Rukun Dan Syarat Waris
Rukun Dan Syarat Waris
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi,
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits (
) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-
muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk
pewaris.
1.2. Al-Warits
Al-Warits ( )sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena
) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Harta warits (
Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan
mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri,
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil
kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi
meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup
segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih
dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri
memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada
anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya.
Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat
kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik
sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya
dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab
Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan
setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan
nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi
sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris
meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan
anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau
menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan
yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan,
tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya,
sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam
hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan
apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada
yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah
meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu
menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar
dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal
serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap
serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan
tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan
pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris
yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab
A. Rukun Waris
1.Muwariits, orang yang hartanya dipindahkan (ke orang lain) yaitu si mayit (orang yang meninggalkan harta
warisan).
2.Waarits, orang yang dipindahkan harta tersebut kepadanya (orang yang berhak menerima harta warisan atau
ahli waris).
1. Orang yang mewariskan hartanya telah meninggal baik secara hakiki maupun secara hukum.
2. Ahli waris masih hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meniggal walaupun hanya sekejap, baik secara
hakiki maupun secara hukum.
3. Mengetahui sebab menerima harta warisan. Seperti bertalian sebagai anak, orang tua, saudara, suami isteri, wala,
dsb.
1. Pernikahan, yaitu akad yang dilaksanakan oleh suami isteri secara sah.
2. Keturunan, memiliki tali persaudaraan, yakni hubungan tali persaudaraan antara dua orang manusia melalui hasil
keturunan baik yang dekat maupun yang jauh.
3. Wala, artinya memerdekakan, yakni bagian ashabah yang ditetapkan bagi yang memerdekakan si mayit dan
keluarga yang memerdekakan mendapat ashabah binafsihi, baik ia memerdekakan sebagai santunan ataupun
disebabkan kewajiban, seperti zakat, nadzar atau kafarat.
Beberapa Cabang yang Berkaitan dengan Sebab Menerima Warisan
Cabang Pertama
Suami Isteri tetap saling mewarisi hingga ada bukti yang jelas bahwa pernikahan keduanya terpustus baik
karena talak atau pernikahan mereka batal.
Cabang Kedua
1.Ashl, adalah mereka yang melahirkan seseorang. Yang termasuk ahli waris dari kalangan mereka adalah:
a.Semua laki-laki selama garis keturunannya dengan mayit tidak diperantai oleh perempuan. Seperti
bapak dan kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas yang garis keturunannya hanya laki-laki.
b.Semua perempuan selama antara mayit dengan perempuan tersebut tidak diperantai oleh laki-laki, di
mana sebelumnya wanita. Seperti Ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, ibu kakek dan
seterusnya ke atas yang garis silsilahnya hanya perempuan.
2. Furu adalah semua anak dari keturunan seseorang. Yang mendapat warisan adalah mereka yang memiliki garis
keturunan sampai mayit yang tidak diperantarai perempuan. Seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki. Adapun yang diperantarai perempuan contohnya cucu laki-
laki dari anak perempuan, maka mereka termasuk dzawil arham.
3. Hawaasyi adalah cabang dari ashl seperti saudara-saudara, paman-paman kandung dari pihak ayah, anak paman
dari pihak ayah dan terus ke bawah.
Cabang Ketiga
Tidak ada yang mendapatkan warisan dari wala kecuali hanya orang yang memerdekakan dan keluarganya yang
mendapt jatah ashabah binafsihi, seperti anak laki-laki orang yang telah memerdekakan si mayit, ayahnya,
kakeknya, saudara yang bukan seibu dan semisalnya. Karenawala adalah penyebab mendapatkan warisan dan ia
tidak mewarisi.
Cabang keempat
Jika tidak ada ahli waris, Syaikhul Islam Ibu Taimiyah menyebutkan beberapa sebab lain,
yaituMuwaalaah(hubungan perbudakan), muaaqadah(perjanjian saling membela dan saling mewarisi), masuk
Islam melalui seseorang dan iltiqaath(anak pungut atau anak temuan yang tidak diketahui nasabnya).
1. Penghambaan
Status hamba sahaya merupakan penghalang menerima warisan karena Allah mencantumkan orang yang berhak
menerima warisan dengan huruf laam lit tamliik yang menunjukkan hak kepemilikan. Berarti harta warisan tersebut
menjadi ahli waris. Sementara hamba sahaya tidak memiliki hak kepemilikan.
2. Pembunuhan
Pembunuhan yang menghalangi menrima harta warisan adalah pembunuhan dengan alasan yang tidak benar. Sebab
terkadang ahli waris ingin agar pemilik harta segera meniggal supaya mereka juga segera mendapat harta
warisannya. Oleh karena itu, si pembunuh dilarang menerima warisan untuk mencegah terjadinya pembunuhan
tersebut baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.
3. Perbedaan Agama
Yang satu memeluk suatu agama dan yang lain memeluk agama yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, maka
mereka tidak saling mewarisi karena hubungan mereka sudah terputus secara syari.
2. Seorang hamba apabila 100% hamba, maka ia tidak dapat dan menerima warisan secara mutlak. Namiun apabila
statusnya setengah hamba dan setengah lagi sudah merdeka, maka hukum warisan sesuai dengan prosentase
kehambaannya.
3. Seorang yang murtad tidak mendapat dan tidak juga memberi warisan. Apabila ia meninggal, maka hartanya
dianggap harta fai(harta yang ditinggalkan oleh kaum kafir dan musuh di mana mereka meninggalkannya sebelum
diserang atau sebelum berperang) yang akan digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
referensi : http://www.faroidh.webs.com/waris.html
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini
tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
a. Meninggalnya Muwarrits
a. Kerabat hakiki
contohnya: ayah, ibu, anak, saudara, paman yang mempunyai hubungan nasab atau ada pertalian darah.
b. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syari) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak
terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
c. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-itqi dan wala an-nimah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi.