
4. Dr. Ir. Ahmad Junaidi, MSc dan Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc selaku
penguji luar komisi saat Ujian Kualifikasi Program Doktor yang telah
memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif.
5. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S dan Dr. Ani Kurniawati, SP, M.Si selaku
penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang telah memberikan saran-
saran dan koreksi konstruktif.
6. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc dan Dr. James Sinambela, Apt. selaku
penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang telah memberikan saran-
saran dan koreksi konstruktif.
7. Dosen di Fakultas Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas semua ilmu
yang telah diberikan, khususnya kepada (Almarhumah) Prof. Dr. Ir. Sriani
Sujiprihati, MS, Dr. Muhammad Syukur,SP,MSi dan Dr. Rahmi Yuniarti,
SP, MSi yang banyak memberikan Ilmu tentang Pemuliaan Tanaman dan
nasehat agar penulis tetap semangat.
8. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MS berturut-
turut sebagai moderator pada kolokium dan seminar hasil penelitian di
Pascasarjana IPB.
9. Dekan dan rekan-rekan Dosen di Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Bengkulu atas semua bantuan dan doanya.
10. Staf dan Pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian IPB atas kerjasama dan bantuannya.
11. Ibunda tercinta Hj. Aminah Djamil yang telah menemani hari-hari penulis
menempuh dan menyelesaikan pendidikan dari kecil hingga saat ini
dengan kasih sayang dan doa yang tak putus-putusnya agar ananda dapat
berhasil dan berguna dalam kehidupan ini. Almarhun Ayahanda
Syamsulbahri semoga dilapangkan kuburnya dan diampuni oleh Allah
Subhanawataala seluruh khilaf dan dosanya yang sampai akhir hidupnya
selalu mendoakan ananda agar dapat menyelesaikan studi S3 di IPB.
12. Ibu Mertua Hj. Soepatmi yang selalu memberikan doa dan pengertiannya.
13. Suami tercinta Dr. Ir. Sunaryadi, MS dan ananda tersayang Yesa Vadina
Afrasari, Divka Rayadi Ichmantara dan Davincka Muhammad Rayadi atas
pengertian, pengorbanan, doa dan kasih sayangnya, yang telah
menguatkan mama selama ini.
14. Bapak Adang Ruhiat selaku Kepala Kebun Percobaan Sawah Baru, Bapak
Milin selaku Kepala Kebun Percobaan Rumah Kaca Cikabayan, Bapak
Yudiansyah, Bapak Joko Mulyono, Ibu Ismi, Pak Ari, Agung Zaim, Mbak
Nunuk di Laboratorium.
15. Saudaraku Ir. Yulius Hero, MSc, Trismana Fitra Jaya, SE, Yopita Sari
S.Hut dan Nova Dewi Yani, S.Agb dan keluarga masing-masing, serta
keluarga Dr. Ir. Dwi Wahyuni Ganefianti, MSi atas semua bantuan dan
doanya.
16. Saudara ipar Eliyawati, SP dan John Harry atas semua bantuan dan
doanya.
17. Teman-teman di semua angkatan, Mbak Siti, Mbak Robi, Mbak Ika, Mbak
Arifah, Yuk Atra, Yuk Mega, Mbak Reni, Mbak Ririn, Pak Amin, Pak
Ismail, Pak Edison, Pak Bahar, Pak Agus, Bu Widi, Mbak Sri, Mbak
Mawi, Ajis, Amis Naipa, Hilda, Maisura, Safrizal, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu,
diucapkan banyak terima kasih.
18. Rekan-rekan seperjuangan satu bimbingan, Pak Haris, Bu Selvie, Pak Hadi
dan Pak Dwi yang telah sama-sama berbagi semangat dan satu cita-cita
untuk bisa menyelesaikan program doktor tepat waktu sebelum
dieliminasi.

Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangaan ilmu pengetahuan


khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Januari 2012


Eva Oktavidiati
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu Selatan pada tanggal 5 Oktober 1968,


merupakan putri ketiga dari lima bersaudara, dari Ayahanda Syamsulbahri
(Almarhum) dan Ibunda Aminah Djamil. Penulis menikah dengan Dr. Ir.
Sunaryadi, M.Si. pada tanggal 14 Mei 1995. Sampai saat ini penulis telah
dikaruniai tiga orang anak, seorang putri bernama Yesa Vadina Afrasari (Dina)
dan dua orang putra Divka Rayadi Ichmantara (Divka) dan Davincka Muhammad
Rayadi (Davi).
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun
1991. Jenjang strata dua (S2) di Program Studi Agronomi Program Pascasarjana
IPB lulus tahun 2001. Selanjutnya, sejak tahun 2002 mengikuti jenjang starata
tiga (S3) pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis adalah penerima Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan ditempatkan di Kopertis Wilayah II Palembang
diperbantukan (dpk) pada Universitas Muhammadiyah Bengkulu pada tahun 1994
dan sampai sekarang penulis merupakan Staf Pengajar di Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
Karya ilmiah yang berjudul Pertumbuhan Tanaman dan Kandungan Total
Filantin dan Hipofilantin Aksesi Meniran (Phyllanthus sp. L.) pada Berbagai
Tingkat Naungan telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Tanaman Industri
17(1): Maret 2011. Karya ilmiah ini merupakan bagian dari disertasi program S3
penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.. xvii
DAFTAR GAMBAR. Xx
DAFTAR LAMPIRAN.. xxi
PENDAHULUAN
Latar Belakang.. 1
Perumusan Masalah . 4
Tujuan Penelitian . 5
Hipotesis 5
Ruang lingkup penelitian.. 6
TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Meniran.. 9


Manfaat dan Kandungan Kimia 10
Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid 11
Senyawa Bioaktif Golongan Lignan. 15
Jalur Pembentukan Lignan 17
Pengaruh Cahaya, Air dan Unsur Hara. 19
EKSPLORASI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN
MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) DI KABUPATEN
BANGKALAN DAN GRESIK PROPINSI JAWA TIMUR
Abstrak.. 23
Abstract. 23
Pendahuluan.. 24
Bahan dan Metode 26
Hasil dan Pembahasan.. 30
Simpulan 46
ANALISIS KERAGAMAN KARAKTER MORFOLOGI,
KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN DAN HUBUNGAN
KEKERABATAN 13 AKSESI MENIRAN MENGGUNAKAN
PENANDA MOLEKULER
Abstrak 47
Abstract 47
Pendahuluan 48
Bahan dan Metode.. 49
Hasil dan Pembahasan. 55
Simpulan . 64
Halaman

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN


DAN HIPOFILANTIN AKSESI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus
niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.)
PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Abstrak. 65
Abstract 65
Pendahuluan 66
Bahan dan Metode.. 67
Hasil dan Pembahasan. 71
Simpulan.. 77
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN
DAN HIPOFILANTIN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.)
DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA
BERBAGAI CARA PEMUPUKAN
Abstrak. 79
Abstract 79
Pendahuluan 80
Bahan dan Metode... 82
Hasil dan Pembahasan. 87
Simpulan.. 97
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN
MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN
MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI KADAR
AIR TANAH TERSEDIA
Abstrak. 99
Abstract 99
Pendahuluan 100
Bahan dan Metode.. 103
Hasil dan Pembahasan. 107
Simpulan.. 112
PEMBAHASAN UMUM. 113
SIMPULAN DAN SARAN. 127
DAFTAR PUSTAKA 129
LAMPIRAN . 139
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Daftar aksesi meniran beserta asal-usulnya yang diperoleh dari
hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi
Jawa Timur.. 30
2 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada
setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Bangkalan. 33
3 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada
setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Gresik 34
4 Uraian deskripsi informasi masyarakat tentang tanaman
meniran 37
5 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah
cabang, bobot basah total, bobot kering total dan kandungan
flavonoid 13 aksesi meniran 39
6 Koefisien korelasi antar pasangan karakter pada 13 aksesi
meniran . 39
7 Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter
morfologi terhadap bobot kering total ... 41
8 Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter
morfologi terhadap kandungan flavonoid 43
9 Bahan reaksi PCR analisis RAPD keragaman 13 aksesi
meniran 53
10 Pengaruh aksesi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun
majemuk, jumlah cabang, diameter batang dan bobot 1000 biji
meniran umur 10 MST 55
11 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah akar (BBA), batang
(BBB), daun (BBD) dan bobot basah total (BBT) meniran
umur 10 MST . 56
12 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering akar (BKA), batang
(BKB), daun (BKD) dan bobot kering total (BKT) meniran
umur 10 MST . 57
13 Pengaruh aksesi terhadap kandungan antosianin daun meniran
umur 10 MST . 58
14 Nilai ciri dua komponen utama 14 karakter 13 aksesi meniran.. 60
15 Karakter morfologi pembentuk komponen utama.. 60
16 Jumlah pita polimorfisme yang dihasilkan oleh 5 primer... 62
17 Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun
majemuk dan diameter batang 13 aksesi meniran umur 10
minggu setelah tanam. 71
Halaman
18 Pengaruh interaksi naungan terhadap jumlah cabang 13 aksesi
meniran 72
19 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah daun, bobot basah
batang, bobot basah akar dan bobot basah total meniran umur
10 minggu setelah tanam. 73
20 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering daun, bobot kering
batang, bobot kering akar dan bobot kering total meniran umur
10 minggu setelah tanam. 74
21 Kandungan total filantin dan hipofilaantin dari tiga aksesi
meniran pada berbagai tingkat naungan.. 76
22 Pengaruh pemupukan terhadap jumlah cabang dan diameter
batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam.. 87
23 Interaksi pemupukan terhadap tinggi tanaman dua jenis
meniran umur 4 minggu setelah tanam.. 88
24 Interaksi pemupukan terhadap jumlah daun majemuk meniran
umur 2 minggu setelah tanam. 89
25 Interaksi pemupukan terhadap bobot basah batang dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam. 91
26 Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, bobot kering
daun, bobot kering total dua jenis meniran umur 10 minggu
setelah tanam.. 92
27 Interaksi pemupukan terhadap bobot kering batang dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam. 93
28 Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, bobot kering
daun, bobot kering total dua jenis meniran umur 10 minggu
setelah tanam... 94
29 Interaksi pemupukan terhadap kandungan antosianin daun dua
jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam 95
30 Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi
meniran pada berbagai cara pemupukan. 96
31 Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah cabang dan diameter batang dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam. 107
33 Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap bobot kering akar,
bobot kering batang, bobot kering daun dan bobot kering total
dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam.. 110
34 Interaksi kadar air tanah tersedia terhadap kandungan klorofil
a, klorofil b, total klorofil dan antosianin daun dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam. 111
35 Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope
Herbal Indonesia (2008). 125
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Diagram alur penelitian.. 7
2 Penampilan meniran hijau dan meniran merah.. 10
3 Jalur pembentukan metabolisme primer dan sekunder pada
tanaman .................................. 13
4 Jalur pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis
flavonoid ................................... 14
5 Struktur kimia antosianin 15
6 Struktur kimia filantin dan hipofilantin.. 16
7 Senyawa aromatik berasal dari asam 5-dehidrokuinat.. 17
8 Senyawa aromatik berasal dari asam p-kumarat 18
9 Peta Kabupaten Bangkalan dan letak lokasi pengambilan
sampel. 32
10 Peta Kabupaten Gresik dan letak lokasi pengambilan sampel... 35
11 Diagram lintas beberapa karakter morfologi yang berpengaruh
terhadap bobot kering total ... 42
12 Diagram lintas beberapa karakter morfologi yang berpengaruh
terhadap kandungan flavonoid.. 45
13 Dendrogram analisis gerombol karakter morfologi 13 aksesi
meniran 59
14 Analisis komponen utama karakter morfologi 13 aksesi
meniran 61
15 Dendrogram 13 aksesi meniran berdasarkan profil pola pita
DNA dengan teknik RAPD 62
16 Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran aksesi tujuh
pada berbagai tingkat naungan 76
17 Kandungan hara N, P, dan K pada jaringan tanaman meniran
hijau dan meniran merah pada berbagai cara pemupukan. 97
18 Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau asal
Gresik (A7) pada berbagai cara pemupukan.. 99
19 Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) dan meniran
merah yang sehat ... 120
20 Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah
dengan trikoma .. 121
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Data biner 32 pita DNA dari 5 primer RAPD pada 13 aksesi
meniran.. 140
2 Metode analisis kandungan klorofil dan antosianin daun (mg g-
1 bobot kering).. 141
3 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar
Nitrogen (N).. 142
4 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar
Posfor (P) . 143
5 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar
Kalium (K) 145
6 Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum penelitian pemupukan... 146
7 Hasil analisis kandungan unsur hara, kadar air dan abu pupuk
kandang (kotoran ayam) 146
8 Hasil analisis kandungan NPK jaringan tanaman meniran.. 147
9 Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh perhitungan
kandungan total filantin dan hipofilantin meniran 148
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang
tersebar di berbagai tipe habitat. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30 ribu
tumbuhan jauh melebihi daerah tropis lainnya seperti Amerika Selatan dan Afrika
barat. Diketahui, sekitar 9600 spesies berkhasiat obat dan sekitar 200 spesies
diantaranya merupakan tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional
(Sampoerno 1999, Zuhud et al. 2001; Azmy 2002). Pada tahun 2008 penduduk
Indonesia yang menggunakan obat tradisional termasuk diantaranya obat herbal
mencapai 22.26% (BPS 2009). Menteri kesehatan dalam laporannya menyebutkan
bahwa menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 80% penduduk dunia
bergantung pada pengobatan tradisional, termasuk obat herbal (Depkes 2009).
Perubahan pola pikir masyarakat menuju gerakan hidup kembali ke alam
(back to nature) yang dalam pelaksanaannya membiasakan hidup dengan
menghindari bahan-bahan kimia sintesis dan lebih mengutamakan bahan-bahan
alami, semua yang serba natural semakin digemari dan dicari orang (WHO 2000;
Wayland 2004; Lynch dan Berry 2007). Kecenderungan untuk kembali ke alam
sudah menjadi gaya hidup dan kebutuhan pada berbagai kalangan masyarakat,
tidak hanya di pedesaan, masyarakat di perkotaan dan kalangan menengah ke atas
juga mulai banyak mengkonsumsi jamu untuk menjaga kebugaran dan kesehatan
tubuhnya.
Meniran (Phyllanthus sp. L.) teridentifikasi sebagai gulma tanaman padi
(Soerjani et al. 1987) yang keberadaannya tidak dikehendaki. Meskipun demikian,
sebagian masyarakat sudah mengenal dan menggunakan meniran sebagai salah
satu tanaman berkhasiat obat. Hasil penelitian farmakologi menunjukkan bahwa
meniran mempunyai aktivitas antihepatotoksik (Syamasundar et al. 1985; Sabir
dan Rocha 2008; Manjrekar et al. 2008), hipoglikemik, antibakteri, diuretika
(Narayana et al. 2001; Manjrekar et al. 2008; Lopez-Lazaro 2009), aktivitas
antimicrobial (Chitravadivu et al. 2009; Akin-Osanaiye et al. 2011)) dan aktivitas
antiplasmodial (Oluwafemi dan Debiri 2008; Njomnang Soh et al. 2009). Uji
toksiksitas akut terhadap Phyllanthus niruri L. termasuk dalam kelas toksik ringan
2

berdasarkan kriteria Gleason dengan LD50 1588.781 mg kg BB-1 dan tidak


ditemukan gejala klinis ketoksikan yang nyata pada mencit sebagai hewan
percobaan. Dengan demikian herba meniran aman untuk digunakan bagi manusia
(Halim 2010).
Uji fitokimia yang dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT
Tawangmangu menunjukkan meniran mengandung metabolit sekunder dari
golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan
(Wahyuni 2010). Akin-Osanaiye et al. (2011) menyatakan pada daun, akar dan
batang Phyllanthus amarus (Schum dan Tonn) terdapat alkaloid, tanin, flavonoid,
saponin, glikosida tetapi tidak ditemukan steroid. Sejauh ini kualitas meniran
ditentukan berdasarkan kandungan senyawa penanda tunggal dari golongan lignan
(Elfahmi 2006; Murugaiyah dan Chan 2008). Lignan utama dari genus ini adalah
filantin dan hipofilantin. Keberadaan filantin dapat digunakan sebagai senyawa
identitas dalam menganalisis ekstrak kental herba meniran (BPOM 2004). Figuera
et al. (2006) mendapatkan kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24% bobot kering
diantara 4 daerah yang diteliti. Kultivar amarus CIM-Jeevan mempunyai
kandungan filantin 0.70-0.77% bobot kering (tanaman kontrol filantin 0.30-0.36%
bobot kering) sedangkan kandungan hipofilantin berkisar antara 0.32-0.37% bobot
kering (tanaman kontrol 0.12-0.17% bobot kering) (www.freepatentsonline.com).
Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas tanaman
obat maka usaha pembudidayaan tanaman obat menjadi penting untuk dilakukan
agar ketersediaannya berlangsung secara terus menerus. Sejauh ini belum banyak
ditemukan teknik agronomi yang tepat dalam pembudidayaan tanaman meniran.
Beberapa pustaka menunjukkan pengaruh dari naungan terhadap pertumbuhan
dan produksi biomassa meniran (Tunggal 2002, Tresnawati 1993; Emmyzar et al.
1993) tetapi tidak ada informasi adanya hubungan antara perlakuan budidaya
terhadap kandungan bioaktifnya. Sampai saat ini sangat sulit menemukan petani
atau pihak tertentu yang membudidayakan meniran secara khusus.
Ghulamahdi (2003) menyatakan bahwa untuk berproduksi tinggi maka
budidaya tanaman obat harus dilakukan di tempat yang lingkungannya cocok
untuk kebutuhan spesies tersebut. Adapun kondisi lingkungan yang diperlukan
untuk masing-masing spesies dapat dilihat dari tempat asal spesies tersebut
3

ditemukan. Pengetahuan mengenai taksonomi berupa pengelompokan jenis


spesies dalam famili akan sangat membantu cara perbaikan dan budidaya spesies
tersebut. Hal ini yang mendasari penyusunan perbaikan cara budidaya,
peningkatan produksi per satuan luas dan peningkatan kandungan bioaktif
tanaman.
Berdasarkan hal yang telah dikemukakan maka deskripsi tanaman
merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi
tentang ciri-ciri dan sifat-sifat tanaman yang dapat digunakan sebagai pedoman di
dalam penelitian para pemulia dan budidayanya. Identifikasi tanaman dan analisis
hubungan kekerabatan antar tanaman dapat dilakukan secara kombinasi
menggunakan penanda morfologi, sifat agronomi atau analisis biokimia seperti
isozim (Waugh 1997). Analisis keragaman morfologi dilakukan dengan
menggunakan data hasil pengamatan atau pengukuran karakter morfologi tertentu.
Kelemahan analisis genetik menggunakan penanda morfologi adalah biasanya
dipengaruhi oleh lingkungan makro dan mikro serta umur suatu individu.
Kesulitan lain akan terjadi apabila karakter kuantitatif yang diatur oleh banyak
gen terekspresi pada akhir pertumbuhan seperti karakter hasil (Weising et al.
1995). Informasi mengenai keragaman genetik tanaman merupakan modal dasar
bagi para ahli pemuliaan dalam upaya melakukan perbaikan dan pengembangan
tanaman. Karakterisasi fenotip perlu didukung oleh karakterisasi yang dilakukan
melalui penanda molekuler. Analisis pada tingkat molekul dapat dilakukan
dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Teknik RAPD
memiliki kelebihan dibanding dengan teknik lainnya yaitu lebih sederhana.
Dengan hanya menggunakan beberapa nanogram DNA total genom telah mampu
mendeteksi pola pitanya. Primer oligonukleotida yang digunakan relatif lebih
pendek yaitu hanya 10 sampai 20 mer. Namun teknik ini memiliki kekurangan
karena tidak mampu mengidentifikasi heterozigot (Waugh 1997).
Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui
manipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Gould dan
Lister (2006) mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada
tanaman yang mengalami cekaman cahaya. Peningkatan ini akan semakin tinggi
4

apabila diikuti dengan terjadinya cekaman air. Hal ini merupakan mekanisme
sistem pertahanan tanaman terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan
dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder (Gould dan Lister 2006).
Unsur hara esensial seperti nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur
penting yang diperlukan dalam proses metabolisme pertumbuhan tanaman. Pupuk
anorganik (NPK) dapat menyediakan unsur hara tersedia langsung bagi tanaman.
Sedangkan pupuk kandang sebagai pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik
dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik memberikan bagian yang
terbesar untuk lokasi pertukaran kation di dalam tanah dengan kapasitas buffer
bahan organik yang rendah (Babbar dan Zak 1994).

Perumusan Masalah
Meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) merupakan
tanaman berkhasiat obat. Produksi kandungan bioaktif meniran dibutuhkan
sebagai bahan baku obat yang keberadaanya harus tersedia terus menerus. Hal ini
membutuhkan penyediaan bahan tanam maupun teknik budidaya yang tepat di
lapangan.
Mengingat meniran masih dianggap sebagai tumbuhan liar dan ada juga
yang mengelompokan sebagai gulma maka penelitian mengenai keberadaan
meniran yang ada di alam maupun meniran yang sudah dibudidayakan perlu
dilakukan. Penelitian dimulai dengan melakukan eksplorasi terhadap keberadaan
tanaman meniran di alam. Sebagai pembanding dilakukan penanaman meniran
dari alam dalam kondisi lingkungan yang sama untuk melihat gambaran
pertumbuhan tanaman dari penanaman hingga panen. Dari beberapa aksesi yang
ada selanjutnya dilakukan seleksi terhadap karakter morfologi yang berhubungan
dengan peningkatan bobot kering total dan kandungan flavonoid. Selanjutnya
dilakukan analisis keragaman morfologi dan genetik untuk melihat hubungan
kekerabatan diantara aksesi yang ada. Untuk melengkapi data dilakukan penelitian
melalui pengumpulan data dari masyarakat sekitar lokasi pengumpulan tanaman.
Data yang dituju adalah seberapa besar pengetahuan masyarakat tentang tanaman
meniran, manfaat sebagai tanaman obat maupun kegiatan budidayanya. Kegiatan
penelitian berikutnya adalah melihat respon yang ditunjukkan oleh tanaman
terhadap faktor lingkungan tanaman seperti cahaya, unsur hara dan air. Sejauh ini,
5

informasi tentang respon pertumbuhan dan produksi bioaktif terhadap perlakuan


naungan, pemupukan dan penentuan kadar air tersedia bagi tanaman meniran
belum banyak dilaporkan. Hal ini sangat perlu dilakukan karena kondisi ideal
untuk tanaman obat adalah kombinasi biomassa dan bioaktif yang tinggi.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
mengenai keragaman plasma nutfah meniran dan mendapatkan rancangan
teknologi budidaya (naungan, pemupukan dan kadar air) terbaik dalam rangka
menghasilkan produksi bioaktif yang tinggi. Penelitian ini terdiri dari beberapa
tahapan kegiatan yang bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis pendapat masyarakat tentang
keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi dan kandungan
bioaktif yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa
dan produksi bioaktif yang tinggi.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi,
kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan aksesi meniran
berdasarkan penanda molekuler (genetik).
4. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh faktor lingkungan (cahaya,
air dan unsur hara) terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan
kandungan bioaktif meniran.

Hipotesis

Dari setiap tahapan penelitian dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut :

1. Ada sebagian masyarakat yang telah mengetahui keberadaan tanaman


meniran dan manfaatnya sebagai obat.
2. Terdapat keragaman karakter morfologi antar aksesi meniran, diperoleh
karakter morfologi yang dapat dijadikan kriteria seleksi untuk perbaikan
produksi biomassa dan kandungan bioaktif meniran.
6

3. Diperoleh keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan


hubungan kekerabatan beberapa aksesi meniran berdasarkan penanda
molekuler.
4. Terdapat perbedaan tanggap pertumbuhan, produksi biomassa dan
kandungan bioaktif aksesi meniran pada naungan, pemupukan dan kadar
air tanah yang berbeda.

Ruang Lingkup Penelitian


Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka strategi penelitian yang
dilakukan harus mempunyai keterkaitan yang satu dengan penelitian lainnya.
Penelitian ini terdiri atas dua aspek : (1) keragaman plasma nutfah meniran dan
(2) tanggap perubahan karakter meniran. Kedua kelompok tersebut dikelompokan
menjadi 5 judul penelitian : (1) eksplorasi meniran (Phyllanthus niruri L. dan
Phyllantus urinaria L.) di Kabupaten Bangkalan dan Gresik. (2) analisis
keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan
kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler, (3) pertumbuhan
dan kandungan total filantin dan hipofilantin aksesi meniran hijau (Phyllanthus
niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai tingkat
naungan, (4) pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran
hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada
berbagai cara pemupukan, (5) pertumbuhan dan kandungan antosianin daun
meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria
L.) pada berbagai kadar air tanah tersedia. Garis besar dari keseluruhan kegiatan
penelitian disajikan dalam Gambar 1.
7

Keragaman Tanaman di
Lapangan

(Survei di Kabupaten
Bangkalan dan Gresik)

Keragaman morfologi dan Pengaruh faktor


genetik pada kondisi Lingkungan
terkontrol

Keragaman karakter agronomi Cahaya


Keragaman produksi biomassa Air
dan kandungan bioaktif Unsur hara
Keragaman genetik

Tanggap pertumbuhan, produksi biomassa


dan produksi bioaktif beberapa aksesi
meniran terhadap pengaruh faktor
lingkungan

Rancangan Teknologi
Budidaya Meniran

Gambar 1 Diagram alur penelitian.


8
9

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Meniran


Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili Euphorbiaceae,
genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999). Penyebarannya di seluruh
Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al. 1987), Malaysia, India, Peru,
Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003). Penyebarannya di seluruh Indonesia
teridentifikasi dengan adanya nama daerah yang berbeda untuk menyebutkan
tanaman meniran. Di Sumatera dikenal dengan nama sidukung anak, dudukung anak,
bame tano. Di Sulawesi dikenal dengan nama bolobungo. Di Maluku dikenal
dengan nama gosau ma dungi, gosau ma dongi roriha, belalang babiji (Kardinan dan
Kusuma 2004).
Meniran tumbuh di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi dengan
ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (Heyne 1987). Tumbuh secara liar di
tempat yang berbatu dan lembab seperti di tepi sungai, pantai, semak, lahan bekas
sawah atau tumbuh di sekitar pekarangan rumah, baik di pedesaan maupun di
perkotaan ( De Padua et al. 1999).
Iklim tropis merupakan syarat tumbuh tanaman meniran. Tanaman meniran
berakar tunggang, batang tegak, tinggi mencapai 40-100 cm, batang bulat berkayu,
permukaan kasar dan bercabang. Daun tersusun majemuk, duduk melingkar pada
batang, anakan daun mengkilap, bentuk bulat telur dengan panjang 1.5-3 cm, lebar
1 1.5 cm, ujung daun runcing, pangkal tumpul dan tepi yang rata. Daun berwarna
hijau (Soerjani et al. 1987, De Padua et al. 1999, Dalimartha 2000). Bakal buah
beruang enam, mahkota berbentuk tabung, ujung membulat berwarna kuning.
Buahnya bulat, mempunyai 5-6 ruang, diameter 5-10 mm. Apabila masih muda buah
berwarna hijau setelah tua menjadi coklat. Biji buah berbentuk ginjal, pipih berwarna
coklat (De Padua et al. 1999).
Spesies meniran yang biasa digunakan untuk pengobatan hanya dua spesies
yaitu meniran hijau dan meniran merah (Gambar 2). Khusus untuk pengobatan,
Phyllanthus niruri L. (meniran hijau) lebih dominan digunakan dibandingkan dengan
Phyllanthus urinaria L. (meniran merah). Komponen yang terkandung dalam
meniran hijau lebih banyak dibandingkan dengan meniran merah (Taylor 2003).
10

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran hijau mampu menghambat aktivitas


virus hepatitis B sebesar 70%, lebih baik daripada meniran merah yang hanya
mampu menghambat sebesar 28%. Terdapat perbedaan morfologi antara meniran
hijau dan meniran merah. Meniran hijau memiliki batang berwarna hijau muda atau
hijau tua. Setiap cabang atau ranting terdiri dari 8-25 helai daun. Daun berwarna
hijau. Ukurannya 0.5-2 x 0.25-0.5 cm. Buah bertekstur licin, bulat pipih dengan
diameter 2-2.5 mm. Kepala sari meniran hijau yang sudah matang akan pecah secara
membujur. Sedangkan meniran merah memiliki batang berwarna merah coklat.
Setiap cabang terdiri dari 7-13 helai daun. Warna daun hijau coklat dengan ukuran
0.5-2 cm x 1-8 mm. Buah bertekstur kasar, bulat dengan diameter 3 mm. Kepala sari
meniran merah yang sudah matang akan pecah secara melintang (Soedibyo 1998;
Soerjani et al. 1987).

a b

Gambar 2 Penampilan (a) meniran hijau, (b) meniran merah

Manfaat dan Kandungan Kimia


Meniran memiliki bahan aktif alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, glikosida
tetapi tidak ditemukan steroid (Akin-Osanaiye et al. 2011), Uji fitokimia yang
dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu menunjukkan
meniran mengandung metabolit sekunder dari golongan flavonoid, fenol
hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan (Wahyuni 2010). Flavonoid dalam
tanaman meniran diidentifikasi sebagai quercetin, quercitrin, isoquercitrin, astragalin
dan rutin (Taylor 2003). Hasil penelitian farmakologi menunjukkan bahwa meniran
mempunyai aktivitas antihepatotoksik (Syamasundar et al. 1985; Sabir dan Rocha
11

2008; Manjrekar et al. 2008), hipoglikemik, antibakteri, diuretika (Narayana et al.


2001; Manjrekar et al. 2008; Lopez-Lazaro 2009), aktivitas antimicrobial
(Chitravadivu et al. 2009; Akin-Osanaiye et al. 2011)) dan aktivitas antiplasmodial
(Oluwafemi dan Debiri 2008; Njomnang Soh et al. 2009).
Khasiat yang beragam dari tanaman meniran berhubungan erat dengan zat
atau senyawa yang dikandungnya. Than et al. (2006) mendapatkan niruriflavone
yang merupakan senyawa antioksidan baru flavone sulfonic acid dari ekstrak
Phyllantus niruri. Senyawa flavonoid yang ada dalam meniran merupakan senyawa
anti oksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan vitamin E. Senyawa ini mampu
merangsang kekebalan tubuh. Flavonoid rutine dan quercetin mampu menghambat
sintesis histamin yang merupakan mediator penting penyakit dermatitis alergika
(eksim). Nirurin dan quercetin yang terdapat dalam meniran berkhasiat sebagai
peluruh air seni (diuretik). Filantin, hipofilantin, tanin berperan dalam meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dan sebagai hepatoprotektor. Hasil penelitian Rudiyanto
(2006) mendapatkan terjadinya regenerasi sel parenkim hati yang telah mengalami
kerusakan akibat paparan karbon tetraklorida dengan pemberian ekstrak etanol
meniran. Hal ini berkaitan dengan kemampuan menahan oksigen dalam darah
sehingga antibodi dapat berkembang.
Ekstrak meniran merupakan salah satu imunomodulator dari bahan biologi
aktif nonsitokin yang tidak berefek samping. Selama ini obat-obatan
imunomodulator banyak digunakan pada pasien dengan gangguan pada sistem imun
tubuh yang banyak ditemukan pada pasien AIDS. Imunomodulator adalah obat yang
bekerja dengan cara melakukan modulasi pada sistem imun (Elfahmi 2006).

Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid


Flavonoid adalah golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tanaman. Markham (1988) menyebutkan bahwa sekitar 2% (1 x 109 ton per tahun)
dari seluruh karbon yang difotosintesis diubah menjadi flavonoid yang merupakan
salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Flavonoid terdapat pada semua bagian
tumbuhan termasuk daun, akar, kulit kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah dan biji
(Gould dan Lister 2006). Flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu
suatu kombinasi antara gula dan alkohol. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan
sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan
12

tumbuhan. Disamping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang
berbeda kelas (Harborne 1988). Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid O-
glikosida (satu atau lebih gugus hidroksi flavonoid terikat pada gula), pengaruh
glikolisasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang efektif sehingga mudah larut
dalam air, kondisi seperti ini memungkinkan flavonoid tersimpan dan berada dalam
vakuola sel (Markham 1988, Gould dan Lister 2006).
Gould dan Lister (2006) menyebutkan bahwa pada tumbuhan flavonoid dapat
meningkatkan dormansi, meningkatkan pembentukan sel-sel kalus, sebagai enzim
penghambat pembentukan protein, menghasilkan warna pada bunga untuk
merangsang serangga, burung dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan
tersebut sebagai agen dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Dalam dunia
pengobatan beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibiotik, misalnya anti
virus dan jamur, peradangan pembuluh darah, dan dapat digunakan sebagai racun
ikan.
Davies dan Schwinn (2006) menyebutkan bahwa proses biosintesis flavonoid
merupakan biosintesis gabungan dari jalur asam sikimat dan jalur asetat malonat.
Pada jalur sikimat akan terbentuk phenylalanine yang merupakan salah satu senyawa
asam amino aromik yang selanjutnya akan menghasilkan p-coumaric acid,
sedangkan pada jalur asetat malonat akan terbentuk acetyl CoA yang akan
menghasilkan malonyl CoA, setelah mengikat satu molekul CO2. Secara garis besar
jalur pembentukan metabolisme primer merupakan awal dari pembentukan jalur
pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis flavonoid disajikan pada Gambar 3
dan Gambar 4.
13

Gambar 3 Jalur pembentukan metabolisme primer dan sekunder pada tanaman


(Cseke et al. 2006)
14

Gambar 4 Jalur pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis flavonoid (Davies


dan Schwinn, 2006)
15

Antosianin merupakan bagian dari flavonoid yang merupakan salah satu


senyawa polifenol yang disintesis melalui gabungan dua lintasan biosintesis yang
berbeda (Gambar 5).

Gambar 5 Struktur kimia antosianin (Davies dan Schwinn, 2006).

Menurut Sudiatso (2001), antosianin merupakan salah satu pigmen pada


tumbuhan, larut dalam air, berwarna jingga, merah dan biru yang tergabung dalam
kelompok besar pigmen flavonoid. Umumnya antosianin terdapat dalam buah dan
sayuran, dan biasanya terdiri dari kombinasi beberapa pigmen (4-6 pigmen). Pigmen
ini stabil dalam lingkungan asam. Oleh karena itu sebaiknya disimpan dalam
medium asam. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan antosianin pada tanaman
berfungsi dalam hal resistensi terhadap penyakit.
Antosianin mampu menghambat pertumbuhan sel kanker diantaranya sel
kanker perut, kanker usus besar, kanker payudara, dan kanker paru-paru (Zhang et
al. 2005). Katsube et al. (2003) menyatakan antosianin khususnya delphinidin yang
diekstrak dari bilberry mampu menghambat pertumbuhan sel kanker darah
(leukemia) dan colon carcinoma secara in vitro.

Senyawa Bioaktif Golongan Lignan


Lignan secara biogenik adalah produk kombinasi antara dua unit
fenilpropana turunan asam sinamat, C6-C3 (Gambar 6 dan Gambar 7). Cincin
aromatiknya selalu teroksigenasi. Semua lignan alam mengandung satu atau lebih
atom karbon asimetrik dan aktif optik, jarang dijumpai lignan dengan struktur 2-
fenilpropana seperti pada asam pinastrat dari Lepraria flava. Lignan juga mencakup
senyawa yang mempunyai dua cincin benzena pada ujung rantai C6 dan senyawa
lignan yang rantai alifatiknya diselingi dengan atom oksigen.
Uji fitokimia yang dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT
Tawangmangu menunjukkan meniran mengandung metabolit sekunder dari
16

golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan (Wahyuni
2010). Pada daun, akar dan batang Phyllanthus amarus (Schum dan Tonn) terdapat
alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, glikosida tetapi tidak ditemukan steroid (Akin-
Osanaiye et al. 2011). Sejauh ini kualitas meniran ditentukan berdasarkan kandungan
senyawa penanda tunggal dari golongan lignan (Elfahmi 2006; Murugaiyah dan
Chan 2008). Lignan utama dari genus ini adalah filantin dan hipofilantin (Gambar 5).
Keberadaan filantin dapat digunakan sebagai senyawa identitas dalam menganalisis
ekstrak kental herba meniran (BPOM 2004). Figuera et al. (2006) mendapatkan
kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24% bobot kering diantara 4 daerah yang
diteliti. Annamalai dan Lakshmi (2009) mendapatkan bagian daun Phyllanthus
amarus Schum dan Thonn (Phyllanthus niruri L.) mengandung filantin 0.83% bobot
kering, cabang 0.046% bobot kering, biji 0.054% bobot kering dan akar 0.0016%
bobot kering. Kultivar amarus CIM-Jeevan mempunyai kandungan filantin 0.70-
0.77% bobot kering (tanaman kontrol filantin 0.30-0.36% bobot kering) sedangkan
kandungan hipofilantin berkisar antara 0.32-0.37% bobot kering (tanaman kontrol
0.12-0.17% bobot kering) (www.freepatentsonline.com).

Gambar 6 Struktur kimia (1) filantin, (2) hipofilantin (Murugaiyah & Chan 2007).

Jalur Pembentukan Lignan


Jalur biosintesis senyawa aromatik berasal dari asam dihidrokuinat
dikemukakan Robinson (1991) (Gambar 6 dan Gambar 7). Pengubahan asam kuinat
menjadi asam 5-dehidrokuinat dikendalikan oleh kalmodulin dan protein kinase.
Kemungkinan lain berbagai asam hidroksi benzoat dan turunannya terbentuk karena
penguraian molekul yang lebih besar. Jalur utama untuk pembentukan asam sinamat
dan asam p-kumarat berturut-turut dari fenilalanin dan tirosin tidak berlangsung
17

melalui asam keto dan asam hidroksi yang sesuai, tetapi terjadi dengan penghilangan
asam amonia dalam satu langkah. Secara umum, aktivitasnya merupakan tahap
penentu laju untuk semua biosintesis fenilpropanoid. Hal ini dijumpai pada semua
tumbuhan hijau dan beberapa tumbuhan rendah. Aktivitas tirosin amonia liase
(tirase) sering berkaitan dengan FAL dan tidak pernah diperoleh tanpa FAL,
walaupun hal yang sebaliknya sering terjadi. Hidroksilasi cincin aromatik harus
terjadi pada beberapa titik dalam jalur ini, tetapi tempat titik yang pasti belum
diketahui. Dari segi enzim, hidroksilasi awal asam sinamat menjadi asam o-kumarat
atau p-kumarat dikatalisis oleh sistem P-450 mikrosom dan hal ini diduga sebagai
tahap penentu laju pada biosintesis fenilpropanoid. Hidroksilasi cincin tambahan
dapat pula terjadi akibat kerja oksigenase P-450, tetapi hidroksilasi kedua yang
mengubah asam p-kumarat menjadi asam kafeat dikatalisis oleh fenol oksidase yang
khas untuk reaksi ini. Hidroksilasi asam p-kumarat menjadi asam kafeat dapat
menggunakan ester atau tioester CoA sebagai substrat sesungguhnya dan bukan
asam.

Gambar 7 Senyawa aromatik berasal dari asam 5-dehidrokuinat (Robinson, 1991).


18

Gambar 8 Senyawa aromatik berasal dari asam p-kumarat (Robinson, 1991).


Pembentukan turunan CoA mendahului pengesteran awal asam sinamat tetapi
begitu senyawa ester terbentuk berbagai reaksi pengesteran lintas dapat membentuk
ester lain tanpa perantaraan turunan CoA. Reduksi asam sinamat menjadi alkohol
yang sesuai terjadi melalui turunan CoA juga.
Pada pembentukan lignan, terjadi penggandengan awal secara oksidasi dua
satuan fenilfropanoid (seperti koniferil alkohol) diikuti oleh substitusi tambahan
pada cincin. Oleh karena itu, struktur lignin yang lengkap belum diketahui,
mekanisme pembentukan secara tepat tidak dapat ditunjukkan. Robinson (1991)
mengemukakan bahwa tahap pertama ialah penghilangan atom hidrogen fenol dari
koniferil alkohol secara enzimatik menghasilkan radikal bebas yang dapat
mengalami tata ulang non enzimatik dan bereaksi dengan molekul lain. Mula-mula
membentuk senyawa dimer (lignan adalah salah satu jenis dari dimer senyawa itu)
dan akhirnya membentuk lignin.

Pengaruh Cahaya, Air dan Unsur Hara


Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui manipulasi
faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Gould dan Lister (2006)
19

mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada tanaman yang


mengalami cekaman cahaya. Naungan merupakan salah satu bentuk stress cahaya
rendah. Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap
menurunnya pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagaai
metabolisme tanaman telah terdokumentasi cukup baik pada beberapa tanaman.
Defisit cahaya pada padi gogo menyebabkan respon metabolisme terganggu, yang
berimplikasi pada menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chozin et
al. 2000). Naungan menyebabkan menurunnya pertumbuhan dan produksi padi gogo
(Supriyono et al. 2000). Padi gogo yang ditanam di bawah pohon karet berumur 3
tahun ( 50% naungan) hasil bijinya berkisar 5-55% dari tanaman kontrol,
sedangkan pada naungan pohon karet umur 4 tahun berkisar antara 5-35% dari
kontrol. Sejalan dengan hasil penelitian Sopandie et al. (2003) pada tanaman padi
gogo yang mendapatkan adanya perbedaan morfologi daun tanaman dan kandungan
klorofil a, b serta nisbah klorofil a/b antara tanaman yang toleran dan peka terhadap
naungan. Luas daun genotipe padi gogo toleran naungan lebih tinggi dibandingkan
dengan genotipe yang peka, tetapi ketebalan daun, ketebalan mesofil dan kerapatan
stomata lebih rendah. Nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran dan peka terjadi
penurunan pada naungan 50% dibandingkan dengan kontrol, namun penurunan yang
tertinggi terjadi pada genotipe peka. Chozin et al. (2000) menyatakan daun tanaman
yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal
terbuka, disebabkan oleh pengurangan jumlah lapisan palisade dan sel-sel mesofil.
Pada tanaman kedelai. Pemberian naungan 35% menurunkan hasil 2-56% (Asadi et
al. 1997). Naungan 50% menyebabkan terjadinya penurunan pada jumlah polong,
jumlah polong bernas dan jumlah polong hampa lebih rendah pada kedelai toleran
naungan dibandingkan dengan yang peka (Elfarisna 2000). Pada kebanyakan
tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung
kepada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya.
Pada tanaman obat seperti pegagan, naungan 25% menghasilkan kandungan
flavonoid, steroid dan triterpenoid yang cukup tinggi sedangkan pada naungan 55-
75% kandungan tiga metabolit sekunder tersebut mengalami penurunan
(Rachmawaty 2004). Pada kedelai pigmen antosianin meningkat pada persentase
naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al. 2006), daun jinten menghasilkan
20

kadar fumarat dan fanilat tertinggi pada naungan 75% (Urnemi et al. 2002),
sedangkan beberapa klon daun dewa yang ditumbuhkan pada kondisi 100% cahaya
menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006).
Peningkatan kandungan flavonoid akan semakin tinggi apabila diikuti dengan
terjadinya cekaman air. Hal ini merupakan mekanisme sistem pertahanan tanaman
terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dengan mengeluarkan senyawa
metabolit sekunder (Vickery dan Vickery 1981; Gould dan Lister 2006). Rahardjo et
al. (1999) mendapatkan terjadinya peningkatan asam asiatikosida pada pegagan
dengan adanya perlakuan cekaman air 60% kapasitas lapang atau tingkat kekeringan
40%. Penelitian terhadap penggunaan Polietilen Glikol (PEG) menunjukkan gejala
yang terjadi akibat adanya cekaman air pada tanaman. PEG merupakan kimia
organik yang dapat digunakan sebagai osmotikum dan menyebabkan cekaman air
pada tanaman. Pemberian PEG akan menghambat penyerapan air sehingga kalus
atau akar rambut mengalami cekaman. Kekurangan air akan menginduksi protein
mengkode gen-gen pembentuk enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder.
Dengan meningkatnya kandungan enzim dalam jaringan tanaman maka diharapkan
kandungan metabolisme dapat meningkat pula. Aktivitas enzim dipengaruhi antara
lain oleh adanya prekusor senyawa yang bersangkutan dan akumulasi produk
metabolisme sekunder tersebut (Ernawati 1992). Bozhkov dan Arnold (1998)
menyebutkan bahwa gejala spesifik yang terjadi akibat cekaman air adalah
berkurangnya kemampuan pembesaran sel sehingga ukuran sel menjadi kecil,
komposisi dinding sel berubah yaitu terjadinya penurunan perbandingan selulosa dan
hemiselulosa dan mempengaruhi akumulasi bahan metabolisme primer maupun
metabolisme sekunder dalam sel tanaman.
Pupuk anorganik (NPK) dapat menyediakan unsur hara tersedia langsung
bagi tanaman. Sedangkan pupuk kandang sebagai pupuk organik dapat memperbaiki
sifat fisik dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik memberikan bagian
yang terbesar untuk lokasi pertukaran kation di dalam tanah dengan kapasitas buffer
bahan organik yang rendah (Babbar dan Zak 1994). Pupuk organik yang banyak
digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang. Penggunaan pupuk
kandang dapat menjadi sumber bahan organik yang membantu dalam pembentukan
struktur tanah dan pembentukan humus (Laegreid et al. 1999). Oades (1984)
21

menambahkan bahwa disamping sebagai sumber bahan organik, pupuk kandang


dapat mendorong agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi terjadi melalui
pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur
maupun melalui akar. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam memiliki
kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang yang berasal
dari kotoran hewan lainnya.
Penelitian pada tanaman daun dewa menunjukkan pemberian dosis pupuk
kandang ayam 100g + SO4 0.8 g tanaman-1 menghasilkan pertumbuhan tanaman,
serapan hara NPK dan SO4, produksi flavonoid dan antosianin per tanaman tertinggi
dibanding tanpa pemupukan, sedangkan produksi kuersetin tertinggi diperoleh pada
pemberian pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4 g tanaman-1 (Nirwan et al. 2007).
Sedangkan pada tanaman kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.)
menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan kandungan total bahan bioaktif
kualitatif flavonoid, steroid, saponin dan tanin pada daun dan umbi dengan semakin
tinggi dosis pupuk kandang ayam yang diberikan (Susanti et al. 2007). Hasil
Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan produksi antosianin kolesom
dipengaruhi oleh pemupukan. Pemupukan yang memberikan antosianin yang
tertinggi dengan media tanah dan pupuk kandang adalah NK (100 kg urea ha-1 dan
100 kg KCl ha-1), dimana kalium merupakan faktor pembatas pada produksi
antosianin.
22
23

EKSPLORASI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN


MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) DI KABUPATEN
BANGKALAN DAN GRESIK PROPINSI JAWA TIMUR

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis pendapat
masyarakat tentang keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman
obat, (2) mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi yang dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplorasi meniran di Kabupaten
Bangkalan dan Gresik mendapatkan 13 aksesi yang terdiri dari 6 meniran hijau
(Phyllanthus niruri L.) asal Bangkalan, 6 meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal
Gresik dan 1 meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan. Masyarakat
telah mengenal dan memanfaatkan tanaman meniran sebagai obat diuretik, obat
penurun panas, sakit gigi dan perawatan setelah persalinan. Diameter batang, jumlah
cabang, bobot basah total dan jumlah daun berpengaruh langsung dan dapat
dijadikan sebagai karakter untuk seleksi terhadap produksi biomassa kering. Dari 6
karakter yang diamati, tidak satupun karakter yang dapat digunakan sebagai karakter
seleksi terhadap kandungan flavonoid. Aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.)
asal Bangkalan (A6) dan asal Gresik (A7) dipilih sebagai aksesi berpotensi
mempunyai produksi biomassa tinggi. Sedangkan meniran merah (Phyllanthus
urinaria L.) asal Bangkalan (A13) dipilih sebagai aksesi berpotensi mempunyai
kandungan flavonoid tinggi.
Kata kunci : eksplorasi, flavonoid, seleksi, aksesi, karakter

Abstract
The objectives of this research were (1) to identify and analyze public
opinion which is the existence and used of plant Phyllanthus as medicinal plants (2)
to identify and analyze the morphological characters that can be used as selection
criteria of biomass production and its high flavonoid. The results of the research
show that Phyllanthus exploration in Bangkalan and Gresik acquire 13 accessions
including 6 green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan, 6 green meniran
(Phyllanthus niruri L.) from Gresik and 1 red meniran (Phyllanthus urinaria L.)
from Bangkalan. The community has been known and used this plant as drugs for
diuretic, febrifuge, toothache and treatment after childbirth. Stem diameter, number
of branches, total wet weight and number of leaves were direct influences and can be
used as characters for selection the production of dry biomass. The six characters
were observed but neither of them ca be use as a selection character for the
flavonoid. Accession green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan (A6)
and from Gresik (A7) were selected as the accession potentially had high biomass
production. The red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan (A13) was
selected as the accession potentially had high flavonoid .
Keywords: exploration, flavonoids, selection, accession, character
24

Pendahuluan
Meniran telah digunakan secara turun temurun dalam menyembuhkan
berbagai penyakit di Indonesia. Pengobatan penyakit malaria, sariawan, diare
sampai nyeri ginjal banyak menggunakan herba meniran. Pemanfaatan meniran
untuk mengobati demam dan sebagai peluruh air seni (diuretik) banyak dilakukan di
Thailand. Dalam pengobatan tradisional India, meniran digunakan untuk pengobatan
penyakit kuning (jaundice), diabetes, gangguan pada kulit dan gangguan menstruasi
(Soerjani et al. 1987; Heyne 1987; Sulaksana dan Jayusman 2004). Efek pengobatan
yang dimiliki oleh tanaman ini antara lain disebabkan oleh adanya senyawa bioaktif
seperti flavonoid, lignan, alkaloid, triterpenoid, tanin dan asam lemak yang
terkandung di dalamnya.
Eksplorasi terhadap tanaman obat unggulan telah dilakukan oleh Pusat Studi
Biofarmaka bekerjasama dengan BPOM terhadap daerah sentra produksi tanaman
obat di Indonesia. Jawa Timur termasuk dalam daerah sentra tanaman obat
mengingat kapasitas daerah dalam menghasilkan komoditas tanaman obat yang
termasuk dalam kelompok unggulan.
Eksplorasi terhadap tanaman meniran yang tumbuh secara liar di alam
dilakukan untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan kondisi agrobiofisik
dan sampel tanaman di lapangan. Data ini dapat digunakan sebagai data pembanding
untuk menyusun kegiatan budidaya pada tahapan selanjutnya. Ghulamahdi (2003)
menyatakan bahwa untuk berproduksi tinggi maka budidaya tanaman obat harus
dilakukan di tempat yang lingkungannya cocok untuk kebutuhan spesies tersebut.
Adapun kondisi lingkungan yang diperlukan untuk masing-masing spesies dapat
dilihat dari tempat asal spesies tersebut ditemukan. Pengetahuan mengenai
taksonomi berupa pengelompokan jenis spesies dalam famili akan sangat membantu
cara perbaikan dan budidaya spesies tersebut. Hal ini yang mendasari penyusunan
perbaikan cara pembiakan, budidaya, peningkatan produksi per satuan luas dan
peningkatan kandungaan bioaktif tanaman.
Langkah awal dalam kegiatan pemuliaan untuk perbaikan genetik adalah
memiliki koleksi plasma nutfah dengan keragaman genetik yang tinggi. Belum ada
informasi yang lengkap tentang data karakterisasi dan hubungan kekerabatan antar
aksesi meniran yang ada di alam maupun yang telah dibudidayakan .
25

Karakterisasi dilakukan untuk mendapatkan data sifat atau karakter morfo-


agronomis (deskripsi morfologi dasar) dari aksesi plasma nutfah. Dari data
karakterisasi dapat dibedakan dengan cepat dan mudah fenotipe dari setiap aksesi
dan jumlah aksesi yang sebenarnya untuk menghindari adanya duplikasi dalam
rangka mengurangi biaya pemeliharaan koleksi.
Pada tanaman meniran, produksi biomassa dan kandungan bioaktif
merupakan faktor penting yang menentukan produktivitas tanaman meniran sebagai
tanaman obat secara keseluruhan. Untuk meningkatkan produktivitas meniran perlu
diketahui komponen pertumbuhan yang dapat digunakaan sebagai kriteria seleksi
dengan cara memilih karakter yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi
biomassa dan kandungan bioaktifnya. Pengetahuan mengenai korelasi antar
komponen pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif sangat
diperlukan untuk menentukan kriteria seleksi tidak langsung terhadap produksi
biomassa dan kandungan bioaktifnya. Hubungan yang dinyatakan dengan korelasi
sederhana seringkali mengakibatkan diperolehnya informasi yang semu disebabkan
adanya interaksi yang akan menutup pola hubungan yang sebenarnya.
Analisis lintas (path analysis) dapat digunakan untuk mengatasi masalah
dimana masing-masing sifat yang dikorelasikan dengan produksi biomassa maupun
dengan produksi bioaktif dapat diuraikan menjadi pengaruh langsung dan tidak
langsung. Penggunaan analisis korelasi dan sidik lintas untuk mempelajari keeratan
hubungan antar komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil serta untuk
pengembangan kriteria seleksi telah banyak dilakukan. Martono et al. (2010)
menggunakan analisis korelasi dan analisis lintas untuk mempelajari keeratan
hubungan antara komponen pertumbuhan dengan produksi terna dan asiatikosida
pada pegagan. Ganefianti et al. (2006) pada tanaman cabe, Mursito (2003), Wirnas et
al. (2006) pada kedelai, Nasution (2008) pada tanaman nenas dan Sinaga (2008)
pada tanaman manggis.
Hubungan kekerabatan antar aksesi dapat memberikan informasi tentang ciri
khas karakter dari tiap kelompok aksesi yang terbentuk. Informasi ini dapat
digunakan sebagai rekomendasi untuk menentukan aksesi potensial yang dapat
dikembangkan lebih lanjut. Penelitian yang mempelajari seberapa kuat hubungan
26

antara karakter morfologi meniran belum terungkap. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis
pendapat masyarakat tentang keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai
tanaman obat, (2) mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi yang dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang
tinggi.
Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian


Eksplorasi dilakukan pada bulan September 2006 sampai dengan Januari
2007 di dua lokasi di Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Gresik. Pada setiap kabupaten diambil tiga kecamatan dan selanjutnya
dipilih enam desa berdasarkan ketinggian tempat dan tipe lahan yang berbeda (Tabel
1).

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah enam aksesi
meniran hijau asal Bangkalan, enam aksesi meniran hijau asala Gresik dan satu
aksesi meniran merah asal Bangkalan, satu set bahan kimia untuk analisis tanah, dan
analisis kandungan bioaktif tanaman. Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan
survei lapangan, data primer dan sekunder, peralatan analisis tanah dan peralatan
analisis kandungan bioaktif tanaman.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode eksplorasi (survei) yaitu dengan cara
mengamati morfologi meniran di lapangan, pengamatan anatomi di laboratorium dan
analisis kandungan bioaktif di laboratorium. Tanaman yang dijadikan sampel adalah
tanaman yang telah memasuki fase generatif yang ditandai dengan adanya bunga dan
buah. Selama kegiatan eksplorasi berlangsung dilakukan kegiatan pengambilan data
dari penduduk setempat dalam bentuk kuisioner. Penentuan responden dilakukan
secara acak di tempat pengambilan sampel tanaman. Masing-masing titik diambil 10
27

orang responden sehingga secara keseluruhan terdapat 120 orang responden. Data
dan informasi yang dibutuhkan meliputi :
1. Data primer berupa data tanaman, lingkungan dan data kuisioner, diperoleh
melalui penelitian lapangan berupa inventarisasi dan identifikasi aksesi
meniran dan pendapat setiap responden dengan menggunakan kuisioner yang
telah dipersiapkan dan wawancara mendalam terhadap setiap responden
untuk pertanyaan yang memerlukaan keterangan yang lebih luas.
2. Data sekunder, diperoleh dari berbagai sumber antara lain Instansi
pemerintah daerah seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan,
Biro Pusat Statistik, Badan Meteorologi dan Geofisika, dan bahan pustaka
lainnya yang mendukung penelitian.

Pelaksanaan
Kegiatan dimulai dengan cara menentukan lokasi Kabupaten Bangkalan dan
Gresik secara sengaja. Setiap tempat yang dijadikan titik pengamatan ditemukan
minimal 10 tanaman meniran per kuadran (50 cm x 50 cm). Dilakukan pengamatan
dan pengambilan sampel tanaman, sampel tanah dan pengisian kuisioner.
Pengamatan
1. Pengumpulan data berupa pendapat masyarakat dilakukan secara langsung di
lapangan.
2. Pengamatan terhadap kartakter morfologi tanaman meliputi :
(1). Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk
tanaman.
(2). Jumlah daun majemuk, dihitung apabila daun telah membuka sempurna
(3). Jumlah cabang, dihitung cabang yang terbentuk dari batang utama, maupun
dari cabang primer.
(4). Diameter batang (mm), dilakukan pengukuran panjang diameter pada sisi
tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital.
(5). Produksi biomassa basah total (g), didapat dengan cara menimbang dengan
timbangan neraca analitik seluruh tanaman.
(6). Produksi biomassa kering total (g), didapat dengan cara menimbang dengan
timbangan neraca analitik seluruh bagian tanaman yang telah dioven pada
suhu 105oC selama 24 jam.
28

(7). Analisis fitokimia kandungan flavonoid (pengamatan secara kualitatif).


Pembuatan ekstrak : 5 g sampel kering yang sudah dihaluskan direndam
dalam aquades, dipanaskan selama 5 menit, kemudian disaring sehingga
didapatkan filtrat. Filtrat ditambah serbuk Mg, HCl pekat dan amil alkohol.
Apabila dihasilkan warna jingga menunjukkan positif flavonoid. Kriteria
penilaian, 3+ = kuat, 2+ = sedang, 1+ = lemah.
3. Pengamatan terhadap tanah meliputi : pengambilan data sekunder pada instansi
terkait dan pengambilan sampel tanah komposit untuk analisis kandungan air
tanah, dan keasaman tanah (pH) di Laboratorium Fisika Tanah Departemen
Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
4. Pengukuran intensitas cahaya (naungan) yang diterima meniran yang berada di
bawah tanaman lain, dilakukan dengan menggunakan Light Meter.
Analisis Data
Data berupa pendapat masyarakat dihitung berdasarkan persentase jawaban
kuisioner terhadap jumlah responden secara keseluruhan. Data tanaman meniran
dianalisis dengan menggunakan analisis lintas, analisis komponen utama dan analisis
gerombol.
Analisis lintas. Sebelumnya dilakukan analisis korelasi sederhana antar
karakter yang diamati dengan bantuan program SAS versi 9.1. Masing-masing
koefisien korelasi diuji pada taraf 0.05 atau 0.01 (Gomez dan Gomez 1995;Mattjik
dan Sumertajaya 2002).
Besarnya koefisien korelasi (rij) antara peubah x dan y dapat dihitung dengan
rumus :

Selanjutnya dilakukan analisis lintas (path analysis) untuk mengetahui


pengaruh langsung dan tidak langsung dari karakter morfologi, produksi biomassa
dan kandungan flavonoid meniran dengan menggunakan metode aljabar matriks
menurut Singh dan Chaudhary 1979. Pengolahan data dibantu oleh program SAS
versi 9.1.
29

Berdasarkan persamaan diatas, nilai Ci (pengaruh langsung) dapat dihitung


menggunakan rumus sebagai berikut (Gaspersz 1995) :

Dimana :
Rx = matriks korelasi antar peubah; Rx-1 = invers matriks Rx
Ci = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah
bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas.
Ry = vektor koefisien korelasi antar peubah bebas Xi (i=1,2,.. p) dengan peubah tak
bebas Y
Menurut Hutagalung (1998), koefisien lintas yang kurang dari 0.05 dapat
diabaikan. Apabila nilai korelasi antar faktor penyebab dan akibat hampir sama
besarnya dengan pengaruh langsungnya (perbedaannya tidak lebih dari 0.05) maka
koefisien tersebut menjelaskan hubungan yang sebenarnya dan seleksi langsung
terhadap variabel tersebut akan sangat efektif.
30

Hasil dan Pembahasan


Eksplorasi
Berdasarkan kapasitas daerah dalam menghasilkan komoditas tanaman obat
yang termasuk dalam kelompok unggulan, Jawa Timur termasuk daerah sentra
tanaman obat di Indonesia.

Tabel 1 Daftar aksesi meniran beserta asal-usulnya yang diperoleh dari hasil
eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur.

Jenis meniran Nomor Asal-usul


aksesi Lokasi Habitat Ketinggian
(kabupaten) tempat
(m dpl)
Meniran hijau
A1 Bangkalan Kebun naungan 18
mangga
A2 Bangkalan Tegalan terbuka 86
A3 Bangkalan Tegalan terbuka 57
A4 Bangkalan Tegalan terbuka 72
A5 Bangkalan Pekarangan terbuka 74
A6 Bangkalan Pekarangan terbuka 27
A7 Gresik Tegalan terbuka 5
A8 Gresik Tegalan terbuka 1
A9 Gresik Kebun naungan 2
mangga
A10 Gresik Kebun naungan 4
mangga, pisang
A11 Gresik Kebun naungan 13
pisang
A12 Gresik Tegalan terbuka 10
Meniran merah
A13 Bangkalan Tegalan terbuka 27

Dari observasi pada 13 titik pengamatan didapatkan 12 aksesi meniran hijau


asal Bangkalan dan Gresik dan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan.
Keadaan Umum Propinsi Jawa Timur
Propinsi Jawa Timur terletak pada 110o54 BT sampai 115o57 BT 5o 371 LS
sampai 8o48 LS. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur
31

berbatasan dengan Laut Bali dan Selat Bali, sebelah barat berbatasan dengan
Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasaan dengan Samudera Hindia.
Berdasarkan karakteristik tinggi tempat diatas permukaan laut (dpl), Jawa
Timur terbagi atas 3 kelompok wilayah yaitu :
1. 0 500 m dpl meliputi 83% dari luas wilayah dan morfologinya relatif datar.
2. 500 1000 m dpl meliputi sekitar 11% dari luas wilayah dengan morfologi
berbukit dan bergunung-gunung.
3. 1000 m dpl meliputi sekitar 6% dari luas wilayah dengan morfologi terjal.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, 52% wilayah mempunyai
iklim tipe D. Keadaan suhu maksimum rata-rata mencapai 33oC sedangkan suhu
minimum rata-rata mencapai 22oC. Keadaan curah hujan pertahun mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Kurang dari 1750 mm per tahun meliputi 35.54% wilayah
2. 1750 sampai dengan 2000 mm per tahun meliputi 44.00% wilayah
3. Lebih dari 2000 mm per tahun meliputi 20.46%

Kabupaten Bangkalan
Kabupaten Bangkalan terletak diantara koordinat 6o51397o1139
Lintang Selatan dan 112o4006 113o0804 Bujur Timur mempunyai luas areal
kurang lebih sebesar 126 014 km2 terdiri dari 18 kecamatan yaitu Kecamatan Kamal,
Labang, Kwanyar, Modung, Blega, Konang, Galis, Tanah Merah, Tragah, Socah,
Bangkalan, Burneh, Arosbaya, Geger, Kokop, Tanjung Bumi, Sepulu dan Klampis.
Kabupaten Bangkalan berada pada ketinggian 2100 m di atas permukaan
laut. Wilayah yang terketak di pesisir pantai, seperti Kecamatan Sepulu, Bangkalan,
Socah, Kamal, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, Tanjung Bumi, Labang dan
Kecamatan Burneh mempunyai ketinggian antara 210 m di atas permukaan laut.
Sedangkan wilayah yang terletak di bagian tengah mempunyai ketinggian antara 19
100 m di atas permukaan laut, tertinggi adalah kecematan Geger dengan ketinggian
100 m diatas permukaan laut.
32

A13

Gambar 9 Peta Kabupaten Bangkalan dan letak lokasi pengambilan sampel (Sumber
: Bangkalan dalam Angka, 2008).

Tanah di Kabupaten Bangkalan sebagian besar memiliki kemiringan 215 %


yaitu sekitar 50.45% atau 63 002 hektar dan kemiringan 02 % sekitar 45.43% atau
56 738 hektar. Apabila dilihat dari tekstur tanahnya maka sebagian besar bertekstur
sedang yaitu seluas 116 267 hektar atau sekitar 93.10%. Berdasarkan kedalaman
spektip tanahnya maka persentase terbesar adalah tanah yang kedalamannya 90 cm
yaitu sekitar 64 131 hektar atau 51.35%. Tata guna lahan daerah Kabupaten
Bangkalan terbagi menjadi dua yaitu : lahan basah yang meliputi sawah, waduk rawa
dan tambak dan lahan kering yang terdiri dari pemukiman, tegalan, kebun, hutan dan
lain- lain.
33

Tabel 2 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi
pengambilan sampel di Kabupaten Bangkalan
No. Iklim Kadar air tanah Keasaman
Aksesi Suhu Kelembaban Intensitas cahaya (%) tanah
(oC) (%) (fc) (pH H20)
A1 28 56 185 6.64 8.30
A2 31 32 872 2.78 7.73
A3 32 36 984 2.48 7.97
A4 34 31 875 12.17 8.22
A5 32 39 500 3.28 8.10
A6 31 45 545 30.88 8.00
A13 31 45 650 30.25 8.00
Keterangan : A1-A6= meniran hijau asal Bangkalan, A13 : meniran merah asal Bangkalan, suhu dan
kelembaban : diukur pada waktu pengambilan sampel, kadar air tanah dan pH H20 :
hasil analisis di Laboratorium fisikadan kimia tanah Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan IPB.

Kabupaten Bangkalan mempunyai iklim tipe Monsoon dengan dua musim


yaitu hujan yang berlangsung antara bulan NopemberApril dan Kemarau antara
bulan MeiOktober. Kondisi topografi, disamping angin Monsoon sangat
mempengaruhi besarnya curah hujan, semakin tinggi letaknya di atas permukaan laut
semakin besar pula curah hujannya bila dibandingkan dengan daerah dataran.
Bagian tengah berupa perbukitan dan gunung, curah hujannya jauh lebih besar
daripada curah hujan di dataran yang merupakan pantai, baik di bagian utara maupun
di bagian selatan. Di daerah perbukitan curah hujan bahkan > 2000 mm per tahun
yang memberikan kontribusi yang besar terhadap resapan air kedalam tanah.
Sedangkan di daerah pantai curah hujan berkisar antara 5001000 mm per tahun.
Kabupaten Gresik
Kabupaten Gresik berada antara 7o dan 8o Lintang Selatan dan antara 112o
dan 113o Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di
bagian utara (Kecamatan Panceng) mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas
permukaan laut.
34

Tabel 3 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi
pengambilan sampel di Kabupaten Gresik
Lokasi Iklim Kadar air tanah Keasaman
Aksesi Suhu Kelembaban Intensitas cahaya (%) tanah
(oC) (%) (fc) (pH H20)
A7 30 52 811 7.73 8.19
A8 31 45 855 13.97 8.04
A9 33 42 145 11.43 7.77
A10 31 45 155 35.07 7.88
A11 32 42 150 12.22 7.99
A12 32 39 600 24.16 8.17
Keterangan : A7-A12 : meniran hijau asal Gresik, Suhu dan Kelembaban : diukur pada waktu
pengambilan sampel, kadar air tanah dan pH H20 : hasil analisis di Laboratorium fisika
dan kimia tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.

Bagian Utara Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian Timur
dibatasi oleh Selat Madura dan Kota Surabaya, bagian Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sementara bagian Barat berbatasan
dengan Kabupaten Lamongan.
Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Gresik terdiri dari jenis Aluvial,
Grumusol, Mediteran Merah dan Litosol. Curah hujan di Kabupaten Gresik adalah
relatif rendah, yaitu rata-rata 2000 mm per tahun sehingga hampir setiap tahun
mengalami musim kering yang panjang.
35

A7
A9

Gambar 10 Peta Kabupaten Gresik dan letak lokasi pengambilan sampel (Sumber :
Gresik dalam Angka, 2008).
Berdasarkan ciri-ciri fisik tanahnya, Kabupaten Gresik dapat dibagi menjadi
4 (empat) bagian yaitu:
1. Kabupaten Gresik Bagian Utara meliputi wilayah Panceng, Ujung Pangkah,
Sidayu, Bungah, Dukun, Manyar adalah bagian dari daerah pegunungan
Kapur Utara yang memiliki tanah relatif kurang subur (wilayah Kecamatan
Panceng). Sebagian dari daerah ini adalah daerah hilir aliran Bengawan Solo
yang bermuara di pantai Utara Kabupaten Gresik (Kecamatan Ujung
pangkah). Daerah hilir Bengawan solo tersebut sangat potensial karena
mampu menciptakan lahan yang cocok untuk permukiman maupun usaha
pertambakan. Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini cukup potensial
36

terutama dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C. Kondisi


tanah tidak termasuk Pulau Bawean
2. Kabupaten Gresik Bagian Tengah meliputi wilayah : Duduk Sampeyan,
Balong Panggang, Benjeng, Cerme, Gresik, Kebomas merupakan kawasan
dengan tanah relatif subur. Wilayah ini mempunyai sungai-sungai kecil
antara lain Kali Lamong, Kali Corong, Kali Manyar sehingga di bagian
tengah wilayah ini merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan
pertambakan.
3. Kabupaten Gresik Bagian Selatan meliputi Menganti, Kedamean, Driyorejo
dan Wringin Anom adalah merupakan sebagian dataran rendah yang cukup
subur dan sebagian merupakan daerah bukit-bukit (Gunung Kendeng).
Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini diduga cukup potensial terutama
dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C, bahan galian yang
bukan strategis dan juga bukan vital seperti batu kapur, posphat, dolomit,
batu bintang, tanah liat, pasir dan bahan galian lainnya. Sebagian dari bahan
golongan C ini telah diusahakan dengan baik, dan sebagian lainnya masih
dalam taraf eksplorasi.
4. Kabupaten Gresik Wilayah Kepulauan Bawean dan pulau kecil sekitarnya
yang meliputi wilayah Kecamatan Sangkapura dan Tambak berpusat di
Sangkapura.

Pengetahuan dan Pemanfaatan Tanaman Meniran Sebagai Tanaman Obat


Berdasarkan data hasil survei (Tabel 4) diketahui bahwa sebagian besar
(81.67%) masyarakat di Kabupaten Bangkalan dan Gresik sudah mengenal dan
memanfaatkan tanaman meniran, hanya 18.33% yang belum mengenal dan
mengetahui manfaat tanaman meniran sebagai tanaman yang berpotensi sebagai
tanaman obat.
37

Tabel 4 Uraian deskripsi informasi masyarakat tentang tanaman meniran


No. Informasi Masyarakat Jawaban Jumlah
(frekuensi) (%)
1. Mengenal tanaman meniran Mengenal 98 (81.67)
Tidak mengenal 22 (18.33)

2. Nama yang diketahui Meneran, memeniran 50 (41.67)


Meniran 48 (40)

3. Mengambil tanaman Dari alam 98 (81.67)


Budidaya 0 (0%)

4. Bagian yang digunakan untuk Seluruh tanaman 98 (81.67)


pengobatan
Daun 56 (46.67)

5. Cara memanen tanaman Mencabut seluruh bagian


tanaman 98 (81.67)
Memetik daun 56 (46.67)

6. Penyakit yang diobati Susah buang air kecil 75(62.50)


Sakit gigi 45(37.50)
Panas karena demam 65(54.17)
Perawatan persalinan 25(20.83)

Perbedaan dalam menyebutkan nama tanaman hanya disebabkan kebiasaan


dalam pengucapan yang berbeda dimana di Kabupaten Bangkalan dikenal sebagai
meneran atau memeniran, sedangkan di Gresik mengenal dengan sebutan meniran.
Masyarakat yang mengenal meniran di dua kabupaten (81.67%), sebagian besar
masih mengambil tanaman meniran dari alam dan belum ditemukan masyarakat
yang membudidayakannya. Yang menarik (hasil wawancara mendalam) masyarakat
38

telah mengetahui siklus hidup tanaman meniran sehingga mereka mengambil dengan
cara rotasi atau bergiliran antara tempat satu dengan tempat lainnya.
Masyarakat menggunakan dua cara pengambilan tanaman. Pengambilan
seluruh bagian tanaman dengan cara mencabut seluruh bagian tanaman dari bagian
akar hingga bagian ujung daun (81.67%). Sedangkan 46.67 % menggunakan hanya
bagian daun saja dengan cara memetik sejumlah daun yang akan digunakan untuk
mengobati penyakit.
Beberapa penyakit biasa diobati dengan menggunakan tanaman meniran.
Untuk penyakit susah buang air kecil dan panas karena demam biasanya masyarakat
merebus seluruh bagian tanaman dari akar hingga pucuk tanaman. Air rebusan
diminum sampai gejala berkurang. Selain itu untuk sakit gigi dan penyembuhan
sehabis persalinan menggunakan daun meniran yang dicampur dengan beberapa
tanaman obat lainnya.
Hasil survei menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dimana tanaman meniran berada sebagai
tanaman obat. Pengetahuan tentang manfaat tanaman didapat secara turun temurun
dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung untuk
menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di
masyarakat mengingat keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan
secara terus menerus tanpa ada kegiatan pembudidayaan tanaman.

Korelasi fenotipik dan sidik lintas keragaman morfologi 13 aksesi meniran


Aksesi meniran menunjukkan variasi yang besar dalam beberapa karakter
morfologi. Pada Tabel 5 dapat dilihat rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
cabang, bobot basah total, bobot kering total dan kandungan flavonoid 13 aksesi
meniran.
Uji korelasi antar karakter dilakukan terhadap tujuh karakter komponen
pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang diduga saling
berkorelasi. Koefien korelasi antar karakter ditunjukkan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6 terlihat bahwa tinggi tanaman (X1), jumlah daun (X2), jumlah
cabang (X3), diameter batang (X4) dan bobot basah total (X5) mempunyai korelasi
positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masing-masing dengan nilai r1y =
39

0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa
apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter tersebut maka produksi biomassa
kering akan meningkat.

Tabel 5 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah cabang, bobot
basah total, bobot kering total dan kandungan flavonoid 13 aksesi meniran
Aksesi TT JD JC DB BBT BKT Flavonoid
(cm) (mm) (g) (g)
1. 37.80 66.00 16.40 4.20 19.30 2.90 3.00
2. 48.20 85.60 18.40 5.10 20.30 3.20 2.00
3. 34.60 64.80 15.20 4.80 19.40 2.70 2.00
4. 29.90 65.60 14.20 3.20 18.32 2.30 3.00
5. 29.40 66.60 14.80 3.60 18.32 2.30 2.00
6. 60.20 104.2 20.20 6.40 21.50 4.30 3.00
7. 64.60 102.2 20.50 6.40 21.00 4.20 3.00
8. 50.80 72.60 20.60 4.60 19.80 2.80 1.00
9. 51.00 68.40 20.90 3.60 19.20 2.60 2.00
10. 61.80 104.4 18.40 6.40 20.80 3.50 2.00
11. 60.20 104.8 20.20 6.40 20.20 3.20 1.00
12. 60.20 100.8 15.20 6.20 20.50 3.20 2.00
13. 20.20 58.20 13.40 2.60 16.20 2.00 3.00
Keterangan : Aksesi 1-6 : meniran hijau asal Bangkalan, Aksesi 7-12 : meniran hijau asal Gresik,
Aksesi 13 : meniran merah asal Bangkalan, TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah
daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang (mm), BBT : bobot basah total (g),
BKT : bobot kering total (g), analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria : 3 = kuat,
2 = sedang, 1 = lemah.

Tabel 6 Koefisien korelasi antar pasangan karakter 13 aksesi meniran


Karakter TT JD JC DB BBT Flavonoid BKT
TT 1 0.900** 0.779** 0.897** 0.909** -0.3007 0.847**
JD 1 0.541 0.945** 0.835** -0.165 0.859**
JC 1 0.549 0.685* -0.363 0.644*
DB 1 0.913** -0.238 0.886**
BBT 1 -0.203 0.903**
Flavonoid 1 0.108
BKT 1
Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang
(mm), BBT : bobot basah total (g), BKT : bobot kering total (g) analisis fitokimia
flavonoid dengan kriteria 3 = kuat, 2 = sedang, 1 = lemah.
40

Produksi biomassa kering yang tinggi disebabkan karena pertambahan tinggi


tanaman yang diikuti dengan semakin banyak cabang, semakin banyak daun dan
semakin besar diameter batang sehingga menghasilkan produksi biomassa basah
yang tinggi. Produksi biomassa basah yang tinggi mengakibatkan bertambahnya
produksi biomassa kering. Hasil ini didukung oleh data hasil korelasi antar pasangan
karakter yang menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman berkorelasi positif sangat
nyata terhadap jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total.
Karakter jumlah daun berkorelasi positif sangat nyata terhadap diameter batang dan
bobot basah total. Karakter diameter batang berkorelasi positif sangat nyata dengan
bobot basah total. Sedangkan karakter kandungan flavonoid berkorelasi negatif
tidak berbeda nyata pada semua karakter yang lain.

Analisis lintas karakter morfologi dan kandungan flavonoid terhadap produksi


biomassa kering
Dalam analisis korelasi diasumsikan bahwa selain kedua karakter yang
dipasangkan, yang lain dianggap konstan. Selain itu analisis korelasi tidak dapat
digunakan untuk menggambarkan besarnya sumbangan dari suatu peubah terhadap
peubah yang lain. Dengan analisis lintas masalah ini dapat diatasi karena masing-
masing sifat yang dikorelasikan dengan hasil dapat diuraikan menjadi pengaruh
langsung dan tidak langsung. Mursito (2003) menyatakan karena banyaknya peubah
yang harus dipertimbangkan dalam matriks korelasi, maka kriteria seleksi tak
langsung menjadi kompleks dan kurang menentu.
Kontribusi setiap karakter terhadap produksi biomassa kering baik langsung
maupun tidak langsung dianalisis melalui analisis lintas. Dari Tabel 7 dan Gambar
11 dapat dilihat bahwa pengaruh langsung terbesar ditunjukkan oleh karakter
diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89). Diameter batang memiliki pengaruh
langsung yang kuat yang menentukan bobot kering total diikuti oleh karakter jumlah
cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot
basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86).
Tinggi tanaman mempunyai hubungan langsung yang bernilai negatif. Jika
koefisien korelasi bernilai positif tetapi pengaruh langsungnya negatif maka
pengaruh tidak langsung menjadi penyebab korelasi. Dengan demikian semua
variabel bebas harus diperhatikan dan diperhitungkan secara serempak.
41

Hasil analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa


karakter jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total
mempunyai pengaruh tidak langsung yang negatif, hanya karakter kandungan
flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan tinggi tanaman menyebabkan penurunan pada bobot kering total.
Keadaan ini karena karakter tinggi tanaman pada waktu survei dilakukan sangat
beragam karena umur tanaman yang diambil untuk sampel sangat bervarisi dengan
rentang yang lebar. Karakter kandungan flavonoid tidak dapat digunakan karena
analisis sidik terhadap kandungan flavonoid menunjukkan koefisien korelasi yang
tidak berbeda nyata.

Tabel 7 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung beberapa karakter


morfologi, kandungan flavonoid terhadap bobot kering total (BKT)
Peubah Pengaruh Pengaruh tidak langsung melalui peubah Pengaruh
bebas langsung total
yang (Ci) Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 (rxy)
dibakukan
TT Z1 -0.30 - -0.27 -0.23 -0.27 -0.27 0.09 0.85

JD Z2 0.11 0.10 - 0.06 0.10 0.09 -0.02 0.86

JC Z3 0.41 0.32 0.22 - 0.23 0.28 -0.15 0.64

DB Z4 0.69 0.62 0.65 0.38 - 0.63 -0.16 0.89

BBT Z5 0.26 0.24 0.22 0.18 0.24 - -0.05 0.90

Flavo* Z6 0.40 -0.12 -0.07 -0.15 -0.10 -0.08 - 0.11

Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang
(mm), BBT : bobot basah total (gram), BKT : bobot kering total (gram), flavonoid :
analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria 3=kuat, 2=sedang, 1=lemah.

Analisis lintas yang dibangun dengan menggunakan enam karakter sebagai


karakter bebas mampu menjelaskan ragam produksi biomassa kering sebesar 0.89
atau 89% sedangkan pengaruh karakter lain yang tidak dimasukkan dalam diagram
lintas berupa pengaruh sisaan adalah sebesar 0.11 atau 11% artinya model yang
digunakan sudah dapat menggambarkan hubungan kausal secara keseluruhan.
42

Gambar 11 Diagram lintas karakter tinggi tanaman (X1), jumlah daun majemuk (X2), jumlah cabang (X3), diameter batang (X4),
bobot basah total (X5), kandungan flavonoid berupa data kualitatif (X6) yang berpengaruh terhadap bobot kering total.
43

Analisis lintas karakter morfologi terhadap kandungan flavonoid


Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi
negatif tidak nyata (r1y = -0.30) terhadap kandungan flavonoid. Sedangkan tinggi
tanaman berkorelasi positif dan sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah cabang,
diameter batang, bobot basah total dan bobot basah kering.
Korelasi tidak berbeda nyata terhadap flavonoid juga ditunjukkan oleh
karakter jumlah daun (r2y = -0.16), jumlah cabang (-0.36), diameter batang (-0.24),
bobot basah total (r5y = -0.20) dan bobot basah kering (r6y = 0.11).
Tabel 8 Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter morfologi terhadap
kandungan flavonoid
Peubah Pengaruh Pengaruh tidak langsung melalui peubah Pengaruh
bebas langsung total
yang (Ci) Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 (rxy)
dibakukan
TT Z1 0.60 - 0.54 0.46 0.53 0.54 0.50 -0.30

JD Z2 -0.11 -0.10 - -0.06 -0.10 -0.10 -0.09 -0.16

JC Z3 -1.00 -0.74 -0.52 - -0.52 -0.65 -0.61 -0.36

DB Z4 -1.70 -1.53 -1.61 -0.94 - -1.55 -1.51 -0.24

BBT Z5 -0.48 -0.43 -0.40 -0.33 -0.44 - -0.43 -0.20

BKT Z6 2.25 1.91 1.93 1.45 2.04 2.03 - 0.11

Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang
(mm), BBT : bobot basah total (g), BKT : bobot kering total (g), flavonoid : analisis
fitokimia flavonoid dengan kriteria 3=kuat, 2=sedang, 1=lemah.

Dari Tabel 8 dan Gambar 12 dapat dilihat bahwa pengaruh langsung terbesar
ditunjukkan oleh karakter bobot kering total (C6 = 2.25, r4y = 0.11) diikuti oleh
karakter diameter batang (C4 = -1.70, r4y = -0.24), jumlah cabang (C3 = -1.00, r3y
= -0.36), tinggi tanaman (C1 = 0.60 r2y = -0.30), bobot basah total ( C5 = -0.48, r5y
= -0.20) dan jumlah daun (C2 = -0.11 r2y = -0.16).
Diameter batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan
jumlah daun menunjukkan hubungan langsung yang negatif. Peningkatan diameter
batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun akan menurunkan
44

kandungan flavonoid pada meniran. Dengan demikian karena semua koefisien


korelasi ini positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan genotipe meniran yang
berpotensi memiliki kandungan flavonoid yang tinggi. Penelitian terhadap pegagan
(Martono et al. 2010), menunjukkan tidak ada satupun karakter morfologi yang
berhubungan dengan pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi
untuk mendapatkan kandungan asiatikosida pegagan yang tinggi. Pada penelitian
meniran ini, analisis fitokimia kandungan flavonoid berupa data kualitatif sehingga
belum menggambarkan keberadaan flavonoid sebenarnya.
Analisis lintas yang dibangun dengan menggunakan enam karakter sebagai
karakter bebas dapat menjelaskan ragam sebesar 0.74 atau 74%. Pengaruh faktor
lain yang tidak dimaasukkan dalam diagram lintas adalah sebesar 0.26 atau 26%.
45

Gambar 12 Diagram lintas karakter tinggi tanaman (X1), jumlah daun majemuk (X2), jumlah cabang (X3), diameter batang (X4),
bobot basah total (X5), bobot kering total (X6) yang berpengaruh terhadap kandungan flavonoid.
46

Simpulan

1. Masyarakat di sekitar lokasi eksplorasi telah mengenal dan


memanfaatkan tanaman meniran sebagai tanaman obat sehari-hari.
2. Karakter morfologi yang berkorelasi positif dan nyata terhadap produksi
biomassa kering adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang,
diameter batang dan bobot basah total.
3. Diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun
berpengaruh langsung terhadap produksi biomassa kering dan dapat
dijadikan sebagai karakter untuk seleksi.
4. Dari enam karakter yang diamati, tidak satupun karakter yang dapat
digunakan sebagai karakter seleksi terhadap kandungan flavonoid.
5. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan asal Gresik (A7) dipilih
sebagai aksesi berpotensi mempunyai produksi biomassa tinggi.
Sedangkan meniran merah asal Bangkalan (A13) dipilih sebagai aksesi
berpotensi mempunyai kandungan flavonoid tinggi.
47

ANALISIS KERAGAMAN MORFOLOGI, KANDUNGAN


ANTOSIANIN DAUN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN 13
AKSESI MENIRAN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan menganalisis
kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler (genetik). Sebanyak
13 aksesi meniran yang berasal dari eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan
Gresik dianalisis keragaman genetiknya. Peubah yang diamati menggunakan
penanda morfologi adalah 12 karakter kuantitatif dan 2 karakter kualitatif. Sebanyak
5 primer digunakan dalam analisis RAPD untuk proses amplifikasi DNA. Hasil
analisis komponen utama mendapatkan 2 komponen utama dengan proporsi
keragaman kumulatif sebesar 91.90%. Analisis gerombol berdasarkan karakter
morfologi dan kandungan antosianin pada taraf kesamaan sekitar 100-91.90%
terbentuk 3 kelompok. Pada taraf kesamaan 69.82% terbentuk 2 kelompok utama
yang terdiri dari kelompok A beranggotakan semua aksesi meniran hijau
(Phyllanthus niruri L.) dan kelompok B beranggotakan aksesi meniran merah
(Phyllanthus urinaria L.). Pengelompokan berdasarkan RAPD, pada tingkat
kesamaan 63% terbentuk 2 kelompok utama yang terdiri dari kelompok A
beranggotakan semua aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan kelompok B
beranggotan aksesi meniran merah (Phyllanthus urinaria L.). Berdasarkan
keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan penanda molekuler
terdapat 2 jenis meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik yaitu
meniran hijau dan meniran merah yang membentuk 2 kelompok terdiri dari
kelompok A semua aksesi meniran hijau dan kelompok B satu aksesi meniran
merah.

Kata kunci : morfologi, genetik, RAPD, gerombol, analisis komponen utama

Abstract
The objectives of this research were to identify and analyze the variability
and genetic relationship of 13 accessions of Phyllanthus based on morphological
characters, anthocyanin content and RAPD markers. There were 13 accessions that
come from Phyllanthus exploration in Bangkalan and Gresik that analyzed by its
genetic diversity. The five primers with RAPD analysis. The result of principal
component analysis had two primary components 91.90% cumulative proportion of
diversity. Cluster analysis based on morphological character and anthocyanin content
at the similarity coefficient range from 1.00 0.91 formed three groups. Two
primary group at similarity of coefficient 0.70 : group A consist of all accession
green meniran (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) in
group B. In general, clustering analysis based on RAPD, at similarity of coefficient
0.63 formed two main groups consist of all green meniran (Phyllanthus niruri L.)
accession in group A and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) accession in group
B. Bassed on RAPD markers results of exploration in Bangkalan and Gresik found
two types of meniran, green (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus
48

urinaria L.) by grouping all accession green meniran (Phyllanthus niruri L.) in
group A and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) in group B.

Key words: morphology, genetics, RAPD,clustering, principal component analysis.

Pendahuluan

Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta,


subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili Euphorbiaceae,
genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al 1999). Penyebarannya di seluruh
Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al 1987), Malaysia, India, Peru,
Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003).
Genus Phyllanthus mempunyai lebih dari 600 spesies tetapi yang lebih
dikenal dan biasa digunakan untuk pengobatan hanya dua spesies yaitu Phyllanthus
niruri L. dan Phyllanthus urinaria L. Khusus untuk pengobatan, Phyllanthus niruri
L. (meniran hijau) lebih dominan digunakan dibandingkan dengan Phyllanthus
urinaria L. (meniran merah). Komponen yang terkandung dalam meniran hijau lebih
banyak dibandingkan dengan meniran merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
meniran hijau mampu menghambat aktivitas virus hepatitis B sebesar 70%, lebih
baik daripada meniran merah yang hanya mampu menghambat sebesar 28% (Taylor
2003).
Perbedaan morfologi ditemukan antara meniran hijau dan meniran merah.
Meniran hijau memiliki batang berwarna hijau muda atau hijau tua. Setiap
cabangnya terdiri dari 8-25 helai daun. Daunnya berwarna hijau, berukuran 0.5-2 x
0.25-0.5 cm. Buahnya bertekstur licin, bulat pipih dengan diameter 2-2.5 mm.
Kepala sari meniran hijau yang sudah matang akan pecah secara membujur.
Sedangkan meniran merah memiliki batang berwarna merah coklat. Setiap cabang
terdiri dari 7-13 helai daun. Warna daun hijau coklat dengan ukuran 0.5-2 cm x 1-8
mm. Buah bertekstur kasar, bulat dengan diameter 3 mm. Kepala sari meniran
merah yang sudah matang akan pecah secara melintang (Heyne 1987; Soerjani et al.
1987, Soedibyo 1998).
Menurut Roy (2000), koleksi plasma nutfah harus dievalusi secara tepat.
Karakter yang dievalusi dapat berupa karakter anatomi, morfologi, kimia, biokimia
maupun fisiologis. Karakter morfogi lazim digunakan untuk karakterisasi dan
49

analisis kekerabatan pada kondisi lingkungan yang normal. Van Beuningen dan
Bush (1997) menyatakan analisis molekuler (marka molekuler) dapat dilakukan
untuk mengatasi pengaruh faktor lingkungan terhadap karakter morfologi yang
jumlahnya terbatas. Salah satu marka molekuler yang dapat digunakan adalah
analisis RAPD yang merupakan teknik yang lebih cepat dan lebih mudah dilakukan.
Menurut Sjamsuhidajat dan Nurendah (1992) terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kandungan zat kimia dalam tanaman antara lain habitat, pemupukan
dan umur tanaman. Khan et al. (2010) mendapatkan pengaruh faktor lingkungan dan faktor
genetik terhadap peningkatan kandungan filantin pada Phyllanthus amarus (Phyllanthus
niruri).
Keberagaman karakter dapat digunakan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan, sehingga perlu dilakukan evaluasi kekerabatan antara aksesi meniran
yang ada di alam. Keragaman genetik dan hubungan kekerabatan di antara aksesi
meniran dapat terungkap dengan menggunakan analisis morfologi dan molekuler.
Penanda morfologi ditujukan pada karakter kuantitatif dan kualitatif yang mengarah
pada karakter agronomi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan
kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler (genetik).

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Januari
2010. Penanaman dilakukan di lahan penelitian Desa Padasuka Kecamatan Ciomas
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium
Produksi Departemen AGH IPB dan Laboratorium Molekuler dan Kloning
Departemen AGH IPB.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji meniran hasil
eksplorasi dari Kabupaten Bangkalan dan Gresik berupa 6 aksesi meniran hijau
(A1,A2,A3,A4,A5,A6) dan 1 aksesi meniran merah (A13) yang berasal dari
Kabupaten Bangkalan dan 6 aksesi meniran hijau (A7,A8,A9,A10,A11,A12) yang
50

berasal dari Kabupaten Gresik. Bahan untuk penanaman adalah pupuk kandang,
pupuk NPK, tanah, polibag ukuran (25 x 30) cm, insektisida hayati. Bahan kimia
TM
yang digunakan untuk analisis RAPD antara lain : SIGMA-Aldrich Extraction
and dellution kit, aquabidestilata, campuran chloroform dan isoamilalkohol (CIA)
24:1, Etanol Absolut, PCR amplification reagents dari Vivantis, DNA ladder, primer
acak, gel agarose, buffer TAE (Tris Acetic Acid EDTA) 1x, Loading die, dan
Ethidium Bromide.
Peralatan budidaya yang digunakan adalah alat budidaya secara umum.
Peralatan yang digunakan untuk pengamatan adalah meteran, penggaris, kaca
pembesar dan jangka sorong. Peralatan yang digunakan dalam analisis RAPD adalah
gunting, oven, water bath, microtube 2 ml, pelampung microtube, mikro pipet 1000
l, mikro pipet 100 l, rak tip dan microtube, centrifuge, desicator vacuum pump,
timbangan analitik, hot plate, labu Erlenmeyer, elektroforesis chamber, sisir gel
mesin PCR, mesin elektroforesis dan UV transiluminator.
Metode Penelitian

Keragaman morfologi tanaman


Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAK) dengan
satu faktor yaitu 13 aksesi meniran dengan 3 kali ulangan (kelompok) sehingga
terdapat 39 kombinasi percobaan.
Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media
semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1.
Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin.
Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup
dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi.
Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai
bibit siap untuk dipindahkan ke polibag yang berukuran (25 x 30) cm. Bibit yang
dipindah telah mempunyai minimal empat daun majemuk.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan,
penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap
hari pada pagi atau sore hari selama satu bulan pada awal penanaman dengan asumsi
tidaak ada hujan. Selanjutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan keperluan.
51

Pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida organik. Pengendalian gulma


dilakukan dengan cara penyiangan.
Pengamatan karakter morfologi
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk
tanaman, diamati setiap 2 minggu.
2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna,
diamati setiap 2 minggu.
3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu.
4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen
dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan
menggunakan jangka sorong digital.
5. Bobot 1000 biji (g), diamati pada buah yang telah masak, pecah dan biji
telah keluar dengan cara menimbang 1000 biji dengan menggunakan
timbangan neraca analitik.
6. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun
dan batang.
7. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.
8. Analisis antosianin daun. Sampel daun adalah daun yang telah terbentuk
sempurna dan daun yang terkena matahari secara langsung. Cara kerja
disajikan pada Lampiran 2.

Penanda Molekuler dengan analisis RAPD


Pelaksanaan
Pelaksanaan analisis RAPD dibagi dalam dua kegiatan utama, yakni isolasi
DNA dan amplikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction).
Analisis RAPD dilakukan pada 13 aksesi meniran dengan menggunakan 10 primer
acak. Dari 10 primer yang dipilih secara acak, ada 5 primer menunjukkan hasil yang
polimorfik yang selanjutnya digunakan dalam analisis RAPD.
52

Isolasi DNA
Metode yang digunakan adalah metode ekstraksi menggunakan Kit SIGMA
yang dimodifikasi. Larutan ekstrak dari kit Sigma yang digunakan sebanyak 100 l
yang ditempatkan dalam mikrotube 2 ml. Gunting yang akan digunakan dicuci
dengan alcohol 70% kemudian dikeringkan dengan tissue. Sampel daun dipotong
sebanyak 0.02 gram dan dimasukkan ke dalam microtube yang sudah berisi ekstrak
kit. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 95oC menggunakan water bath selama 5
menit. Setelah dipanaskan, ke dalam microtube ditambahkan larutan dilusi sebanyak
100 l dan aquabides sebanyak 500 l. Selanjutnya cairan dalam microtube diambil
tanpa mengikutkan potongan daunnya. Cairan tersebut dimasukkan ke dalam tabung
baru yang berukuran 1.5 ml (militube) dan ditambahkan chloroform isoamylalkohol
(CIA 24:1) sebanyak 150 l kemudian diaduk dengan vortex mix selama kurang
lebih 10 detik dan dicentrifuge pada kecepatan 15 000 RPM atau kurang lebih 12
000 G selama 5 menit. Setelah dicentrifuge, supernatant dipindahkan pada microtube
1500l. Kemudian ditambahkan etanol absolute 2 kali volume supernatant. Jika
gumpalan lender tidak terlihat, maka larutan tersebut dimasukkan ke dalam freezer
selama 10 menit kemudian dicentrifuge pada kecepatan 7 000 RPM ( 5000 G)
selama 5 menit. Kemudian larutan etanol dibuang dan sisa lender yang berupa pellet
(DNA) dikeringkan di atas kertas tissue. Jika alkohol sudah tidak ada yang menetes,
DNA dikeringkan dengan vacum pump sampai kering. Yang terakhir DNA
dilarutkan dengan air double destilate 50-200 l. DNA hasil isolasi ini disimpan
dalam freezer jika tidak digunakan langsung untuk amplifikasi PCR.

Amplifikasi DNA dengan PCR


Amplifikasi DNA dilakukan dengan PCR reagent dari Vivantis dengan
modifikasi konsentrasi taq DNA polymerase 1.5 kali konsentrasi anjuran (Tabel 9).
Campuran bahan PCR terdiri dari 10 l PCR reagent vivantis, 5 l primer acak, dan
5 l DNA template. Semua campuran bahan PCR sebanyak 20 l tersebut
dimasukkan ke dalam PCR tube dan diamplifikasi pada mesin PCR Effendorf.
Proses amplifikasi DNA dibagi dalam tiga bagian yaitu : 1) denaturation
(penguraian utas ganda DNA menjadi utas tunggal) selama 5 menit pada suhu 95oC,
2) anneling (penempelan primer) selama 30 detik pada suhu annealing (TM(melting
53

temperature) primer -4oC) dan 3) elongation (pemanjangan utas DNA primer yang
komplemen dengan DNA template menggunakan enzyme taq DNA Polymerase)
selama 1 menit pada suhu 72oC. Proses amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 45
siklus.

Tabel 9 Bahan reaksi PCR analisis RAPD keragaman 13 aksesi meniran


Bahan reaksi PCR Konsentrasi Volume yang diambil
(stock solution) (per reaksi)
10 x Vivantis Buffer A 400 l 2 l
2 mM dNTP mix 160 l 0.8 l
50 mM MgCl2 120 l 0.6 l
Taq DNA polymerase 48 l 0.24 l
Double destilate water 1.272 l 6.36 l
Primer 1 000 l 5 l
DNA 1 000 l 5 l
Volume total 4 000 l 20 l

Elektroforesis
Fragmen DNA hasil amplifikasi menggunakan PCR dapat dilihat melalui
elektroforesis. Media yang digunakan adalah gel yang dibuat dari agarose sebanyak
0.6 gram yang ditambah dengan TAE 1x sebanyak 40 ml. Gel ditempatkan pada alat
elektroforesis dan dibuat sumur untuk menempatkan DNA hasil amplifikasi
kemudian ditambah TAE 1x hingga rata menutupi gel. Campuran DNA yang
dielektroforesis adalah 9 l hasil reaksi PCR dicampur dengan 1-2 l loading dye.
Kemudian 5 l dari 1000 bp DNA ladder disimpan pada salah satu sumur untuk
mengukur pita-pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing aksesi meniran.
Elektroforesis dilakukan selama 90 menit pada 90 Volt. Gel hasil elektroforesis
diwarnai dengan Ethidium bromide selama 15 detik kemudian direndam dalam
aquades selama 30 menit. Selanjutnya gel yang telah diwarnai divisualisasikan di
atas ultra violet transluminator dan didokumentasikan dengan kamera.
Analisis Data
Analisis gerombol. Metode pengerombolan yang digunakan adalah metode
aglomeratif dan ukuran ketidakmiripan yang digunakan adalah jarak euclide.
54

Peubah yang menjadi dasar pengerombolan adalah peubah yang telah direduksi dari
hasil analisis komponen utama. Pengolahan data ini dibantu oleh program
MINITAB 15.0.
Analisis komponen utama. Analisis komponen utama (Principal
Componen Analysis) dilakukan untuk menyederhanakan variabel yang baru menjadi
lebih sedikit, namun informasi tidak berubah. Analisis ini memberikan gambaran
berupa besarnya pengaruh persentase nilai keragaman dari beberapa komponen
utama (biasanya 3 komponen utama) yang dapat dibentuk dari minimal 70%
keragaman yang dimiliki oleh karakter-karakter pada populasi yang dikarakterisasi
(Nasution 2008). Pengolahan data dibantu oleh program MINITAB 15.0
Data hasil RAPD diskoring berdasarkan ada tidaknya pita. Skor 0 jika tidak
ada pita dan skor 1 jika ada pita pada tingkat migrasi yang sama antar aksesi
meniran. Setiap profil pita DNA berhubungan dengan lokus yang mengandung alel
tertentu. Pita hasil amplifikasi pada posisi yang sama pada laju elektroforesis yang
sama untuk setiap tanaman meniran, dianggap sebagai satu lokus homolog.
Selanjutnya data hasil skoring dianalisis menggunakan Seguential Agglomerative,
Hierarchical and Nested (SAHN)-UPGMA (Unweighted pair-group method,
arithmetic average) pada program NTSYSpc untuk menganalisis kemiripan antar
aksesi (matriks jarak genetik). Hasil analisis disajikan dalam bentuk dendrogram.
55

Hasil dan Pembahasan

Keragaman morfologi 13 aksesi meniran

Tabel 10 Pengaruh aksesi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah
cabang, diameter batang dan bobot 1000 biji meniran umur 10 MST
Aksesi Peubah pengamatan
Tinggi Jumlah Jumlah Diameter Bobot
tanaman daun cabang batang 1000 biji
(cm) majemuk (mm) (g)
Meniran hijau
A1 54.20 abc 106.33 a 23.00 ab 2.07 c 0.17 b
A2 51.47 d 107.80 a 23.27 ab 1.93 c 0.17 b
A3 53.20 bcd 108.20 a 21.80 ab 2.07 c 0.16 b
A4 53.73 abc 109.00 a 23.60 a 2.07 c 0.17 b
A5 54.13 abc 108.27 a 23.47 ab 2.07 c 0.17 b
A6 55.40 a 110.07 a 22.67 ab 2.57 a 0.17 b
A7 54.80 ab 109.93 a 23.33 ab 2.33 ab 0.17 b
A8 54.73 ab 106.87 a 22.80 ab 2.30 ab 0.17 b
A9 54.80 ab 106.07 a 22.33 ab 2.07 c 0.17 b
A10 54.47 ab 108.60 a 22.73 ab 2.07 c 0.16 b
A11 54.07 abc 110.20 a 23.60 a 2.00 c 0.17 b
A12 52.47 cd 109.73 a 21.67 b 2.27 b 0.17 b
Meniran merah
A13 12.07 e 99.02 b 17.27 c 1.57 d 0.21 a
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Kisaran tinggi tanaman aksesi meniran adalah 12.07 55.40 cm. Aksesi
tanaman tertinggi adalah aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan terendah
adalah aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13). Jumlah daun majemuk pada 12
aksesi meniran hijau asal Bangkalan berbeda nyata dengan meniran merah (A13).
Antara kedua belas aksesi meniran hijau (A1-A12), jumlah daun majemuknya tidak
berbeda nyata. Jumlah daun majemuk 12 aksesi meniran hijau berkisar antara 106.07
sampai dengan 110.20 daun, sedangkan meniran merah (A13) mempunyai jumlah
daun majemuk paling sedikit (99.02 daun). Demikian juga dengan bobot 1000 biji,
semua aksesi meniran hijau (A1 sampai A12) bobot 1000 bijinya tidak berbeda
nyata. Bobot 1000 biji meniran hijau (12 aksesi) berbeda nyata dengan meniran
56

merah (A13). Kisaran bobot 1000 biji meniran hijau 0.16 0.17 gram. Meniran
merah mempunyai bobot 1000 biji terbesar 0.21 gram.
Jumlah cabang per tanaman 13 aksesi meniran bervariasi dengan kisaran
17.27 23.60 cabang. Berdasarkan hasil uji Duncan keragaman jumlah cabang dapat
dibedakan menjadi 3 kelompok. Kelompok yang memiliki jumlah cabang tertinggi
adalah kelompok I terdiri dari A11, A4, A5, A7, A2, A1, A8, A10, A6, A9, A3
dengan jumlah cabang 21.80 23.60, kelompok II adalah A12 (21.67 cabang) dan
kelompok III adalah aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan 17.27
cabang.
Diameter batang maksimal (2.57 mm) ditunjukkan aksesi meniran hijau asal
Bangkalan (A6), diikuti meniran hijau asal Gresik (A7 dan A8). Meniran merah asal
Bangkalan (A13) mempunyai diameter batang terendah (1.57 mm).

Tabel 11 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah akar (BBA), batang (BBB), daun
(BBD) dan bobot total (BBT) meniran umur 10 MST
Aksesi Peubah pengamatan
Bobot basah Bobot Bobot Bobot basah
akar basah basah daun total
(g tan-1) batang (g tan-1) (g tan-1)
-1
(g tan )
Meniran hijau
A1 3.50 abc 9.22 bcd 7.39 bc 20.12 cd
A2 3.45 c 9.16 d 7.38 c 19.99 d
A3 3.46 bc 9.26 bcd 7.39 bc 20.12 cd
A4 3.48 abc 9.23 bcd 7.39 bc 20.10 cd
A5 3.47 bc 9.24 bcd 7.38 c 20.09 cd
A6 3.53 a 9.52 a 7.44 a 20.49 a
A7 3.51 abc 9.43 ab 7.42 ab 20.37 ab
A8 3.49 abc 9.40 abc 7.38 c 20.27 abc
A9 3.46 bc 9.24 bcd 7.36 c 20.06 cd
A10 3.46 bc 9.26 bcd 7.38 c 20.10 cd
A11 3.46 bc 9.19 cd 7.39 bc 20.05 cd
A12 3.46 bc 9.36 abcd 7.40 bc 20.21 bcd
Meniran merah
A13 3.52 ab 7.85 e 7.39 bc 18.75 e
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Bobot basah akar per tanaman bervariasi dengan kisaran 3.45 3.53 gram.
Bobot basah batang bervariasi dengan kisaran 7.85 9.52 gram per tanaman. Bobot
57

basah daun bervariasi dengan kisaran 7.38 7.44 gram per tanaman. Bobot basah
total bervarisai dengan kisaran 18.75 20.49 gram per tanaman. Aksesi dengan
bobot basah akar, batang, daun dan bobot basah total tertinggi adalah aksesi meniran
hijau asal Bangkalan (A6).

Tabel 12 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering akar (BKA), batang (BKB), daun
(BKD) dan bobot kering total (BKT) meniran umur 10 MST
Aksesi Peubah pengamatan
Bobot kering Bobot kering Bobot kering Bobot kering
akar batang daun total
(g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1)
Meniran hijau
A1 0.75 abc 1.67 bcd 0.84 bc 3.27 cd
A2 0.70 c 1.61 d 0.83 c 3.14 d
A3 0.71 bc 1.71 bcd 0.84 bc 3.27 cd
A4 0.73 abc 1.68 bcd 0.84 bc 3.25 cd
A5 0.72 bc 1.69 bcd 0.83 c 3.24 cd
A6 0.78 a 1.97 a 0.89 a 3.64 a
A7 0.76 abc 1.88 ab 0.87 ab 3.52 ab
A8 0.74 abc 1.85 abc 0.83 c 3.42 abc
A9 0.71 bc 1.69 bcd 0.81 c 3.21 cd
A10 0.71 bc 1.71 bcd 0.83 c 3.25 cd
A11 0.72 bc 1.64 cd 0.84 bc 3.20 cd
A12 0.71 bc 1.81 abcd 0.85 bc 3.36 bcd
Meniran merah
A13 0.77 ab 1.30 e 0.84 bc 2.90 e
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Bobot kering akar per tanaman bervariasi dengan kisaran 0.70 0.78 gram
per tanaman. Bobot kering batang bervariasi dengan kisaran 1.30 1.97 gram per
tanaman. Bobot kering daun bervariasi dengan kisaran 0.81 0.89 gram per
tanaman. Bobot kering total bervarisai dengan kisaran 2.90 3.64 gram per tanaman.
Aksesi dengan bobot kering akar, batang, daun dan bobot kering total tertinggi
adalah aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6).
58

Keragaman kandungan antosianin daun

Tabel 13 Pengaruh aksesi terhadap kandungan antosianin daun meniran


umur 10 MST
Aksesi Kandungan antosianin daun
(mg g-1)
Meniran hijau
A1 0.58 bcd
A2 0.58 bcd
A3 0.53 cd
A4 0.51 cd
A5 0.54 cd
A6 0.67 b
A7 0.60 bc
A8 0.46 d
A9 0.55 bcd
A10 0.53 cd
A11 0.51 cd
A12 0.50 cd
Meniran merah
A13 0.84 a
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai kandungan


antosianin daun tertinggi (0.84 mg g-1). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A8)
mempunyai kandungan antosianin daun terendah (0.46 mg g-1).

Keragaman 13 aksesi meniran berdasarkan karakter morfologi dan kandungan


antosianin daun

Dengan metode analisis gerombol menggunakan program MINITAB 15


dapat dilihat keragaman aksesi berdasarkan seluruh peubah yang diamati. Hasil
analisis dapat menampilkan jarak perbedaan dan kesamaan berbagai aksesi dalam
bentuk dendrogram disajikan pada Gambar 13.
59

Gambar 13 Dendrogram analisis gerombol karakter morfologi dan


kandungan antosianin daaun 13 aksesi meniran

Berdasarkan hasil analisis gerombol (Gambar 13) terhadap karakter


morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram pengelompokan
aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 69.82%. Kelompok A
terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan yaitu aksesi nomor 1,2,3,4,5,6, dan
meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9,10,11,12 dan kelompok B terdiri dari
aksesi meniran merah asal Bangkalan aksesi nomor 13.
Karakter yang menentukan terbentuknya pengelompokkan dapat dianalisis
pada nilai analisis komponen utama. Analisis Komponen Utama (AKU/Principal
Component Analysis) digunakan untuk (1) identifikasi peubah baru yang mendasari
data peubah ganda, (2) mengurangi banyaknya dimensi peubah yang banyak dan
berkorelasi menjadi peubah baru yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan
keragaman pada himpunan data dan (3) menghilangkan peubah asal yang
mempunyai sumbangan informasi yang relatif kecil. Banyaknya komponen utama
yang dipilih yaitu apabila persentase keragaman kumulatif minimum 70% (Supranto
2004).
60

Tabel 14 Nilai ciri dua komponen utama 14 karakter 13 aksesi meniran


Komponen utama Nilai ciri Persen keragaman Persen akumulasi keragaman
1 8.57 61.20 61.20
2 4.30 30.70 91.90

Tabel 15 Karakter morfologi pembentuk komponen utama.


Komponen utama Jumlah karakter Jenis karakter Nilai
KU I 9 Bobot basah total 0.340
Bobot basah batang 0.339
Tinggi tanaman 0.326
Bobot 1000 biji -0.322
Jumlah daun 0.318
Bobot kering batang 0.314
Diameter batang 0.305
Jumlah cabang 0.296
Bobot kering total 0.287
KU II 4 Bobot basah akar 0.450
Bobot kering akar 0.446
Bobot kering daun 0.432
Bobot basah daun 0.418

Hasil analisis komponen utama pada penanda morfologi dan kandungan


antosiani daun dapat dijelaskan oleh 2 komponen utama yang mencakup 91.90%
data dari total keseluruhan data (Tabel 14). Analisis komponen utama menunjukkan
akumulasi keragaman komponen tinggi, hanya dengan dua komponen utama pertama
sudah menghasilkan nilai akumulasi 91.90% keragaman. Artinya dua komponen
utama telah mewakili 91.90% dari 14 karakter diperoleh dari 2 komponen utama.
Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih adalah selaras
dengan nilai ciri yaitu sembilan karakter pada komponen utama 1 dan empat karakter
pada komponen utama 2 (Tabel 15).
Berdasarkan hasil analisis komponen utama terbentuk 3 kelompok.
Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1,2,3,4,5, aksesi
meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B terdiri dari aksesi 6
berupa meniran hijau asal Bangkalan dan nomor 7 aksesi meniran hijau asal Gresik.
61

Kelompok C terdiri dari aksesi nomor 13 meniran merah asal Bangkalan (Gambar
14).

Gambar 14 Analisis komponen utama karakter morfologi dan kandungan


antosianin daun 13 aksesi meniran

Analisis kekerabatan berdasarkan penanda molekuler


Hasil pengelompokan berdasarkan penanda molekuler (RAPD) menunjukkan
kedua belas akesesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A1 sampai A12)
memiliki hubungan genetik yang cukup dekat yang ditunjukkan dengan
mengelompoknya keduabelas aksesi meniran hijau dalam satu kelompok. Aksesi
meniran merah asal Bangkalan (A13) cenderung memisah dan membentuk
kelompok sendiri.
Hasil analisis RAPD menggunakan 5 primer pada 13 aksesi meniran
menunjukkan tingkat polimorfisme yang relatif tinggi. Menurut Jubera et al. (2009)
data marka molekuler dalam hubungannya dengan data morfologi berguna untuk
menetapkan tingkat perbedaan dan kemiripan antar kultivar.
62

MH-1
MH-3
MH-4
MH-6
MH-7
MH-8
MH-9
MH-10
MH-5
MH-2
MH-11
MH-12
Koefisien Kemiripan MM-13
0.63 0.72 Koefisien0.82
kemiripan 0.91 1.00
Coefficient
Koefisien kemiripan

Gambar 15 Dendrogram 13 aksesi meniran berdasarkan profil pola pita


DNA dengan teknik RAPD

Fragmen atau pita hasil amplikasi RAPD diasumsikan sebagai satu lokus.
Hasil amplikasi diskoring 1 jika ada pita dan 0 jika tidak ada pita yang
teramplifikasi. Hasil amplifikasi menggunakan 5 primer adalah yang
keseluruhannya polimorfisme (Tabel 16).

Tabel 16 Jumlah pita polimorfisme yang dihasilkan oleh 5 primer pada 13 aksesi
meniran
No Nama Primer Sekuen (5 3) Jumlah pita polimorfik
1. OPE-1 CCCAAGGATCC 5
2. OPE-19 ACGGCGTATG 6
3. OPH-5 AGTCGTCCCC 8
4. OPH-13 GACGCCACAC 8
5. OPM-20 AGGTCTTGGG 5
63

Data hasil skoring pita polimorfik selanjutnya digunakan untuk menganalisis


tingkat kemiripan dari 13 aksesi meniran yang diamati. Pada Gambar 15 dapat
dilihat pada tingkat kemiripan dari 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis
dapat dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran
hijau asal Bangkalan nomor 3, 4, 6, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 7, 8,
9, 10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari
aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan
tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau asal
Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%. Kelompok
D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan aksesi meniran
hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar 94%. Kelompok E
yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat kemiripan sebesar 90%
sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan dari kelompok E dan
aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat kemiripan sebesar 83%
sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan semua meniran hijau
(aksesi nomor 1 hingga aksesi nomor 12) dan meniran merah (aksesi nomor 13)
dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar 27%.
Hasil pengelompokan aksesi meniran berdasarkan marka RAPD tidak selaras
dengan kelompok berdasarkan karakter morfologi. Aksesi yang mengerombol dalam
satu kelompok dalam dendrogram berdasarkan RAPD memiliki karakter morfologi
yang berbeda. Ketidakselarasan tersebut menunjukkan bahwa pita-pita DNA tersebut
tidak berhubungan dengan karakter-karakter yang diamati di lapangan.
Pengelompokan berdasarkan marka RAPD juga menunjukkan bahwa aksesi
yang berasal dari wilayah yang berdekatan tidak selalu mengerombol dalam satu
kelompok. Demikian pula sebaliknya aksesi yang berasal dari wilayah yang berbeda
dan jauh secara geografis dapat mengerombol dalam satu kelompok. Hal ini dapat
terjadi karena adanya mutasi spontan dan seleksi alami yang terjadi sehingga timbul
perbedaan genetik antar aksesi. Menurut Indriani (2000), aksesi yang berasal dari
satu negara atau letak geografis yang sama cenderung memiliki jarak genetik yang
dekat. Keragaman genetik yang terjadi cenderung disebabkan oleh adaptasi yang
terus menerus sehingga terjadi perubahan-perubahan baik secara biokimia maupun
fisiologisnya. Sebaliknya menurut Hartati (2007), pengelompokan tidak
64

berhubungan dengan letak geografis melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor


lingkungan. Seleksi akan sulit dilakukan pada karakter yang mempunyai keragaman
genetik yang sempit. Fehr (1987) menyatakan bahwa efektivitas seleksi sangat
ditentukan antara lain oleh keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas
diharapkan akan membawa kemajuan genetik yang besar.

Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai


berikut :
1. Terdapat keragaman karakter morfologi dan kandungan antosianin daun 13
aksesi meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik yang
membentuk 3 kelompok.
2. Karakter pembentuk komponen utama 1 terdiri dari 9 karakter yaitu bobot
basah total, bobot basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun
majemuk, bobot kering batang, diameter batang, jumlah cabang dan bobot
kering total. Karakter pembentuk komponen utama 2 adalah bobot basah
akar, bobot kering akar, bobot kering daun, dan bobot basah daun.
3. Berdasarkan analisis molekuler terdapat 2 kelompok aksesi terdiri dari
kelompok A semua aksesi meniran hijau (Aksesi 1 sampai aksesi 12) dan
kelompok B satu aksesi meniran merah.
65

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN &


HIPOFILANTIN AKSESI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri
L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA
BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan total filantin dan hipofilantin
beberapa aksesi meniran. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Babakan
Sawah Baru IPB, Bogor, Jawa Barat dengan ketinggian 250 m dpl dari Maret
2009 sampai September 2009. Percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi
dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah taraf naungan (N) terdiri dari 0% (N0),
25% naungan (N1) dan 50% naungan (N2). Anak petak adalah aksesi meniran (A)
terdiri dari A1, A2, A3, A4, A5, A6 merupakan meniran hijau (Phyllanthus niruri
L.) dari Bangkalan dan A7, A8, A9, A10, A11, A12 merupakan meniran hijau
(Phyllanthus niruri L.) dari Gresik. A13 merupakan meniran merah (Phyllanthus
urinaria L.) dari Bangkalan. Hasil penelitian menunjukkan untuk menghasilkan
pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, meniran hijau (A6 dan A7)
membutuhkan kondisi terbuka hingga naungan 25%. Meniran hijau (A7) pada
kondisi tanpa naungan menghasilkan kandungan total filantin yang tinggi (0,12%
bobot kering) pada kondisi ternaungi 50% menghasilkan kandungan hipofilantin
yang tinggi (0.13%). Meniran merah (A13) pada naungan 50% terdeteksi
menghasilkan kandungan total filantin tertinggi.
Kata kunci : filantin, hipofilantin, naungan, aksesi, biomassa

Abstract
The objectives these researches were to identify the effect of intensity of
shade on the growth, biomass production and total containt of phyllanthin and
hypophyllanthin from some accession Phyllanthus sp. L. The experiment was
arranged in split plot design with three replications. The main plot was intensities
of shade (N) throughout 0% (N0), 25% shading (N1) and 50% shading (N2). The
sub plot was accessions of Phyllanthus (A) that consist of A1, A2, A3, A4, A5,
A6, green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan and A7, A8, A9, A10,
A11, A12 green meniran from Gresik. A13 was red meniran (Phyllanthus
urinaria L.) from Bangkalan. The result of this research indicated that high level
on growth and biomass production can achieve, green meniran (A6 and A7) need
to open condition until 25% shading.
Green meniran (Phyllanthus niruri L.) without shading identified the high
total phyllantin content (0,12% dry weight) with 50% shading reached the high
total hypophyllantin content (0,13% dry weight). The highest total phyllantin
came from red meniran (Phyllanthus urinaria L.) were considerably shading
(50%).

Key words : phyllanthin, hypophyllanthin, shading, accession, biomass


66

Pendahuluan

Cahaya merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan


tanaman, karena selain berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai
pengendali, pemicu, dan modulator respon morfogenesis khususnya pada tahap
awal pertumbuhan tanaman (Mc Nellis dan Deng 1995). Spektrum cahaya yaang
dibutuhkan tanaman berkisar antara 400700 nm, yang biasanya disebut
photosynthetically active radiation (PAR).
Chozin et al. (2000), Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa daun
yang ternaungi memiliki total klorofil tiap pusat reaksi yang lebih banyak,
memiliki rasio klorofil b/a yang lebih besar dan daunnya lebih tipis. Sel palisade
lebih pendek dan konsentrasi rubisco lebih sedikit. Daun yang ternaungi
mempunyai laju fotosintsis yang lebih rendah daripada daun yang tidak ternaungi.
Titik kejenuhan akan cahaya pada sun plant 10-20 mol m-2s-1 dan shade plant
sekitar 1-5 mol m-2s-1. Nilai kejenuhan cahaya tanaman shade plant lebih rendah
karena laju respirasinya sangat rendah sehingga dengan sedikit saja fotosintesis
netto dihasilkan sudah cukup membuat laju pertukaran netto CO2 menjadi nol.
Laju respirasi yang rendah menunjukkan bentuk adaptasi tanaman bertahan
terhadap lingkungan dengan cahaya yang terbatas.
Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui
manipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Khan et al.
(2010) mendapatkan pengaruh faktor lingkungan dan faktor genetik terhadap
peningkatan kandungan filantin pada P. amarus (P. niruri). Gould dan Lister
(2006) mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada tanaman
yang mengalami cekaman cahaya.
Hasil penelitian Nirwan et al. (2007) pada tanaman daun dewa
menunjukkan terjadinya perubahan mekanisme adaptasi tanaman daun dewa
antara yang tumbuh pada cahaya 100% dan dalam naungan dengan periode
pencahayaan yang berbeda-beda. Jumlah stomata, jumlah trikoma dan tebal daun
cenderung lebih rendah pada naungan yang semakin tiinggi dibandingkan dengan
cahaya penuh. Kandungan enzim superoxide dismutase (SOD) mengalami
peningkatan dengan srmakin meningkatnya persentase naungan, sedangkan rasio
klorofil a/b semakin rendah dan kloroplas mengalami pembengkakan (dilatasi).
67

Struktur kloroplas antara 50-25% naungan memiliki bentuk yang proporsional.


Naungan dan periode pencahayaan yang optimum yang menghasilkan antosianin,
total flavonoid kasar (17.371%) dan kadar kuersetin tertinggi adalah naungan 50%
dibandingkan dengan periode pencahayaan 25 dan 100%.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan total filantin dan hipofilantin
beberapa aksesi meniran.

Bahan dan Metode


Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru Dramaga
Kabupaten Bogor Jawa Barat pada bulan April 2009 sampai dengan September
2009. Analisis antosianin dan klorofil di Laboratorium Molekuler dan Kloning
Departemen AGH IPB. Analisis anatomi daun di Laboratorium Teknik mikro
Departemen AGH IPB. Analisis kandungan bioaktif filantin dan hipofilantin di
Laboratorium Terpadu Pusat Studi Biofarmaka IPB berakhir pada Desember
2010.

Bahan dan Alat


Penelitian ini menggunakan 13 aksesi meniran yang berasal dari Jawa
timur terdiri dari enam aksesi meniran hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6) asal
Kabupaten Bangkalan, enam aksesi meniran hijau (A7,A8,A9,A10,A11,A12) asal
Kabupaten Gresik dan satu aksesi meniran merah (A13) asal Kabupaten
Bangkalan. Paranet 25%, dan 50%, 400 kg ha-1 Urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-36
(36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (pupuk organik)
20 ton per hektar, insektisida hayati, bambu dan bahan pembantu untuk
penanaman. Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk analisis kadar
antosianin, klorofil, dan analisis kandungan bioaktif filantin dan hipofilantin.
Peralatan yang digunakan terdiri atas peralatan tanam, satu set peralatan
pengamatan anatomi daun, analisis antosianin, klorofil dan analisis bahan bioaktif
filantin dan hipofilantin.
68

Metodologi Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (split plot
design) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah persentase naungan (N) yang
terdiri dari tanpa naungan (No), naungan 25% (N1), dan naungan 50% (N2).
Sebagai anak petak adalah aksesi meniran (A) yang berasal dari Kabupaten
Bangkalan dan Kabupaten Gresik yang terdiri dari A1, A2, A3, A4, A5, A6, A7,
A8, A9, A10, A11, A12, A13. Secara keseluruhan terdapat 39 kombinasi
perlakuan dan diulang 3 kali sehingga terdapat 117 kombinasi perlakuan. Setiap
perlakuan terdapat 10 polibag tanaman sehingga terdapat 1170 satuan percobaan.
Model linier yang digunakan adalah :

Yijk = + Ki +Nj +ij +Kk +(NK)jk + ijk

Dengan :

Yijk = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-I, naungan ke-j dan aksesi
ke-k

= nilai rata-rata umum

Ki = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i

Nj = nilai pengamatan akibat pengaruh naungan ke-j

ij = galat akibat pengaruh kelompok ke-I dan naungan ke-j

Kk = nilai pengamatan akibat pengaruh aksesi ke-k

(NK)jk = nilai interaksi antara faktor naungan ke-j dengan aksesi ke-k

ijk = galat akibat pengaruh kelompok ke-I, naungan ke-j dan aksesi ke-k

Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan


software SAS versi 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan
Sumertajaya 2002).

Penataan tempat percobaan


Naungan dibuat dengan sistem para-para dengan ukuran 5 m x 4 m dengan
tinggi 2 meter dan disusun sesuai dengan pengacakan perlakuan. Polibag diisi
media tanah dan pupuk kandang sehingga bobot akhirnya menjadi 5 kg.
69

Kemudian disusun pada lokasi penelitian dan dibiarkan selama satu minggu.
Pengukuran jumlah cahaya yang masuk ke dalam naungan menggunakan lux
meter.
Penanaman
Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media
semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan
1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan
angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian
ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang
ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan
pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah
telah mempunyai minimal 4 daun majemuk. Kegiatan pemeliharaan tanaman
meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan
penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal
tanam selama sebulan dengan asumsi tidak ada hujan. Selanjutnya dilakukan
sesuai dengan kebutuhan. Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis
dan bila perlu menggunakan insektisida hayati. Pengendalian gulma dilakukan
dengan cara penyiangan.

Pengamatan
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk
tanaman, diamati setiap 2 minggu.
2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna,
diamati setiap 2 minggu.
3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu.
4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan
cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan
menggunakan jangka sorong digital.
5. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun
dan batang.
70

6. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.
7. Analisis High Performance Liquid Chromatography (HPLC) kandungan
total filantin (% bobot kering) dan hipofilantin (% bobot kering)
berdasarkan Tripathi et al. (2006) yang dimodifikasi. Prosedur analisis :
1 gram sampel kering meniran yang telah dihaluskan diekstraksi dengan
metanol (3 x 10 ml masing-masing 10 jam) pada suhu kamar (25 5oC),
selanjutnya disaring untuk mendapatkan filtrat yang ditera menjadi 50 ml.
Analisis HPLC : menggunakan Shimadzu (Tokyo, Japan) model LC
20AD yang dilengkapi dengan dioda Shimadzu SPD-M20A dilengkapi
PAD (Photodiode Array Detector) untuk menentukan kemurnian puncak
dan kesamaan uji lignan. Pelarut HPLC disaring dengan nylon membrans
filter 0.45 m x 47 mm. Kolom menggunakan LiChroCART250-4RP-
18e(5m). Panjang gelombang deteksi 220 nm. Volume injeksi untuk
standar dan sampel 20 L. Contoh perhitungan kandungan total filantin
dan hipofilantin meniran disajikan pada Lampiran 9.
71

Hasil dan Pembahasan

Perlakuan naungan dan aksesi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,


jumlah daun majemuk dan diameter batang (Tabel 17). Perlakuan naungan secara
nyata meningkatkan tinggi tanaman. Makin tinggi persentase naungan makin
tinggi pertumbuhan tanaman meniran. Pada keadaan tanpa naungan rata-rata
tinggi tanaman adalah 45.96 cm, lebih rendah dan berbeda nyata dengan tinggi
tanaman pada naungan 25% sebesar 58.56 cm dan naungan 50% sebesar 62.15
cm.
Tabel 17 Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman,jumlah daun majemuk dan
diameter batang 13 aksesi meniran umur 10 minggu setelah tanam
Peubah pengamatan
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Diameter
(cm) majemuk batang
(mm)
Aksesi
Meniran hijau
A1 55.11 b 240.89 b 3.59 abc
A2 56.11 b 235.56 b 3.63 abc
A3 55.62 b 239.67 b 3.47 bc
A4 55.22 b 248.00 b 3.31 c
A5 55.55 b 241.33 b 3.49 bc
A6 63.56 a 317.00 a 3.87 ab
A7 62.78 a 342.67 a 3.91 a
A8 57.55 b 243.89 b 3.47 bc
A9 54.11 b 247.67 b 3.55 abc
A10 55.33 b 228.56 b 3.39 c
A11 57.00 b 258.89 b 3.32 c
A12 56.14 b 248.67 b 3.42 c
Meniran merah
A13 37.78 c 165.11 c 3.41 c
Naungan
0% 45.96 c 281.21 a 3.99 a
25% 58.56 b 244.69 b 3.41 b
50% 62.15 a 225.92 c 3.17 c
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Sebaliknya, perlakuan naungan secara nyata menurunkan jumlah daun


majemuk dan diameter batang. Semakin tinggi persentase tingkat naungan
semakin rendah jumlah daun majemuk dan diameter batang. Pada keadaan terbuka
menghasilkan daun majemuk sebanyak 281.21 dengan diameter batang 3.99 lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan jumlah daun majemuk dan diameter batang pada
72

naungan 25% (244.69; 3.41) dan naungan 50% (225.92; 3.17). Salisbury dan Ross
(1995) mendapatkan tanaman yang hidup pada kondisi ternaungi akan
menunjukkan gejala etiolasi. Perubahan yang lebih tinggi pada tanaman yang
ternaungi disebabkan karena morfogenesis tanaman yang lebih cepat karena
peningkatan zat pengatur tumbuh tanaman terutama auksin dan giberelin. Devlin
dan Witham (1983) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dalam kondisi
ternaungi memiliki kandungan auksin dan giberelin yang tinggi dan berpengaruh
pada plastisitas dinding sel sehingga morfogenesis pada tanaman mengalami
peningkatan.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi naungan terhadap
parameter jumlah cabang 13 aksesi meniran (Tabel 18).
Tabel 18 Pengaruh interaksi naungan terhadap jumlah cabang 13 aksesi meniran
Aksesi Naungan
0% 25% 50%
Meniran hijau
A1 65.00 cde 46.00 efghij 36.33 hij
A2 79.33 bc 43.33 fghij 34.33 hij
A3 82.67 bc 47.33 efghij 30.67 ij
A4 56.67 defg 52.67 defgh 32.33 hij
A5 69.33 cd 48.33 efghij 36.33 hij
A6 93.33 ab 82.00 bc 50.00 defghi
A7 106. 67a 79.33 bc 42.67 fghij
A8 80.00 bc 57.33 defg 32.67 hij
A9 57.33 defg 39.33 ghij 28.00 j
A10 50.00 defghi 46.00 efghij 33.00 hij
A11 64.00 cde 58.33 defg 34.67 hij
A12 60.33 def 58.00 defg 38.33 ghij
Meniran merah
A13 42.33 fghij 30.67 ij 38.33 ghij
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Berdasarkan hasil uji Duncan terhadap jumlah cabang terdapat 3


kelompok aksesi yang mempunyai respon yang berbeda terhadap naungan.
Kelompok 1 terdiri dari A1, A4, A6, A9, A10, A11 dan A12. Jumlah cabang
pada aksesi kelompok ini turun secara nyata bila berada pada kondisi ternaungi
hingga 50%. Kelompok 2 terdiri dari A2, A3, A5, A7 dan A8 dimana naungan
25% telah dapat menurunkan secara nyata jumlah cabang. Sedangkan kelompok 3
adalah A13. Aksesi nomor 13 mempunyai jumlah cabang yang tidak berbeda
73

nyata antara kondisi tanpa naungan dengan naungan 25% maupun 50%. Hal ini
menunjukkan bahwa A13 merupakan aksesi yang memiliki kemampuan dapat
beradaptasi pada kondisi cahaya matahari penuh maupun di bawah naungan.
Meniran merah (A13) toleran terhadap intensitas cahaya yang berbeda dan dapat
digunakan sebagai sumber genetik apabila ingin mengembangkan tanaman
meniran dengan gen yang toleran terhadap cahaya. Adanya perbedaan respon
meniran terhadap cahaya berhubungan dengan asal usul tanaman yang berbeda
habitatnya. Khan et al. (2010) mendapatkan terjadinya perbedaan tinggi tanaman,
jumlah daun, dan jumlah biji P. amarus dengan adanya perbedaan ketinggian
tempat karena faktor lingkungan dan genetik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tunggal (2004), penggunaan
taraf naungan yang semakin meningkat dan jarak tanaman yang lebar dapat
menurunkan pertumbuhan dan produksi herba meniran. Pembudidayaan meniran
pada kondisi tanpa naungan menghasilkan pertumbuhan dan produksi herba yang
tertinggi, sedangkan penggunaan naungan dapat menurunkan hasil.
Tabel 19 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah daun (BBD), bobot basah batang
(BBB), bobot basah akar (BBA) dan bobot basah total (BBT) meniran
umur 10 minggu setelah tanam
Aksesi Peubah Pengamatan
BBD (g tan-1) BBB (g tan-1) BBA (g tan-1) BBT (g tan-1)
Meniran hijau
A1 7.20 bc 7.68 bc 1.05 bc 15.93 cd
A2 6.19 c 7.15 bc 0.99 bc 14.28 cd
A3 6.57 bc 6.10 bc 1.12 bc 13.79 d
A4 8.45 b 8.35 ab 1.21 bc 18.00 bc
A5 6.98 bc 7.27 bc 1.15 bc 15.40 cd
A6 10.89 a 10.15 a 1.14 bc 22.17 a
A7 10.75 a 8.17 ab 1.18 bc 20.10 ab
A8 6.59 bc 7.46 bc 1.16 bc 15.21 cd
A9 6.64 bc 6.91 bc 1.03 bc 14.58 cd
A10 5.82 c 5.82 c 0.79 c 12.42 d
A11 6.67 bc 7.79 bc 1.25 ab 15.72 cd
A12 6.10 c 7.01 bc 1.06 bc 14.16 cd
Meniran
merah
A13 7.33 bc 6.72 bc 1.59 a 15.64 cd
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.
74

Tabel 19 menunjukkan perlakuan aksesi mempunyai pengaruh nyata


terhadap bobot basah daun, batang, akar dan bobot basah total. Perlakuan naungan
menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap bobot basah daun, batang, akar dan
total.
Sejalan dengan pertumbuhan tanaman, aksesi no. 6 diikuti aksesi no. 7
merupakan aksesi dengan bobot basah daun, bobot basah batang dan bobot basah
total tertinggi. Bobot basah akar tertinggi ditunjukkan pada A13 (1.59 gram
tanaman-1). Meniran merah (A13) mempunyai keunggulan dalam perakaran.
Kondisi di lapangan menunjukkan adanya pertumbuhan akar serabut pada cabang
tanaman paling bawah yang berhubungan dengan tanah disamping akar utama
yang berkembang sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa meniran merah
kemungkinan toleran terhadap kekeringan dan potensial digunakan sebagai aksesi
yang toleran terhadap kekeringan.

Tabel 20 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering daun (BKD), bobot kering
batang (BKB), bobot kering akar (BKA) dan bobot kering total (BKT)
meniran umur 10 minggu setelah tanam
Aksesi Peubah Pengamatan
BKD (g tan ) BKB (g tan-1) BKA (g tan-1) BKT (g tan-1)
-1

Meniran hijau
A1 2.98 c 2.92 ab 0.57 bcd 6.48 cd
A2 2.88 c 2.63 abcd 0.51 cd 6.01 cd
A3 2.97 c 2.31 cd 0.60 bcd 5.89 cd
A4 2.91 c 2.31 cd 0.58 bcd 5.79 cd
A5 3.04 c 2.45 bcd 0.56 bcd 6.05 cd
A6 5.05 a 3.31 a 0.88 a 9.25 a
A7 4.18 b 3.05 ab 0.68 bc 7.91 b
A8 3.32 c 2.84 abc 0.60 bcd 6.76 bc
A9 2.68 c 2.13 de 0.51 cd 5.32 cd
A10 2.48 c 2.08 de 0.388 d 4.95 d
A11 2.93 c 2.72 abc 0.55 bcd 6.19 cd
A12 3.22 c 2.36 cd 0.52 cd 6.09 cd
Meniran merah
A13 2.80 c 1.73 e 0.75 ab 5.28 cd
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Aksesi meniran menunjukkan keragaman yang nyata dalam bobot kering


daun, batang, akar dan bobot kering total. Perlakuan naungan tidak berpengaruh
nyata terhadap bobot kering daun, batang, akar dan total (Tabel 20). Aksesi
75

meniran hijau asal Bangkalan (aksesi nomor 6) mempunyai bobot kering daun
(5.05 g tanaman-1), bobot kering batang (3.31 g tanaman-1), bobot kering akar
(0.88 g tanaman-1) dan bobot kering total (9.25 g tanaman-1) tertinggi diikuti
aksesi nomor 7 mempunyai bobot kering daun 4.18 g tanaman-1, bobot kering
batang 3.05 g tanaman-1 dan bobot kering total 7.19 g tanaman-1. Aksesi nomor 6
dan nomor 7 menunjukkan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk
dan jumlah cabang maksimal. Hal ini akan mempengaruhi laju fotosintesis di
dalam daun yang akan mempengaruhi jumlah fotosintat yang dihasilkan. Pada
aksesi nomor 6 dan nomor 7 didapatkan bobot kering daun, batang, akar dan
bobot kering total yang maksimal.
Penambahan bobot kering daun, batang, akar dan bobot total maksimal
terdapat pada A6 yaitu 5.05 gram tanaman-1, 3.31 gram tanaman-1, 0.88 gram
tanaman-1 dan 9.25 gram tanaman-1 (Tabel 20). Hal ini sejalan dengan
pertumbuhan vegetatif yang baik pada A6 menyebabkan tanaman dapat
menghasilkan bobot kering yang maksimal.
Perbedaan diantara aksesi akibat perlakuan naungan menunjukkan hasil
kandungan total filantin maupun hipofilantin yang berbeda. Aksesi enam dan
aksesi tujuh dipilih untuk dilakukan analisis lebih lanjut karena memperlihatkan
respon terhadap parameter pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan
dengan aksesi meniran hijau lainnya. Aksesi nomor 13 merupakan meniran merah
yang menunjukkan potensi kandungan bioaktif yang tinggi. Data ini tidak
dianalisis statistik karena merupakan hasil analisis komposit (analisis dilakukan
dengan cara mencampurkan bahan contoh menjadi satu pada perlakuan yang sama
dari 3 ulangan).
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 16,
kandungan total filantin tertinggi (0.12 % bobot kering) dihasilkan aksesi meniran
hijau asal Gresik (A7) tanpa naungan (N0). Kandungan total hipofilantin tertinggi
(0.13 % bobot kering) ditunjukkan oleh perlakuan pemberian naungan 50% pada
aksesi meniran hijau asal Gresik (A7).
76

Tabel 21 Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi meniran pada
berbagai tingkat naungan
Aksesi
Naungan A6 A7 A13
(meniran hijau) (meniran hijau) (meniran merah)
Filantin (%)

0% 0.05 0.12 td
25% 0.08 0.11 td
50% 0.08 0.09 0.001

Hipofilantin (%)

0% 0.06 0.12 td
25% 0.09 0.12 td
50% 0.08 0.13 td

Keterangan : td = tidak terdeteksi

0.12 0.12 0.13


0.14 0.12
0.12 0.11
0.1 0.09
persen (%)

0.08
0.06
filantin
0.04
0.02 hipofilantin
0
0
25
50

Tingkat naungan (%)

Gambar 16 Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran aksesi tujuh


pada beberapa tingkat naungan.
Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan total filantin
maupun hipofilantin meniran pada perlakuan naungan yang berbeda. Perlakuan
pemberian naungan 50% meningkatkan kandungan total hipofilantin sedangkan
perlakuan tanpa naungan didapatkan kandungan total filantin tertinggi. Hasil
penelitian Figuera et al. (2006) menunjukkan adanya produksi biomassa,
kandungan lignan (filantin dan hipofilantin) yang berbeda diantara 4 daerah yang
77

diteliti. Produksi biomassa berkisar antara 16.97 hingga 20.75 g tanaman-1 dan
kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24 % berat berat-1.
Untuk meniran merah asal Bangkalan (A13), kandungan total filantin
dapat terdeteksi pada perlakuan naungan 50% sebesar 0.001 %, sedangkan pada
perlakuan yang lain tidak terdeteksi. Meniran merah (A13) pada hampir semua
perlakuan naungan tidak terdeteksi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian
Tripathi et al. (2006) yang menggunakan analisis HPLC dan HPTLC terhadap P.
amarus, P. fraternus, P. urinaria, P. maderaspatensis, P. virgatus dan P. debilis
yang menunjukkan bahwa P. urinaria dan P. debilis tidak terdeteksi. Kandungan
total filantin pada naungan 50% menunjukkan bahwa terpacunya pembentukan
filantin pada meniran merah (A13) dengan adanya naungan.

Simpulan
1. Meniran hijau membutuhkan kondisi terbuka hingga ternaungi 25% untuk
menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi.
2. Meniran hijau membutuhkan kondisi tanpa naungan, merah memerlukan
naungan 50% untuk menghasilkan filantin.
3. Meniran hijau membutuhkan naungan 50% untuk menghasilkan
kandungan total hipofilantin yang tinggi.
79

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN &


HIPOFILANTIN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN
MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA
BERBAGAI CARA PEMUPUKAN

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai cara pemupukan
terhadap pertumbuhan dan kandungan filantin dan hipofilantin dua jenis meniran
(Phyllanthus niruri L. dan Phyllantus urinaria L.) Penelitian dilakukan di Kebun
Percobaan IPB di Babakan Sawah Baru, Bogor, Jawa Barat dengan ketinggian
250 m dpl dari dari bulan Pebruari sampai dengan Mei 2010. Percobaan disusun
berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari dua
faktor. Faktor pertama adalah Pemupukan (P) yang terdiri dari tanah (P0 = tanpa
pupuk), pupuk kandang (P1), pupuk NPK (P2), pupuk kandang + pupuk NPK
(P3). Faktor kedua adalah jenis meniran (M) yang terdiri dari M1 = meniran hijau
(Phyllantus niruri L.) asal Bangkalan (A6), M2 = Meniran hijau (Phyllantus
niruri L.) asal Gresik (A7), dan M3 = meniran merah (Phyllanthus urinaria L.)
asal Bangkalan (A13). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan
pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, aksesi meniran hijau (A6 dan
A7) membutuhkan pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang
+ NPK. Meniran hijau (A7) membutuhkan pemberian pupuk kandang untuk
menghasilkan kandungan total filantin tertinggi (0,17 % bobot kering) dan
hipofilantin tertinggi (0,26% bobot kering). Meniran merah (Phyllanthus urinaria
L.) membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK menghasilkan antosianin
tertinggi (5.00 mg g-1).
Kata kunci : meniran hijau, meniran merah, filantin, hipofilantin, antosianin

Abstract
The objective of this research was to identify the effects of various ways of
fertilizer on growth and phyllantin contents and also hypophyllantin of two
species Phyllanthus (Phyllanthus niruri L. and Phyllantus urinaria L.) The
research conducted at Lahan Penelitian IPB Babakan Sawah Baru, Bogor, West
Java with an altitude of 250 m above sea level from February to May 2010.
Experiment based on randomized block design (RGD) factorial which divided in
two factors. The first factor is about the fertilization (P) that consist of soil (P0 =
without fertilizer), manure (P1), fertilizer NPK (P2), manure + NPK fertilizer
(P3). The second factor is the type meniran (M) which consists of M1 = green
meniran (Phyllantus niruri L.) from Bangkalan (A6), M2 = green meniran
(Phyllantus niruri L.) from Gresik (A7), and M3 = red meniran (Phyllanthus
urinaria L.) from Bangkalan (A13). The results said that to increase growth and
achieve high biomass production; green meniran (Phyllantus niruri L.) accession
(A6 and A7) need a combination of fertilizer manure + NPK. Green meniran (A7)
found to contain the highest amounts of phyllanthin (0.17% dry weight) and
hypophyllantin (0.26% dry weight) with given of manure. On the other side, red
80

meniran (Phyllanthus urinaria L.) needs manure + NPK to produce the highest
contain of anthocyanin (5.00 mg g-1).

Key words: green meniran, red meniran, phyllantin, hypophyllantin, anthocyanin

Pendahuluan
Produksi pada tanaman obat tidak hanya ditentukan oleh kuantitas
produksi, tetapi juga oleh kandungan bioaktif yang terdapat di dalam tanaman.
Kandungan bioaktif berhubungan dengan kandungan metabolit sekunder yang
dihasilkan dari perubahan metabolit primer dalam metabolit sekunder.
Kandungan dan jumlah metabolit primer dan sekunder sebagai komponen
produksi dalam tanaman obat dipengaruhi oleh unsur hara yang diserap tanaman.
Kecukupan jumlah dan jenis unsur hara dalam bentuk pupuk maupun yang alami
dari tanah sangat menentukan dalam pertumbuhan, perkembangan dan produksi
tanaman yang optimal. Menurut Fageria (2009) Kebutuhan jumlah hara makro
yang lebih tinggi berhubungan dengan perannya dalam pembentukan karbohidrat,
protein daan lemak. Sedangkan hara mikro berperan paling besar dalam proses
enzimatis dalam tanaman.
Jumlah metabolit sekunder dalam tanaman obat dipengaruhi oleh jenis dan
jumlah unsur hara (Saharkhiz dan Omidbaigi 2008). Winarto (2003) menyatakaan,
pengaruh ini bisa berupa peningkatan dan penurunan dan diduga akan
mengakibatkan perubahan efek atau khasiat tanaman obat.
Menurut Indriani (2002) aplikasi pupuk kandang ke lahan-lahan pertanian
memberikan keuntungan antara lain : memperbaiki struktur tanah, sumber unsur
hara bagi tanaman, menambah kandungan humus atau bahan organik dalam tanah,
meningkatkan aktivitas jasad renik, meningkatkan kapasitas menahan air,
mengurangi erosi dan pencucian dan meningkatkan kapasitas tukar kation dalam
tanah.
Pemupukan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik. Menurut
Prasad dan Power (1997) pupuk organik meliputi bahan-bahan yang berasal dari
tanaman atau hewan dalam berbagai bentuk berbeda dari dekomposisi yang
ditambahkan ke tanah untuk memasok hara kepada tanaman dan memperbaiki
sifat-sifat fisik tanah. Salah satu pupuk organik yang banyak digunakan adalah
81

pupuk kandang. Pupuk kandang memiliki kelebihan karena mengandung unsur


hara yang cukup lengkap dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Aplikasi pupuk kandang 20 ton ha-1 dapat menambah jumlah hara dalam
jumlah besar. Pupuk kandang juga mengandung hara mikro sehingga penggunaan
secara berkesinambungan dapat mencegah defisiensi hara mikro akibat
penggunaan pupuk anorganik dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama.
Pupuk anorganik memiliki kelebihan dibandingkan pupuk kandang, yaitu
jumlah dan kandungan unsur hara yang sudah pasti sehingga jumlah yang
diberikan ke dalam tanaman lebih akurat. Disamping itu ketersediaannya di tanah
setelah aplikasi juga lebih cepat. Penggunaan pupuk organik sebagai sumber
tunggal hara tanaman memiliki beberapa masalah. Kandungan hara yang rendah,
beragam dan secara umum tidak seimbang agak menyulitkan dalam memenuhi
ketersediaan hara yang tepat dan seimbang. Berdasarkan hal tersebut dan adanya
pemikiran akan sistem pertanian berkelanjutan menimbulkan gagasan untuk
memadukan penggunaan pupuk organik dan anorganik (Prasad dan Power 1997).
Chand et al. (2001) menyatakan aplikasi hara secara terpadu mempunyai
pengaruh yang baik untuk pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman.
Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pemupukan. Djauharia et
al. (1993) mendapatkan pertumbuhan dan produksi herba meniran meningkat
dengan penggunaan 400 kg ha-1 Urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-36 (36% P205) dan
200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (pupuk organik) 20 ton per
hektar. Namun belum diketahui peningkatan kandungan bioaktif tanaman karena
pemupukan. Secara umum produksi bahan bioaktif merupakan perkalian antara
bobot bagian tanaman yang dipanen dengan kandungan bahan bioaktifnya.
Pemupukan lengkap NPK pada peppermint (Mentha piperita L.) meningkatkan
tinggi dan bobot biomassa sebesar 18-79% sedangkan kadar minyak atsiri
meningkat 23-86%. Pemupukan tanaman menthe juga meningkatkan kadar
menthol dalam minyak menthe (Jeliazkova et al. 1999).
Pupuk kalium dapat meningkatkan kadar pyrethrin yang berkorelasi
dengan konsentrasi K dalam jaringan apical pada tanaman pyrethrum (Tanacetum
cinerariifolium). Pengaruhnya berlangsung selama 2 musim. Sedangkan pupuk P
meningkatkan bioaktif pyrethrum dan berkorelasi dengan peningkatan konsentrasi
82

P dalam tanah, dalam jaringan daun, produksi biomassa dan konsentrasi pyrethrin
(Salardini et al. 2006).
Pertumbuhan tanaman Datura inoxia meningkat dengan meningkatnya
pemberian nitrogen dari 150 mg/l hingga 450 mg/l dan mengalami penurunan
dengan kenaikan dosin 600 mg/l. Pemberian N dalam bentuk NH4 atau urea lebih
memacu pertumbuhan dibandingkan dalam bentuk NO3. Dalam penelitian ini
tidak ditemukan hubungan antara persentase N dalam organ tanaman dan
konsentrasi alkaloid (Ruminska dan El Gamal 1978). Sedangkan pemupukan N
pada medicinal pumpkin (Cucurbita pepo convar, pepo var styriaca)
meningkatkan jumlah klorofil dan kandungan N daun dibandingkan tanaman yang
tidak dipupuk N. Peningkatan klorofil dan N tertinggi pada dosis 225 dan 300 kg
N/ha, sedangkan kandungan B-sitosterol tertinggi didapatkan pada dosis 75 kg
N/ha (Aroiee dan Omidbaigi 2004). Lillo et al. (2008) melaporkan kandungan
flavonoid meningkat sebagai respon kekurangan nitrogen dan posfor pada
tanaman. Manipulasi senyawa ini kemungkinan dapat digunakan untuk
mengontrol tingkat senyawa yang diinginkan dan memperbaiki kualitas tanaman.
Enzim kunci dalam shikimate pathway yang merupakan penghasil prekusor untuk
lintasan flavonoid, diatur transkripsinya sebagai umpan balik asam amino
aromatik dan mungkin dikontrol redox melalui fotosintesis. Analisis transkripsi
pada Arabidopsis menyimpulkan bahwa level transkripsi pada shikimate pathway
yang dipengaruhi oleh hara lebih kecil dibandingkan dengan flavonoid pathway.
Cyanidin dan turunan flavonol meningkat sebagai respon terhadap kekurangan
nitrogen. Kaemferols merupakan flavanol dominan dalam daun Arabidopsis pada
kondisi normal, tetapi akumulasi quercetin dapat ditriger oleh kekurangan
nitrogen dengan kombinasi faktor-faktor abiotik.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemupukan terhadap
pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif antosianin, filantin dan
hipofilantin dua jenis meniran.
83

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru IPB, Dramaga
Kabupaten Bogor Jawa Barat dari bulan Pebruari 2010 sampai dengan Mei 2010.
Analisis unsur hara tanah dan pupuk kandang dilakukan di Laboratorium Fisika
dan Kimia Tanah Jurusan Ilmu Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan
IPB. Analisis NPK jaringan tanaman di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah
Bogor. Analisis antosianin di Laboratorium RGCI AGH IPB, analisis kandungan
bioaktif filantin dan hipofilantin di Laboratorium Terpadu Pusat Studi Biofarmaka
IPB.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah biji dua jenis
meniran yaitu meniran hijau asal Bangkalan, meniran hijau asal Gresik dan
meniran merah asal Bangkalan, pupuk NPK terdiri dari 400 kg ha-1 Urea (46% N),
150 kg ha-1 SP-36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20). Pupuk kandang
(kotoran ayam) 20 ton per hektar, dan pestisida hayati. Bahan yang dipakai untuk
analisis di laboratorium adalah : satu set bahan untuk analisis unsur hara, analisis
antosianin, klorofil dan analisis kandungan total filantin dan hipofilantin.
Alat yang dipakai dalam percobaan di lapangan adalah, satu set peralatan
untuk penanaman, pengamatan dan satu set alat tulis. Sedangkan alat yang
digunakan dalam analisis laboratorium adalah satu set peralatan analisis unsur
hara, analisis antosianin, klorofil dan analisis kandungan total filantin dan
hipofilantin.

Metodologi Penelitian
Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial
yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah Pemupukan (P) yang terdiri
dari tanah (P0 = tanpa pupuk), pupuk kandang (P1), pupuk NPK (P2), pupuk
kandang + pupuk NPK (P3). Faktor kedua adalah jenis meniran (M) yang terdiri
dari M1 = meniran hijau asal Bangkalan (A6) M2 = Meniran hijau asal Gresik
(A7) dan M3 = meniran merah asal Bangkalan (A13). Terdapat 12 kombinasi
84

perlakuan yang diulang 3 kali sehingga secara keseluruhan terdapat 36 kombinasi


perlakuan.

Model linier rancangan yang digunakan adalah :

Yijk = + i + j + ()ij + ijk

Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh pemupukan ke-i atau jenis
meniran ke-j pada kelompok ke-k

= nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan

i = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan pemupukan ke-i

j = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan jenis meniran ke-j

()ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi pemupukan ke-i dan jenis
meniran ke-j

ijk = pengaruh galat pada perlakuan pemupukan ke-i, jenis meniran ke-j dan
kelompok ke-k

i = 1,2,3,4 untuk perlakuan pemupukan

j = 1,2,3 untuk perlakuan jenis meniran

k = pengaruh ulangan/kelompok

Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan


software SAS 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan
Sumertajaya 2002).

Persiapan Media Tanam


Tanah dikeringanginkan dan diayak. Sebagian tanah dipisah, sedangkan
sebagian yang lain dicampur dengan dengan pupuk kandang ayam sebanyak 10
ton hektar-1. Pupuk NPK diberikan dalam bentuk 400 kg Urea hektar-1, 150 kg SP-
36 hektar-1 dan 200 kg KCl hektar-1. Pupuk kandang dan SP-36 diberikan
seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua kali yaitu
pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada saat umur
tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam
polibag ukuran (25 x 30) cm. Dilakukan inkubasi selama 7 hari.
85

Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan


Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media
semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan
1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan
angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian
ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang
ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan
pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah
telah mempunyai minimal empat daun majemuk.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma
dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi
atau sore hari selama satu bulan pada awal penanaman dengan asumsi tidaak ada
hujan. Selanjutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan keperluan. Pengendalian
hama dan penyakit dengan insektisida organik. Pengendalian gulma dilakukan
dengan cara penyiangan.

Pengamatan
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk
tanaman, diamati setiap 2 minggu.
2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna,
diamati setiap 2 minggu.
3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu.
4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan
cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan
menggunakan jangka sorong digital.
5. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun
dan batang.
6. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.
7. Analisis kesuburan tanah sebelum percobaan. Disajikan pada Lampiran 6.
86

8. Analisis kandungan N,P dan K pada pupuk kandang kotoran ayam yang
digunakan. Disajikan pada Lampiran 7.
9. Analisis jaringan tanaman tanaman untuk penetapan N (metode Kjedahl),
penetapan P dan K (metode pengabuan kering). Disajikan pada Lampiran
8.
10. Analisis antosianin daun. Sampel daun adalah daun yang telah terbentuk
sempurna dan daun yang terkena matahari secara langsung. Sampel
diambil pada akhir penelitian. Analisis menggunakan metode Yosida et al.
(1976) yang telah dimodifikasi (Sims dan Gamon 2002). Disajikan pada
Lampiran 2.
11. Analisis High Performance Liquid Chromatography (HPLC) kandungan
total filantin (% bobot kering) dan hipofilantin (% bobot kering)
berdasarkan Tripathi et al. (2006) yang dimodifikasi. Prosedur analisis :
1 gram sampel kering meniran yang telah dihaluskan diekstraksi dengan
metanol (3 x 10 ml masing-masing 10 jam) pada suhu kamar (25 5oC),
selanjutnya disaring untuk mendapatkan filtrat yang ditera menjadi 50 ml.
Analisis HPLC : menggunakan Shimadzu (Tokyo, Japan) model LC
20AD yang dilengkapi dengan dioda Shimadzu SPD-M20A dilengkapi
PAD (Photodiode Array Detector) untuk menentukan kemurnian puncak
dan kesamaan uji lignan. Kolom menggunakan LiChroCART250-4RP-
18e(5m). Penyaringan menggunakan nylon membrans filter 0.45 m x 47
mm. Panjang gelombang deteksi 220 nm. Volume injeksi untuk standar
dan sampel 20 L. Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh
perhitungan disajikan pada Lampiran 9.
87

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan tanaman
Perlakuan pemupukan dan jenis meniran berpengaruh nyata terhadap
jumlah cabang dan diameter batang (Tabel 22). Tanaman meniran yang diberi
pupuk menunjukkan peningkatan jumlah cabang dan diameter batang. Pada
keadaan tanpa pupuk, rata-rata jumlah cabang sebesar 45.56 dengan diameter
batang sebesar 4.07 mm lebih rendah dan berbeda nyata dengan jumlah cabang
dan diameter batang pada tanaman yang diberi pupuk kandang sebesar 73.56 dan
5.41 mm, pupuk NPK sebesar 101.78 dan 5.97 mm, dan pupuk kandang + NPK
sebesar 129.94 dan 7.49 mm.

Tabel 22 Pengaruh pemupukan terhadap jumlah cabang dan diameter batang dua
jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam
Perlakuan Peubah pengamatan
Jumlah cabang Diameter batang (mm)
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 112.54 a 6.59 a
Hijau asal Gresik (A7) 79.38 b 6.89 a
Merah asal Bangkalan (A13) 71.21 b 3.73 b
Pemupukan
Tanpa pupuk 45.56 c 4.07 c
Pupuk kandang 73.56 b 5.41 b
Pupuk NPK 101.78 a 5.97 b
Pupuk kandang + NPK 129.94 a 7.49 a
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Pemberian pupuk NPK dan pemberian pupuk kandang + NPK


menghasilkan jumlah cabang yang tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan
pemberian pupuk kandang maupun pemberian pupuk NPK menghasilkan
diameter batang tidak berbeda nyata. Pemberian pupuk kandang + NPK
menunjukkan penambahan jumlah cabang dan diameter batang yang maksimal.
Pada Tabel 22 dapat dilihat, meniran hijau asal Bangkalan mempunyai
jumlah cabang maksimal (112.54) dan berbeda nyata dengan meniran hijau asal
88

Gresik (79.38) dan meniran merah asal Bangkalan (71.21). Sedangkan meniran
hijau asal Gresik mempunyai diameter batang terbesar (6.89 mm) dan tidak
berbeda nyata dengan meniran hijau asal Bangkalan (6.59 mm). Meniran merah
asal Bangkalan mempunyai diameter batang terkecil (3.73 mm).
Meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik secara umum menunjukkan
pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan meniran merah. Diduga hal
ini berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara
efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan
hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran
merah.

Tabel 23 Interaksi pemupukan terhadap tinggi tanaman dua jenis meniran umur 4
minggu setelah tanam
Jenis Meniran
Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal
Bangkalan Gresik Bangkalan
(A6) (A7) (A13)
Tanpa pupuk 13.73 de 13.33 de 6.40 f
Pupuk kandang 18.20 cd 21.67 bc 8.53 ef
Pupuk NPK 26.67 ab 25.80 ab 9.27 ef
Pupuk kandang + NPK 31.53 a 30.87 a 11.93 ef
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Hasil analisis statistik menunjukkan pada umur 4 MST terjadi interaksi


antara pemupukan dengan jenis meniran terhadap tinggi tanaman. Tabel 23
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata diantara jenis meniran terhadap
perbedaan pupuk yang diberikan. Pada 4 MST tinggi tanaman yang tertinggi
(31.53 cm) ditemukan pada meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian
pupuk kandang + NPK diikuti meniran hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk
kandang + NPK (30.87 cm), meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik dengan
pemberian pupuk NPK (26.67 cm; 25.80 cm). Pemberian pupuk pada meniran
hijau meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini berkaitan erat dengan jumlah hara
yang meningkat dan serapan hara yang relatif meningkat pula. Meniran merah
asal Bangkalan tanpa pemupukan mempunyai tinggi tanaman terendah (6.40 cm).
89

Demikian juga dengan meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik tanpa
pemupukan mempunyai tinggi tanaman yang rendah (13.73 cm; 13.33 cm).
Terdapat perbedaan pengaruh yang nyata antara pemberian pupuk pada meniran
hijau dibandingkan meniran merah. Sebaliknya pada berbagai perlakuan
pemupukan, meniran hijau asal Bangkalan menunjukkan pengaruh tidak berbeda
nyata dengan meniran hijau asal Gresik.
Hasil sidik ragam menunjukkan jenis meniran dan pemupukan
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun majemuk. Pada 2 MST terdapat
interaksi antara jenis meniran dengan pemupukan terhadap jumlah daun majemuk
(Tabel 24).
Interaksi antara pemupukan dengan jenis meniran terhadap jumlah daun
majemuk menujukkan meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang +
NPK mempunyai jumlah daun majemuk terbanyak (21.13) diikuti meniran hijau
asal Bangkalan dengan pemberian pupuk yang sama (18.93). Meniran merah asal
Bangkalan menunjukkan jumlah daun majemuk lebih sedikit dan terendah pada
perlakuan tanpa pemupukan (5.60; 5.73; 7.13; 8.00).

Tabel 24 Interaksi pemupukan terhadap jumlah daun majemuk dua jenis meniran
umur 2 minggu setelah tanam
Jenis Meniran
Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal
Bangkalan Gresik Bangkalan
(A6) (A7) (A13)
Tanpa pupuk 10.07 efg 8.00 fgh 5.60 h
Pupuk kandang 11.67 def 13.27 cde 5.73 h
Pupuk NPK 15.47 bcd 16.07 bc 7.13 gh
Pupuk kandang + NPK 18.93 ab 21.13 a 8.00 fgh
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Kandungan NPK pada jaringan tanaman


Gambar 16 menunjukkan bahwa pemberian pupuk meningkatan kadar
hara N,P dan K pada jaringan tanaman semua jenis meniran. Meniran hijau asal
Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara N, P dan K
yang lebih tinggi (2.31%; 0.35%; 2.36%), meniran hijau asal Gresik yang diberi
90

pupuk kandang +NPK mempunyai kadar hara N,P dan K pada jaringan tanaman
yang lebih tinggi (3.04%; 0.32%; 2.45%). Meniran merah asal Bangkalan yang
diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara N, P dan K lebih tinggi
(2.88%; 0.34%; 2.15%) dibandingkan dengan berbagai perlakuan pemupukan
lainnya.

4
Persen (%)

3
2
1 Nitrogen
0 Fospor
Kalium

Kombinasi Perlakuan

Gambar 17 Kandungan hara N,P dan K pada jaringan tanaman meniran


hijau dan meniran merah dengan perlakuan pemupukan (data
tidak dianalisis).

Meniran hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk kandang + NPK


mempunyai kadar hara N (3.04%) dan K (2.45%) tertinggi, sedangkan meniran
hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara
fospor tertinggi (0.35%). Meniran merah asal Bangkalan dengan berbagai
kombinasi pemupukan menunjukkan kadar hara K terendah .

Bobot Basah Tanaman


Hasil sidik ragam menunjukkan pemupukan dan jenis meniran
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot basah batang, bobot basah akar dan
bobot basah total tanaman. Sedangkan jenis meniran pengaruhnya tidak berbeda
nyata terhadap bobot basah akar. Ada interaksi antara jenis meniran dengan
pemupukan terhadap bobot basah batang.
91

Tabel 25 Interaksi pemupukan terhadap bobot basah batang dua jenis meniran
umur 10 minggu setelah tanam
Jenis Meniran
Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal
Bangkalan Gresik Bangkalan
(A6) (A7) (A13)
Tanpa pupuk 2.76 e 2.14 e 1.67 e
Pupuk kandang 6.36 dc 3.13 e 2.18 e
Pupuk NPK 9.34 abc 7.37 bc 2.73 e
Pupuk kandang + NPK 13.40 a 10.32 ab 3.40 de
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK


mempunyai bobot basah batang maksimal (13.40 g tanaman-1) diikuti meniran
hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk kandang + NPK (10.32 g tanaman-1)
dan meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk NPK (9.34 g tanaman-1).
Secara umum, meniran hijau menunjukkan penambahan bobot basah batang
dengan adanya penambahan pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang + NPK.
Meniran merah asal Bangkalan tanpa pemupukan mempunyai bobot basah
batang (1.67 g tanaman-1) terendah dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
pemberian pupuk kandang (2.18 g tanaman-1), pupuk NPK (2.73 g tanaman-1)
maupun pemberian pupuk kandang + NPK (3.40 g tanaman-1). Sedangkan
meniran hijau asal Gresik mempunyai pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap bobot basah batang antara perlakuan tanpa pemupukan dengan perlakuan
pemberian pupuk kandang saja. Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot
basah batang terendah pada perlakuan tanpa pemupukan (1.67 g tanaman-1).
Tanaman membutuhkan unsur hara seiring dengan meningkatnya pertumbuhan.
Kekurangan unsur hara esensial akan menghambat proses metabolisme primer dan
sekunder yang berlangsung dalam tanaman.
92

Tabel 26 Pengaruh pemupukan terhadap bobot basah akar, daun dan total dua
jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam
Peubah pengamatan
Perlakuan Bobot basah Bobot basah Bobot basah
akar daun total
(g tan-1) (g tan-1) (g tan-1)
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 5.50 10.76 a 24.22 a
Hijau asal Gresik (A7) 6.46 8.59 b 20.79 a
Merah asal Bangkalan (A13) 5.88 7.62 b 15.99 b
Pemupukan
Tanpa pupuk 3.43 c 4.87 c 10.49 d
Pupuk kandang 5.18 b 6.76 c 15.83 c
Pupuk NPK 6.55 b 9.96 b 22.99 b
Pupuk kandang + NPK 8.62 a 14.37 a 32.03 a
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot basah daun (10.76 g


tanaman-1) dan bobot basah total (24.22 g tanaman-1) tertinggi. Bobot basah total
meniran hijau asal Bangkalan tidak berbeda nyata dengan bobot basah total (20.79
g tanaman-1) meniran hijau asal Gresik. Sedangkan bobot basah daun (7.62 g
tanaman-1) terendah terdapat pada meniran merah asal Bangkalan dan tidak
berbeda nyata dengan bobot basah daun (8.59 g tanaman-1) meniran hijau asal
Gresik.
Perlakuan pemupukan meningkatkan bobot basah akar, bobot basah daun
dan bobot basah total tanaman. Bobot basah akar (8.62 g tanaman-1), bobot basah
daun (14.37 g tanaman-1) dan bobot basah total (32.03 g tanaman-1) tertinggi
didapat pada pemberian pupuk kandang + NPK. Penambahan pupuk akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang tersedia di dalam pupuk
kandang ayam mengandung sejumlah unsur hara makro seperti N, P, K, Mg dan S
sedangkan pupuk NPK yang ditambahkan menyediakan unsur hara makro esensial
yang langsung tersedia. Semua unsur hara tersebut dibutuhkan tanaman dalam
proses metabolisme (Marschner 1995). Nirwan (2007) mendapatkan peningkatan
bobot basah tajuk yang dipengaruhi oleh pemupukan pada tanaman daun dewa.
93

Peningkatan bobot basah tajuk tertinggi dihasilkan pada penggunaan pupuk


kandang ayam dan penambahan SO4.

Bobot Kering Tanaman


Hasil sidik ragam menunjukkan jenis meniran dan pemupukan
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering batang dan bobot kering total
tanaman. Sedangkan bobot kering akar dan bobot kering daun pengaruhnya tidak
berbeda nyata. Ada interaksi antara jenis meniran dengan pemupukan terhadap
bobot kering batang.

Tabel 27 Interaksi pemupukan terhadap bobot kering batang dua jenis meniran
umur 10 minggu setelah tanam
Jenis Meniran
Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal
Bangkalan Gresik Bangkalan
(A6) (A7) (A13)
Tanpa pupuk 0.87 f 1.05 f 0.70 f
Pupuk kandang 4.42 cde 1.78 ef 1.07 f
Pupuk NPK 7.09 abc 5.26 bcd 1.44 ef
Pupuk kandang + NPK 11.19 a 8.17 ab 2.10 def
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Tabel 27 menunjukkan meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian


pupuk kandang + NPK mempunyai bobot kering batang (11.19 g tanaman -1)
maksimal diikuti meniran hijau asal Gresik dengan pupuk kandang + NPK (8.17 g
tanaman-1) dan meniran hijau asal Bangkalan dengan pupuk NPK (7.09 g
tanaman-1). Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai respon yang baik pada
parameter bobot kering batang dengan adanya pemupukan baik dengan
penggunaan pupuk kandang, pupuk NPK maupun gabungan keduanya. Meniran
hijau asal Gresik memberikan respon yang baik terhadap pupuk NPK dan
gabungan pupuk kandang + NPK pada bobot kering batang. Sedangkan bobot
kering batang terendah (0.70 g tanaman-1) ditunjukkan meniran merah asal
Bangkalan pada berbagai perlakuan pemupukan.
94

Tabel 28 Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, daun dan total dua
jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam
Peubah pengamatan
Perlakuan Bobot kering Bobot kering Bobot kering
akar daun total
(g tan-1) (g tan-1) (g tan-1)
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 3.47 6.95 16.31 a
Hijau asal Gresik (A7) 4.48 6.04 14.58 a
Merah asal Bangkalan (A13) 3.72 4.57 9.63 b
Pemupukan
Tanpa pupuk 1.48 c 2.58 c 4.94 d
Pupuk kandang 3.21 b 4.17 c 9.81 c
Pupuk NPK 4.48 ab 6.59 b 15.67 b
Pupuk kandang + NPK 6.39 a 10.06 a 23.61 a
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa perlakuan pemupukan


berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, bobot kering daun dan bobot total
meniran. Perlakuan jenis meniran berpengaruh nyata terhadap bobot kering total
dan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan bobot kering daun.
Pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai bobot kering akar (6.39 g
tanaman-1), bobot kering daun (10.06 g tanaman-1) dan bobot kering total (23.61 g
tanaman-1) maksimal. Bobot kering akar maksimal pada perlakuan pemberian
pupuk kandang + NPK tidak berbeda nyata dengan penggunaan pupuk NPK saja.
Perlakuan tanpa pemupukan mempunyai bobot kering akar (1.48 g tanaman-1),
bobot kering daun (2.58 g tanaman-1) dan bobot total tanaman (4.94 g tanaman-1)
terendah dimana bobot kering daun tanpa pemupukan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan pemberian pupuk kandang.
Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot total tanaman tertinggi
(16.31 g tanaman-1) dan tidak berbeda nyata dengan bobot total (14.58 g tanaman-
1
) meniran hijau asal Gresik. Meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot
kering total (9.63 g tanaman-1) terendah (Tabel 28).
95

Hasil analisis statistik menunjukkan terjadi interaksi jenis meniran dengan


pemupukan terhadap kandungan antosianin daun meniran umur 10 minggu setelah
tanam.
Tabel 29 Interaksi pemupukan terhadap kandungan antosianin daun dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam
Jenis Meniran
Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal
Bangkalan Gresik Bangkalan
(A6) (A7) (A13)
Tanpa pupuk 2.38 cd 2.07 d 2.37 cd
Pupuk kandang 3.15 b 3.05 bc 2.71 bcd
Pupuk NPK 2.60 bcd 3.25 b 2.94 bc
Pupuk kandang + NPK 3.23 b 2.72 bcd 5.00 a
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Meniran merah asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK


mempunyai kandungan antosianin daun (5.00 mg g-1) tertinggi. Meniran hijau
asal Gresik tanpa pupuk mempunyai kandungan antosianin (2.07 mg g -1) terendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran merah secara genetis mempunyai
kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu peningkatan kandungan
antosianin juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara melalui pemberian
pupuk kandang + pupuk NPK.
Berdasarkan hasil analisis kesuburan tanah dan kandungan hara pada
pupuk kandang, ditemukan kandungan hara makro esensial yang terdiri dari N, P,
dan K. Penambahan unsur hara makro N, P dan K melalui pemupukan semakin
memberikan kecukupan hara bagi pertumbuhan tanaman. Unsur hara makro N, P
dan K dalam tanaman secara bersama-sama berperan penting dalam pembentukan
klorofil daun, pembentukan metabolit sekunder dan proses translokasi dalam
tanaman (Marschner 1995, Malkin dan Niyogi 2000). Hornok (1992) menyatakan
bahwa produksi senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid dipacu dengan
adanya unsur S dalam tanaman. Sulfur dalam berntuk sulfat menstimulasi
pembentukan senyawa asetil CoA yang memacu pembentukan senyawa golongan
flavonoid.
96

Hasil Penelitian Mualim (2009) Produksi antosianin kolesom dipengaruhi


oleh pemupukan. Pemupukan yang memberikan antosianin yang tertinggi dengan
media tanah dan pupuk kandang adalah NK (100 kg urea ha-1 dan 100 kg KCl ha-
1
), dimana kalium merupakan faktor pembatas pada produksi antosianin.

Tabel 30 Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi meniran pada
berbagai perlakuan pemupukan
Jenis meniran

Pemupukan Hijau asal Hijau asal Gresik Merah asal


Bangkalan (A7) Bangkalan
(A6) (A13)
Filantin (%)

Tanpa pupuk 0.060 0.140 0.002


Pupuk kandang 0.080 0.180 0.002
Pupuk NPK 0.050 0.060 0.001
Pupuk kandang + 0.090 0.070 0.001
NPK
Hipofilantin (%)

Tanpa pupuk 0.130 0.180 0.003


Pupuk kandang 0.100 0.260 0.002
Pupuk NPK 0.060 0.080 0.001
Pupuk kandang + 0.090 0.090 0.002
NPK
97

0.3 0.26
0.25 0.18

Persen (%)
0.2 0.17
0.14
0.15
0.08 0.09
0.1
0.06 0.07 Filantin
0.05
0 Hipofilantin

Tanpa
Pupuk Pupuk
pupuk Pupuk
kandang NPK
kandang
+ NPK
Pemupukan

Gambar 18 Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau asal


Kabupaten Gresik pada berbagai perlakuan pemupukan.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 30 dan Gambar 18, belum
terlihat pola penurunan maupun peningkatan kandungan total filantin dan
hipofilantin pada berbagai perlakuan pemupukan. Meniran hijau asal Bangkalan
dan Gresik menunjukkan kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih
tinggi dibandingkan dengan meniran merah.
Pemberian pupuk kandang pada meniran hijau asal Gresik menunjukkan
kandungan total filantin yang tertinggi sebesar 0.18 % berat kering dan
hipofilantin tertinggi sebesar 0.26 % berat kering.

Simpulan
1. Meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk berupa kombinasi
pemberian pupuk kandang + NPK untuk menghasilkan pertumbuhan dan
produksi biomassa yang tinggi
2. Meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang untuk
menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin yang tinggi.
3. Meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK untuk
menghasilkan kandungan antosianin daun yang tinggi.
98
99

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN


MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN
MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI KADAR
AIR TANAH

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai kadar air tanah
terhadap pertumbuhan dan kandungan antosianin dua jenis meniran (Phyllanthus
niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) Penelitian dilakukan di di Rumah Kaca
University Farm IPB Cikabayan, Dramaga Bogor terletak pada ketinggian 250 m
di atas permukaan laut (dpl). dimulai pada bulan Juni 2010 sampai dengan
September 2010. Percobaan disusun berdasarkan percobaan faktorial dalam
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama
adalah tingkat ketersediaan air tanah (K) terdiri dari 100% air tersedia (K0), 75%
air tersedia (K1), 50% air tersedia (K2), 25% air tersedia (K3). Faktor kedua
adalah dua jenis meniran (M) terdiri dari M1 = meniran hijau (Phyllanthus niruri
L.) asal Bangkalan (A6), M2 = meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Gresik
(A7), dan M3 = meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan (A13).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan dan
produksi biomassa yang tinggi, meniran merah (A13) membutuhkan kadar air
tanah 100% tersedia bagi tanaman. Meniran merah (A13) membutuhkan kadar air
tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan klorofil a, klorofil b dan
total klorofil yang tinggi. Meniran merah (A13) membutuhkan kadar air tanah
50% tersaedia bagi tanaman untuk menghasilkan antosianin yang tinggi.
Kata kunci : meniran hijau, meniran merah, antosianin, klorofil, kadar air tanah

Abstract
The objective of this research was to study the effects of differences in soil
moisture content on growth and contain of anthocyanins of two species
Phyllanthus (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) The research was
observed at the Rumah Kaca University Farm Cikabayan IPB, Bogor Dramaga at
an altitude of 250 m above sea level (asl) from June 2010 to September 2010. This
work used factorial experiment in randomized block design (RGD), which
consists of two factors. The first factor was the availability of ground water level
(K) consists of 100% of water available (K0), 75% of water available (K1), 50%
of water available (K2), 25% of water available (K3). The second factor is two
species of Phyllanthus (M) which consists of M1 = green meniran (Phyllanthus
niruri L.) from Bangkalan (A6), M2 = green meniran (Phyllanthus niruri L.) from
Gresik (A7), and M3 = red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan
(A13). The results indicated that to increase growth and high biomass production,
red meniran (A13) requires 100% soil moisture available to plants. Thus, red
meniran (A13) requires 100% soil moisture avaiable to plants to produce the high
100

level of chlorophyll a, chlorophyll b and total chlorophyll. The high contain of


anthocyanins is able to achieve with 50% soil moisture available to plants.
Key words: green meniran, red meniran, anthocyanin, chlorophyll, water content

Pendahuluan
Air merupakan komponen utama pada tanaman. Air sangat dibutuhkan
tanaman karena dapat berperan sebagai zat pelarut, transportasi hara, penjaga
turgiditas sel dan sebagai bahan fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Menurut
Filter dan Hay (1994) kandungan air pada tanaman dapat mencapai 70-90% dari
bobot segar jaringan dan organ tanaman dan sebagian besar dikandung dalam sel.
Jumlah air yang dapat diserap dan tersedia bagi tanaman adalah perbedaan
antara batas jumlah air tanah di dalam tanah pada kapasitas lapang sampai jumlah
air pada persentase kelayuan permanen (Darmawan dan Baharsjah 2010).
Kandungan air tanah sangat dipengaruhi oleh luas permukaan partikel tanah
(Gardner et al. 2008). Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa selama masa
hidupnya tanaman umumnya memerlukan air untuk melakukan transpirasi dari
daunnya mencapai 100 kali berat tubuhnya. Hillel (1990) menyebutkan dari
seluruh total jumlah air yang diserap hanya sedikit air yang dipergunakan untuk
keperluan fotosintesis dan keperluan metabolismenya, selebihnya sekitar 99% air
tersebut akan hilang sebagai uap melalui proses transpirasi pada daun dan kanopi
tanaman. Dengan demikian jika tanaman memiliki ukuran yang besar maka akan
membutuhkan air dalam jumlah yang besar.
Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut kapasitas lapang.
Kapasitas lapang yaitu kemampuan tanah untuk dapat menahan air setelah
dilakukan pemberian air sampai jenuh. Nilai kapasitas lapang sangat beragam
tergantung jenis tanah. Tanah liat atau tanah dengan kandungan humus tinggi
mampu menahan air sampai 40% dari volume kapasitas lapang setelah beberapa
hari. Sangat berbeda dengan tanah berpasir yang hanya dapat menahan 3% air dari
volume kapasitas lapang (Taiz dan Zeiger 2002). Ketersediaan air dalam tanah
bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah -0.03
MPa dan layu permanen -1.5MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap
tanaman adalah pada potensial air -0.03 sampai -0.5 MPa dan pada kondisi
tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55-65% dari yang tersedia. Pada
101

kondisi potensial air sekitar -0.5 sampai -1.5 MPa tanaman menunjukkan gejala
kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air.
Besarnya air yang dibutuhkan tanaman selalu meningkat bersamaan
dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air juga dipengaruhi
oleh faktor genetis dari tiap varietas.
Menurut Sinclair dan Ludlow (1986), respon tanaman terhadap kekeringan
dibagi dalam tiga level. Kekeringan level pertama ialah : air masih cukup banyak,
tanaman dapat mengambil air untuk transpirasi dan stomata terbuka penuh.
Kekeringan level kedua, akar tanaman tidak mampu lagi menunjang suplai air
yang cukup ke bagian atas tanaman (daun) dan stomata secara bertahap menutup
menyesuaikan dengan kehilangan air agar turgor daun dapat dipertahankan.
Kekeringan level ketiga, ketika akar tanaman sudah tidak bisa lagi mencukupi air
untuk transpirasi, stomata menutup dan semua proses fisiologi yang terlibat dalam
pertumbuhan termasuk fotosintesis terhambat.
Darmawan dan Baharsjah (2010) menyatakan bahwa tersedianya air tanah
secara tidak langsung mempengaruhi kadar air sel daun yang seterusnya
mempengaruhi terbukanya stomata sehingga mempengaruhi fotosintesis.
Salisbury dan Ross (1995), Cseke et al. (2006) menyebutkan senyawa-senyawa
golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya.
Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai
prekusor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa
flavonoid termasuk antosianin. Pada tanaman, antosianin berfungsi dalam hal
resistensi terhadap penyakit.
Menurut Jones et al. (1992) mekanisme ketahanan tanaman terhadap
kekeringan adalah (1) penghindaran terhadap defisit air yang meliputi : a)
melepaskan diri dari cekaman misalnya dengan memperpendek siklus
pertumbuhan dan memperpanjang periode dorman, b) konservasi air pada
tanaman yang diwujudkan dalam bentuk ukuran daun yang kecil, penutupan
stomata, kultivar tanaman yang resisten dan penyerapan radiasi matahari yang
terbatas, c) penyerapan air yang efektif, diwujudkan dalam bentuk morfologi akar
yang memanjang, dalam dan tebal, (2) toleran terhadap defisit air yaitu dengan
cara, a) memelihara tekanan turgor, b) mengaktifkan larutan pelindung untuk
102

aktifitas enzim yang toleran kekeringan dan (c) mekanisme efisiensi melalui
pengggunaan air yang tersedia secara efisien dan memaksimalkan indeks panen.
Untuk mengatasi terjadinya cekaman oksidatif karena kekeringan,
tanaman memiliki mekanisme untuk meningkatkan ketahanannya, diantaranya
dengan meningkatkan pembentukan dan aktivitas enzim antioksidan seperti
glutation peroksidase (GPX), Glutation reduktase (GR), Superoxida Dismutase
(SOD) dan senyawa antioksidan lainnya yang dapat menyelamatkan tanaman dari
ROS (Rhodes dan Samaras 1994). Kerusakan cekaman oksidatif terjadi apabila
terdapat ketidakseimbangan antara kemampuan enzim antioksidan dan toksifikasi
ROS (Rodriguez et al. 2002).
Selain enzim antioksidan tanaman juga meningkatkan mekanisme untuk
menghadapi kekeringan dengan mengakumulasi senyawa osmoprotektan dan
larutan yang sesuai seperti prolin. Akumulasi prolin merupakan upaya tanaman
untuk melindungi enzim dari proses denaturasi. Selain itu, prolin juga dapat
berinteraksi dengan membrane, mengatur keseimbangan kemasaman sitosol
dengan perbandingan NADH/NAD+ berfungsi sebagai sumber energi dan
membantu sel untuk menghadapi cekaman oksidatif. Oleh karena itu prolin
disebut sebagai osmoprotektan (Konstantinova et al. 2002).
Rahardjo et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan asiatikosida
tanaman pegagan di lapang pada kondisi normal (100%) adalah 2.93%.
Kandungan asiatikosida meningkat menjadi 3.56% apabila tanaman mengalami
cekaman air (50%). Penelitian terhadap tiga kultivar Eragrostis curvula
menunjukkan terjadinya penurunan mencapai 50% berat kering tanaman setelah
mengalami cekaman kekeringan (Colom dan Vazzana 2000).
Pada tanaman meniran, belum diketahui berapa besar kebutuhan air untuk
pertumbuhan tanaman. Demikian juga dengan informasi hubungan antara
kebutuhan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhadap
pembentukan senyawa bioaktifnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh tingkat kadar air tanah tersedia terhadap pertumbuhan, produksi
biomassa dan kandungan antosianin meniran.
103

Bahan dan Metode


Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan,
Dramaga Bogor terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl).
dimulai pada bulan Juni 2010 sampai dengan September 2010. Analisis
kandungan antosianin dan kadar klorofil daun pada waktu panen dilaksanakan di
Laboratorium Molekuler dan kloning AGH IPB. Pengamatan stomata dan trikoma
pada minggu terakhir pengamatan di Laboratorium Mikro Teknik AGH IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain adalah bahan tanam berupa biji meniran
hijau asal Bangkalan dan Gresik dan meniran merah asal Bangkalan, tanah, pupuk
kandang kotoran ayam pupuk NPK, polibag ukuran 25 x 30 cm, air, dan bahan
untuk analisis klorofil dan antosianin. Alat yang digunakan antara lain alat untuk
penanaman, alat untuk pengamatan, alat analisis penentuan kadar air, alat analisis
klorofil dan antosianin, alat tulis dan oven.

Metodologi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial dalam
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama
adalah tingkat ketersediaan air tanah (K) terdiri dari 100% air tersedia (K0), 75%
air tersedia (K1), 50% air tersedia (K2), 25% air tersedia (K3). Faktor kedua
adalah dua jenis meniran (M) yang terdiri dari M1 = meniran hijau asal
Bangkalan (A6) M2 = Meniran hijau asal Gresik (A7) dan M3 = meniran merah
(A13). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan dengan tiga kali
ulangan sehingga terdapat 36 satuan percobaan.
Model linier rancangan yang digunakan adalah :

Yijk = + i + j + ()ij + ijk

Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh tingkat ketersediaan air tanah
ke-i atau jenis meniran ke-j pada kelompok ke-k

= nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan


104

i = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan tingkat ketersediaan air tanah


ke-i

j = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan jenis meniran ke-j

()ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi tingkat ketersediaan air tanah
ke-i dan jenis meniran ke-j

ijk = pengaruh galat pada perlakuan tingkat ketersediaan air tanah ke-i, jenis
meniran ke-j dan kelompok ke-k

i = 1,2,3,4 untuk perlakuan tingkat ketersediaan air tanah

j = 1,2,3 untuk perlakuan jenis meniran

k = pengaruh ulangan/kelompok

Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan


software SAS versi 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan
Sumertajaya 2002).

Pelaksanaan Penelitian
Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air
tersedia. Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan mencari selisih antara kadar
air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Penetapan kadar air kapasitas lapang
menggunakan alat pressure plate apparatus dan penetapan kadar air titik layu
permanen menggunakan alat pressure membrane apparatus. Penetapan kadar air
kapasitas lapang menggunakan contoh tanah utuh sedangkan untuk titik layu
permanen digunakan contoh tanah kering udara berdiameter 2 mm. Contoh
tanah utuh diambil dengan menggunakan tabung tembaga (copper ring) pada
kedalaman 0 20 cm. Selanjutnya contoh tanah tersebut dijenuhi dengan air
sampai berlebihan dan dibiarkan selama 48 jam. Alat ditutup rapat, kemudian
diberi tekanan sesuai dengan pF yang dikehendaki. Jika telah tercapai
keseimbangan contoh tanah dikeluarkan dan ditetapkan kadar airnya dengan
metode gravimetri.
105

Untuk menentukan kadar air tanah kering udara dilakukan dengan cara
menimbang contoh tanah kering udara (BKU). Kemudian contoh tanah tersebut
dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 24 jam (BK). Selanjutnya
kadar air tanah pada keadaan kering udara dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus berikut :

BKU - BK
KA = x 100%
BK

Dimana : KA = Kadar air tanah kering udara

BKU = Bobot tanah kering udara

BK = Bobot tanah kering mutlak (oven)

Untuk menentukan tingkat kadar air tersedia dari masing-masing


perlakuan adalah sebagai berikut :

1. 100% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (100/100 x % kadar air
tersedia) + % kadar air titik layu permanen
2. 75% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (75/100 x % kadar air
tersedia) + % kadar air titik layu permanen.
3. 50% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (50/100 x % kadar air
tersedia) + % kadar air titik layu permanen.
4. 25% air tersedia, kadar air tanahnya adalah = (25/100 x % kadar air tersedia) +
% kadar air titik layu permanen.
Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan
setiap hari dengan menimbang bobot tanah dan tanaman yang ada dalam polibag.
Koreksi terhadap pertambahan bobot tanaman dilakukan dengan mencabut
tanaman dan menimbang bobot tanaman sesuai kombinasi perlakuan setiap 2
minggu dengan menggunakan contoh tidak tetap yang disediakan khusus untuk
koreksi bobot basah tanaman.
Penanaman
Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media
semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan
106

1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan
angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian
ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang
ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan
pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah
telah mempunyai minimal empat daun majemuk.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma
dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi
sesuai dengan perlakuan. Pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida
organik. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan.

Pengamatan
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk
tanaman, diamati setiap 2 minggu.
2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna,
diamati setiap 2 minggu.
1. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu.
2. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan
cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan
menggunakan jangka sorong digital.
3. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun
dan batang.
4. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara
menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.
5. Analisis klorofil dan antosianin daun. Analisis klorofil dilakukan untuk
mendapatkan kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil tanaman.
Semua analisis dilakukan pada akhir penelitian. Menggunakan metode
Yosida et al. (1976) yang telah dimodifikasi (Sims dan Gamon 2002).
Cara kerja disajikan pada Lampiran 2.
107

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan tanaman
Perlakuan kadar air tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,
jumlah daun dan jumlah cabang dua jenis meniran. Perlakuan kadar air tanah
tersedia berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Sedangkan jenis meniran
pengaruhnya tidak berbeda nyata.

Tabel 31 Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah cabang dan diameter batang dua jenis meniran umur 10 minggu
setelah tanam
Peubah pengamatan
Perlakuan Tinggi Jumlah Jumlah Diameter
tanaman daun cabang batang
(cm) (mm)
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 72.58 a 267.53 b 38.00 b 3.99
Hijau asal Gresik (A7) 72.08 a 216.23 b 34.58 b 4.06
Merah asal Bangkalan (A13) 36.33 b 301.32 a 58.08 a 4.01
Kadar air tanah
100% 67.56 a 342.78 a 53.56 a 4.54 a
75% 63.78 a 314.20 a 53.67 a 4.02 ab
50% 59.00 ab 269.78 ab 37.24 b 3.96 b
25% 53.67 b 200.02 b 29.56 b 3.56 b
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai tinggi tanaman (72.58 cm)


maksimal diikuti oleh meniran hijau asal Gresik (72.08 cm). Meniran merah asal
Bangkalan mempunyai tinggi tanaman (36.33 cm) terendah. Namun pertambahan
tinggi tanaman pada meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik tidak diikuti dengan
penambahan jumlah daun dan jumlah cabang. Meniran merah asal Bangkalan
mempunyai jumlah daun (301.32) dan jumlah cabang (58.08) maksimal.
Demikian juga dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan
meniran merah mempunyai diameter batang lebih besar dibandingkan dengan
kedua meniran hijau lainnya.
108

Adanya perbedaan pertumbuhan antara meniran hijau dan meniran merah


diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol ketahanan tanaman
terhadap kadar air tanah yang berbeda. Adanya perbedaan toleransi antar tanaman
terhadap kadar air yang berbeda juga dilaporkan Winarbawa (2000) pada dua tipe
kapolaga Sabrang. Sukarman et al. (2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air
yang sama, tapak dara bunga merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan
tapak dara bunga putih.
Perlakuan kadar air tanah tersedia secara nyata meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan diameter batang. Kadar air tanah
tersedia 100% mempunyai tinggi tanaman (67.56 cm), jumlah daun (342.78),
jumlah cabang (53.56) dan diameter batang (4.54 mm) maksmial, diikuti oleh
kadar air tanah 75% (63.78 cm; 314.20; 53.67; 4.02 mm) dan kadar air tanah
tersedia 50% (59.00 cm; 269.78; 37.24; 3.96 mm) yang tidak berbeda nyata. Pada
kadar air 25% didapatkan tanaman dengan tinggi tanaman (53.67 cm), jumlah
daun (200.02), jumlah cabang (29.56) dan diameter batang (3.56 mm) terendah,
diikuti kadar air tanah 50% dengan tinggi tanaman 59.00 cm, jumlah daun,
267.78, jumlah cabang 37.24, dan diameter batang 3.96 mm. Hal ini erat
kaitannya dengan menurunnya aktivitas fotosintesis dan translokasi hara di dalam
tanaman (Levit 1980).

Bobot Basah dan Bobot kering tanaman


Hasil analisis ragam menunjukkan jenis meniran berpengaruh nyata
terhadap bobot basah batang dan bobot basah total. Sedangkan bobot basah akar
dan bobot basah daun tidak berpengaruh nyata. Perlakuan kadar air tanah tersedia
berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar, bobot basah batang, bobot basah
daun dan bobot basah tanaman.
Tabel 32 menunjukkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot
basah batang (10.41 g tanaman-1) tertinggi. Meniran hijau asal Bangkalan
mempunyai bobot basah batang (7.49 g tanaman-1) terendah diikuti meniran hijau
asal Gresik mempunyai bobot basah batang (7.66 g tanaman-1) yang tidak berbeda
nyata. Bobot basah total (29.91 g tanaman-1) tertinggi pada meniran merah asal
Bangkalan diikuti bobot basah total (26.10 g tanaman-1) meniran hijau asal
109

Bangkalan. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk


bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya sehingga dapat
tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter batang, jumlah
daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan tanaman meniran merah
dapat menghasilkan bobot batang dan bobot basah total yang maksimal. Terlihat
kecenderungan meniran merah mempunyai bobot basah akar dan bobot basah
daun yang tinggi. Kemampuan tanaman meniran merah terhadap cekaman
berhubungan dengan adanya trikoma dan antosianin pada daun meniran. Keadaan
ini menyebabkan tanaman dapat bertahan terhadap cekaman yang terjadi dan tetap
melanjutkan proses pertumbuhan dan pembentukan biomassanya.
Tabel 32 Pengaruh kadar air tanah terhadap bobot basah akar, batang, daun dan
total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam
Peubah pengamatan
Perlakuan Bobot Bobot Bobot basah Bobot
basah akar basah daun (g tan-1) basah total
(g tan-1) batang (g tan-1)
-1
(g tan )
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 2.94 7.49 b 15.66 26.10 ab
Hijau asal Gresik (A7) 2.47 7.66 b 14.19 24.32 b
Merah asal Bangkalan (A13) 3.26 10.41 a 16.24 29.91 a
Kadar air tanah
100% 3.79 a 11.21 a 20.83 a 35.84 a
75% 2.89 ab 8.99 a 16.88 ab 28.76 b
50% 2.88 ab 8.09 ab 13.93 bc 24.89 b
25% 2.01 b 5.78 b 9.81 c 17.60 c
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Pemberian air pada tanaman meniran, pada kadar air 100% tersedia
menunjukkan bobot basah akar (3.79 g tanaman-1), bobot basah batang (11.21 g
tanaman-1), bobot basah daun (20.83 g tanaman-1) dan bobot basah total (35.84 g
tanaman-1) maksimal. Terjadi penurunan yang nyata pada bobot basah total
(17.60 g tanaman-1) pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya
dengan menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman.
110

Tabel 33 Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap bobot kering akar, berat
kering batang, berat kering daun dan berat kering total dua jenis
meniran umur 10 minggu setelah tanam
Peubah pengamatan
Bobot Bobot Bobot Bobot
Perlakuan kering kering kering kering
akar batang daun total
(g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1)
Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6) 1.70 2.36 5.61 ab 9.67 ab
Hijau asal Gresik (A7) 1.37 2.59 4.46 b 8.42 b
Merah asal Bangkalan (A13) 1.55 2.39 6.27 a 10.20 a
Kadar air tanah
100% 3.79 a 3.18 a 6.39 a 11.78 a
75% 2.89 ab 2.50 a 5.91 a 10.03 b
50% 2.88 ab 2.37 ab 5.35 ab 9.09 b
25% 2.01 b 1.73 b 4.14 b 6.82 c
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.

Tabel 33 menunjukkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot


kering daun (6.27 g tanaman-1) dan bobot kering total (10.20 g tanaman-1)
tertinggi diikuti meniran hijau asal Bangkalan dengan bobot kering daun sebesar
5.61 g tanaman-1 dan bobot kering total sebesar 9.67 g tanaman-1. Meniran hijau
asal Gresik mempunyai bobot kering daun (4.46 g tanaman-1) dan bobot kering
total (8.42 g tanaman-1) terendah dan tidak berbeda nyata dengan meniran hijau
asal Bangkalan. Kemampuan meniran merah untuk tumbuh dengan baik
menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot kering daun dan
bobot kering total yang tinggi.
Tanaman meniran dengan kadar air 100% tersedia mempunyai bobot
kering akar (3.79 g tanaman-1), bobot kering batang (3.18 g tanaman-1), bobot
kering daun (6.39 g tanaman-1) dan bobot kering total (11.78 g tanaman-1). Terjadi
penurunan nyata pada bobot kering total tanaman (6.82 g tanaman-1) pada kadar
air 25%. Tanaman dengaan kadar air 50% sampai dengan 75% mempunyai bobot
kering total yang tidak berbeda nyata.
Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air
tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga
mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi juga
111

terhadap bobot kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian
Rahardjo et al. 1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat
menurunkan akumulasi biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang)
dan peningkatan cekaman air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan
bobot biomassa sebesar 191 mg.

Klorofil dan Antosianin Daun


Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi jenis meniran dan
kadar air terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil dan antosianin
tanaman meniran.

Tabel 34 Interaksi kadar air tanah terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total
klorofil dan antosianin daun dua jenis meniran umur 10 MST
Jenis Meniran
Kadar air tanah Hijau asal Hijau asal Gresik Merah asal
Bangkalan (A7) Bangkalan
(A6) (A13)
-1
Klorofil a (mg g )
100% 2.15 cde 2.59 cd 6.98 a
75% 1.63 de 1.43 e 4.32 b
50% 2.86 c 1.25 e 5.37 b
25% 3.22 c 1.61 de 4.63 b
-1
Klorofil b (mg g )
100% 0.93 efg 1.08 efg 2.79 a
75% 0.70 g 0.73 fg 1.68 cd
50% 1.21 ef 0.64 g 2.17 b
25% 1.33 de 0.76 fg 1.87 bc
-1
Total klorofil (mg g )
100% 3.08 efg 3.66 ef 9.77 a
75% 2.34 fg 2.16 fg 5.99 cd
50% 4.06 e 1.99 g 7.54 b
25% 4.55 de 2.37 fg 6.49 bc
Antosianin (mg g-1)
100% 0.99 a 0.25 c 0.56 bc
75% 0.29 c 0.91 ab 0.29 c
50% 0.27 c 0.55 bc 1.02 a
25% 0.43 c 0.30 c 0.91 ab
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada : 0.05.
112

Meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia
100% mempunyai kandungan klorofil a (6.98 mg g-1), kandungan klorofil b (2.79
mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) terbesar. Kandungan antosianin terbesar
(1.02 mg g-1) ditemukan pada meniran merah asal Bangkalan dengan kadar air
tanah tersedia 50%, diikuti meniran hijau asal Bangkalan (0.99 mg g-1) dengan
kadar air tanah 100% (0.99 mg g-1) dan meniran hijau asal Gresik dengan kadar
air tanah tersedia 75% . Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan
tersedia untuk tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air.
Selanjutnya tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar
air dalam sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata
sehingga mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010).
Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil (klorofil a dan
klorofil b) yang merupakan pigmen penyerap energi yang utama. Energi cahaya
digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH yang kaya
energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Prekusor
utama dalam pembentukan klorofil adalah glutamat yang merupakan senyawa
organik intermediet (Gambar 3). Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman, intensitas cahaya juga berperan penting. Awad et al. (2001)
menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan
kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar
Jonagold. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan peningkatan antosianin karena
pengaruh cahaya.

Simpulan

1. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman
untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi.
2. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman
untuk menghasilkan klorofil a, klorofil b dan total klorofil yang tinggi.
3. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman
untuk menghasilkan kandungan antosianin daun yang tinggi.
113

PEMBAHASAN UMUM

Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta,


subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili
Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999).
Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al.
1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003).
Pusat Studi Biofarmaka (2008) telah melakukan pemetaan tanaman obat di
Indonesia termasuk meniran yang mencakup 10 daerah studi yaitu Kabupaten
Bagor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung (Propinsi
Jawa Barat), Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang (Propinsi Jawa
Tengah), Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo (Jawa Timur), Kabupaten
Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Hasil eksplorasi
menunjukkan bahwa secara agronomis tanaman meniran belum dibudidayakan
secara intensif, kadar bahan aktif dominan pada kelompok rendah dan sedang
dengan lokasi yang bervariasi.
Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa
Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran
hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6), satu aksesi meniran merah (A13) asal Bangkalan
dan enam meniran hijau (A7, A8, A9, A10, A11, A12) asal Gresik. Hasil survei
terhadap pendapat masyarakat menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah
dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat
mengambil seluruh bagian tanaman untuk mengobati beberapa penyakit seperti
untuk penyakit susah buang air kecil, panas karena demam, sakit gigi dan
digunakan dalam perawatan persalinan. Pengetahuan tentang manfaat tanaman
didapat secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat
yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah
apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan
pembudidayaan.
Hasil eksplorasi terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan variasi yang
besar dalam beberapa karakter morfologi dan kandungan bioaktif. Kondisi
morfologi tanaman ditunjukkan oleh karakter pertumbuhan dan produksi
114

biomassa. Produksi bioaktif ditunjukkan oleh kandungan flavonoid. Tinggi


tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total
mempunyai korelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masing-
masing dengan nilai r1y = 0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter
tersebut maka produksi biomassa kering akan meningkat.
Pengaruh langsung terbesar terhadap bobot kering total ditunjukkan oleh
karakter diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89), diikuti oleh karakter jumlah
cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot
basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86). Hasil
analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa karakter jumlah
daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai pengaruh
tidak langsung yang negatif terhadap bobot kering total, hanya karakter
kandungan flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pada tinggi tanaman menyebabkan penurunan
pada bobot kering total. Keadaan ini diduga disebabkan tinggi tanaman pada
waktu survei dilakukan sangat beragam karena umur tanaman yang diambil untuk
sampel sangat bervarisi dengan rentang yang lebar. Karakter tinggi tanaman
dalam hal ini tidak dapat digunakan sebagai karakter yang digunakan dalam
seleksi.
Analisis lintas terhadap keberadaan flavonoid menunjukkan diameter
batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan jumlah daun
mempunyai hubungan langsung yang negatif. Koefisien korelasi semua karakter
positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi.
Analisis komponen utama menunjukkan akumulasi keragaman komponen
tinggi, hanya dengan dua komponen utama sudah menghasilkan nilai akumulasi
91.90% keragaman. Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih
adalah selaras dengan nilai ciri berupa 9 karakter yaitu bobot basah total, bobot
basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun, bobot kering batang,
diameter batang, jumlah cabang dan bobot kering total pada komponen utama 1
dan 4 karakter yaitu bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering daun dan
115

bobot basah daun pada komponen utama 2. Berdasarkan hasil analisis komponen
utama terhadap karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terbentuk 3
kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor
1,2,3,4,5, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B
terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 6 dan aksesi meniran hijau
asal Gresik nomor 7. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran merah asal
Bangkalan nomor 13. Berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap keseluruhan
karakter morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram dengan
pengelompokan aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar
69.82%. Kelompok A terdiri dari semua aksesi meniran hijau asal Bangkalan
(A1, A2, 3, A4, A5, A6) dan semua aksesi meniran hijau asal Gresik (A7,A8,A9,
A10, A11, A12). Kelompok B terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13.)
Hasil pengelompokan berdasarkan penanda RAPD menunjukkan pada
tingkat kemiripan 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis dapat
dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari meniran hijau asal
Bangkalan aksesi nomor 3,4,6, meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9, dan
10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari
aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan
tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau
asal Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%.
Kelompok D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan
aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar
94%. Kelompok E yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat
kemiripan sebesar 90% sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan
dari kelompok E dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat
kemiripan sebesar 83% sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan
semua meniran hijau (nomor 1 sampai nomor 12) dan meniran merah (aksesi
nomor 13) dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar
27%. Keragaman suatu populasi tanaman dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
Keragaman yang luas dari suatu karakter akan memberikan peluang yang baik
116

dalam proses seleksi karena proses perbaikan karakter tanaman dapat sesuai
dengan yang diharapkan. Bahar dan Zen (1993), menyatakan bahwa pelaksanaan
seleksi secara visual yaitu memilih fenotipe yang baik belum memberikan hasil
yang memuaskan tanpa berpedoman pada nilai karakter genetik yaitu ragam
genetik, heritabilitas dan kemajuan genetik.
Hasil seleksi terhadap karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang
dilanjutkan dengan analisis komponen utama berdasarkan keragaman karakter
morfologi dan kandungan antosianin daun terhadap 13 aksesi meniran
menunjukkan, dari 12 aksesi meniran hijau, 2 aksesi meniran hijau yaitu aksesi
meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) dapat dipilih untuk penelitian
selanjutnya. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A6 dan A7)
mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa secara nyata lebih tinggi
dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13) didapatkan mempunyai potensi kandungan bioaktif yang lebih besar. A6,
A7 dan A13 yang terpilih akan digunakan dalam penelitian untuk melihat respon
tanaman terhadap pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara).
Analisis kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan RAPD menunjukkan aksesi
meniran hijau mengelompok dalam satu kelompok sedangkan aksesi meniran
merah memisah pada kelompok yang lain.
Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman meniran sangat ditentukan
oleh faktor lingkungan sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik,
produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi diperlukan adanya perlakuan
yang tepat pada budidaya tanaman. Perlakuan budidaya yang diberikan adalah
dengan mengatur intensitas naungan dan intensitas cahaya, pemberian unsur hara
melalui pemupukan dan pengaturan kadar air tanah tersedia yang tepat dalam
menunjang pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif meniran.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan
respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai
perlakuan naungan. Untuk menghasilkan produksi biomassa yang tinggi melalui
peningkatan diameter batang, jumlah daun majemuk dan jumlah cabang meniran
hijau cenderung membutuhkan keadaan terbuka tanpa naungan hingga ternaungi
25%. Aksesi meniran merah (A13) secara umum menunjukkan respon
117

pertumbuhan dan peningkatan biomassa total yang rendah tetapi menunjukkan


kemampuan dapat beradaptasi pada kondisi cahaya penuh maupun di bawah
naungan dalam membentuk cabang dan pertumbuhan akar yang baik dengan
adanya bobot basah akar tertinggi.
Perlakuan pemberian naungan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
pada produksi biomassa seperti bobot basah akar, bobot basah daun, bobot basah
batang, bobot basah total, bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering
batang, bobot kering batang. Diduga hal ini dikarenakan letak antar tanaman
dalam polibag yang terlalu dekat ( 30 cm) sehingga terjadi penaungan antar daun
tanaman yang berdekatan. Penaungan juga terjadi antar daun dalam satu tanaman.
Semuanya ini akan mempengaruhi banyaknya sinar matahari yang jatuh ke
permukaan daun. Daun bagian atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi
sedangkan daun-daun bagian bawah menerima sebagian kecil dari radiasi
langsung berupa bercak-bercak sinar matahari yang lewat dari daun lapisan luar.
Hal ini mengakibatkan tanaman tidak memberikan respon pada produksi biomassa
yang dihasilkan dari pertumbuhan tanaman. Radiasi tidak langsung menjadi nyata
disebabkan radiasi yang dipancarkan melalui daun dan dipantulkan kembali dari
daun serta permukaan tanah (Gardner et al. 2008).
Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) pada kondisi cahaya penuh
kandungan total filantinnya sebesar 0.12%. Pada tingkat naungan 50%
menunjukkan kandungan total filantin 0.09 % lebih rendah dibandingkan naungan
25% sebesar 0.11%. Sedangkan kandungan total hipofilantin menunjukkan
peningkatan dengan bertambahnya tingkat naungan (50%). Pada kondisi tanpa
naungan dan ternaungi 25%, kandungan total hipofilantinnya sebesar 0.12%.
Pada tingkat naungan 50%, kandungan hipofilantin aksesi meniran hijau asal
Gresik (A6) meningkat sebesar 0.13%. Aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13) menunjukkan kandungan total filantin dapat terdeteksi pada perlakuan
pemberian naungan 50% sebesar 0.001% bobot kering. Hasil ini menunjukkan
bahwa terpacunya pembentukan filantin pada meniran merah (A13) dengan
adanya naungan.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa untuk pertumbuhan, produksi
biomassa dan produksi bioaktif berupa kandungan total filantin, meniran hijau
118

cenderung membutuhkan cahaya penuh (tanpa naungan). Sedangkan apabila ingin


mendapatkan kandungan hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau dan filantin
pada meniran merah membutuhkan naungan hingga 50%.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan
respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai
perlakuan pemupukan. Untuk peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk,
bobot basah batang dan bobot kering batang, meniran hijau membutuhkan
pemberian pupuk kandang + NPK atau pupuk NPK saja. Diduga hal ini
berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara
efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan
hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran
merah. Meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai
kadar hara nitrogen dan kalium jaringan tanaman yang lebih tinggi (3.04%;
2.45%) Meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK
mempunyai kadar hara fospor jaringan tanaman tertinggi (0.35%). Tanaman
meniran hijau maupun merah tanpa pemupukan menunjukkan kadar hara NPK
pada jaringan tanaman yang lebih rendah (Gambar 16). Produksi biomassa total
yang tinggi membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK.
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan pemberian pupuk
kandang + NPK mempunyai kandungan antosianin daun tertinggi. Diduga Hal ini
berhubungan dengan faktor genetis. Meniran merah secara genetis mempunyai
kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu, peningkatan kandungan
antosianin pada meniran merah juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara
yang lengkap melalui pemberian pupuk kandang + NPK. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Ramesh et al. (2001) pada tanaman kalmegh
(Andrographis paniculata Nees) yang banyak digunakan sebagai anti HIV activity
dan imuno stimulan menunjukkan peningkatan pertumbuhan, hasil herba (ton per
hektar) dan peningkatan kandungan andrographolide dengan kombinasi
penggunaan pupuk organik + pupuk anorganik.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai
kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih tinggi daripada meniran
merah asal Bangkalan (A13). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) dengan
119

pemberian pupuk kandang mempunyai kandungan total filantin yang tertinggi


sebesar 0.18% dan kandungan hipofilantin tertinggi sebesar 0.26% (Gambar 17).
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Susanti et al. (2008) terhadap
kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) dimana terjadi penurunan kandungan
senyawa bioaktif pada daun dan umbi dengan peningkatan dosis pupuk kandang
ayam, sedangkan pupuk kandang ayam 15 ton per hektar dapat menghasilkan
produksi biomassa yang tertinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan dan produksi
biomassa, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Untuk
menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin tertinggi, meniran hijau
membutuhkan pupuk kandang saja. Sedangkan produksi antosianin yang tinggi
pada meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK.
Respon yang berbeda ditunjukkan oleh aksesi meniran hijau asal
Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) terhadap pertumbuhan dan peningkatan produksi
biomassa pada perlakuan kadar air tanah yang berbeda. Aksesi meniran hijau asal
Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai tinggi tanaman maksimal.
Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan
penambahan jumlah daun dan jumlah cabang yang maksimal. Demikian juga
dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan meniran merah
mempunyai diameter batang yang lebih besar. Hal ini menyebabkan penambahan
produksi biomassa total pada meniran merah asal Bangkalan (A13) yang lebih
tinggi dibandingkan meniran hijau.
Adanya perbedaan pertumbuhan vegetatif antara meniran hijau dan
meniran merah diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol
ketahanan tanaman terhadap kadar air tanah yang berbeda. Meniran merah
mempunyai kandungan antosianin yang tinggi pada daunnya. Sukarman et al.
(2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air yang sama, tapak dara bunga
merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan tapak dara bunga putih. Adanya
perbedaan toleransi antar tanaman terhadap kadar air yang berbeda juga
dilaporkan oleh Hamim (2004), Widiyasari dan Sugiarta (1997).
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai produksi
biomassa yang lebih tinggi. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan
120

tanaman untuk bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya


sehingga dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter
batang, jumlah daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan meniran
merah dapat menghasilkan produksi biomassa yang maksimal.
Pada umur tanaman 2 MST terjadi serangan hama pada lokasi penelitian
(Gambar 19). Serangga kutu kebul mengisap cairan tanaman dengan cara hinggap
pada daun tanaman lalu meletakkan dan menusukkan stiletnya. Keberadaan
trikoma pada tepi daun meniran merah dapat menghalangi proses tersebut. Pada
tepi daun meniran hijau tidak ditemukan trikoma (Gambar 20). Diduga hal ini
yang menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai tingkat ketahanan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan
Gresik (A7). Suimmons dan Gurr (2005) mengemukakan trikoma yang terdapat
pada spesies liar Lycopersicon menunjukkan ketahanan tanaman terhadap
serangga. Glandular trikoma menunjukkan efek yang negatif terhadap serangga.
Resistensi terhadap anthropoda berhubungan dengan tingginya kerapatan trikoma
pada Lycopersicon.

a b

Gambar 19 Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) meniran


merah yang sehat
121

a b

Gambar 20 Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah
dengan trikoma

Peningkatan pertumbuhan tanaman membutuhkan kadar air 50% hingga


100% tersedia bagi tanaman. Peningkatan produksi biomassa total membutuhkan
kadar air 100% tersedia. Terjadi penurunan yang nyata pada produksi biomassa
total pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya dengan
menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman. Salisbury
dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan
klorofil dihambat. Jiang dan Huang (2001) mendapatkan penurunan kandungan
klorofil pada daun rumput Tall fescue dan Kentucky bluegrass dengan semakin
terbatasnya air yang dapat diserap oleh tanaman.
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) membutuhkan kadar air
tanah 100% tersedia untuk menghasilkan kandungan klorofil a (6.98 mg g-1),
klorofil b (2.79 mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) maksimal. Sedangkan
peningkatan kandungan antosianin maksimal (1.02 mg g-1) didapatkan pada aksesi
meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia 50%, diikuti
meniran hijau asal Bangkalan (A6) dengan kadar air tanah 100% dan meniran
hijau asal Gresik (A7) dengan kadar air tanah tersedia 75%. Hal ini menunjukkan
bahwa aksesi meniran merah (A13) membutuhkan air tersedia yang lebih sedikit
dibandingkan aksesi meniran hijau (A6 dan A7) untuk menghasilkan antosianin
yang maksimal.
122

Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air


tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga
mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi bobot
kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian Rahardjo et al.
1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat menurunkan akumulasi
biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang) dan peningkatan cekaman
air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan bobot biomassa sebesar 191
mg. Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan tersedia untuk
tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air. Selanjutnya
tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar air dalam
sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata sehingga
mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010). Salisbury
dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan
klorofil dihambat. Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil
(klorofil a dan klorofil b) yang merupakan bahan penyerap energi yang utama.
Energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH
yang kaya energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat.
Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya
juga berperan penting. Intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan
kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar
Jonagold (Awad et al. (2001). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan terjadinya
peningkatan antosianin karena pengaruh cahaya. Konsentrasi antosianin pada kulit
buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar
50% dari cahaya matahari penuh (Barritt 1997). Antosianin pada daun terdapat
pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi
yang tinggi (Gould dan Lister 2006).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat suatu rancangan
teknologi budidaya meniran sebagai berikut.
Rancangan teknologi budidaya meniran
Persyaratan tumbuh
Meniran tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dpl
(Kartasubrata 2010) dengan curah hujan 2000 3000 mm per tahun. Hasil
123

eksplorasi menunjukkan meniran tumbuh di tempat lembab, kebun, tegalan,


pekarangan dengan cara bergerombol dalam jumlah yang cukup banyak.

Bahan tanam dan pembenihan


Perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji. Biji didapat dari tanaman
yang sudah tua, dipanen dan dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai.
Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan
perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah
diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban,
persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan
ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah 7-10 hari, tutup plastik
dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke lahan
atau pot. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal 4 daun majemuk (umur 1
bulan setelah tanam).
Budidaya meniran
Persiapan lahan dan media pot
Meniran dapat ditanam di lahan maupun dijadikan tanaman dalam pot.
Penanaman di lahan dengan cara membuat bedengan 1.5 x 2.5 m (Sulaksana dan
Jayusman 2004). Pengolahan tanah sedalam 30 cm. Jarak tanam 20 x 20 cm
(Kartasubrata 2010, Kardinan dan Kusuma 2004). Pot yang digunakan berukuran
diameter 20 cm. Dasar pot dilubangi untuk membuang kelebihan air.
Pemeliharan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan,
penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal tanam selama sebulan dengan
asumsi tidak ada hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran
membutuhkan kadar air tanah tersedia yang cukup (50-100% air tanah tersedia)
untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Pemberian air yang cukup dapat
digunakan oleh tanaman dapat meningkatkan kandungan antosianin daun pada
meniran merah.
Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis dan bila perlu
menggunakan pestisida hayati. Selama penelitian berlangsung terjadi serangan
124

hama yang menyerang daun dan tidak ditemukan gejala serangan penyakit.
Pengendalian dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida organik pada
tanaman dengan bahan utama insektisida berupa daun sereh. Pengendalian gulma
dilakukan dengan cara penyiangan secara manual.
Pupuk yang digunakan adalah 400 kg ha-1 urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-
36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (kotoran
ayam) 20 ton per hektar (Djauharia et al. 1993). Pupuk kandang dan SP-36
diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua
kali yaitu pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada
saat umur tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi biomassa meniran hijau secara maksimal dan terjadi peningkatan
kandungan antosianin daun meniran merah. Penggunaan pupuk kandang saja
dapat meningkatkan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau.
Pola tanam
Penanaman dapat dilakukan secara monokultur atau polikultur. Meniran
menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang maksimal bila ditanam
pada kondisi tanpa naungan. Pada keaadaan cahaya penuh, meniran hijau
menunjukkan kandungan total filantin yang tinggi. Pada penanaman secara
polikultur dapat ditanam dengan tanaman semusim yang mempunyai akar serabut
dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Penanaman di bawah tegakan hutan
dapat dilakukan pada kondisi tanaman utama berumur kurang dari 5 tahun dan
tidak memiliki percabangan yang rimbun. Hasil penelitian menunjukkan kondisi
naungan 50% dapat meningkatkan kandungan total hipofilantin meniran hijau dan
filantin meniran merah.
Panen
Panen dilakukan pada umur 3 4 bulan setelah tanam (Kartasubrata
2010). Panen pada penelitian ini dilakukan pada umur 3.5 bulan. Hasil produksi
total segar maksimal dengan pemberian pupuk kandang + NPK sebesar 32.03 g
tanaman-1 dan produksi total kering maksimal sebesar 23.61 g tanaman-1.
Penggunaan pupuk kandang saja menghasilkan produksi total segar 15.83 g
tanaman-1 dan produksi total kering 9.81 g tanaman-1.
125

Pascapanen
Herba hasil panen dicuci bersih, dikeringkan dengan alat pengering
dengan suhu tidak melebihi 60oC atau dapat dijemur di bawah matahari dengan
kadar air maksimal 14%. Selanjutnya digiling, dikemas dalam wadah plastik
hampa udara dan diberi label.

Tabel 35 Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope Herbal


Indonesia (2008)
Persyaratan Jumlah (%)
Susut pengeringan Tidak lebih dari 14%
Abu total Tidak lebih dari 7.2%
Abu tidak larut asam Tidak lebih dari 1.2%
Sari larut air Tidak kurang dari 16.0%
Sari larut etanol Tidak kurang dari 8.0%
Kandungan kimia simplisia Kadar flavonoid total tidak kurang dari
0.90% dihitung sebagai kuersetin
127

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Masyarakat di Kabupaten Bangkalan dan Gresik telah mengenal dan
memanfaatkan tanaman meniran sebagai obat. Tanaman meniran dapat
dibudidayakan sebagai tanaman obat.
2. Terdapat 2 jenis meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan
Gresik yaitu meniran hijau dan meniran merah yang membentuk 2
kelompok terdiri dari kelompok A semua aksesi meniran hijau dan
kelompok B satu aksesi meniran merah berdasarkan keragaman morfologi,
kandungan antosianin daun dan molekuler (genetis).
3. Diantara 12 aksesi meniran hijau terdapat 2 aksesi yaitu aksesi meniran
hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) yang mempunyai potensi
pertumbuhan dan produksi biomassa yang lebih tinggi. Aksesi meniran
merah asal Bangkalan (A13) mempunyai potensi produksi bioaktif yang
besar.
4. Meniran hijau membutuhkan kondisi terbuka hingga naungan 25%,
pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK dan
kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan
pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi,.
5. Meniran hijau membutuhkan kondisi tanpa naungan dan pemberian pupuk
kandang untuk menghasilkan kandungan total filantin yang tinggi.
Meniran merah memerlukan naungan 50% untuk menghasilkan kandungan
total filantin.
6. Meniran hijau membutuhkan naungan 50% dengan pemberian pupuk
kandang untuk menghasilkan kandungan total hipofilantin yang tinggi.
7. Meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK dengan
kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan antosianin
daun yang tinggi.
128

Saran

1. Perlu dilakukan eksplorasi terhadap tempat dengan ketinggian yang lebih


besar dan daerah yang berbeda untuk mendapatkan aksesi dengan jarak
genetik yang lebih luas.
2. Perlu dilakukan beberapa tahap seleksi terhadap produksi biomassa dan
produksi bioaktif meniran dengan menggunakan karakter kualitatif
maupun karakter kuantitatif.
3. Perlu dilakukan penelitian terhadap waktu panen yang tepat agar
didapatkan produksi biomassa dan bioaktif yang tinggi.
4. Perlu dikaji ulang penetapan dosis pemupukan yang tepat untuk meniran
merah yang tidak bisa disamakan dengan dosis pemupukan meniran hijau.
129

DAFTAR PUSTAKA

Akin-Osanaiye CB, Gabriel AF, Alebiosu RA. 2011. Characterization and


antimicrobial screening of ethyl oleate isolated from Phyllanthus amarus
(Schum and Thonn). Annals of Biol Res 2(2):298-305.

Aroiee H, Omidbaigi R. 2004. Effect of nitrogen on productivity of medical


pumpkin. Acta Hort 629:415-419.

Asadi D, Arsyad M, Zahara H, Darmijati H. 1997. Pemuliaan kedelai untuk


toleran naungan dan tumpangsari. Bul Agrobio 1(2):15-20.

Awad M.A. 2001. The Apple Skin : Colourful Healthiness. Developmental and
environmental regulation of flavonoid and chlorogenic acid in apples.
Egypt: Mansoura University. 142p.

Azmy HJ. 2002. Dampak konservasi dan konservasi lahan hutan terhadap
kehidupan. Bul Leuser 4(11) : 21-22.

Babbar LI, Zak DR. 1994. Nitrogen cycling in coffee agroecosystems. Agric
Eco Environ 48:107-113.

Barritt BH, Drake SR, Konishi BS, Rom CR. 1997. Influence of sunlight level
and rootstock on apple fruit quality. Acta Hort 451:569-577.

Bozhkov P, Arnold SV. 1998. PEG promotes maturation but inhibits further
development of picea abies somatic embryos. Physiol Plant 104:221-224.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 1. Jakarta:BPOM
RI.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Indikator Kesehatan 1995-2008. [terhubung


berkala]. http://www.bps.go.id. [18 Januari 2010].

Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000. Biochemistry and molecular


biology of plants. Rockville Maryland:American Society of Plants
Physiologists.

Chand S, Anwar M, Patra DD. 2004. Influence of fertilizer levels on growth,


yield and nutrient uptake of ratoon crop of stevia (Stevia rebaudiana). J
Med Arom Plant Sci 21(4):947-949.

Chitravadivu C, Manian S, Kalaichelvi K. 2009. Antimicrobial studies on


selected medicinal plants, erode region, Tamilnadu, India. Middle-East J
Sci Res 4(3):147-152.
130

Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumarjo S, Suwarno. 2000. Physiology and


genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team
Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education,
Ministry of Education and Culture.

Colom MR, Vazzana C. 2000. Water stress effects on three cultivars of Eragrotis
curvula. Ital J Agron 6:127-132.

Cseke LJ, Lu Casey R, Kornfeld A, Kaufman PB, Kirakosyan A. 2006. How and
Why these compounds are synthesized by plants. Di dalam: Cseke LJ,
Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL, editor.
Natural Products from Plants. Boca Raton, London, New York: Taylor
and Francis Group LCC CRC Pres. hlm 51-100.

Darmawan J, Baharsjah J. 2010. Dasar-dasar Ilmu Fisiologi Tumbuhan. Jakarta:


SITC. 86 hal.

Dalimarta S. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jakarta:Penebar Swadaya.

Davies KM, Schwinn KE. 2006. Molecular biology and biotechnology of


flavonoid biosynthesis. Di dalam: Andersen OM, Markham KR, editor.
FLavonoids Chemistry, Biochemistry and Applications. Boca Raton,
London, New York: Taylor and Francis Group LCC CRC Pres. hlm 143-
218.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Nilai Perdagangan Jamu di Indonesia Rp


4 trilyun per tahun. [terhubung berkala]. http://www.depkes.co.id. [15
Januari 2009]

De Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ, editor. 1999. Plant


Resources of South-East Asia 12. Medical and poisonous plants 1.
Netherlands:Backhys Pub.

Devlin R, Witham FH. Plant physiology (4th edition). Quezon City: PWS
Publisher.

Desta W, Widodo I, Sobir, Trikoesoemaningtyas, Soepandie D. 2006. Pemilihan


karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 kedelai
generasi F6. Bul Agron 34(1):19-24

Djauharia E, Emmyzar, Undang R. 1993. Pengaruh pemupukan terhadap


pertumbuhan dan produksi meniran (Phyllanthus niruri L.) Prosiding
Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L.
Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia.
131

Elfahmi. 2006. Phytochemical and biosynthetic studies of lignans with a focus


on Indonesia Medicinal plants [thesis]. Netherlands: University of
Groningen.

Elfarisna. 2000. Adaptasi kedelai terhadap naungan : Studi morfologi dan


anatomi. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Emmyzar, Ngadiman, Rochimat I. 1993. Pengaruh berbagai media tumbuh
terhadap pertumbuhan dan produksi meniran. Prosiding Seminar Meniran
dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14
Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.

Ernawati A. 1992. Produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dengan kultur


jaringan tanaman I. Di dalam : Wattimena GA. Bioteknologi Tanaman I.
Bogor : PAU Bioteknologi IPB. Hal 169-220.

Fageria NK. 2009. The Use of Nutrients in Crop Plants. Florida:Taylor and
Francis Group.

Fehr RW. 1987. Principles of Cultivation Development. Theory and Technique.


Vol. I. New York:McMillan Inc. 1:165-171.

Figueira GM, De Magalhaes PM, Rahder VIG, Sartoratto A, Vaz APA. 2006.
Chemical preliminary evaluation of selected genotype of Phyllanthus
amarus Schumach. Grown in four different counties of Sao Paulo State.
Rev Bras Pl Med 8:43-45.

Fitter AH, Hay RKM. 2002. Environmental Physiology of Plants. Ed ke-3. San
Diego: Academic Press. Hlm 79-130.

Ganefianti D.W, Yulian, Suprapti A.N. 2006. Korelasi dan sidik lintas antara
pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dengan gugur buah pada tanaman
cabai. J Akta Agro 9 (1):1-6.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Terjemahan Herawati Susilo. Jakarta: Universitas Indonesia. 428 hal.

Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan 2. Bandung:


Penerbit Tarsito. 719 hal.

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian
(edisi kedua). Jakarta: UI Press. 698 hal.

Gould KS, Lister C. 2006. Flavonoid functions in plants. Di dalam: Andersen


OM, Markham KR, editor. FLavonoids Chemistry, Biochemistry and
Applications. Boca Raton, London, New York: Taylor and Francis Group
LCC CRC Pres. hlm 397-441.
132

Ghulamahdi M. 2003. Teknik budidaya, panen dan pasca panen tanaman obat.
Pelatihan tanaman obat dan produksi obat tradisional, Bogor 3-4 Mei
2003. Pusat Studi Biofarma Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Ghulamahdi M, Aziz SA, Batubara I. 2006. Produksi senyawa bioaktif daun dewa
(Gynura pseudhocina (L.) DC) melalui studi agrobiofisik, studi
keragaman, lama penyinaran dan optimalisasi pemupukan. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing XIV Tahap I. Bogor : Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat IPB.
Hale MG, Orcutt DM. 1987. The physiology of plant under stress. USA: John
Willey and Sons, Inc.

Halim Z. 2010. Penentuan ketoksikan akut Phyllanthus niruri L. [artikel ilmiah].


Semarang. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro.

Hamim. 2004. Underlying drought stress effects on plant:inhibition of


photosynthesis. Hayati 11(4):164-169

Harborne JB. 1988. Introduction to ecological biochemistry third edition.


Academic Press.

Hartati D, Rimbawanto A, Sulistyaningsih E, Taryono, Widyatmoko. 2007.


Pendugaan keragaman genetik di dalam dan antar proven pulai (Alstonia
scholaris (L) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. J. Pemul Tan Hutan
1(2):1-9.

Haryudin W, Rostiana O. 2009. Karakteristik morfologi tanaman cabe jawa


(Piper retrofractum Vahl.) di beberapa sentra produksi. Bul Littro
20(1):1-10.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta:Badan Litbang


Kehutanan Indonesia.

Hornok L. 1992. Cultivation and processing of medicinal plants. New York:


John Wiley and Sons. 338p.

Hutagalung JCSBY. 1998. Analisis lintas komponen produksi tanaman padi


(Oryza sativa L.) [skripsi]. Bogor. Jurusan Statistika. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Indriani CF, Sutopo I, Sudjindro, Suginato AN. 2000. Keragaman genetik plasma
nutfah kenaf (Hibiscus cannabinus L) dan beberapa spesis yang
sekerabatan berdasarkan analisis isozim.
http://images.hughet.multiply.com/attachment/0/RvnPKAoKCh8AAAPW
qOgl/publikasi %20ilmiah%20febria.doc?nmid=59432286. [ 22 Agustus
2009].
133

Jeliazkova EA, Zheljazkov VD, Craker LE, Yamkov B, Gergieva T. 1999. NPK
fertilizer and yields of pepermint, mentha piperita. Acta Hort. 502:231-
236.

Jiang Y, Huang B. 2001. Drought and heat stress injury to two cool-season
turfgrass in relation to antioxidant metabolism and lipid peroxidation.
Crop Sci 41:436-442.

Jones HG. 1992. Plant and Microclimate. A Quantitive to Environment. Plant


Physiology (Second Edition). Cambridge University Press. hlm 265-269.

Kardinan A, Kusuma FR. 2004. Meniran penambah daya tahan tubuh alami.
Jakarta: Agromedia Pustaka.

Kartasubrata J. 2010. Sukses Budidaya Tanaman Obat. Bogor: IPB Press. 88


hal.

Katsube N, Iwashita K, Tsushida T, yamaki K, Kobori M. 2003. Induction of


apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and
anthocyanins. J Agric Food Chem 50:519-525.

Khan S, Al-Qurainy F, ram M, Ahmad S, Abdin MZ. 2010. Phyllanthin


biosynthesis in Phyllanthus amarus: Schum and Thorn growing at
different altitudes. J Med Plant Res 4(1):041-048.

Laegreid M, Bockman OC, dan O Karstaad. 1999. Agriculture Fertilizers and the
Environment. CABL Publishing in Association with Norsk Hydro ASA.

Lamuhuria, Sopandie D, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Darusman LK, June


T. 2006. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai
(Glycine max (L.) Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah. Bogor:
Makalah Seminar Sekolah Pascasarjana IPB.

Levitt J. 1980. Responses of Plant to Environmental Stresses. Vol II. Water,


Radiation, Salt, and Other Stresses. New York:Academic Press.

Lillo C, Huang D, wang S. 2004. Effect of potassium levels on fruit quality of


muskmelon in soilless medium culture. Sci Hort. 102:53-60.

Lopez-Lazaro M. 2009. Distribution and biological activities of the flavonoid


luteolin. Mini-Reviews in Med Chem 9:31-59.

Lynch N, Berry D. 2007. Differences in perceived risks and benefits of herbal,


over-the-counter conventional, and prescribed conventional medicines and
the implications of this for the safe and effective use of herbal products.
Complem Ther Med 15:84-91.
134

Malkin R, Niyogi K. 2000. Photosynthesis. In:Buchanan BB, Gruissem W, Jones


RL editor. Biochemistry and molecular biology of plants. Rockville
Maryland: American Society of Plant:Physiologists. Pp:568-628.

Manjrekar AP, Jisha V, Bag PP, Adhikary B, Pai MM, Hedge A. 2008. Effect of
Phyllanthus niruri Linn. treatment on liver, kidney and testes in CCl4
induced hepatotoxic rats. Indi J Experimen Bio 46:514-520.

Martono B, Ghulamahdi M, Darusman LK, Aziz SA, Bermawie N. 2009. Kriteria


penanda seleksi produktivitas terna dan asiatikosida pada pegagan
(Centella asiatica (L.) Urban). J Littri 16(1):12-19.

Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid. Bandung:Institut Teknologi


Bandung. 117 hal.

Marschner. 1995. Mineral nutrition of higher plants (second edition).


London:Academic Press Limited. 861p.

Martin FW. 1985. Difference among sweet Potato in response to shading. Trop
Agric 62:161-165.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan : Dengan Aplikasi


SAS dan Minitab. Jilid I ed. ke-2. Bogor:IPB Press.

McNellis T, Deng XW. 1995. Light control of seedling morphogenic pattern.


The Plant Cell 7:1749-1761.

Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam
pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron. Indones 37(1):55-61.

Mursito D. 2003. Heritabilitas dan sidik lintas karakter fenotipik beberapa galur
kedelai (Glycine max. L. Merrill). J Agrosains 6(2):58:63.

Murugaiyah V, Chan K-L. 2007. Determination of four lignans in Phyllanthus


niruri L. by a simple high performance liquid chromatography method
with fluorescence detection. J Chromatogr A, 1154:198-204.

Narayana KR, Reddy MS, Chaluvadi MR, Krishna DR. 2001. Bioflavonoid
classification, pharmacological, biochemical effects and therapeutic
potential. Indi J Pharmacol 33:2-16.

Nasution MA. 2010. Analisis korelasi dan sidik lintas antara karakter morfologi
dan komponen buah tanaman nenas (Ananas comosus L. Merr.) Crop Agro
3(1): 1-8.

Nirwan, Sopandie D, darusman LK, Aziz SA, Ghulamahdi M. 2007. Produksi


flavonoid daun dewa (Gynura pseudochina (L.)(DC.)) asal kultur in vitro
135

melalui periode pencahayaan daan pemupukan [disertasi]. Bogor. Program


Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Njomnang Soh P, Banzouzi JT, Mangombo H, Lusakibanza M, Bulubulu FO,


Tona L, Diamuini AN, Luyindula SN, Benoit-Vical F. 2009.
Antiplasmodial activity of various parts of Phyllanthus niruri according to
its geographical distribution. Afri J Pharm Pharmacol 3(2):598-601.

Oades JM. 1984. Soil organic matter and structural stability: mechanism and
implications for management. Plant Soil 76:319-337.

Oluwafemi F, Debiri F. 2008. Antimicrobial effect of Phyllanthus amarus and


Parquetina nigrescens on Salmonella typhi. Afri J Biomed Res 11:215-
219.

Prasad R, Power JF. 1997. Soil Fertility Management for Sustainable


Agriculture. New York: Lewis Publ. Hlm 323-327.

Rahmawaty RY. 2004. Pengaruh naungan dan jenis pegagan (Centella asiatica L.
(Urban)) terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan triterpenoidnya
sebagai bahan obat [skripsi]. Bogor :Departemen Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rahardjo, Rosita M, Fathan R, Sudiarto. 1999. Pengaruh cekaman air terhadap


mutu simplisia pegagan. J Littri 5(3):92-97.

Ramesh G, Shivanna M.B., Ram Santa A. 2011. Interactive influence of organic


manures and inorganic fertilizers on growth and yield of kalmegh
(Andrographis paniculata Nees.). J Plant Sci 2(1):16-21.

Rhodes D, Samaras Y. 1994. Genetic control of osmoregulation in plants. Di


dalam : Strange K, editor. Cellular and Molecular Physiology of Cell
Volume Regulation. Boca Raton, London, New York and Francis Group
LCC CRC Press. hlm 347-361.

Robinson T. 1991. The organic constituents of higher plants, 6 th edition.


Penerjemah Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Rodriguez AA, Grunberg KA, Taleisnik EL. 2002. Reactive oxygen species in
the elongation zone of maize leaves are necessary for leaf extension. Plant
Physiol 129: 1627-1632.

Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New


Delhi: Kalyani Publishers. 340p.

Ruminska R, Gamal ESE. 1978. Effect of nitrogen fertilizer on growth, yield and
alkaloid content in Datura innoxia Mill. Acta Hort. 73:173-179.
136

Rudiyanto W. 2006. Regenerasi sel parenkim hati oleh Ekstrak Etanol Meniran
(Phyllantus niruri). [laporan penelitian]. Lampung. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung.

Sabir SM, Rocha JBT. 2008. Water-extractable phytochemicals from


Phyllanthus niruri exhibit in vito antioxidant and in vivo hepatoprotective
activity against paracetamol-induced liver damage in mice. Food Chem
111:845-851.

Saharkhiz MJ, Omidbaigi R. 2008. The effect phosphorus on the productivity of


feverfew (Talacetum parthenium (L.) Schultz Bip). Adv Natur Appl Sci
2(2):63-67.

Salardini A.A., Chapman KSR, Holloway R.J. 2006. Effect of basal sidedressed
phosphorous on the achene tield and pyrethrins concentration in the
achenes of pyrethrum (Tanacetum cinerafolium) and soil and plant
phosphorous. Aus J Agric Res 45(3):647-656. Abstract.

Salisbury, Ross C. 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 1,2,3. Penerbit ITB Bandung.

Sampoerno H. 1999. Pengembangan dan pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia.


Paper Presented at The National Seminar on Medicinal Plants From
Indonesia Tropical Forest. 28 April 1999. Bogor, Indonesia.

Simmons AT, Gurr GM. 2005. Trichomes of Lycopersicon species and their
hybrids: effects on pests and natural enemies (Review article). Agric
Forest Entomol 7:265-276.

Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and
spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and
developmental stages. Rem Sen Environ 81:337-354.

Sinaga S. 2008. Analisis keanekaragaman genetik dan fenotip manggis (Garcinia


mangostana L.) dan kerabat dekatnya [disertasi]. Bogor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 140 hal.

Sinclair TR, Ludlow MM. 1986. Influence of soil water supply on the plant water
balance of four tropical grain legumes. Aus J. Plant Physiol. 13:329-341.

Sjamsuhidajat SS, Nurendah PS. 1992. Kajian fitokimia tanaman obat.


Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan
Budidaya Tanaman Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. 204 hal.

Soedibyo M. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta:


Balai Pustaka.
137

Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. 1987. Weeds of rice in


Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. hlm 290-295.

Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Suhardi. 2003. Toleransi


padi gogo terhadap naungan. Hayati (10) 3 : 91-95.

Subarnas A, Sidik. 1993. Phyllanthus niruri L, kimia, farmakologi dan


penggunaannya sebagai obat tradisional. Prosiding Seminar Meniran dan
Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14
Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.

Sukarman, Darwati I, Rusmin D. 2000. Karakter morfologi dan fisiologi tapak


dara (Vinca rosea L.) pada beberapa cekaman air. J Littri 6(2):50-54.

Sulaksana J, Jayusman DI. 2004. Meniran : Budidaya dan Pemanfaatan untuk


Obat. Penebar Swadaya. 83 hal.

Supriyono B, Chozin MA, Soepandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan Pati-


Sukrosa dan Aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi gogo yang
toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7(2):31-34.

Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi biomassa dan bahan aktif
kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd. Dari berbagai asal bibit dan
dosis pupuk kandang. Bul Agron. 36:48-55.

Syamasundar V, Singh B, Thakur S, Husain A, Hikino H. 1985. Anti-hepatotoxic


principles of Phyllanthus niruri herbs. J Ethnopharm 14(1):41-44.

Taylor L. 2003. Technical data report for chanca piedra stone breaker
(Phyllantus niruri). http://www.rain-tree.com/chanca-techreport.pdf. [14
Mei 2006].

Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. California:The Benyamin/Cummings


Pub. Co.Inc. 559p.

Than NN, Fotso S, Poeggeler B, hardeland R, Laatsch H. 2006. Niruriflavone, a


new antioxidant flavones sulfonic acid from Phyllanthus niruri. Z.
Naturforsch 61b:1-4.

Tresnawati E Hadjuri, S. 1993. Pengaruh jarak tanam dan pupuk nitrogen


terhadap hasil panen tanaman meniran. Prosiding Seminar Meniran dan
Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14
Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.

Tripathi AK, Verma RK, Gupta AK, Gupta MM, Khanuja SPS. 2006.
Quantitative determination of phyllantin and hypophyllantin in
phyllanthus species by high-performance thin layer chromatography.
Phytochem Anal 17:394-397.
138

Tunggal L. 2004. Pengaruh intensitas naungan dan jarak tanam terhadap


pertumbuhan dan produksi herba meniran (Phyllanthus niruri L.) pada
sistem pertanian organik [skripsi]. Bogor. Departemen Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Urnemi, Yahya S, Darusman LK. 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal
pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit
sekunder tanaman daun jinten (Coleus ambonicus Lour). Forum Pasca
25(2):135-145.

Van Beuningen LT, Bush RH. 1997. Genetic diversity among North American
Spring Wheat Cultivar: III. Cluster analysis based on quantitative
morphological traits. Crop Sci 37:981-988.

Wahyuni SWT. 2010. Pengoptimuman dan validasi sidik jari kromatografi cair
kinerja tinggi ekstrak Phyllanthus niruri L [tesis]. Bogor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Waugh R. 1997. RAPD analysis: use for genome characterization, tagging traits
and mapping. In: Clark MS Editor. Plant Molecular Biology-A
Laboratory Manual. New York : Springer. Hlm 305-396.

Wayland C. 2004. The failure of pharmaceuticals and the power of


plants:medicinal discourse as a critique of modernity in the Amazon. Soc
Sci Med 58:2409-2419.

Webster GL. 1986. A revision of Phyllanthus (Euphorbiaceae) in Eastern


Melanesia. Pacific Sci 40:88-105.

Weising K, Nybom H, Wolff K, Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plants


and Fungi. Boca Raton : CRC Press.

WHO. World Health Organization. 2000. Development of national policy on


traditional medicine. Report of Workshop on Development of National
Policy on Traditional Medicine. 11-15 Oktober 1999. Beijing, Cina.

Winarbawa S. 2000. Pengaruh kadar air tanah terhadap pertumbuhan dan


produksi dua tipe kapolaga sabrang. Bul Agron 28(1):1-8.

Wirnas D, Widodo I, Sobir, Trikoesoemaningtyas, Soepandie D. 2006.


Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11
kedelai generasi F6. Bul Agron 34(1):19-24.

Yosida S, Farno DA, Cook JH, Games KA. 1976. Laboratory manual for
physiological studies of rice. Manila: The International Rice Research
Institute.
139

Zhang Y, Vareed SK, Nair MG. 2005. Human tumor cell growth inhibition by
nontoxic anthocyanidins, the pigments in fruits and vegetables. Life Sci
76:1465-1472.

Zuhud EAM, Aziz SA, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001.


Dukungan teknologi pengembangan obat asli Indonesia dari segi
budidaya, pelestarian dan pasca panen. Paper Presented at The Workshop
on Agribusines Development Based on Biopharmaka. 13-15 November
2001. Departemen Pertanian, Jakarta, Indonesia.
139

LAMPIRAN
140

Lampiran 1 Data biner 32 pita DNA dari 5 primer RAPD pada 13 aksesi meniran

Primer Pita Aksesi


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
OPE1 1. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
2. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5. 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
OPE19 1. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
2. 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
3. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
6. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
OPH5 1. 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
2. 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
3. 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
5. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
6. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
7. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
8. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
OPH13 1. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
2. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
OPM20 1. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2. 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
5. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
141

Lampiran 2 Metode analisis kandungan klorofil dan antosianin daun (mg g-1
bobot kering)

Bahan : daun meniran, acetris (aceton dan tris dengan perbandingan 85:15)

Alat : eppitube 2 ml, centrifuge dan spektrofotometer

Analisis kandungan klorofil a, b dan total klorofil dilakukan dengan


menggunakan metode yang digunakan Sims dan Gamon (2002).

Cara kerja :

1. Daun digerus sampai halus dengan menggunakan 1 ml acetris. Selanjutnya


dipindahkan kedalam eppitube 2 ml sampai batas tera pada tabung dengan
menambahkan terus acetris.
2. Centrifuge dengan kecepatan 14 000 rpm selama 10 menit.
3. Pipet 1 ml hasil centrifuge ke dalam tabung reaksi, tambahkan acetris 3
ml.
4. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 537, 663 dan 647 nm.
5. Kandungan korofil a, b, total klorofil dan antosianin dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Klorofil a = 0.01373 x A663 0.000897 x A537 0.003046 x A647


Klorofil b = 0.02405 x A647 0.004305 x A537 0.005507 x A663
Total klorofil = klorofil a + klorofil b
Antosianin = 0.081713 x A537 0.00697 x A647 0.002228 x A663
142

Lampiran 3 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Nitogen


(N)

Metode : Kjeldahl

Cara Kerja :

1. Timbang 200 mg contoh tanaman kering giling lolos saringan 40 mesh dan
masukkan ke dalam labu kjeldahl.
2. Tambahkan satu canting kecil campuran SeCuSO4 dan Na2SO4.
3. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu kemudian goyangkan
perlahan-lahan agar semua sampel terbasahi oleh H2SO4.
4. Tambahkan 5 tetes paraffin cair.
5. Panasi labu di dalam kamar asap dengan api kecil, kemudian perlahan-
lahan api diperbesar hingga diperoleh suatu cairan yang berwarna terang
(hijau-biru), pemanasan masih dilakukan 15 menit lagi.
6. Tambahkan 150 ml aquades, goyangkan sebentar kemudian pindahkan
isi labu kjeldahl ke dalam labu destilasi.
7. Ke dalam labu destilasi tambahkan 5 ml NaOH 50%.
8. Destilasi dimulai, tamping destilasi dengan Erlenmeyer 125 ml yang telah
diisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indicator Conway, isi destilat
kira-kira 100 ml.
9. Titrasi destilat dengan HCl yang telah dibakukan. Titik titrasi dicapai
apabila terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda.
10. Lakukan juga penetapan blanko seperti cara kerja di atas tetapi tanpa
menggunakan sampel tanaman.
Perhitungan :
(ml titrasi contoh ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100%)
N (%) =
200 mg contoh

Keterangan :
N = Normalitas
14 = Molekul N
143

Lampiran 4 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Posfor (P)
Metode : Pengabuan kering

Preparasi :

1. Timbang dan masukkan ke dalam cawan porselin 1gram contoh tanaman


yang sudah digiling halus.
2. Panaskan dalam tanur dengan suhu 550oC selama 2 jam sehingga sampel
dalam cawan membentuk abu putih.
3. Setelah agak dingin, angkat dan masukkan dalam desikator.
4. Di dalam ruang asap, tambahkan 5 tetes HCl perkat ke dalam cawan, aduk
dengan pengaduk gelas hingga merata.
5. Panaskan di atas hot plate dengan suhu 90oC. Biarkan hingga uap HCl
hilang.
6. Angkat dan dinginkan.
7. Penambahan dengan HCl pekat 5 tetes diulangi dua kali lagi. Setiap
penambahan diaduk merata. Dipanaskan di atas hot plate, diangkat dan
didinginkan.
8. Ke dalam cawan tambahkan 10 ml HCl 1 N, aduk merata lalu disaring dan
ekstraknya ditampung dengan tabung plastic.
9. Pipet 1 ml hasil saringan dan masukkan ke dalam labu ukur 50 ml.
Tambahkan dengan aquades dan himpitkan hingga tanda tera.
10. Ekstrak ini dapat digunakan untuk penetapan P dan K.

Penetapan Posfor pada jaringan tanaman :

1. Pipet 1 ml ekstrak dalam labu ukur 50 ml tadi dan masukkan ke dalam


tabung reaksi.
2. Tambahkan 4 ml aquades, kocok sebentar.
3. Tambahkan berturut-turut 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C. Kocok
sebentar serta biarkan 15 menit.
4. Ukur dengan alat ukur spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
144

Lampiran 4 (Lanjutan)

5. Buat penetapan blanko dan buat seri standar baku P yang mempunyai
konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P.

Perhitungan :

10/1 x 50/1 x 10/1 x 0.00821 x pembacaan


%P=
10000

Keterangan :

10 = ml HCl 1 N

1 = 1 gram contoh

50 = pengenceran 50 kali

1 = 1 ml ekstrak

10 = 1 ml ekstrak + 4 ml aquades + 5 ml P-B

0.00821 = standar baku P

10000 = dari ppm ke %


145

Lampiran 5 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan Kalium (K)

1. Pipet 1 ml ekstrak yang sudah mengalami pengenceran tadi (dalam labu


ukur 50 ml) dan masukkan ke dalam tabung reaksi.
2. Tambahkan 9 ml aquades dan kocok sebentar
3. Tetapkan K dengan alat ukur Flame Fotometer (foto nyala) dengan filter K
4. Buat satu seri larutan standar baku K yang mempunyai konsentrasi 0, 5,
10, 15, 20 dan 25 ppm K.

Perhitungan :

1000/1 x 10/1 x 50/1 x10/1000 x 2.50 x pembacaan


K (%) =
10000
Keterangan :

1000/1, 10 = 10 ml HCl 1 N

1 = 1 gram contoh

10/1, 10 = 10 ml HCl 1 N

1 = pipet 1 ml

50/1, 50 = Pengenceran (dalam labu ukur 50 ml)

1 = dipipet 1ml

10/1000, 10 = 1 ml ekstrak + 9 ml H2O

1000 = dipipet 1 ml

2.50 = standar baku K

10 000 = dari ppm ke %


146

Lampiran 6 Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum penelitian pemupukan

Parameter Tanah
Nilai Keterangan
pH H20 6.00 Agak masam
C-organik (%) 1.23 Rendah
N-total 0.10 Rendah
P-Bray I (ppm) 3.30 Rendah
Ca (me/100 g) 2.51 Tinggi
Mg (me/100 g) 1.87 Sangat tinggi
K (me/100 g) 0.40 Sedang
Na (me/100 g) 0.41 Sedang
KTK (me/100 g) 18.49 Sedang
Kejenuhan Basa (%) 26.90 Rendah
Tekstur - Liat
Sumber : Analisis tanah di Pusat Penelitian Tanah Bogor

Lampiran 7 Hasil analisis kandungan unsur hara, kadar air dan abu pupuk
kandang (kotoran ayam)

Parameter Pupuk kandang


Nilai Kriteria
pH H20 6.60 Netral
C-organik (%) 3.48 Tinggi
N-total 2.13 Sangat tinggi
P-Bray I (ppm) 1.04 Sangat rendah
K (me/100 g) 0.62 Sedang
Kadar air (%) 55.93 -
Kadar abu (%) 40.28 -
Sumber : Analisis pupuk kandang di Laboratorium Kimia Tanah Departemen
Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
147

Lampiran 8. Hasil analisis kandungan NPK jaringan tanaman meniran

Kombinasi perlakuan Kandungan unsur


N (%) P (%) K (%)
Meniran hijau (A6) tanpa pupuk (M1P0) 1.70 0.21 2.16
Meniran hijau (A6) + pupuk kandang (M1P1) 1.98 0.28 2.18
Meniran hijau (A6) + NPK (M1P2) 2.26 0.32 2.22
Meniran hijau (A6) + Pupuk kandang + NPK 2.31 0.35 2.36
(M1P3)

Meniran hijau (A7) tanpa pupuk (M2P0) 1.71 0.25 1.62


Meniran hijau (A7) + pupuk kandang (M2P1) 2.04 0.26 1.84
Meniran hijau (A7) + NPK (M2P2) 2.52 0.30 2.07
Meniran hijau (A7) + Pupuk kandang + NPK 3.04 0.32 2.45
(M2P3)

Meniran merah (A13) tanpa pupuk (M3P0) 1.66 0.22 1.53


Meniran merah (A13) + pupuk kandang (M3P1) 1.79 0.23 1.57
Meniran merah (A13) + NPK (M3P2) 2.05 0.27 1.83
Meniran merah (A13 + Pupuk kandang + NPK 2.88 0.34 2.15
(M3P3)
Sumber : Analisis jaringan tanaman meniran di Pusat Penelitian Tanah Bogor.
148

Lampiran 9 Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh perhitungan


kandungan total filantin dan hipofilantin meniran

filantin
Respon detektor

hipofilantin

Waktu retensi

No. Waktu retensi Luas area Konsentrasi sampel


1. 14.718 4899195 1.760982
2. 16.062 3452276 2.598798

Perhitungan untuk mendapatkan nilai kandungan total filantin sebagai


berikut :
Luas area standar filantin = 5796004
Luas area sampel = 4899195
Konsentrasi larutan standar = 50 ppm
Konsentrasi injeksi = (LA sampel/LA standar) x 50 ppm = 42.26356 ppm
Bobot sampel = 1.2 gram
Kandungan total filantin (mg g-1 bobot kering) = ([injeksi] x 0.05)/bobot
sampel
Kandungan total filantin = 1.760982 mg g-1 bobot kering
149

Lampiran 9 (Lanjutan)
Perhitungan untuk mendapatkan nilai kandungan total hipofilantin sebagai
berikut :
Luas area standar hipofilantin = 2767526
Luas area sampel = 3452276
Konsentrasi larutan standar = 50 ppm
Konsentrasi injeksi = (LA sampel/LA standar) x 50 ppm = 62.37116 ppm
Bobot sampel = 1.2 gram
Kandungan total hipofilantin (mg g-1 bobot kering) = ([injeksi] x 0.05)/bobot
sampel
Kandungan total hipofilantin = 2.598798 mg g-1 bobot kering

Anda mungkin juga menyukai