Anda di halaman 1dari 11

Kritik Anjuran Adzan di Telinga Bayi

Kategori: Fiqh dan Muamalah

103 Komentar // 2 November 2009

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ala Rosulillah wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut
sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir.
Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini
sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam permasalahan ini yang jadi
pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi
rujukan setiap muslim adalah Al Quran dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang dengan
pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al Quran atau menggunakan hadits
yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada
pembahasan kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang baru lahir disyariatkan
(disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami
akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar dalam muqodimah, silakan
simak pembahasan berikut ini.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafii dan mereka tidak menganggap
mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafii yang
menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).

Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan
menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.

Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafiiyah yang mengatakan bahwa
tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779,
pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Ibnul
Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah
ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada
kepada Al Quran dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,









Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai
sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah
aku kembali. (Qs. Asy-Syuura: 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, Maksudnya adalah (perkara) apa
saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya
(dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan
ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu alaihi wa
sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Taala pada ayat yang lain,

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (Qs. An Nisa [4]: 59). Yang (memutuskan demikian)
adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan
kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. Demikianlah perkataan beliau
rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:

Dari Ubaidillah bin Abi Rofi, dari ayahnya (Abu Rofi), beliau berkata,

Aku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di


telinga Al Hasan bin Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat. (HR. Ahmad,
Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin Ali, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di
telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya. (Diriwayatkan oleh Abu Yala
dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).
Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin Ali pada hari beliau
dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri. (Diriwayatkan oleh
Al Baihaqi dalam Syuabul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau
tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-Hadits di Atas

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,










yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, Ashim bin Ubaidillah, Ubaidullah bin Abi Rofi, dan Abu
Rofi.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai Ashim dhoif (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu
Main mengatakan Ashim dhoif (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa Ashim
adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini
sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dhoif).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada
beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits
kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al Alaa, Marwan bin Salim, Tholhah bin Ubaidillah, dan Husain.
Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dhoif (lemah).

Yahya bin Al Alaa dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi
menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga
dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhoifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al Alaa dan
Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama
karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta.
Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dhoif (lemah) menjadi
hasan.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

yaitu: Ali bin Ahmad bin Abdan, Ahmad bin Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al
Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu
Mabad, dan Ibnu Abbas.

Al Baihaqi sendiri dalam Syuabul Iman menilai hadits ini dhoif (lemah). Namun, apakah hadits
ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al
Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan).
Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya
kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu (palsu) atau mendekati maudhu.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat,
tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dhoif (lemah)
menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan
adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di
telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini
sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dhoifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits
yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa
diamalkan.

Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah
mengatakan, Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah.
Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah
berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya
(menjadi hasan). (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si
Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di
telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan
sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas
penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua
hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan
di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.

Jika ada yang mengatakan, Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini. Cukup
kami sanggah, Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang
benar. Coba engkau memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah
perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Tidaklah tepat
perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja
(ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada
yang keliru dan ada benar.

Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil
hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau
ditanya, Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah
ijtihadiyah, pen)?

Imam Malik lantas menjawab, Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat
yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada).
Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?]
Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja. (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan
pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di
tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat
memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Allahumman faana bimaa allamtana,
wa alimna maa yanfauna wa zidnaa ilmaa. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala
alihi wa shohbihi wa sallam.

Keterangan:

Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits
tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung,
tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).

Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan
dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).

Hadits dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya
terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).

Hadits maudhu (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib
(pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh
kadzib (berdusta).

***

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.muslim.or.id
1. Mengadzani & Mengiqomahi
Diriwayatkan dari Abu Rafi As, katanya: Aku melihat Rasulullah SAW beradzan di
telinga Hasan bin Ali ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah (HR. Abu Daud dan
Tarmidzi)
Dari Ibnu Abas r.a. diriwayatkan: Bahwa Nabi SAW telah mengumandangkan adzan
pada telinga Hasan bin Ali (yang sebelah kanan) ketika ia baru dilahirkan dan
mengumandangkan iqomah pada telinga kirinya. Jadi dengan ber-itiba
(mengikuti) kepada Rasulullah SAW maka bayi yang baru dilahirkan harus
diadzani di telinga kanannya dan diiqomahi di telinga kirinya. Adapun hikmah
dibalik ini, menurut Ibnu Qayyin Al Jauziyah dalam kitabnya Tahfatul Maudud
adalah:
a. Menjadi Talqin (pengajaran) pada anak akan adanya Allah dengan segala
kebesarannya dan pengucapan syahadat sebagai tanda awal masuk Agama Islam.
b. Dapat menjauhkan anak dari syaitan-syaitan yang selalu menunggu
kelahirannya akan gentar begitu tahu si anak telah terlebih dahulu dibentengi
dengan adzan dan iqomah, sehingga kekuatannya untuk mempengaruhi anak akan
melemah.
Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Suni dari Al Hasan bin
Ali dari Nabi SAW : Siapa yang baru mendapatkan bayi, kemudian
dikumandangkan adzan pada telinga kanannya dan iqomah pada telinga kirinya
maka anak yang baru lahir itu tidak akan terkena bahaya Ummush Shibyan (Angin
yang membuat anak takut atau sebagian mengatakan pengikut jin yang namanya
Qorinah).
c. Jika pertama kali yang didengar si anak adalah adzan dan iqomah maka kalimat-
kalimat yang bagus itu akan tertanam pada awal dilubuk hatinya sebelum si anak
tahu hal-hal yang lain. Dan ini merupakan awal yang baik bagi anak.
Bagi anda sebagai Orang tua, anak merupakan karunia yang diberikan Allah SWT .
Sehingga wajib bagi kita untuk menjaga, merawat serta mendidik anak kita supaya
menjadi anak yang sholeh dan taat dalam beragama. Bagi anda yang baru menjadi
seorang bapak atau seorang ibu, mendidik anak sudah harus dimulai sebelum anak itu
lahir ke dunia, tidak hanya dilakukan setelah ia besar. Jadi perlulah kita berbekal ilmu
agar bisa mendidik anak kita sebaik mungkin

Salah satu bentuk pendidikan yang dilakukan terhadap anak mulai dari lahir
berdasarkan tuntunan dalam agama kita adalah membacakan adzan dan iqamah
ketika anak tersebut baru saja dilahirkan. Apakah sobat semua sudah tau tentang
hukum dari amalan tersebut? Apakah hal ini diajarkan oleh nabi kita Muhammad
Sholallahu'alaihi wassalam? Untuk itu yuk mari kita belajar bersama-sama tentang
hukum serta tata cara Adzan dan iqamah saat bayi lahir.

Hukum Adzan dan Iqamah saat bayi lahir. Berdasarkan kesepakatan para ulama,
bahwa mengumandangkan adzan dan iqamah pada saat bayi terlahir ke dunia
hukumnya adalah sunnah.

Dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz I, hal 61 dinyatakan bahwa adzan juga
disunnahkan untuk perkara selain shalat. Di antaranya adalah adzan di telinga anak
yang baru dilahirkan. Seperti halnya sunnnah untuk melakukan iqamah di telinga
kirinya.

Dasar dari kesunnahan adzan dan iqamah saat bayi lahir dapat diketahui dari sabda
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Rafi :


--
,

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW
mengumandangkan Adzan di telinga Husain ketika siti fatimah melahirkannya. (Yakni)
dengan Adzan shalat. (HR Abi Dawud).

Tata cara mengumandangkan Adzan dan Iqamah saat bayi lahir adalah dengan
mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi tersebut.
Fadhilah dan keutamaan Adzan dan Iqamah saat bayi lahir, Sayyid Alawi al-Maliki
dalam Majmu Fatawa wa Rasail menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di
telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah
mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya.
Sayyid Alawi menyatakan, perbuatan itu ada relevansinya untuk mengusir syaitan dari
anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka
mendengar adzan sebagai mana yang keterangan yang ada dalam hadits.

Dengan demikian jelaslah hukum,tata cara dan keutamaan dari


mengumandangkan Adzan dan Iqamah saat bayi lahir. Semoga artikel ini bisa
menjadi sarana untuk berbagi ilmu bagi kita semua. Semoga ilmu ini bermanfaat dunia
dan akhirat. Sampai ketemu lagi sobat...di rublik artikel kami lainnya

Mengenai pentingnya membaca adzan setelah bayi dilahirkan ini dapat kita lihat
dari beberapa hadits berikut:

Abu Rafi telah berkata, Aku melihat Rasulullah Saw. menyerukan adzan di telinga
Al-Hasan bin Ali saat baru dilahirkan oleh ibunya, Fathimah. (HR Abu Daud dan
Tirmidzi).

Rasulullah Saw. membaca adzan di telinga Al-Hasan (cucunya) ketika Fathimah


melahirkannya. (HR Tirmidzi; hadis ini hasan sahih).

Ibnu Abbas telah berkata, Sesungguhnya Nabi Saw. mengadzankan Al-Hasan bin
Ali di telinganya pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanannya dan
iqamah di telinga kirinya. (HR Baihaqi).

Hikmah Adzan dan Iqamah Shalat

Banyak sekali hikmahnya ketika seseorang membacakan adzan dan iqamah shalat
setelah anak dilahirkan. Menurut Ibnu al-Qayyim dalam kitab Tuhfat Al-Maudud f
Ahkam al-Maulud, disebutkan bahwa di antara hikmah adzan di telinga bayi ini
adalah mengajarkan kepada sang bayi tentang kebesaran Tuhannya sekaligus
meneguhkan kalimat tauhid ke dalam jiwanya semenjak dia dilahirkan ke dunia ini.
Di samping itu, masih menurut Ibnu al-Qayyim, sebagai pelindung dari gangguan
setan atau jin jahat yang selalu mengincar anak manusia semenjak dilahirkan.

Ya, setiap anak yang baru dilahirkan, selalu diganggu oleh setan atau jin jahat.
Itulah mengapa ketika anak yang dilahirkan langsung menjerit atau menangis.
Menurut Rasulullah Saw., hal itu dikarenakan diganggu oleh setan. Mengenai hal ini
dapat kita ketahui dari sebuah hadits, yakni dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
Jeritan bayi saat keluar (dilahirkan) adalah karena tusukan setan. (HR Bukhari,
Muslim, dan Thabrani).

Tiada seorang anak Adam pun yang baru dilahirkan, melainkan setan
menyentuhnya saat kelahirannya hingga ia menangis karena sentuhan setan itu,
kecuali Maryam dan putranya. (HR Bukhari dan Muslim).

Pentingnya Memohon Perlindungan kepada Allah Swt.

Sebagai orangtua yang sangat mencintai anak, sudah barang tentu tidak rela kalau
anak kita diganggu oleh setan atau jin jahat. Kita tidak ingin kalau anak kita sejak
kecil sudah dalam pengaruh keburukan setan. Oleh karena itu, kita sangat perlu
untuk berlindung kepada Allah dari gangguan setan ini.

Mengenai pentingnya berlindung kepada Allah Swt. dari gangguan setan ini,
terutama bagi anak-anak kita yang baru dilahirkan, telah disampaikan di dalam Al-
Quran sebagai berikut:

Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: Ya Tuhanku,
sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih
mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon
perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan)
Engkau daripada setan yang terkutuk. (QS Ali Imran [3]: 36).

Kepada siapa lagi kita memohon perlindungan kalau tidak kepada Allah Swt.
Sungguh, sikap memohon perlindungan ini sangat perlu untuk kita lakukan karena
setan senantiasa berusaha untuk mengganggu kita. Apalagi untuk anak kita yang
masih bayi; yang ia belum bisa apa-apa kecuali hanya menangis ketika digoda oleh
setan, betapa sangat penting bagi kita untuk memohonkan perlindungan kepada
Allah dari godaan setan ketika anak kita baru dilahirkan. Dan, salah satu cara yang
dapat kita lakukan adalah dengan membacakan adzan dan iqamah shalat di
telinganya setelah ia dilahirkan.

Dalam hal ini, marilah kita perhatikan sebuah hadits, yakni Husain bin Ali r.a.
berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Barang siapa yang dilahirkan seorang bayi baginya, kemudian ia mengucapkan


adzan di telinga kanannya dan iqamah shalat di telinga kirinya, maka Ummu Sibyan
[setan atau jin jahat yang suka mengganggu anak-anak] tidak akan membuatnya
dalam bahaya. (HR Baihaqi dan Ibnu Sunni).
Siapakah yang Mengumandangkan

Orang yang diutamakan untuk mengumandangkan adzan dan iqamah shalat adalah
orangtuanya, dalam hal ini adalah ayahnya. Lalu, muncul pertanyaan, bagaimana
jika ayahnya tidak bisa membaca adzan dan iqamah shalat? Inilah perlunya bagi
seorang calon ayah untuk belajar terlebih dahulu sebelum anaknya lahir ke dunia
ini.

Lalu, bagaimana jika ayahnya tetap tidak bisa atau karena memang tidak berada di
tempat? Bila memang kenyataannya seperti ini, adzan dan iqamah bisa dilakukan
oleh kakeknya, anggota keluarga yang lain, atau siapa yang dipandang bisa.
Sungguh, mengumandangkan adzan dan iqamah shalat di telinga bayi yang baru
dilahirkan ini meskipun hukumnya sunnah, namun kalau bisa jangan sampai
ditinggalkan mengingat pentingnya perkara ini. Hal ini dipandang penting, terutama
kaitannya dengan pendidikan tauhid bagi anak dan sebagai permohonan
perlindungan sang anak agar tidak diganggu oleh setan atau jin jahat.

Anda mungkin juga menyukai