BULETIN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN
KALAKAI SEBAGAI banding
SAYURAN ORGANIK
KALIMANTAN TENGAH
Sintha Eliestya Purwandari
Ketahanan pangan merupakan
kemampuan suatu bangsa untuk menjamin
seluruh memperoleh pangan dalam jumlah
yang cukup, mutu yang layak, aman, dan
juga halal, yang didasarkan pada optimasi
pemanfaatan sumberdaya domestik
(Balitbangtan, 2005).
Kalimantan Tengah dengan luas
15,4 juta hektar, terdiri dari beberapa
agroekosistem (Puslittanak, 2000) yang
mendukung pertumbuhan berbagai jenis
tanaman. Salah satu jenis tanaman yang
termasuk plasma nutfah dan merupakan
sumber pangan yaitu kalakai
(Stenochlaena palutris).
Kalakai sebagai sayuran tradisional
khas Kalimantan Tengah merupakan
sayuran organik, karena tanaman ini
tumbuh secara liar tanpa menggunakan
bahan-bahan anorganik baik sebagai
pupuk, maupun pestisida. Kalakai
merupakan tanaman jenis paku-pakuan,
yang berkembang serta tumbuh baik pada
daerah-daerah yang mempunya
kelembaban tinggi seperti lahan gambut
yang ada di Kalimantan Tengah.
Berdasarkan hasil pengamatan
diketahui bahwa di Kalimantan Tengah,
umumnya kalakai ditemukan banyak di
Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten
Kapuas, dan Kota Palangka Raya. Hal ini
disebabkan agroekologi kedua kabupaten
dan kota tersebut mendukung pertumbuhan
kalakai. Secara spot-spot, kalakai juga
dapat ditemukan di kabupaten-kabupaten
Gunung Mas, Katingan, Barito Timur, dan
Barito Utara.
Tanaman kalakai menyenangi air,
akan tetapi tidak tahan terendam dalam
waktu yang lama. Pada tanah-tanah sulfat
masam yang mengandung Fe tinggi
pertumbuhan kalakai relatif terbatas di
Edisi 1, Vol 1, November 2013
INFORMASI
pada tanah-tanah gambut.
Tanaman ini banyak tumbuh liar
disepanjang jalan di lahan-lahan kosong
yang tidak terawat atau pada hutan-hutan
yang mengalami kebakaran. Secara garis
besar terdapat 2 (dua) jenis kalakai yakni
kalakai merah dan kalakai hijau. Kalakai
merah adalah jenis pakis/paku-pakuan
dengan warna kemerah-merahan,
sedangkan kalakai hijau adalah jenis
pakis/paku-pakuan dengan warna hijau.
Tanaman ini mempunyai masa panen yang
relatif singkat, 4-6 hari, setelah itu tidak
dapat dipanen lagi, karena pucuk-
pucukdaun mudanya tidak tumbuh lagi.
Terdapat perbedaan kecepatan
pertumbuhan antara musim kemarau
dengan musim hujan, pada musim kemarau
kecepatan pertumbuhan kalakai lebih
lambat dibandingkan pada musim hujan.
Bagian dari tanaman yang dipanen adalah
bagian pucuk atau ujung yang relatif lunak
dan mudah dipatahkan dengan panjang
sekitar 15 cm.
Kalakai yang dikonsumsi dalam
jumlah cukup dapat memberikan dampak
baik untuk kesehatan, karena tanaman ini
tidak mengandung bahan-bahan anorganik.
Kalakai jenis berwarna merah ini
dimungkinkan potensial untuk mengatasi
anemia (kekurangan zat besi). Menurut
Irawan, et al., (2002) kalakai mengandung
Fe yang tinggi dan kaya Vitamin C dan
Beta Karoten. Dari analisis gizi diketahui
bahwa kalakai merah mengandung Fe
tinggi 41,53 ppm, Cu 4,52 ppm, Vitamin C
15,41 mg/100g, protein 2,36%, Beta
Caroten 66,99 ppm, dan asam folat 11,30
ppm.
Masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah mengkonsumsi bagian muda
tanaman ini dalam bentuk sayuran sebagai
pelengkap lauk pauk. Kalakai diyakini
dapat memulihkan kondisi tubuh untuk
ibu-ibu yang baru melahirkan dan dapat
merangsang produksi Air Susu Ibu (ASI).
Hasil olahan masih terbatas untuk
dikonsumsi dalam bentuk sayuran segar
seperti di buat sup, sayuran bersantan,
45
INFORMASI
sayuran oseng, untuk olahan yang tahan
lama sebagai campuran pada rempeyek.
DAFTAR PUSTAKA
Andriesse, J. P. 1988. Nature and
Management of Tropical Peat Soils.
Soil Resources, Management &
Conservation Cervice. FAO Land
and Water Development Division.
FAO, Rome. 165 hal.
Balitbangtan. 2005. Rencana Aksi
Pemantapan Ketahanan Pangan 2005
-2010. Balitbangtan, Deptan. 60 hal.
Puslittanak. 2000. Sumber Daya Lahan
Indonesia dan Pengelolaannya.
Bogor. 266 hal.
Irawan, D. et al. 2002. Ethnobotanical
Study and Nutrient, Potency of Some
Local Traditional Vegetable in
Central Kalimantan. Procceding of
The International Symposium on
Land Management And Biodiversity
in Southeast Asia. 583 hal.
GO ORGANIC….
Kembali Ke Pestisida Nabati
Astri Anto
Petani selalu menginginkan
produktivitas tanaman yang tinggi, hal
tersebut dapat diperoleh dengan cara
penggunaan benih unggul, pemupukan
serta pengendalian hama penyakit. Faktor
hama penyakit ini sangat penting
diperhatikan karena dapat menurunkan
produksi baik kualitatif maupun
kuantitatif. Selama ini dalam pengendalian
hama penyakit, petani masih tergantung
pada penggunaan pestisida kimia, dengan
alasan lebih cepat, lebih praktis dan
efisien, padahal banyak sekali dampak
negatif dari penggunaan pestisida kimia.
Selain harganya sangat mahal, juga
berdampak buruk bagi lingkungan dan
kesehatan manusia.
46
BULETIN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN
Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian Kementerian Pertanian
dalam pedoman pembinaan penggunaan
pestisida menerangkan tentang dampak
negatif penggunaan pestisida kimia, antara
lain adalah:
1. Keracunan pada pengguna
2. Keracunan terhadap hewan ternak,
ikan, satwa liar dan peliharaan
3. Keracunan pada tanaman
4. Kematian musuh alami
5. Hama menjadi kebal (resisten)
6. Peledakan hama baru (resurjensi)
7. Penumpukan residu bahan kimia di
dalam hasil panen
8. Pencemaran lingkungan oleh residu
bahan kimia
9. Penyebab penyakit pada manusia
(kanker, stroke)
10. Menghambat perdagangan
Terdapat bahan alami yang bisa
digunakan sebagai pestisida yang ramah
lingkungan atau biasa disebut pestisida
botani atau pestisida nabati. Pestisida ini
berasal dari ekstrak tumbuhan yang
mengandung senyawa beracun bagi hama
dan patogen, dan bisa dimanfaatkan
sebagai insektisida atau fungisida.
Djojosumarto (2008) menjelaskan
beberapa jenis insektisida yang dihasilkan
dari tumbuhan-tumbuhan :
1. Nikotin, dihasilkan dari ektrak
daun tembakau (Nicotiana
tabacum), digunakan untuk
mengendalikan serangga hama,
nematoda dan cendawan.
2. Piretrum, dihasilkan dari ekstrak
semacam bunga krisan
(Chrysantemum cinerariaefolium),
digunakan untuk mengendalikan
serangga hama dan tungau.
3. Rotenon, dihasilkan dari akar tuba
(Derris eliptica), digunakan untuk
mengendalikan kutu daun, thrips,
ulat, dan kumbang.
4. Ryania, dihasilkan dari ekstrak
tanaman Ryania speciosa,
digunakan untuk mengendalikan
penggerek jagung dan thrips.
Edisi 1, Vol 1, November 2013